Anda di halaman 1dari 35

JURNAL PEDIATRIK

Intervensi Keperawatan Berdasarkan Jurnal pada Pasien dengan


Peritonitis pos Reseksi Ileum yang Terpasang Stoma
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Profesi Ners Departemen Pediatrik

Oleh : Kelompok 9
Anisah Puspita Sari
Feronicha Gadis Maharani
Kadek Kusuma Wardana
Ahmad Zahriar Badarudin

1400703000111
140070300011153
1400703000111
1400703000111

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang ada di dalamnya. Berdasarkan
sumber dan mekanisme terjadinya peritonitis dibagi menjadi peritonitis primer, sekunder
dan tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi ekstraperitoneal yang menyebar
secara hematogen. Peritonitis sekunder mengarah pada kondisi infeksi yang berasal dari
intraperitoneal yang umumnya disebabkan karena perforasi organ berongga dalam
kavum peritoneum.

Sedangkan peritonitis tersier terjadi akibat kegagalan respon

inflamasi tubuh atau superinfeksi (Harison, 2011).


Peritonitis merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita
bedah dengan angka mortalitas sebesar 10-40%. Sebesar 90% dari kasus peritonitis
tergolong dalam jenis peritonitis sekunder yang disebabkan oleh perforasi organ
gastrointestinal (Tarigan MH, 2012). Beberapa organ yang dapat mengalami perforasi
dan mengakibatkan peritonitis diantaranya gaster, duodenum, jejenum, ileum, kolon,
maupun apendiks Perforasi organ bersamaan dengan peritonitis biasanya akan
memunculkan gejala akut atau kronis yang membutuhkan penatalaksanaan segera
maupun elektif (Jarrell.,Carabasi., 2008).
Peritonitis termasuk dalam
kondisi gawat abdomen yang menggambarkan
keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan
nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang
sering berupa tindakan bedah. Salah satu penatalaksanaan peritonitis akut yang gawat
adalah dengan dilakukan prosedur pembedahan laparotomi maupun laparoskopi.
Tindakan ini bertujuan untuk mengontrol infeksi sekaligus menghilangkan penyebab
perforasi organ (Arief Mansjoer et al., 2000).
Pada kasus anak yang didiagnosa mengalami peritonitis oleh karena perforasi
ileum, dokter biasanya akan melakukan prosedur reseksi ileum. Pada saat reseksi ileum
dilakukan, tentu saja akan mengakibatkan terganggunya proses pencernaan dan
mekanisme pengeluaran sisa metabolisme (feses). Maka dari itu, tindakan pembuatan
lubang stoma (ileostomi) untuk mengevakuasi feses juga kerap dilakukan. Ileostomi
adalah bedah pembuatan lubang antara illeum dan dinding abdomen untuk tujuan diversi
fekal. Ileostomi berbeda dengan kolostomi dimana feses mempunyai konsistensi lebih
cair, terdapat enzim pencernaann dan aliran isinya tak terkontrol sehingga alat
penampung harus digunakan secara kontinue.
Perawatan pos operasi pada pasien anak memerlukan perhatian yang khusus
dibandingkan pada orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan timbulnya masalah
keperawatan berhubungan dengan usia yang masih terlalu muda, mekanisme koping

yang tidak efektif, keterbatasan fungsi dan respon terhadap masalah kesehatannya.
Masalah keperawatan yang dapat diangkat pada anak dengan pos pemasangan stoma
adalah nyeri. Nyeri pada kasus ini berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan
yang disengaja setelah prosedur laparatomi. Selain itu, nyeri juga bisa diakibatkan
karena haluaran feses yang iritatif. Nyeri dimanifestasikan bermacam-macam oleh anak
misalnya tangisan, rewel, perubahan sikap terhadap nyeri, ekspresi wajah khas. Nyeri
pada anak dapat diidentifikasi dengan berbagai macam instrumen pengkajian nyeri
sesuai usia. Apabila nyeri tidak teratasi, mungkin saja akan muncul masalah baru dan
menimbulkan ketidaknyamanan pada anak sehingga dapat mengganggu kualitas
hidupnya seperti kualitas tidur hingga gangguan nafsu makan. Masalah kedua yang
muncul adalah kerusakan integritas jaringan sebagai akibat dari prosedur invasif.
Perawat perlu menaruh perhatian khusus terhadap perawatan luka dan perawatan
stoma, serta pencegahan infeksi.
Selain itu, pada kasus perforasi ileum dimana harus dilaksanakan prosedur
ileustomy, maka fokus perhatian perawatan pasien tidak hanya untuk mengatasi nyeri
pos

operasi,

perawatan

mempertimbangkan

tentang

luka,

dan

status

perawatan

nutrisi

pasien

stoma
yang

saja.

Perawat

mungkin

perlu

bermasalah.

Permasalahan nutrisi pada pasien anak bisa disebabkan oleh anoreksia selama proses
penyakit maupun karena terganggunya fungsi ileum sebagai organ penyerapan nutrisi.
Dalam hal ini, diagnosa yang dapat dimunculkan adalah ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis rekomendasi intervensi terhadap diagnosis keperawatan nyeri
akut untuk pasien peritonitis pos ileostomy yang terpasang stoma?
2. Bagaimana analisis rekomendasi intervensi terhadap diagnosis keperawatan
kerusakan integritas jaringan pada pasien peritonitis pos ileostomy yang terpasang
stoma?
3. Bagaimana analisis rekomendasi intervensi terhadap diagnosis keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada pasien peritonitis pos
ileostomy yang terpasang stoma?

1.3 Tujuan
1. Menganalisis dan merekomendasikan intervensi terhadap diagnosis keperawatan
nyeri akut untuk pasien peritonitis pos ileostomy yang terpasang stoma.

2. Menganalisis dan merekomendasikan intervensi terhadap diagnosis keperawatan


kerusakan integritas jaringan pada pasien peritonitis pos ileostomi yang terpasang
stoma.
3. Menganalisis dan merekomendasikan intervensi terhadap diagnosis keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada pasien peritonitis pos
ileostomy yang terpasang stoma
1.4 Manfaat
-

Bagi pasien
Intervensi terhadap nyeri pos operasi laparostomi diharapkan dapat mengurangi
ketidaknyamanan pasien. Selain itu, diharapkan perawatan luka pos operasi dan
perawatan stoma sudah sesuai dengan standar dan terhindar dari risiko infeksi.
Intervensi keperawatan terhadap status nutrisi pasien juga dapat dijadikan sebagai
upaya pencegahan terhadap perburukan status nutrisi pasien anak dalam periode
emas pertumbuhan.

Bagi klinik
Dunia klinik mendapatkan pengetahuan dan skill yang baru tentang prosedur
perawatan pasien peritonitis berdasarkan diagnosis keperawatan yang sering muncul
tersebut yang dapat mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien. Aplikasi
perawatan pasien anak pos reseksi ileum yang terpasang stoma yang baik sesuai
dengan program yang ada di RS pun dapat mengoptimalkan kinerja perawat sesuai
dengan panduan prosedur yang jelas terhadap perawatan pasien Leukimia.

Bagi mahasiswa kesehatan


Mahasiswa kesehatan sebagai agen perubahan diharapkan menjadi promotor dalam
aplikasi ilmu keperawatan yang baru untuk memperbaiki kinerja perawat sehingga
mengoptimalkan efisiensi beban kerja perawat dan pembiayaan perawatan yang
harus dikeluarkan pasien Leukimia.

Bagi institusi pendidikan


Institusi pendidikan mendapatkan pengetahuan baru dari praktek lapangan di klinik
yang sesuai dengan pembahasan teori sehingga bisa digunakan sebagai bahan
materi dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswa keperawatan yang akan
menjadi generasi penerus di dunia keperawatan untuk menjadi lebih baik.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 PERITONITIS
2.1.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang biasanya disebabkan oleh infeksi.
Peritoneum adalah lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera
(Smeltzer & Bare, 2002). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang kaya akan
vaskularisasi dan aliran limpa berfungsi untuk membungkus organ perut dan dinding
perut sebelah dalam (Price & Wilson, 2006).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan
dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda tanda umum inflamasi.
( Santosa, 2005)
Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, pada membran

serosa,

pada bagian rongga perut. (Andra, 2007)


2.1.2

Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:


a. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien
dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
b. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon
sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus
(Brian,2011).
Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal

Penyebab
Boerhaave syndrome

Esophagus

Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,

Stomach

gastrointestinal stromal tumor)


Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Peptic ulcer perforation


Duodenum

Trauma (blunt and penetrating)


Iatrogenic*
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus)
or common duct

Biliary tract

Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Pancreas

Trauma (blunt and penetrating)


Iatrogenic*
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction

Small bowel

Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy

Large bowel and

Ulcerative colitis and Crohn disease

appendix

Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis,

Uterus, salpinx, and

tubo-ovarian abscess, ovarian cyst)

ovaries

Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

c. Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya.
2.1.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang

menempel

menjadi satu

dengan

permukaan

sekitarnya

sehingga

membatasi

infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap


sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al,
2008).
Peradangan

menimbulkan

akumulasi

cairan

karena

kapiler

dan membran

mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin,

dapat memulai

respon

hiperi-nflamatorius,

sehingga

membawa

ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba


untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini
segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan

retroperitoneal menyebabkan

hipovolemia.

Hipovolemia

bertambah

dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya
cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum,

aktivitas peristaltik

berkurang

sampai

timbul

ileus

paralitik;

usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al, 2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total
atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman
S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus
dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami
hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi,
perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang
lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia
(Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium
oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh
perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria
(Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma.

Obstruksi

tersebut menyebabkan

mukus

yang

diproduksi

mukosa

mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas


dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis

bakteri, ulserasi

mukosa,

dan

obstruksi

vena

sehingga

udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan
perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al,
2008). Berikut ini kami sajikan patofisiologi dan masalah keperawatan yang muncul
pada pasien peritonitis:

Gambar 1. Pathway peritonitis

2.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam
rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya
penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk
melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum. Manifestasi klinis dapat
dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2)
manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan,
kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum
dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis
dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok (Doherty, 2006).
a. Gejala
1) Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita
dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen(Doherty,
2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak
ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.
Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi
dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta
dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
(Schwartz et al, 1989).
2) Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya
suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).
3) Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua
telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970). Penderita
dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada
stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan
lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan
dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat


kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Coleet
al,1970).
4) Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.
Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke
lumen

dari

intestinal.

Yang

kedua

dikarenakan

terjadinya

sepsis

generalisata(Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman
gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai
syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian
diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan
sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada
b.

manusia (Cole et al,1970).


Tanda
1) Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989).
2) Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi
abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

3) Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.
Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik
daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
4) Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari
intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari
peritonitis (Cole et al,1970).
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara
akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).
5) Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang
sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang
paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada
stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan
spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah

dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi
dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada
pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut
atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
2.1.5

Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat
penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah
termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih
biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau
seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan
mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi
oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah
leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar
dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).
b.

Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto
thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses
intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat
terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan
usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto
polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak
lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara
bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di
usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

2.1.6

Penatalaksanaan
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,

kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).
a.

Penanganan Preoperatif
1) Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial (Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik
tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat
diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan
kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,
2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian
akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989). Suplemen kalium sebaiknya
tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah
diprodukasi (Doherty, 2006).
2) Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri

anaerob

yang

tersering

adalah Bacteriodes

spp,

Clostridium,

Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian


antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang
menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil


kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih
terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan
penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik
harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji
sensitivitas (Cole et al,1970).
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi
menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan
setelah operasi (Schwartz et al, 1989).
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam
dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit
dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur
merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida

sama

baiknya

jika

memberikan

cephalosporin

generasi

kedua(Schwartz et al, 1989).


Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty,
2006).Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal
awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik
diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah
putih yang normal (Doherty, 2006).
3) Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh
akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat
diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga

ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau
lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg,
(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
4) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi danrespiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et
al, 1989).
b. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat

irigasi

untuk

mengurangi

virulen(Schwartz et al, 1989).


1) Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan

ukuran

operatif

dan

pada

jumlah

peritonitis

dari

adalah

bakteri

untuk

menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab


utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang
terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan
jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut
harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum
dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu
diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung
empedu),

perbaikan

(ulkus

perforata)

atau

drainase

(pankreatitis

akut).

Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob
segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).
2) Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).
Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersamalavage.

Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan


depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja
dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan
lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
3) Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas
tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase
profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan
dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan
massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).
c. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).
Prosedur reseksi usus
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal,
pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam
tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang
berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi,
ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).

2.2 STOMA
2.2.1 Pengertian Stoma
Lubang yang muncul dipermukaan yang berupa mukosa kemerahan disebut
dengan stoma (Muwarni, 2009). Untuk mengambil keluaran dari stoma, diperlukan
sebuah kantong sekali pakai atau kantong drainase yang disebut appliance yang
dilekatkan pada stoma. Karena kontrol sfingter normal tidak digunakan, mungkin
akan muncul masalah-masalah kebocoran, pengendalian bau dan iritasi di sekitar
area (Blackley, 2004). Perlengkapan ostomi terdiri atas satu lapis dengan barier kulit
hipoalergik untuk mempertahankan integritas kulit peristomal. Perlindungan kulit
peristomal adalah aspek penting dalam perawatan stoma. Peralatan yang sesuai
ukuran merupakan hal yang penting untuk mencegah kebocoran stoma (Wong,
2009).
Komplikasi pada stoma yang dapat terjadi jika tidak dilakukan perawatan
adalah dapat terjadi obstruksi/penyumbatan yang diakibatkan karena adanya
perlengketan usus atau adanya pergeseran feses yang sulit dikeluarkan, stenosis
akibat penyempitan lumen, prolap pada stoma akibat kelemahan otot abdomen,
perdarahan stoma akibat tidak adekuatnya haemostasis dari jahitan batas
mucocutaneus, edema jaringan stoma akibat tekanan dari hematoma peristomal dan
pengkerutan dari kantong kolostomi, nekrotik stoma akibat cedera pada pembuluh
darah stoma, dan retraksi/pengkerutan stoma akibat kantong stoma yang terlalu
sempit/tidak pas untuk ukuran stoma dan akibat jaringan scar disekitar stoma
(Blackley, 2004). Oleh sebab itu, sangatlah penting dilakukan perawatan stoma untuk
menjaga area tersebut agar tetap bersih dan kering. Untuk menampung drainase,
digunakan kantong kolostomi sekali pakai yang menutupi stoma. Kantong tersebut
ditahan menggunakan sabuk atau perekat.
Perawatan stoma yang benar sangat diperlukan untuk mempertahankan
kesehatan jaringan karena daerah disekitar stoma mengalami kontak langsung
dengan feses yang cair atau semicair (Hegner & Caldwell, 2003). Sebaiknya
keluarga secara aktif dilibatkan karena keluarga mempunyai tanggung jawab akhir
dalam mengatur hidup mereka sendiri, selain itu tindakan ini merupakan cara untuk
menghormati dan menghargai keluarga (Carey, 1989 dalam Suprajitno, 2004).
Menurut Suprajitno (2004), untuk menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga
mengenai masalah kebutuhan kesehatan dapat dilakukan dengan cara memberikan
informasi yang tepat, mengidentifikasi kebutuhan dan harapan keluarga tentang
kesehatan, serta mendorong sikap emosi yang mendukung upaya kesehatan.
Rencana tindakan ini diarahkan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan tindakan
keluarga sehingga pada akhirnya keluarga mampu memenuhi kebutuhan kesehatan
anggota keluarganya (Calgary, 1994 dalam Suprajitno, 2004).

2.2.2

Jenis-jenis Stoma
1. Colostomy (Lubang buatan di usus besar)
Dari kata kolon yang artinya usus besar dan stoma yang artinya mulut
diartikan disini sebagai mulut yang dibuat dari usus besar dan lebih dikenal
sebagai anus buatan. Kolostomi dikerjakan / dibuat pada keadaan :
a. Kanker usus besar terletak pada kolon rectum distal (kurang 5 cm dari batas
anus)
b. Kanker genitalia yang sudah mengenai otot anus
c. Kanker usus besar yang terlambat dioperasi walaupun terletak dari 5 cm
diatas anus
2. Ileostomi
Tindakan bedah membuat suatu opening antara usus halus dengan dinding
abdomen yang biasanya berasal dari ileum distal atau bahkan lebih proximal dari
usus halus. Limbah usus lolos keluar dari ileostomy dan dikumpulkan dalam
suatu sistem pouching eksternal menempel di kulit. Ileostomi biasanya diletakkan
di di sisi kanan perut.

2.2.3

Komplikasi stoma dan stoma care


1) Ciri-ciri stoma sehat
Berwaran merah muda :
Lembab
Tidak nyeri
Dapat Bergerak
2) Ciri-ciri stoma yang komplikasi
Komplikasi stoma ( kolap, perdarahan, diare berlebihan, feses jadi mirip pita,

sulit buang air besar dan platus).


Obstruksi intestinal atau konstipasi
Krolaps sekmen proksimal
Perdarahan
Peningktan defekasi
infeksi
Gangguan pada kulit disekitar stoma ditandai dengan adanya erithema,

maserasi, kemerahan, ulserasi dan melepuh.


2.2.4

Komplikasi Pemasangan Stoma


Komplikasi yang biasanya terjadi pada pasien dengan pemasangan kolostomi
yaitu :
a. Obstruksi/ penyumbatan
Penyumbatan dapat disebabkan oleh adanya perlengketan usus atau adanya
pengerasan feses yang sulit dikeluarkan. Untuk menghindari terjadinya sumbatan,
pasien perlu dilakukan irigasi kolostomi secara teratur. Pada pasien dengan
kolostomi permanen tindakan irigasi ini perlu diajarkan agar pasien dapat
melakukannya sendiri di kamar mandi.
b. Infeksi.

Kontaminasi feses merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab


terjadinya infeksi pada luka sekitar stoma. Oleh karena itu pemantauan yang terus
menerus sangat diperlukan dan tindakan segera mengganti balutan luka dan
mengganti kantong kolstomi sangat bermakna untuk mencegah infeksi.
c. Retraksi stoma/ mengkerut
Stoma mengalami pengikatan karena kantong kolostomi yang terlalu sempit
dan juga karena adanya jaringan scar yang terbentuk disekitar stoma yang
mengalami pengkerutan.
d. Prolaps pada stoma
Terjadi karena kelemahan otot abdomen atau karena fiksasi struktur
penyokong stoma yang kurang adekuat pada saat pembedahan.
e. Stenosis
Penyempitan dari lumen stoma
2.2.5

Perawatan Stoma
Perawatan stoma sama halnya dengan perawatan luka operasi lainnya. Tidak
sulit namun perlu kesabaran dan ketekunan serta sedikit tips agar stoma dan luka
operasi dapat sembuh dengan baik. Tujuan dilakukan perawatan stoma ini supaya
terlindungi dari kontaminasi dan mencegah terjadinya infeksi. Langkah-langkah
perawatan stoma adalah sebagai berikut :
1. Sebelum melakukan perawatan stoma, siapkan peralatan dan bahan-bahan
yangdibutuhkan seperti baskom bengkok (neer baken), hanscoon steril, pinset
steril,gunting steril, kassa, steril PZ (NaCl 0,9%), betadin, dan plester. Ajak
seorangasistensi perawat atau bila tidak mungkin bisa meminta pertolongan
2.

keluarga pasien dengan terlebih diberikan pengarahan.


Setelah peralatan sudah siap. Pakai hanscoon steril. Lalu buka kantong stoma

pinset terlebh dulu.


3. Dengan kassa basah bersihkan luka jahitan stoma terlebih dulu mengarah
4.

kelumen stoma kolostomi. Evakuasi semua kotoran (feces) hingga bersih.


Setelah itu buka kassa penutup luka laparotomi. Bila plester terlalu kuatdapat

5.

dibasahi dengan alkohol agar mudah dibuka dan tidak sakit.


Bersihkan luka operasi dan sekitarnya dengan kassa steril yang sudah dibasahi

6.

dengan PZ mulai dari luka operasi ke arah tepi.


Dengan kassa basah lakukan penekanan pada luka agar bila ada pus dalam
luka dapat keluar. Penekanan dilakukan karena meskipun dari luar luka operasi

tampak kering, namun sering terdapat pus di dalamnya.


7. Apabila dirasa sudah cukup dan tidak ada pus yang keluar. Bersihkan
8.
9.

dengankassa basah. Selanjutnya dikeringkan dengan memakai kassa steril.


Pada luka yang infeksius dan basah dapat diberikan antiseptik (Hemolok).
Pada luka dehisance/menggaung dan produksi pus masih banyak dapat
digunakan kassa basah untuk menyerap pus agar cepat kering.

10. Tutup luka operasi dengan kassa steril 2 sampai tiga lapis dan difiksasi dengan
plester. Penulis menyarankan memakai plester putih (hypafik) karena lebihkuat
daya rekatnya dan tidak menimbulkan alergi pada kulit.
11. Selanjutkan bersihkan kembali luka sekitar stoma dan keringkan dengan kassa.
Selanjutnya kantong stoma baru dapat dipasang.
12. Perawatan luka sebaiknya dilakukan sekali sehari. Bila luka masih tampak
basah sekali sebaiknya dilakukan 2-3 kali sehari sesuai kondisi luka operasi.
13. Jahitan luka laparotomi dapat diangkat pada hari ke 10 post op.

2.2.6

Nutrisi pada pasien stoma


Diet pada pasien dengan stoma bersifat individual. Pasien harus diajarkan
untuk menghindari makanan yang menyebabkan gas, diare, sembelit, atau yang
odorforming atau yang mengiritasi kulit. Jika klien memperkenalkan satu makanan
pada suatu waktu, makanan yang menyebabkan masalah dapat dengan mudah
diidentifikasi. Masalah dengan diare dapat dikendalikan dengan obat-obatan.
Laxative atau pencahar ringan dapat dikonsumsi ketika konstipasi (sembelit)
menjadi suatu masalah. Pada ilostomi pasien dihindarkan dari makanan tinggi
serat, dianjurkan memeprbanyak minum minimal 8 gelas 2 liter /hari dan harus
menjaga keseimbangan elektrolit.

2.3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


A. PENGKAJIAN
a. Biodata
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama:
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
Riwayat Penyakit Sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal
diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
Riwayat Penyakit Dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post
operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan
oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.
c. Pemeriksaan fisik
Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi
Inspeksi :
- Kepala : Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga dan leher.
- Abdomen: biasanya terjadi pembesaran limfa,
- Genetalia : Tidak ada perubahan
Palpasi abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung, nyeri
Auskultasi : peristaltik usus menurun
Perkusi abdomen : hipersonor
d. Pengkajian primer
Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa
secret, lidah jatuh atau benda asing.
Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa
frekuensi pernafasan klien per menitnya.
Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan
cairan dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang
cukup jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri
U: Tidak Ada Nyeri
Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat diketahui
kelainan yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai akibat
perubahan sirkulasi, penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.
e. Pola Kesehatan
Pengkajian data dasar menurut Doengoes (2000),adalah :
1.

Aktivitas / istirahat
Data Subyektif : Merasa lemah ,lelah, hilang keseimbangan.
Data Obyektif : Perubahan Kesadaran ,masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma).

2.

Sirkulasi

Data Obyektif :Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), Perubahan


frekuensi jantung (Bradikardi,takikardi).
3.

Integritas ego
Data Subyektif :Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif :Cemas , bingung ,depresi

4.

Eliminasi
Data Subyektif :Inkontenensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.

5.

Makanan dan cairan


Data Subyektif :Mual,muntah, dan mengalami perubahan selera makan
Data Obyektif :Mengalami distensi abdomen

6.

Neurosensori
Data Subyektif :Kehilangan kesadaran sementara ,vertigo
Data Obyektif :Perubahan kesadaran bisa sampai koma ,perubahan status mental
(Orientasi , Kewaspadaan , Perhatian ,konsentrasi, pemecahan
masalah ,pengaruh emosi /tingkah laku dan memori),sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagai tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

7.

Nyeri dan Kenyamanan


Data Subyektif :Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Data Obyektif :Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan,nyeri yang
hebat, gelisah ,tidak bisa beristirahat,merintih.

8.

Pernafasan
Data Subyektif :Perubahan pola nafas.

9.

Keamanan
Data Subyektif :Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Data Obyektif :Fraktur/dislokasi, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak,
Demam ,gangguan rentang dan regulasi suhu tubuh.

10.

Interaksi Sosial
Data Obyektif :Gangguan motorik atau sensorik.

11.

Penyuluhan /Pembelajaran
Data Subyektif :Membutuhkan bantuan dalam pengobatan aktivitas
perawatan diri.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang muncul pada pasien dengan kasus peritonitis berdasarkan rumusan
diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain:

1) Pre Operasi
1.
Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
3.
Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
4.
Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen.
5.
Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
2) Post Operasi
1.
Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2.
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang
3.
4.

tidak adekuat.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi menurut Mc.Closkey dalam Nursing Intervention Classsification (NIC), dan
hasil yang diharapkan menurut Johnson dalam Nursing Outcome Classification
( NOC) , antara lain:
1) Pre Operasi
1. Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakuakan tindakan keperawatan

selama

.......x24

jamdiharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang.


NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1.
Nyeri berkurang
2.
Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah membaik
3.
Kegelisahan atau ketegangan otot berkurang
4.
Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
5.
Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC : Penatalaksanaan nyeri
1.
Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan,
2.
3.

factor presipitasinya
Observasi ketidaknyamanan non verbal
Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien
untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase,

4.

perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru


Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien

5.
6.
7.

terhadap ketidaknyamanan
Anjurkan pasien untuk istirahat
Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

2. Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan mual,muntah, anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien
adekuat.
NOC : Status Gizi, kriteria hasil:

1.
Mempertahankan berat badan.
2.
Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3.
Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4.
Turgor kulit baik.
NIC : Pengelolaan Nutrisi
1.
Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2.
Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3.
Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
4.
5.

memenuhinya.
Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

3. Dx III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.


Tujuan : Setelah dilakuakan tindakan keperawatan

selama

.......x24

1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.

jamdiharapkan suhu tubuh kembali normal 37 C


NOC : Thermoregulation,kriteria hasil:
Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan
Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan
Perubahan warna kulit tidak ada
NIC : Fever Treatment
Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
Pantau warna kulit dan suhu
Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar
pakaian.

4.
1.
2.
3.
1.

Dx IV. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi.
NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
NIC : Penatalaksanaan defekasi
Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan

warna yang tepat.


2. Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan
penggunaan laksatif.
3. Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan cairan,aktivitas dan
latihan.
4. Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk
mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet.
5. Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan tingkah laku.
5.

Dx V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien bebas dari

gejala peritonitis.
NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.
2. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria, dan imun dalam
batas normal.

3. Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan.
NIC : Pengendalian Infeksi
1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan
suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya
apendiks.
2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba
pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku
abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat,
menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas

usus

dan

meningkatkan resiko perforasi.


4. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
5. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

2) Post Operasi
1.
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.
Tujuan : Setelah dilakuakan tindakan keperawatan

1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.

selama

.......x24

jamdiharapkan nyeri dapat berkurang atau hilang.


NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
Nyeri berkurang
Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC: Penatalaksanaan nyeri
Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
Observasi ketidaknyamanan non verbal
Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,

berikan perawatan yang tidak terburu-buru


4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
5. Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
6. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
2.

Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan


yang tidak adekuat.
Tujuan : Setelah

dilakuakan

tindakan

keperawatan

selama

.......x24

jamdiharapkan keseimbangan cairan pasien normal dan dapat mempertahankan


hidrasi yang adekuat.
NOC : Fluid balance, kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab,
4. Tidak ada rasa haus yang berlebihan

1.
2.
3.
4.
5.
6.
3.

1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.

NIC : Fluid Management


Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Monitor vital sign dan status hidrasi
Monitor status nutrisi
Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.
Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.
Atur kemungkinan transfusi darah.
Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama .......x24 jamdiharapkan
tidak terjadi infeksi pada luka bedah.
NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
Bebas dari tanda dan gejala infeksi.
Higiene pribadi yang adekuat.
Mengikuti prosedur dan pemantauan.
NIC: Pengendalian Infeksi
Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).
Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.
Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi.
Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut yang

steril.
5. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.
4.

Dx.IV Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama .......x24

jam

diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi


NOC:
NIC :
5.

Dx.V Kerusakan integritas jaringan


Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan

keperawatan

selama

.......x24

jam

diharapkan luka menutup sesuai tahap penyembuhan luka dan tidak terjadi infeksi
NOC:
NIC :

BAB III
PEMBAHASAN
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang ada di dalamnya. Peritonitis
dapat bersifat lokal atau generalisata dimana berdasarkan sumber dan mekanisme
terjadinya dibagi menjadi peritonitis primer, sekunder dan tersier. Peritonitis sekunder
mengarah pada kondisi infeksi yang berasal dari intraperitoneal yang umumnya
disebabkan karena perforasi organ berongga dalam kavum peritoneum (Harison,
2011).
Salah satu penatalaksanaan peritonitis akut yang gawat adalah dengan
dilakukan pembedahan baik itu laparotomi maupun laparoskopi. Tindakan ini
bertujuan untuk mengontrol infeksi sekaligus menghilangkan penyebab. Apabila
peritonitis disebabkan oleh perforasi organ, maka dokter biasanya akan melakukan
tindakan ileostomi dan pembuatan kantong stoma untuk pengeluaran sisa
metabolisme. Pembuatan kantong stoma ini melewati prosedur kolostomi atau
ileostomi. Melalui prosedur ileostomi, ahli bedah akan membuat stoma (lubang) di
perut, dan melampirkan bagian atas dari usus ke stoma. Feses akan dikeluarkan
melewati stoma dan dapat di tampung pada sebuah kantong yang disebut sebagai
kantong stoma. Pendekatan terapeutik ini dapat berlangsung secara temporar atau
permanen, yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas hidup individu dengan
stoma.
Pada

dasarnya,

pembuatan

stoma

ditujukan

untuk

mengurangi

ketidaknyamanan dan nyeri perut pada pasien. Akan tetapi tidak jarang pembuatan
stoma ini akan memunculkan masalah baru pada anak seperti distres dan keluhan
nyeri sebagai akbiat dari adanya iritasi jaringan, keboboran kantong, bau tak sedap,
penurunan aktivitas yang menyenangkan, dan depresi / kecemasan. Selain itu, perlu
penatalaksanaan terhadap masalah kerusakan integritas jaringan, perawatan
kantong stoma dan menangani masalah nutrisi yang munkin timbul.
Membuat keputusan yang baik untuk mengontrol komplikasi penyakit,
pengobatan, dan meningkatkan kualitas hidup adalah tujuan yang sangat penting
dalam mengobati dan merawat pasien dengan stoma (Aghabarari M, 2006). Oleh
karena itu, adanya penatalaksanaan baru terhadap masalah keperawatan yang
muncul pada anak dengan pos ileostomi dan pemasangan stoma sangat penting.
Berikut ini akan kami bahas tentang rekomendasi penatalaksanaan baru terhadap
masalah keperawatan berdasarkan jurnal penelitian:
1. Diagnosa keperawatan nyeri akut

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial yang digambarkan sebagai
kerusakan (International association for the studi of pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat
dengan intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau di prediksi
(NANDA, 2015). Nyeri pos operasi ileostomi yang dirasakan pasien anak-anak merupakan
suatu fenomena yang kompleks karena sulit dibedakan antara respon tangisan dan
kegelisahan terhadap nyeri, lapar atau ketakutan. Respon nyeri yang muncul bersifat
subjektif dan sangat individual serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis
kelamin, tahap perkembangan, dan sosio-budaya klien (MacLaren et al., 2007).
American Association of Critical-Care Nurses (AACN) menyatakan pentingnya
memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan rasa
nyaman pos prosedur medis (Kathleen et al., 2001). Pendekatan farmakologis yang
biasanya diberikan untuk meredakan nyeri pasien pediatrik ternyata tidak mampu
mengatasi nyeri secara tuntas dan justru memiliki efek samping seperti agen opioid yang
dapat menginduksi depresi pernapasan. Managemen nyeri pos operatif pada anak-anak
dan bayi baru lahir dikhawatirkan akan menyebabkan respon stres fisiologis dan
menyebabkan

gangguan

pada

fungsi

respirasi,

kardiovaskuler,

neuro-endrokrin,

gastrointestinal, imnoogis dan metabolik (Rawal, 1984 dalam Gehdoo, 2004).


Suatu managemen untuk mengatasi respon fisiologis yang adapatif maupun
maladaptif terhadap nyeri dapat diadaptasi oleh perawat guna menyempurnakan tindakan
asuhan keperawatan pada pasien pediatrik. Berikut ini beberapa rekomendasi managemen
nyeri pada pasien anak pos operatif:
a. Pengguanaan terapi bermain untuk mengurangi nyeri pos operatif.
Bermain memiliki nilai terapeutik penting bagi anak untuk beradaptasi terhadap
situasi krisis seperti nyeri. Hal ini berkaitan dengan efek penyembuhan secara fisik dan
emosional anak-anak terhadap nyeri. Pada konteks rumah sakit, bermain yang
dimaksud adalah terapi bermian atau therapeutic play (TP) (Almeida, 2012).
b. ..............................................................................................................
c. ................................................................................................................
2. Diagnosa kerusakan integritas jaringan
Kerusakan integritas jaringan didefinisikan sebagai cedera pada membran mukosa,
kornea, sistem integumen, fascia muskular, otot, tendon, kartilago, kapsul sendi dan atau
ligamen (NANDA, 2015). Kerusakan integritas yang dimaksud dalam pembahasan jurnal
ini ditujukan pada kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh prosedur medis
pembedahan. Kerusakan yang terjadi dilakukan secara sengaja untuk tujuan medikasi
kuratif dan paliatif pada pasien anak dengan peritonitis.
Pasien peritonitis yang dilakukan tindakan laparotomi tidak jarang juga terpasang
stoma. Pada pasien yang menjadi fokus perhatian pembahasan ini, dokter melakukan

tindakan ileostomi dan pemasangan stoma untuk mengevakuasi feses sementara hingga
kondisi yang diharapkan terpenuhi dan anak siap dilakukan pengembalian fungsi
eliminasi seprti normal. Oleh karena itu, selain fokus pada perawatan luka pos operasi
tindakan

keperawatan

terhadap

diagnosa

kerusakan

integritas

jaringan

juga

berhubungan dengan perawatan stoma dan pencegahan infeksi.


Berikut akan dibahas beberapa rekomendasi managemen keperawatan kerusakan
integritas jaringan :
1. Mencegah penularan infeksi pada perawat melalui kepatuhan memakai sarung tangan
di setiap prosedur perawatan luka.
Selain memberikan intervensi perawatan luka pada pasien pos operasi,
perawat juga memerlukan perlindungan agar tidak terjangkit penyakit akibat terpapar
bakteri dari luka pasien. hal ini dapat terwujud melalui kepatuhan perawat dalam
memakai sarung tangan di setiap prosedur. Intervensi keperawatan ini didukung oleh
jurnal yang berjudul Effectiveness of Gloves in the Prevention of Hand Carriage of
Vancomycin-Resistant Enterococcus Species by Health Care Workers after Patient
Care yang dilakukan oleh Alan dkk pada tahun 2001. Hasil dari penelitian ini
didapatkan dari 17 perawat yang kontak dengan pasien yang menderita VRE, 5
diantarnya mendapatkan kuman di tangan setelah melepas sarung tangan
sedangkan 12 lainnya tidak. Sarung tangan mengurangi pajanan dari VRE pada 71
% perawat ( 12 dari 17 subjek), namun penggunaan sarung tangan masih belum
sepenuhnya dapat mencegah VRE. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi tangan
dengan kuman selama atau setelah melepas sarung tangan.
Cuci tangan adalah salah satu yang disarankan setelah melepas sarung tangan karena
potensi kontaminasi dari tangan selama proses pelepasan sarung tangan dapat terjadi.
Noskin et al menyebutkan bahwa kuman VRE dapat bertahan 60 menit pada tangan namun
dengan mencuci tangan hanya 30 detik dapat mengeliminasi kolonisasi kuman.
Karena memutus mata rantai penularan merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi harus didukung dengan kepatuhan dan ketaatan dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan dalam Standar Prosedur Operasional.
Adapun cara memutus mata rantai penularan infeksi tersebut adalah dengan penerapan
Isolation Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu

Standard Precautions (Kewaspadaan Standar) dan Transmission based Precautions


(Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).

3. Diagnosa Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh


Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah asupan nutrisi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik (Nanda, 2015). Salah satu etiologi yang
dapat menyebabkan munculnya ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
adalah ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien.
Pada kasus ini, diagnosa munculnya ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh muncul baik pada fase pre dan pos operasi. Pada fase pre operasi,
gejala peritonitis seperti mual, muntah akan menyebabkan anoreksia dan menurunnya
asupan nutrisi pada pasien. manifestasi yang timbul diantaranya adalah penurunan berat
badan walupun tidak secara drastis. Penurunan berat badan yang drastis dapat terjadi
pada kasus peritonitis yang diakibatkan oleh perforasi organ misalnya ileum. Timbulnya
perforasi ileum menandakan bahwa sebelumnya telah terdapat masalah pada ileum yang
mungkin akan mempengarhi absorbsi nutrien dan menyebabkan kebutuhan nutrisi tidak
terpenuhi. Pada kasus pos operasi, diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh dapat diangkat berhubungan dengan reseksi ileum dan ileostomi
sehingga mempengaruhi absorbsi nutrien di ileum. Berikut akan dibahas beberapa
rekomendasi managemen keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh.
a. Waktu dan jenis diit yang tepat pada pasien pos operasi abdomen.
Waktu yang tepat untuk memulai memberikan makanan pada pasien pos
operasi bedah abdomen masih berkembang. Pendekatan lama adalah menggunakan
dekompresi nasogastrik dan menunggu fungsi bowel kembali normal. Dimulainya
kembali diet oral pada apsien pos operasi biasanya dimulai dengan diet cair lalu
bertahap hingga oasien diperbolehkan diet biasa. Ada bukti substansial bahwa
pendekatan lama ini tidak diperlukan dalam kebanyakan kasus.
Secara historis, ahli bedah menunggu sampai fungsi usus kembali sebelum
melepaskan NGT dekompresi dan memungkinkan pemberian makanan enteral; ini
terutama berlaku setelah operasi perut atau panggul karena takut terjadinya
komplikasi yang disebabkan oleh peningkatan isi usus. Komplikasi ini meliputi aspirasi
dan pneumonia, dehiscence luka, kerusakan anastomotic dan pembentukan fistula (9).
Mereka juga percaya bahwa dengan dekompresi NGT maka akan mengurangi

terjadinya POI, mual dan muntah. Akan tetapi penelitian terbaru menyatakan bahwa
penggunaan NGT untuk dekompresi pasca operasi tidak mengurangi mual dan
muntah (PONV) (10,11),
Sementara itu, indikator fungsi bowel normal selama ini didasarkan pada bunyi
usus dan flatus pertama atau penegluaran feses (14-18). Menurut penelitian (22-28),
menyatakan bahwa memberikan makanan segera setelah prosedur operasi justru
dapat mengembalikan flatus dan feses.
Penelitian yang dilakukan oleh (57) menyatakan bahwa masih kurangnya bukti
yang mendukung pengunaan diit cairan jernih setelah operasi. Menurut penelitian
yang membandingkan pencegahan mual dan muntah pada apsien pos operasi
abdomen menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan signifikan antara responden
yang diberikan diit cair dan makanan biasa segera setelah operasi. Dalam hal ini
dokter tidak menunggu kembalinya fungsi bowel normal untuk memulai memberikan
makanan. Penelitian lain oleh Kamawura et al (58), menyatakan bahwa pasien
diperbolehkan minum air, teh. Dan cairan isotonik segera setelah pelepasan
dekompresi NGT. Pasien diperbolehkan makan sesuai keinginan dan selera pada 24
jam setelah operasi. Kesimpulannya, diit pada pasien pos operatif dapat dimulai ketika
indikator fungsi bowel normal telah ada dan makanan ideal yang dapat diberikan
adalah berdasarkan keinginan dan selera pasien yang terdiri dari makanan biasa 6
jam setelah anastesi dan makanan karbohidrat dalam bentuk cair 2 jam setelah
anastesi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai