Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TYPHOID

DISUSUN OLEH KELOMPOK V:

DWI ILHAM ABDIKA P

HAERUL ROSIDIN

HISROFITA WAHYU P

MILA BLANTIKA

PROGRAM STUDI S1 FARMASI FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN

TAHUN AKADEMIK 202/2021

KATA PENGANTAR
Puju syukur ke hadirat allah swt,Atas rahmat dan hidayahnya,penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “TYHPOID” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah FATER INFEKSI DAN
TUMOR,Selain itu,makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang penyakit thypoid
bagi pembaca dan juga penulis.

Penulis mengucapkan banyak terimaksih kepada pak Apt.Syamsul Rahmat,M.Farm selaku


dosen mata kuliah.Ucapan terimkasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh sebab itu,saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bagu,8 Oktober 2021

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………..

Daftar Isi………………………………………………………………………

BAB I…………………………………………………………………………..

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………….
B. Tujuan Penulisan……………………………………………………..
C. Rumusan Masalah……………………………………………………

BAB II………………………………………………………………………….

PEMBAHASAN

1.1.1 Definisi……………………………………………………
1.1.2. Fatofisiologi ………………………………………………..
1.1.3. Karakteristik …………………………………………………
1.1.4. Farmakologi Dan Non Farmakologi…………………………
1.1.5. Mekanisme Obat ……………………………………………
1.1.6. Dosis Obat…………………………………………………..
1.1.7. Guideline Pemberian ………………………………………
1.1.8. Lama Pemberian…………………………………………….
1.1.9. Monitoring………………………………………………….
1.1.10. Evaluasi……………………………………………………

BAB III……………………………………………………………………

PENUTUP

Kesimpulan……………………………………………………………

DAFTAR PUSATAKA……………………………………………………

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pelayanan kesehatan, obat merupakan komponen yang penting karena di
perlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan baik untuk menghilangkan
gejala/sympom dari suatu penyakit, obat juga dapat mencegah penyakit bahkan obat juga
dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi di lain pihak obat dapat menimbulkan efek yang
tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat. Oleh sebab itu, penyediaan
informasi obat yang benar, objektif dan lengkap akan sangat mendukung dalam
pemberian pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat sehingga dapat
meningkatkan kemanfaatan dan keamanan penggunaan obat (Anonim, 2003).
Demam typhoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus.
Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinik yang sama
atau menyebabkan enteritis akut (Juwono dan Prayitno, 2004). Penyebabnya adalah
kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C, selain demam enterik
kuman ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan makanan) dan septikemia
(tidak menyerang usus) (Rasmilah, 2001).
Proses timbulnya demam typhoid berawal dari kuman yang masuk lewat rongga 4
mulut menuju ke lambung, suatu tempat dimana terdapat mekanisme pertahanan tubuh
yang berfungsi mematikan kuman. Sekalipun lambung mampu mematikan kuman tapi
ternyata masih ada sebagian kuman yang lolos, kuman yang lolos inilah yang kemudian
masuk dan menempel di usus halus. Didalam usus biasanya disebut sebagai ileum
terminalis, kemampuan berkembang biak, lalu menyebar kemana-mana diantaranya
menuju sel-sel usus, kelenjar dan saluran getah bening, pembuluh darah bahkan bisa
mencapai otak (Juwono dan Prayitno, 2004).
Salmonella typhi dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu
yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70°C maupun oleh antiseptik. Sampai saat
ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia (Rampengan dan Laurentz,
1993). Pada demam typhoid suhu tubuh semakin lama kian meninggi, diikuti penurunan
kesadaran, bibir dan lidah kering serta menurunnya tekanan darah. Pada penurunannya
terjadi secara cepat dan mendadak perlu diwaspadai sebagai penanda terjadinya
pendarahan atau perforasi (usus berlubang). Bila tidak ada komplikasi, umumnya di
minggu ketiga mulai terjadi proses penyembuhan (Ganiswara,1995)

B. Rumusan Masalaah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan “Apakah penggunaan
antibiotik pada kasus demam typhoid dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2010 sudah memenuhi konsep rasionalitas?”.

C. Tujuan penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus
demam typhoid dewasa di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Surakarta pada tahun 2010, meliputi: tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, serta tepat
dosis.

BAB II
PEMBAHASAN

1.1.1. Definisi Typhoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gelaja demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan
kesadaraan. Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhi yang mempunyai ciri-ciri basil Gram
negatif yang bergerak dengan buluh getar dan tidak berspora, dan mempunyai sekurang –
kurangnya 3 macam antigen, yaitu antigen O (somatik yang terdiri dari zat kompleks
lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi. Dalam serum pasien terdapat zat anti
aglutinin terhadap tiga antigen tersebut (Nursalam dkk., 2005).

Masyarakat mengenal penyakit ini dengan nama Tipes atau thypus, tetapi dalam dunia
kedokteran disebut Typhoid fever atau Typus abdominalis karena berhubungan dengan usus.
Penyakit tifoid perut (Thypus abdomalis) merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan
dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhi (food and water disease).

Seseorang yang sering menderita penyakit tifoid menandakan bahwa sering


mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini (Zulkhoni, 2011). Jika
tidak diobati dengan tepat, demam tifoid dapat bersifat fatal (Munaf, 2009).

1.1.2. Fatofisiologi

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH<2) banyak bakteri yang mati.
Bakteri yang masih hidup akan menempel usus halus, dan di usus halus tepatnya di ileum dan
jejenum akan menembus dinding usus halus. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, ikuti
aliran ke kelenjar limfe mesentrika bahkan melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan
reticuloendothelial system (RES) diorgan hati dan limfa. Salmonella typh mengalami multipikasi
di dalam sel fagosit mononuclear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati, dan
limfe (Soedarno dkk., 2002).

Dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubungan makrofag telah teraktifavasi dan hiperaktif
maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, myalgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental dan koagulasi (Widodo, 2007).

1.1.3. Karateristik

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata- rata antara 10-14
hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinik ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini
disebabkan factor strain Salmonella status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di
rumahnya (Soedarno dkk., 2002).

Demam thyphoid sering ditemukan pada anak berumur di atas satu tahun. Keluhan utama
berupa perasaan tidak enak, lesu, nyeri kepala, pusing dan kurang bersemangat, serta nafsu
makan berkurang (terutama selama masa inkubasi) (Nursalam dkk., 2005). Beberapa gejala
klinis yang sering pada demam tifoid diantarannya adalah:

a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar
saja. Selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam
lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari itensitas demam makin tinggi yang disertai
dengan banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing), nyeri otot, pegal-pegal,
anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke dua itensitas demam makin tinggi, kadang-kadang
terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke tiga suhu badan
berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ketiga. Tipe demam menjadi tidak
beraturan. Hal ini mungkin karena interverensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi
lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang (Menkes,
2006).

b. Gangguan Saluran Pencernaan


Sering di temukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.Bibir kering dan
kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi
lidah kemerahan dan tremor, dan penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastric (nyeri ulu hati), disertai mual dan
muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya muncul
diare (Menkes, 2006).

c. Gangguan Kesadaraan

Umumnya terdapat gangguan kesadaraan yang kebanyakan berupa penurunan kesadaraan


ringan. Sering ditemukan kesadaraan apatis dengan kesadaraan seperti berkabut (tifoid). Bila
klinis berat bias sampai koma (Menkes, 2006).

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hal ini terasa kenyal dan nyeri tekan
(Menkes, 2006).

d. Bradikardia Relatif

Bradikari relatif sering tidak ditemukan, mungkin karna teknis pemeriksaan yang sulit
dilakukan. Bradikari relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi. Patokan yang sering di pakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1 C tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 malam (Menkes, 2006).

1.1.4. Terapi Farmakologi Dan Non Farmakalogi

 Non farmakologi
1. Perawatan
Penderita demam typhoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
obsevasi serta pengobatan (Rempengan dan Laurenz, 1993). Lama perawatan (Length of
stay) demam typhoid sangat tergantung dari tingkat keparahan penyakitnya, ketaatan dan
kedisiplinan pasien pada minum obat serta diet makanan. Pada umumnya lama perawatan
demam typhoid adalah 7 hari, pasien dipulangkan setelah 10 hari bebas panas. Lama
perawatan yang terlalu cepat dikhawatirkan dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi
dan kekambuhan kembali (Hadisapoetro,1990).
2. Diet

Dengan diet optimal keadaan umum dapat membantu mempercepat penyembuhan atau
meniadakan kemungkinan terjadinya penyakit (Sabdoadi, 1991). Beberapa peneliti
menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan
memperhatikan segi kualitas dan kuantitas. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik
kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah
atau bebas selulose, menghindari makanan yang sifatnya iritatif. Pada penderita dengan
gangguan kesadaran maka pemasukan makanan lebih diperhatikan perawatan. Pemberian
makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat
badan selama perawatan, masa dirumah sakit dapat diperpendek, dapat menekan penurunan
kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama
perawatan (Rampengan dan Laurentz, 1993).

 Farmakologi

1. Antibiotik adalah agen yang digunakan untuk mencegah dan mengobati suatu infeksi
karena bakteri. Akan tetapi istilah antibiotik sebenarnya mengacu pada zat kimia yang
dihasilkan oleh satu macam organisme, terutama fungi yang menghambat
pertumbuhan atau membunuh organisme lain (Setiabudi, 2007).
2. Penggunaan antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada
dasarnya fotogenis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteri.
Pemberian terapi demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi dan angka
kematian. Memperpendek perjalanan penyakit serta memperbaiki gambaran klinis
salah satu terjadi penurunan demam (Depkes RI, 2006).
3. Namun demikian pemberiaan antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu
demam yang timbul bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan
tidak ada penyebab demam lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan
lain-lain. Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut
dihentikan (Hammad, 2011).
4. Pengobatan penderita demam tifoid bervariasi tergantung gejala klinik, status pasien
dan sensitivitas antimikroba terhadap kuman. Menurut peranannya di dalam
penyembuhan penyakit, pengobatan tersebut dibagi menjadi pengobatan simtomatik,
suportif dan spesifik (Juwono, 2004).

a. Terapi simtomatik

Antiemetik adalah zat-zat yang berkhasiat menekan rasa mual dan muntah.

Antipiretik, berkhasiat menurunkan demam tetapi tidak perlu diberikan rutin pada setiap pasien
demam tifoid, karena tidak banyak berguna (Juwono, 2004).

Kortikosteroid, pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid dalam dosis yang menurun
secara bertahap selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi
jernih dan suhu badan menjadi normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa
indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps (Juwono, 2004).

b. Terapi suportif

Vitamin, senyawa organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil untuk
mempertahankan kesehatan tubuh.Terapi cairan, kadang makanan diberikan melalui infus
sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi perforasi usus mungkin perlu dilakukan
pembedahan untuk memperbaiki bagian usus yang mengalami perforasi (Anonim, 2003).

c. Terapi spesifik

Terapi spesifik untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian antibiotik. Penggunaan
antibiotik yang tepat, dapat menyembuhkan 99% penderita dengan cara menghentikan dan
memusnahkan penyebaran kuman. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam penggunaan
antibiotik adalah khasiat, ketersediaan dan harga obat. Antibiotik yang dapat digunakan pada
penderita tifoid adalah:

1.1.5. Mekanisme obat

 Sefalosporin

Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam dengan struktur, khasiat dan


sifat yang mirip dengan penisilin. Mempunyai spektrum kerja yang luas dan aktif terhadap
kuman Gram positif dan negatif tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi (Tjay, 2010).

Mekanisme kerja obat berdasarkan penghambatan sintesis peptidoglikan yang diperlukan kuman
untuk ketangguhan dindingnya. Contoh antibiotik golongan sefalosporin adalah ceftriaxone,
cefixime, cefotaxime (Tjay, 2007).

Ceftriakson adalah antibiotik golongan chepalosporin generasi ketiga yang memiliki spectrum
antibakteri yang lebih luas dibanding generasi sebelumnya dan aktif terhadap bakteri Gram-
negatif yang telah resisten, lebih tahan terhadap Beta- laktamase, tetapi kurang aktif terhadap
bakteri Gram-positif (Siswandono, 2008).

Cefotaxim merpakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai kuman gram positif maupun
Gram negatif aerobik. Obat ini termasuk dalam antibiotik golongan sefalosporin, dimana
memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel mikroba. Mekanisme
penghambatnya melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel
(Mangunatmaja, 2003).

 Kuinolon

Fluorokuinolon adalah antibiotik pilihan pertama untuk pengobatan demam tifoid untuk orang
dewasa, karena relatif murah, lebih toleran dan lebih cepat menyembuhkan dari pada antibiotik
lini pertama seperti kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin dan kombinasi trimethoprim-
sulfametoksazol (Anonim, 2003). Mekanisme kerja obat dengan menghambat DNA gyrase
sehingga sintesa DNA kuman terganggu. Antibiotik golongan ini antara lain ialah ciprofloxacin,
levofloxacin, ofloksasin, pefloksasin, norfloksasin dan fleroksasin (Hadinegoro, 1999).

Siprofloksasin termasuk antibiotik golongan kuinolon generasi kedua, Siprofloksasin memiliki


daya anti-bakteri terhadap gram negatif lebih kuat dibandingkan bakteri gram positif. Aktivitas
siprofloksasin sangat efektif dalam membunuh bakteri dengan mekanismenya yaitu menghambat
replikasi DNA bakteri (inti sel bakteri) dengan cara menempel molekunya pada DNA girase
(topoismerase II dan topoisomerase IV). Mekanisme yang langsung menuju intisel inilah yang
menyebabkan bakteri dengan cepat dapat dieliminasi. Efek samping yang paling menonjol
adalah mual, muntah dan diare. Efek yang paling berbahaya adalah dapat merusak kartilago yang
sedang tumbuh dan tidak diberikan pada pasien dibawah umur 18 tahun (Setiabudi, 2007).
 Ampisilin

Ampisilin merupakan derivat penisilin spektrum luas yang digunakan pada

pengobatan demam tifoid, terutama pada kasus resistensi terhadap kloramfenikol. Ampisilin
memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel mikroba. Pada mikroba yang sensitif, ampisilin akan menghasilkan efek
bakterisid (Sidabutar, 2010).

Amoksisilin merupakan turunan ampisilin dan memiliki spektrum antibakteri yang sama namun
diabsorpsi lebih baik bila diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam
plasma dan jaringan. Dalam hal ini kemampuannya untuk menurunkan demam, efektivitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia (Juwono, 2004). Ampisillin dan
amoksisilin diberikan 50-100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis perhari baik secara oral,
intramuskular, intravena (Anonim, 2003).

Mekanisme kerja obat bergabung dengan penicillin binding protein (PBPs) pada kuman. Terjadi
hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi antar rantai peptidoglikan
terganggu. Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel. Ampisilin efektif
terhadap beberapa mikroba gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral
(Istiantoro, 2005).

 Aminoglikosida

Aminoglikosisda dihasilkan oleh jenis−jenis fungi Streptomyces dan Micromanospora semua


senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula amino di dalam
molekulnya yang saling terikat secara glukosidis. Dengan adanya gugusan-amino, zat-zat ini
bersifat basa lemah dan garam sulfatnya yang digunakan dalam terapi mudah larut dalam air
(Tjay, 2010).

Spektrum aktivitas obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram negatif. Obat ini
mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan pendengaran,
khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek samping yang ditumbulkan adalah toksisitas
ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuromuskular lebih jarang.
Gentamisin termasuk golongan Aminoglikosida. Gentamisin bersifat bakterisid yang aktif
terutama terhadap gram negatif termasuk Pseudomonas aerogenosa, Proteus serratia. Antibiotik
ini diindikasikan pada pasien dengan pneumonia, kolesistisis, peritonitis, infeksi kulit, inflamasi
pada tulang panggul, endokarditis, meningitis, pencegahan infeksi setelah pembedahan
(Kemenkes. 2006).

1.1.6. Tabel Antibiotik dan dosis penggunaanya

Antibiotik Dosis Keterangan


Ceftriaxone Dewasa:2-4g/hari selama 3-5 Cepat menurunkan suhu,lama
hari pemberian pendek dan dapat
Anak: 80%/kgBB/hari dalam dosis tunggal serta cukup aman
dosis tunggal selama 5 hari untuk anak.
Pemberian PO/IV
Cefixime Anak: 1,5-2mg/kgBB/hari Aman untuk anak
dibagi 2 dosis selama 10 hari Efektif
Pemberian per oral
Cefotaxime Dewasa:1-2g/6-12 jam Mengobati infeksi akibat bakteri
Anak: 50-200mg/kg/hari 4-6x
sehari
Ampicillin Dewasa:0,25-0,5g 3x sehari Aman untuk ibu hamil sering
selama 7-10 hari dikombinasi ddengan
Anak; 20-40 mg/kg/hari 3x kloramfenikol pada pasoen kritis
sehari selama 7-10 hari tidak mahal
pemberian PO/IV

Quinolone Cifrofloxacin dewasa dan anak Ciprofloxacim dan Levofloxacin


2x250-500mg/hari2x sehari lebih cepat menurunkan suhu
selama 1 minggu (PO) efektiv mencegah relaps,dan
2x 200-400mg(IV) kanker
Levofloxacin dewasa dan anak Pemberian peroral
1x (250-500)mg (PO) selama 1 Pemberian pada anak tidak
minggu 1x500 mg IVtiap 24 jam dianjurkan karena efek samping
pada pertumbuhan tulang.

Gentamisin dewasa dan anak 5- Mengobati infeksi akibat bakteri


Aminoglikosida 6 mg/kg/hari 1x sehari (IV,IM)

 Penggunaan antibiotik pada anak-anak


Penggunaan antibiotik yang tidak tepat baik dalam hal indikasi maupun cara pemberian akan
merugikan pita serta akan memudahkan terjadinya reistensi terhadap antibiotik dan dapat
menimbulkan efek samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis yang tepat bagi anak-
anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dengan memperhatikan
keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang
terjadi (Prest, 2003).

 Efek Samping

Efek samping obat adalah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan (efek sekunder),
namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu (merugikan) tergantung dari kondisi dan
situasi pasien. Pada kondisi tertentu, efek samping obat ini dapat juga membahayakan jiwa
pasien. Efek samping biasanya terjadi pada dosis terapi. Tingkat kejadian efek samping ini
sangat bervariasi antara satu obat dengan obat lainnya. Efek samping ini juga tidak dialami oleh
semua orang karena masing-masing orang memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mengatasi
efek ini secara berbeda-beda. Efek samping obat yang terjadi dapat bermacam- macam, mulai
dari efek yang ringan seperti mengantuk, mual, alergi, pusing, dan lain-lain. Bahkan ada juga
yang cukup berat seperti seperti syok anafilaksis, gangguan pada saluran cerna (nyeri lambung),
gangguan pada darah, gangguan pada pernapasan, dan sebagainya (Nuryati, 2017).

 Resistensi Antibiotik

Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian


antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya.
Sedangkan multiple drugs resisten didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat
maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti
dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003).

Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih
dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan
ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan
sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa
faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain:

a. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah,
diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

b. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan yang salah akan
cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun
disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat.
Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang
paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan, bahkan pasien membeli antibiotika sendiri
tanpa peresepan dari dokter (self medication). sedangkan pasien dengan kemampuan finansial
yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.

c. Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi
resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnosis awal belum pasti.
Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan
dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

d. Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan


monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.

e. Perilaku hidup sehat terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah
memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.

f. Penggunaan di rumah sakit adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan
antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di intensive care unit.
Kombinasi antara pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien
yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

g. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak, antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan
mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai
suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai
dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
h. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung
pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika
yang beredar semakin luas. Memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.

i. Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru.

j. Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika,
seperti pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari
dokter, selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu
obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2006).

1.1.7 Guideline pemberian

1.Tepat Indikasi Penyakit


Pemberian antibiotik kepada pasien harus memiliki dasar yang kuat. Antibiotik dapat diberikan
kepada pasien bila pasien sudah terbukti mengalami infeksi bakteri. Pemilihan awal penggunaan
antibiotik bersifat empiris yang didasarkan pada informasi yang dikumpulkan dari riwayat pasien
dan pemeriksaan fisik. Tepat indikasi penyakit adalah pemberian antibiotik kepada pasien hanya
bila pasien terdiagnosis terinfeksi bakter (Kemenkes RI, 2011a). Diagnosis demam tifoid dapat
dipastikan dengan melihat diagnosis utama pada rekam medis pasien dan hasil pemeriksaan
laboratorium pasien (Tes Widal atau Tubex TF/IgM). Dari 31 pasien terdapat 27 pasien yang
menjalani tes widal dan 4 pasien yang menjalani Tubex TF/IgM. Pada penelitian ini ketepatan
indikasi penggunaan antibiotik adalah 100% yang menunjukkan bahwa seluruh pasien
mendapatkan tatalaksana terapi yang tepat sesuai indikasi demam tifoid. Penggunaan antibiotik
yang sesuai dengan indikasi dapat mencegah atau menurunkan resiko terjadinya resistensi
antibiotik (Kemenkes, 2011a).

2. Tepat Pemilihan Obat


Pemilihan obat secara tepat dapat dilakukan setelah diagnosis ditegakkan dengan benar.
Sehingga obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum bakteri
penyakitnya (Kemenkes RI, 2011a). Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella
typhi (Kaur and Jain, 2012). Berdasarkan hal tersebut pemberian antibiotik yang disarankan
adalah antibiotik yang dapat bekerja secara spesifik pada Salmonella typhi. Evaluasi ketepatan
pemilihan obat disesuaikan dengan standar acuan terapi yaitu Guidelines for the Management of
Typhoid Fever (WHO, 2011), Drug Information Handbook 24th ed (APA, 2015), dan Tata
Laksana Terkini Demam Tifoid (Nelwan, 2012).

3.Tepat penilaian kondisi pasien

Pemberian antibiotik kepada pasien perlu mempertimbangkan kondisi pasien seperti adanya
kontraindikasi,setidaknya efek samping,kelainan organ(hepar dan ginjal),Riwayat alergi atau
adanya penyakit lain yang menyertai (kemenkes RI,2011). Seluruh pasien demam typhoid di RS
panti rani ygyakarta menjalani pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan ALT/AST,serum
kreatinin pasien merupakan penanda spesifik untuk melihat fungsi ginjal masih dalam rentang
normal(Winnett et al.,2010).

4. Tepat lama pemberian

Lama pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan penyakit. Pemberian antibiotik yang terlalu
lama atau terlalu singkat dari seharusnya dapat berpengaruh terhadap hasil pengobatan
( Kemenkes RI, 2011a ). Evaluasi ketepatan lama pemberian disesuaikan jenis antibiotik dan
tingkat keparahan berdasarkan literatur yaitu guidline for the management of typhoid fever
( WHO, 2011 ), Drug Information Handbook 24thed. ( APA, 2015 ), dan Tata Laksana Terkini
Demam Tifoid ( Nelwan, 2012 ). Lama pemberian antibiotik dikatakan tidak tepat bila
pemberian antibiotik kepada pasien terlalu cepat atau singkat sehingga terapi yang dijalani pasien
belum sepenuhnya selesai. Berdasarkan guidline for the management of typhoid fever
( WHO,2011) durasi terapi pada pasien demam tifoid adalah 5 - 14 hari.

5. Tepat interval waktu pemberian

Interval waktu pemberian merupakan jarak pemberian antibiotik dari pemberian pertama, kedua,
dan seterusnya selama pelaksanaan terapi. Menurut Kemenkes RI ( 2011a) semakin sering
frekuensi penggunaan obat perhari dapat menurunkan ketaatan pasien dalam meminum obat.
Sebaliknya, frekuensi penggunaan obat yang semakin sedikit dapat meningkatkan ketaatan
pasien dalam meminum obat.

6. Tepat dosis

Dosis antibiotik dapat memberikan pengaruh terhadap efek terapi. Pemberian dosis yang kurang
atau terlalu kecil tidak dapat menjamin tercapainya kadar terapi yang di harapkan oleh suatu
antibiotik, sedangkan dosis yang terlalu besar dapat meningkatkan resiko terjadinya efek
samping ( Kemenkes RI, 2011a ). Evaluasi ketepatan dosis disesuaikan dengan acuan dosis
dewasa pada literatur guidlines for the management of typhoid fever ( WHO, 2011 ), Drug
Information Handbook 24th ed. ( APA, 2015 ), dan tata laksana terkini demam tifoid
( Nelwan,2012). Pada pemberian terapi antibiotik kombinasi, dosis yang dievaluasi adalah dosis
tunggal dari masing masing jenis antibiotik.

1.1.8 Monitoring

1.1.9 Evaluasi

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
https: https://repository.usd.ac.id/15517/2/148114052_full.pdf

//repository.usd.ac.id/15517/2/148114052_full.pdf

https://repository.usd.ac.id/15517/2/148114052_full.pdf

Anda mungkin juga menyukai