Anda di halaman 1dari 36

Toksikologi Obat - obatan

TOKSIKOLOGI OBAT – OBATAN

Toksisitas Obat
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme
atau ekskresi.
Adapun Obat – Obatan yang menyebabkan keracunan yaitu :
 Paracetamol
 Asam Salisilat
 Antalgin
 Vitamin B6
 Vitamin C
PARACETAMOL
Parasetamol atau asetaminen adalah obatanalgesik dan antipiretik yang
populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit
ringan, serta demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat
analgesikselesma dan flu.
Kegunaan Pemakaian Paracetamol itu adalah
1. Demam
Parasetamol telah disetujui sebagai penurun demam untuk segala usia. WHO
hanya merekomendasikan penggunaan parasetamol sebagai penurun panas untuk
anak-anak jika suhunya melebihi 38.5 C.

2. Nyeri

Parasetamol digunakan untuk meredakan nyeri. Obat ini mempunyai aktivitas


sebagai analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah.
Efek Samping pemakaian Paracetamol :
Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi
lambung, memengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun,
pada dosis besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko
gangguan pencernaan bagian atas.
Dosis Pemakaian Paracetamol :
Umur Dosis Paracetamol
3 bulan – 1 tahun 60 – 120 mg
1 – 5 tahun 120 – 250 mg
6 – 12 tahun 250 – 500 mg
Dewasa 500 – 1 g

Kelebihan dosis Paracetamol itu mengakibatkan :


Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan
gangguan hati. Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara
pemberian asetilsistein (N-asetil sistein) yang merupakan prekusor glutation,
membantu tubuh untuk mencegah kerusakan hati lebih lanjut.

ASAM SALISILAT
Asam salisilat (asam ortohidroksibenzoat) merupakan asam yang bersifat
iritan lokal, yang dapat digunakan secara topikal. Terdapat berbagai turunan
yang digunakan sebagai obat luar, yang terbagi atas 2 kelas, ester dari asam
salisilat dan ester salisilat dari asam organik. Di samping itu digunakan pula
garamsalisilat.
Keguanaan Asam Salisilat :
Asam salisilat adalah obat topikal murah yang digunakan untuk
 mengobati sejumlah masalah kulit, seperti :

 jerawat,
 kutil,
 ketombe,
 sporiasis, dan
 masalah kulit lainnya.

 mengawetkan makanan,
 antiseptik, dan
 campuran dalam pasta gigi. Asam salisilat digunakan pula sebagai bahan utama
untuk aspirin.
Dosis Pemakaian nya itu adalah :
 Pengobatan tunggal rata-rata : 10 mg/KBB.
 Dosis lazim harian : 40 - 60 mg/KBB/hari.
 Tablet aspirin mengandung 325 - 650 mg asam salisilat.
 Pada dosis 150 - 200mg /KBB dapat terjadi Intoksikasi akut sedang, dan dosis
300-500 mg / KBB akan menyebabkan intoksikasi berat.
 Intoksikasi kronik dapat terjadi pada pemberian dosis lebih dari 100 mg/KBB
selama 2 hari atau lebih.
Efek negatif dari Asam Salisilat itu adalah Asam salisilat sebenarnya
hanya baik digunakan sebagai obat lotion (tubuh bagian luar). Konsumsi pada
asam salisilat dapat menimbulkan gangguan lambung, pusing, berkeringat, mual,
dan muntah. Efek dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kekurangan zat
besi, kemerahan dan gatal-gatal pada kulit. Konsumsi dalam jumlah besar
mengakibatkan pendarahan pada lambung.

ANTALGIN
Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan
NSAID, atau Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Umumnya, obat-obatan
analgetik adalah golongan obat antiinflamasi (antipembengkakan), dan beberapa
jenis obat golongan ini memiliki pula sifat antipiretik (penurun panas), sehingga
dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik.
Komposisi : Tiap tablet mengandung antalgin 500mg
Dosis pemakaian Antalgin :
 Oral
- dewasa: 500-1000 mg 3-4 x sehari (maks 3 gr)
- anak: 250-500 mg 3-4 x sehari (maks 1 gr)
 Parenteral: 500-1000 mg sekali suntik (jgn lebih 1 gr)
 PO : Sesudah makan
Efek Samping nya :
 Agranolositosis,
 Gejala kepekaan yang manifestasinya kelainan pada kulit. Pada penggunaan
jangka panjang dapat menyebabkan agranulositosis.
 reaksi kulit seperti kemerahan,
 iritasi lambung.
 Interaksi Obat:
Bila digunakan bersama dengan klorpromazine, dapat menimbulkan hipotermia
yang berat.
 Penggunaan pada ibu hamil dan menyusui:
Jangan diberikan pada wanita hamil karena potensi karsigonik dari metabolit
nitrosamin.

VITAMIN B6
Vitamin B6 atau disebut juga dengan pyridoxine, adalah vitamin yang larut
air, yang digunakan dalan penanganan defisiensi vitamin B6 dan beberapa kasus
anemia.Piridoksin dapat menurunkan efek obat dari fenitoin dan levodopa
Manfaat dari vitamin B6 :
 Mencegah penyakit jantung
 Menstruasi dan kehamilan
 Meningkatkan energi dan melawan penyakit
 Perkembangan otak
 Sistem kekebalan tubuh
 Komunikasi saraf
 Menjaga kadar gula darah
 Membantu proses protein tubuh dan lemak dari makanan sebagai bagian dari
koenzim;
 Membantu untuk membuat sel darah merah dan mengkonversi asam amino
menjadi niacin.

VITAMIN C
Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu
asam askorbat. Vitamin C termasuk golongan vitamin antioksidan yang mampu
menangkal berbagai radikal bebas ekstraselular. Beberapa karakteristiknya
antara lain sangat mudah teroksidasi oleh panas, cahaya, dan logam.
Dosis Pemakaian nya :
Amerika Serikat vitamin c rekomendasi :
 60 mg/hari: Kesehatan Kanada 2007
 60–95 miligram per hari: Amerika Serikat National Academy of Sciences.
 500 miligram per jam 12: Profesor Roc Ordman, dari penelitian biologi radikal
bebas.
 3.000 miligram per hari '' (atau hingga 30.000 mg selama penyakit)'': Yayasan
Vitamin C.
 6, 000–12, 000 miligram per hari: Thomas E. Levy, Colorado Integratif Medical
Centre.

http://riskidwicahyanti.blogspot.co.id/2013/01/toksikologi-obat-obatan.html
Kamis, 10 Januari 2013

Diposting oleh Rizki Dwi Cahyanti di 00.57


TOKSIKOLOGI OBAT Bagian toksikologi ini mencakup :

Uji obat yang potensial terhadap toksisitas atau keamanannya dalam fase praklinik Pada
pengujian praklinik, senyawa yang diuji mula

mula disaring secara farmakologi (
to screen=
menyaring ), yakni sejumlah percobaan pada hewan untuk memperoleh suatu profil kerja suatu
obat secra spesifik. Pada pengujian ini khususnya meneliti tentang : 1.

Ditentukan kerja utamanya serta spektrum kerja kualitatif dan kuantitatif. 2.

Dijelaskan tempat kerja dan mekanisme kerja. 3.

Ditentukan pengaruh berbagai fungsi organ dan juga kespesifikasian dan keselektifan organ. 4.

Diuji apakah dapat diterima tubuh secara lokal dan umum. 5.

Diamati efek samping toksik.

Efek samping ( yang tak diingini ) dari obat, kombinasi obat dan kosmetik pada penggunaan
sesuai petunjuk serta.

Keracunan Akut dan Kronis pada penggunaan obat berlebih. Efek akut dapat menimbulkan
akibat berapa kerusakan syaraf,kerusakan sistem pencernaan,kerusakan sistem
kardiovaskuler,kerusakan sistem pernapasan,kerusakan pada kulit, dan kematian. Sementara itu,
efek kronis dapat menimbulkan efek karsinogenik (pendorong terjadinya kanker)efek mutagenik
(pendorong mutasi sel tubuh),efek teratogenik (pendorong terjadinya cacat bawaan) dan
kerusakan sistem reproduksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi toksis yaitu : 1.

Sifat fisiko kimia bahan 2.

Dosis, cara dan kecepatan penambahan 3.

Kecepatan absorbsi,distribusi,biotransformasi dan ekskresi bahan 4.

Spesies yang diberikan 5.

Berbagai variabel lain yang mempengaruhi reaksi sistem biologis rute masuknya racun

Melalui saluran cerna (ingestion)


Melalui saluran nafas/paru (inhalation)

Melalui kulit (tropikal)

Parental (IM,IV,SC,IP) Tempat kerja bahan toksis : 1.

Lokal,kulit,mukosa saluran nafas,mukosa saluran cerna 2.

Sistemik : sirkulasi => sel/jaringan

Toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang halukat dan mekanisme efek berbahaya
(efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologi lainnya. Apabila
zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang berpotensial
memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat
toksik dari suatu senyawa
tertentu oleh : dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang
ditimbulkan. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpanan mekanisme biologi pada suatu
organisme. Berdasarkan atas waktu terjadinya reaksi toksis dibagi atas: 1.

Reaksi toksis akut Apabila gejala yang membahayakan individu terjadi segera setelah pemberian
bahan (24 jam atau kurang ) Biasanya oleh kerena dosis tunggal/pemberian tiba-tiba suatu bahan
dalam jumlah bahan

depresi berat fungsi fisiologis yang vital Misal :

keracunan akut barbitural

+1-2 jam Depresi pusat pernafasan diotak

Keracunan cyanide ( makan / menghirup gas Cyanide Kematian dl. beberapa menit Cyanide
menghambat enzym- enzym yg mempengaruhi penggunaan O
2
oleh sel Terjadi karena pemberian dosis tak membahayakan kalau diberikan tunggal. Bisa timbul
dari dosis terapi suatu obat bila ada gangguan fungsi mekanisme reaksi untuk menghilangkan
efek obat. Misalnya : Terapi dengan tetrasiklik

ekskrei melalui ginjal Ginjal gagal


akumulasi obat

keracunan 2.

Reaksi toksik kronis Terjadi karena pemberian berulang suatu dahan dimana pemasukan
melebihi kecepatan eliminasi

Bisa terjasi pada pemberian obat dengan waktu paruh panjang / beberapa hari / minggu

atau bulan -

Bisa juga terjadi pada pemberian bahn secara terus menerus walaupun ekskresinya cepat Setiap
pemerian bahan

kerusakan ringan

KERACUNAN KRONIS Misalnya: campuran aspirine phenacetine caffeine (APC) diminum > 1
tahun Kerusakan ginjal yang irreversible
http://www.academia.edu/8688960/Toksikologi_Senyawa_Obat 

Uploaded by

Faril Fistama
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Toksikologi
Obat dan Penanganan Keracunan Umum”. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Devi Ika
K.S, M.Sc selaku dosen mata kuliah Ilmu Resep yang telah memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Slawi, April 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Toksikologi Obat ........................................................... 4
2.2 Model Masuk dan Daya Keracunan ............................................. 5
2.3 Klasifikasi Daya keracunan .......................................................... 9
2.4 Keracunan Obat Spesifik .............................................................. 10
2.5 Penatalaksanaan keracunan dan Overdosis .................................. 19

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.................................................................................... 33
3.2 Saran.............................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun hanya sedikit
yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan mengkonsumsi obat secara
overdosis oleh remaja maupun orang dewasa. Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat
atau produk rumah tangga yang toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir,
sebagai hasil dari kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk pencegahan
keracunan.
Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis yang cepat dan
perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan hati-hati pada korban yang
keracunan menjadi titik penting dalam menangani korban.
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang efek merugikan dari
bahan kimia terhadap organisme hidup. Bahan – bahan yang terkandung pada jenis obat –
obatan, baik obat modern maupun obat tradisional. Sebagian dari masyarakat Indonesia lebih
cenderung mengkonsumsi obat-obatan tanpa mengetahui ada dan tidaknya efek toksik dari
obat yang dikonsumsi. hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat umum
tentang adanya efek toksik yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi obat selain itu juga
dikarenakan minimnya jenis obat – obatan yang telah diteliti dan diketahui kadar
toksisitasnya.
Uji toksisitas sangatlah diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat. hal ini dilakukan
untuk menghindari adanya efek negatif yang timbul bagi kesehatan, baik efek secara
langsung maupun di masa depan. Salah satu organ pada tubuh manusia yang sangat penting
adalah hepar, hepar memiliki fungsi untuk memetabolisme semua jenis bahan obat serta
bahan-bahan asing yang masuk ke tubuh manusia, sehingga apabila terjadi proses sekresi
melalui empedu, maka akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang disebabkan penumpukan
xenobiotik di dalam hepar.
Dal hal ini terapi antidote merupakan tatacara yang secara khusus ditujukan untuk
membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik zat
kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat dalam
mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Berarti, sasaran terapi antidot adalah pengurangan
intensitas efek toksik (Donatus,1997). Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan
diambil, sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu
antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala- gejala toksik dan saat
penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuk memprakirakan
dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal bahan berbahaya
diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan penghambatan absorpsi sudah tidak
diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan penghambatan distribusi atau
peningkatan eliminasinya. Misalnya sekarang, bagaimana tatacara pelaksanaannya masing
masing strategi tersebut (Donatus, 1997).
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas
atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang adapat
diterapkan terhadap sebagian besar zat beracun. Metode khas ialah metode yang hanya
digunakan bila zat beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia
(Donatus,1997).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Apa definisi dari toksikologi obat?
b. Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
c. Apa saja klasifikasi daya keracunan?
d. Apa saja yang termasuk keracunan obat spesifik?
e. Bagaimana penatalaksanaan keracunan dan overdosis?

1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi dari toksikologi obat
b. Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat
c. Mengetahui klasifikasi daya keracunan
d. Mengetahui apa saja keracunan obat spesifik
e. Mengetahui penatalaksanaan keracunan dan overdosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Toksikologi Obat


Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk
hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas penilaian kuantitatif tentang berat
dan kekerapan efek tersebut sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam memperbandingkan
satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa satu zat kimia lebih
toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika
pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang
dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab
itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas
berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit,
atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil dapat mengakibatkan cedera
dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan zat yang bekerja pada tubuh secara
kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit,
atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara
kumulatif. 10
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang
mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi,
persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa
keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat
menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan
kematian.
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di gunakan
dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau
hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang yang
menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat
sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila
tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi,
apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan
menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh
penyembuhan (Anief, 1991).
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.

2.2 Model Masuk Dan Daya Keracunan


Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit, atau
dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat mengakibatkan cederadari
tubuh dengan adanya rekasi kimia (Brunner & Suddarth, 2001). Arti lain dari racun adalah
suatu bahan dimana ketika diserap oleh tubuh organisme makhluk hidup akan menyebabkan
kematian atau perlukaan (Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan,
intravena, kulit, atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat,
lambat, atau secara kumulatif. Keracunan dapat diartikan sebagaisetiap keadaan yang
menunjukkan kelainan multisystem dengan keadaan yang tidak jelas (Arif Mansjor, 1999).
Keracunan melalui inhalasi ( pengobatan dengan cara memberikanobat dalam bentuk uap
kepada si sakit langsung melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan
materi toksik, baik kecelakaan dank arena kesengajaanmerupakan kondisi bahaya kesehatan.
Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih tetapi dengan
pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan. Pasien tidak bermaksud bunuhdiri tetapi
hanya untuk mencari perhatian saja.
b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir dengankematian atau
pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis yang dipakai.
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor kesengajaan.
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain.
2. Mulai waktu terjadi
a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan. Gejala dapat timbul
secara akut setalah pemajanan berkali-kali dalam dosis relative kecil ciri khasnya adalah zat
penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh lebih panjang sehingga terjadi
akumulasi. Keracunan ini diakibatkan oleh keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil
tetapi terus menerus dan efeknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu, bulan,
atau tahun). Misalnya, menghirup uap benzene dan senyawa hidrokarbon terkklorinasi (spt.
Kloroform, karbon tetraklorida) dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan menimbulkan
penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal akan menimbulkan kerusakan dalam
darah.
b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai banyak orang (pada
keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau penduduk sekampung ) gejalanya seperti
sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma. Keracunan ini juga karena pengaruh
sejumlah dosis tertentu yang akibatnya dapat dilihat atau dirasakan dalam waktu pendek.
Contoh, keracunan fenol menyebabkan diare dan gas CO dapat menyebabkan hilang kesdaran
atau kematian dalam waktu singkat.
3. Menurut alat tubuh yang terkena
Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang terkena, contohnya
racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.
4. Menurut jenis bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang sama,
misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan sebagainya.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi),
melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking, dan laba-laba) dan
gigitan ular, melalui makanan yaitu keracunan yang disebabkan oleh perubahan kimia
(fermentasi) dan pembusukan karena kerja bakteri (daging busuk) pada bahan makanan,
misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung asam sianida (HCn), jengkol, tempe
bongkrek, dan racun pada udang maupun kepiting, dan keracunan juga dapat disebabkan
karena penyalahgunaan zat yang terdiri dari penyalahgunaan obat stimultan (Amphetamine),
depresan (Barbiturate), atau halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.

Racun yang sering menyebabkan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan


keracunan dan simptomatisnya: hidung
Asam kuat (nitrit, hidroklorid,
sulfat)
Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan *gelap* pada kulit wajah dan
leher
Asenik (metal arsenic, mercuri, Umumnya seperti diare
tembaga, dll)
Atropine (belladonna), Dilatasi pupil
Skopolamin
Basa kuat (potassium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah, dan
bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Striknin Kejang “konvulsi”, muka dan
leher kebiruan “gelap”

Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita sadar dan tahu
bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun, sedangkan untuk bahaya pada
kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat kimia yang masuk kedalam tubuh.
Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang setiap hari kita
konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, jika kita terlalu banyak
mengkonsumsinya, maka akan membahayakan kesehatan kita. Demikian juga obat yang
lainnya, akan menjadi sangat bermanfaat pada dosis tertentu, jangan terlalu banyak ataupun
sedikit lebih baik berdasarkan resep dokter.
Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga saluran,
yakni:
a. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini sangat jarang
terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung menggunakan mulut atau makan
dan minum di laboratorium.
b. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah aniline,
nitrobenzene, dan asam sianida.
c. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat pernapasan dan
saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan yang terjadi. SO2 (sulfur
dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN,
CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah dan terdistribusi ke seluruh
organ-organ tubuh.
d. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
e. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).

2.3 Klasifikasi Daya Keracunan


Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan lain-lain.
1. Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen Oranye,
Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat
3. Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4. Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)
Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis
penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB

2.4 Keracunan Obat Spesifik


1. Asetaminofen
Efek toksik :
a. Keracunan akut
- Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis, pucat, depresi SSP
- Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen RUQ, hematomegali ringan)
 Prothrombine time mamanjang
 Bilirubin serum meningkat
 Aktivitas transaminase meningkat
 Gangguan fungsi ginjal
b. Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
 Prothrombine time mamanjang > 2x
 Bilirubin serum > 4 mg/dl
 pH < 7,3
 Kreatinin serum > 3,3
c. Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada penderita alkoholik, dapat
sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal yang berat, disertai dehidrasi, icterus, koaguloathi,
hipoglikemi, dan ATN.

Terapi :
a. Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif
b. Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
 Antidote : N-acetylcysteine p.o yang dilarutkan dalam cairan (bukan alcohol, bukan susu)
dengan perbandinagn 3:1 Loading dose : 140 mg/kgBB. Maintenance dose 70 mg/kgBB tiap
4 jam (dapat diulang sampai 17x). efek samping : mual, muntah, epigastric discomfort.
 Antiemetic (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)
 Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
 Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati
2. Obat Anti Kolinergik
Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan kronik dalam 1-3
hari setelah pemberian terapi dimulai.
Efek Toksik :
a. Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi, gangguan pergerakan
(choreo-athetoid dan gerakan memetik)
b. Letargi
c. Depresi nafas
d. Koma
e. Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil, kulit & mukosa
menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya nadi, tensi, respirasi, dan suhu.
f. Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabdomiolisis dan
hipertermi
g. Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h. Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval DT dengan takiaritmia
ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a. Korban aktif
b. Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c. Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d. Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidote : physostigmine (inhibitorasetilkolin-
esterase). Dosis : 1-2 mg i.v. dalam 2-5 menit (dosis dapat diulang)
e. Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma, gangguan konduksi jantung,
atau aritmia ventrikel.
3. Benzodiazepine
Efek Toksik
a. Eksitasi paradoksal
b. Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c. Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan
kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)
Terapi over dosis benzodiazepine
a. Karbon aktif
b. Respiratory support bila perlu
c. Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang diinginkan atau
mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi replase, dapat diulang dengan interval 20 menit,
dengan dosis maksimum 3 mg/jam.
Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan trisiklik antidepresan, atau
penderita ketergantungan benzodiazepine.
Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.
4. -Blocker
Efek toksik :
Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. -blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c. Efek toksik pada SSP : kejang
d. Kulit : pucat & dingin
e. Jarang : bronkospasme dan edema paru
f. Hiperkalemi
g. Hipoglikemi
h. Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi nafas)
i. EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar, asistol
j. Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de pointes
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
c. Pada keracunan berat :
1. Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus
2. Calcium
3. Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
4. Pacu jantung (internal/eksternal)
5. IABP
a) Pada kejadian bronkospasme : inhalasi -agonis, epinefrin s.c., aminofilin i.v.
b) Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain, Mg, overdrive pacing
c) Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol : dapat dilakukan prosedur
ekstrakorporeal
5. Calcium Channel Blocker (CCB)
Efek toksik :
mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c. Kejang
d. Hipotensi  iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard  edema paru
e. EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan interval QT (terutama karena
verapamil); gambaran iskemi/infark, asistol
f. Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g. Hiperglikemi
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi simptomatis :
1) atropin
2) Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30 cc i.v. dalam >2 menit
(dapat diulang sampai 4x).
i. Bila terjadi relaps setelah dosis inisial, diberikan infus calcium
kontinu : 0,2 cc/kgBB/jam sampai maksimal 10cc/jam.
3) isoproterenol
4) glukagon (dosis seperti pada overdosis -blocker)
5) electrical pacing (internal/eksternal)
c. Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan
d. Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk mengembalikan
metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas miokard dengan : regular insulin dosis
tinggi (0,1 – 0,2 U/kgBB bolus i.v. diikuti dengan 0,1 – 1 U/kgBB/jam, bersama dengan
glukosa 25 gr bolus, diikuti infus glukosa 20% 1 gr/kgBB/jam, serta kalium).
e. Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan cairan.
f. Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)
g. Pada shock refrakter : I A B P.
6. Karbon Monoksida
Efek toksik :
a. Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat, peroksidasi lemak, dan
pembentukan radikal bebas.
b. Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c. Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,
d. Kekakuan, dan pingsan
e. Mual, muntah, diare
f. Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
g. Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung, dan hipotensi
h. Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat yang tertekan
i. Creatin kinase serum meningkat
j. Laktat dehidrogenase serum meningkat
k. Nekrosis otot  mioglobinuria  gagal ginjal
l. Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai edema papil atau
atrofi optic
m. Metabolik asidosis
n. Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)
o. Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna merah ceri)
p. Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele neuropsikiatrik (perubahan
kepribadian, gangguan kecerdasan, buta, tuli, inkoordinasi, dan parkinsonism) dalam 1-3
minggu setelah paparan
7. Glikosida Jantung
Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin denyut jantung
yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau terdapat irama jantung yang ireguler
dengan konsisten.
Efek toksik :
a. Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b. Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi; meningkatnya after
depolarization
c. EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus bradikardi, berbagai
derajat AV block, kontraksi ventrikel premature, bigemini, VT, VF
d. Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT dengan AV block
derajat 2; AF dengan AV block derajat 3) atau adanya bi-directional VT ) sangat sugestif
untuk menilai adanya keracunan glikosida jantung
e. Muntah
f. Konfusi, delirium
g. Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h. Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i. Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang

b. Koreksi K, Mg, Ca

c. Koreksi hipoksia

d. Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine, epinefrin, dan dapat saja

fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15 mg/kg), serta isoproterenol

e. Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan amiodaron

f. Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-specific Fab-fragmen

antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial antidot (40 mg) dapat menetralisir 0,6 mg

digoksin. Biasanya pada keracunan akut diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-15 vial.

g. Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5 mEq/lt (walaupun tanpa

disritmia), antidot harus diberikan.

h. Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)

i. Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)

8. Obat-obatan golongan NSAID


Efek toksik :
a. Mual, muntah, nyeri perut
b. Mengantuk, sakit kepala
c. Glikosuri, hematuri, proteinuria
d. Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
e. Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat
f. Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi nafas, kejang,
kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering mengakibatkan : asidosis metabolic.
g. Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang
h. Ketoprofen dan naproxen : kejang
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang
b. Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.
SALISILAT (termasuk aspirin)
Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna ungu.
Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150 mg/kgBB) :
a. Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea  dehidrasi dan menurunnya fungsi ginjal
b. Demam, tinitus, letargi, konfusi
c. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi ekskresi bikarbonat melalui
urine
d. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan ketosis
e. Alkalemia dan asiduria paradoksal
f. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g. Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h. Prothrombin time memanjang
i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps kardiovaskuler,
serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat ini terjadi asidemia dan asiduria
(asidosis metabolik dengan alkalosis/asidosis respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :


a. Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah terjadi dalam 12-24
jam
b. Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya dilakukan lavase lambung
dan irigasi seluruh usus
c. Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar lambung
d. Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar glukosanya terus dipantau
e. Saline i.v. sampai beberapa liter
f. Suplemen glukosa
g. Oksigen
h. Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic
i. Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
j. Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi diuresis: edema
otak/paru, gagal ginjal
k. 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan infus saline-dekstrose
dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
l. Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans cairan
m. Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat mendekati/>100 mg/dl setelah
overdosis akut, atau bila ditemukan kontraindikasi/kegagalan prosedur di atas

2.5 Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis


a. Prinsip umum.
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital, mencegah
absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot spesifik, dan
mencegah paparan ulang.
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun,
selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan
farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan amatlah penting.
Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah
dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan singkat
Juga disarankan pemasangan i.v. line dan monitoring jantung, khususnya pada
penderita keracunan per oral serius atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara lambat
atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan toksikologi darah
dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi. Selama absorpsi dan
distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi dibandingkan kadar di
jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan toksisitasnya. Namun bila metabolit
racun tinggi kadarnya dalam darah dan lebih toksik dibanding bentuk asalnya
(asetaminofen, etilen glikol, atau methanol), maka diperlukan intervensi tambahan (antidot,
dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4-6 jam,
dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila terdapat keracunan
per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan motilitas usus dimana
disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan sendirinya juga lebih lambat. Pada racun yang
dalam tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya efek
puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis dan laboratorium. Setelah
overdosis, akan segera timbul efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap
bertahan lebih lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan pada dosis terapi. Prioritas
pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang
simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen, monitoring
jantung, dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat
berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma maupun
kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila kadarnya normal),
naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya percepatan eliminasi
racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan konfirmasi laboratoris. Dialisis intestinal
dengan pemberian karbon aktif berulang biasanya aman dan dapat mempercepat eliminasi.
Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat eliminasi sejumlah kecil racun, serta
memiliki potensi komplikasi. Metode ekstrakorporeal efektif untuk mengeluarkan banyak
racun, tetapi biaya dan resikonya juga besar, sehingga penggunaanya terbatas pada.keracunan
berat.
Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan
sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena bahan-bahan kimia
dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari jaringan, maka kadarnya dalam
darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan sehingga tidak berkorelasi dengan
toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan
dapat menyebabkan peningkatan balik racun dalam darah setelah selesainya prosedur ini. Bila
metabolit racun yang menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita yang telah
asimtomatis tetap harus diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik kadarnya
metabolitnya dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
b. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan homeostasis
fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta mengobati
komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak & paru, pneumonia,
rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik, dan disfungsi organ
menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU
adalah sebagai berikut:
1. Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas konduksi jantung,
aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)
2. Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi percepatan eliminasi racun
3. Penderita dengan kemunduran klinis progresif
4. Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada pelayanan kesehatan
umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD, tergantung dari lamanya kejadian
keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis intermiten vs kontinu,
monitoring jantung dan pernafasan).
Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan pemeriksaan kontinu
untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai tidak mungkin lagi dilakukan upaya-
upaya lebih lanjut.

c. Penatalaksanaan problem respirasi


Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting untuk
dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi ini dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi sering tidak
akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling baik ditentukan dari pemeriksaan oksimetri
atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat dipercaya untuk menilai
perlunya intubasi. Paling baik dilakukan intubasi profilaksis pada penderita yang tidak
mampu berespon terhadap suara, maupun yang tidak mampu duduk atau minum tanpa
dibantu.
Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan untuk
memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia, asidosis, dan
rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas neuromuskuler.
Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak. Edema paru
kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita abnormalitas konduksi jantung
Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting untuk mengetahui etiologi dan dapat langsung
sebagai terapi.
Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran ekstrakorporeal (
oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass kardiopulmoner), ventilasi parsial cairan
(perfluorokarbon), dan terapi oksigen hiperbarik.
d. Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk pemulihan tuntas ketika
racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang tidak responsif dengan ekspasi volume,
dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan tindakan intraaortic
balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi venoarterial atau kardiopulmoner. Pada
keracunan -blocker dan calcium channel blocker, efektif diberikan glukagon dan kalsium.
Terapi antibodi antidigoxin dan pemberian Mg diindikasikan untuk kasus keracunan
glikosida jantung yang berat.
SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu disebabkan
karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara menyeluruh. Kebanyakan
kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan hanya memerlukan observasi atau sedasi
nonspesifik dengan benzodiazepin. Sedangkan SVT tanpa hipertensi pada umumnya
merupakan akibat sekunder dari vasodilatasi atau hipovolemia, dan berespon dengan
pemberian cairan. Terapi spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang berhubungan
dengan instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia.
Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan kombinasi  dan 
blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil atau diltiazem), atau kombinasi 
blocker – vasodilator (esmolol dan nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk penderita
keracunan antikolinergik, terapi terpilihnya adalah pemberian physostigmine.
Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila diberikan lidokain dan
fenitoin. Namun pemberian  blocker dapat berbahaya, kecuali bila aritmia jelas disebabkan
karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi kelas IA, IC, dan III merupakan kontraindikasi
untuk diberikan pada VT karena antidepresan trisiklik dan karena obat-obatan membran aktif
(karena efek elektrofisiologik yang mirip), tetapi pemberian sodium bicarbonate dapat
membantu.
Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT, pemberian Mg
sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau pacemaker) akan membant.
Rekaman EKG invasive (esofagel atau intracardiak), dibutuhkan untuk menentukan
dari mana takikardia kompleks lebar berasal (ventricular atau supraventricular).
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja daripada
diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia dapat resisten terhadap terapi sampai
keseimbangan asam-basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan suhu dikoreksi.
e. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke hipertermia,
asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan harus diterapi secara agresif.
Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor katekolamin (pada keracunan simpatomimetik
atau halusinogen dan putus obat) atau kejang akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan
INH) atau kejang karena reseptor glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi dengan
peningkatan efek GABA seperti dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi
dengan ke-2 obat ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat memanjangkan
lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon GABA.
Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA memerlukan
piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA. Kejang yang berasal dari
destabilisasi membran (keracunan  blocker antidepresan siklik) akan memerlukan anti
konvulsan membran aktif seperti fenitoin sebagaimana yang meningkatkan GABA.
Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidine), pemberian agen yang
aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan berguna. Pada keracunan antikolinergik
dan sianida, diperlukan terapi antidot spesifik. Sedangkan kejang yang terjadi sekunder akibat
iskemi, edema, atau abnormalitas metabolik, harus dikoreksi dari penyakit dasarnya. Pada
kejang refrakter diindikasikan upaya paralisis neuromuskuler. Monitoring EEG dan terapi
berkelanjutan penting untuk mencegah kerusakan neurologik permanen. Keadaan suhu yang
ekstrim, abnormalitas metabolik, disfungsi hati & ginjal, dan komplikasi sekunder harus
diterapi sesuai standar.

f. Pencegahan Absorpsi Racun


1. Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana yang akan
dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan
terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta beratnya
keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan sukarelawan menunjukkan bahwa
efektivitas dari karbon aktif, lavase lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu
keracunan. Tidak cukup data untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan hal-hal tsb.
pada keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.
Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah lebih dari
1 jam setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan
sampai timbul gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita akan sembuh dari keracunan
dengan semata-mata perawatan suportif yang baik, namun komplikasi dari dekontaminasi
gastrointestinal khususnya aspirasi, dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini
dilakukan secara selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan bilamana
toksisitas diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek toksik maksimal sudah terlewati
tanpa efek signifikan.
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya & komplikasinya lebih sedikit,
lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai, dibandingkan ipecac atau lavase lambung. Karbon
aktif merupakan metoda dekontaminasi gastrointestinal yang terpilih untuk sebagian besar
kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai suspensi dalam air, baik sendiri atau dengan
suatu katartik. Diberikan per oral melalui botol susu pada bayi atau melalui cangkirsedotan,
atau NGT berkaliber kecil. Dosis yang direkomendasikan : 1 gr/kgBB dengan 8 ml pelarut
untuk tiap gram karbon aktif. Untuk memperbaiki rasanya, dapat ditambahkan pemanis
(sorbitol), atau penambah rasa (ceri, coklat, atau cola) dalam suspensinya.
Karbon menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan kompleks karbon-
toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat juga dikeluarkan dari lambung dengan
induksi muntah atau lavase. Secara in vitro, karbon menyerap >= 90% dari sebagian besar
jenis racun bila diberikan dalam jumlah10x lipat berat racun.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida yang terdisosiasi
amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya, tidak diserap dengan baik
oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan, karbon rata-rata akan menyerap 73%
ingestan bila diberikan dalam 5 menit setelah pemberian ingestan, menyerap 51% bila
diberikan dalam 30 menit, dan 36% dalam 1 jam. Karbon paling tidak sama efektifnya
dengan sirup ipecac atau lavase lambung. Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan
pemberian karbon aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja; pemberian karbon aktif
sebelum dan sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun kenyataannya pada penderita
keracunan yang diberikan karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di
atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi. Karbon
aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan yang diberikan per oral. Komplikasi
pemberian karbon aktif meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas, aspirasi, muntah,
obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif : penderita dengan keracunan agen
korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi secara
bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui tube orogastrik No.28 (French) pada anak dan
No. 40 pada dewasa. Kecuali pada bayi, tap cairan dapat dilakukan. Penderita dalam posisi
Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk mencegah aspirasi (kecuali bila sudah
dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira sama dengan ipecac.
Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi (terjadi pada >10% penderita), khususnya
pada lavase yang kurang benar. Komplikasi serius berupa lavase trakheal, perforasi esofagus
dan gaster, terjadi kira-kira pada hampir 1% penderita. Karenanya dokter harus melakukan
sendiri pemasangan tube lavage dan mengkonfirmasi letaknya dan pasien juga harus
kooperatif atau diberi sedasi bila perlu selama prosedur.
Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan korosif atau petroleum
distilate peroral karena bisa saja terjadi perforasi gastroesofageal dan aspiration induced
hydrocarbon pneumonitis.
Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih usus yang
mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan tube
gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada dewasa, sampai
diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi duduk. Irigasi seluruh usus
mungkin sama efektifnya dengan prosedur dekontaminasi yang lain. Irigasi usus dapat
dilakukan pada penderita yang tertelan benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas
lambat atau tablet salut dan agen yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif misalnya (logam
berat).
Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus, hemodinamik yang tidak
stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.
Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan sulfat, serta sodium
sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol), merangsang evakuasi rektal dari isi
lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan dosis 1-2 gram/kgBB.
Katartik tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan dan sebaiknya tidak digunakan
untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya adalah untuk mencegah konstipasi pada
pemberian karbon aktif.
Efek samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang muntah.Komplikasi
dosis katartik yang berulang berupa hipermagnesemia dan diare yang hebat. Katartik
dikontraindikasi kan pada penderita keracunan bahan korosif peroral dan pada penderita yang
sedang diare. Katartik yang mengandung magnesium tidak boleh dipakai pada penderita
gagal ginjal.
Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kgBB atau cairan jernih lainnya) harus dilakukan
sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa). Namun dilusi juga
meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi) dari kapsul, tablet, dan bahan
padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada keracunan karena bahan-bahan ini.
Pada keadaan yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau pembedahan untuk
mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan tertelan benda asing yang potensial toksik,
dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract, keracunan logam berat dalam jumlah yang
potensial mematikan (arsen, besi, merkuri, thalium) atau bahan yang bersatu dengan isi
lambung atau bezoar (barbiturat, glutetimid, logam berat, lithium, meprobamat, preparat
lepas lambat). Penderita yang menjadi toksik karena kokain akibat kebocoran dari banyak
bungkus obat yang ditelan membutuhkan intervensi bedah segera.
2. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih lainnya yang
dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur topikal (kecuali logam alkali,
kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata dipilih salin sedangkan untuk dekontaminasi kulit
paling baik dilakukan triple wash (air-sabun-air). Paparan racun melalui inhalasi harus
diobati dengan udara segar atau oksigen.

g. Percepatan eliminasi racun


Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang nyata atau yang
diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan resiko terapi.
1. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat eliminasi substansi yang
sebelumnya diabsorpsi dengan cara mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan melalui
empedu, disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau difusi pasif kedalam lumen usus
(absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler). Dosis yang direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB
tiap 2-4 jam, diberikan untuk mencegah regurgitasi pada pasien dengan motilitas
gastrointestinal yang berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat eliminasi hampir
semua substansi. Efektifitas farmakokinetiknya mendekati seperti hemodialisis untuk
beberapa agen (misalnya fenobarbital, teofilin). Terapi dosis multipel ini tidak efektif dalam
mempercepat eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan yang tidak bisa diserap
oleh karbon. Komplikasinya berupa obstruksi usus, pseudoobstruksi, dan infark usus
nonoklusif pada penderita-penderita dengan motilitas usus yang rendah.
2. Diuresis paksa dan perubahan pH urin
Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah reabsorpsi renal
dari racun yang mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus dan sekresi aktif tubuler. Karena
membran lebih permeable terhadap molekul yang tidak terion dibandingkan yang dapat
terion, racun-racun yang asam (pKa rendah) akan diionisasi dan terkumpul dalam urin yang
basa. Sebaliknya racun-racun yang sifatnya basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin
yang asam.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida, kalsium,
fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam) mempercepat eliminasi
dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal, fluorida, metotreksat,
fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan edema
otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin, kokain, anestetik
local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine, simpatomimetik, antidepresan trisiklik, dan
tokainid. Namun penggunaannya banyak dilarang karena potensial terjadi komplikasi dan
efektifitas kliniknya tidak banyak.
h. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal
Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin, hemofiltrasi,
plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk mengeluarkan toksin dari aliran
darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini adalah :
1. Penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis walaupun sudah diberi
terapi suportif yang agresif;
2. Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan, ireversibel, atau fatal;
3. Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
4. Penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi alami seperti pada
penderita gagal hati atau gagal ginjal;
5. Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang berat
Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM rendah(<500 Da),
larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume distribusi kecil (< 1
liter/kgBB), eliminasi memanjang (waktu paruh panjang), dan memiliki bersihan dialisis
yang tinggi relatif terhadap bersihan total dari badan. Berat molekul, kelarutan dalam air, atau
ikatan dengan protein, tidak mengurangi efektivitas metode ekstrakorporeal yang lainnya.
Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat, bromida, chloral
hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium, methanol, procainamide, teofilin,
salisilat, dan mungkin logam berat.
Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan beberapa racun,
namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas asam-basa dan elektrolit.
Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan : karbamazepin,
kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat, ethchlorvynol, glutethimide,
meprobamat, methaqualone), paraquat, fenitoin, prokainamid, teofilin, dan valproat.
Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-sama memerlukan akses vena
sentral dan antikoagulan sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi sementara.
Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan hemolisis, hipokalsemia, dan trombositopenia.
Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi metode ini
dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal lainnya, baik karena
terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya pada bayi).
Tranfusi ganti mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi eritrosit (seperti pada
methemoglobinemia, atau arsen–induced hemolysis).
i. Tehnik eliminasi lainnya
Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi. Pengeluaran karbon
monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.
1. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun (reaksi
antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis racun
(mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/
reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan : asetaminofen,
agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, -blocker, CCB, CO, glikosida jantung,
agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen glikol, fluorida, logam
berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik,
Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar juga potensial
toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan identifikasi yang benar keracunan
spesifik atau sindromnya.
2. Pencegahan Paparan Ulang
Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang pernah terpapar
racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat dan bahan kimia yang
aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita yang menurun kesadarannya harus
dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh petugas kesehatan membu-
tuhkan pendidikan khusus bagi mereka. Penderita harus diingatkan untuk menghindari
lingkungan yang terpapar bahan kimia penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan
instansi terkait juga harus diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem-
pat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah membatasi
jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/ minuman tsb.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi, dan
follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas dan dimonitor
kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.
b. Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a) Self poisoning
b) Attempted Suicide
c) Accidental poisoning
d) Homicidal poisoning
2. Mulai waktu terjadi
a) Keracunan kronik
b) Keracunan akut
3. Menurut alat tubuh yang terkena
4. Menurut jenis bahan kimia
c. Klasifikasi daya racun
Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis
penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 4 – 50 MG/KG BB

d. Keracunan obat spesifik diantaranya : Asetaminofen, Obat Anti Kolinergik, Benzodiazepine,


-Blocker, Calcium Channel Blocker (CCB), Karbon Monoksida, Glikosida Jantung, Obat-
obatan golongan NSAID.
e. Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital, mencegah
absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian antidot spesifik, dan
mencegah paparan ulang.

4.1 SARAN
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan kedepannya agar
penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Donatus, I. A., 1997. Toksikologi Pangan, Edisi Pertama, Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi.
Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning and Drug Overdosage in Harrison’s Principles of Internal
Medicine Vol.2, 16thedition, International Edition, McGraw Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang: IKIP Semarang.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel, Skeet. 1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan Pertama.Edisi
2. Jakatra:EGC
Press B, Immaduddin. 2008. Bahan Kimia Beracun atau Toksik.
(http://imadanalyzeartikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan-kimia- beracun-atau
toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC

http://sidfirman82.blogspot.co.id/2017/07/toksikologi-obat-dan-
penanganan.html Firman S P
Juli 03, 2017 Brebes, Jawa Tengah

Anda mungkin juga menyukai