Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai pendahuluan penulisan laporan kasus

ini yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan

manfaat penulisan.

1.1 Latar Belakang

Appendisitis atau biasa juga dikenal masyarakat luas dengan usus buntu.

Merupakan kasus gawat bedah abdomen yang paling sering terjadi.

Appendisitis adalah salah satu penyakit saluran percernaan yang paling umum

ditemukan dan yang paling sering memberikan keluhan abdomen yang akut

(acut abdomen) (wijaya & putri, 2013). Appendisitis dapat ditemukan pada

semua umur, Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu

menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada

wanita (Muttaqin & Sari, 2011).

Appendisitis adalah peradangan apendiks vermivorm yang terjadi sebagian

besar pada remaja dan dewasa muda. Insidens apendisitis di negara maju lebih

tinggi dari pada negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya

konsumsi makanan berserat pada diet harian dan lebih memilih kepada

makanan siap saji, 70% kasus appendisitis disebabkan oleh kurangnya asupan

serat. Adanya riwayat konstipasi dapat menaikkan tekanan intrasekal yang

akan berakibat pada timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan flora normal colon. Sedangkan, kebiasaan

mengkonsumsi makanan rendah serat dapat menyulitkan defekasi dan

1
2

menyebabkan fekalit yang dapat menyebabkan obstruksi lumen sehingga

memiliki risiko appendisitis yang lebih tinggi, maka dari itu apendiktomi

merupakan penanganan yang tepat pada appendisitis (Sjamsuhidajat & De

Jong, 1997).

Keperawatan periopratif dilakukan berdasarkan proses keperawatan dan

perawat perlu menetapkan strategi yang sesuaai dengan kebutuhan individu

selama periode periopratif sehingga klien memperoleh kemudahan sejak

datang sampai pasien sehat kembali (Potter & Perry, 2006). Preoperasi

merupakan ancaman pada seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres

fisiologis maupun psikologis. Reaksi pasien yang sering muncul sebelum

dilakukan oprasi salah satunya kecemasan (Phutra dkk, 2016).

Saat menghadapi pembedahan klien mengalami berbagai stresor. Pembedahan

yang di tunggu pelaksanaannya akan menyebabkan rasa takut dan kecemasan

pada klien yang menghubungkan pembedahan dengan rasa nyeri,

kemungkinan cacat, menjadi bergantung pada orang lain dan mungkin

kematian (Potter & Perry, 2006). Kecemasan merupakan perasaan tidak

nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber

seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu) perasaan takut

yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya (Bulechek dkk, 2017).

Kecemasan merupakan perasaan tidak pasti dan keadaan tidak berdaya yang

menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Pada
3

pasien yang telah menjalani tindakan pembedahan, sering mengalami

kecemasan menunjukkan bahwa mereka hanya dapat tidur kurang lebih 5 – 6

jam/hari diakibatkan cemas dan rasa nyeri dan lain-lain termasuk sesak nafas,

berkeringat, perut kembung, udara panas atau dingin dan tidak nyaman.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masih banyak pasien yang

mengalami kecemasan sebelum menjalani operasi laparatomi (Faridah,

2015).

Terapi di dunia kesehatan berkembang ke arah pendekatan keagamaan

(psikoreligius). Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat

keimanan seseorang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan

tubuh dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang merupakan

stresos psikososial (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Dinyatakan bahwa model

terapi murottal Al-Qur’an yang diberikan adalah lewat audio visual yaitu

berupa rekaman suara ayat-ayat Al-Qur’an yang dilagukan oleh seorang

qori’ atau pembaca Al-Qur’an (Phutra dkk. 2016).

Ketika Al-Qur’an dibacakan dan dilantunkan dengan dilagukan akan terjadi

proses pada pusat emosi manusia yaitu bagian otak akan bertanggung jawab

terhadap spiritual manusia karena suara manusia merupakan instrumen

penyembuhan yang paling menakjubkan dan alat yang paling mudah

untuk dijangkau. Lantunan murottal Al-Qur’an dapat menurunkan hormon-

hormon stress, mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan perasaan

rileks dan mengalihkan perhatian dari rasa takut cemas dan tegang,
4

memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta

bat pernafasan detak jantung, denyut nadi dan metabolisme tubuh yang

lebih baik (Phutra dkk. 2016).

Firman Allah dalam Al QuranNya : “Dan tidaklah kami mengutus para Rasul

melainkan untuk menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.

Maka barangsiapa yang beriman dan berbuat baik, bagi mereka tidak ada ke-

khawatiran (kecemasan) dan tidak (pula) berduka cita dan bersedih hati

(depresi)” (Q.S.Al An’aam,6: 48), juga disampaikan “Dan janganlah kamu

bersikap lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-

orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orng yang beriman” (Q.S.

Ali Imran, 3: 139).

Menurut latar belakang di atas bahwa penulis tertarik untuk mengangkat

sebuah judul dalam bentuk sebuah katya tulis ilmiah yaitu “Penerapan Terapi

Murottal Terhadap Pasien Dengan Masalah Kecemasan Pre-Operasi

Apendiktomi” dimana nantinya akan diterapkan pada dua pasien dengan

masalah keperawatan dan diagnosa medis yang sama serta terapi yang sama di

Ruang Bedah RSUD Jendral Ahmad Yani Metro.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka perumusan

masalah dalam penulisan KTI ini adalah bagaimana efektivitas Perangsangan

Auditori ayat suci Al- Quran (Terapi Murotal) terhadap penurunan tingkat

kecemasan pasien, sebelum dilakukan tindakan pembedahan (Operasi)


5

apendiktomi, yang dilaksanakan di Ruang Bedah RSUD Jendral Ahmad

Yani, Metro Tahun 2017.

1.3 Tujuan

a. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh penerapan terapi murottal terhadap kecemasan

preoperatif apendektomi.

b. Tujuan Khusus

1) Mengidentifikasi tingkat kecemasan preoperatif sebelum dilakukannya

penerapan terapi murottal di Ruang Bedah RSUD Jend Ahmad Yani

Metro.

2) Mengidentifikasi tingkat kecemasan preoperatif setelah dilakukannya

penerapan terapi murottal di Ruang Bedah RSUD Jend Ahmad Yani

Metro.

1.4 Manfaat

a. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penerapan ini diharapkan akan berguna bagi pelayanan

keperawatan, khususnya setelah di peroleh hasil yang signifikan unuk

dapat di terapkan mengenai standar operating pricedure (SOP) dalam

menangani proses pasien preoperasi.

b. Bagi pasien

Pasien dapat menerapkan secara mandiri dalam mengatasi kecemasan

preoperatif apendiktomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang konsep dasar penyakit

appendisitis, kecemasan, terapi murottal.

2.1 Konsep Dasar penyakit Appendisitis

2.1.1 Definisi

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermivormis

(Wijaya & Putri, 2013). Appendisitis adalah uatu proses obstruksi

(hiperplasi limpo nodi submukosa, fecolith, benda asing, tumor), yang

kemudian diikuti oeleh proses infeksi yang kemudian disusul oleh

peradangan dari apendiks vermivormis (Nugroho, 2011). Appendisitis

adalah inflamasi apendiks vermivormis, karena struktur yang terpuntir,

apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan

multiplikasi (Chang, 2010).

2.1.2 Etiologi

Penyebab dari appendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendiks

oleh fekalit, apendiks yang terpuntir, pembengkakan diding usus, dan

oklusi eksternal usus akibat adasi/perlengketan (Black & Hawks, 2014;

Chang, 2010; Sjamsuhidajat & De Jong,1997; dan Mutaqqin & Sari,

2011). Penyebab appendisitis meliputi hiperplasia folikel limfoid

submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris fekal) atau parasit

(Muttaqin & Sari, 2011).

6
7

Appendisitis dapat disebabkan oleh kondisi fibrosa di dinding usus, oklusi

eksternal usus akibat adesi, Infeksi organisme yersinia (Black & Hawks,

2014). Appendisitis juga dapat disebabkan ketika apendiks tersumbat

maka tekanan lumen akan meningkat yang kemudian keadaan ini akan

menggangu suplai darah, sehingga terjadilah inflamasi, edema, nekrosis,

ganggren/perforasi (Chang, 2010).

2.1.3 Patofisiologi

Apendiks terobstruksi akan menyebabkan tekanan intraluminal yang

meningkat kemudian menyebabkan drainase vena menurun, trombosis,

edema, dan invasi bakteri ke lumen tersebut. Penurunan arteri terjadi,

dengan nekrosis dan invasi pada dinding usus. Jika proses terjadi secara

melambat, maka infeksi akan terlokalisasi dan kemudian membentuk

dinding oleh struktur yang ada di dekatnya, yang kemudian membentuk

abses. Perkembangan kerusakan vaskular yang cepat akan menyebabkan

ruptur dan pembentukan fistula diantara apendiks dan struktur didekatnya

(kandung kemih, usus halus, sigmoid, dan sekum) (Black & Hawks, 2014).

2.1.4 Klasifikasi Appendisitis

Klasifikasi appendisitis terdiri dari beberapa macam yaitu appendisiis akut,

appendisitis rekurens dan appendisiis kronis (Sjamsuhidajat & De Jong,

1997; Nurarif & Kusuma, 2015).

1. Appendisitis akut merupakan infeksi apendiks yang disebabkan oleh

bakteri dan obstruksi pada lumen.


8

2. Appendiks rekurens yaitu menunjukkan peradangan akut yang di

tandai nyeri abdomen kanan bawah secara berulang, kemudian

mendorong untuk dilakukannya apendiktomi.

3. Appendisitis kronis yaitu jika kondisi nyeri pada abdomen kanan

bawah lebih dari dua minggu, secara makroskopik dan mikroskopik

terdapat peradangan kronik. Dan keluhan akan menghilang setelah

dilakukan apendiktomi.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala awal appendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah

epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini disertai

dengan rasa mual, muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun.

Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kana bawah,

ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,

sehingga merupakan nyeri somatik setempat.namun terkadang, tidak

dirasakan nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga

penderita memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya

karna bisa mempermudah terjadinya perforasi (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita appendisitis yaitu

perforasi dan peritonitis (wijaya & Putri, 2013), namun komplikasi utama

pada appendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang

menjadi peritonitis atau abses. Peritonitis merupakan proses peradangan


9

pada membran mukosa pada ruang abdomen dan organ viscera peritonium

yang dapat yang dapat disebabkan oleh perforasi appendisitis, salpingitis,

perforasi ulkus gastroduodenal, ruptur saluran cerna, komplikasi post

operasi, iritasi kimiawai atau luka tembus abdomen. Peritonitis merupakan

kondisi kegawatan sehingga keterlambatan penanganan pasien dapat

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas (Lusianah & Suratun, 2010).

2.1.7 Pemeriksaan penunjang

Mutaqqin & Sari (2013) menyebutkan bahwa pada pemeriksaan penunjang

penderita appendisitis dapat diketahui hasil sebagai berikut :

1. Hitung sel darah komplit

Pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan jumlah leukosit antara

10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil 75%.

2. C-Reactive Protein (CRP)

C-Reactive Protein (CRP) adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh

hati sebagai respon dari infeksi atau inflamasi. Pada appendisitis

didapatkan peningkatan kadar CRP.

3. Pemeriksaan USG

Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendiks.

4. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan pada abdomen untuk mendeteksi appendisitis

dan adanya kemungkinan perforasi.


10

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan appendisitis dapat dilakukan dengan apendiktomi.

Apendiktomi merupakan pengangkatan apendiks dengan cara

pembedahan, yang merupakan satu-satunya tindakan aman dalam

penatalaksanaan appendisitis (Chang, 2010). Apendiktomi adalah

pengangkatan apendiks vermiformis yang terinflamasi (Wijaya & putri,

2013).

Keterlambatan dalam tatalaksana dapat mengakibatkan kejadian perforasi

tekhik laparoskopik, apendektomi laparoskopik sudah terbukti

menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih

cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah. Akan tetapi

terdapat peningkatan kejadian abses pada intra abdomen dan pemanjangan

waktu oprasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada

pasien dengan akut abdomen terutama pada wanita (Nurarif & Kusuma,

2015).

2.2 Konsep dasar kecemasan

2.2.1 Definisi Kecemasan

Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang memberi gambaran

penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respon prilaku,

emosional, dan fisiologis (Videbeck, 2008). Kecemasan merupakan

perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon

autonom (yaitu sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
11

individu) perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya

(Herdman & Kamitsuru, 2015).

Kecemasan dapat merupakan suatu gejala, sindrom, atau ganguan. Sebagai

suatu gejala, kecemasan dan varian kuatnya, rasa takut, merupakan

komponen emosi dari respon stres (O’brien dkk, 2014). Gangguan

kecemasan sering juga dianggap sebagagai suatu gangguan yang berkaitan

dengan perasaan khawatir tidak nyata, tidak masuk akal, tidak cocok yang

berlangsung terus (intens) atas prinsip yang terjadi (manifestasi) dan

kenyataan yang dirasakan (Pieter dkk, 2011).

2.2.2 Teori Kecemasan

Pieter et al (2011) menyatakan kecemasan memiliki beberapa teori yang

dapat menyebabkan kecemasan yaitu :

a. Teori Psikoanalisis

Berdasarkan teori psikoanalisis kecemasan merupakan konflik

emosional antara dua elemen kepribadian, yakni id, Ego, dan Superego.

Id mencerminkan dorongan intstingtif dan impuls-impuls primitif. Ego

melambangkan mediatir antara Id dan Superego mencerminkan hati

nurani seseorang yang di kendali oleh norma-norma lingkungan, agama

dan budaya. Kaitannya pada kecemasan adalah peringatan terhadap

pertahanan ego.
12

b. Teori Interpersonal

Adapun pada teori interpersonal mengatakan bahwa kecemasan terjadi

akibat ketakutan atas penolakan interpersonal dan disertai dengan

trauma masa perkembangan seperti kehilangan atau perpisahan orag

tua. Demikian juga dengan kehilangan harga diri, di mana biasanya

orang yang mengalami hilangnya harga diri bisa berakibat timbulnya

kecemasan berat.

c. Teori Perilaku

Sementara menurut pandangan teori perilaku, kecemasan dianggap

sebagai produk frustasi, yakni segala sesuatu yang mengganggu

kemampuan seseorang mencapai tujuan yang diinginkan. Semakin

tinggi frustasi yang dialami, maka akan semakin besar tingkat

kecemasannya. Sumber-sumber frustasi adalah pada usaha pemenuhan

kebutuhan, kondisi fisik individu dan lingkungan.

d. Teori Biologis

Menurut kajian biologis ditemukan bahwa pada otak terdapat reseptor

spesifik untuk benzodiazepines yang diperkirakan turut berperan dalam

mengatur kecemasan.

2.2.3 Respons Kecemasan

Videbeck (2008) menyatakan bahwa dalam respon kecemasan dibagi atas

respon fisiologis dan psikologis :

1. Respon Fisiologis
13

Respon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan kecemasan dapat

menimbulkan aktivitas involuter pada tubuh yang termasuk pertahanan

diri. Serabut saraf simpatis “Mengaktifkan’’ tanda-tanda vital pada

setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Kelenjar

adrenal melepas adrenalin (epinefrin), yang menyebabkan tubuh

mengambil banyak oksigen, mendilatasi pupil dan meningkatkan

tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil membuat kontriksi

pembuluh darah memirau darah dan sistem gastrointestinal dan

reproduksi serta meningkatkan glikogenolisi menjadi glukosa bebas

guna menyokong jantung, otot, dari sistem saraf pusat. Ketika bahaya

telah berakhir, serabut saraf parasimpatis membalik proses ini dan

mengembalikan tubuh ke kondisi normal sampai tanda ancaman

berikutnya mengaktifkan kembali respon simpatis.

2. Respon Psikologis

Kecemasan menyebabkan respon kognitif, psikomotor dan fisiologis

yang tidak nyaman, misalnya kesulitan berfikir logis, peningkatan

aktifitas agitasi, dan peningkatan tanda-tanda vital.

Untuk mengurangi prasaan tidak myaman ini, individu mencoba

mengurangi tingkat ketidaknyamanan tersebut dengan melakukan

prilaku adaptif yang baru dan mekanisme pertahanan, prilaku adaptif

dapat menjadi hal yang positif dan membantu individu beradaptasi dan

belajar, misal: menggunakan tekhnik imajinasi untuk memfokuskan

kembali perhatian pada pemandangan yang indah, relaksasi tubuh


14

secara berurutan dari kepali hingga kaki dan pernafasan lambat dan

teratur untuk mengurangi ketegangan otot dan tanda-tanda vital.

Respon adaptif juga dapat menimbulkan prilaku maladaptif, seperti

sakit kepala akibat ketegangan, sindrom nyeri dan respon terkait stres

yang mengurangi efisiensi sistem imun.

2.2.4 Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan terdiri dari 4 tingkatan yaitu : ringan, sedang, berat,

dan panik. Pada masing-masing tahap, individu memperlihatkan

perubahan prilaku, kemampuan kognitif, dan respon emosional ketika

berupaya menghadapi kecemasan (Viedbeck, 2008 ; Pieter dkk, 2008).

1. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan pristiwa kehidupan

sehari-hari. Lapangan persepsi melebar dan orang akan bersikap hati-

hati dan waspada. Orang yang mengalami kecemasan ringan akan

terdorong untuk menghasilkan kreaifitas. Respon-respon orang yang

mengalami kecemasan ringan adalah sesekali mengalami nafas pendek,

naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar dan

mengalami gejala pada lambung.

Respon kognitif orang yang memang mengalami kecemasan ringan

adalah lapang persepsi melebar, dapat menerima rangsangan yang

kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah

secara efektif. Adapun respons prilaku dan emosi dari orang yang
15

mengalami kecemasan adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus

pada tangan, suara kadang-kadang meninggi (nilai score pengukuran

HARS : 14-20)

2. Kecemasan sedang

Kecemasan sedang merupakan tingkat lapangan persepsi pada

lingkugan menurun dan memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu

juga dan menyampingkan hal-hak lain. Respons fisiologi dari orang

yang mengalami ansietas sedang adalah sering nafas pedek, nadi dan

tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan

gelisah.

Respons kognitif orang yang mengalami kecemasan sedang adalah

lapang persepsi yang menyempit, rangsangan luar sulit diterima,

berfokus terhadap apa yang menjadi perhatian. Adapun respons

perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentak-sentak, meremas

tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman (nilai score pengukuran

HARS 21-27).

3. Kecemasan Berat

Kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung

memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain.

Indivdu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak

pengarahan/tuntutan. Respon Fisiologis yang sering nafas pendek, nadi

dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur.

Respon Kognitif: lapang persepsi sangat menyempit, tidak mampu


16

menyelesaikan masalah Respon Prilaku dan Emosi: perasaan ancaman

meningkat, verbalisasi cepat, blocking (nilai score pengukuran HARS :

28-41).

4. Panik

Tingkatan panik dalam lapangan persepsi seseorang sudah sangat

sempit dan sudah mengalami gangguan sehingga tidak bisa

mengendalikan diri lagi dan sulit melakukan apapun, walaupun dia

sudah diberikan pengarahan. Respons-respons fisiologis panik adalah

nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi

motorik yang sangat rendah. Sementara respons-respons kognitif

penderita panik adalah lapangan persepsi yang sangat sempit sekali dan

tidak mampu berfikir logis. Adapun respons perilaku dan emosinya

terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan, berteriak-

teriak, blocking, kehilangan kontrol, diri dan memiliki persepsi yang

kacau (nilai score pengukuran HARS : 42-56).

2.2.5 Instrumen pengukuran kecemasan

Huda (2016) Instrumen pengukuran tingkat kecemasan menggunakan

Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang Diciptakan oleh Max

Hamilton, yang bertujuan menilai kecemasan dan mengukur gejala

kecemasan dan satu kategori prilaku saat wawancara yang terdiri dari skala

yang umumnya ditemukan sebagai karakteristik dari kecemasan.


17

Cara pengukuran kecemasan yang dipilih yaitu dapat menggunakan alat

ukur HARS (Hamilton anxiety rate scale) Stuart (2015) dalam Jatmiko,

menyatakan bahwa menggunakan alat ukur HARS (Hamilton anxiety rate

scale) masing-masing gejala diberi penilaian angka (skor) antara 0-4 dari

tidak adanya gejala sampai gejala berat masing-masing tertera pada kolom

atas penilaian di tabel (terlampir) , yaitu dengan penjelasan penilaian

sebagai berikut :

1. Nilai 0 : Tidak ada gejala (keluhan)

2. Nilai 1 : Gejala Ringan

3. Nilai 2 : Gejala Sedang

4. Nilai 3 : Gejala Berat

5. Nilai 4 : Gejala Berat Sekali

Masing-masing nilai angka (Skor) dari 14 kelompok gejala pada

pertanyaan dalam lembar kuisioner pada tabel (terlampir) dijumlahkan dan

kemudian dari hasil rata-rata penjumlahan tersebut dapat diketahui hasil

nilai skor perhitungan derajat kecemasan seseorang, total hasil nilai skor

HARS dapat dijelaskan pada keterangan sebagai berikut yaitu :

1) Kurang dari 14 : Tidak ada kecemasan

2) 14 – 20 : Kecemasan ringan

3) 21 – 27 : Kecemasan sedang

4) 28 – 41 : Kecemasan berat

5) 42 – 56 : Kecemasan panik
18

2.3 Konsep Terapi Murottal

2.3.1 Definisi Terapi Murottal

Terapi murottal Al Qur’an adalah membacakan ayat-ayat Al Qur’an kepada

diri sendiri atau pasien (orang lain) dengan diulangi beberapa kali sampai

terjadi proses penyembuhan. Pembacaan Al Qur’an terdari tiga hal yaitu

suara bacaan Al Qur’an yang keluar melalui terapis yang membacakannya

atau si pasien langsung yang membacanya dan mengguanakan dan

menggunakan rekaman suara yang didengarkan memalui peralatan modern

(audio visual) (Phutra dkk, 2016).

Terapi murottal Al Qur’an yang diberikan adalah lewat audio visual yaitu

berupa rekaman suara ayat-ayat Al Qur’an yang dilagukan oleh seorang

qori’ atau pembaca Al Quran (Phutra dkk, 2016).

2.3.2 Mekanisme Terapi Murottal menurunkan kecemasan

Terapi murottal merupakan sebagian terapi musik dimana terapi murottal

yaitu berupa suara ayat-ayat Al Quran yang di lagukan oleh seorang

pembaca (qori’), yang kemudian dalam bentuk gelombang suara di

hantarkan masuk melalui telinga dan menggetarkan gendang telinga, serta

mengguncang cairan di telinga dalam kemudian menggetarkan sel-sel

rambut di koklea melaui saraf koklearis menuju otak, pada kondisi ini

tercipta imajinasi keindahan di otak kanan dan kiri yang memberikan

dampak berupa ketenangan dan kenyamanan.


19

Kemudian gelombang suara dapat menjangkau kortek cerabri, dari sistem

limbik yang kemudian jaras pendengaran dilanjutkan ke Amigdala, dimana

Amigdala merupakan area prilaku kesadaran yang bekerja pada tingkat

bawah sadar, kemudian sinyal diteruskan ke hipotalamus, dimana

hipotalamus merupakan area pengaturan sebagian fungsi vegetatif dan

fungsi endokrin tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional, dan

kondisi ini mengakibatkan terjadi peningkatan pelepasan endorfin,

kemudian jaras pendengaran diteruskan ke formatio retikularis sebagai

penyalur impuls menuju serat otonom. Serat saraf tersebut mempunyai dua

sistem saraf yaitu saraf simpatis dan saraf para simpatis, kedua saraf

tersebut dapat mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ-organ.

Relaksasi dapat merangsang pusat rasa ganjaran sehingga timbul ketenangan

(Faradisi, 2012; Phutra, 2016).

Ketika sinyal diteruskan ke hipotalamus pada kondisi ini terjadi peningkatan

pelepasan endorfin, pelepasan tersebut memberikan suatu pengalihan

perhatian dari rasa sakit dan memberikan ketenangan. Menurut teori

Candace Pert bahwa reseptor-reseptor biokimia yang dikeluarkan oleh

hipotalamus berhubungan erat dengan emosi (Huda, 2016).

Murottal Al Qur’an merupakan salah satu musik dengan intensitas 50

desibel yang membawa pengaruh postif bagi pendengarnya. Intensitas yang

rendah merupakan intensias dengan suara kurang dari 60 desibel sehingga

menimbulkan kenyamanan dan tidak nyeri. Tetapi Murottal dapat


20

menstimulasi gelombang alpha yang akan menyebabkan pendengrannya

mendapat keadaan yang tenang, tentram dan damai (Huda, 2016).

Al Kaheel (2013) menjelaskan bahwa beberapa studi menunjukkan suara

dengan irama yang seimbang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

aktivitas dan stabilitas otak. Juga memiliki pengaruh pada detak jantung dan

membuat otak lebih aktif dan hidup. Dan karna itu lebih mampu

mengarahkan sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam penyakit.

Sel-sel otak merespon secara dramatis jika terkena suara dengan irama yang

seimbang.

Oleh karna itu terapi murottal sama halnya dengan terapi musik, yang

membedakannya yaitu terapi murottal memiliki aspek yang sangat

diperlukan dalam mengatasi kecemasan, yakni kemampuannya dalam

membentuk koping baru untuk mengatasi kecemasan sebelum operasi.

Sehingga secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terapi murottal

mempunyai dua poin penting yaitu memiliki irama yang indah dan juga

secara psikologis dapat memotivasi dan memberikan dorongan semangat

dalam menghadapi problem yang sedang dihadapi. Sedangkan dalam terapi

musik, hanya memiliki satu poin saja yaitu memiliki nada yang indah.

Terapi musik memang dapat juga menurunkan kecemasan akan tetapi

setelah terapi musik selesai, pasien dihadapkan lagi oleh kenyataan akan

operasi yang akan dihadapi (Faradisi, 2012).


21

2.3.3 Prosedur Therapi Murotal

Prosedur pelaksanaan Terapi Murottal Al Qur’an meliputi :

a. Persiapan alat

Handphone, Handset, Instrumen Murottal (MP3) yaitu menggunakan

Surah Ar Rahman dengan qori’ Muzammil Hasballah

b. Persiapan pasien

Pasien mengetahui prosedur intervensi yang akan dilakukan

1. Pasien sudah mengisi inform concent

2. Pasien dalam keadaan siap untuk diberikan terapi

3. Pasien di minta untuk tenang, tidak berbicara dan berfokus pada suara

murottal yang diperdengarkan

4. Pasien dalam keadaan rileks

c. Persiapan lingkungan pasien

1. Lingkungan pasien yang aman serta jauh dari keramaian

2. Lingkungan dalam keadaan tenang sehingga tidak mengganggu dalam

proses pemberian terapi.

d. Tahap pelaksanaan

1. Berikan kesempatan responden bertanya dan mengatur posisi

2. Mengukur tingkat kecemasan dengan mengisi lembar kuisioner HARS

sebelum intervensi terapi murottal

3. Berikan handset yang sudah tersambungkan oleh handphone yang

kemudian sudah dipersiapkan instrument murottal MP3 yang akan

diperdengarkan dengan volume (< 60 desibel).


22

4. Beritahu responden untuk rileks dan berfokus pada suara yang

diperdengarkan kemudian putar MP3 murottal selama 15 menit, yaitu

1-2 jam sebelum dilakukan tindakan pembedahan (operasi)

5. Mengukur tingkat kecemasan dengan mengisi lembar kuisioner HARS

setelah intervensi terapi murottal

6. Catat pengumpulan data yang telah didapat.

2.3.4 Penelitian terkait

1) Penelitian oleh Faridah (2015) melakukan penelitian tentang Terapi

murottal (Al Qur’an) mampu menurunkan tingkat kecemasan pada

pasien pre operasi Laparotomi di ruang bougenville RSUD Dr.Soegiri

Lamomgan, dengan mendapatkan responden sebanyak 32 pasien pre

operasi. Data pengambilan ini menggunakan kuisioner dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan pasien pre operasi laparotomi sebelum

diberikan terapi murottal (Al Qur’an) mengalami kecemasan sedang

sebesar 56,2 % dan kecemasan berat sebesar 43,8 % setelah diberikan

terapi murottal (Al Qur’an) didapatkan sebagian besar (65,6%)

mengalami tingkat kecemasan ringan.

2) Penelitian oleh Faradisi (2012) tentang efektivitas terapi murottal dan

terapi musik klasik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pra

oprerasi di pekalongan, Hasil pengkajian sebelum diberikan terapi

sebagian besar pasien mengalami cemas sedang. Uji beda tingkat

kecemasan dengan. pemberian terapi murotal lebih efektif


23

menurunkan tingkat kecemasan pasien dibandingkan dengan terapi

musik.

3) Penelitian oleh Neda Mirbagher Ajorpaz, Mohammad Aghajani, Maryam

sadat Shahshahani (2011) tentang Efek musik dan Alquran pada

kecemasan pasien dan tanda vital sebelum operasi itu adalah percobaan

klinis buta dan tiga kelompok. 90 pasien yang dijadwalkan menjalani

operasi perut secara acak ditugaskan ke tiga kelompok musik, Al Quran

dan kontrol. Subjek dalam kelompok musik dan kitab suci Alquran

mendengarkan musik dan Alquran selama 20 menit sebelum operasi.

Kelom pok kontrol tidak mendapat intervensi. Kecemasan dan tanda-

tanda vital diukur sebelum dan sesudah intervensi dalam tiga kelompok.

Untuk mengukur Kecemasan. Dengan hasil Penderita musik dan

kelompok Alquran mengalami kecemasan yang jauh lebih sedikit

Mendengarkan musik dan Alquran juga menurunkan denyut jantung

pasien dan tekanan darah secara signifikan.

4) penelitian oleh Wijayanti (2011) tentang Pengaruh pemberian terapi

murottal terhadap tingkat kecemasan preoprasi di ruang rawat inap kelas

III RS PKU Muhamadiyah Yogyakarta, penelitian ini mendapatkan hasil

ini berati pemberian efektif pemberian terapi murottal terhadap

penurunan kecemasan pada pasien pre operasi.

5) Penelitian oleh Phutra (2016) tentang pengaruh terapi murottal Al Quran

terhadap tingkat kecemasan pasien preoperasi di rumah sakit PKU

Muhammadiyah Yogtakarta, pasien yang menjalani operasi jenis apa saja


24

yang pertama kali yang melibatkan 37 responden. Terapi murottal ini

diberikan dengan mendengarkan ayat suci Al Quran yaitu Ar Rahman

dengan qori’ Ahmad Saud melalui MP3 player yang dilakukan sebelum

menjalanni operasi selama 15 menit. Instrument menggunakan HARS.


25

Skema 2.1 Pathway Appendisitis dengan terapi murottal dalam menurunkan


Kecemasan pre-operatif

Material apendikolit Hiperplasia folikel Parasit Kebiasaan diet rendah serat


Limfoid submukosa & pengaruh konstipasi

Obstruksi pada lumen apendikeal

Peningkatan intraluminal & peningkatan perkembangan bakteri

Peningkatan kongesti dan penurunan perfusi pada dinding apendiks

Appendisitis Akut

Intervensi bedah (Apendektomi)

. Preoperatif

Respon psikologis Cemas

Terapi murottal

Dampak Fisiologi Dampak Psikologis

Otak berada pada gelombang alpha Proses pendengar


(Gelombang otak pada frek 7-14HZ)

Sistem limbik
Membentuk koping baru dan kualitas
kesadaran seseorang terhadap tuhan
akan meningkat Peningkatan dan pelemapasan
Hormon Endorfin

Keadaan energi optimal otak


Memberikan ketenangan
Energi yang optimal digunakan
untuk menurunkan kecemasan
Menurunkan kecemasan

Kecemasan menurun dan memberikan


ketenangan

Refrensi telah di modifikasi :


Mutaqqin & Sari (2013); Wijaya & Putri (2013); Chang (2010); Faradisi (2012)
BAB III

METODOLOGI PENULISAN

3.1 Desain
Desain karya tulis ilmiah ini menggunakan desain study kasus, yaitu study
kasus yang di ambil adalah pasien pre operasi apendiktomi yang mengalami
kecemasan yang kemudian dilakukan intervensi therapi murottal untuk
menurunkan tingkat kecemasan.

3.2 Subyek Penerapan KTI


Subyek penelitian ini adalah 2 pasien yang mengalami kecemasan pre
operasi apendektomi, dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien dengan preoperatif apendektomi
2) Tipe operasi yang direncanakan
3) Beragama islam
4) Sering membaca dan mendengarkan bacaan Al Quran
5) Kecemasan ringan, sedang dan berat
6) Fungsi pandengaran baik.

3.3 Definisi Oprerasional


Tabel 3.1 Definisi operasional
Variabel Definisi Cara/alat ukur Hasil ukur Skala ukur
operasional
Kecemasan Perasaan tidak Menggunakan Tingkat 1. Tidak ada
nyaman atau Instrument kecemasan kecemasan
kekhawatiran HARS 1. Tidak ada (skor ≤14)
yang samar kecemasan 2. Ringan
disertai respons 2. Ringan (skor 14-20)
otonom 3. Sedang 3. Sedang
(sumber 4. Berat (skor 21-27)
seringkali tidak 4. Berat (skor
spesifik) 28-41)

26
27

Variabel Definisi Cara/alat Hasil ukur Skala


operasional ukur ukur
Terapi murottal terapi bacaan Al- Persiapan alat 1. Dilakukan Normal
Qur’an yang 1) Handphone 2. Tidak
merupakan terapi 2) Handset dilakukan
religi seseorang 3) Instrumen
dibacakan ayat- Murottal
ayat Al-Qur’an (MP3)
selama 15-20 4) Tensimeter
menit sehingga 5) Lembar
memberikan kuisioner
dampak positif HARS
bagi tubuh
seseorang Dan Tahap
pelaksanaan

3.4 Lokasi dan Tempat

Intervensi yang akan dilakukan di Ruang Bedah RSUD Jenderal Ahmad Yani

Metro, waktu penulisan sampai dengan selesai yaitu pada bulan April –

Agustus 2017 (Terlampir).

3.5 Instrumen Penerapan

Instrumen pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan lembar

observasi (terlampir). Pengukuran kecemasan dilakukan menggunakan

instrumen HARS (terlampir).


28

3.6 Prosedur Pengumpulan data

Penerapan Karya tulis Ilmiah ini menggunakan data primer dari hasil lembar

observasi dan data sekunder dari rekam medis responden di Ruang Bedah

RSUD Jend. Ahmad Yani Metro.

Langkah-langkah peneliti melakukan/ pemberian izin sampai tindakan.

Langkah langkah pengumpulan data antara lain :

1. Prosedur Administratif

a. Mendapat surat izin penerapan dari institusi Akper Dharma Wacana

b. Mendapatkan surat izin dari dinas kesehatan Kota Metro

c. Mendapatkan izin dari kepala Diklat dan Kepala Ruang Bedah RSUD

Jend. Ahmad Yani Metro untuk melakukan penerapan

2. Prosedur Teknis

Tahapan prosedur teknis yang dilakukan antara lain

a. Pengumpulan data dilakukan pada pasien yang akan dilakukan

intervensi pembedahan (operasi) Apendiktomi di Ruang Bedah RSUD

Jend. Ahmad Yani Metro

b. Meminta izin kepala diklat RSUD Jend. Ahmad Yani Metro untuk

melakukan pengambilan data dan penerapan

c. Meminta izin kepala ruangan dan pembimbing ruangan bedah untuk

menjelaskan maksut dan tujuan

d. Menentukan responden sesuai dengan kriteria

e. Meminta kesedian responden untuk menjadi sample penerapan


29

f. Responden menandatangani surat pernyataan untuk bersedia menjadi

responden

g. Mengkaji fungsi sistem pendengaran (SOP Terlampir)

h. Mencatat data responden seperti keluhan utama, riwayat penyakit

i. Meengukur tingkat kecemasan pasien dengan lembar kuisioner HARS

j. Melakukan Intervensi terapi murottal pada pasien, 1-2 jam sebelum

dilakukan pembedahan (operasi) apendiktomi.

1) perawat memperdengarkan kepada pasien lantunan murottal (MP3)

surah Ar Rahman dengan Qori’ Muzzamil Hasballah selama 10-15

menit dengan volume suara (<60 desibel) dan kondisi pasien dalam

keadaan rileks dan tenang serta lingkungan yang tenang, dengan

didampingi pembimbing institusi.

2) Setelah responden mendengarkan murottal yang perawat berikan,

responden kemudian diukur kembali tingkat kecemasan dengan

mengisi lembar kuisioner HARS, pengukuran dilakukan 10-15

menit setelah pemberian murottal.

k. Mencatat hasil penerapan.

3.7 Analisa Data

Analisa data dalam karya tulis ini dilakukan dengan mengobservasi

perubahan kecemasan responden setelah dilakukan therapi murottal,

mengobservasi perubahan baik sebelum maupun sesudah di lakukan terapi

murottal.
30

3.8 Etika penulisan

Perawat perlu memiliki prinsip etik dalam penerapan tindakan keperawatan,

yaitu perlunya etik Beneficence Pada dasarnya beneficence merupakan

prinsip etik dasar, diatas segalanya yang tidak boleh membahayakan maupun

merugikan pasien sehingga perlunya perawat menelaah adanya manfaat

maupun resiko yang akan timbul timbul (Hamid, 2015)

Resiko yang mungkin terjadi pada saat pemberian terapi, seperti volume >60

desibel sehingga akan memberikan ketidaknyamanan dan volume yang

melebihi batas maxsimum, akan merusak gendang telinga pendengar. Dan

manfaat yang akan dirasakan pasien yaitu kenyamanan dan ketenangan

setelah diperdengarkan terapi murottal (Faradisi, 2012; Huda, 2015).

Perawat harus memastikan perlindungan terhadap pasien yang diberikan

penerapan terapi murottal agar terhindar dari ketidaknyamanan fisik dan

mental yang mungkin akan timbul. Sehingga perawat harus menelaah

keseimbangan antara resiko dan manfaat dalam penerapan terapi murottal,

agar resiko yang mungkin akan terjadi pada saat penerapan dapat di atasi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran lokasi pengambilan data

Penerapan terapi murottal terhadap pasien dengan masalah kecemasan

preoperasi apendiktomi, dilakukan di Ruang Bedah, Rumah Sakit Ahmad

Yani Metro. Berdasarkan data rekam medis pada bulan Juni tahun 2017

jumlah pasien yang mengalami apendisitis di Ruang Bedah yang

dilakukan tindakan operasi (Apendiktomi) sebanyak 9 pasien.

4.1.2 Karakteristik subjek study kasus

Karakteristik subjek study kasus penerapan terapi murottal dijelaskan

sebagai berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penerapan pada pasien apendiktomi terapi


murottal di Ruang Bedah RSUD Jend Ahmad Yani Metro 2017
N Karakteristik Subjek 1 Subjek 2

o
1 Identitas pasien Nama : Ny. M Nama : Tn. P

Jenis kelamin : Jenis kelamin : laki-laki

Perempuan Umur : 70 tahun

Umur : 63 tahun Agama : islam

Agama : islam

31
32

N Karakteristik Subjek 1 Subjek 2

o
Suku : jawa Suku : jawa
Alamat : 15 A polos, Alamat : jabung
Metro Jam operasi : 11.00 WIB
Jam operasi : 10.00
WIB
2 Kondisi pasien saat Pasien mengatakan pasien mengatakan nyeri
ini bahwa saat ini sejak ± 5 hari yang lalu
mengalami nyeri pada kemudian disertai mual,
perutnya yang sulit BAB, perut
berpindah pindah dan kembung dan kurang
timbul secara sepontan nafsu makan. Klien
dan terasa tertusuk sudah ± 5 hari dirawat
tusuk, skala nyeri yang dirumah kemudian di
dirasakan yaitu 5. bawa ke rumah sakit
pasien juga untuk mendapat
mengeluhkan mual perawatan, pada saat
kurang nafsu makan, pengkajian didapati hasil
sulit tidur, badan TD: 130/80 mmHg N:
terasa sakit semua,sulit 87x/menit RR:
BAB sejak 3 hari yang 20x/menit S: 36,5◦c
lalu, pasien
mengatakan
sebelumnya belum
pernah dilakukan
operasi maka dari itu
pasien mengatakan
merasa cemas sebelum
dilangsungkannya
operasi. Pada saat
pengkajian didapati
hasil TD: 140/80
mmHg N: 94x/menit
33

RR: 24x/menit S:
36,7◦c
N Karakteristik Subjek 1 Subjek 2

o
3 Riwayat kesehatan Pasien mengatakan Pasien mengatakan
sebelumnya bahwa memiliki sebelumnya tidak pernah
riwayat terserang memiliki riwayat
stroke kurang lebih 3 penyakit apapun
tahun yang lalu
kemudian pasien juga
memiliki riwayat
hipertensi dan diabetes
4 Riwayat operasi Pasien mengatakan Pasien mengatakan
dan perawatan bahwa belum pernah bahwa sebelum sakit
mendapatkan seperti ini pasien belum
perawatan dirumah pernah dirawat yang
sakit, pada saat pasien disebabkan karna
terserang stroke itupun penyakit yang lain.
pasien rawat jalan di
rumah dan di rawat
oleh keluarga, dan
pasien belum pernah
menjalani operasi
sebelumnya.

4.1.3 Hasil penerapan terapi murottal

Penerapan study kasus ini dilakukan pada dua pasien yang mengalami

kecemasan preoperasi apendiktomi, dan dilakukan penerapan murottal

sebelumnya dan setelah intervensi, hasil penerapan terapi murottal

menunjukkan penurunan tingkat kecemasan.


34

Grafik 4.1 Skor HARS sebelum dan sesudah penerapan terapi murottal di
Ruang Bedah RSUD Jend. Ahmad Yani 2017
50
45
40
35
SKOR HARS

30
25
20
15
10
5
0
Subjek 1 Subjek 2

Grafik 4.1 menunjukkan bahwa subjek 1 skor HARS yang diproleh sebelum

diberikan terapi murottal yaitu 39 dan setelah diberikan terapi murottal

menjadi 14. Pada subjek 2 skor HARS yang diperoleh sebelum diberikan

terapi murottal yaitu 47 dan setelah diberikan terapi murottal menjadi 29.

4.2 Pembahasan

Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermivorm

dan juga merupakan kasus gawat bedah abdomen yang paling sering terjadi

(Chang, 2012; Nugroho, 2011; Sjamsuhidajat & De Jong, 1997).

Appendisitis yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan komplikasi

seperti perforasi dan peritonitis (Wijaya & Putri, 2013), dalam hal itu perlu

adanya tindakan pembedahan (operasi), sehingga pada kondisi ini pasien

akan mengalami berbagai stresor berupa kecemasan yang dapat

mempengaruhi kondisi fisik dan mental pasien, seperti peningkatan tanda-

tanda vital berupa, tekanan darah meningkat , peningkatan denyut jantung,


35

sesak nafas, serta gangguan pencernaan berupa mual, kembung, konstipasi,

sulit konsentrasi, dan rasa takut (Potter & Perry, 2006, Videbeck, 2008).

Dalam hal ini peran perawat sangat dibutuhkan dalam menetapkan strategi

yang sesuai dengan kebutuhan individu selama preoperatif yaitu dalam

mengatasi kecemasan pasien yang diintervensikan tindakan operasi (Potter &

Perry, 2006), sehingga perlunya tindakan terapi non farmakologi dalam

intervensi keperawatan preoperasi appendiktomi. Terapi murottal dalam hal

ini dapat mempengaruhi penurunan kecemasan pada pasien yang

diintervensikan tindaknan operasi.

Terapi murottal merupakan sebagian terapi musik dimana terapi murottal

yaitu berupa suara ayat-ayat Al Quran yang di lagukan oleh seorang pembaca

(qori’), yang kemudian dalam bentuk gelombang suara di hantarkan masuk

melalui telinga dan menggetarkan gendang telinga, serta mengguncang

cairan di telinga dalam kemudian menggetarkan sel-sel rambut di koklea

melaui saraf koklearis menuju otak, pada kondisi ini tercipta imajinasi

keindahan di otak kanan dan kiri yang memberikan dampak berupa

ketenangan dan kenyamanan. Kemudian gelombang suara dapat menjangkau

kortek cerabri, dari sistem limbik yang di teruskan ke hipotalamus terjadi

peningkatan pelepasan endorfin, pelepasan tersebut memberikan suatu

pengalihan perhatian dari rasa sakit dan memberikan ketenangan. Menurut

teori Candace Pert bahwa reseptor-reseptor biokimia yang dikeluarkan oleh


36

hipotalamus berhubungan erat dengan emosi (Faradisi, 2012; Huda, 2016;

Phutra dkk, 2016).

Berdasarkan hasil penerapan terapi murottal terhadap 2 pasien preoperasi

apendiktomi di Ruang Bedah RSUD Jend. Ahmad Yani Metro, terjadi

penurunan tingkat kecemasan pada subjek 1 (Ny.M) dan subjek 2 (Tn.P).

Pasien sebelum menjalani operasi mengalami masalah kecemasan berat dan

berat sekali, hal ini terjadi pada masing-masing pasien yang belum pernah

menjalani tindakan pembedahan (operasi).

Hasil penerapan terapi murottal pada pasien apendiktomi dalam menurunkan

tingkat kecemasan, sejalan dengan penelitian Faridah (2011) dan Phutra

(2016) yaitu terjadi pada penurunan tingkat kecemasan pasien preoperasi

laparotomi di Ruang Bougenville RSUD Dr. Soegiri Lamongan, terhadap 32

pasien yang menjadi responden mengalami kecemasan sedang sebesar (56,2)

dan kecemasan berat sebesar (43,8%), setelah diberikan terapi murottal

didapatkan sebagian besar (65,6%) mengalami tingkat kecemasan ringan.

Diakibatkan karna terapi murottal merupakan terapi yang diperdengarkan

oleh ayat-ayat Al Quran, dimana perubahan yang bekerja pada otak yang

terdorong rangsangan dari luar yang kemudian otak memproduksi zat kimia.

Dimana molekul ini akan menyangkutkan resepor yang ada pada tubuh yang

kemudian akan memberikan umpan balik berpa kenikmatan dan

kenyamanan, juga adanya perubahan arus listrik di otot, perubahan sirkulasi

darah, perubahan detak jantung, perubahan tersebut menimbulkan adanya


37

relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf reflektif yang kemudian

terjadi penurunan kecemasan (Faridah, 2011).

Terjadi pengaruh terhadap pemberian Terapi murottal di RSU PKU

Muhammadiyah Yogyakarta, terhadap 37 pasien yang menjadi responden

dengan masalah kecemasan, hasil tersebut dibuktikan dengan rata-rata

kecemasan responden pada saat dilakukan pretest sebesar 20,48 menjadi

16,64 pada saat dilakukan postest. Pengaruh yang terjadi pada pasien di

akibatkan karna, keitka Al Quran dibacakan maka akan terjadi proses pada

pusat emosi menusia yaitu bagian otak akan bertanggung jawab terhadap

spritual manusia karna suara manusia merupakan instrumen penyembuhan,

lantunan murottal Al Quran dapat menurunkan hormon-hormon stres,

mengaktifkan hormon endorfin alami, yang akan meningkatkan perasaan

rileks dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang (Phutra,

2016).

4.3 Keterbatasan Penulisan Karya Tulis Ilmiah

Karya Tulis Ilmiah ini memiliki keterbatasan dalam penulisan yaitu adanya

lingkungan yang kurang mendukung (seperti lingkungan ramai dan

kebisingan) sehingga dalam proses pemberian terapi murottal akan

mempengaruhi hasil dalam pemeriksaan tingkat kecemasan pada pasien.


38

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Pada subjek 1 (Ny.M) sebelum dikalukan terapi murottal dengan surah

Ar Rahman-Muzzamil Hasballah tingkat kecemasan pasien 39

(Kecemasan Berat) dan setelah dilakukan terapi murottal tingkat

kecemasan menurun menjadi 14 (Kecemasan ringan).

2. Pada subjek 2 (Tn.P) sebelum dikalukan terapi murottal dengan surah Ar

Rahman-Muzzamil Hasballah tingkat kecemasan pasien 47 (Kecemasan

berat sekali) dan setelah dilakukan terapi murottal tingkat kecemasan

menurun menjadi 29 (Kecemasan berat).

5.2 Saran

1. Bagi pasien

Hendaknya dapat menerapkan terapi murottal secara teratur sebelum

dilakukannya tindakan pembedahan (operasi) bagi pasien, hal tersebut

dapat menurunkan kecemasan bagi pasien preoperatif.

2. Bagi tempat penerapan

Hendaknya terapi murottal menjadi bagian dari program terapi

nonfarmakologi/komplementer di ruangan, untuk menurunkan

kecemasan, sehingga semua pasien preoperatif dapat mengetahui dan

menerapkan terapi murottal secara mandiri.


39

DAFTAR PUSTAKA

Ajorpaz, M, N, Dkk. (2011). The effects of music and Holy Quran on patient’s
anxiety and vital signs before abdominal surgery.
http://ebcj.mums.ac.ir/article_3765.html. diakses 28 Mei 2017.
Al-Kaheel, D. (2013). Pengobatan Qur’ani,Manjurnya Berobat dengan Alquran.
Jakarta : Amzah
Black, M & Hawks, H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 buku 2.
Singappura : CV Pentasada Media Edukasi
Chang, E, Daly, J & Elliott, D. (2010). Patofisiologi Aplikasi pada praktik
keperawatan. Jakarta : EGC
Fajar, J. (2015). Pemberian Terapi Murottal Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pra Oprasi Fraktur Humerus Pada Asuhan Keperawatan
Tn.M Di Ruang Flamboyan RSUD Sukoharjo.
www.stikeskusumahusada.ac.id/digilib/download.php?id=638. Di Akses
15 februari 2017.
Firman Faradisi. (2012). Efektivitas Terapi Murotal dan Terapi Musik Klasik
terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Pra Operasi di
Pekalongan. https://ar.scribd.com/doc/190861872/7-11-1-SM. Di akses
24 maret 2017.
Gunarsa, S, D & Gunarsa, Ny, S, D. (2008). Psikologi keperawaan. Jakarta :
Gunung Mulia
Herdman, H & kaimitsuro. (2015). Nanda internasional inc diagnosa
keperawatan ,definisi dan klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC
Huda, M, A. (2016). Pengaruh prmberian therapi murottal terhadap tingkat
kecemasan preoprasi katarak. repository.unej.ac.id bitstreamhandle
12345678975718Akhmad%20Miftahul%20Huda
%2020122310101061%20-1pdfsequence=1. Di akses 27 Mei 2017
Humaera, R. The corelation between fibre insufficiency to the case of appendicitis
in bandar lampung. http://id.123dok.comdocumentdownloadmyjr3amz.
Di akses pada 27 Mei 2017
Katona. C, Cooper. C & Robertson. M. (2012). At A Glance Psikiatri Edisi ke
empat. Jakarta: Erlangga
Lusianah. & Suratun (2010). Asuhan Keperawatan gangguan sistem
Gastrointestinal. Jakarta: TIM
40

Majidi, SA. (2004) Recitation Effect of Holy Quran on Anxiety of Patients Before
Undergoing Coronary Artery Angiography. SA Majidi - Journal of
Guilan University of Medical Sciences, 2004 - journal.gums.ac.ir. di
akses 28 Mei 2017
Muttaqin. A & Sari. K. (2013). Gangguan Gastrointestinal,Aplikasi asuhan
keperawatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Medika
Hamid, S. (2015). Buku ajar riset keperawatan konsep, etika, instrumentasi edisi
2. Jakarta: EGC
Nugroho, T. (2011). Asuhan keperawatan maternitas, anak, bedah, penyakit
dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Nurliana. (2011). Efektivitas Perangsangan Auditori Ayaat Suci Al Qur’an
Terhadap Kecemasan Ibu Yang Sedang Dilakukan Kuret Di RSUD
Dr.Pirngadi Medan. http://text-id.123dok.com. Di Akses 18 maret 2017
Potter, A & Perry, G. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan
konsep,proses,dan praktik. Jakarta : EGC
Pieter. Z, Janiwarti. B & Saragih. M. (2011). Pengantar psokopatologi untuk
keperawatan. Jakarta : Kencana
Phutra, H dkk. (2016). Pengaruh terapi murottal Al quran terhadap tingkat
kecemasan pasien pre operasi di rumah sakit PKU Muhamadiyah
yogyakartra.di akses pada 28 Mei 2017
Sobur. A. (2011). Psikologi umum dalam lintas sejarah. Bandung : CV Pustaka
setia
Saam. Z & Wahyuni. S. (2012). Psikologi Keperawatan. Jakarta : PT raja
grafindo persada
Setyoadi & Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas keperawatan pada klien
psikogeriatri. Jakarta : Salemba Medika
Sudarma,M. (2008). Sosiologi untuk kesehatan. Jakarta :Salemba Medika

Sjamsuhidajat, R & Jong, D, W. (1997). Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC
O’brien. G dkk. (2014). Keperawatan kesehatan jiwa psikiatrik, teori dan praktik.
Jakarta : EGC
Viedebck, L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Virgianti Nur Faridah. (2015). Therapy Murottal (The Qur’an) is Able to


Reduce the Level of Anxiety among Laparotomy Pre Operations’
41

Pateints. ejournal.umm.ac.id. Vol 6, No 1 (2015). Di akses 22 maret


2017

Wijaya. S & Putri. M. (2013). Keperawatan medikal bedah (keperawatan


dewasa). Yogyakarta: Nuha medika

Wijayanti,R. (2011). Pengaruh prmberian therapi murottal terhadap tingkat


kecemasan preoprasi di ruang rawat inap kelas III RS PKU
MuhamadiyahYogyakarta.opac.unisayogya.ac.id12011naskah
%20publikasi%20riska.pdf.Di akses 27 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai