Anda di halaman 1dari 38

USULAN PENELITIAN

PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL AYAM KAMPUNG (Gallus


domesticus) YANG DIBERIKAN JAMU DAUN ASHITABA (Angelica keiskei)
DAN DIVAKSIN NEWCASTLE DISEASE

Usulan penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan
penelitian dalam rangka penyusunan skripsi Sarjana Kedokteran Hewan

Diajukan oleh

Luh Gede Setyawati

NIM. 1609511090

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019

i
Usulan Penelitian ini telah disetujui oleh pembimbing

Pada hari/tanggal : ………………,……………. 2019

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. drh. I Wayan Sudira, M.Si Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si

NIP. 19690228 1997031 003 NIP. 19610914 1987021 001

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.....................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Penelitian........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5
2.1 Vaksin Newcastle Disease........................................................................5
2.2 Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei)......................................................7
2.3 Ayam Kampung (Gallus domesticus)......................................................11
2.4 Ginjal........................................................................................................13
2.5 Kerangka Konsep Penelitian....................................................................15
2.6 Hipotesis Penelitian..................................................................................16
BAB III MATERI DAN METODE........................................................................17
3.1 Bahan-bahan yang digunakan..................................................................17
3.2 Peralatan yang digunakan.........................................................................17
3.3 Rancangan Penelitian...............................................................................17
3.4 Variabel Penelitian...................................................................................18
3.5 Cara Pengumpulan Data...........................................................................18
3.6 Prosedur Penelitian...................................................................................18
3.6.1 Pembuatan jamu daun Ashitaba.....................................................18
3.6.2 Perlakuan sampel............................................................................19
3.6.3 Pengambilan sampel penelitian......................................................20
3.6.4 Pembuatan preparat histologi.........................................................20
3.7 Variabel yang Diperiksa...........................................................................22
3.8 Analisis Data............................................................................................22
3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................24

DAFTAR TABEL
iii
Nomor Teks Halaman

2.1 Data Taksonomi Tanaman Ashitaba...........................................................9


2.2 Data Taksonomi Ayam Kampung............................................................11
3.1 Skema Perlakuan Penelitian......................................................................20

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


iv
2.1 Tanaman Ashitaba......................................................................................7
2.2 Ayam Kampung........................................................................................11
2.3 Ginjal Ayam..............................................................................................14
2.4 Kerangka Konsep Penelitian.....................................................................16

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Manfaat berbagai macam tanaman sebagai obat tradisional sudah dikenal luas

di negara berkembang maupun negara maju. Hampir 80% masyarakat Asia dan

Afrika masih menggunakan pengobatan tradisional karena kepercayaan mereka

bahwa obat tradisional berasal dari bahan-bahan alami dan tidak menimbulkan efek

samping. Pengetahuan mengenai obat tradisional ini diperoleh dari pengalaman dan

resep turun menurun dari nenek moyang yang belum teruji khasiatnya secara klinis.

Data empiris itu perlu diuji dengan melakukan penelitian tentang penggunaan obat

tradisional, sehingga nantinya obat jenis tersebut dapat digunakan dengan aman dan

efektif (Anggraeni, 2016).

Salah satu contoh tanaman obat tradisional itu adalah tanaman Ashitaba

(Angelica keiskei). Tanaman Ashitaba merupakan salah satu tanaman herbal asli dari

Jepang yang dikenal sebagai harta karun peninggalan leluhur bangsa Jepang. Menurut

sejarah Bangsa Jepang, Ashitaba merupakan tanaman yang dapat memperpanjang

umur, yang dulu dicari-cari oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti Chin. Pada jaman

kekaisaran Edo, Hachi Jo Island, Ashitaba juga dikenal sebagai jamu umur panjang.

Ashitaba mempunyai daya hidup yang sangat kuat, maka jika daunnya dipetik

keesokan harinya tunas baru akan muncul. Maka disebut sebagai tanaman

“tommorow’s leaf” (Adinata et al., 2012).

Kemampuan penyembuhan dari tanaman Ashitaba tidak lepas dari kandungan

senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya yaitu β-karoten, vitamin B1, B2, B3,
1
B5, B6, B12, biotin, asam folat dan vitamin C, dan juga mengandung beberapa

mineral seperti kalsium, magnesium, potasium, fosfor, seng dan tembaga. Selain

nutrisi tersebut, Ashitaba mengandung cairan pekat berwarna kuning pada batang dan

daunnya yang disebut chalcone. Chalcone adalah cairan berwarna kuning cerah dan

pekat pada Ashitaba yang tidak terdapat pada tanaman sejenisnya. Pada chalcone

terdapat dua senyawa flavonoid yaitu xantoangeol dan 4-hidrooxyricine. Senyawa

inilah yang membedakan Ashitaba dengan tanaman sejenisnya. Senyawa ini memiliki

struktur molekul yang aktif dan merupakan antioksidan yang sangat potensial

melebihi teh hijau dan kedelai. Senyawa chalcone ini mampu membersihkan darah,

menstimulasi fungsi hati dalam menetralkan racun dan meningkatkan fungsi ginjal

dalam membuang racun dari dalam darah secara efisien (Mardiarsa, 2014).

Pemanfaatan senyawa yang terkandung dalam tanaman Ashitaba dapat

diaplikasikan dalam bentuk jamu. Jamu adalah sebutan untuk racikan dari berbagai

bahan tanaman obat-obatan yang memiliki fungsi dan kegunaan yang bermacam-

macam yang berasal dari negara Indonesia. Saat ini penggunaan jamu mulai

diterapkan penggunaannya dalam usaha peternakan sebagai pendamping dari

penggunaan obat-obatan modern. Penggunaan jamu dari bahan-bahan alami ini

mempunyai segi positif yaitu lebih praktis, ekonomis, mudah didapat dan hampir

tidak memiliki efek samping. Salah satu contoh penggunaannya yaitu penambahan

jamu dalam air minum dapat menjadi cara dalam mencegah suatu penyakit tertentu

ataupun berfungsi untuk menambah produksi ayam kampung. Ayam kampung

merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan

2
masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras),

atau ayam sayur (Oktaviani, 2017).

Dengan kandungan berbagai senyawa kimia dengan sifat yang berbeda-beda,

ada kemungkinan senyawa yang terkandung dalam tanaman Ashitaba tersebut

berinteraksi secara berbeda-beda di dalam tubuh ayam. Secara farmakokinetik, obat

herbal tradisional yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi. Walaupun sifatnya herbal dan alami, tanaman obat

kemungkinan memiliki kandungan kimia yang mungkin saja memberikan efek toksik

pada sistem tubuh. Sisa-sisa metabolismenya, maupun kandungan senyawa lain yang

belum diketahui bentuk dan sifatnya, dapat mempengaruhi struktur histologi dan

fungsi ginjal sebagai organ filtrasi dan ekskresi yang mengalami kontak dengan

senyawa-senyawa tersebut (Ocktaviani, 2011).

Kondisi stres bisa terjadi pada ayam di semua umur dan mengakibatkan

terhambatnya proses pembentukan respon kebal (antibodi) terhadap berbagai macam

penyakit. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian yang cukup

efisien dengan vaksinasi, agar hasil penelitian bisa lebih memuaskan. Vaksin yang

diberikan pada sampel yaitu vaksin Newcastle Disease (ND) secara intraocular,

karena ayam sangat rentan terhadap penyakit Newcastle Disease (Yusmariza et al.,

2014).

Perubahan struktur histologis ginjal ini tentu dipengaruhi oleh jumlah

senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Efek toksik sangat mungkin muncul apabila

pemberiannya dengan dosis yang berlebihan, oleh karena itu sangat penting dilakukan

3
penelitian untuk melihat perubahan histopatologis ginjal ayam kampung yang

diberikan jamu daun Ashitaba.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan yaitu, apakah pemberian jamu daun Ashitaba (Angelica keiskei) secara

oral dalam beberapa dosis mempunyai efek terhadap histopatologi ginjal ayam

kampung (Gallus domesticus) yang telah diinduksi vaksin Newcastle Disease.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian jamu daun

Ashitaba (Angelica keiskei) yang diberikan secara oral dengan dosis bervariasi dilihat

dari gambaran histopatologi ayam kampung (Gallus domesticus) yang telah diinduksi

vaksin Newcastle Disease.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan tentang

efek jamu daun Ashitaba terhadap perubahan histopatologi ginjal ayam kampung

(Gallus domesticus) yang telah diinduksi vaksin Newcastle Disease, sehingga produk

yang dihasilkan nantinya bermanfaat bila dikonsumsi hewan maupun manusia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vaksin Newcastle Disease (ND)

Penyakit yang sering menyerang ayam adalah Newcastle Disease (ND).

Penyakit ND merupakan penyakit ayam yang sangat cepat menular dan menyebabkan

gangguan pada sistem pernapasan ayam. Penyakit ND dilaporkan sebagai penyakit

endemis di beberapa negara sejak tahun 1926. Oleh karena itu diperlukan tindakan

pencegahan terhadap penyakit tersebut salah satunya dengan vaksinasi (Hewajuli dan

Dharmayanti, 2011).

Newcastle disease atau tetelo merupakan penyakit yang disebabkan oleh

infeksi virus ND yang menyerang ayam disegala umur. Penyakit ini biasanya

menyerang ayam pada musim pancaroba. Penyakit ND di Indonesia paling banyak

disebabkan oleh virus ND tipe Viscerotropik Velogenic Newcastle Disease (VVND)

yang merupakan strain virus ND yang paling berbahaya. Gejala ayam terinfeksi ND

terlihat sekitar 5–6 hari pascainfeksi. Gejalanya yaitu nafsu makan berkurang, ayam

lesu, terjadi gangguan pernapasan, ngorok, dan kotoran encer berwarna putih, bulu

kusam dan berdiri, produksi telur turun drastis (untuk ayam dalam fase bertelur),

gerak tidak normal akibat gangguan saraf, jalan berputar dan torticollis. Gambaran

perubahan pascamatinya berupa haemoragi pada trakea dan proventrikulus. Tingkat

morbiditas dan mortilitasnya bisa mencapai 50-100% (Kencana et al., 2012).

Penyakit ini dapat dicegah dengan meningkatkan daya tahan tubuh ayam melalui

manajemen pemeliharaan yang baik, serta melakukan vaksinasi ND secara teratur

(Wibowo dan Amanu, 2010).


5
Terdapat 2 jenis vaksin ND yaitu vaksin ND inaktif/killed vaccine dan vaksin

ND aktif. Vaksin ND inaktif merupakan vaksin yang mengandung virus ND yang

sudah diinaktifkan (dimatikan), sedangkan vaksin ND aktif adalah vaksin yang

mengandung virus yang masih hidup atau masih aktif, tetapi sifat virusnya sudah

tidak virulen lagi sehingga merangsang ayam untuk membentuk antibodi (Nawawi,

2014).

Vaksin aktif ND dibedakan menjadi vaksin lentogenik dan vaksin mesogenik

berdasarkan jenis virus yang digunakan. Vaksin lentogenik terdiri atas strain F, strain

B1 (Hitchner), dan strain La Sota. Strain F menggunakan virus dengan tingkat

virulensi yang paling rendah, diberikan untuk Day Old Chicken (DOC) secara

intranasal, intraokular ataupun melalui tetes mulut. Strain B1 diberikan melalui air

minum atau spray diberikan pada anak ayam umur 1–5 hari diikuti dengan vaksinasi

strain La Sota 2 minggu setelahnya. Strain La Sota merupakan tipe vaksin yang

paling banyak digunakan. Strain ini diberikan pada anak ayam umur 4–5 hari dapat

melalui intranasal, intramuskular pada otot dada, air minum, dan spray (Kencana et

al., 2012).

Vaksin ND mesogenik merupakan vaksin yang memiliki efek patogen berupa

infeksi ND pascavaksinasi. Vaksin ND mesogenik jarang digunakan tetapi vaksin

jenis ini memberikan kekebalan dalam jangka waktu yang lama. Terdapat 3 jenis

vaksin yang termasuk vaksin ND mesogenik yaitu strain Mukteswar, strain Komarov-

Hartforshire, dan strain Roakin. Strain Mukteswar diberikan pada ayam yang telah

mendapatkan vaksin lentogenik sebelumnya. Strain Komarov dan strain Hartforshire

bersifat cukup patogen terutama pada ayam dengan tingkat kekebalan yang rendah
6
atau yang sedang mengalami stress. Strain Komarov diberikan intramuskular

sedangkan strain Hartforshire diberikan intramuskular dan subkutan (Nawawi, 2014).

2.2 Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei)

Gambar 2.1 Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei)


Sumber : Koleksi Wetrana, 2019

Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei) merupakan salah satu tanaman herbal

asli dari Jepang yang secara fisik daunnya mirip daun seledri, hanya saja Ashitaba

memiliki daun yang lebih lebar, hingga dua kali lebar telapak tangan orang dewasa.

Ciri lain yang dimiliki adalah aroma wanginya yang khas. Pada saat segar berbau

sangat mirip seperti wortel dan setelah dikeringkan wanginya akan semakin kuat dan

hampir tidak mirip lagi dengan aroma wangi daun wortel. Jenis tanaman tahunan

yang bisa mencapai umur 4 tahun ini tingginya bisa mencapai 1,2 meter. Banyak

bunganya yang berwarna putih merekah di musim semi setelah menanamnya selama

3 tahun. Bunga putih ini seperti mahkota bidadari. Tidak salah jika nama latinnyapun

berarti bidadari (Adinata et al., 2012).

7
Pertumbuhan daunnya sangat cepat, apabila daunnya dipetik hari ini, esok

harinya sudah mulai tumbuh, itulah sebabnya ia dijuluki tomorrow leaf. Bunganya

hermaprodit karena organ reproduksi jantan dan betina berada dalam satu bunga.

Penyerbukan tanaman dataran tinggi itu dibantu serangga. Ia menyukai tempat yang

terkena cahaya, tetapi mampu tumbuh di tempat ternaungi. Pada umur 4-6 bulan,

daun dan getah tanaman malaikat penyembuh itu dapat mengobati beragam penyakit

(Suhartati dan Nurasiah, 2016).

Tanaman Ashitaba dapat tumbuh dengan subur di daerah yang bersuhu

dingin. Salah satunya yaitu di Desa Sembalun Kecamatan Sembalun Kabupaten

Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dengan ketinggian daratan mencapai 1200

meter diatas permukaan laut. Desa Sembalun adalah tempat lokasi budidaya Ashitaba

terbaik saat ini di Asia Tenggara, dengan suhu rata-rata 9-10°C di siang hari dan pada

malam hari dapat mencapai suhu 5°C, bahkan pada bulan-bulan tertentu seperti bulan

Juli, suhu dimalam hari bisa mencapai 3°C. Dataran tinggi dan suhu yang dingin,

Sembalun menjadi tempat yang cocok untuk tanaman Ashitaba. Secara umum

Ashitaba akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 600 meter diatas permukaan Iaut

pada daerah lembab dan bercuaca dingin, ditambah lagi dengan kesuburan tanah

vulkanik yang berasal dari Gunung Rinjani, sehingga menghasilkan produk Ashitaba

berkualitas tinggi (Mardiarsa, 2014).

Data taksonomi tanaman Ashitaba dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Data Taksonomi Tanaman Ashitaba

8
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiosperms
Subdivisi : Eudicots
Kelas : Astrids
Ordo : Apiales
Family : Apiaceae
Genus : Angelica
Spesies : Angelica keiskei
Sumber : Wikipedia, 2019

Ashitaba mempunyai cairan pekat berwama kuning pada batangnya yang

mengandung chalcone. Chalcone adalah cairan berwarna kuning cerah dan pekat

pada Ashitaba yang tidak terdapat pada tanaman sejenisnya. Menurut hasil penelitian

Prof. Dr. Kimie Baba, Ph.D dari Osaka University of Pharmacy Jepang, pada

chalcone terdapat dua senyawa flavonoid yaitu xantoangeol dan 4-hidrooxyricine.

Senyawa inilah yang membedakan Ashitaba dengan tanaman sejenisnya. Senyawa ini

memiliki struktur molekul yang aktif dan merupakan antioksidan yang sangat

potensial melebihi teh hijau dan kedelai (Wirasisya et al, 2018).

Senyawa chalcone ini mampu memulihkan fungsi tubuh dan mencegah

kanker, sebagai bahan diuretik dan laksansia, memperbaiki proses metabolisme tubuh

sebagai antibakteri. Ashitaba dapat membantu memperlambat proses penuaan, tetap

muda dan sehat serta memiliki kulit yang bebas kerutan. Tanaman ini ditanam secara

organik, mengandung antioksidan, flavonoid, triterpenoid/steroid, asam amino,

vitamin mineral, klorofll, enzim dan serat. Ashitaba baik untuk menjaga kemampuan

penglihatan, menurunkan kolesterol dan berpotensi untuk melawan kanker (Srihari

dan Lingganingrum, 2018).

9
Steroid yang terkandung didalam tanaman Ashitaba merupakan golongan dari

senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan

atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga golongan senyawa ini cenderung tidak larut

air. Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.

Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol

dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan

obat (Harborne, 1987). Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas hemolitik

karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada membran eritrosit

(Sembiring dan Manoi, 2011).

Tanaman Ashitaba kaya klorofil, zat hijau daun yang berperan mengumpulkan

dan menyimpan energi matahari. Klorofil merangsang produksi sel darah merah yang

berperan membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Zat hijau daun itu pembersih

darah dan hati serta mendorong pertumbuhan mikroorganisme baik dalam saluran

pencemaan. Bahkan klorofll juga mampu meredam pertumbuhan sel kanker karena

memiliki efek sitotoksik. Senyawa kimia fotosensitizer membunuh sel-sel kanker

ketika disinari cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Klorofll mampu menyerap

cahaya dengan panjang gelombang maksimum 770 nm. Itu sebabnya pengobatan

modern mempercayai klorofil sebagai penyembuh kanker yang aman dibandingkan

obat kimia (Adinata et al., 2012).

2.3 Ayam Kampung (Gallus domesticus)

10
Ayam KUB merupakan ayam unggulan Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Kementerian Pertanian sejak tahun 2009 melalui (SK Mentan RI No.

274/Kpts/SR.120/2/2014) tentang Pelepasan Galur Ayam KUB. Ayam KUB

(Kampung Unggul Balitbangtan) yang merupakan hasil penelitian seleksi genetik

galur betina (female line) dengan mengurangi sifat mengeramnya dengan produksi

telur yang tinggi (Suryana, 2017).

Data Taksonomi Ayam Kampung dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Data Taksonomi Ayam Kampung

Kingdom Animalia
Filum Chordata
Kelas Aves
Ordo Galliformes
Famili Phasianidae
Genus Gallus
Spesies Gallus domesticus
Sumber : Wikipedia, 2019

Gambar 2.2 Ayam Kampung (Gallus domesticus)


Sumber : Kementerian Pertanian, 2019

Ayam KUB merupakan ayam kampung murni hasil seleksi betina selama

enam generasi dengan keunggulan lebih tahan terhadap penyakit, tingkat mortalitas

11
yang lebih rendah, produksi telur tinggi, 45-50% henday dengan sifat mengeram 10%

dari total populasi, puncak produksi 65%, produksi telur/tahun 160-180 butir,

konsumsi pakan 80-85 gram, umur pertama bertelur 22-24 minggu, bobot telur 35-45

gram. Warna bulu masih seperti ayam kampung pada umumnya yaitu beragam,

namun demikian didominasi oleh warna hitam, campur coklat dan kehitaman.

Jengger berbentuk tunggal (single comb) dan berbentuk kacang (pea). Mata

cenderung buram atau gelap pada usia kurang dari 1 bulan (Munir et al., 2016).

Keunggulan Ayam KUB dapat dijadikan sebagai bibit galur betina merupakan

bibit parent stock yang dapat dikawinkan dengan pejantan ayam lokal lainnya yang

mempunyai bobot badan besar seperti ayam Pelung, Gaok, Sentul, Nunukan dan

lainnya untuk menghasilkan Day Old Chick (DOC) final stock ayam Kampung

pedaging dengan bobot badan 1 kg pada umur 70 hari. KUB mempunyai sifat

dwiguna yaitu memiliki performa yang baik untuk produksi daging maupun telur, tapi

lebih difokuskan pada produksi telur karena bila dibandingkan dengan ayam

kampung biasa produksi telurnya lebih tinggi, karena seleksi diarahkan untuk

produksi telur, frekuensi bertelurnya ada yang setiap hari atau dua hari sekali tanpa

clutch, sehinga dapat dijadikan solusi pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi

masyarakat. Konsumsi pakannya rendah sekitar 80-85 gram dan konversi pakan

rendah yaitu 3,8 kg pakan/kg telur (Urfa et al., 2017).

12
Ayam KUB ini sudah dilepas
sebagai ayam unggulan
Balitnak sejak tahun 2009
dan merupakan hasil seleksi
galur betina (
female line
)
selama 6 generasi dengan
keunggulan produksi telur
tinggi (henday 45-50%),
Puncak
produksi 65%, produksi telur
160-180butir/tahun, konsumsi
pakan 80-85 gram, sifat
mengeram 10% dari total
populasi, umur pertama
13
bertelur 22-24 minggu, bobot
telur
35-45 gram dan konversi
pakan 3,8. (Sartika
et al
., 2009)
Melalui Pengkajian
Teknologi Spesifik Lokasi
BPTP Banten tahun 2015
telah
menghasilkan formulasi
pakan untuk pembesaran
ayam KUB dengan
peningkatan
bobot badan 800 -1.000
gram selama 10
14
minggupemeliharaan, dan
teknologi pakan
untuk induk ayam KUB
dengan kualitas telur yang
lebih baik dibandingkan
pakan
petani.
Ayam KUB ini sudah dilepas
sebagai ayam unggulan
Balitnak sejak tahun 2009
dan merupakan hasil seleksi
galur betina (
female line
)
selama 6 generasi dengan
keunggulan produksi telur
15
tinggi (henday 45-50%),
Puncak
produksi 65%, produksi telur
160-180butir/tahun, konsumsi
pakan 80-85 gram, sifat
mengeram 10% dari total
populasi, umur pertama
bertelur 22-24 minggu, bobot
telur
35-45 gram dan konversi
pakan 3,8. (Sartika
et al
., 2009)
Melalui Pengkajian
Teknologi Spesifik Lokasi

16
BPTP Banten tahun 2015
telah
menghasilkan formulasi
pakan untuk pembesaran
ayam KUB dengan
peningkatan
bobot badan 800 -1.000
gram selama 10
minggupemeliharaan, dan
teknologi pakan
untuk induk ayam KUB
dengan kualitas telur yang
lebih baik dibandingkan
pakan
petani.

17
Ayam KUB ini sudah dilepas
sebagai ayam unggulan
Balitnak sejak tahun 2009
dan merupakan hasil seleksi
galur betina (
female line
)
selama 6 generasi dengan
keunggulan produksi telur
tinggi (henday 45-50%),
Puncak
produksi 65%, produksi telur
160-180butir/tahun, konsumsi
pakan 80-85 gram, sifat
mengeram 10% dari total
populasi, umur pertama
18
bertelur 22-24 minggu, bobot
telur
35-45 gram dan konversi
pakan 3,8. (Sartika
et al
., 2009)
Melalui Pengkajian
Teknologi Spesifik Lokasi
BPTP Banten tahun 2015
telah
menghasilkan formulasi
pakan untuk pembesaran
ayam KUB dengan
peningkatan
bobot badan 800 -1.000
gram selama 10
19
minggupemeliharaan, dan
teknologi pakan
untuk induk ayam KUB
dengan kualitas telur yang
lebih baik dibandingkan
pakan
petani.
2.4 Ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ detoksifikasi yang berfungsi untuk

mengeluarkan zat sisa-sisa hasil metabolisme dalam bentuk urin dan senyawa toksik,

sehingga keadaan ginjal dapat digunakan sebagai salah satu indikator pengaruh

paparan zat toksik dalam tubuh. Kerusakan ginjal dapat dilihat dari struktur

morfologis serta histologis. Ginjal sebagai organ ekskresi yang mengontrol volume

cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, ekskresi sisa-sisa produk metabolisme,

mengatur aktivitas metabolisme seperti transpor aktif (elektrolit, protein dan asam

amino, asam organik), kontrol keseimbangan asam basa dan metabolisme xenobiotik

(Kartiawati et al, 2016).

Sistema urinasi pada ayam dimulai dari ginjal, yang ada sepasang, kiri dan

kanan yang masing-masing memiliki ureter yang alirannya menuju ke kloaka. Ginjal

unggas mempunyai tipe metanephros yaitu evolusi dan kombinasi dari tipe ginjal

20
mamalia dan reptilian. Sekresi urine unggas didominasi oleh asam urat (C 5H4N4O3)

yang proses pengeluaran asam urat tersebut hampir sempurna dari ginjal, karena

adanya aliran darah ke ginjal melalui sistem porta renalis. Saat urine terkonsentrasi

akibat pemindahan air di tubulus ginjal, maka asam urat dan urea terpresipitasi namun

tidak mempengaruhi tekanan osmolaritas urine. Hal ini menyebabkan kemampuan

unggas untuk mensekresi urine yang hypotonik dengan konsentrasi asam yang tinggi.

Jumlah glomeruli ginjal unggas lebih banyak daripada mamalia, sehingga lebih

banyak filtrasi yang terukur, air juga dapat diabsorbsi pada tubulus kontortus distal.

Seperti pada reptil, sisa air dan metabolik secara primer yaitu berupa asam urat

(uricotelism) keluar melalui kloaka dan bercampur dengan materi feses, air kemudian

direabsorbsi, dan residu pasta dibuang dari kloaka (Nutriani dan Jatman, 2010).

Sepasang ginjal unggas berbentuk irreguler, panjang berwarna coklat gelap,

terletak pada dorsal abdomen di dinding eksternal peritoneum dalam rongga

synsacrum, ukurannya bervariasi menurut jenis dan umur unggas. Batas kranial

sepasang ginjal tepat di kaudal paru diantara vertebrae thoracalis ke 6 dan 7

mengikuti bentuk tulang synsacrum, sedangkan bagian ventralnya terlihat lebih rata

dan terbagi-bagi menjadi 3 - 4 bagian yang disebut lobus. Tiap-tiap lobus dibagi lagi

menjadi lobulus yang lebih kecil. Setiap lobulus ginjal terdapat cabang ureter dengan

tubulus kolektivus yang terbuka. Secara makroskopis, bagian luar ginjal dinamai

korteks dan bagian dalam adalah medulla, batas antara kedua bagian itu tidak sejelas

pada mamalia. Bagian elemen di medula dibungkus jaringan ikat, disebut konus

medularis, bagian korteks seperti tudung jamur (cap), sedangkan bagian medula

seperti tangkai jamur (Isabella, 2013).


21
Gambar 2.3 Ginjal Ayam
Sumber : Koleksi Winatha, 2019

Nephron unggas mempunyai dua tipe, yaitu tipe mamalia dan tipe reptilian.

Tiap-tiap nefron terdiri dari korpuskulum renalis, tubulus kontortus proksimal, loop

Henle tipis dan tebal (seperti pada mamalia), tubulus kontortus distal, yang kemudian

melanjut menjadi tubulus kolektivus yang bermuara ke ureter, lalu ke kloaka.

Nephron tipe reptilian, umumnya terletak pada bagian korteks dan memiliki loop

Henle pendek dan kecil, atau bahkan tidak memiliki loop Henle sarna sekali. Tubuli

di daerah medula bergabung menjadi satu membenmk traktus medularis yang

dikelilingi jaringan ikat tipis. Traktus medularis melanjut menjadi konus medularis

yang berisi tubulus kolektivus, loop Henle tipis dan tebal dan kemudian berakhir

menjadi cabang tunggal ureter (Nutriani dan Jatman, 2010).

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Ayam Kampung yang dipelihara secara semi modern, perlu mendapat

perlakuan vaksinasi, salah satunya vaksin New Castle Disease. Tujuan induksi vaksin

22
ND agar penyakit ND dapat dicegah serta daya tahan tubuh ayam meningkat. Karena

penyakit ND sangat cepat menular dan dapat menyerang ayam disegala umur.

Penggunaan obat tradisional seperti jamu daun Ashitaba perlu pertimbangan

secara rasional dan kajian yang matang. Efek toksik dan senyawa yang terkandung

dalam daun Ashitaba mempunyai hubungan yang erat dengan sejumlah senyawa yang

ada di dalam tubuh Ayam Kampung. Faktor utama yang menentukan keamanan suatu

senyawa adalah dosis dari senyawa tersebut. Respon yang timbul baik yang

menguntungkan ataupun yang merugikan berkaitan erat juga dengan besarnya dosis.

Potensi toksik atau keamanan senyawa tersebut merupakan manifestasi hubungan

antara konsentrasi dan efek yang ditimbulkannya terhadap mekanisme biologis.

Ginjal merupakan organ tubuh yang rentan terhadap pengaruh zat-zat kimia,

karena organ ini menerima 25-30% sirkulasi darah untuk dibersihkan, sehingga

sebagai organ filtrasi kemungkinan terjadinya perubahan patologi sangat tinggi.

Berbagai bahan atau substansi kimia tersebut dapat menimbulkan degenerasi dan

nekrosis pada sel tubulus. Untuk meneliti efek dari pemberian berbagai dosis jamu

daun Ashitaba pada Ayam Kampung, maka variabel yang dikendalikan meliputi

umur, berat badan, jenis kelamin, pakan dan lingkungan. Hubungan atau variabel

dibuat dalam suatu skema ilustrasi (Gambar 2.4).

Variabel Kendali Ayam Kampung Variabel Bebas


(Gallus domesticus)
1. Umur 1. Dosis jamu
2. Berat Badan daun Ashitaba
3. Jenis Kelamin (Angelica
1. Jamu daun Ashitaba
4. Pakan keiskei)
2. Vaksin ND
5. Lingkungan 2. Vaksin
Newcastle
Disease (ND)
Perubahan23Histopatologi
Ginjal
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

2.6 Hipotesis Penelitian

Pemberian jamu daun Ashitaba (Angelica keiskei) dalam berbagai dosis

berpengaruh terhadap perubahan histopatologi ginjal Ayam Kampung (Gallus

domesticus) yang telah diinduksi vaksin Newcastle Disease.

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan adalah sebagai berikut : jamu daun Ashitaba

(Angelica keiskei), DOC Ayam Kampung (Gallus domesticus) jantan yang memiliki

berat rata-rata 35 gram sebanyak 25 ekor ayam dibagi secara acak menjadi 5

kelompok dimana masing-masing kelompok berjumlah 5 ekor, pakan yang diberikan

kepada ayam berupa konsentrat, air minum yang diberikan kepada ayam ditambahkan

jamu daun Ashitaba, vaksin Newcastle Disease dan larutan NBF 10% (neutral buffer

formalin). Bahan yang digunakan untuk histopat dengan pewarnaan HE

(Haemotoxilin-Eosin) : alkohol, toluene, dan paraffin.

3.2 Peralatan yang digunakan

Peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : kandang dengan tempat

pakan dan minumnya, timbangan yang digunakan untuk menimbang berat Ayam

Kampung (Gallus domesticus), alat bedah untuk mengambil organ ginjal, alat untuk

24
mmbuat sediaan histopat seperti gelas obyek dan cover glass dan pemeriksaan

preparat menggunakan mikroskop.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Jumlah sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor DOC Ayam Kampung (Gallus

domesticus) sesuai Rumus Federer yaitu (t-1) (n-1) ≥ 15, dimana t adalah jumlah

perlakuan dan n adalah banyaknya pengulangan tiap perlakuan, sehingga (5-1) (n-1)

≥ 15 maka didapat n yaitu 5.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Variabel Kendali

Umur ayam kampung, berat badan ayam kampung, jenis kelamin ayam

kampung, pakan yang diberikan dan lingkungan.

2. Variabel Bebas

Dosis jamu daun Ashitaba (Angelica keiskei) dan vaksin Newcastle Disease

(ND).

3. Variabel tergantung

Perubahan Histopatologi Ginjal Ayam Kampung setelah pemberian berbagai

dosis jamu daun Ashitaba.

3.5 Cara Pengumpulan Data

25
Data diambil dari perubahan histopatologi ginjal ayam kampung setelah

pemberian berbagai dosis jamu daun Ashitaba.

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Pembuatan jamu daun Ashitaba

Ashitaba yang dipilih adalah daun berwarna hijau tua, utuh, dan segar.

Selanjutnya dikumpulkan lalu dicuci dengan air, dikering anginkan. Setelah kering

dihancurkan (dirajang) kemudian dihaluskan dengan blender, setelah itu ditimbang

sebanyak 1000 gram. Bubuk Ashitaba kemudian direndam dalam 5000 ml pelarut

aquadest dan diaduk dengan magnetic stirrer selama satu jam, kemudian didiamkan

selama satu hari pada suhu kamar. Selanjutnya, disaring dengan kertas Whatman no

42 sehingga diperoleh filtrat-1. Ampas yang diperoleh, dilakukan ekstraksi ulang

sehingga diperoleh filtrat-2. Filtrat-1 dan filtrat-2 dicampur kemudian diuapkan

dengan rotary evaporator.

3.6.2 Perlakuan sampel

Sebanyak 25 ekor DOC ayam kampung jantan diberikan vaksin Newcastle

Disease (ND) secara intraocular. Kemudian dibagi menjadi 5 kelompok yang setiap

kelompoknya terdapat 5 ekor ayam. Pemberian jamu daun Ashitaba pada ayam

kampung yang terdiri dari 5 tingkat dosis yang berbeda yaitu kelompok kontrol

negatif (P0) tanpa diberikan jamu daun Ashitaba namun diberikan aquadest setiap

harinya, kelompok (P1) diberikan jamu daun Ashitaba dengan konsentrasi dosis

250mg/100ml/hari, kelompok (P2) diberikan jamu daun Ashitaba dengan dosis

500mg/100ml/hari, kelompok (P3) diberikan jamu daun Ashitaba dengan dosis

26
1000mg/100ml/hari, dan kelompok kontrol positif (P4) diberikan jamu daun Ashitaba

dengan dosis 2000mg/100ml/hari. Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari selama 22

hari dan diberikan secara oral dengan spuit. (Tabel 3.1).

Pada minggu pertama dilakukan adaptasi dengan memberikan aquadest ke

ayam kampung untuk dapat beradaptasi ketika melakukan pemberian jamu daun

Ashitaba secara oral. Setelah dilakukan perlakuan awal dilanjutkan dengan

memberikan jamu daun Ashitaba pada hari ke 8 sampai hari ke 14 secara oral sesuai

kelompok perlakuan. Pada hari ke-15 ayam kampung diinduksi dengan vaksin

Newcastle Disease. Setelah induksi vaksin dilanjutkan dengan memberikan jamu

daun Ashitaba setiap hari selama 7 hari pada hari ke 16 sampai hari ke 22 secara oral

sesuai kelompok perlakuan. Pada hari ke-23 dilakukan nekropsi dan dilakukan

pengambilan organ ginjal untuk dibuat preparat histopatologi.

Tabel 3.1 Skema Perlakuan Penelitian

Jumlah
Kelompok Dosis Keterangan Ayam
(ulangan)
P0 Tanpa Pemberian aquadest 100ml/hari sampai hari 5
pemberian ke-22 dan diinduksi vaksin Newcastle
jamu daun Disease pada hari ke-15
Ashitaba
P1 250mg/100ml/ Diberikan jamu daun Ashitaba 5
hari 250mg/100ml/hari dari hari ke-8 sampai hari
ke-14, lalu diinduksi vaksin Newcastle
Disease pada hari ke-15 dan dilanjutkan
pemberian jamu daun Ashitaba pada hari ke-
16 sampai hari ke-22
P2 500mg/100ml/ Diberikan jamu daun Ashitaba 5
hari 500mg/100ml/hari dari hari ke-8 sampai hari
ke-14, lalu diinduksi vaksin Newcastle
Disease pada hari ke-15 dan dilanjutkan
pemberian jamu daun Ashitaba pada hari ke-

27
16 sampai hari ke-22
P3 1000mg/100ml Diberikan jamu daun Ashitaba 5
/hari 1000mg/100ml/hari dari hari ke-8 sampai
hari ke-14, lalu diinduksi vaksin Newcastle
Disease pada hari ke-15 dan dilanjutkan
pemberian jamu daun Ashitaba pada hari ke-
16 sampai hari ke-22
P4 2000mg/100ml Diberikan jamu daun Ashitaba 5
/hari 2000mg/100ml/hari dari hari ke-8 sampai
hari ke-14, lalu diinduksi vaksin Newcastle
Disease pada hari ke-15 dan dilanjutkan
pemberian jamu daun Ashitaba pada hari ke-
16 sampai hari ke-22

3.6.3 Pengambilan sampel penelitian

Setelah perlakuan pemberian jamu daun Ashitaba, seluruh Ayam Kampung di

euthanasia dengan cara dislokasio os cervicalis dilanjutkan pembedahan sesuai

prosedur dan diambil organ ginjalnya. Organ ginjal lalu dimasukkan ke dalam larutan

NBF 10% disimpan sampai pembuatan preparat histopatologi.

3.6.4 Pembuatan preparat histopatologi organ ginjal

Tahap pembuatan sediaan histopatologi dilakukan sesuai metode Kiernan.

Spesimen berupa ginjal yang akan diperiksa dipotong dengan ukuran 1x1x1 cm,

fiksasi spesimen dengan cara merendam dalam larutan NBF 10% (neutral buffer

formalin) selama 24 jam, kemudian diiris dengan ukuran yang lebih tipis (trimming)

untuk selanjutnya dimasukkan dalam casette tissue, dan direndam dalam alkohol 70%

untuk proses stopping point selama 6 jam. Proses berikutnya adalah proses dehidrasi

dalam alkohol bertingkat (80%, 90%, 95%, dan absolut) masing-masing selama dua

jam. Proses penjernihan (clearing) dengan xylol selama tiga puluh menit dengan tiga

kali pengulangan, kemudian infiltasi dalam parafin cair pada suhu 58-60ºC sebanyak

28
tiga kali pengulangan. Proses selanjutnya adalah penanaman (embedding) dalam

parafin cair dan dicetak menjadi blok parafin (blocking) dengan menggunakan

prosessing embedding. Selanjutnya blok jaringan dipotong (sectioning) dengan

microtome rotari dengan ketebalan 3-5 πm, di letakkan di atas gelas objek, kemudian

diwarnai dengan metode pewarnaan Harris Hematoxylin-Eosin (HE). Proses

pewarnaan HE mengacu pada metode Kiernan (2000) yang telah dimodifikasi, yang

diawali dengan deparafinisasi menggunakan xylol (tiga kali), per dua menit,

dilanjutkan dengan rehidrasi menggunakan alkohol absolut, 96%, 90%, 80%, per dua

menit. Kemudian dilakukan pembilasan dengan air mengalir lima menit. Jaringan

selanjutnya diwarnai dengan Hematoksilin lima menit (sambil dikontrol di bawah

mikroskop biokuler), dilakukan pembilasan dengan menggunakan air mengalir.

Kemudian diwarnai dengan pewarna eosin lima menit (sambil dikontrol di bawah

mikroskop), diikuti proses dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat. Proses

penjernihan (clearing) dengan xylol dan diakhiri dengan penutupan jaringan

(mounting) menggunakan Entellan®. Jaringan diamati di bawah mikroskop dengan

pembesaran 1000x. Serta dicatat perubahan mikroskopik yang ditemukan pada lima

lapang pandang.

3.7 Variabel yang Diperiksa

Variabel yang diperiksa meliputi: kongesti, perdarahan dan nekrosis dimana

masing-masing diperiksa pada 5 lapang pandang mikroskopik. Preparat histopatologi

ginjal diperiksa tingkat patologisnya berdasarkan kategori sebagai berikut :

Kongesti

Skor 0 = tidak ada kongesti


29
Skor 1 = kongesti bersifat fokal (ringan)

Skor 2 = kongesti bersifat multifokal (sedang)

Skor 3 = kongesti bersifat difusa (berat)

Perdarahan

Skor 0 = tidak ada perdarahan

Skor 1 = perdarahan bersifat fokal (ringan)

Skor 2 = perdarahan bersifat multifokal (sedang)

Skor 3 = perdarahan bersifat difusa (berat)

Nekrosis

Skor 0 = tidak ada nekrosis

Skor 1 = nekrosis bersifat fokal (ringan)

Skor 2 = nekrosis bersifat multifokal (sedang)

Skor 3 = nekrosis bersifat difusa (berat)

3.8 Analisis Data

Untuk mengetahui perubahan histopatologi ginjal ayam kampung pada

masing-masing dosis yang diberikan, maka data hasil pemeriksaan ditabulasi dan

dianalisis menggunakan uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis, jika ada

perbedaan nyata (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.

3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi dan Farmasi

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Laboratorium Patologi

Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, pada bulan September

2019 sampai selesai


30
DAFTAR PUSTAKA

Adinata, M.O., I.W. Sudira, dan I.K. Berata. 2012. Efek Ekstrak Daun Ashitaba
(Angelica keiskei) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit (Mus
Musculus) Jantan. Buletin Veteriner Udayana. 4(2): 55-62.

Anggraeni, K. A. 2016. Pengaruh Ekstrak Air Herba Putri Malu Terhadap Histologi


Hati, Ginjal dan Testis Mencit Jantan sebagai Pelengkap Uji Toksisitas
Subkronis. M.Sc. Thesis. Widya Mandala Catholic University. Surabaya.

Hewajuli, D.A.H. dan N.L.P.I. Dharmayanti. 2011. Patogenitas Virus Newcastle


Disease pada Ayam. Wartazoa. 21(2): 72-80.

Isabella, F. 2013. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Ayam Broiler (Gallus
Domesticus) yang diberi Agriminovit®. M.Sc. Thesis. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

Kartiawati, A., A. M. Fadilah, dan Y. P. Kuntana. 2016. Gambaran Morfologis Ginjal


Ayam yang Diberi Ransum Mengandung Temulawak serta Pengaruhnya
terhadap Bobot Badan. Seminar Nasional Pendidikan dan Saintek 2016
(ISSN: 2557-533X)

Kencana, G.A.Y., I.M. Kardena, dan I.G.N.K. Mahardika. 2012. Peneguhan


Diagnosis Penyakit Newcastle Disease Lapang pada Ayam Buras di Bali
menggunakan Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan. 6(1).

Kencana, G.A.Y., N.M. Astawa, I.G.N.K. Mahardika, dan I.W. Gorda. 2012.
Penyebaran Virus Vaksin ND pada Sekelompok Ayam Pedaging yang tidak
Divaksinasi dan Dipelihara Bersama Ayam yang Divaksinasi. Buletin
Veteriner. 4(2):109-117.

31
Mardiarsa, A. 2014. Efek Nefrotoksik Estrak Etanol Daun Angelica keiskei Peroral
terhadap Ginjal Mus musculus Jantan. Widya Mandala Catholic University.
Surabaya.

Munir, I. M., D. Haryani, N. Amin, E. Kardiyanto, A. Muchtami, A. Makmur, dan S.


Kusumawati. 2016. Kajian Pengembangan Ayam Kampung Unggul
Badanlitbang (KUB) di Provinsi Banten. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Banten. Kementerian Pertanian.

Nawawi, M. 2014. Pengaruh Vaksin Aktif Newcastle Disease Infectious Bronchitis


terhadap Performance Ayam Pedaging. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nutriani, C. dan S. Jatman. 2010. Studi Anatomi Ginjal Burung Walet Sarang Putih
(Collocalia fuciphaga) dan Sriti (Collocalia linchi). Jurnal Sain Vet. 28(2).

Ocktaviani, A. 2011. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Terhadap


Performan dan Gambaran Histopatologi Hati Ayam Broiler. Bogor
Agricultural University. Bogor.

Oktaviani, I. 2017. Pengaruh Penambahan Lempuyang (Zingiber Zerumbet) pada


Campuran Jamu dalam Pakan terhadap Kadar Abu dan Protein Kasar Daging
Ayam Kampung. M.Sc. Thesis. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Sembiring, B. B. dan F. Manoi. 2011. Identifikasi Mutu Tanaman Ashitaba. Buletin


Littro. 22(2): 177-185.

Srihari, E. dan F. S. Lingganingrum. 2018. Teh Hijau dari Daun Ashitaba: Aktifitas
Antioksidan dan Mutusensori. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan” Journal. ISSN 1693-4393.

Suhartati, R. dan I. Nurasiah. 2016. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Daun Ashitaba
(Angelica keiskei) terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa secara In Vitro.
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 16(1): 113-118.

Suryana. 2017. Pengembangan Ayam Kampung Unggul Balitbangtan (KUB) di


Kalimantan Selatan. Wartazoa. 27(1): 045-052.
http://Dx.Doi.Org/10.14334/Wartazoa.V27i1.1303. Tanggal Akses 17 Mei
2019.

32
Urfa, S., H. Indrijani, dan W. Tanwiriah. 2017. Model Kurva Pertumbuhan Ayam
Kampung Unggul Balitnak (KUB) Umur 0-12 Minggu. Jurnal Ilmu Ternak.
17(1).

Wibowo, M.H. dan S. Amanu. 2010. Perbandingan Beberapa Program Vaksinasi


Penyakit Newcastle pada Ayam Buras. Jurnal Sain Vet. 28(1).

Wirasisya, D. G., Y. Juliantoni dan W. Hajrin. 2018. Pengaruh Dua Metode


Pengeringan pada Aktivitas Antibakteri Ashitaba (Angelica keiskei) terhadap
Streptococcus mutans. Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of
Pharmacy). 4(1): 18-25.

Yusmariza , N., P.E. Santosa dan Siswanto. 2014. Profil Titer Antibodi Newcastle
Disease (ND) dan Avian Influenza (AI) pada Itik Petelur Fase Grower di
Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Pringsewu. Department of Animal
Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University.

33

Anda mungkin juga menyukai