PENDAHULUAN
1
2
kebisingan pada suatu tempat kerja harus sesuai dengan persyaratan tingkat
kebisingan yang dianjurkan (Bashiruddin, 2002).
Paparan bising yang diterima karyawan dapat menimbulkan gangguan
antara lain gangguan psikologis (agresivitas meningkat, stabilitas mental,
penurunan semangat kerja), gangguan fisiologi (gangguan komunikasi dan
gangguan keseimbangan) dan gangguan patalogis (gangguan pada telinga
sebagai indara pendengar) (Harold, 1997).
Untuk melindungi tenaga kerja/pekerja dari bahaya kebisingan yang
terjadi, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang nilai
ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja, di dalamnya
ditetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebesar 85 dBA sebagai
intensitas tertinggi dan merupakan nilai yang masih dapat diterima oleh
pekerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam
pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam
seminggu.
Pada suatu penelitian yang dilakukan di PT. Citratama Persada Raya
sector Blasting Painting dapat disimpulkan bahwa rata – rata kenaikan ambang
dengar karyawan di area blasting painting pada tahun 2011- 2012 sebesar
20,7% untuk telinga kanan, 17,9 % untuk telinga kiri dan pada tahun 2012 -
2013 sebesar 12,8% untuk telinga kanan , 16,3% unuk telinga kiri (Ani
Umyati, 2015).
Gangguan pendengaran akibat bising merupakan gangguan
pendengaran neurosensoris kedua tersering dijumpai setelah gangguan
pendengaran akibat presbikusis. Kejadian penurunan pendengaran akibat
pajanan bising di tempat kerja dapat terlihat dari penelitian yang telah ada, di
perusahaan baja ditemukan kejadian NIHL pada pekerja sebesar 43.6%
dengan intensitas tingkat kebisingan lingkungan kerja antar 88.,3 – 112,8 dBA
(Tana dkk,2000), di PT. Master Wavenindo Label ditemukan bahwa tingkat
kebisingan berkisar antara 64,5 - 95,6 dBA dan ditemukan bahwa sebesar
63,1% pekerja mengalami penurunan pendengaran (Akbar, 2012), di PT. PLN
3
(Persero), intensitas kebisingan adalah sebesar 70,2 – 103 dBA dan sebanyak
30,7 % pekerja mengalami penurunan pendengaran (Sari I.P , dkk, 2012).
Semakin besar dosis bising yang diterima seorang pekerja, maka
semakin besar potensi terjadi gangguan pendengaran yang ditandai dengan
peningkatan nilai ambang dengar (Pratiwi, 2012). Penelitian yang dilakukan
oleh Istantyo (2011), mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti
memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap gangguan fungsi
pendengaran dengan nilai Pvalue sebesar 0,000. Sedangkan berdasarkan
analisis multivariat diketahui bahwa nilai OR untuk variabel dosis kebisingan
sebesar 19,279, artinya pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari
100% atau equivalen dengan 85 dB memiliki peluang 19,279 kali lebih
berisiko untuk mengalami gangguan fungsi pendengaran dibandingkan dengan
pekerja yang menerima dosis kebisingan < 100%.
PT Menara Terus Makmur adalah salah satu perusahaan berspesialisasi
dalam bidang desain dan manufaktur sparepart otomotif yang beroperasi sejak
1986. Produk yang dihasilkan oleh PT. Menara Terus Makmur adalah forging
part, mechanical jack, dan handtool. Dalam proses kerjanya perusahaan ini
menggunakan mesin yang menimbulkan suara yang cukup keras seperti mesin
forging dan trimming dan alat tersebut dioperasikan oleh pekerja, sehingga
para pekerja setiap harinya akan terpapar oleh suara bising tersebut, hal ini
bagi pekerja/karyawan PT. Menara Terus Makmur dapat berpeluang untuk
terganggu oleh suara tersebut.
Jika kondisi ini terus terjadi setiap harinya pada pekerja / karyawan akan
menyebabkan gangguan fungsi pendengaran akibat suara bising tersebut,
maka diperlukan adanya pengukuran tingkat pajanan kebisingan agar tidak
membahayakan kesehatan karyawan dan gangguan fungsi pendengaran akibat
bekerja di tempat yang bising.
Dari keadaan-keaadaan tersebut diatas, maka penelitian ini bermaksud
untuk mendapatkan informasi hubungan tingkat pajanan kebisingan pada
pekerja pabrik dengan fungsi pendengaran di PT. Menara Terus Makmur.
4