Oleh : Kelompok 9
Anisah Puspita Sari
Feronicha Gadis Maharani
Kadek Kusuma Wardana
Ahmad Zahriar Badarudin
1400703000111
140070300011153
1400703000111
1400703000111
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang ada di dalamnya. Berdasarkan
sumber dan mekanisme terjadinya peritonitis dibagi menjadi peritonitis primer, sekunder
dan tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi ekstraperitoneal yang menyebar
secara hematogen. Peritonitis sekunder mengarah pada kondisi infeksi yang berasal dari
intraperitoneal yang umumnya disebabkan karena perforasi organ berongga dalam
kavum peritoneum.
yang tidak efektif, keterbatasan fungsi dan respon terhadap masalah kesehatannya.
Masalah keperawatan yang dapat diangkat pada anak dengan pos pemasangan stoma
adalah nyeri. Nyeri pada kasus ini berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan
yang disengaja setelah prosedur laparatomi. Selain itu, nyeri juga bisa diakibatkan
karena haluaran feses yang iritatif. Nyeri dimanifestasikan bermacam-macam oleh anak
misalnya tangisan, rewel, perubahan sikap terhadap nyeri, ekspresi wajah khas. Nyeri
pada anak dapat diidentifikasi dengan berbagai macam instrumen pengkajian nyeri
sesuai usia. Apabila nyeri tidak teratasi, mungkin saja akan muncul masalah baru dan
menimbulkan ketidaknyamanan pada anak sehingga dapat mengganggu kualitas
hidupnya seperti kualitas tidur hingga gangguan nafsu makan. Masalah kedua yang
muncul adalah kerusakan integritas jaringan sebagai akibat dari prosedur invasif.
Perawat perlu menaruh perhatian khusus terhadap perawatan luka dan perawatan
stoma, serta pencegahan infeksi.
Selain itu, pada kasus perforasi ileum dimana harus dilaksanakan prosedur
ileustomy, maka fokus perhatian perawatan pasien tidak hanya untuk mengatasi nyeri
pos
operasi,
perawatan
mempertimbangkan
tentang
luka,
dan
status
perawatan
nutrisi
pasien
stoma
yang
saja.
Perawat
mungkin
perlu
bermasalah.
Permasalahan nutrisi pada pasien anak bisa disebabkan oleh anoreksia selama proses
penyakit maupun karena terganggunya fungsi ileum sebagai organ penyerapan nutrisi.
Dalam hal ini, diagnosa yang dapat dimunculkan adalah ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis rekomendasi intervensi terhadap diagnosis keperawatan nyeri
akut untuk pasien peritonitis pos ileostomy yang terpasang stoma?
2. Bagaimana analisis rekomendasi intervensi terhadap diagnosis keperawatan
kerusakan integritas jaringan pada pasien peritonitis pos ileostomy yang terpasang
stoma?
3. Bagaimana analisis rekomendasi intervensi terhadap diagnosis keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada pasien peritonitis pos
ileostomy yang terpasang stoma?
1.3 Tujuan
1. Menganalisis dan merekomendasikan intervensi terhadap diagnosis keperawatan
nyeri akut untuk pasien peritonitis pos ileostomy yang terpasang stoma.
Bagi pasien
Intervensi terhadap nyeri pos operasi laparostomi diharapkan dapat mengurangi
ketidaknyamanan pasien. Selain itu, diharapkan perawatan luka pos operasi dan
perawatan stoma sudah sesuai dengan standar dan terhindar dari risiko infeksi.
Intervensi keperawatan terhadap status nutrisi pasien juga dapat dijadikan sebagai
upaya pencegahan terhadap perburukan status nutrisi pasien anak dalam periode
emas pertumbuhan.
Bagi klinik
Dunia klinik mendapatkan pengetahuan dan skill yang baru tentang prosedur
perawatan pasien peritonitis berdasarkan diagnosis keperawatan yang sering muncul
tersebut yang dapat mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien. Aplikasi
perawatan pasien anak pos reseksi ileum yang terpasang stoma yang baik sesuai
dengan program yang ada di RS pun dapat mengoptimalkan kinerja perawat sesuai
dengan panduan prosedur yang jelas terhadap perawatan pasien Leukimia.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 PERITONITIS
2.1.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang biasanya disebabkan oleh infeksi.
Peritoneum adalah lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera
(Smeltzer & Bare, 2002). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang kaya akan
vaskularisasi dan aliran limpa berfungsi untuk membungkus organ perut dan dinding
perut sebelah dalam (Price & Wilson, 2006).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronik / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan
dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda tanda umum inflamasi.
( Santosa, 2005)
Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, pada membran
serosa,
Etiologi
Penyebab
Boerhaave syndrome
Esophagus
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma,
Stomach
Biliary tract
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas
Small bowel
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
appendix
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis,
ovaries
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)
c. Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya.
2.1.3 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel
menjadi satu
dengan
permukaan
sekitarnya
sehingga
membatasi
menimbulkan
akumulasi
cairan
karena
kapiler
dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin,
dapat memulai
respon
hiperi-nflamatorius,
sehingga
membawa
retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia.
Hipovolemia
bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya
cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum,
aktivitas peristaltik
berkurang
sampai
timbul
ileus
paralitik;
usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al, 2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total
atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman
S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus
dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami
hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi,
perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang
lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia
(Fauci et al, 2008).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium
oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh
perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria
(Fauci et al, 2008).
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma.
Obstruksi
tersebut menyebabkan
mukus
yang
diproduksi
mukosa
bakteri, ulserasi
mukosa,
dan
obstruksi
vena
sehingga
udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan
perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al,
2008). Berikut ini kami sajikan patofisiologi dan masalah keperawatan yang muncul
pada pasien peritonitis:
dari
intestinal.
Yang
kedua
dikarenakan
terjadinya
sepsis
generalisata(Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman
gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai
syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian
diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan
sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada
b.
3) Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.
Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik
daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi (Cole et al,1970).
4) Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari
intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari
peritonitis (Cole et al,1970).
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara
akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).
5) Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai
terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat
langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.
Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang
sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk
menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang
paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada
stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan
spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah
dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat
dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi
dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada
pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut
atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).
2.1.5
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat
penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah
termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih
biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau
seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan
mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi
oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah
leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar
dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).
b.
Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto
thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses
intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat
terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan
usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto
polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak
lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara
bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di
usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).
2.1.6
Penatalaksanaan
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).
a.
Penanganan Preoperatif
1) Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang
intersisial (Schwartz et al, 1989).
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik
tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat
diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan
kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty,
2006).
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian
akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989). Suplemen kalium sebaiknya
tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah
diprodukasi (Doherty, 2006).
2) Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri
anaerob
yang
tersering
adalah Bacteriodes
spp,
Clostridium,
sama
baiknya
jika
memberikan
cephalosporin
generasi
ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau
lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg,
(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).
4) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi danrespiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et
al, 1989).
b. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat
irigasi
untuk
mengurangi
ukuran
operatif
dan
pada
jumlah
peritonitis
dari
adalah
bakteri
untuk
perbaikan
(ulkus
perforata)
atau
drainase
(pankreatitis
akut).
Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob
segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).
2) Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).
Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersamalavage.
2.2 STOMA
2.2.1 Pengertian Stoma
Lubang yang muncul dipermukaan yang berupa mukosa kemerahan disebut
dengan stoma (Muwarni, 2009). Untuk mengambil keluaran dari stoma, diperlukan
sebuah kantong sekali pakai atau kantong drainase yang disebut appliance yang
dilekatkan pada stoma. Karena kontrol sfingter normal tidak digunakan, mungkin
akan muncul masalah-masalah kebocoran, pengendalian bau dan iritasi di sekitar
area (Blackley, 2004). Perlengkapan ostomi terdiri atas satu lapis dengan barier kulit
hipoalergik untuk mempertahankan integritas kulit peristomal. Perlindungan kulit
peristomal adalah aspek penting dalam perawatan stoma. Peralatan yang sesuai
ukuran merupakan hal yang penting untuk mencegah kebocoran stoma (Wong,
2009).
Komplikasi pada stoma yang dapat terjadi jika tidak dilakukan perawatan
adalah dapat terjadi obstruksi/penyumbatan yang diakibatkan karena adanya
perlengketan usus atau adanya pergeseran feses yang sulit dikeluarkan, stenosis
akibat penyempitan lumen, prolap pada stoma akibat kelemahan otot abdomen,
perdarahan stoma akibat tidak adekuatnya haemostasis dari jahitan batas
mucocutaneus, edema jaringan stoma akibat tekanan dari hematoma peristomal dan
pengkerutan dari kantong kolostomi, nekrotik stoma akibat cedera pada pembuluh
darah stoma, dan retraksi/pengkerutan stoma akibat kantong stoma yang terlalu
sempit/tidak pas untuk ukuran stoma dan akibat jaringan scar disekitar stoma
(Blackley, 2004). Oleh sebab itu, sangatlah penting dilakukan perawatan stoma untuk
menjaga area tersebut agar tetap bersih dan kering. Untuk menampung drainase,
digunakan kantong kolostomi sekali pakai yang menutupi stoma. Kantong tersebut
ditahan menggunakan sabuk atau perekat.
Perawatan stoma yang benar sangat diperlukan untuk mempertahankan
kesehatan jaringan karena daerah disekitar stoma mengalami kontak langsung
dengan feses yang cair atau semicair (Hegner & Caldwell, 2003). Sebaiknya
keluarga secara aktif dilibatkan karena keluarga mempunyai tanggung jawab akhir
dalam mengatur hidup mereka sendiri, selain itu tindakan ini merupakan cara untuk
menghormati dan menghargai keluarga (Carey, 1989 dalam Suprajitno, 2004).
Menurut Suprajitno (2004), untuk menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga
mengenai masalah kebutuhan kesehatan dapat dilakukan dengan cara memberikan
informasi yang tepat, mengidentifikasi kebutuhan dan harapan keluarga tentang
kesehatan, serta mendorong sikap emosi yang mendukung upaya kesehatan.
Rencana tindakan ini diarahkan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan tindakan
keluarga sehingga pada akhirnya keluarga mampu memenuhi kebutuhan kesehatan
anggota keluarganya (Calgary, 1994 dalam Suprajitno, 2004).
2.2.2
Jenis-jenis Stoma
1. Colostomy (Lubang buatan di usus besar)
Dari kata kolon yang artinya usus besar dan stoma yang artinya mulut
diartikan disini sebagai mulut yang dibuat dari usus besar dan lebih dikenal
sebagai anus buatan. Kolostomi dikerjakan / dibuat pada keadaan :
a. Kanker usus besar terletak pada kolon rectum distal (kurang 5 cm dari batas
anus)
b. Kanker genitalia yang sudah mengenai otot anus
c. Kanker usus besar yang terlambat dioperasi walaupun terletak dari 5 cm
diatas anus
2. Ileostomi
Tindakan bedah membuat suatu opening antara usus halus dengan dinding
abdomen yang biasanya berasal dari ileum distal atau bahkan lebih proximal dari
usus halus. Limbah usus lolos keluar dari ileostomy dan dikumpulkan dalam
suatu sistem pouching eksternal menempel di kulit. Ileostomi biasanya diletakkan
di di sisi kanan perut.
2.2.3
Perawatan Stoma
Perawatan stoma sama halnya dengan perawatan luka operasi lainnya. Tidak
sulit namun perlu kesabaran dan ketekunan serta sedikit tips agar stoma dan luka
operasi dapat sembuh dengan baik. Tujuan dilakukan perawatan stoma ini supaya
terlindungi dari kontaminasi dan mencegah terjadinya infeksi. Langkah-langkah
perawatan stoma adalah sebagai berikut :
1. Sebelum melakukan perawatan stoma, siapkan peralatan dan bahan-bahan
yangdibutuhkan seperti baskom bengkok (neer baken), hanscoon steril, pinset
steril,gunting steril, kassa, steril PZ (NaCl 0,9%), betadin, dan plester. Ajak
seorangasistensi perawat atau bila tidak mungkin bisa meminta pertolongan
2.
5.
6.
10. Tutup luka operasi dengan kassa steril 2 sampai tiga lapis dan difiksasi dengan
plester. Penulis menyarankan memakai plester putih (hypafik) karena lebihkuat
daya rekatnya dan tidak menimbulkan alergi pada kulit.
11. Selanjutkan bersihkan kembali luka sekitar stoma dan keringkan dengan kassa.
Selanjutnya kantong stoma baru dapat dipasang.
12. Perawatan luka sebaiknya dilakukan sekali sehari. Bila luka masih tampak
basah sekali sebaiknya dilakukan 2-3 kali sehari sesuai kondisi luka operasi.
13. Jahitan luka laparotomi dapat diangkat pada hari ke 10 post op.
2.2.6
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan
oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.
c. Pemeriksaan fisik
Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi
Inspeksi :
- Kepala : Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga dan leher.
- Abdomen: biasanya terjadi pembesaran limfa,
- Genetalia : Tidak ada perubahan
Palpasi abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung, nyeri
Auskultasi : peristaltik usus menurun
Perkusi abdomen : hipersonor
d. Pengkajian primer
Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa
secret, lidah jatuh atau benda asing.
Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa
frekuensi pernafasan klien per menitnya.
Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan
cairan dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang
cukup jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri
U: Tidak Ada Nyeri
Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat diketahui
kelainan yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai akibat
perubahan sirkulasi, penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.
e. Pola Kesehatan
Pengkajian data dasar menurut Doengoes (2000),adalah :
1.
Aktivitas / istirahat
Data Subyektif : Merasa lemah ,lelah, hilang keseimbangan.
Data Obyektif : Perubahan Kesadaran ,masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma).
2.
Sirkulasi
Integritas ego
Data Subyektif :Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif :Cemas , bingung ,depresi
4.
Eliminasi
Data Subyektif :Inkontenensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan
fungsi.
5.
6.
Neurosensori
Data Subyektif :Kehilangan kesadaran sementara ,vertigo
Data Obyektif :Perubahan kesadaran bisa sampai koma ,perubahan status mental
(Orientasi , Kewaspadaan , Perhatian ,konsentrasi, pemecahan
masalah ,pengaruh emosi /tingkah laku dan memori),sangat
sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagai tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7.
8.
Pernafasan
Data Subyektif :Perubahan pola nafas.
9.
Keamanan
Data Subyektif :Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Data Obyektif :Fraktur/dislokasi, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak,
Demam ,gangguan rentang dan regulasi suhu tubuh.
10.
Interaksi Sosial
Data Obyektif :Gangguan motorik atau sensorik.
11.
Penyuluhan /Pembelajaran
Data Subyektif :Membutuhkan bantuan dalam pengobatan aktivitas
perawatan diri.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang muncul pada pasien dengan kasus peritonitis berdasarkan rumusan
diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain:
1) Pre Operasi
1.
Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
2.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
3.
Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
4.
Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen.
5.
Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
2) Post Operasi
1.
Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2.
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang
3.
4.
tidak adekuat.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi menurut Mc.Closkey dalam Nursing Intervention Classsification (NIC), dan
hasil yang diharapkan menurut Johnson dalam Nursing Outcome Classification
( NOC) , antara lain:
1) Pre Operasi
1. Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakuakan tindakan keperawatan
selama
.......x24
factor presipitasinya
Observasi ketidaknyamanan non verbal
Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien
untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase,
4.
5.
6.
7.
terhadap ketidaknyamanan
Anjurkan pasien untuk istirahat
Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
1.
Mempertahankan berat badan.
2.
Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3.
Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4.
Turgor kulit baik.
NIC : Pengelolaan Nutrisi
1.
Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2.
Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3.
Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
4.
5.
memenuhinya.
Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.
selama
.......x24
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
1.
gejala peritonitis.
NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1. Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.
2. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria, dan imun dalam
batas normal.
3. Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan.
NIC : Pengendalian Infeksi
1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan
suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya
apendiks.
2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba
pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku
abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat,
menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas
usus
dan
2) Post Operasi
1.
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.
Tujuan : Setelah dilakuakan tindakan keperawatan
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
selama
.......x24
dilakuakan
tindakan
keperawatan
selama
.......x24
1.
2.
3.
4.
5.
6.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
steril.
5. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.
4.
jam
keperawatan
selama
.......x24
jam
diharapkan luka menutup sesuai tahap penyembuhan luka dan tidak terjadi infeksi
NOC:
NIC :
BAB III
PEMBAHASAN
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang ada di dalamnya. Peritonitis
dapat bersifat lokal atau generalisata dimana berdasarkan sumber dan mekanisme
terjadinya dibagi menjadi peritonitis primer, sekunder dan tersier. Peritonitis sekunder
mengarah pada kondisi infeksi yang berasal dari intraperitoneal yang umumnya
disebabkan karena perforasi organ berongga dalam kavum peritoneum (Harison,
2011).
Salah satu penatalaksanaan peritonitis akut yang gawat adalah dengan
dilakukan pembedahan baik itu laparotomi maupun laparoskopi. Tindakan ini
bertujuan untuk mengontrol infeksi sekaligus menghilangkan penyebab. Apabila
peritonitis disebabkan oleh perforasi organ, maka dokter biasanya akan melakukan
tindakan ileostomi dan pembuatan kantong stoma untuk pengeluaran sisa
metabolisme. Pembuatan kantong stoma ini melewati prosedur kolostomi atau
ileostomi. Melalui prosedur ileostomi, ahli bedah akan membuat stoma (lubang) di
perut, dan melampirkan bagian atas dari usus ke stoma. Feses akan dikeluarkan
melewati stoma dan dapat di tampung pada sebuah kantong yang disebut sebagai
kantong stoma. Pendekatan terapeutik ini dapat berlangsung secara temporar atau
permanen, yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas hidup individu dengan
stoma.
Pada
dasarnya,
pembuatan
stoma
ditujukan
untuk
mengurangi
ketidaknyamanan dan nyeri perut pada pasien. Akan tetapi tidak jarang pembuatan
stoma ini akan memunculkan masalah baru pada anak seperti distres dan keluhan
nyeri sebagai akbiat dari adanya iritasi jaringan, keboboran kantong, bau tak sedap,
penurunan aktivitas yang menyenangkan, dan depresi / kecemasan. Selain itu, perlu
penatalaksanaan terhadap masalah kerusakan integritas jaringan, perawatan
kantong stoma dan menangani masalah nutrisi yang munkin timbul.
Membuat keputusan yang baik untuk mengontrol komplikasi penyakit,
pengobatan, dan meningkatkan kualitas hidup adalah tujuan yang sangat penting
dalam mengobati dan merawat pasien dengan stoma (Aghabarari M, 2006). Oleh
karena itu, adanya penatalaksanaan baru terhadap masalah keperawatan yang
muncul pada anak dengan pos ileostomi dan pemasangan stoma sangat penting.
Berikut ini akan kami bahas tentang rekomendasi penatalaksanaan baru terhadap
masalah keperawatan berdasarkan jurnal penelitian:
1. Diagnosa keperawatan nyeri akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial yang digambarkan sebagai
kerusakan (International association for the studi of pain), awitan yang tiba-tiba atau lambat
dengan intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau di prediksi
(NANDA, 2015). Nyeri pos operasi ileostomi yang dirasakan pasien anak-anak merupakan
suatu fenomena yang kompleks karena sulit dibedakan antara respon tangisan dan
kegelisahan terhadap nyeri, lapar atau ketakutan. Respon nyeri yang muncul bersifat
subjektif dan sangat individual serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis
kelamin, tahap perkembangan, dan sosio-budaya klien (MacLaren et al., 2007).
American Association of Critical-Care Nurses (AACN) menyatakan pentingnya
memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan rasa
nyaman pos prosedur medis (Kathleen et al., 2001). Pendekatan farmakologis yang
biasanya diberikan untuk meredakan nyeri pasien pediatrik ternyata tidak mampu
mengatasi nyeri secara tuntas dan justru memiliki efek samping seperti agen opioid yang
dapat menginduksi depresi pernapasan. Managemen nyeri pos operatif pada anak-anak
dan bayi baru lahir dikhawatirkan akan menyebabkan respon stres fisiologis dan
menyebabkan
gangguan
pada
fungsi
respirasi,
kardiovaskuler,
neuro-endrokrin,
tindakan ileostomi dan pemasangan stoma untuk mengevakuasi feses sementara hingga
kondisi yang diharapkan terpenuhi dan anak siap dilakukan pengembalian fungsi
eliminasi seprti normal. Oleh karena itu, selain fokus pada perawatan luka pos operasi
tindakan
keperawatan
terhadap
diagnosa
kerusakan
integritas
jaringan
juga
terjadinya POI, mual dan muntah. Akan tetapi penelitian terbaru menyatakan bahwa
penggunaan NGT untuk dekompresi pasca operasi tidak mengurangi mual dan
muntah (PONV) (10,11),
Sementara itu, indikator fungsi bowel normal selama ini didasarkan pada bunyi
usus dan flatus pertama atau penegluaran feses (14-18). Menurut penelitian (22-28),
menyatakan bahwa memberikan makanan segera setelah prosedur operasi justru
dapat mengembalikan flatus dan feses.
Penelitian yang dilakukan oleh (57) menyatakan bahwa masih kurangnya bukti
yang mendukung pengunaan diit cairan jernih setelah operasi. Menurut penelitian
yang membandingkan pencegahan mual dan muntah pada apsien pos operasi
abdomen menemukan bahwa tidak ditemukan perbedaan signifikan antara responden
yang diberikan diit cair dan makanan biasa segera setelah operasi. Dalam hal ini
dokter tidak menunggu kembalinya fungsi bowel normal untuk memulai memberikan
makanan. Penelitian lain oleh Kamawura et al (58), menyatakan bahwa pasien
diperbolehkan minum air, teh. Dan cairan isotonik segera setelah pelepasan
dekompresi NGT. Pasien diperbolehkan makan sesuai keinginan dan selera pada 24
jam setelah operasi. Kesimpulannya, diit pada pasien pos operatif dapat dimulai ketika
indikator fungsi bowel normal telah ada dan makanan ideal yang dapat diberikan
adalah berdasarkan keinginan dan selera pasien yang terdiri dari makanan biasa 6
jam setelah anastesi dan makanan karbohidrat dalam bentuk cair 2 jam setelah
anastesi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran