Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

&
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA AN. A DENGAN PERITONITIS
RSUP DR.SARDJITO, YOGYAKARTA

Pembimbing Ibu Lubnah Bafadal, S.


Kep.,Ns

Disusun Oleh :
Kelompok 1

1. Berti Frasiska Saekato


2. Dwi Lestari
3. Mutiara Larasati
4. Citra Putri Gayatri
5. Mila Hasna N H
6. Devi Ratna L
7. Emy Erawati
8. Lia Evi

PELATIHAN PICU
RSUP DR.SARDJITO
ANGKATAN 20
TAHUN 2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peritonitis merupakan peradangan yang terjadi pada rongga peritoneum


diakibatkan oleh penyebaran infeksi dari organ perut diantaranya seperti
apendisitis, pancreatitis, rupture apendiks, dan kebocoran anastomosis (Nabila,
2019). Kebocoran yang terjadi didalam rongga abdomen akibat dari infeksi,
iskemik, trauma atau perforasi (Ardi Nugraha, 2020). Penyakit ini menjadi
masalah infeksi intraabdominal yang sangat serius dan merupakan masalah
kegawatdaruratan abdomen, peritonitis dapat mengenai semua umur dan dapat
terjadi pada laki-laki maupun wanita. apabila tidak segera diatasi peritonitis dapat
menimbulkan komplikasi. Syok sepsis sering menjadi komplikasi dari peritonitis
difus yang menyebabkan kegagalan organ hingga kematian. (Oleh & Adetiya,
2016)

Menurut data World Health Organization (WHO) Tahun 2009, angka


mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun dengan angka kematian 9661 ribu
orang meninggal. Hasil survey yang dilakukan pada tahun 2015 angka kejadian
peritonitis masih tinggi. Di Indonesia jumlah penderita peritonitis berjumlah sekitar
9% dari jumlah penduduk atau sekitar 179.000 penderita. Di Jawa Barat tahun 2015
jumlah kasus peritonitis di laporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya
menyebabkan kematian.(Sayuti,2020)
Pendapat serupa disampaikan (Japanesa & Rusjdi, 2016) mortalitas pasien
dengan peritonitis tetap tinggi antara 10% - 40%, prognosa lebih buruk pada usia
lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam, lebih cepat diambil
tindakan lebih baik prognosanya. Komplikasi yang terjadi pada peritonitis jika tidak
ditangani akan berdampak seperti sepsis, kegagalan multi organ dan syok.
(Dermawan dalam rahadian 2020). Sebagian besar pasien peritonitis mendapatkan
tatalaksana bedah berupa laparatomi eksplorasi.

Dalam Perry dan Potter (2005) memaparkan bahwa tindakan post operatif
dilakukan dalam 2 tahap yaitu periode pemulihan segera dan pemulihan
berkelanjutan setelah fase post operatif. Proses pemulihan tersebut membutuhkan
perawatan post laparatomi.

Peran perawat pada pasien post op Laparatomi Eksplorasi adalah


membantu mengatasi nyeri yang dirasakan pasien pasca operasi. Pemulihan pasca
operasi sangat membutuhkan peran perawat dalam membatu proses penyembuhan
luka dan mencegah terjadinya infeksi, dan memenuhi 3 kebutuhan secara fisik
psikososial dan spiritual, salah satunya gangguan tidur yang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Membantu psikososial pasien meliputi konsep diri, pola kognitif,
pola koping dan pola interaksi. Membantu dalam memenuhi KDM (kebutuhan
dasar manusia) pasien dan membantu proses spiritual, seperti mengajarkan
tayamum dan proses spiritual yang lainnya selama dirawat dirumah sakit.
Memberi edukasi tentang perawatan luka dengan pergi ke tempat pelayanan
kesehatan terdekat dan mencuci tangan. Oleh karena itu, perawat diharapkan
mampu mengelola setiap masalah yang timbul secara komprehensif meliputi aspek
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual melalui proses asuhan keperawatan mulai
dari pengkajian, analisa data, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi.
(Lado Koten, Yohnaes.2018).

A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka kami mengambil
rumusan masalah bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Peritonitis, khususnya pada An. A dengan Peritonitis di ruang PICU
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

B. Tujuan Penulisan
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Menganalisa kasus dan
merumuskan masalah keperawatan pada pasien dengan Peritonitis.
b. Mampu menganalisa Kasus dan merumuskan masalah keperawatan pada
pasien Peritonitis.
c. Mampu menyusun asuhan keperawatan yang mencakup intervensi pada pasien
dengan Peritonitis.
d. Mampu melakukan implementasi atau pelaksanaan tindakan keperawatan pada
pasien dengan Peritonitis.
e. Mampu mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien dengan Peritonitis.
C. Manfaat Penulisan
Agar dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang Peritonitis
BAB 2
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan komplikasi
berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (apendiksitis,
pankreatitis, dan lain-lain) ruptur saluran cerna dan luka tembus abdomen.
(Padila, 2012).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum ( lapisan membran serosa
rongga abdomen ) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, suatu lapisan endotelial
tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa (Jitwiyono& Kristiyanasari,
2012).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala,
diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda –
tanda umum inflamasi. (Spiliotis et al.2009).
Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, membrane serosa,
pada bagian rongga perut .
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada selaput rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan dinding perut bagian dalam.( Rosdiana et al. 2018)

B. ANATOMI
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam
tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yailu peritoneum parietal, yang
melapisi dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi
semua organ yang bcrada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa lerdapat di antara
dua lapis ini disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum. Normalnya
terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara
permukaan peritoneum tetap licin. Pada orang laki-laki peritoneum berupa
kantong tertutup; pada orang perempuan saluran telur (tuba Fallopi) membuka
masuk ke dalam rongga peritoneum (Pierce, 2006).

Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang


tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari
sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm
yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus.
Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga
mesodermtersebut kemudian menjadi peritonium. (Mansjoer, 2000)

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:


1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina
parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal
mendekati peritoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini,
ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan
akhirnya berada disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal.
Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam
rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietal, dengan demikian:
1. Duodenum terletak retroperitoneal
2. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium;
3. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
4. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat
penggantung disebut mesocolon transversum;
5. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
6. Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat
penggantung mesenterium.
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ
intraperitoneum. Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan
visceral yang cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian
anterior, sedangkan pada bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum
visceral disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf
ini terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang
respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan
temperatur (Pierce).
Fungsi peritoneum yaitu :
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap
dinding posterior abdomen
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi
terhadap infeksi.

(Mansjoer, Arif. 2013)

C. ETIOLOGI
Menurut National Nosocomial Infection Survelance System, peritonitis
dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan
penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung,
perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena
perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
Infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan tergantung dari penyakit
yang mendasarinya. Penyebab utama peritonitis adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP terjadi bukan karena
infeksi intrabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat
penyakit hati kronik.
Penyebab lain yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi
appendiksitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
devertikulisis, volvusus atau kanker dan strangulasi colon asenden. Peritonitis
sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis
(infeksi transmural) organ – organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga
peritoneal.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah :
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi
2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan
kegiatan seksual.
3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang disebabkan oleh gonore dan
infeksi clamedia.
4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana bisa terjadi asites dan
mengalami infeksi.
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.

D. TANDA DAN GEJALA


Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya.
Biasanya penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di
perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan
jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya
bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan seksama, komplikasi
bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan menghilang dan
cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes dari
peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan darah
kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan
paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar. (Mahey et al. 2017)
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam
tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga
menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum
maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa
tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic),
penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric. Penumpukan cairan
mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang menyebabkan gangguan
elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal, abses peritoneal, sepsis
Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas.

E. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-
organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

F. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
(chushieri)
1. Komplikasi dini
 Septikemia dan syok septic
 Syok hipovolemik
 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system
 Abses residual intraperitoneal
 Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
 Adhesi
 Obstruksi intestinal rekuren.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
1) Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya shift
to the left. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan
beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak
ditemukan atau malah leukopeniaMPT, PTT dan INR
2) Test fungsi hati jika diindikasikan
3) Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
4) Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
5) Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
6) BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolik
7) Diagnostic Peritoneal Lavage. • Pemeriksaan cairan peritonium
8) Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan dominan
PMN merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50
mg/dL, LDH cairan peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase
meningkat, didapatkan multipel organisme.

2. Radiologis
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus)
adalah pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada penderita
dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara bebas sering
ditemukan pada perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang ditemukan pada
perforasi kolon dan juga appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk
mengidentifikasi udara bebas di bawag diafragma (seringkali pada sebelah kanan)
yang merupakan indikasi adanya perforasi organ.

3. USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas
(abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di daerah
pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita merasa tidak
nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites),
tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area
sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan
USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa
meningkatkan ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk
dilakukannya aspirasi dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah satu
diagnosis dan terapi pada peritonitis.

4. CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak
lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada kasus
intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika
memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena. CT
Scan dapat mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area inflamasi
dan kelainan patologi GIT lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses
peritoneal dan pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan
panduan CT Scan. (Almenia,2020)

H. PENATALAKSAAN
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal,
penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pembuangan fokus septik atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan
mengalirkan nanah keluar dan tindakan – tindakan menghilangkan nyeri.
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat,
terutama bila disertai appendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang
panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan.
Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan
bersamaan. Cairan dan elektrolit bisa diberikan melalui infus. (Brunner &
Suddarth 2013)

I. PROGNOSA
Tergantung dari umur penderita, ketepatan dan keefektifan terapi.
Prognosa baik pada peritonitis local dan ringan. Prognosa buruk pada peritonitis
general.
J. Pathway
(Soeparman. 2016), (Mansjoer, Arif. 2013),(PPNI,2018)

Bakteri, virus

Masuk saluran cerna

Peradangan saluran cerna

Masuk ke rongga peritoneom

Peritonitis

Peradangan Peradangan peritoneum


Trauma Inflamasi pada
Pelepasan berbagai mediator jaringan peritoneum Peningkatan peritoneum
kimiawi (histamin, HCI
bradikinin Merangsang saraf
Penurunan kelembaban
Proses penyakit Medula oblongata nyeri di
luka Aktivitas cerebrum
peristaltik
Merangsang saraf
Nyeri abdomen Sistem limbik usus Nyeri
perangsang nyeri di Infeksi bakteri meningkat
cerebrum Ileus
Post Operasi
Pergerakan Reaksi mual
MK :
abdomen tidak MK :
Risiko MK : Risikon Usus Kelemahan fisik
teraturTakipnea infeksi
Nyeri
Hipovolemia, menjadi
Akut
Defisit Nutrisi meregang

MK : Konstipasi
MK : Pola MK : Intoleransi
nafas tidak aktivitas
efektif
DAFTAR PUSTAKA

Andra. 2017. Peritonitis Pedih dan Sulit Diobati. www.majalah-farmacia.com.


Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB.
Lippincott Company. Philadelphia. 2015.
Doenges, Marilynn E. et all. 2015. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Johnson, Marion et all. 2012. Iowa Intervention Project Nursing Outcomes
Classification (NOC). St. Louis : Mosby Inc.
Mansjoer, Arif. 2013. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
McCloskey, Joanne C. dan Gloria M. Bulechek. 2016. Iowa Intervention Project
Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis : Mosby - Year
Book Inc.
Potter dan Perry. 2014. Fundamental Keperawatan Edisi 4 Vol 2. Buku
Kedokteran. Jakarta : ECG.
Soeparman, dkk 2016. Ilmu Penyakit Dalam Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
Santosa, Budi. 2015. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima
Medika.

Anda mungkin juga menyukai