PERITONITIS
Disusun Oleh:
1. Dhora Surya Amanda (21117035)
2. Ario Suganda (21117018)
3. Ayu Yulia (21117022)
4. Citra Andera Putri (21117027)
5. Della Apriyanti (21117032)
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan Ridho-Nya sehingga penyusun mampu dalam menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis yang berjudul “Peritonitis”,
tak lupa kami juga berterimakasih kepada ibu Siti Romadhoni, S.Kep., Ns., M.Kep
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya sebagai petunjuk
maupun pedoman bagi pembacanya. Harapan kami semoga makalah ini dapat
membantu pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Kami sadari makalah ini masih banyak kekurangannya, kami mohon maaf
apabila ada kesalahan, baik dari kata-kata maupun cara penulisan, apabila ada saran
dan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini,
kami dapat menerimanya dengan senang hati, sehingga kami dapat memperbaiki
segalanya di masa yang akan datang.
A. LATAR BELAKANG
Peritonitis atau Tukak Lambung adalah inflamasi peritonium-lapisan
membran serosa rongga abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat infeksi
bakteri: Organisme yang bersal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada
wanita dari organ reproduksi internal (Brunner & Suddarth, 2002). Peritonitis adalah
suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering bersamaan dengan kondisi
bakteremia dan sindroma sepsis (Harrison, 2011).
Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per
tahun dengan angka kematian 9661 ribu orang meninggal. Negara tertinggi yang
menderita penyakit ini adalah Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661
penderita. Dalam kasus peritonitis yang sering terjadi, sebagian besar disebabkan
karena bakteri atau yang biasa disebut peritonitis bakterial spontan (Khan, 2009). Di
Indonesia jumlah penderita peritonitis berjumlah sekitar 7 % dari jumlah penduduk
atau sekitar 179.000 orang (Depkes, 2008).
Di Indonesia sampai saat ini peritonitis masih menjadi masalah yang besar
dengan angka mortalitas dan morbidilitas yang tinggi. Saat ini pendekatan
multimodalitas dengan melakukan tindakan pembedahan dilakukan untuk mengetahui
penyebab utamanya. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera
diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan komplikasi yang semakin
berat. Pemberian antibiotik dan terapi penunjang lainnya diberikan guna mencegah
komplikasi sekunder yang mungkin terjadi. Tujuan dari pemberian antibiotik ini
untuk membunuh bakteri yang ada di rongga peritonium maupun dalam sirkulasi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu peritonitis?
2. Apa etiologi peritonitis?
3. Bagaimana anatomi fisiologi peritonis?
4. Bagaimana patofisiologi peritonitis?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik peritonitis?
6. Apa farmokologi peritonitis?
7. Bagiamana terapi diet peritonitis?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa Ilmu Keperawatan mengetahui apa itu peritonis dan asuhan
keperawatan pada pasien dengan penyakit peritonitis.
2. Tujuan khusus
a. Agar mahasiswa mampu mengetahui definisi peritonitis
b. Agar mahasiswa mampu mengetahui etiologi peritonitis
c. Agar mahasiswa mampu mengetahui anatomi dan fisiologi peritonitis
d. Agar mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi peritonitis
e. Agar mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan diagnostik peritonitis
f. Agar mahasiswa mampu mengetahui farmakologi peritonitis
g. Agar mahasiswa mampu mengetahui terapi diet peritonitis
D. MANFAAT PENULISAN
Untuk menerapkan ilmu yang didapat selama pendidikan di STIKes
Muhammadiyah Palembang serta menambahkan pengetahuan dan litelatur dalam
ilmu keperawatan dan wawasan mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum dalam rongga abdomen yang
dapat terjadi baik karena faktor pathogen, seperti kontaminasi mikroorganisme dalam
rongga peritoneum dan non-patogen (bahan kimiawi) (Mazuski, et al. 2009).
Infeksi intra-abdominal merupakan istilah yang digunakan untuk infeksi
dalam abdomen, yang biasanya dideskripsikan sebagai peritonitis atau abses
intraabdominal (Mazuski, et al., 2009). Infeksi intra-abdominal dideskripsikan
sebagai respon inflamasi peritoneum terhadap mikroorganisme dan diklasifikasikan
berdasarkan luasnya infeksi menjadi uncomplicated dan complicated. Infeksi intra-
abdominal yang uncomplicated meliputi inflamasi intramural dari saluran
gastrointestinal tanpa adanya gangguan anatomi. Terapinya mudah, namun jika
terapinya terlambat atau tidak adekuat, maka infeksinya dapat berkembang menjadi
infeksi intra-abdominal yang complicated. Infeksi intra-abdominal yang complicated
merupakan infeksi yang meluas dari organ sumber ke dalam rongga peritoneum dan
menyebabkan inflamasi peritoneum, serta berhubungan dengan peritonitis lokal dan
difus. Peritonitis lokal sering bermanifestasi sebagai abses dengan jaringan debris,
bakteri, neutrofil, makrofag, dan cairan eksudat yang terkandung dalam kapsul
fibrosa. Sedangkan peritonis difus ini merupakan peritonitis yang dikategorikan
sebagai peritonitis primer, sekunder, dan tersier (Lopez et al, 2011).
B. ETIOLOGI
Peritonitis berarti suatu respon inflamasi dari peritoneum dalam rongga
abdomen dalam hal aktivasi kaskade mediator lokal dengan stimulus yang berbeda.
Oleh karena itu, agen infeksius (bakteri, virus) dan non-infeksius (bahan kimia :
empedu) dapat menyebabkan peradangan pada lapisan peritoneum. Peritonitis sering
disebabkan oleh infeksi ke dalam lingkungan rongga peritoneum yang steril melalui
perforasi usus, misalnya ruptur dari apendiks dan divertikel kolon. Bahan kimia yang
dapat mengiritasi peritoneum, misalnya asam lambung dari perforasi gaster atau
empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi hepar. Pada wanita sangat
dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau
rupturnya kista ovari (Akujobi, et al. 2006).
Etiologi peritonitis juga tergantung pada jenis peritonitis (Daley, 2013).
Peritonitis primer pada pasien dewasa disebabkan oleh penyakit sirosis hepatis dan
asites, sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh sindroma nefrotik dan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE). Pasien asites yang disebabkan oleh penyebab lain,
seperti gagal jantung, keganasan, penyakit autoimun, juga berisiko tinggi untuk
berkembangnya peritonitis ini. Peritonitis primer juga dapat disebabkan oleh karena
penggunaan kateter peritoneum, seperti pada kateter dialisis peritoneum (Mazuski &
Solomkin, 2009).
Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyakit pada organ abdomen, trauma
pada abdomen, dan operasi intra-abdominal sebelumnya. Penyakit pada organ
abdomen, contohnya inflamasi usus (appendicitis dan divertikulitis), strangulasi
obstruksi (volvulus dengan strangulasi, closed-loop adhesive obstruction), perforasi
(gaster, neoplasma (karsinoma kolon), duodenum), dan vascular (ischemic colitis).
Trauma pada abdomen dapat berupa trauma tajam, tumpul, atau iatrogenik. Peritonitis
sekunder akibat komplikasi operasi, contohnya kebocoran anastomosis usus (Mieny
& Mennen, 2013).
Peritonitis tersier timbul akibat gagalnya terapi peritonitis atau karena
imunitas pasien yang tidak adekuat. Gangguan sistem imun yang signifikan pada
pasien dengan peritonitis teriser menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik
yang rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. (Lopez, et al. 2011).
C. ANATOMI FISILOGI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan subkutis, lemak
subkutan, facies superfisial (facies camper) dan facies profunda (fascies scarpae),
kemudian ketiga otot dinding perut m.obliquus abdominis eksterna, m.obliquus
abdominis internus dan m.transversum abdominis dan akhirnya lapis preperitonium
dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di
bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya
yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. Dinding perut membentuk rongga
perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis
dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan,
maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada
proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
D. FATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltic berkurang
sampai timbul ileus paralitik usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke
usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang
disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai
di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata.
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi,
belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam
garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ
yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
Leukositosis adalah hal yang biasa terjadi pada infeksi intra abdomen, tetapi
total leukosit saja tanpa hitung jenis dapat menyesatkan. Jumlah leukosit di atas
25.000/mm3 atau leukopenia dengan leukosit kurang dari 4.000/mm3 dihubungkan
dengan angka mortalitas yang tinggi. Hitung jenis menunjukkan inflamasi akut
dengan menunjukkan limfopenia relatif dan sedikit pergeseran ke kiri, meskipun
jumlah leukosit normat atau subnormal (Wittmann, 2010).
Tes laboratorium lain yang diperlukan diantaranya haematocrit, hitung sel
darah, elektrolit, albumin, urea dan kreatinin, amilase dan fungsi hati. Albuminuria
berat ditemukan pada pasien dengan sindroma nefrotik. Fungsi respirasi dinilai
dengan penentuan gas darah arteri yang berulang, sedangkan pada pasien sakit kritis,
arteri radial menyediakan akses sampel arteri untuk analisa gas darah dan catatan
konstan untuk MAP (mean arterial pressure) (Mieny & Mennen, 2013).
2. X-ray
Foto polos abdomen dapat menunjukkan gambaran udara bebas, yang
merupakan indikator terjadinya perforasi visceral yang belum ditangani. Udara bebas
dapat dilihat pada foto abdomen posisi setengah duduk atau dekubitus lateral bila
terdapat ruptur organ berongga yang menyebabkan peritonitis. Udara di bawah
diafragma dapat ditemukan pada foto dada bila pasien berdiri tegak selama 5 menit
atau lebih sebelum dilakukan pengambilan gambar. Penemuan lain pada gambaran
radiografi yang mendukung diagnosis infeksi intra abdomen termasuk pneumatosis
intestinal, obstruksi usus, dan gambaran massa. Pneumatosis jarang terjadi. Penemuan
yang lebih dramatis tetapi tidak umum adalah gambaran udara pada vena porta atau
ektraluminal, indikasi dari adanya abses, tanda radiografi ini cukup spesifik untuk
menentukan perlunya intervensi yang segera (Wittmann, 2010).
4. Paracintesis
Pemeriksan untuk menegakkan diagnosis peritonitis primer. Paracintesis
merupakan punksi surgical untuk aspirasi rongga peritoneum. Setelah injeksi obat
anastesi lokal, sebuah jarum atau trocar dan kanul dimasukkan melalui dinding
anterolateral abdomen ke dalam rongga peritoneum. (Daley, et al. 2010). Cairan yang
diperoleh dari parasintesis diperiksa dengan mikroskop dengan pewarnaan Gram dan
kultur. Cairan tersebut bersifat asam (pH 7,3 atau kurang) dan mengandung lebih dari
500 sel darah putih/ml, dimana lebih dari 25% adalah sel polimorfonuklear (Debas,
2004).
F. FARMAKOLOGI
1. Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan:
Memuasakan pasien Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik
atau intestinal.
Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena.
Pemberian antibiotik yang sesuai.
Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainny.
a. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia
dapat dimonitor oleh pulse oximetri atau BGA.
b. Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan
dehidrasi. Penggantian elektrolit (potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus
dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena
sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis
atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan
elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran
ke dalam ruang vaskuler.
c. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
d. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan
intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi
pasien yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran
anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini
kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi
antifungal juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies
Candida.
2. Definitif
Pembedahan
a. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang
dikira. Tujuannya untuk :
Menghilangkan kausa peritonitis
mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi
atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).
Peritoneal lavage.
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Relaparotomi
mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder,
dimana setelah laparotomi primer berefek memburuk atau timbul sepsis. Reoperasi
dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat
dengan membuka dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah
eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di
RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu dari pada
relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu
diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga
memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support organ. Mengatasi
masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah sangat penting karena sebagian
besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
b. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami
inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan
appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada
kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus
adalah kontraindikasi pada laparoskop.
c. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada
dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak
kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah
laparotomi.
G. TERAPI DIET
Diet Pasca Bedah
Diet pasca bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah
menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada
macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2005).
Menurut Dudrick, Operasi bedah digestif menimbulkan berbagai tingkat stres
yang tergantung dari berbagai faktor, termasuk jenis penyakit yang diderita, lamanya,
status gizi sebelum operasi dan penyakit-penyakit penyertanya. Stres akan
meningkatkan katabolisme tubuh dengan cara glikogenolisis dan glukoneogenesis,
sedangkan lipolisis ditekan, sehingga sebagian besar menggunakan sumber protein
tubuh untuk energi. Pemberian protein secara dini pada tindakan bedah akan
mengurangi katabolisme protein tubuh yang dapat dipantau secara sederhana melalui
berkurangnya penurunan berat badan, berkurangnya ekskresi urea dalam urin, dan
cepat tercapainya keseimbangan nitrogen positif. Pada stres hebat seperti pada luka
bakar telah dilaporkan keberhasilan pemberian dini makanan yang mengandung
tinggi protein, sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas (Djalinz, 2015).
Pemberian dini zat gizi yang cukup kalori dan tinggi protein sesuai dengan
toleransi penerimaan pasien akan mencegah penghancuran protein tubuh yang
berlebihan akibat stres luka bakar sendiri, mengurangi penurunan berat badan yang
berlebihan dan merupakan manajemen yang rasional sebelum pasien jatuh dalam
sepsis, yang sampai saat ini tingkat kematiannya sangat tinggi (Djalinz, 2015).
1. Tujuan Diet
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien
segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan
daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut :
a. Memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
b. Mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
c. Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan.
2. Jenis diet dan indikasi pemberian
a. Makanan pasca bedah I (MPBI)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah.
Pasca bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang
Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda usus
mulai bekerja.
Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa air putih, teh
manis, air kacang hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih. Makanan ini
diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang dari semua zat gizi.
Makanan diberikan secara bertahap sesuai kemampuan dan kondisi pasien, mulai dari
30 ml/jam.
b. Makanan pasca bedah II (MPB II)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental,
berupa sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak
tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien. Diet ini
diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang.
c. Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang diberikan berupa makanan
saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml sehari.
d. Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada :
Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasc abedah I
Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanana diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan
lengkap dan 1 kali makanan selingan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Pengkajian pada identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
register dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen
menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya pergerakan ke
bentuk immatur pada differential cell count. Namun pada pasien dengan
immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan
CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia.
PT, PTT dan INR
Test fungsi hati jika diindikasikan
Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan
glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH.
b. Pemeriksaan Radiologi
Polos
USG
CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte
scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
Scintigraphy
MRI.
c. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamsi
2. Defisi tnutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah,
anoreksia, penurunan penyerapan nutrient sekunde
NURSING CARE PLAN
NO Rencana Keperawatan
Tujuan Dan KriteriaHasil Intervensi
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakkan keperawatan SIKI: Manajemen Nyeri
dengan inflamsi di tandai selama 2x24 jam diharapkan nyeri kronis - Observasi
dengan tampak meringis. pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi lokasi, karateristik, durasi, frekuensi,
SLKI: Kontrol Nyeri kealitas, intensitasnyeri.
Definisi : No. Indicator T 2. Identifikasiskalanyeri.
Pengaman sensorik atau 1. Melaporkan nyeri 5 3. Monitor efeksamping pengunaan analgetik
emosional yang berkaitan terkontrol 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
2. Kemampuan mengenali 5
dengan kerusakan pemilihan strategi meredakan nyeri.
penyebab nyeri
jaringan actual atau 3. Keluhan nyeri 5 5. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicunyeri.
fungsional, dengan onset Keterangan : 6. Ajarkan teknik nonfarmakologi suntuk mengurangi
mendadaknatau lambat 1. Menurun rasa nyeri.
dan berintensitas ringan 2. Cukupmenurun
- Kolaborasi
1. Kolaborasikan pemberian analgetik jika perlu.
Setelah dilakukan tindakkan keperawatan
2. Defisit nutrisi kurang selama 2x24 jam diharapkan nyeri kronis SIKI : Manajemen Nutrisi
dari kebutuhan tubuh pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil : - Observasi
berhubungan dengan SLKI : Nafsu Makan 1. Identifikasi status nutrisi
Intake yang tidak adekuat No Indikator T 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
(ketidakmampuan untuk 1 Keinginan makanan 5 3. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric
2 Asupan nutrisi 5
mencerna makanan, 3 Stimulus untuk makan 5 4. Monitor asupan makan
anoreksia, mual/muntah, 5. Monitor berat badan
tidak maun makan, Keterangan : 6. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
mudah kenyang (asitas) 1. Menurun
Definisi : 3. Sedang
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dan perawat dapat menangani
dan dapat mengatasi apabila ada pasien dengan penyakit peritonitis. Mahasiswa dan
perawat diharapkan dapat melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik kepada
klien dengan peritonis.
DAFTAR PUSTAKA