Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TOKSIKOLOGI VETERINER

TOKSIKOLOI OBAT
GOLONGAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID

Oleh :
Velia Chyntia Victoria
1609511033
2016 C

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
kuasa-Nyalah penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Toksikologi
Obat Golongan Obat Anti Inflamasi Non Steroid” dengan baik.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Toksikologi
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Pada kesempatan
ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Drh. I Wayan Sudira, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah
Toksikologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana
yang telah membimbing selama proses perkuliahan berlangsung.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan paper ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kebaikan dari
paper ini serta paper selanjutnya yang akan dibuat.

Denpasar, 8 Mei 2018


Hormat kami,

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keracunan sering terjadi di lingkungan sekitar dari yang yang
berefek ringan hingga fatal. Meskipun obat dapat menyembuhkan
penyakit, tetapi masih banyak yang menderita akibat keracunan obat.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat
dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat
apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis
dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam
pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan
keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh
penyembuhan (Anief, 1991). Oleh karena itu, toksikologi sangat penting
dipelajari untuk menangi kasus tersebut. Toksikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang efek merugikan dari bahan kimia
terhadap organisme hdup.
Toksikologi obat adalah ilmu yang mempelajari tentang keracunan
obat yang terjadi karena penggunaan obat yang berlebihan. Toksisitas
atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebihan
atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolism
atau ekskresi. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh dosis,
konsentrasi dan sifat zat tersebut. Sedangkan toksisitas adalah
kemampuan suatu zat asing atau xenobiotic dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada di
lingkungan.
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan
untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk
memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991). Golongan
obat anti inflamasi non steroid menimbulkan toksisitas pada organisme.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang dapat
diambil adalah sebagai berikut.
1.2.1 Apa itu toksisitas obat?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan obat anti inflamasi non steroid?
1.2.3 Bagaimana toksisitas dari obat golongan anti inflamasi non steroid?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan paper ini adalah
sebagai berikut.
1.3.1 Memahami pengertian toksisitas obat
1.3.2 Mengenal lebih detail tentang obat anti inflamasi non steroid
1.3.3 Mengetahui toksisitas obat golongan anti inflamasi non steroid

1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan paper ini adalah untuk menanbah pengetahuan
dan informasi bagi pembaca dan diharapkan dapat bermanfaat bagi kita
semua dalam proses pembelajaran toksikologi obat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Toksisitas Obat


Toksisitas mengacu pada seberapa beracun atau berbahaya suatu zat.
Dalam farmakologi, keracunan obat terjadi ketika seseorang telah
mengumpulkan terlalu banyak obat dalam aliran darahnya yang
menyebabkan efek buruk pada tubuh. Toksisitas obat dapat terjadi ketika
dosis yang diberikan terlalu tinggi. Kondisi hati atau ginjal tidak dapat
mengeluarkan obat dari aliran darah sehingga terakumulasi dalam tubuh.
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebihan atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan
metabolism atau ekskresi. Toksisitas adalah kualitas yang beracun atau
berbahaya; sering digunakanuntuk merujuk pada efek samping. Efek samping
adalah suatu dampak atau pengaruh yang merugikan dan tidak diinginkan,
yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau intervensi lain seperti
pembedahan. Kontraindikasi adalah situasi diaman aplikasi obat atau terapi
tertentu tidak dianjurkan, karena dapat meningkatkan resiko terhadap pasien.

2.2 Pengertian Obat Anti Inflamasi Non Steroid


Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia
heterogen menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan
sintesis prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakidonat
(Dorland,2002).
Hingga saat ini, obat AINS banyak digunakan sebagai peresepan yang
utama. Di banyak negara, obat AINS terutama digunakan untuk gejala yang
berhubungan dengan osteoarthritis. Indikasi lain meliputi sindroma nyeri
miofasial, gout, demam, dismenore, migrain, nyeri perioperatif, dan profilaksis
stroke dan infark miokard. Obat AINS memiliki spektrum luas dalam klinis,
sehingga banyak digunakan sebagai peresepan (Harder & An, 2003).
NSAID merupakan golongan obat yang relatif aman, namun ada 2 macam
efek samping utama yang ditimbulkannya, yaitu efek samping pada saluran
pencernaan (mual, muntah, diare, pendarahan lambung, dan dispepsia) serta
efek samping pada ginjal (penahanan garam dan cairan, dan hipertensi). Efek
samping ini tergantung pada dosis yang digunakan.
Aktivitas antiinflamasi obat AINS mempunyai mekanisme kerja melalu
ipenghambatan biosintesis prostaglandin. Aspirin dan obat AINS yang lain,
menghambat seluruh aktivitas jalur siklooksigenase dan seluruh sintesis
prostaglandin. Terdapat 2 bentuk siklooksigenase (COX) yang disebut dengan
COX-1 dan COX-2. COX-1 diekspresikan pada mukosa lambung.
Prostaglandin mukosa yang dihasilkan oleh COX-1 bersifat protektif terhadap
kerusakan yang diinduksi asam. Penghambatan COX-1 dan COX-2
mengurangi inflamasi dengan menghambat sintesis prostaglandin dan juga
predisposisi dari ulkus lambung. Untuk mendapatkan efek antiinflamasi dari
penghambatan COX dan pencegahan efek merugikan pada mukosa lambung,
saat ini telah tersedia COX-2 inhibitor (Mitchell & Cotran, 2003).
Selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2 bervariasi dan tidak lengkap.
Misal, tes tehadap enzim tikus, aspirin, indometasin, piroksikam, dan sulindak
dianggap lebih efektif menghambat COX-1. Ibuprofen dan meklofenamat
mempengaruhi COX-1 dan COX-2 sama besarnya. Metabolit aktif nabumeton
sedikit agak selektif terhadap COX-2. Celecoxib dan rofecoxib telah
dikembangkan lebih selektif terhadap enzim COX-2 (Meade, 1993 cit Katzung
&Payan, 1998; Harder & An, 2003).
Selama pengobatan dengan obat AINS, peradangan berkurang dengan
menurunnya pelepasan mediator dari granulosit, basofil, dan sel mast. Obat-
obat AINS menurunkan kepekaan pembuluh darah terhadap bradikinin dan
histamin, mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan melawan
vasodilatasi. Obat-obatan AINS menghambat agregasi trombosit dan bersifat
iritasi terhadap lambung (Katzung & Payan, 1998).
Karena pentingnya ulserasi lambung pada penderita yang mendapat
dosis antiinflamasi obat AINS, maka perlu dipertimbangkan usaha
pencegahan komplikasi atau mengurangi keparahannya. Analog
prostaglandin E1 (misoprostol) menghambat sekresi asam lambung pada
beberapa dosis dan mungkin juga meningkatkan sekresi faktor pelindung
mukosa lambung (misal,bikarbonat). Misoprostol diberikan pada pemakai obat
AINS yang mudah mendapat tukak lambung (Katzung & Payan, 1998).
2.3 Toksisitas Obat Golongan Anti Inflamasi Non steroid
 Derivat Asam Salisilat
1. Aspirin
Intoksikasi salisilat bisa ringan atau berat. Bentuk ringan
disebut salisilismus dan ditandai dengan mual, muntah,
hiperventilasi yang jelas, nyeri kepala, “mental confusion”,
pusing dan tinnitus (telinga berdengung). Jika diberikan salisilat
dosis besar, dapat terjadi intoksikasi salisilat yang berat.
Gejala-gejala yang telah disebutkan di atas yaitu, kelelahan,
delirium, halusinasi, konvulsi, koma, asidosis pernapasan dan
metabolik, dan kematian karena kegagalan pernapasan.
Intoksikasi salisilat lebih cenderung terjadi pada anak-anak.
Penelanan aspirin sekecil 10 g (atau 5g metil salisilat, yang
digunakan sebagai obat gosok dalam minyak) dapat
menyebabkan kematian.
Pengobatan salisilismus harus termasuk pengukuran
konsentrasi salisilat dalam serum dan pH untuk menunjukkan
bentuk terapi yang baik. Pada kasus yang ringan, pengobatan
simtomatik biasanya sudah cukup. Peningkatan pH urine
meningkatkan eliminasi salisilat. Pada kasus berat,
pengukuran yang diharuskan termasuk pemberian cairan
intravena, dialisis (hemodialisis atau dialisis peritoneal), dan
penetapan dan koreksi asam basa serta keseimbangan
elektrolit. (catatan diflunisal tidak menyebabkan salisilismus)

2. Diflunisal
Toksisitas diflunisal mirip dengan asam salisilat. Dengan
pengecualian pengaruh terhadap fungsi trombosit, yang hanya
sangat lemah.

 Derivat Asam Propionat


1. Ibuprofen
Gejala-gejala overdosis ibuprofen mirip dengan gejala yang
disebabkan oleh overdosis Obat AINS lainnya. Kolerasi antara
tingkat keparahan gejala dengan kadar ibuprofen dalam
plasmah darahpernah ditemukan. Efek racun tidak mungkin
muncul pada dosis dibawah 100mg/kg tetapi saatdiatas
400mg/kg (sekitar 150 tablet dari 200unitmg). Dosis letal sukar
ditentukan karena bervariasi tergantung dari usia, berat badan,
dan penyakit pada pasien. Terapi untuk over dosis dalam kasus
awal adalah dekontaminasi lambung menggunakan arang aktif,
arang menyerap obat sebelum bisa masuk kesirkulasi sistemik.
Lavage lambung sekarang jarang digunakan, namun dapat
dipertimbangkan jika jumlah yang dikomsumsi secara potensial
mengancam kehidupan dan dapat dilakukan dalam waktu 60
menit setelah menelan. Emesis tidak dianjurkan. mayoritas
komsumsi ibuprofen hanya menghasilkan efek ringan dan
pengelolaan overdosis sangatlah mudah. Standar langkah-
langkah untuk mempertahankan outputurine normal harus
dilakukan dan fungsi ginjal harus dipantau. Ibuprofen memiliki
sifat asam dan juga diekskresikan dalam urine, diuresis paksa
alkali secara teori menguntungkan. Namun, karena ibuprofen
sangat terikat protein dalam darah, sehingga eksresi dari ginjal
minimal. Diuresis paksa alkalin mempunyai manfaat yang
terbatas.
Terapi simtomatis untuk hipotensi, perdarahan GI, asidosis
dan toksisitas ginjal dapat diindikasikan. Kadang-kadang,
pemantauan ketat diunit perawatan intensif selama beberapa
hari diperlukan. Jika seorang pasien bertahan pada keracunan
akut, mereka biasanya tidak akan mengalami gejala ulang.

2. Naproksen
Obat ini dapat mengakibatkan efek toksik yang disebabkan
oleh overdosis, mengakibatkan resiko yang sangat fatal dan
sangat serius pada pencernaan. Dan toksisitas timbul obat ini
tergantung dari dosis yang diberikan.

3. Ketoprofen
Obat ini dapat meningkatkan resiko gangguan jantung atau
sirkulasi darah yang mengancam jiwa seperti, serangan
jantung atau strok. Jangan menggunakan obat ini sesaat atau
sebelum menjalani operasi arteri koroner atau CABG.
Ketoprofen dapat juga meningkatkan resiko efek serius pada
perut atau pencernaan, termasuk berdarah atau berlubang,
kondisi ini dapat menjadi fatal dan efek gastrointestinal dapat
terjadi tanpa peringatan kapan pun ketika anda menggunakan
ketoprofen. Mereka yang berusia lanjut dapat memiliki resiko
yang lebih besar dari efek samping gastrointestinal yang serius
ini.

 Derivat Asam Fenamat


1. Asam Mefenamat
Toksisitas asam mefenamat timbul jika telah diberikan
pemakaian lebih dari 7 hari akan mengakibatkan peradangan
pada lambung, dan perdarahan panjang. Jika pemakaian dosis
lebih akan mengakibatkan diare yang hebat.

 Derivat Asam Fenilsetat


1. Diklofenac
Kira-kira 20% dari pasien terkena distres gastrointestinal,
perdarahan gastrointestinal yang terselubung dan timbulnya
ulserasi lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang terjadi
daripada dengan beberapa AINS lainnya. Sebuah kombinasi
antara diklofenac dan misoprostol mengurangi ulkus pada
gastrointestinal bagian atas tetapi bisa mengakibatkan diare.
Peningkatan serum aminotrasferases lebih umum bisa terjadi
dengan obat ini dari pada dengan AINS lainnya.

 Derivat Asam Asetat-inden


1. Indometasin
Indometasin menimbulkan insidensi efek toksik yang tinggi
yang berhubungan dengan dosis. Efek terhadap saluran cerna
meliputi nyeri abdomen, diare, perdarahan saluran cerna, dan
pankreatitis. Nyeri kepala yang hebat dialami oleh 20-25%
penderita dan mungkin disertai dengan pusing, bingung, dan
depresi. Indometasin juga pernah dilaporkan menyebabkan
agranulositosis, anemia aplastik, dan trombositopenia.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner pernah dilaporkan.
Hiperkalemia dapat terjadi akibat hambatan kuat terhadap
biosintesis di ginjal.

2. Sulindak
Sulindak menimbulkan efek toksik yang tinggi jika
pemakaian dosis yang berlebihan. Efek yang timbul akan
mengakibatkan kerusakan saluran cerna dan perdarahan
panjang meningkatnya toksisitas hematologik atau agens anti
inflamasinon steroid lainnya dan meningkatnya kadar serum
dan toksisitas litium.

 Derivat Pirazolon
1. Fenilbutazon
Fenilbutazon dapat menimbulkan koma, trismus, kejang
tonik dan klonik, syok, asidosis metabolik, depresi sumsum
tulang, proteinuria, hematuria, oliguria, gagal ginjal, dan icterus
hepatoselular.

 Derivat Amino Fenol


1. Acetaminofen
Asetaminofen adalah salah satu obat yang paling sering
digunakan untuk percobaan bunuh diri, atau kecelakaan
sehingga terjadi over dosis. Dosis lebih dari 150– 200 mg/kg bb
(anak) atau 7 g total (dewasa) dianggap potensial toksik.
Metabolit toksik akan terikat oleh glutation menjadi asam
merkapturat yang mudah dieksresikan. Penyebab toksik utama
adalah adanya metabolit toksik yang tidak dapat
diikat/dinetralkan oleh glutation, karena jumlah metabolit
berlebihan yang disebabkan karena over dosis. Pada saat
terjadi over dosis, pasien tidak menunjukkan gejala atau hanya
menunjukkan gejala ringan seperti mual dan muntah. Setelah
24-36 jam kerusakan hepar terjadi yang ditandai dengan
meningkatnya enzimaminotransferase dan hipoprotombinema.
Dalam kasus yang berat, terdapat ancaman gagal hepar
menyebabkan encephalopati hepatik dan kematian. Gagal
ginjal juga mungkin terjadi. Toksisitas juga dapat diprediksi dari
kadar asetaminofen dalam darahnya. jika kadarnya lebih dari
150-200 mg/L segera setelah minum obat, pasien berada
dalam resiko gagal hepar.
Pada pengguna alkohol kronis atau pada pasien yang
menggunakan obat yang dapat meningkatkan C-P450
menyebabkan pembentukan metabolit aktif lebih cepat. Efek
toksik dapat timbul walaupun kadar dalam darahnya < dari100
mg/L. Antidotum untuk keracunan asetaminofen adalah
asetisistein (suatu antioksidan) yang bekerja sebagai subtitusi
glutation dalam mengikat metabolit aktif atau toksis. Pemberian
asetilsistein akan lebih bermanfaat diberikan segera setelah
terjadi keracunan jika memungkinkan.

2. Fenasetin
Toksisitas akut fenasetin ditandai dengan keadaan
terangsang, delirium dan kejang-kejang. Sebaliknya toksisitas
parasetamol terutama ditandai dengan kerja hepatotoksis.
Dosis lebih dari 10 g menyebabkan nekrosis sel hati yang
parah, kadang-kadang mematikan. Kerja yang merusak sel hati
disebabkan oleh ikatan metabolit parasetamol yang reaktif dan
terjadi akibat oksidasi mikrosomal pada protein sel hati. Dari
metabolit ini, N-asetil-kuinonimina yang paling berarti. Pada
dosis lazim, metabolit ini ditangkap oleh glutation dengan
membentuk konjugat yang tidak toksik. Apabila cadangan
glutation habis, terjadi reaksi sitotoksik.

 Derivat Oksikam
1. Piroksikam
Efek toksis yang ditimbulkan dalam system hematologi obat
ini juga dapat menyebabkan anemia yang disebabkan bila
terdapat perdarahan saluran cerna pasif, memperpanjang
waktu pendarahan, eusinopili, epistaxis, leucopenia,
thrombocytopenia. Trombositopenia ini diakibatkan oleh
mekanisme kerja obat yang menghambat biosintesa
prostaglandin akibatnya agregasi platelet terganggu.

2. Meloksikam
Toksisitas obat ini muncul ketika pemakaian obat berlebihan
dan menimbulkan kerusakan pada gastrointestinal atau
terjadinya perdarahan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari efek merugikan
dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Potensi efek merugikan yang
ditimbulkan oleh bahan kimia di lingkungan sangat beragam dan bervariasi.
NSAID merupakan golongan obat yang relatif aman, namun ada 2 macam
efek samping utama yang ditimbulkannya, yaitu efek samping pada saluran
pencernaan (mual, muntah, diare, pendarahan lambung, dan dispepsia) serta efek
samping pada ginjal (penahanan garam dan cairan, dan hipertensi). Efek samping
ini tergantung pada dosis yang digunakan.

3.2 Saran
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan
kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.

Bebenista, M.J., 2005 dan Nowak, J.Z., 2014 Paracetamol: Mechanism of Action,
Application and Safety Concern. Polish pharmaceutical Society. Vol 71(1):
11-23.

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland, ahli bahasa Huriwati
Hartanto,dkk., edisi 29, ECG, Jakarta.

Harder, A.T. & An. Y.H. (2003) The mechanisms of the inhibitory effects of
nonsteroidal anti-inflammatory drugs on bone healing: a concise review. The
Journal of Clinical Pharmacology, 43, 807-815.

Katzung, B.G., Payan, D.G. (1998). Obat anti inflamasi non steroid; analgesik
nonopioid; obat yang digunakan pada gout. Dalam B.G. Katzung,
Farmakologi dasar dan Klinik (6th ed.) Jakarta: EGC, p.558-582.

Meade, E.A., Smith, W.L., Dewitt, D.L. (1993). Differential inhibition of


prostaglandin endoperoxide synthase (cyclooxygenase) isozymes by aspirin
and other non-steroidal anti-inflammatory drugs. Journal Biology Chemistry,
268,6610.

Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. 2003. Acute and chronic inflammation. Dalam S.L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology. 7th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders. pp33-59.

Wijaya, P.J.K, Wulansari R., Hamdi H., Mihardi, A.P., Maylina L. 2018. Keracunan
Parasetamol Pada Kucing Lokal. Fakultas Kedokteran hewan IPB. ARSHI: Vet let
2(2): 39-40.

Anda mungkin juga menyukai