Anda di halaman 1dari 62

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP AKTIVITAS

ANTIOKSIDAN TEH DAUN SALAM (Eugenia polyantha)

SKRIPSI

OLEH
JUANTI LUSININGTYAS
J1A015042

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI


UNIVERSITAS MATARAM
2019

i
Usulan Rencana Penelitian
sebagai Salah Satu Syarat untuk
Melakukan Penelitian

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP AKTIVITAS


ANTIOKSIDAN TEH DAUN SALAM (Eugenia polyantha)

OLEH
JUANTI LUSININGTYAS
J1A015042

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI


UNIVERSITAS MATARAM
2019

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Proposal : Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap


aktivitas antioksidan Teh Daun Salam
(Eugenia polyantha)

Nama Mahasiswa : Juanti Lusiningtyas


Nomor Induk Mahasiswa : J1A015042
Program Studi : Ilmu Teknologi Pangan

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, taufik, hidayah, serta inayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan peroposal yang berjudul “Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap
Aktivitas Antioksidan Teh Daun Salam”
Dalam proses penyusunan peroposal ini, penulis banyak mendapat saran,
bantuan, dan masukan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Ir. Sri Widyastuti, M. App. Sc., Ph.D. Selaku Dekan Fakultas
Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram.
2. Bapak Ir. Mohammad Abbas Zaini, MP. Selaku dosen pembimbin utama dan
Ketua Program Studi Ilmu Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas
Mataram.
3. Orang Tua dan keluargaku tercinta yang selalu mendo’akan, memberikan
semangat, dorongan, dan bantuan.
4. Teman-teman yang selalu membantu selama ini dalam penyusunan peroposal,
terimakasih banyak atas semuanya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan proposal ini masih jauh dari
kesempurnaaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pihak-
pihak yang membutuhkan pada umunya.
Mataram, 15 Januari 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................i


HALAMAN JUDUL .........................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................v
DAFTAR TABEL .............................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................viii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang................................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................. 4
1.3.Manfaat .............................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teh ................................................................................................. 5
2.1.1. Jenis-jenis Teh ..................................................................... 5
2.1.1.1. Teh Camelia Sinensis ....................................................... 6
2.1.1.2. Teh non-camelia sinensis ................................................. 7
2.2. Daun Salam .................................................................................... 9
2.2.1. Taksonomi Daun Salam ...................................................... 9
2.3. Kandungan Kimia Daun Salam...................................................... 9
2.4. Manfaat Daun Salam..................................................................... 15
2.5. Pengeringan ................................................................................... 16
2.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Laju Pengeringan ........ 17
2.5.2. Tujuan Pelaksanaan Tahapan Pengeringan ........................ 21
2.5.3. Mekanisme Pengeringan .................................................... 21
2.5.4. Kriteria Daun Teh Yang Telah Kering ............................... 22
2.6. Pengaruh Pengeringan Terhadap Mutu Teh.................................. 22
2.6.1. Pengaruh Pengeringan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pangan
...................................................................................................... 26
2.6.2. Pengaruh Pengeringan Terhadap Sifat Bahan Pangan ....... 26

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1. Metode dan Rancangan penelitian .................................................29
3.1.1. Metode Penelitian ................................................................29
3.1.2. Rancangan Penelitian...........................................................29
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................29

v
3.3. Alat dan Bahan Penelitian ..............................................................29
3.3.1. Alat-alat Penelitian ..............................................................29
3.3.2. Bahan-bahan Penelitian .......................................................30
3.4. Pelaksanaan Penelitian ...................................................................30
3.4.1. Pemetikan Bahan Baku ........................................................30
3.4.1.1. Pembuatan Teh Daun Salam .............................................30
3.5. Parameter dan Cara Pengamatan ...................................................33
3.5.1. Parameter Pengamatan.........................................................33
3.5.2. Cara Pengamatan .................................................................33
3.5.2.1. Uji Kadar Air ....................................................................33
3.5.2.2. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH.........................34
3.5.2.3. Uji Mutu Organoleptik Aroma, Rasa dan Warna .............34

DAFTAR PUSTAKA

vi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Teh ......................................................... 9
2. Daya Antioksidan Pada Daun Salam Segar ........................................... 12
3. Format Penilaian Aroma, Rasa dan Warna Teh Daun Salam Metode Afektif
............................................................................................................... 35
4. Format Penilaian Aroma, Rasa dan Warna Teh Daun Salam Metode Deskriptif
............................................................................................................... 35

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Daun salam (Syzygium polyanthum) ....................................................... 10


2. Diagram Alir Pengolahan Teh Daun salam ............................................ 32

viii
PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN TEH DAUN SALAM (Eugenia polyantha)

ABSTRAK

Teh adalah minuman yang mengandung kafein yang biasanya diperoleh


dengan menyeduh daun atau pucuk daun Camellia sinensis menggunakan air panas
(Wikipedia, 2011). Teh herbal merupakan minuman yang terbuat dari bunga, daun,
biji ataupun akar berbagai macam tanaman yang dikeringkan dan tidak
mengandung daun teh (Camellia sinensis) (Satriadi, 2014). Salah satu tanaman
yang berpotensi untuk dijadikan teh herbal adalah daun salam. Daun salam
(Eugenia polyantha) merupakan salah satu bumbu dapur atau rempah-rempah yaitu
penyedap karena memiliki aroma yang khas bisa menambah kelezatan masakan.
Daun salam mengandung saponin, triterpen, flavonoid, tanin, dan alkaloid,
sedangkan minyak atsiri dalam daun salam terdiri dari seskuiterpen, lakton dan
fenol (Palupi, 2015). Pada proses pembuatan teh dilakukan proses pengeringan.
Komponen aktif dalam daun salam mempunyai kemampuan antioksidan, tetapi
komponen tersebut mudah rusak oleh panas, sehingga dalam proses pengeringan
daun yang dibuat dalam bentuk teh harus diperhatikan suhu pengeringan yang
digunakan agar komponen aktif yang terdapat dalam daun tetap terjaga. Pengolahan
daun dengan menggunakan suhu pengeringan tertentu sangat mempengaruhi mutu
dan komposisi kimia yang terdapat pada produk yang dihasilkan. Suhu
pengeringan yang terlalu tinggi mengakibatkan kerusakan yang besar pada mutu
produk yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh suhu pengeringan terhadap mutu teh daun salam. Data pengamatan Masa
Simpan dianalisis menggunakan ANOVA pada taraf 5% mengunakan software Co-
Stat untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan. Apabila ada perbedaan maka
dilanjutkan dengan uji lanjut menggunakan Uji Ortogonal (Hanafiah, 2015).

Kata Kunci : Daun Salam, Teh, Proses Pengeringan.

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teh adalah minuman yang mengandung kafein yang biasanya diperoleh

dengan menyeduh daun atau pucuk daun Camellia sinensis menggunakan air panas

(Wikipedia, 2011). Aroma teh yang harum serta rasanya yang khas membuat

minuman ini banyak dikonsumsi. Teh telah menyebar dari Cina selatan hingga

menyebar ke 20 negara lain seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman dan

Indonesia. Selain sebagai minuman yang menyegarkan, teh telah lama diyakini

memiliki banyak khasiat bagi kesehatan, karena memiliki kandungan zat bioaktif

penangkal radikal bebas (Satriadi, 2014).

Menurut data Head of Researcher Indonesia, konsumsi teh orang Amerika,

Jepang dan Eropa mencapai hampir 2,5 kg/kapita/tahun. Sementara itu, konsumsi

teh orang Indonesia hanya mencapai 0,8 kg/kapita/tahaun (Machmud, 2006).

Rendahnya konsumsi teh di Indonesia bukan disebabkan karena orang Indonesia

kurang gemar mengkonsumsi teh. Akan tetapi lebih disebabkan oleh rendahnya

angka produksi teh dalam negeri dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia

Rohdiana, (2006) dalam Elsa, (2017).

Jenis teh yang beredar di pasaran sangat banyak, namun hanya beberapa yang

paling diminati masyarakat diantaranya teh hijau, teh oolong, teh hitam serta teh

herbal. Teh herbal merupakan minuman yang terbuat dari bunga, daun, biji ataupun

akar berbagai macam tanaman yang dikeringkan dan tidak mengandung daun teh

(Camellia sinensis) (Satriadi, 2014). Salah satu tanaman yang berpotensi untuk

1
dijadikan teh herbal adalah daun salam. Daun salam (Eugenia polyantha)

merupakan salah satu bumbu dapur atau rempah-rempah yaitu penyedap karena

memiliki aroma yang khas bisa menambah kelezatan masakan. Daun salam

mengandung saponin, triterpen, flavonoid, tanin, dan alkaloid, sedangkan minyak

atsiri dalam daun salam terdiri dari seskuiterpen, lakton dan fenol (Palupi, 2015).

Senyawa-senyawa seperti niasin, serat, tannin, dan vitamin C yang terkandung

dalam daun salam mampu menurunkan kadar trigliserida serum (Candra, 2017).

Secara tradisional daun salam dapat digunakan sebagai obat untuk mengobati

penyakit diare, kencing manis (diabetes mellitus), sakit maag, menurunkan kadar

kolesterol, tekanan darah tinggi (Rahmad, 2016).

Pengeringan merupakan salah satu proses pengolahan teh yang akan

mempengaruhi mutu teh selain proses pelayuan dan fermentasi. Menurut Yusmarini

dan Pato (2004), pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan yang umum

dilakukan pada bahan pangan. Tujuan pengeringan yaitu mengurangi kandungan

kadar air bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang

tidak diinginkan. Pengeringan harus disesuaikan dengan bahan yang akan

dikeringkan. Jika bahan berasal dari akar, daun, bunga dan buah, maka suhu dan

metode pengeringan perlu diperhatikan. Apabila tidak ditangani secara benar akan

mengakibatkan berkurangnya kadar zat yang berkhasiat. Bahan yang berasal dari

bunga dan daun harus tidak mengubah warna dan aroma aslinya, karena daun dan

bunga mudah mengalami kerusakan selama pengeringan. Bila penanganan salah

akan terjadi perubahan warna atau tercemar. Daun herba dan bunga dapat

dikeringkan dengan kisaran suhu 20-40 ºC, kulit batang dan akar masing masing

2
pada suhu 30-65 ºC (Hermani, 2009).

Perbedaan suhu sekitar menjadi salah satu factor yang mempengaruhi

percepaatan pengeringan. Medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat

pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan

pangan. Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air yang dapat ditampung

oleh udara tersebut sebelum terjadi kejenuhan. Dapat disimpulkan bahwa udara

bersuhu tinggi lebih cepat mengambil air dari bahan pangan sehingga proses

pengeringan lebih cepat. Kecepatan aliran udara yang bergerak atau bersirkulasi

akan lebih cepat mengambil uap air dibandingkan udara diam. Pada proses

pergerakan udara, uap air dari bahan 6 akan diambil dan terjadi mobilitas yang

menyebabkan udara tidak pernah mencapai titik jenuh. Semakin cepat pergerakan

atau sirkulasi udara, proses pengeringan akan semakin cepat. Prinsip ini yang

menyebabkan beberapa proses pengeringan menggunakan sirkulasi udara.

Menurut Fatiyah (2017) tentang pengaruh variasi lama pengeringan

terhadap antioksidan teh daun salam (Syzgium polyanthum), perlakuan terbaik yaitu

50 menit yang menghasilkan teh daun salam dari segi rasa aroma dan warna disukai

oleh panelis. Dari segi rasa, maka tingkat penerimaan rasa akan semakin menurun

dan juga lama pengeringan yang cukup akan menghasilkan rasa agak khas dari daun

salam itu sendiri. Persentase kadar air dan kadar abu tertinggi 7,77% sehingga

memenuhi mutu teh menurut SNI (01-3757-2013) maksimal 8%. Menurut

Faridasari dan Mulyantini (2009), dalam penelitian metode pengeringan rosela

menggunakan alat pengering suhu 60º(±5)C, 70º(±5)C, dan 80º(±5)C perlakuan

suhu 60°(±5)C yang paling efektif untuk mengeringkan rosela (Aloe barbadensis

3
Milleer). Menurut Rona (2012) tentang studi pembuatan teh daun kopi dengan lama

fermentasi dan suhu pengeringan yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa kadar tannin dan kadar air semakin rendah, sedangkan

semakin tinggi suhu yang digunakan maka kadar abu yang dihasilkan pada

parameter rasa, warna, dan warna ampas yaitu dimana pada parameter rasa dengan

suhu pengeringan dari 80, 85, dan 90ºC mengalami peningkatan dan mengalami

penurunan pada suhu pengeringan 95ºC.

Pada proses pembuatan teh dilakukan proses pengeringan. Komponen aktif

dalam daun salam mempunyai kemampuan antioksidan, tetapi komponen tersebut

mudah rusak oleh panas, sehingga dalam proses pengeringan daun yang dibuat

dalam bentuk teh harus diperhatikan suhu pengeringan yang digunakan agar

komponen aktif yang terdapat dalam daun tetap terjaga. Pengolahan daun dengan

menggunakan suhu pengeringan tertentu sangat mempengaruhi mutu dan

komposisi kimia yang terdapat pada produk yang dihasilkan. Suhu pengeringan

yang terlalu tinggi mengakibatkan kerusakan yang besar pada mutu produk yang

dihasilkan. Sejauh ini pengaruh variasi suhu pengeringan untuk produk teh daun

salam belum dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian tentang

“Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Aktivitas Antioksidan Teh Daun Salam

(sizygium polyanthum)”.

4
1.2 Tujuan

Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan

terhadap mutu teh daun salam.

1.3. Manfaat

Percobaan ini diharapkan dapat menghasilkan produk teh daun salam bermutu

dengan kandungan antioksidan yang tinggi, selain itu penelitian ini dapat digunakan

sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya.

1.4. Hipotesis

Untuk mengarahkan jalannya percobaan ini, maka digunakan hipotesis sebagai

berikut: diduga bahwa pengaruh suhu pengeringan 50ºC akan menghasilkan teh

daun salam dengan mutu terbaik.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teh

Teh merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh semua

lapisan masyarakat karena selain ekonomis, teh juga dianggap dapat

memberikan manfaat bagi kesehatan, karena memiliki kandungan zat bioaktif

penangkal radikal bebas. Teh juga merupakan minuman yang paling banyak

dikonsumsi setelah air. Aroma teh yang harum serta rasanya yang khas membuat

minuman ini banyak dikonsumsi. Teh dapat digunakan sebagai antioksidan,

memperbaiki sel-sel yang rusak, mencegah kanker, mengurangi kolesterol dalam

darah (Muzaki, 2015). Teh merupakan salah satu minuman non alkohol yang

sangat populer dan digemari masyarakat. Selain sebagai minuman yang

menyegarkan, teh telah lama diyakini memiliki banyak khasiat bagi kesehatan.

Bila dibandingkan dengan jenis minuman lain, teh ternyata lebih banyak

manfaatnya. Manfaat yang dihasilkan dari minuman teh adalah memberikan rasa

segar. Khasiat yang dimiliki oleh minuman teh berasal dari kandungan zat

biaoaktif yang terdapat dalam daun teh.

2.1.1 Jenis-jenis Teh

Menurut Bambang (1995), Teh terbagi menjadi dua jenis, yaitu teh non-

herbal dan teh herbal. Teh non-herbal berasal dari tanaman teh (Camelia sinensis).

Teh non-herbal dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu teh hitam, teh hijau, dan

teh oolong. Teh herbal biasanya terbuat dari akar, batang, bunga, daun, biji, dan

kulit buah dari tanaman yang memiliki manfaat sebagai tanaman obat, mudah larut

dalam air panas serta mudah dalam penyajian. Tidak seperti teh non-herbal, teh

6
herbal tidak mengandung kafein (Wahyuningsih, 2011). Manfaat teh herbal tersebut

dapat diperoleh dari berbagai tanaman, salah satu tanaman yang dapat dijadikan teh

herbal adalah pegagan. Teh herbal (bahasa Inggris: tisane, herbal tea) adalah

sebutan untuk ramuan bunga, daun, biji, akar, atau buah kering untuk membuat

minuman. Walaupun disebut "teh", ramuan atau minuman ini tidak mengandung

daun dari tanaman teh (Camellia sinensis) (Krisnawati, 2008). Teh herbal biasanya

diseduh dengan air panas untuk mendapatkan minuman yang beraroma harum.

Namun, teh herbal dari bahan biji tumbuhan atau akar sering perlu direbus lebih

dulu sebelum disaring dan siap disajikan. Pengelompokan untuk masing-masing

jenis sebagai berikut:

2.1.1.1. Teh Camelia sinensis

Produk-produk yang termasuk dalam kelompok Camelia sinensis, terbagi

menjadi dua yaitu teh hitam dan teh hijau.

1) Teh Hitam

Proses pengolahan teh hitam dilakukan beberapa tahap pengolahan yaitu

penyediaan pucuk daun yang segar. Mutu teh hitam sebagian ditentukan oleh bahan

bakunya, yaitu daun segar hasil petikan. Pucuk yang bermutu adalah daun muda

yang utuh, segar dan berwarna kehijauan. Pelayuan bertujuan untuk mengurangi

kandungan air dan melemaskan daun agar mudah tergulung dengan lama pelayuan

anatara 12 – 18 jam, lama waktu proses penggilingan antara 25 – 40 menit,

dilakuakan fermentasi pada suhu ruang yaitu 26,7ºC dengan waktu 80 – 90 menit

dan suhu pengeringan berkisar antara 82 ºC - 99 ºC serta proses terakhir dilakukan

7
sortasi. Proses fermentasi merubah komponen kimiawi teh yang bersifat sebagai

komponen bioaktif, volatile maupun pembentuk rasa, warna dan aroma.

2) Teh Hijau

Proses pengolahan teh hijau sama seperti pengolahan teh hitam namun tidak

dilakukan proses fermentasi. Beberapa tahap pengolahan teh hijau yaitu

menggunakan pucuk daun (daun muda) dilakukan pelayuan daun teh yang

dihamparkan ditempat yang teduh dan diangin-anginkan selama kurang lebih 1 – 2

hari sehingga presentase layu sekitar 60% dengan tingkat kerataan layuan yang

baik. Lama waktu penggulungan selama 15 – 17 menit, suhu pengeringan berkisar

antara 130 ºC - 135 ºC selama 25 menit dan proses terakhir sortasi. Sortasi kering

bertujuan untuk memisahkan, memurnikan dan membentuk atau mengelompokkan

jenis mutu teh hijau dengan bentuk dan ukuran yang spesifik sesuai dengan standar

teh hijau.

3) Teh oolong

Teh oolong merupakan jenis peralihan antara teh hitam dan teh hijau yang

mengalami setengah fermentasi. Proses pengolahan teh oolong berbeda dengan

proses pengolahan teh hitam. Proses pengolahan teh oolong meliputi daun teh

yang telah dilayukan kemudian dipanaskan dengan menggunakan udara panas.

Setelah dilakukan proses pemanasan kemudian dilakukan proses fermentasi,

selanjutnya dimasukkan dalam mesin penggulung dan akhirnya dikeringkan.

Teh oolong ini tidak dikenal di Indonesia dan merupakan teh khas Cina dan

8
Taiwan. Teh oolong memiliki kandungan antioksidan yang lebih tinggi daripada

teh hitam namun lebih rendah daripada teh hijau karena teh oolong telah

mengalami oksidasi sebagian. Keunggulan teh oolong daripada teh hijau adalah

citarasa dan aroma yang dimilikinya lebih disukai daripada teh hijau yang

cenderung memiliki citarasa pahit. Teh oolong memiliki kandungan kafein yaitu

sekitar 30 miligram kafein per cangkir (Spillane, 1992).

2.1.1.2. Teh non-Camelia sinensis

Produk-produk yang termasuk dalam kelompok non-Camelia sinensis

terbagi menjadi beberapa produk diantaranya yaitu, teh daun sirsak, teh daun kopi,

teh daun kelor, teh daun alpukat.

1) Teh Daun Sirsak

Menurut penelitian Adri (2013) tentang Aktivitas Antioksidan dan Sifat

Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona muricata Linn.). Berdasarkan Variasi Lama

Pengeringan. Digunakan daun sirsak ke 4 sampai daun ke 6 pangkal batang. Hasil

yeng diperoleh yaitu pada suhu 50 ºC dengan waktu 150 menit menghasilkan

aktifitas antioksidan tertinggi dengan nilai EC50 terendah yaitu 82,16 μg/mL.

Namun dari nilai organoleptik didapatkan hasil terendah, khususnya rasa.

2) Teh Daun Kopi

Menurut hasil penelitian Nainggolan (2012), dalam proses pengolahan teh

daun kopi melalui proses yaitu penyiapan daun, pelayuan dan pengeringan namun

tanpa fermentasi. Berdasarkan hasil penelitian pada pengolahan teh daun kopi yang

terbaik adalah menggunakan jenis daun kopi robusta daun kopi dilayukan dengan

9
menggunakan perlakuan interaksi antara lama pelayuan 90 menit dan suhu

pengeringan 95 ºC.

3) Teh Daun Kelor

Menurut penelitian Rofiah (2015), dalam proses pengolahannya, dilakukan

beberapa proses pengolahan yaitu pemanenan daun segar dengan menggunakan

daun tua, pencucian, sortasi, penirisan, pengeringan tidak dilakukan dengan sinar

matahari namun dikeringkan dengan oven atau cabinet dryer pada suhu stabil antara

30 - 35 ºC selama 2 hari sampai benar-benar kering atau kadar air kurang dari 5%

disimpan dalam ruang gelap serta kering. Untuk kualitas teh dengan

mempertahankan nilai nutrisinya sangat berpengaruh terhadap proses pengolahan

yang dilakukan sehingga menghasilkan rasa, aroma yang berbeda-beda setiap teh.

4) Teh Daun Alpukat

Menurut hasil penelitian Mei (2015), dalam proses pengolahannya,

pembuatan teh daun alpukat diawali dengan pemetikan daun alpukat, pencucian

daun hingga bersih dan dilayukan dengan cara diangin-anginkan pada suhu ruang

(30 ºC) selama 24 jam. Setelah pelayuan, daun dipotong-potong menjadi ukuran

yang lebih kecil. Proses selanjutnya adalah pengeringan daun dengan teknik sun-

dried teknik basket-fried dan oven dengan suhu 50 ºC, masing-masing dari teknik

tersebut dikeringkan selama 2 jam dan 3 jam. Aktivitas antioksidan tertinggi pada

teknik oven dengan lama pengeringan 2 jam sebesar 85,11%, sedangkan terendah

pada teknik sun-dried sebesar 58,64%. Produk teh memilki berbagai persyaratan

mutu untuk menjamin kualitas dari teh yang dihasilkan, adapun spesifikasi

persyaratan mutu teh sebagai berikut:

10
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Teh

(Sumber : Badan Standar Nasional, 2013)

2.2. Daun Salam (Syzygium polyanthum)

Daun Salam merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mudah tumbuh pada

daerah tropis, serta banyak tumbuh di hutan dan dapat ditanam di perkarangan

rumah. Daun Salam tumbuh di ketinggian 5 m sampai dengan 1.000 m di atas

permukaan laut. Pohon salam dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan

dengan ketinggian 1.800 m (Dalimarta,2000). Tumbuhan salam termasuk dalam

tumbuhan menahun atau tumbuhan keras karena dapat mencapai umur bertahun-

tahun (Sumono, 2009). Tinggi pohon daun salam mencapai 25 m, batang bulat,

permukaan licin, rimbun dan berakar tunggang. Daun salam berwarna hijau dan

kecokelatan jika sudah kering. Daun tunggang bertangkai pendek, panjang tangkai

daun 5 – 10 mm, helai daun berbentuk jorong memanjang, panjang 5 – 15 cm, ujung

daun dan pangkal daun meruncing, tepi rata, permukaan atas berwarna cokelat

kehijauan, licin, mengkilat, permukaan bawah cokelat tua, tulang daun menyirip

dan menonjol pada permukaan bawah dan tulang cabang halus. Arah tumbuh

11
batang tegak lurus dengan bentuk batang bulat dan permukaan beralur, batangnya

berkayu biasanya keras dan kuat. Cara percabangan batangnya monopodial, batang

pokok selalu tampak jelas. Memiliki arah tumbuh cabang yang tegak Fahrurozy,

(2012) dalam Fathiyah (2017).

Bunga tumbuhan salam kebanyakan adalah bunga dengan kelopak dan

mahkota masing-masing yang terdiri atas 4 – 5 daun kelopak dan jumlah daun

mahkota yang sama. Bunga tumbuhan salam memiliki banyak benang sari, kelopak

berhadapan dengan daun-daun mahkota. Tangkai sari berwarna cerah, yang

menjadi bagian bunga. Tumbuhan salam memiliki bunga majemuk yang tersusun

dari ujung ranting, berwarna putih dan beraroma harum (Dalimartha, 2000). Bakal

buah mempunyai 1 tangkai putik, dengan 1 – 8 bakal biji dalam tiap ruang. Biji

memiliki sedikit atau tanpa endosperm, lembaga lurus, bengkok atau melingkar.

Buahnya bernama buah buni, bulat berdiameter 8 – 9 mm, buah muda berwarna

hijau, setelah masak menjadi merah gelap, dengan rasa agak sepat (Depkes RI,

2008).

Daun salam memilki bentuk daun yang lonjong sampai elips atau bundar

telur dengan pangkal lancip, sedangkan ujungnya lancip sampai tumpul dengan

panjang 50 mm sampai 150 mm, lebar 35 mm sampai 65 mm dan terdapat 6 sampai

10 urat daun lateral. Panjang tangkai daun 5 mm sampai 12 mm (Dit Jen POM,

1989). Daun salam merupakan daun tunggal yang letaknya berhadapan. Permukaan

daunnya licin dan berwarna hijau mudadan jika diremas beraroma harum

(Dalimartha, 2000).

12
Gambar.1. Daun salam (Anonim, 2017)

2.2.1 Taksonomi daun Salam (Syzygium polyanthum)

Daun salam juga merupakan tumbuhan asli Indonesia yang telah ditetapkan

sebagai salah satu tumbuhan obat yang tergolong dalam klasifikasi berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Dialypetalae

Bangsa : Myrtales

Suku : Myrtaceae

Marga : Syzygium

Spesies : Syzygium polyanthum

(Tjitrosoepomo, 1994)

2.3. Kandungan Kimia Daun Salam (Syzygium polyanthum)

Daun salam (Syzygium polyanthum) mengandung saponin, triterpenoid,

alkaloid, dan 0.2% minyak esensial yang terdiri dari tanin, flavonoid, lakton, dan

fenol (Harismah, 2017). Saponin merupakan suatu glikosida yaitu campuran

13
karbohidrat sederhana yang terdapat pada bermacam-macam tanaman. Saponin

memilki karakteristik berupa buih, sehingga ketika direaksikan dengan air dan

dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut

dalam air dan tidak larut dalam eter, memiliki rasa pahit dan menyebabkan bersin

serta iritasi pada selaput lender. Saponin merupakan racun yang dapat

menghancurkan butir darah atau hemolysis pada darah, bersifat racun bagi hewan

berdarah dingin. Berdasarkan beberapa penelitian, senyawa yang terkandung dalam

daun salam yang dapat menjadi antibakteri adalah sebagai berikut:

1) Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa penting dalam menjaga kesehatan tubuh

karena berfungsi sebagai penangkap radikal bebas yang banyak terbentuk dalam

tubuh. Fungsi antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya

proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan

dalam makanan, serta memperpanjang masa pemakaian bahan dalam industry

makanan. Lipid peroksidase merupakan salah satu faktor yang cukup berperan

dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan (Raharjo,

2005).

Tabel 2. Daya Antioksida Pada Daun Salam Segar

14
Sumber: Rohmani, 2006.

Berdasarkan fungsinya bagi tubuh, antioksidan dibagi menjadi tiga, yaitu

antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer bekerja untuk

mencegah pembesntukan senyawa radikal baru, yaitu mengubah radikal bebas

yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa

radikal bebas bereaksi. Contoh antioksidan primer adalah SuperoksidaDismutase

(SOD), Glutation Peroksidase (GPx) dan protein pengikat logam. Antioksidan

sekunder bekerja dengan cara mengkelat logam yang bertindak sebagai pro-

oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh

antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, β-caroten. Antioksidan tersier

bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang disebabkan radikal bebas.

Contoh antioksidan tersier adalah enzim-enzim yang memperbaiki DNA dan

metionin sulfida reduktase (Ananda, 2009).

Antioksidan alami meliputi flavonoid, asam oksiaromatik, vitamin C dan

E, karotenoid dan senyawa lain. Dalam beberapa tahun terakhir, flavonoid

semakin terkenal karena memiliki sifat antikarsinogenik, antisklerotis,

antialergenik properti, dan aktivitas antioksidan yang beberapa kali lebih kuat

daripada α-tokoferol, vitamin C, dan β-karoten. Kombinasi dari flavonoid alami

yang terkandung dalam sayuran, tanaman beri, buah, padi-padian, biji-bijian,

15
kacang-kacangan, dan lain-lain terbukti efektif. Flavonoid disintesis oleh tanaman

untuk melindungi diri dari proses oksidatif dan selama evolusi jangka panjang

mereka membentuk kombinasi yang optimal (Yashin et al, 2011).

Daun salam sebagai salah satu alternatif bahan makanan sumber

antioksidan yang belum banyak deteliti kegunaannya dalam menurunkan aktifitas

radikal bebas didalam tubuh. Senyawa antioksidan ini dapat menatralisir radikal

bebas yang merusak sel-sel dalam tubuh. Daun salam juga berkhasiat sebagai

anti hipertensi, diduga senyawa yang bertanggung jawab adalah karena daun

salam tersebut mengandung tannin dan flavonoid. Kandungan kimia yang

terkandung dalam daun salam meliputi flavonoid, triterpen, tannin, polifenol,

alkaloid, dan minyak atsiri (Sofia, 2006).

Flavonoid berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu jenis zat

terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan

dengan warna kuning, kuning jeruk dan merah yang dapat ditemukan pada buah,

sayuran, kacang, biji, batang, bunga, rempah-rempah, serta produk pangan dan obat

dari tumbuhan seperti minyak zaitun, teh, cokelat, anggur merah, dan obat herbal.

Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna, rasa, aroma serta kualitas

nutrisi makanan. Sifat dari senyawa flavonoid yaitu agak asam dan dapat larut

dalam basa, karena merupakan senyawa polihidriksi (gugus hidroksil) dan juga

bersifat polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti methanol, etanol,

aseton, air, butanol. Flavonoid juga merupakan suatu kelompok senyawa fenol

terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna

16
merah, ungu, dan biru yang ditemukan dalam tumbuh-tumhbuhan (Lenny, 2006

dalam Andri, 2013).

Flavonoid Merupakan senyawa polar yang umumnya mudah larut dalam

pelarut polar seperti etanol, menthanol, butanol, dan aseton. Flavonoid adalah

golongan terbesar dari senyawa fenol. Senyawa fenol memiliki kemampuan

antibakteri dengan cara repository.unimus.ac.id 11 mendenaturasi protein yang

menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri (Cushnie &

Lamb, 2011). Menurut berbagai penelitian terakhir, menunjukan bahwa flavonoid

memiliki efek antimikroba, antiinflamasi, merangsang pembentukan kolagen,

melindungi pembuluh darah, antioksidan dan antikarsinogenik (Sabir, 2003). Pada

umumnya kelarutan zat aktif yang diekstrak akan bertambah besar dengan

bertambah tingginya suhu. Akan tetapi, peningkatan suhu ekstraksi juga perlu

diperhatikan, karena suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada

bahan yang sedang diproses (Margaretta et al., 2011). Komponen bioaktif seperti

flavonoid, tanin, dan fenol rusak pada suhu diatas 500C karena dapat mengalami

perubahan struktur serta menghasilkan ekstrak yang rendah (Handayani dan

Sriherfyna, 2016). Semakin tinggi suhu yang digunakan dalam proses pengeringan

maka semakin menurun kandungan flavonoid pada sampel. Perlakuan kontrol

memiliki kadar flavonoid paling tinggi dibandingkan perlakuan suhu pengeringan

lain yaitu sebesar 3,77 mg/g, sedangkan perlakuan suhu pengeringan 50°C

diperoleh kadar flavonoid yang paling rendah yaitu sebesar 2,26 mg/g. Hal ini

disebabkan karena flavonoid yang terkandungdalam sampel teki merupakan

senyawa aktif yang sensitif terhadap suhu (termolabil), sehingga pada proses

17
pengeringan dengan pemanasan cenderung menurunkan kadar flavonoid. Syafarina

dkk (2017) menyatakan bahwa flavonoid merupakan golongan polifenol dengan

struktur dasar fenol yang senyawanya memiliki sifat mudah teroksidasi dan sensitif

terhadap perlakuan panas sehingga dengan adanya suhu pengeringan akan

mempengaruhi kadar flavonoid yang terkandung di dalam bahan. Kandungan

senyawa akan menurun seiring dengan peningkatan dan tinggi suhu yang digunakan

karena akan terjad dekomposisi fenol yang berpengaruh pada kandungan flavonoid.

Flavonoid memiliki sifat senyawa yang tidak tahan terhadap suhu.

Mekanisme penurunan senyawa flavonoid akibat suhu pengeringan

disebabkan oleh perubahan dekomposisi senyawa flavonoid.Menurut Susanti

(2008) penurunan senyawa flavonoid dapat disebabkan karena kadar senyawa

fenolik mengalami perubahan komposisi kimia akibat tingginya suhu pengeringan.

Salah satu contohnya yaitu adalah adanya perubahan senyawa tanin menjadi

senyawa kimia lain akibat adanya pengaruh suhu. Tanin salah satu jenis senyawa

yang termasuk ke dalam golongan polifenol. Sekarini (2011) menyatakan bahwa

suhu pengeringan yang tinggi akan mengakibatkan terjadinya oksidasi komponen

polifenol, yaitu dengan adanya penambahan molekul oksigen. Oksidasi komponen

polifenol akan mengakibatkan kerusakan pada senyawa flavonoid. Hal tersebut

mengakibatkan epigallokatekin dan galat akan terkondensasi membentuk

ortoquinon dan selanjutnya mengalami kondensasi dengan adanya penambahan ion

hidrogen, membentuk bisflavanol. Bisflavanol kemudian akan mengalami

kondensasi sehingga membetuk theaflavin dan thearubigin. Kedua komponen ini

18
merupakan komponen senyawa tannin dengan kandungan polifenol dalam jumlah

yang relatif sedikit.

2) Tanin

Tanin sering ditemukan ditumbuhan yang terletak terpisah dari protein dan

enzin sitoplasma, tetapi bila jaringan rusak maka reaksi penyamakan dapat terjadi.

Dapat mengganggu permeabilitas membran sel bakteri dan memiliki kemampuan

mencegah koagulasi plasma pada Staphylococcus aureus (Akiyama et al., 2001).

Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman. Tanin merupakan

polifenol (dengan rasa pahit atau sepat) Tanin juga terdapat dalam bagian tanaman

tertentu, antara lain bagian daun, buah, kulit kayu dan batang. Pada buah yang muda

sering terdapat tannin, kadar tannin menurun sejalan dengan menuanya buah. Tanin

dapat diidentifikadi dengan kromatografi karena semakin tinggi suhu pengeringan

maka kadar tannin akan semakin rendah ( Harborne, 1987).

3) Minyak atsiri

Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak

gosok (untuk pengobatan) alami (Farrel, 1990). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Arintawati (2000), komponen pembentuk aroma daun salam yang

paling banyak adalah golongan terpenoid sebanyak 34,6% yang terdiri atas

seskuiterpen sebanyak 25,5%, monoterpen sebanyak 9,1% dan diterpen sebanyak

1,8%. Minyak atsiri Berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu enzim

yang membantu pembentukan energi sehingga memperlambat pertumbuhan sel.

Minyak atsiri dalam jumlah banyak dapat juga mendenaturasi protein (Nazzaro et

al., 2013). Minyak atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud

19
cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma

yang khas.

2.4. Manfaat Daun Salam

Sebagian besar masyarakat di Indonesia menggunakan daun salam sebagai

pelengkap bumbu dapur karena bau harum yang dimiliki daun salam dan dapat

menyedapkan rasa masakan. Daun salam tidak hanya bermanfaat sebagai

pelengkap bumbu dapur saja. Secara empiris daun salam dapat digunakan dalam

terapi. Sebagai contoh, daun salam dapat digunakan untuk mengurangi hipertensi,

diabetes, diare, gastritis, mabuk, dan penyakit kulit. Tumbuhan ini juga

mempunyai efek diuretik dan analgesik (Sumono & Sd, 2008). Manfaat-manfaat

daun salam tersebut dihasilkan oleh kandungan senyawa kimia yang dimilikinya.

Senyawa kimia yang terkandung dalam daun salam adalah flavonoid, tanin,

minyak atsiri, triterpenoid, alkaloid, dan steroid. Flavonoid, tanin, minyak atsiri,

dan alkaloid memiliki efek antibakteri sedangkan steroid triterpenoid dan steroid

memiliki efek analgesik (Dalimartha 2000; Kusuma et al., 2011). Selain itu

tanaman salam juga dimanfaatkan untuk pengobatan alternatif yaitu untuk

mengurangi dyslipidemia khususnya hipertrigliserida, menurunkan kadar LDL,

(Harismah, 2017). Dari BPOM (1989), daun salam ditetapkan sebagai salah satu

dari Sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara klinis

untuk menanggulangi masalah kesehatan tertentu. Bagian utama yang

dimanfaatkan dari tumbuhan salam adalah daun. Daun salam juga dapat

digunakan untuk mengobati kolestrol tinggi, kencing manis, tekanan darah tinggi,

kanker (Dalimartha, 2006).

20
2.5.Pengeringan

Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah

yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan enersi panas. Hasil dari proses

pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara dengan kadar

air keseimbangan udara (atmosfir) normal atau setara dengan nilai aktivitas air (aw)

yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan kimiawi. Pengertian proses

pengeringan berbeda dengan proses penguapan (evaporasi). Proses penguapan atau

evaporasi adalah proses pemisahan uap air dalam bentuk murni dari suatu campuran

berupa larutan (cairan) yang mengandung air dalam jumlah yang relatif banyak.

Pengeringan merupakan salah satu proses pengolahan pangan yang sudah lama

dikenal. Tujuan dari proses pengeringan adalah menurunkan kadar air bahan

sehingga bahan menjadi lebih awet, mengecilkan volume bahan sehingga

memudahkan dan menghemat biaya pengangkutan, pengemasan dan penyimpanan.

Di samping itu banyak bahan hasil pertanian yang hanya digunakan setelah

dikeringkan terlebih dahulu seperti tembakau, kopi, the dan biji-bijian. Meskipun

demikian ada kerugian yang ditimbulkan selama pengeringan yaitu terjadinya

perubahan sifat fisik dan kimiawi bahan serta terjadinya penurunan mutu bahan.

Pengeringan harus disesuaikan dengan bahan tanaman yang akan dikeringkan.

Menurut Departement Kesehatan RI (1985), suhu pengeringan tergantung pad jenis

herbal dan cara pengeringannya.

2.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengeringan

Faktor-faktor mempengaruhi pengeringan ada dua hal, yaitu faktor yang

berhubungan dengan udara pengering dan faktor yang berhubungan dengan sifat

21
bahan yang dikeringkan. Faktor yang termasuk golongan pertama adalah suhu,

kecepatan volume aliran udara pengering dan kelembaban udara. Faktor golongan

kedua adalah ukuran bahan dan kadar air awal di dalam bahan. Waktu dapat

mempengaruhi proses pengeringan, semakin lama waktu pengeringan akan

menyebabkan penurunan kadar air karena energi panas yang diberikan akan

semakin besar sehingga kandungan air di dalam bahan akan menguap ke udara

bebas. (Angraiyati, 2017).

Faktor yang dapat mempengaruhi pengeringan suatu bahan pangan adalah

(Buckle et al, 1987):

1. Sifat fisik dan kimia dari bahan pangan.

2. Pengaturan susunan bahan pangan.

3. Sifat fisik dari lingkungan sekitar alat pengering.

4. Proses pemindahan dari media pemanas ke bahan yang dikeringkan melalui

dua tahapan proses selama pengeringan yaitu:

a. Proses perpindahan panas terjadinya penguapan air dari bahan yang

dikeringkan,

b. Proses perubahan air yang terkandung dalam media yang dikeringkan

menguapkan air menjadi gas.

5. Prinsip pengeringan biasanya akan melibatkan dua kejadian, yaitu panas harus

diberikan pada bahan yang akan dikeringkan, dan air harus dikeluarkan dari

dalam bahan. Dua fenomena ini menyangkut perpindahanpanaske dalam dan

perpindahan massa keluar.

22
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kecepatan pengeringan adalah:

1. Perbedaan suhu sekitar

Pada umumnya, semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas

dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin

cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Semakin tinggi suhu udara, semakin

banyak uap air yang dapat ditampung oleh udara tersebut sebelum terjadi

kejenuhan. Dapat disimpulkan bahwa udara bersuhu tinggi lebih cepat mengambil

air dari bahan pangan sehingga proses pengeringan lebih cepat. Herbal dapat

dikeringkan pada suhu 30 - 90ºC. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka suhu dan

lama pengeringan dibagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:

b. Suhu pengeringan <50ºC (30 - 45ºC).

Suhu 30 - 45ºC digunakan untuk mencegah kemungkinan rusaknya senyawa-

senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan pada suhu tinggi seperti protein.

Herbal yang mengandung senyawa aktif yang tidak tahan terhadap panas atau

mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin atau dengan cara

pengeringan vakum.

c. Suhu pengeringan 50 - 60ºC

 Menurut Adri (2013), suhu yang digunakan pada pengeringan teh daun

sirsak yaitu 50 ºC dengan lama pengeringan 150 menit yang dapat

menurunkan kadaar air sebesar 8,13%.

 Menurut Delvi (2013), pengolahan teh herbal daun sirsak dengan suhu dan

lama pengeringan terbaik yaitu 60 ºC selama 180 menit. Semakin tinggi

23
suhu dan waktu yang digunakan maka akan semakin berkurang zat gizi

yang terkandung dan juga memiliki nilai organoleptik terendah, khususnya

rasa.

 Hasil penelitian Elbie (2013), menunjukkan bahwa perlakuan suhu

pengeringan 50 ºC lama pengeringan 160 menit menghasilkan kadar air

sebesar 10,9%, sehingga dinyatakan memenuhi SNI kadar air teh hijau

yaitu sebesar 12%.

d. Suhu pengeringan >60 ºC

 Menurut hasil penelitian Rona (2012), memanfaatkan daun kopi sebagai teh

seduhan yang menghasilkan uji organoleptik terbaik dengan interaksi lama

fermentsi 90 menit dan suhu pengeringan 95 ºC.

 Hasil penelitian Harun, dkk, (2014), Penerimaan Panelis Terhadap Teh

Herbal Dari Kulit Buah Manggis ( Garcinia Mangostana L. ) Dengan

Perlakuan Suhu Pengeringan didapatkan rata-rata kadar air semakin tinggi

suhu maka kadar air pada kulit manggis semakin rendah namun berbanding

terbalik dengan kadar abu, semakin tinggi suhu maka kadar abu yang

didapatkan semakin meningkat juga. Berdasarkan penerimaan keseluruhan

teh kulit buah manggis cenderung meningkat dengan suhu pengeringan

yang semakin tinggi Dari hasil penerimaan keseluruhan terhadap warna,

rasa dan aroma, dapat dilihat bahwa perlakuan yang banyak diterima panelis

adalah perlakuan S3 (suhu pengeringan 85°C) dibandingkan dengan

24
perlakuan suhu pengeringan 90°C karena the yang dihasilkan sangat pekat

dan rasa the herbal kulit buah manggis lebih pahit.

Daun salam mengandung kadar air rata-rata Dari 63,00- 69,07% Bb

sehingga memerlukan suhu dan lama pengeringan yang terlalu tinggi maka akan

mempengaruhi penurunan zat kandungan lain yang terdapat dalam daun salam.

Sedangkan pada suhu dan lama pengeringan yang terlalu rendah akan menyebabkan

daya simpan teh herbal daun salam akan semakin cepat. Menurut SNI (1995) kadar

air pada produk teh memilki nilai maksimal 12%.

2. Luas permukaan

Pada umumnya, bahan pangan yang dikeringkan mengalami pengecilan ukuran,

baik dengan cara diiris, dipotong, atau digiling. Proses pengecilan ukuran dapat

mempercepat proses pengeringan dengan mekanisme sebagai berikut :

a. Pengecilan ukuran memperluas permukaan bahan. Luas permukaan bahan

yang tinggi atau ukuran bahan yang semakin kecil menyebabkan permukaan

yang dapat kontak dengan medium pemanas menjadi lebih baik,

b. Luas permukaan yang tinggi juga menyebabkan air lebih mudah berdifusi

atau menguap dari bahan pangan sehingga kecepatan penguapan air lebih

cepat dan bahan menjadi lebih cepat kering.

c. Ukuran yang kecil menyebabkan penurunan jarak yang harus ditempuh oleh

panas. panas harus bergerak menuju pusat bahan pangan yang dikeringkan.

Demikian juga jarak pergerakan air dari pusat bahan pangan ke permukaan

bahan menjadi lebih pendek.

25
3. Kecepatan aliran udara, Udara yang bergerak atau bersirkulasi akan lebih cepat

mengambil uap air dibandingkan udara diam. Pada proses pergerakan udara,

uap air dari bahan akan diambil dan terjadi mobilitas yang menyebabkan udara

tidak pernah mencapai titik jenuh. Semakin cepat pergerakan atau sirkulasi

udara, proses pengeringan akan semakin cepat. Prinsip ini yang menyebabkan

beberapa proses pengeringan menggunakan sirkulasi udara.

4. Kelembaban Udara

Kelembaban udara menentukan kadar air akhir bahan pangan setelah

dikeringkan. Bahanpangan yang telah dikeringkan dapat menyerap air dari

udara di sekitarnya. Jika udara disekitar bahan pengering tersebut mengandung

uap air tinggi atau lembab, maka kecepatan penyerapan uap air oleh bahan

pangan tersebut akan semakin cepat. Proses penyerapan akan terhenti sampai

kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan tersebut tercapai.

Kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan adalah kelembaban pada suhu

tertentu dimana tidak terjadi penguapan air dari bahan pangan ke udara dan

tidak terjadi penguapan air dari bahan pangan ke udara dan tidak terjadi

penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan.

5. Lama Pengeringan

Lama pengeringan menentukan lama kontak bahan dengan panas. Karena

sebagian besar bahan pangan sensitif terhadap panas maka waktu pengeringan

yang digunakan harus maksimum, yaitu kadar air bahan akhir yang diinginkan

telah tercapai dengan lama pengeringan yang pendek. Pengeringan dengan

suhu yang tinggi dan waktu yang pendek dapat lebih menekan kerusakan bahan

26
pangan dibandingkan dengan waktu pengeringan yang lebih lama dan suhu

lebih rendah.

2.5.2. Tujuan Pelaksanaan Tahapan Pengeringan

Pengeringan merupakan salah satu proses yang digunakan untuk

memperpanjang daya simpan. Menurut Yusmarini dan Pato (2004), pengeringan

merupakan salah satu cara pengawetan yang umum dilakukan pada bahan pangan.

Tujuan pengeringan yaitu mengurangi kandungan kadar air bahan pangan sehingga

dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan. Selain itu, proses

pengeringan bertujuan untuk menghentikan reaksi oksidasi enzimatis sehingga

aktivitas enzim polfenol oksidase terhambat karena berkurangnya kadar air hingga

mencapai 2,5-3%, membentuk warna dan cita rasa yang dikehendaki (Temple et.al,

2001). Reaksi oksidasi enzimatis harus dihentikan karena apabila reaksi tersebut

tidak dihentikan akan terjadi oksidasi enzimatis lanjutan yang akan mengakibatkan

mutu teh yang dihasilkan menurun atau maksimal sehingga warna teh tidak cerah

dan rasanya sepat atau pahit. Pengeringan dilakukan sebagai tahap akhir dapat

dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan menggongseng, menjemur,

menghembuskan udara panas, atau memanggangnya.

2.5.3. Mekanisme Pengeringan

Proses perpindahan panas terjadi karena suhu bahan lebih rendah pada suhu

udara yang dialirkan di sekelilingnya. Panas yang diberikan akan menaikkan suhu

bahan yang menyebabkan tekanan uap air udara, sehingga terjadi perpindahan uap

air dari bahan ke udara yang merupakan perpindahan massa. Sebelum proses

27
pengeringan berlangsung, tekanan uap air di dalam bahan berada dalam

keseimbangan dengan tekanan uap air di udara sekitarnya (Desroiser, 2008).

Pada saat pengeringan dimulai, uap panas yang dialirkan meliputi

permukaan bahan akan menaikkan tekanan uap air, terutama di daerah permukaan,

sejalan dengan kenaikan suhunya. Saat proses ini terjadi, perpindahan massa dari

bahan ke udara dalam bentuk uap air berlangsung atau terjadi pengeringan pada

permukaan bahan, kemudian tekanan uap air pada permukaan bahan akan menurun.

Setelah kenaikan suhu terjadi pada seluruh bagian bahan, maka terjadi pergerakan

air secara difusi dari bahan ke permukaannya dan seterusnya proses penguapan

pada permukaan bahan diulang kembali. Kemudian setelah air bahan berkurang,

tekanan uap air bahan akan menurun sampai terjadi keseimbangan dengan udara

sekitarnya (Desroiser, 2008).

Peristiwa yang terjadi selama pengeringan meliputi dua proses (Desroiser,

2008) antara lain:

a. Proses perpindahan panas, yaitu proses menguapkan air dari dalam bahan atau

proses perubahan bentuk dari bentuk cair ke bentuk gas.

b. Proses perpindahan massa, yaitu proses perpindahan massa uap air dari

permukaan bahan ke udara.

2.5.4. Kriteria Daun Teh Yang Telah Kering

Pengendalian proses pada saat proses pengeringan adalah dengan

mengendalikan suhu masuk (inlet) dan keluar (outlet). Bubuk teh yang diharapkan

setelah pengeringan adalah yang memenuhi kriteria. Beberapa kriteria tersebut

diantaranya adalah bubuk teh kering berwarna coklat mengkilap, partikel bubuk teh

28
ringan dan saling terpisah. Selain itu, setelah proses pengeringan akan terbentuk

aroma yang kuat dari bubuk teh yang dihasilkan (Dewi, 2015).

2.6. Pengaruh Pengeringan Terhadap Mutu Teh

Pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan. Suhu tinggi

dapat mengakibatkan daun teh hangus, sedangkan suhu rendah menyebabkan

proses fermentasi masih bisa berlangsung. Selain itu, waktu pengeringan yang

terlalu lama akan mengakibatkan teh menjadi rapuh, sedangkan waktu

pengeringan yang terlalu cepat menyebabkan kadar air masih tinggi. Beberapa

penelitian sebelumnya tentang suhu dan lama pengeringan daun yang memiliki

karakteristik hampir sama dengan daun kakao dapat menghasilkan teh dengan

kualitas yang cukup baik seperti pada penelitian Mulachella (2017) pengeringan

daun salam pada suhu 50 oC selama 50 menit menghasilkan teh daun salam dengan

kadar air 7,77% dan aktivitas antioksidan tertinggi yaitu 89,78% serta dari segi

organoleptik teh daun salam dapat diterima dengan nilai agak suka baik pada rasa,

aroma dan warna (Rusnayanti, 2018). Menurut (Galih, 2016) pengaruh

pengeringan dan lama pelayuan pada mutu apel celup sangat berpengaruh

terhadap kandungan kimia yang ada didalamnya, diantanya adalah :

a) Vitamin C

Kadar vitamin C apel celup cenderung mengalami penurunan akibat

adanya peningkatan suhu pengeringan dan lama pelayuan. Semakin tinggi suhu

pengeringan menyebabkan semakin banyak vitamin C yang teroksidasi menjadi

senyawa diketogulonat (DKG). Selain itu vitamin C merupakan senyawa yang

mudah rusak akibat panas. Semakin tinggi suhu menyebabkan semakin banyak air

29
yang menguap. Vitamin C merupakan senyawa yang larut air sehingga ikut hilang

bersama hilangnya air dari bahan. Semakin lama proses pelayuan maka semakin

lama juga reaksi oksidasi vitamin C yang terjadi karena bahan lebih lama terpapar

oksigen. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh luar penyebab

kerusakan seperti suhu, oksigen, kadar air, dan katalisator logam. Asam askorbat

mudah teroksidasi menjadi L-dehidroaskorbat yang masih mempunyai keaktifan

sebagai vitamin C. Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat

mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak

memiliki keaktifan vitamin C.

b) Kadar Air

Kadar air apel celup mengalami penurunan seiring dengan semakin

tingginya suhu pengeringan dan lama pelayuan yang digunakan. Semakin tinggi

suhu pengeringan menyebabkan semakin cepat kenaikan panas yang terjadi.

Perbedaan suhu mempengaruhi percepatan kenaikan panas maka semakin tinggi

suhun yang diterapkan dalam pengeringan semakin cepat pula panas yang

terbentuk untuk menguapkan air dalam bahan. Semakin tinggi panas yang

diterima oleh bahan saat pengeringan menyebabkan semakin banyak air dalam

bahan yang menguap. Pada proses pelayuan terjadi proses pengeluaran air dari

jaringan buah. Pengeluaran air ini terjadi karena apel sudah mengalami proses

pemotongan sehingga luas permukaan apel menjadi lebih besar hal ini

mengakibatkan air dari dalam bahan keluar karena perbedaan tekanan di dalam

dan di luar jaringan. Semakin lama proses pengeluaran air ini berlangsung

menyebabkan banyak air yang keluar dalam bentuk air bebas sehingga

30
mempermudah proses penguapan air saat proses pengeringan. Sehingga semakin

lama pelayuan menyebabkan kadar air dalam bahan menurun.

c) Total Fenol

Penurunan total fenol apel celup Anna seiring dengan semakin lama waktu

pelayuan yang diterapkan. Hal ini dikarenakan pada proses pelayuan terjadi reaksi

oksidasi enzimatis dimana enzim fenolase pada apel merubah senyawa-senyawa

fenolik pada apel menghasilkan pigmen melanin atau senyawa penghasil warna

coklat. Proses oksidasi fenolik melibatkan enzim-enzim seperti monophenol

monoxygenase atau tyrosinase, polifenol oksidase atau fenolase, dan laccase.

Apabila enzim tersebut mengalami kontak dengan oksigen di udara, fenolase akan

mengkatalisis konversi biokimia dari komponen fenolik yang ada pada apel

sehingga komponen tersebut berubah menjadi pigmen coklat atau melani.

d) Kecerahan Seduhan

Nilai kecerahan seduhan apel celup Anna cenderung semakin menurun

seiring dengan semakin tingginya suhu pengeringan yang digunakan dan semakin

lama waktu pelayuan. Hal tersebut disebabkan karena Semakin tinggi suhu

mempercepat reaksi maillard sehingga semakin banyak melanoidin yang

terbentuk. Semakin menurunnya kecerahan sari apel celup ini mengindikasikan

semakin cepatnya waktu seduh akibat semakin tinggi suhu yang digunakan dalam

pembuatan apel celup. Pada proses pelayuan terjadi proses terbentuknya pigmen

melanin yaitu pigmen coklat dari hasil reaksi oksidasi fenol. Fenol yang

teroksidasi akan membentuk o-quinon dan pigmen coklat. Semakin lama waktu

pelayuan yang digunakan maka pigmen coklat semakin banyak terbentuk

31
sehingga kecerahan semakin menurun dan kecepatan seduhan apel celup semakin

cepat.

e) Organoleptik Aroma

Daun salam dalam keadaan utuh tidak menimbulkan aroma khasnya. Ketika

diremas-remas aroma khas daun salam baru tercium. Proses meremas ini

memungkinkn kerusakan sel-sel yang menyebabkan terjadinya reaksi kimia

akibat teroksidasi oleh udara atau reaksi enzimatis akibat aktivitas enzim yang

terkandung dalam daun sehingga memunculkan flavor. Aroma khas daun salam

akan meningkat ketika direbus hingga air mendidih. Hal ini disebabkan karena

komponen yang dominan dalam daun salam yakni (Z)-4-decenal, fatty acid ester,

dan decanal tidak berada dalam keadaan bebas, masih diduga dalam bentuk

prekursor nonvolatil. Proses pemanasan yang dilakukan terhadap daun salam

melepaskan komponen volatil yang terikat sehingga terjadi reaksi dan

menghasilkan komponen baru serta memunculkan aroma khas. Sedangkan daun

kering mengalami penguapan komponen-komponen beba yang memiliki

volatilitas tinggi, sehingga mengurangi aroma khas daun salam itu sendiri akibat

ketidak lengkapan komponen pendukung terciptanya aroma khas. Hal inilah

yang menyebabkan daun salam segar memiliki aroma cita rasa gurih yang lebih

kuat semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pelayuan. Hal

ini dikarenakan semakin lama pelayuan semakin banyak ester yang terbentuk dan

menghasilkan aroma apel. Pada buah apel terdapat asam-asam fenolik yang

mempengaruhi rasa asam apel, asam –asam fenolik pada apel seperti asam cafeic

dan asam p-coumaric dapat bereaksi dengan asam quinic yang merupakan hasil

32
oksidasi komponen fenolik membentuk ester. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa

semakin tinggi suhu pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai

kesukaan panelis terhadap aroma apel celup Anna. Hal ini dikarenakan suhu tidak

mempengaruhi pembentukan senyawa aroma pada apel celup Anna.

f) Organoleptik Warna

Nilai kesukaan panelis terhadap warna apel celup Anna cenderung

semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pelayuan. Hal ini

dikarenakan semakin lama pelayuan semakin banyak senyawa melanin atau

pigmen coklat yang terbentuk akibat reaksi oksidasi enzimatis senyawa fenolik.

Fenol mengalami oksidasi menjadi kuinon. Kuinon merupakan senyawa golongan

keton yang menyebabkan warna menjadi coklat (merah kekuningan), semakin

tinggi kadar kuinon maka semakin coklat warna sari apel dari apel celup Anna.

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu pengeringan tidak

memberikan pengaruh terhadap nilai kesukaan panelis terhadap warna apel celup

Anna. Hal ini dikarenakan suhu tidak memberikan pengaruh terhadap

pembentukan pigmen pada apel celup Anna.

g) Organoleptik Rasa

Nilai kesukaan panelis terhadap rasa apel celup Anna cenderung semakin

meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pelayuan. Pada proses

pelayuan terjadi perubahan senyawa katekin pada apel akibat oksidasi polifenol

secara enzimatis menjadi senyawa turunan seperti theaflavin yang dapat

menghasilkan rasa yang lebih enak. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin

tinggi suhu pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai kesukaan

33
panelis terhadap warna apel celup Anna. Hal ini dikarenakan suhu tidak

memberikan pengaruh terhadap pembentukan senyawa penyusun rasa pada apel

celup Anna.

2.6.1. Pengaruh Pengeringan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pangan

Selama pengeringan, bahan pangan kehilangan kadar air yang menyebabkan

naiknya kadar zat gizi di dalam massa yang tertinggal. Sebagian besar bahan pangan

kering bila direkonstitusi atau rehidrasi tetap berbeda dengan bahan pangan segar.

Pada bahan pangan yang kering terdapat vitamin-vitamin yang hilang. Vitamin

yang larut dalam air, sangat peka terhadap panas dan dapat diperkirakan akan

mengalami oksidasi. Besarnya kerusakan vitamin tergantung pada cara preparasi

bahan pangan yang dikeringkan, proses dehidrasi yang dipilih, kehati-hatian dalam

pelaksanaan pengeringan dan kondisi penyimpanan dari bahan pangan kering

(Desroiser, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Anggorowati, dkk (2016) tentang

Potensi Daun Alpukat (Persea American Miller) sebagai Minuman Teh Herbal yang

Kaya Antioksidan yang dilakukan pada suhu pengeringan 40ºC, 50ºC, 60ºC, 70ºC

dan 80ºC dengan waktu pengeringan : 30, 50, 70, 90 dan 110 menit diperoleh hasil

bahwa semakin kecil suhu dan waktu pengeringan maka semakin besar aktivitas

antioksidannya. Kondisi tersebut disebabkan pada proses pengeringan

mengakibatkan meningkatkan zat aktif yang terkandung dalam the, selain itu

pengeringan (Winarno, 2004).

34
2.6.2. Pengaruh Pengeringan Terhadap Sifat Bahan Pangan

Pengaruh pengeringan terhadap bahan makanan yang dikeringkan

mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan segar, selama

pengeringan dapat terjadi perubahan warna, aroma, tekstur dan lain sebagainya.

Bahan yang telah dikeringkan mengandung senyawa-senyawa seperti protein,

karbohidrat, lemak dan mineral dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan tetapi lain

halnya untuk vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya akan menjadi rusak

atau berkurang. Reaksi pencoklatan pada bahan pangan dapat dibagi menjadi dua

reaksi utama yaitu pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan

enzimatis adalah proses reaksi kimia yang terjadi pada bahan pangan terutama

sayuran dan buah-buahan yang menghasilkan pigmen warna coklat (melanin).

Pencoklatan enzimatis dipicu oleh enzim oksidase dan oksigen (1,2 benzenediol,

oxygen oxidoreductase, EC 1.10.3.1) yang dikenal sebagai phenoloxidase,

phenolase, monophenol oxidase, diphenol oxidase dan tyrosinase. Reaksi ini dapat

terjadi bila jaringan tanaman terpotong, terkupas dan karena kerusakan secara

mekanis yang dapat menyebabkan kerusakan integritas jaringan tanaman. Reasksi

pencoklatan no-enzimatis yang terdiri dari reaksi Maillard dan karamelisasi

(pemanasan gula sukrosa menjadi caramel). Reaksi Maillard adalah reaksi antara

karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer pada bahan

pangan yang menghasilkan produk berwarna coklat yang dikehendaki pada

pengolahan bahan pangan (Apriadji, 2008 dalam Fathiyah).

Ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam pengeringan yaitu penggunaan

panas, jika pengeringan dilakukan dengan suhu yang terlalu tinggi, maka akan

35
menyebabkan case hardening yaitu keadaan bahan dibagian luar sudah kering

tetapi dibagian dalam masih basah, hal ini terjadi karena penggunaan suhu yang

terlalu tinggi menyebabkan permukaan bahan menjadi cepat kering dan mengeras,

sehingga akan menghambat pengeringan atau penguapan di bagian tengah bahan

karena terhalang oleh bagian luar yang sudah mengeras, case hardening juga biasa

terjadi karena adanya perubahan-perubahan kimia tertentu seperti halnya terjadi

penggumpalan protein di permukaan bahan karena panas akan terbentuknya

dekstrin dari pati yang jika dikeringkan akan menjadi bahan yang massif (keras).

Untuk case hardening adalah dengan menggunakan suhu yang tidak terlalu panas

atau menggunakan tahapan-tahapan dlam penggunakan suhu panas, seperti

memberikan pemanasan awal dengan suhu rendah (Fellow, 2000).

Pengeringan dengan pemanasan akan mengakibatkan terjadinya penguapan

air dan hilangnya komponen pangan yang bersifat mudah menguap, sehingga bahan

pangan mengalami penurunan dari segi flavor. Kehilangan komponen tersebut

tergantung pada suhu, tekanan uap dari komponen yang mudah menguap,

kandungan air dalam bahan pangan dan kelarutan komponen yang mudah menguap

dalam air. Oleh karena itu komponen yang tingkat menguapnya tinggi akan lebih

cepat hilang selama proses pengeringan, sehingga pengeringan bahan pangan

dilakukan pada suhu rendah. Aroma pada bahan pangan dapat hilang apabila

struktur terbuka pada bahan pangan yang dikeringkan berkontak dengan oksigen.

Hilangnya aroma terjadi karena dalam proses oksidasi dan komponen akan mudah

menguap ketika penyimpanan (Fellow, 2000).

36
BAB III
METODE PEMECAHAN MASALAH

3.1. Metode dan Rancangan yang Ditawarkan

3.1.1.Metode yang Ditawarkan

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang dilaksanakan di

Laboratorium.

3.1.2. Rancangan yang Ditawarkan

Rancangan percobaan yang digunakan didalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan percobaan faktor tunggal yaitu Suhu

Pengeringan yang terdiri atas 5 perlakuan sebagai berikut :

T1 : Suhu pengeringan 40 ºC

T2 : Suhu pengeringan 50 ºC

T3 : Suhu pengeringan 60 ºC

T4 : Suhu pengeringan 70 ºC

T5 : Suhu pengeringan 80 ºC

Masing-masing perlakuan ini diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh

20 sampel. Data pengamatan Masa Simpan dianalisis menggunakan ANOVA pada

taraf 5% mengunakan software Co-Stat untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan.

Apabila ada perbedaan maka dilanjutkan dengan uji lanjut menggunakan Uji

Ortogonal (Hanafiah, 2015).

3.2. Waktu dan Tempat yang Ditawarkan

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan,

Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Laboratorium Pengendalian Mutu

Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram.

37
3.3. Alat dan Bahan yang Digunakan

3.3.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven MEMMERT

jenis UNB 400, timbangan digital, colormeter (MSEZ user manual) , cawan

porselin, labu ukur, Erlenmeyer, pipet volume, tabung reaksi, gelas plastic, rak

tabung reaksi, gelas piala, desikator stopwatch dan kertas label.

3.3.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun salam, air

putih, larutan methanol for analysis, aquades dan larutan Diphenylpicryl-hydrazyl

(DPPH) 0,1 mM.

3.4. Tahapan yang Ditawarkan

Proses pembuatan teh daun salam meliputi beberapa tahapan yaitu persiapan

bahan baku meliputi pembuatan teh daun salam diantaranya proses penyiapan daun

salam, pemisahan dari tangkai, sortasi, pencucian, pengeringan dan pengemasan.

Adapun kegiatan-kegiatan pada setiap tahapan secara rinci dijelaskan sebagai

berikut:

3.4.1.Pemetikan bahan baku

Proses pemetikan daun salam dilakukan dari tangkai dengan cara manual.

Pohon salam dipetik sebanyak 3 pohon yang berusia kurang lebih 5 tahun dengan

ketinggian kurang lebih 7 m.

3.4.1.1. Pembuatan Teh Daun Salam

1. Persiapan daun salam

Daun salam dipilih dengan kondisi masih segar, berwarna hijau muda, belum

38
terserang hama, tidak robek dan tidak berwarna kekuningan atau kecoklatan.

Daun salam yang diambil 3 kg.

2. Pemisahan daun dari tangkai

Daun salam segar dipisahkan dari ranting dan tangkainya dengan cara manual.

3. Sortasi daun

Daun salam diseleksi, dengan kondisi daun yaitu berwarna hijau tua dan masih

segar.

4. Pencucian

Daun salam dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran dan debu

yang menempel, hingga daun terlihat bersih dari kotoran.

5. Penirisan

Daun salam diletakkan di rak penirisan agar air yang masih menempel pada

daun berkurang atau hilang.

6. Pelayuan

Proses pelayuan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam daun salam, agar

proses pengeringan lebih cepat terjadi sehingga ketika dimasukkan ke dalam

drying cabinet tidak ada yang turut terbawa. Pelayuan dilakukan dengan cara

dihamparkan dengan menggunakan suhu ruang 70oC (diukur dengan

thermometer) dan waktu yang digunakan selama 4 menit.

7. Perajangan

Setelah dilayukan, daun dirajang dengan ukuran sekitar 0,2 cm menggunakan

pisau atau gunting, untuk mempercepat proses pengeringan.

39
8. Pengeringan

Pengeringan dilakukan menggunakan oven yang dilengkapi blower dengan

suhu 40 ºC, 50 ºC, 60C, 70 ºC dan 80ºC dan waktu pengeringan semua

perlakuan selama 50 menit.

9. Analisis dan Pengujian

Daun salam dianalisis kadar air, kadar abu, dan aktivitas antioksidan.

Pengujian organoleptik (rasa,warna dan aroma) dilakukan setelah penyeduhan

teh daun salam.

40
Daun Salam Hijau Tua

Sortasi

Pencucian

Penirisan

Penimbangan (50 g) tiap ulangan

Pelayuan 4 menit s

Perajangan

Perlakuan Suhu
Pengeringan: Penimbangan ( 50 g) tiap ulangan

T1 = 40 ºC
Pengeringan dengan (oven) 50 menit Analisis Mutu Teh:
T2 = 50 ºC
1. Kadar air
T3 = 60 ºC 2. Aktivitas Antioksidan
Teh Daun Salam Kering
T4 = 70 ºC 3. Kadar Abu
4. Kadar Abu Tidak Larut
T5 = 80 ºC Dalam Asam
5. Alkalinitas Abu Larut
Dalam Air

Analisis Mutu Seduhan


Penyeduhan Teh:
1. Uji organoleptik (rasa,
aroma dan warna)

Gambar.4. Diagram Alir Pengolahan Teh Daun salam


(Sumber : Anonim, 2015 dimodifikasi)

41
3.5. Parameter dan Cara Pengamatan

3.5.1. Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas teh daun

salam meliputi sifat kimia dan organoleptik. Sifat kimia meliputi Kadar air,

Aktivitas Antioksidan, Kadar Abu, Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam

dan Alkalinitas Abu Larut Dalam Air. Sedangkan sifat organoleptik

meliputi rasa, warna dan aroma dengan menggunakan metode hedonik

(kesukaan) dan skoring.

3.5.2. Cara Pengamatan

Cara pengamatan masing-masing parameter sebagai berikut:

3.5.2.1. Uji Kadar Air

Penentuan Kadar air menggunakan metode Thermogravimetri (AOAC,

1995) dengan prosedur sebagai berikut:

1. Cawan kosong tertutup dipanaskan dalam oven dengan suhu 105ºC selama 1

jam.

2. Cawan kosong tertutup yang telah dipanaskan didinginkan ke dalam desikator

selama 30 menit

3. Cawan kosong tertutup ditimbang dan dicatat bobotnya

4. Daun salam kering ditimbang sebanyak 3 g pada cawan yang telah di tetapkan

bobot konstannya.

5. Sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 ºC selama 4 jam

6. Sampel didinginkan di dalam desikator selama 30 menit

7. Cawan beserta sampel uji ditimbang

42
8. Pemanasan cawan yang berisi sampel uji diulang selama satu jam

9. Kadar air dinyatakan sebagai % (b/b), dihitung sampai dua desimal dengan

menggunakan rumus:

(B-C)
Kadar air = ×100%
(B-A)

Dengan:

A = Berat cawan (g)

B = Berat sampel setelah pengeringan (g)

C = Berat cawan + sampel (g)

3.5.2.2. Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH

Analisis kapasitas antioksidan yang dilakukan dengan menggunakan

spektrofotometri yaitu etode reduksi DPPH (2,2-difenil-1-pikrihidrazil) (Osawa,

1981). Prinsip analisa ini yaitu senyawa antioksidan dalam sampel bereaksi

dengan radikal DPPH melalui mekanisme donasi atom hydrogen dan

menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu menjaddi pudar yang

diukur dengan panjang gelombang 517 nm (Blois, 1958). Semakin pudar warna

yang dihasilkan maka aktivitas antioksidan semakin tinggi, begitu pula

sebaliknya. Penentuan uji aktivitas antioksidan dengan metode reduksi DPPH

sebagai berikut :

1. Dimasukkan 0,5 g daun salam kering ke dalam tabung reaksi.

2. Dilakukan pengenceran dengan penambahan 10 ml methanol lalu divortex

(5000 rpm) ±1 menit.

3. Diambil menggunakan pipet, larutan sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke

dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml methanol dan 1 ml 0,1 Mm DPPH lalu

43
divortex (5000 rpm).

4. Dilihat perubahan warna dan disimpan diruang gelap seelama 30 menit.

5. Dilakukan peneraan absorbansi pada λ = 517 nm.

6. Dhitung aktivitas antioksidan dengan rumus :

Absorbansi sampel
Aktivitas antioksidan (%) = (1 − ) x 100%
Absorbansi kontrol

3.5.2.3. . Kadar Abu Tidak Larut Dalam Asam (SNI 01-2891-1992)

1. Larutkan abu bekas penetapan kadar abu dengan penambahan 25 ml hcl

10%.

2. Didihkan selama 5 menit.

3. Selanjutnya saring larutan dengan kertas saring tak berabu dan cuci dengan

air suling sampai bebas klorida.

4. Keringkan kertas saring dalam oven, masukkan kedalam cawan porselin

(platina) yang telah diketahui bobotnya dan kemudian abukan.

5. Dinginkan cawan didalam desikator hingga suhu kamar, lalu timbang.

Penimbangan diulangi hingga bobot tetap.

Perhitungan :

W1-W2
Kadar abu tak larut dalam asam = ×100%
W

Dimana :

W : Bobot cawan + abu (gram)

W1 : Bobot Cawan Kosong (gram)

W2 : Bobot cuplikan (gram)

44
3.5.2.4. Alkalinitas Abu Larut Dalam Air (SNI 01-2891-1992)

1. Tambahkan 1 tetes-2 tetes H2O2 3% kedalam abu (dari sisa penetapan abu).

2. Pipet 20 ml HCL 0,5 N dan masukkan kedalam cawan berisi abu tersebut,

panaskan diatas penangas air selama lebih kurang 10 menit.

3. Saring dan cuci dengan air panas hingga bebas asam.

4. Titar hasil saringan dengan NaOH 0,5 N, gunakan PP sebagai indicator

5. Kerjakan blanko

(V1-V2) x N x 1
Kealkalian abu = ml N NaOH/100 g
W

Dimana :

W : Bobot cuplikan (gram)

V1 : Volume yang diperluan pada penitaran contoh

V2 : Volume NaOH yang diperlukan pada penitraan blanko

N : Normalitas NaOH

3.5.2.5. Uji Mutu Organoleptik Aroma, Rasa dan Warna

Uji organoleptik meliputi parameter warna, aroma, dan rasa yang dilakukan

secara inderawi. Pengujian organoleptik parameter warna, aroma dan rasa

dilakukan dengan menggunakan metode uji hedonik dan uji skoring (SNI 01- 2346-

2006).

1. Sampel (teh daun salam) disiapkan di atas gelas yang telah diberi notasi angka

tiga digit yang diambil secara acak.

2. Panelis standar sebanyak 20 orang dari mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan

diminta untuk memberikan penilaian terhadap warna, aroma, dan rasa dengan

mengisi formulir yang disediakan.

45
3. Untuk metode hedonik, panelis diminta memberikan penilaian berdasarkan

tingkat kesukaan. Skor uji hedonik meliputi warna, aroma, dan rasa dinyatakan

dalam angka 1-5.

4. Sedangkan untuk metode skoring, panelis diminta memberikan penilaian

berdasarkan sifat bahan pangan. Skor uji Skoring meliputi warna, aroma dan

rasa dinyatakan dalam angka 1-5.

Tabel.3. Format Penilaian Aroma, Rasa dan Warna Teh Daun Salam Metode
Afektif
Parameter
Aroma Rasa Warna
1 = Sangat Tidak Suka 1 = Sangat Tidak Suka 1 = Sangat Tidak Suka
2 = Tidak Suka 2 = Tidak Suka 2 = Tidak Suka
3 = Agak Suka 3 = Agak Suka 3 = Agak Suka
4 = Suka 4 = Suka 4 = Suka
5 = Sangat Suka 5 = Sangat Suka 5 = Sangat Suka

46
Tabel.4. Format Penilaian Aroma, Rasa dan Warna Teh Daun Salam dengan
Metode Deskriptif
Skala Nilai
Warna Aroma Rasa
1 = Kuning 1 = Sangat Tidak 1 = Sangat
2 = Kuning keemasan Beraroma Daun Tidak Berasa
3 = Kuning kemerahan Salam Daun Salam
4 = Merah 2 = Tidak Beraroma Daun 2 = Tidak
5 = Merah Kehitaman Salam Berasa Daun
3 = Agak Tidak Salam
Beraroma Daun 3 = Agak Berasa Daun
Salam Salam
4 = Beraroma Daun
4 = Berasa Daun Salam
Salam
5 = Sangat Beraroma 5 = Sangat Berasa Daun
Salam
Daun Salam

47
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Data hasil pengamatan dan analisis data pengaruh suhu pengeringan

terhadap aktivitas antioksidan teh daun salam dapat dilihat pada Lampiran 2a

sampai 5a. Sedangkan signifikansi pengaruh suhu pengeringan terhadap parameter

mutu kimia (Antioksidan, alkalinitas larut dalam air, Abu tidak larut dalam asam,

kadar air dan kadar abu) dan organoleptik (warna, rasa, dan aroma) secara hedonic

dan skoring dapat dilihat pada Tabel 4.3 sampai Tabel 4.7.

48
DAFTAR PUSTAKA

Adri, Delvi Dan Wikanastri Hersoelistyorini. 2013. “Aktivitas Antioksidan Dan


Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona Muricata, Linn) Berdasarkan
Variasi Lama Pengeringan”. Jurnal Pangan Dan Gizi. Vol. 04. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang.

Afrianti, L. H., 2008. Keunggulan Makanan Fermentasi. Penerbit Swadaya.


Jakarta.

Anggreni,2017. Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Teh Daun Katuk Sauropus


Androgynous L. Merr). Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri. Skripsi.
Universitas Mataram. Mataram.

Angraiyati, 2017. Lama Pengeringan Pada Pembuatan Teh Herbal Daun Pandan
Wangi (Pandanus Amarylifolius Roxb.,) Terhadap Aktivitas Antioksidan. Jom
Faperta Ur. 4 (1).

Arintawati, M., 2000. Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Aroma Daun


Salam. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 1989. Vedemekum Bahan Obat Alam.
Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hlm 249.

Badan Standarisasi Nasional, 1995. Standar Persyaratan Mutu Produk Teh. Dewan
Standarisasi Nasional. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional, 2013. SNI 01-3836-2013. Standar Persyaratan Mutu


Teh. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Bambang, 1995.prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Bambang, T., 1995. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

49
Candra, Elisabeth, C. Yuwono Dan B. Mardiono, 2017. Perancangan Buku
Interaktif Pengenalan Dan Pemanfaatan Tanaman Obat Tradisional Menjadi
Minuman Teh Herbal. Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni
Dan Desain, Universitas Kristen Petra.

Dalimarta, H. S., 2000. Kajian Stabilitas Beberapa Formulasi Bir Pletok (Minuman
Khas Betawi) dan Pengaruhnya Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.

De Guzman, C.C., dan Siemonsma, J.S. (1991). Spices. Plant Resources of South-
East Livingstone Elsevier: Beijing: 383, 385.

Delvi Adri, 2013. Pengolahan Teh Herbal Daun Sirsak. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Departemen Kesehatan RI., 1985.Cara Pembuatan Simplisia. Dirjen Pengawasan


Obat dan Makanan. Jakarta.

Desroiser, 2008. Kimia Organik.. Houngton Mifflin Co. Michigan State University.
USA. (Terjemahan S. Achmadi). Erlangga. Jakarta.
Dewi, Amalia Sinta. 2015. Laporan Praktek Kerja Lapang Proses Pengeringan Bubuk
Teh Padapengolahan Teh Hitam Ctc (Crushing,Tearing, Curling ) Di Pt.
Perkebunannusantara Xii (Persero) Kebunkertowono Lumajang Jawa Timur.
Universitas Brawijaya. Malang.

Elbie Dwi Kencana, 2013. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap
Karakteristik Teh Herbal Daun Katuk (Sauropus androgunus L. Merr). Jurnal
Penelitian Tugas Akhir. Teknologi Pangan Universitas Pasundan.

Elsa 2017. Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Teh Daun Sambilito. Fakultas
Teknologi Pangan dan Agroindustri. Skripsi . Universitas Mataram. Mataram.

Fahrurozy, R., 2012. Daun Salam. http://www.scribd.com/doc/96789999/Daun-


Salam (Diakses tanggal 03 Mei 2018).

Farrel, K.T., 1990. Spices, Condiments, and Seasonings. 2nd edition. The AVI
Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut.

Fathiyah, 2017. Pengaruh Variasi Lama Pengeringan Terhadap Aktivitas


Antioksidan Teh Daun Salam (Syzgium polyanthum). . Fakultas Teknologi
Pangan dan Agroindustri. Skripsi. Universitas Mataram. Mataram.

Fellow,. A.p., 2000. Food Procesion Technolog, Principles and Practise. 2nd ed
Woodread. Pub. Lim Crimbridge. England. (Terjemahan Risnanto. W dan
Agus Purnomo).

50
Hanafiah, K. A., 2014. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Ketiga.
PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Jakarta.

Harborne, J. B., 1987. Metode Fitokimia. Edisi ke 2. ITB. Bandung.

Harismah, 2017. Pemanfaatan Daun Salam (Eugenia Polyantha) Sebagai Obat


Herbal Dan Rempah Penyedap Makanan. Warta Lpm. Hal 112.

Harun, N., S. Efendi, dan L. Simanjuntak., 2014. Penerimaan Panelis Terhadap Teh
Herbal Dari Kulit Buah Manggis ( Garcinia Mangostana L. ) Dengan
Perlakuan Suhu Pengeringan. Sagu. 13 (2) : 7-18.

Hermani, W. dan Nurjanah., 2009. Aspek Pengeringan dalam Mempertahankan


Kandungan Metabolit Sekunder pada Tanaman Obat. Jurnal Perkembangan
Teknologi TRO 21 (2). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. Bogor.

Hermansyah, 2008. Isolasi dan Karakteristik Flavonoid dari Daun Salam


(Polyanthi folium). Universitas Andalas Padang.

Krisnawati, Inti. (2014). 45 Resep Mujarab Minuman Teh Herba: Membantu Atasi
35 Penyakit. Surabaya : Gramedia Pustaka.

Lenny, S. 2006. Bahan Ajar Metode Fitokimia. Laboratorium Kimia Organik


Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga: Surabaya.

Machmud, I., 2006. Cerita Tentang Teh di Indonesia: Peluang Terbuka


Luas.http://www.rsi.sg/Indonesian/ruangbisnis/html. (Diakses pada tanggal
26 April 2018).

Madhavi, T. D., A Yousif., K. Hyun-Ock, and C.Scaman, 1996. Process for


dryingMedicinalPlants.http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp/p=2000074694.
(Diakses tanggal 20 April 2018).

Mei Ambarsari, 2015. Aktivitas Antioksidan Teh Daun Alpukat (Persea Americana
Mill) Dengan Variasi Teknik Dan Lama Pengeringan. Skripsi Surakarta. :
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Moeloek FA. 2006. Herbal and traditional medicine: National perspectivesand


policies in Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia, 5(1):293-97.

Muzaki Dan Rekna Wahyuni, 2015. Pengaruh Penambahan Gingger Kering


(Zingiber Officinale) Terhadap Mutu Dan Daya Terima Teh Herbal Daun
Afrika Selatan (Vernonia Amygdalina). Jurnal Teknologi Pangan. 6 (2).

Nurjanah, 2009. Modul Pelatihan SPSS. Universitas Brawijaya Malang. Malang.

51
Palupi Dan Tri Dewanti Widyaningsih, 2015. Pembuatan Minuman Fungsional
Liang Teh Daun Salam (Eugenia Polyantha) Dengan Penambahan Filtrat Jahe
Dan Filtrat Kayu Secang. Jurnal Pangan Dan Agroindustri Vol. 3 No 4 P.1458-
1464.
Raharjo, M. 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta : Penebar Swadaya

Rahmad, Samsu U. Nurdin Dan Sussi Astuti, 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Salam
(Syzygium Polyanthum (Wight.) Walp.) Terhadap Tingkat Hidrolisis Pati,
Aktivitas Antioksidan Dan Sifat Sensori Nasi Instan. Jurnal Teknologi Industri
& Hasil Pertanian. 21 (1).

Rofiah, D. 2015. Aktivitas Antioksidan Dan Sifat Organoleptik Teh Daun Kelor
Dengan Variasi Lama Pengeringan Dan Penambahan Jahe Serta Lengkuas
Sebagai Perasa Alami.Skripsi. Surakarta : Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Rohdiana, D., 2006. Menyeduh Teh Dengan Baik, Benar Dan Menyehatkan.
http://www.pikiranrakyat.com.cetak/2006.122006/07/cakrawala/lainnya.02.
htm. (Diakses pada tanggal 26 April 2018).

Saragih, 2014. Uji Kesukaan Panelis Pada Teh Daun Torbangun (Coleus
Amboinicus). E-Journal Widya Kesehatan Dan Lingkungan 1 (1).

Satriadi, Luh Putu Wrasiati, I Gusti Ayu Lani Triani, 2014. Pengaruh Suhu
Pengeringan Dan Ukuran Potongan Terhadap Karakteristik Teh Kulit Lidah
Buaya (Aloe Barbadensis Milleer). Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan.
Universitas Udayana. Bali.

Sembiring, 2007. BBIHP Badan Penelitian dan Pengembangan Idustri.


Departemen Perindustrian Bogor. Bogor.

Sembiring, B.S., Winarti, C., dan Baribing, B., 2003. Identifikasi Komponen Kimia
Minyak Daun Salam (Eugenia polyantha) dari Sukabumi dan Bogor. Buletin
Tanaman Rempah dan Obat. 14 (2) : 9-16.

Setijahartini, 1980. Pengeringan . Jurusan Teknologi Industri. FATETA. IPB.


Bogor.

Silalahi, Marina., 2017. Syzygium polyanthum (Wight) Walp.


(Botani, Metabolit Sekunder dan Pemanfaatan). J D P. 10 (1) : 1 – 16.

Siringoringo, F.H.T., Z. Lubis. dan. R.J. Nainggolan., 2012. Studi Pembuatan Teh
Daun Kopi. J.Rekayasa Pangan Dan Pert., 1 (1): 1-5.

52
Sofiana, S., C., Winarti, dan Bringbing, 2013. Identifikasi Kandungan Kimia
Minyak Daun Salam dari Sukabumi dan Bogor. Jurnal Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. 14 (02). 9-10.

Sumono, A. dan A. Wulan, 2009. Kemampuan Air Rebusan dalam Menurunkan


Jumlah Koloni Streptococcus sp. Majalah Farmasi Indonesia. Hal. 112-117.
Temple, S.J., C.M. Temple, A.J.B van Boxtel, and M.N. Clifford.2001.The Effect Of
Drying On Black Tea Quality. Journal of Science of Food and Agriculture, 81 (8): 764-
772.

Tjitrosoepomo, G,. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Cetakan 1. UGM.


Yogyakarta.

Wikipedia,2011.Teh.http://en.wikipedia.org. (03 Mei 2018).

Winarno, F.G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia PustakaUtama:


Jakarta.

Yusmarini dkk., 2003. Evaluasi Mutu Susu yang Dibuat dari Beberapa Varietas
Kedelai. 2 (2): 29-34.

53

Anda mungkin juga menyukai