Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah
penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria (Kemenkes RI, 2010a).
Filariasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan nematode yang
hidup didalam sistem limfe dan ditularkan dengan perantara nyamuk
(Soeyoko, 2002).
Filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap. Meskipun filariasis
tidak menyebabkan kematian tetapi merupakan salah satu penyebab utama
timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini
dikarenakan bila terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita
tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga dapat menjadi beban
keluarganya, merugikan masyarakat dan negara (Depkes RI, 2009a). Hasil
estimasi Kementerian Kesehatan tahun 2010 Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43
trilyun rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis
(Kemenkes RI, 2010a).
Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis turut menentukan
penyebarluasan penyakit filaria dan timbulnya daerah endemik filariasis. Di
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Aedes, Anopheles, Culex dan Mansonia yang dapat berperan sebagai vector
penularan penyakit filariasis.
Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko
tertular filariasis (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b). Di wilayah Afrika
sebesar 85% ( 39 dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi
berisiko 396 juta di tahun 2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis
filariasis limfatik dengan 12 juta orang berisiko. Di wilayah bagian timur
Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir, Sudan, Yaman dengan 12 juta

1
2

orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat pada tahun 2008. Di
wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko filariasis
limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang menerima
perawatan (WHO, 2010).
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83
negara diseluruh dunia, terutama dinegara-negara tropis dan sub tropis (WHO
dalam Karwiti, 2011). Tahun 2009, diperkirakan larva cacing filaria telah
menginfeksi lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang
diantaranya (64%) terdapat di regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara,
terdapat 11 negara yang endemis filariasis dan salah satu diantaranya adalah
Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang
luas memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di Indonesia, ke tiga jenis
cacing filaria (Wucheraria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori) dapat
ditemukan (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b).
Di Indonesia ditemukan 3 jenis parasit nematoda penyebab filariasis
limfatik pada manusia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugiatimori. Parasit ini tersebar di seluruh kepulauan Indonesia oleh
berbagai spesies nyamuk yang termasuk dalam genus Aedes, Anopheles,
Culex,Mansonia (Gandahusada 2001)
Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan
orang yang tinggal dengan rumah tangga yang saluran air limbahnya terbuka,
memiliki probabilitas lebih besar yaitu 2,56 kali terjadinya filariasis
dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah tangga yang saluran
air limbahnya tertutup. Saat ini filariasis telah menjadi salah satu penyakit
yang diprioritaskan untuk dieliminasi, diprakarsai oleh WHO sejak tahun
1999, pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO mendeklarasiakan
“The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health
Problem by the Year 2020”, Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis
sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian
filariasis, beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan
dalam rumah maupun lingkungan luar rumah. Konstruksi plafon rumah,
3

keberadaan kawat kassa, dan barang-barang bergantung memiliki hubungan


bermakna dengan kejadian filariasis di Kelurahan Jatisempurna (Juriastuti
dkk, 2010). Karwiti (2011) di Kabupaten Banyuasin menemukan bahwa
responden yang tinggal di dalam rumah dengan kondisi fisik rumah tidak
memenuhi syarat (dinding rumah banyak lubang lubang) mempunyai risiko
81,01 kali lebih besar terinfeksi filariasis, responden yang tinggal di rumah
dekat dengan breeding habitat vektor nyamuk Mansonia spp yang ditumbuhi
tanaman air (< 2 km) mempunyai risiko 33,34 kali lebih besar terinfeksi
filariasis Brugia malayi, kebiasaan responden tidak memakai kelambu pada
waktu tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi
filariasis Brugiamalayi. Penelitian Mulyono dkk (2008) di Kabupaten
Pekalongan menyatakan ada lima variabel sebagai faktor risiko kejadian
filariasis, yaitu adanya genangan air, adanya persawahan, tidak adanya hewan
predator, kebiasaan tidak menggunakan kelambu, dan kebiasaan tidak
menggunakan obat anti nyamuk.
Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional
pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2004–2009. Tujuan umum dari program eliminasi
filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan khusus program adalah (a)
menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di
setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan karena
filariasis (Kemenkes RI, 2010a).
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan penyakit filariasis adalah
penyakit endemis yang apabila tidak ditangani secara cepat akan memperluas
penyebaran dan penularannya kepada manusia. Oleh karena itu kita perlu
mengetahui apa itu filariasis, serta hal-hal yang terkait dengannya.
Berdasarkan paparan dari fakta inilah maka kami selaku penulis tertarik untuk
membahas kasus mengenai penyakit filariasis. (Riyanto, harun.2005)
4

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui konsep tentang penyakit Filariasis
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Defisini dan Etiologi
filariasis.
b. Mahasiswa mampu mengetahui tentang riwayat alamiah
penyakit Filariasis.
c. Mahasiswa mengetahui patofisiologi penyakit filariasis.
d. Mahasiswa mengetahui insiden prevalensi penyakit Filariasis.
e. Mahasiswa mampu mengetahui tindakan preventif, faktor
risiko dan protektif dari penyakit Filariasis.
f. Mahasiswa mampu mengetahui program dan penanggulagan
penyakit Filariasis.
1.3 Manfaat
a. Sebagai dasar pengetahuan untuk mahasiswa mengenai penyakit Filariasis
b. Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi bagi
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian mikrofilaria positif
dan filariasis.
c. Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap
kejadian mikrofilaria positif dan filariasis sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan keilmuan
5

BAB II
DAFTAR PUSTAKA
2.1 Definisi Filariasis
Penyakit kaki gajah / filariasis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan melalui berbagai jenis
nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan akan mengakibatkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,alat
kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Penyakit kaki gajah ini umumnya
terdeteksi melalui pemeriksaan mikrokopis darah.Sampai saat ini hal tesebut
masih ini dirasakan karna microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri
didalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal
periodicity).
Selain itu berbagai metode pemeriksaan juga dilakukan untuk
mendiaknosa penyakit kaki gajah diantaranya ialah dengan yang dikenal
sebagai penjaringan membrane, metode konsentrasi knott dan teknik
pengendapan.Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan
diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemriksaan system “Tes kartu”,
hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendetaksi penyebaran parasit
(Larva),yaitu dengn cara mengambil sample darah dengan system tusukan jari
droplets diwaktu kapanpun, tidak harus di malam hari.
Penyakit Kaki Gajah umumnya banyak terdapat pada wilayah tropis.
Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat penderita mengalami
penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh), Afrika,
Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailand dan
Indonesia (Asia Tenggara).

2.2 Etiologi Filariasis


Dalam musim hujan biasanya nyamuk dapat berkembang biak dengan
sangat cepat. Banyak sekali penyakit yang dapat ditularkan oleh hewan kecil
yang satu ini. Salah satunya penyakit kaki gajah (filariasis). Penyakit
disebabkan oleh cacing (wuchereria Bancrofi). Cacing ini dapat ditularkan
melalui berbagai gigitan nyamuk kecuali nyamuk mansoni.
6

Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria


Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan
hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah.
Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4-6 tahun
dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak
cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.
Penyebarannya diseluruh Indoensia baik di pedesaan maupun
diperkotaan. Nyamuk merupakan vektor filariasis. Di Indonesia ada 23 spesies
nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia, culex,
anopheles, aedes dan armigeres.
1. W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus
2. W. bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres
3. B. malayi : mansonia spp, an.barbirostris.
4. B. timori : an. barbirostris.
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies dan
tipenya. Di Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic Secara
umum daur hidup ketiga spesies sama Tersebar luas di seluruh Indonesia
sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya. ( Got, sawah, rawa, hutan ).
1. Cacing Dewasa Atau Makrofilaria
a. Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam
sisitem limfe.
b. Ukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm
c. Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm
d. Berkembang secara ovovivipar
2. Mikrofilaria
a. Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan
ribu.
b. Mempunyai sarung. 200 – 600 X 8 um
Didalam tubuh nyamuk mikrofilaria yang diisap nyamuk akan
berkembang dalam otot nyamuk.Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6 hari
menjadi larva L2, 8-10 hari untuk brugia atau 10 – 14 hari untuk wuchereria
akan menjadi larva L3. Larva L3 sangat aktif dan merupakan larva
7

infektif.ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi tidak


seperti malaria). Manusia merupakan hospes definitive Hampir semua dapat
tertular terutama pendatang dari daerah non-endemik Beberapa hewan dapat
bertindak sebagai hospes reservoir.
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular
(manusia dan hewan), Parasit , Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan
(fisik, biologik dan sosial-ekonomibudaya).

2.3 Penularan Filariasis


Penyakit ini di tularkan melalui nyamuk yang menghisap darah
seseorang yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan
mengandung larva dan akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang
terinfeksi menggigit dan menghipas darah orang tersebut. Tidak seperti
Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies
nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena
inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat. Penyakit kaki gajah /
filariasis ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang
yang telah tertular sebelumnya.Darah yang terinfeksi yang mengandung larva
dan di tularkan ke orang lain. pada nyamuk yang terinfeksi, kemudian
menggigit / menghisap darah orang tersebut. Adapun tanda-tanda dan
gejalanya (symtom) pada orang yang telah terinfeksi penyakit filariasis
ini,gejala filariasis akut dapat berupa :
1. Demam berulang-ulang selama 3-5 hari,demam dapat hilang bila
istirahat dan muncul kembali setelah bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan
paha (lymphadenitis) yang tampak kemerahan Ketiak (
Lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
3. Panas dan sakit radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas
dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki / pangkal lengan kearah
ujung (Retrograde lymphangitis)
4. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
8

5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
Filariasis abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah, pembesaran
tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (Early lymphodema). Gejala klinis yang kronis
berupa pembesaran yang menetap (Elephantrasis) pada tungkai, lengan, buah
dada (Mamae), buah zakar (Elephantiasis skroti). Tidak Seperti malaria, dan
demam berdarah, filariasis dapat ditularkan oleh berbagi jenis nyamuk
diantaranya spesies nyamuk dari genus anopheles, culex, mansonia, aedes dan
arnigeres. Karna inilah yang menyebabkan filariasis dapat menular dengan
cepat.

2.4 Riwayat Alamiah Filariasis


a. Masa Inkubasi dan klinis
Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk
yang menjadi vector. Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti
terbentuk beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi
beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama
hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh
demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia,
dan malaise. Mula–mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh
limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar
limfe, testes, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel
endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis,
terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya
mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis
kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai
infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas
terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan
Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia. Gejala
yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi adalah
9

lymphadenitis dan lymphangitis yang berulang-ulang disertai demam


.Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada
klasifikasi ureter dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan
pada infeksi B.malayi.
b. Diagnosis
1. Diagnosis Parasitologi Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria di
dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan
sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi dan tes
provokatif DEC. Diferensiasi spesies dan stadium filaria :
menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibodi
monoklonal.
2. Radiodiagnosis Pemeriksaan dengan ultrasonografi ( USG ) pada
skrotum dan kelenjar getah bening ingunial. Pemeriksaan
limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang
ditandai dengan adanya zat radioaktif.
Diagnosis imunologi Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test
(ICT), menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik.

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi Siklus hidup mikrofilaria terjadi dalam dua tahap yaitu
dalam tubuh manusia dan dalam tubuh nyamuk (gambar 1).
Gambar 1
Siklus Hidup dari Filaria
10

Keterangan :
1. Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva
stadium tiga (L-3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka
bekas gigitan.
2. Larva berkembang menjadi dewasa dan pada umumnya habitatnya pada
kelenjar limfatik.
3. Cacing dewasa menghasilkan microfilaria yang migrasi ke limfe dan
mencapai sirkulasi darah perifer.
4. Nyamuk mengingesti microfilaria selama mengisap darah.
5. Setelah masuk dalam tubuh nyamuk, selubung (sheath) dari microfilaria
terlepas dan melalui dinding proventikulus dan ke usus bagian tengah
(midgut) kemudian mencapai otot toraks.
6. Microfilaria berkembang menjadi larva stadium pertama (L-1).
7. kemudian menjadi L-2 dan selanjutnya menjadi larva stadium tiga (L-3).
8. Larva stadium tiga bermigrasi menuju probosis dan dapat menginfeksi
penderita yang lain ketika mengisap darah.
Morfologi mikrofilaria dan cacing dewasa dari Wuchereria
bancrofti,Brugia malayi, dan Brugia timori diuraikan pada tabel 1.
Tabel 1
Diagnosis Banding Morfologi Mikrofilaria dan Cacing Dewasa
Wuchereria Brugia malayi Brugia timori
bancrofti
Microfilaria
Ukuran 244-296 x 7,5-10µ 177 -230µ ±280 µ
Kepala Panjang kepala = Panjang kepala = 2 Panjang kepala = 3
lebar kepala kali lebar kepala x lebar kepala
Inti Tersusun Berkelompok, Terdapat 2 inti
teratur,tidak ada susunannya tidak tambahan yang
inti tambahan teratur, terdapat inti letaknya lebih
tambahan berjauhan
dibanding Brugia
malayi
11

Sarung Kurang mengambil Berwarna merah Tidak mengambil


zat warna giemsa jambu (dengan zat warna pada
giemsa) pengecatan giemsa
Lekuk tubuh Lekuk tubuh halus Tajam dan patah-
patah
Cacing dewasa
Ukuran Jantan : 40 x 0,1 Jantan : 13,5 – 23,3 Jantan : 23mm
mm Betina : 80 – x 0,07 – 0,08mm Betina : 39 mm
100 x 0,24 – 0,3 Betina : 43,5 – 55 x
mm 0,13 – 0,17 mm
Ekor Melengkung ke Melengkung ke Jantan : melingkar
arah ventral arah ventral Betina : lurus
Bentuk Halus seperti Seperti benang
benang
Warna Putih susu Putih kekuningan

Filariasis terutama disebabkan karena adanya cacing dewasa yang


hidup dalam pembuluh getah bening. Cacing tersebut akan merusak
pembuluh getah bening yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat
tersalurkan dengan baik sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai
dan lengan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5 – 7 tahun di
dalam kelenjar getah bening.
Gambar 2

a. Wuchereria b. bancrofti c. Brugia malayi


12

Brugia timori Kerusakan pembuluh getah bening akibat inflamasi


yang ditimbulkan oleh cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah
bening aferen atau sinus kelenjar getah bening dan menyebabkan
pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding pembuluh.
Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar
pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan
proliferasi sel endotel dan jaringan ikat, menyebabkan berliku-likunya
sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah
bening.2 Perubahan pembuluh limfe dapat berbentuk obstruksi, atresi atau
dilatasi dan dapat pula terjadi aliran balik ke arah kulit (dermal back flow).

2.5.1 Tanda dan Gejala


1. Filariasis Akut
a. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, Demam dapat hilang bila
istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat
b. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah
lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas
dan sakit
c. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit
yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung
(retrograde lymphangitis)
d. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
e. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat
agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema).
2. Filariasis Kronis
Elefantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya)
pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elefantiasis
skroti). sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B.
timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W.
bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin
13

2.6 Insiden Prevalensi Berdasarkan WHO Di Indonesia dan Provinsi


Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan
resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi
filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. di
Indonesia program eliminasi filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk
mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan
yaitu :
1. Memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal
pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis.
2. Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.
2.6.1 Kasus Klinis Filariasis Di Indonesia
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun
ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus
bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas
yang cukup tinggi. Perkembangan jumlah penderita kasus filariasis dari
tahun 2000 – 2009 dapat dilihat dari Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3
Kasus Klinis Filariasis Di Indonesia Tahun 2000-2009

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009

Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus


terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang),
Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga
provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27
14

orang), dan Sulawesi Utara (30 orang), dapat dilihat pada Gambar 4.
Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan
provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di
seluruh Indonesia. Hal ini memerlukan perhatian untuk ditindak lanjuti,
dan dicari kemungkinan penyebabnya.
Gambar 4
Penderita Filariasis Per Provinsi Tahun 2009

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009

Menurut kabupaten, pada tahun 2009 tiga kabupaten dengan kasus


terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus), Manokwari (667
kasus) dan Mappi (652 kasus).Tampak perbedaan jumlah kasus yang
cukup besar di kabupaten Aceh Utara dibandingkan dengan jumlah kasus
pada kabupaten lainnya. Hal ini perlu menjadi perhatian dan dicari
kemungkinan penyebabnya.

2.7 Upaya Preventif Filariasis


Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan cara yaitu :
a. Berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi
kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula
akan sewaktu tidur,
15

b. Menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk


c. Menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker
d. Mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara
memberantas nyamuk dengan membersihkan tanaman air pada rawa-
rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun,
mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah.
e. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis
mengenai cara penularan dan cara pengendalianvektor (nyamuk).
f. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif
dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia, mengidentifikasi
waktu dan ternpat menggigit nyamuk serta ternpat
perkembangbiakannya.
g. Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan
perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa
serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkantempat
perindukannyamuk.
h. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan
diethylcarbamazine citrate. (Cacing filaria berada di seluruh kelenjar
seperti selangkangan dan ketiak, dibunuh dengan DCE. Sedangkan
cacing usus seperti kremi, cambuk, pita, harus dibunuh dengan obat
albendazole).

2.8 Faktor Risiko dan Faktor Protektif


1. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)
a. Manusia
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya
setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan
nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali.
2) Jenis Kelamin
16

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. Insiden filariasis


pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena pada
umumnya laki-laki lebih sering terpapar dengan vektor karena
pekerjaannya.
3) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak teerbentuk
imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikianjuga yang
tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas
alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis,
tidak semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis
tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan
patologis dalam tubuhnya.
4) Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis
mempunyairisiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke
daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada
pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung
mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkangejala klinis yang
lebihberat.

b. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan
di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada
air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar
telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas jadi jentik, 8-10 hari
menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa.
Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukkannya dan makan
cairan tumbuhan yang ada disekitarnya.
Nyamukbetina hanya kawinsekali dalam hidupnya. Perkawinan
biasanya terjadi setelah 24-48 jam keluar dari kepompong. Makanan
17

nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan


telurnya. Pengetahuan kepadatan nyamuk dan vektor sangat penting
untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilanprogram pemberantasan vektor.

2. Lingkungan (Environment)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis
dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis Brugia Malayi
adalah daerah sungai, hutan, rawa-rawa, sepanjang sungai atau badanair
lainyang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis W. Bancrofti tipe
perkotaan (urban) adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat
penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor
yaitu nyamuk Cx. Quinquefasciatus. Sedangkan daerah endemis W.
Bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya
sama dengan derah endemis B.Malayi.
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian,
internal dan ekstemal. Lingkungan hidup internal merupakan suatu
keadaanyang dinamis dan seimbang yang seimbang yang disebut
homeostatis, sedangkan lingkungan hidup eksternal merupakan
lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga komponen,
antara lain:
a. LingkunganFisik
Yang termasuk lingkungan fisik antara lain geografik dan
keadaan musim. Lingkungan fisik bersifat abiotik. atau benda mati
seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah,panas,sinar,
radiasi,danIain-lain.
Lingkungansangat berpengaruh terhadap distribusi kasus
filariasis dan mata rantai penularannya. Biasanya daerah endemis
B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau
badan air lain yang ditumbuhi tanaman air. Daerah endemis
Wbancrofti tipe perkotaan adalah daerah kumuh, pada penduduknya
18

dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor


yaitunyamuk Cx.quinquefasciatu.
b. LingkunganBiologi
Lingkungan biologis adalah semua makhluk hidup yang berada
di sekitar manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia.
Misalnya, wilayah dengan flora yang berbeda akan mampunyai pola
penyakit yang berbeda.Faktor lingkungan biologis ini selain bakteri
dan virus patogen, ulah manusia juga mempunyai peran yang
penting dalam terjadinya penyakit, bahkan dapat dikatakan penyakit
timbul karenaulahmanusia. Berdasarkan penelitian oleh Rudi Ansari
(2004), terdapat hubungan antara keberadaan tumbuhan air dengan
kejadian filariasis. Maka dapat dikatakan bahwa orang tinggal di
rumah yang memilikitumbuhan air mempunyai risiko untuk
terjadinya penularanpenyakit filariasis.
c. Lingkungan Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan,
kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan,
kehidupan kemaysarakatan, organisasi sosial dan politik,
pendidikan,dan status ekonomi. Salah satu faktor lingkungan sosial
yang berhubungan dengan kejadian filariasis adalah status ekonomi.
Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda ini, pada
umumnya di pengaruhi oleh dua hal yakni; karena terdapatnya
perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegahdan atau
mengobati penyakit, dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan
perilakuyangdimiliki. Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam
nyamuk mencari darah dapat beresiko untuk terkena filariasis.
Menurut Nasrin (2008), terdapat hubungan pekerjaan dengan
kejadian filariasis. Orang yang merniliki pekerjaan petani. buruh
tani, buruh pabrik, dan nelayan beresiko tertular penyakit filariasis.
19

3. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial,yaitu :
W. Bancroft, B.Malayi. B. Timori. Cacing filaria (Nematode
:Filarioidea) baik limfatik maupunnon lirnfatik, rnempunyai ciri khas
yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi
mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan
ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Sebanyak 32 varian subperiodik
baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik
Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap
risikopenularan filarial.
Sedangkan faktor protektif yang mempengaruhi penyakit
filariasis adalah :
1. Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak teerbentuk
imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikianjuga yang tinggal
di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami
terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak
semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi
belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan
patologis dalam tubuhnya.
2. Mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara
memberantas nyamuk dengan membersihkan tanaman air pada rawa-
rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun,
mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat
perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah.
3. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis
mengenai cara penularan dan cara pengendalianvektor (nyamuk).
4. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif
dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia,
mengidentifikasi waktu dan ternpat menggigit nyamuk serta ternpat
perkembangbiakannya.
20

2.9 Program Penanggulangan dan Vektor Control


Penanggulangan Filariasis merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk
mencapai eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020, dan untuk mendukung hal
tersebut perlu ditetapkan kebijakan, strategi klinis serta beberapa pokok kegiatan
dalam pelaksanaan Penanggulangan filariasis. Penyelenggaraan Penanggulangan
filariasis dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Penyelenggaraan dilaksanakan melalui pokok
kegiatan :

A. Pokok Kegiatan
Penanggulangan filariasis merupakan upaya-upaya dalam mecapai eliminasi
filariasis, yang terdiri dari beberapa kegiatan pokok seperti surveilans
kesehatan , penanganan penderita, pengendalian faktor resiko dan
komunikasi, informasi dan edukasi.
1. Surveilans Kesehatan
a. Penemuan Penderita
Penemuan penderita Filariasis dilaksanakan dengan melakukan survei
penderita Filariasis kronis atau dengan kegiatan rutin lainnya. Secara
teoritis penemuan kasus klinis berdasar pada ebaran keberadaan
penderita Filariasis klinis, dan identifikasi orang-orang yang positif
microfilaria serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhinya, pada
kenyataannya, penderita Filariasis klinis seringkali tersembunyi
ditengah-tengah masyarakat, tanpa diketahui oleh perugas kesehatan
(Puskesmas), terutama di daerah yang jauh dari jangkauan pelayanan
kesehatan.
Survei penderita filariasis kronis merupakan cara untuk mencari,
menemukan dan menentukan sebaran penderita filariasis kronis
menurut desa/kelurahan di setiap wilayah Kabuparen/kota. Identifikasi
orang-orang yang terinfeksi cacing filaria pada suatu populasi
dilakukan dengan pemeriksaan adanya mikrifilaria pada daerah tepi
atau dengan metode diagnosis cepat atau rapid test yang tepat
penggunaan.
21

b. Survei data dasar Prevalensi Mikrofilaria


Secara sederhana, apabila pada suatu daerah terdapat seseorang yang
di dalam tubuhnya terdapat cacing filaria, dan di tempat tinggalnya
terdapat nyamuk penular yang sesuai, maka daerah sekitarnya adalah
daerah penularan. Orang yang mengidap cacing dewasa dalam
tubuhnya, maka cacing tersebut akan bertahan hidup cukup lama
mencapai periode waktu hidup 5-7 tahun, artinya penularan terus
terjadi pada orang-orang disekitarnya, sehingga daerah ini adalah
daerah endemis Filariasis.
Empat faktor yang mempengaruhi terjadinya penularan Filariasis,
yaitu adanya: Cacing filaria, manusia dan hospes lain sebagai sumber
penularan, vektor penular filariasis dan kondisi lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan vektor dan manusia rentan terhadap
penularan filariasis.
a. Sumber penularan
b. Penemuan kasus klinis filariasis
c. Identifikasi orang-orang terinfeksi Filaria
d. Metode survei
c. Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria
Setiap kabupaten/kota yang sudah melaksanakan kegiatan Pemberian
Obat Pencegahan secara Massal (POPM) Filariasis berkewajiban
untuk melaksanakan Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria setelah
pelaksanaan kegiatan POPM Filariasis tahun ketiga dan kelima.
Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria adalah survei untuk
mengetahui prevalensi mikrofilaria (angka microfilaria rate) dan
densitas mikrofilaria (kepadatan) setelah dilaksanakan kegiatan POPM
Filariasis.
d. Survei Evaluasi penularan Filariasi (TAS)
Urvei Evaluasi Penularan Filariasis atau Transmission Assessment
Survey (TAS) merupakan salah satu metode survei untuk menilai
apakah masih ditemukan adanya penularan Filariasis di daerah
tersebut. Pada dasarnya, setelah POPM filariasis dilaksanakan setiap
22

tahun selama 5 tahun berturut-turut, maka diharapkan sudah tidak


terjadi penularan Filariasis, dehingga pada anak-anak berusia 6-7
tahun tidak ditemukan adanya cacing dewasa dalam darahnya.
Sesuai dengan jenis cacing Filariasisnya, metode diagnosis untuk
menentukan ada tidaknya cacing filaria di dalam darah dibagi 2 cara:
a. Immunochromotographic Test (ICT)/ Rapid Test untuk
Bancrofti, guna mengetahui keberadaan antigen cacing dewasa
W.brancofti dalam darah, dengan waktu pemeriksaan setiap
waktu.
b. Rapi Test untuk Brugia, guna mendeteksi adanya antibodi
Brugia Malayi atau Brugia timori, dengan waktu pemeriksaan
juga setiap waktu. Terdeteksinya antibodi Brugia Malayi atau
Brugia timori pada anak-anak (berumur 6-7 tahun)
menandakan adanya riwayat infeksi cacing filaria pada 6-7
tahun terakhir.
2. Penanganan penderita
Penanganan pendetita dalam Penanggulanagan Filariasis bertujuan untuk
mencegah dan membatasi Kecacatan karea Filariasis dan agar penderita
mampu hidup lebih baik serta dapat berpartisispasi aktif dalam kehidupan
bermasyarakat, baik sosial maupun ekonomi.
Secara khusus penanganan penderita bertujuan untuk :
a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas, penderita
filariasis dan keluarganya dalam penatalaksanaan penderita secara
mandiri.
b. Menurunnya jumlah serangan akut pada penderita kronis.
c. Mencegah dan membatasi kecacatan.
d. Tindakan medik (bedah) pada penderita filariasushidrokel.
3. Pengendalian Faktor Risiko
Sumber penularan Filariasis utama adalah manusia terinfeksi cacing
filaria. Terdapat beberapa komponen yang merupakan faktor resiko untuk
terjadinya penularan Filariasis, Yaitu:
a. Adanya Vektor(nyamuk yang infektif),
23

b. Adanya Hospes (manusia dan hewan) serta


c. Lingkungan yang mendukung
o Lingkungan fisik
o Lingkungan biologik
o Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.

Selanjutnya untuk menentukan adanya penularan atau terdapatnya sumber


penularan Filariasis pada suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasi
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya penderita Filariasis klinis (akut atau kronis).


Semakin banyak jumlah penderita Filariasis semakin dicurigai
adanya penularan Filariasis. Bila ditemukan penderita Filariasis
baru memperkuat adanya penularan Filariasis di daerah tersebut.
b. Adanya orang yang ditemukan positif mikrofilaria dalam darahnya.
Angka microfilaria rate yang tinggi pada suatu wilayah,
memperkuat dugaan adanya penularan aktif di wilayah tersebut.
c. Nyamuk penular
d. Lingkungan, menjadi faktor penentu identifikasi daerah yang
terdapat penularan Filariasis.

Pengendalian Faktor resiko meliputi pemutusan mata rantai dan


pengendalian vektor terpadu. Melalui Pemberian Obat Pencegahan secara
Massa (POPM) secara rutin pada wilayah endemis Filariasis dan upaya
perlindungan dari gigitan nyamuk diharapkan dapat memutus mata rantai
penularan Filariasis.

4. Komunikasi, Informasi dan edukasi


Penyelenggaraan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi dalam
kegiatan Penanggulanag Filariasis adalah upaya untuk menyusun
rancangan strategis promosi kesehatan secara efisien dan efektif untuk
mendukung eliminasi Filariasis tahun 2020 di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut maka tujuan promosi kesehatan dalam
Penanggulangan Filariasis adalah tersosialisasinya Eliminasi Filariasis
24

sehingga para pengambil keputusan, program, sektor dan LSM terkait serta
masyarakat mendukung dan berperan aktif dalam penyelenggaraan
Program Penanggulanagn Filariasis sesuai potensi spesifik masing-masing
daerah.

B. Vektor Filariasis

Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari 5
genus yaitu: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi
vektor Filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles telah diidentifikasi sebagai
vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan
vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan
vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles
barbirostris merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia
dapat menjadi vektor Brugia Malayi tipe sub periodic nokturna. Sementara
Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang
terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan.

Untuk melaksanakan pemberantasan vektor Filariasis, perlu mengetahui bionomik


(tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembang biak, perilaku menggigit
(mencari darah) dan tempat istirahat. Tempat perindukan nyamuk berbeda-beda
tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh,
seperti semak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada
tempat-tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya
berbeda-beda, dapat hanya menyukai darah manusia (antropofilik), darah hewan
(zoofilik), atau darah hewan dan manusaia (zooantropofilik). Demikian juga
mencari mangsanya berbeda-beda, dapat hanya diluar rumah (eksofagik atau
dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk ini dapat berpengaruh terhadap
distribusi kasus filariasis. Setiap daerahnya mempunyai spesies nyamuk berbeda-
beda dan pada umumnya terdapat beberapa spesies nyamuk sebagai vektor utama
dan spesies lainnya hanya merupakan vektor potensial.

TABEL 1. Distribusi Spesies Cacing Filaria dan Nyamuk Penularnya di Indonesia


25

No Propinsi Spesies Cacing Spesies Fektor


Filaria
1 Aceh B. malayi, W. Cx. Quinquefasciatus, Ma.
bancrofti Uniformis, Ma. Indiana
2 Sumatera Utara B. malayi Ma.Uniformis
3 Riau B. malayi, W. Ma. Uniformis, Ma. Dives, Ma.
bancrofti Bonneae, An. Nigerimus
4 Sumatera Barat B. malayi Mansonia spp, An. Nigerimus
5 Jambi B. malayi, W. Ma.Uniformis, Ma. Indiana, Ma.
Bancrofti Anulifera
6 Bengkulu B. malayi Ma uniformis, Ma. Annulata,
Ma. Dives, Ma Bonneae
7 Sumatera Selatan B. malayi Ma. Uniformis, An. Nigerimus
8 Lampung B. malayi Ma.Uniformis
9 DKI Jakarta W. bancrofti Cx. Quinquefasciatus
10 Jawa Barat B. malayi, W. Cx. Quinquefasciatus, Ma.
Bancrofti Indiana
11 Jawa Tengah B. malayi, W. Ma. Uniformis, Cx.
Bancrofti Quinquefasciatus
12 Kalimantan Barat B. malayi Ma. Uniformis, An. Nigerimus
13 Kalimantan B. malayi Ma. Uniformis, An. Nigerimus
Tengah
14 Kalimantan B. malayi Ma. Uniformis, Ma. Annulifera,
Selatan Ma. Annulata, Ma. Indiana, Ma.
Boneae, Ma. Dives , An.
Nigerimus
15 Kalimantan B. malayi Ma. Boneae, Ma. Uniformis, Ma.
Timur Dives
16 NTB B. bancrofti An. Subpictus
17 NTT B. timori, W. An. barbirostris, An subpictus,
Bancrofti An. Aconitus, An. Vagus
26

18 Sulawesi Selatan B. malayi An. Barbirostris. An. Dives, Ma.


Uniformis, Ma. Annulifera
19 Sulawesi Tengah B. malayi, W. An. Barbirostris
bancrofti
20 Sulawesi B. malayi, W. Ma. Uniformis, Ma. Indiana,
Tenggara bancrofti Ma. Dives, An. Aconitus, An.
Barbirostris, An. Nigerimus, Cx.
Annulirostris, An. Maculatus,
Cx. Whitmorei
21 Sulawesi Utara B. malayi An. Barbirostris,
22 Maluku B. malayi Ma. Uniformis
23 Papua W. bancrofti An. Farauti, An. Koliensis. An.
Punctulatus, An. Bancrofti, CS.
Annulirostris, Cx.
Bitaeniorhynchus, Cx.
Quinquefasciatus, Ae. Kochii,
Ar. Subaltabus, Ma. uniformis

C. Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat
endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomil dari vektor
nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit dan faktor lingkungan yang berperan
dalam penularan di setiap daerah.

Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang tidak lengkap pun dengan
menggunakan obat anti nyamuk masih dapat mengurangi insiden dan penyebaran
penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat karena masa inkubasi yang panjang.

Ada beberapa metode pengendalian vektor, antara lain metode pengendalian fisik
dan mekanis (modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan,
pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan
lain-lain), metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik (predator
27

pemakan jentik, manipulasi gen), metode pengendalian secara kimia (kelambu


berinsektisida, larvasida, fogging, penggunaan repelen, penggunaan obat anti
nyamuk, dan lain-lain).

Usaha pengendalian vektor filariasis dengan berfokus perbaikan lingkungan


ternyata dapat menurunkan angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9%. Hal
yang dapat dilakukan adalah:

1. Memperbaiki sistem drainase di perkotaan dengan maksud mengurangi


penyebaran Filariasis bancrofti tipe urban
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah
timbulnya man made container breeding site mosquito;
3. Menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawa-rawa, sangat
bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia spp.
4. Meningkatkan penggunaan polystylene balls sebagai usaha
membunuh/mencegah perkembangan larva menjadi pupa terutama
nyamuk Culex Quenquefasciatus.

2.10 Health Policy


Eliminasi Filariasis merupakan salah satu prioritas nasional pemberantasan
penyakit menular. Hal tersebut dilaksanakan dengan 2 kegiatan pokok
diantaranya:

1. Pengobatan massal di daerah endemis


2. Penatalaksanaan kasus klinis (individual)

Kebijakan mengenai penatalaksanaan program penanggulangan penyakit menulat


khususnya penyakit filariasis telah diatur dalam PERMENKES RI Nomor 82
tahun 2014 dan PERMENKES RI Nomor 94 tahun 2014
28

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di
wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah edema, infeksi oleh
sekelompok cacing nematode parasite yang tergabung dalam superfamilia
Filarioidea.
2. Di Indonesia sendiri Filariasis termasuk penyakit yang menjadi masalah
kesehatan rakyat yang penting terutama bagi daerah pedesaan di luar pulau
Jawa-Bali karena mengakibatkan berkurangnya kemampuan kerja
masyarakat dan cacat yang ditimbulkannya
3. Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva
infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap
selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan
tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini
menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi
pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin
4. Penyakit kaki gajah (filariasis) ini umumnya terdeteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis darah.
5. Agar tidak terkena Filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan
nyamuk (mengurangi kontak dengan vector)
6. Penanggulangan filariasis ditangani pada semua fase yaitu: pemberantasan
parasitnya pada semua hospes, pemberantasan vektornya dan penanganan
lingkungan yang dapat mengganggu kelestarian lingkaran hidupparasit.
7. Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah
endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC).
DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan
jangka panjang.
29

3.2 Saran
Pemerintah dari berbagai sector harus bekerja secara serius dalam
melakukan penanganan dan penanggulangan Filariasis, dengan
mengerahkan jajaran terdepan yaitu Puskesmas untuk melakukan
penanggulanga, pencegahan serta pendidikan kepada masyarakat agar
masyarakat lebih serius untuk ikut serta menangani kasus filariasis, karena
penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga
akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan
penanganan kasus filariasis ini pula, diharapkan Indonesia mampu
mewujudkan Indonesia Sehat dan terbebas dari penyakit filariasis.
30

REFERENSI

Depkes RI. Mengenal Filariasis (Penyakit Kaki Gajah). Direktorat Pengendalian


Penyakit Bersumber Binatang dan Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit & Penyehatan Lingkungan; 2009

ejournal.litbang.depkes.go.id (diakses 13 Maret 2017)

Gandahusada, 1998, Parasitologi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Jakarta.

http://www.depkes.go.id/ (diakses 13 Maret 2017)

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia.2010


Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2011

Luthfiyah, Nur. 2012. (online). (http://www.scribd.com/doc/9 6261863 /Epi


demiologi-Filariasis , diakses 12 Maret 2017)

Masrizal, 2013, Penyakit Filariasis, Jurnal Kesehatan Masyarakat, September


2012-Maret 2013, Vol. 7, No. 1

Puriningtyas, Dhyta.2011. (onlione). http://epidemiologiunsri.blogsp ot.c om/2


011/11/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html , diakses 12 Meret
2017).

Pusat Data Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Filariasis di


Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. Juli 2010; Volume 1

Soedarto. Penyakit Menular di Indonesia

Sunish IP, et al. Vector control complements mass drug administration against
bancroftian filariasis in Tirukoilur, India. Bulletin of Word Health
Organization. Februari 2007; 85 (2).

Wahyuni, Sry. 2012. (onlione). ( http://www.scribd.com/doc/436104 82/-filariasis


, diakses 12 Maret 2017).

Anda mungkin juga menyukai