Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Saluran gastrointestinal sangat rentan terhadap inflamasi dan infeksi karena usus
terpajan secara kontinu terhadap lingkungan eksternal. Penyakit akut pada saluran
gastrointestinal dapat disebabkan oleh patogen itu sendiri atau oleh bakteri atau toksin
lain. Gangguan inflamasi akut yang umumnya terjadi adalah apendisitis dan peritonitis
(LeMon, Burke & Bauldoff, 2015).
Apendiks vermiformis yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan
nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum.
Apendisitis dapat terjadi pada segala usia dan megenai laki – laki serta perempuan sama
banyak. Akan tetapi pada usia antara pubertas dan 25 tahun, prevalensi apendisitis lebih
tinggi pada laki – laki. Sejak terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik, insidensi dan
angka kematian karena apendisitis mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani
dengan benar, penyakit ini hampir selalu berkibat fatal (Kowalak, 2011).
Angka kejadian apendisitis cukup tinggi di dunia. Berdasarkan Word Health
Organisation (2010) dalam Naulibasa (2011), angka mortalitas akibat apendisitis adalah
21.000 jiwa, di mana populasi laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Angka
mortalitas apendisitis sekitar 12.000 jiwa pada laki – laki dan sekitar 10.000 jiwa pada
perempuan. Di Amerika Serikat terdapat 70.000 kasus apendisitis setiap tahnnya.
Kejadian apendisitis di Amerika memiliki insiden 1- 2 kasus per 10.000 anak pertahunya
antara kelahiran sampai umur 4 tahun. Kejadian apendisitis meningkat 25 kasus per
10.000 anak pertahunnya antara umur 10-17 tahun di Amerika Serikat. Apabila dirata-rata
apendisitis 1,1 kasus per 1000 orang pertahun di Amerika Serikat. Apendisitis sebagai
alasan tersering untuk pembedahan abdomen darurat yang dialami oleh 10 % dari
populasi (LeMon, Burke & Bauldoff, 2015).
Kejadian apendisitis cukup tinggi termasuk Indonesia merupakan penyakit urutan
ke empat setelah dyspepsia, gastritis dan duodenitis dan sistem cerna lainnya. Secara
umum di Indonesia, appendicitis masih merupakan penyokong terbesar untuk pasien
operasi setiap tahunnya. Hasil laporan dari RS Gatot Soebroto, Jakarta tahun 2006
sebabkan oleh pola makan pasien yang rendah akan serat setiap harinya (Depkes
RI ,2007 dalam Faridah, 2015).

1
Apendisitis adalah keadaan darurat bedah yang sangat umum. Dapat
bermanifestasi terhadap terjadinya peritnitis dan sepsis berat. Meskipun risiko
kematian rendah yang disebabkan apendisitis sangat rendah, namun tingkat
komplikasi meningkat secara eksponensial antara kasus yang perforasi atau menjadi
gangren (Ananthavarathan et al, 2016)
Penelitian retrospektif yang dilakukan selama 3(tiga) tahun oleh Ayandipo
(2016) menunjukkan bahwa 302 pasien harus menjalani operasi karena peritonitis.
Penyebab paling umum dari peritonitis tersebut adalah karena adanya perforasi/ ruptur
apendiks yakni 83 kasus (27,5 %). Sedangkan tingkat kematian akibat peritonitis
adalah 2,4 %. Adanya syok dan kurangnya haluaran urin pada pasien paska operasi
laparatomi memberikan dampak negatif. Oleh karena itu resusitasi yang memadai dan
intervensi bedah yang tepat, serta dukungan kesehatan dari individu sebelum operasi
(pre – operatif) harus dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang baik.
Berdasarkan data tersebut bahwa apendisitis perforasi yang mengakibatkan adanya
peritonitis yang berpengaruh kepada meningkatnya morbiditas dan mortalitas, apabila
tidak ditangani dengan segera.
Tindakan pembedahan pada pasien dengan apendiisitis perforasi dengan
laparatomi tentunya berdampak pada masalah kesehatan secara komperhensif yang
berpengaruh kepada kualitas hidup dari klien. American College Of Surgeons (2014)
menulis bahwa komplikasi pada laparatomi apendektomi 6,4 % lebih tinggi dari
laparaskopi apendektomi 3,4 %. Komplikasi yang dapat terjadi yaitu infeksi terkait
pembedahan, kesulitan pernafasan, adanya masalah pembekuan darah, komplikasi
pada ginjal, jantung dan risiko pembedahan ulang. Komplikasi tersebut lebih sering
terjadi pada klien dengan riwayat perokok, obesitas, riwayat penyakit lainnya
(diabetes, gagal jantung, gagal ginjal, penyakit paru – paru), dan penyembuhan luka
akan sulit pada pasien dengan riwayat merokok. Waktu rawat yang lebih panjang dan
komplikasi yang ada dapat mempengaruhi kualitas hidup dari klien laparatomi
apendektomi tersebut.
Perawat memiliki peranan penting dalam membantu meningkatkan self care dan
kualitas hidup pada klien dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat
membantu masalah yang dialami oleh klien. Beberapa variabel yang berperan dalam
mendefinisikan kualitas hidup yakni status sosioekonomi, kesehatan fisik, hubungan

2
dengan teman dan keluarga dan kepuasan dengan diri sendiri (Black & Hawks, 2014).
Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan intervensi yang dapat dilakukan oleh
perawat melalui pendekatan self care Orem. Dijelaskan bahwa self care sebagai
kegiatan praktek yang memandirikan klien, memulai dan melakukan sesuatu, dalam
kerangka waktu secara bertahap yang bertujuan untuk mempertahankan hidup,
mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang agar dapat digunakan
secara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal sehingga kualitas hidup klien bisa
meningkat (Tomey & Alligood, 2014).
Pelaksanaan teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan kepada
kebutuhan individu untuk melakukan intervensi keperawatan secara mandiri serta
dapat mengatur dalam segala kebutuhannya sehingga klien berpartisipasi secara aktif
baik secara mandiri maupun dengan bantuan keluarga maupun petugas kesehatan. Hal
tersebut sebagai dasar bagi peulis untuk menggunakan teori self care pada Tn. R
dengan post op laparatomi apendektomi hari III et causa apendiks perforasi mengingat
keterbatasan masalah kesehatan yang akan berpengaruh kepada kualitas hidupnya.

2. Tujuan Penulisan
2.1 Tujuan Umum
Mengetahui aplikasi teori keperawatan Dorothea Orem pada klien dengan post operasi
laparatomi apendiktomi hari III et causa apendisitis perforasi.
2.2 Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan makalah ini, mahasiswa mampu:
2.2.1 Melakukan pengkajian keperawatan dengan menggunakan teori keperawtan
Orem.
2.2.2 Merancang patoflowdiagram pada klien dengan post operasi laparatomi et causa
apendisitis perforasi, sesuai etiologi, tanda dan gejala, sampai dengan komplikasi
dan masalah keperawatan.
2.2.3 Mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan
post operasi laparatomi et causa apendisitis perforasi
2.2.4 Mengidentifikasi perencanaan keperawatan pada klien dengan post operasi
laparatomi et causa apendisitis perforasi
2.2.5 Melakukan implementasi dan evaluasi terhadap asuhan keperawatan pada klien
dengan post operasi laparatomi et causa apendisitis perforasi

3
2.2.6 Menganalisis jurnal terkait evidence based nursing (EBN) pada klien dengan post
operasi laparatomi et causa apendisitis perforasi.
3. Metode Penulisan
Metode penulisan laporan ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan
mengeksplorasi asuhan keperawatan pada Tn.R dengan dengan post operasi laparatomi et
causa apendisitis perforasi, data diperoleh dengan cara:
3.1 Observasi yakni pengamatan untuk mendapatkan data yang lebih objektif
3.2 Wawancara, yakni dengan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan data
secara subyektif dan untuk verifikasi data yang diperoleh secara obyektif.
3.3 Pemeriksaan fisik, dengan melakukan inspeksi, perkusi, palpasi dan auskultasi secara
head to toe (kepala ke kaki).
3.4 Studi kepustakaan, yakni mengumpulkan sumber – sumber dari buku sumber dan
jurnal – jurnal yang ada sesuai masalah yang dihadapi klien.
3.5 Analisa data yang dilakukan saat pengumpulan data dan data telah terkumpul dan
dibandingkan dengan teori dan kemudian dimbangkan dalam pembahasan. Dari
analisa data tersebut dapat dikembangkan dalan rencana intervensi dan implementasi
bagi klien dengan post operasi laparatomi et causa apendisitis perforasi

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Medis
2.1.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan apendiks vermiform yang terjadi sebagian
besar pada remaja dan dewasa muda (Black & Hawks, 2014).
Apendistis adalah peradangan akut pada apendiks vermiform yang paling
sering terjadi di kalangan orang dewasa muda (Ignatavicius & Workman,
2013).
Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu, seperti tabung sempit yang
memanjang dari bagian inferior dari sekum (Lewis et al, 2014).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apendisitis merupakan
peradangan yang terjadi pada apendiks vermiform, umumnya terjadi pada usia
remaja dan dewasa muda.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi


Apendiks adalah kantong yang terbentuk seperti selang yang terikat pada
sekum di bawah katup ileosekal. Panjang apendiks kira – kira 10 cm (4 inci),
lebar 0,3-0,7 cm yang melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada
bagian distal. Terletak di regio iliaka kanan, pada area yang disebut sebagai
McBurney (LeMon, Burke & Bauldoff, 2015).

Sumber: www.google.com
5
Fungsi apendiks tidak sepenuhnya dipahami, meskipun berfungsi
sebagai sebuah reservoir untuk bakteri usus yang penting.
Permukaan eksternal appendiks tampak halus berwarna merah kecokelatan
hingga kelabu. Apendiks merupakan jaringan limfoid tempat terdapatnya sel
limfosit (Sherwood, 2010). Permukaan dalam atau mukosa appendiks secara
umum sama dengan mukosa pada kolon, berwarna kuning muda, bernodular,
dan terdapat komponen limfoid yang prominen. Jaringan limfoid terdapat di
dinding mukosa appendiks. Permukaan apppendiks dikelilingi peritoneum dan
mesoappendiks (mesenter pendek yang melekat pada usus halus).
Mesoappendiks berisi pembuluh darah appendikular dan persarafan
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam
sekum. Karena pengosongannya tidak efektif.
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang
dari bagian bawah arteri ileocoli. Arteri appendiks termasuk end arteri. Aliran
balik darah pada appendiks melalui vena apendiseal cabang dari vena ileocoli
berjalan ke vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal.
Persrafan yang mempersarafi appendiks terdiri dari saraf simpatis dan saraf
parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis. Sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks bagian dari organ sistem pencernaan tubuh manusia yang
tidak memiliki fungsi yang jelas. Fungsi apendiks tidak sepenuhnya dipahami,
meskipun berfungsi sebagai sebuah reservoir untuk bakteri usus yang penting,
sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme intestinal. Appendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat
disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A).

6
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu
mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.
2.1.3 Etiologi
Dalam Sherwood (2011) apendisitis dapat terjadi sebagai akibat dari
bahan tinja yang mengeras dan tersangkut di apendiks. Salah satu penyebab
konstipasi yaitu diet rendah serat. Penyumbatan yang terjadi peradangan atau
apendisitis.
Menurut Black & Hawks ( 2014), penyebab dari apendisitis adalah sebagai
berikut:
1) Fekalit/ parasit
2) Apendiks yang terpuntir
3) Pembengkakan dinding usus
4) Kekakuan pada apendiks
5) Kondisi fibrosa di dinding usus
6) Oklusi eksternal usus akibat adesi
7) Infeksi organisme Yersinia ditemukan pada 30% kasus.

2.1.4 Patofisiologi
Bila apendiks menjadi terobstruksi, tekanan intraluminal meningkat
sebagai akibat dari obstruksi tersebut. Hal ini mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, invasi bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

7
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2001) .
Apabila apendik mengalami perforasi akan berkembang menjadi
peritonitis atau abses yang membutuhkan penanganan segera dengan
laparatomi (Lewis et al, 2014). Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
dengan laparatomi yakni risiko perdarahan, yang mengakibatkan syok
hipovolemik, adanya infeksi dan abses intraabdomen sehingga menyebabkan
terjadinya syok sepsis. Pada akhirnnya berakibat fatal pada kehidupan
seseorang (LeMon, Burke & Bauldoff, 2015).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klasik apendisitis dimulai dengan (Black & Hawks, 2014):
a) Nyeri abdomen (viseral), nyeri yang tidak nyaman yang hilang bila klien
buang angin atau dengan pergerakan usus akan meredakan nyeri. Namun,
banyak klien yang mengkonsumsi laksatif yang menyebabkan ruptur
apendiks dan peritonitis. Nyeri dimulai dari epigastrium dan selanjutnya
berpindah ke kuadran kanan bawah dan proses inflamasi menyebar ke
peritoneum, nyeri akan semakin berat dan sering. Nyeri tekan lokal pada
titik McBurney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (nyeri bila
tekanan dilepaskan) mungkin dijumpai.
b) Anoreksia, mual dan muntah
c) Demam derajat rendah
d) Lidah kotor

8
e) Halitosis (nafas berbau)
f) Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi pada kuadran
bawah kiri, yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah
ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat
ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk (Smeltzer, Bare, 2002)
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan pada pasien apendisitis didasarkan pada riwayat kesehatan
pasien, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diantaranya adalah
(Lewis et al (2014); Black & Hawks, 2014):
a) Jumlah leukosit (WBC) umumnya rendah sampai meningkat. Menurut
hitung sel darah putih pada pendisitis 10.000 – 18.000/mm3.
b) Urinalisis, diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain
dari kondisi saluran urinari untuk manifestasi yang ada.
c) Ultrasonografi (USG) abdomen merupakan pemeriksaan yang paling
efektif untuk mendiagnosis apendisitis akut. Dapat menunjukkan densitas
kuadran kanan bawahatau kadar aliran udaraterlukalisasi.
d) Rontgen abdomen/ appendicogram. Radiografi abnormal biasanya tidak
bernilai diagnostik pada apendisitis
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada apendisitis akut dalam LeMon, Burke &
Bauldoff (2015), yaitu:
2.1.7.1 Peritonitis
Merupakan inflamasi membran peritonium. Merupakan komplikasi
serius dari banyak gangguan abdomen.
2.1.7.2 Perforasi
Perforasi usus merupakan komplikasi yang paling umum, diperlukan
drainase bedah dan antibiotik diperlukan jika perforasi terjadi.
Peritonitis dapat terjadi setelah perforasi.
2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi pilihan untuk apendisitis akut adalah apendektomi, yaitu pengangkatan
apendiks melalui pembedahan. Pendekatan laparoskopi (insersi endoskop
untuk melihat isi abdomen) atau laparatomi ( membuka abdomen secara

9
bedah) dapat digunakan untuk apendektomi (LeMon, Burke & Bauldoff,
2015).
a) Apendendektomi laparoskopik memerlukan insisi yang sangat kecil untuk
memasukkan laparoskop, kenuntungannya adalah:
1) Visualisasi langsung pada apendiks memungkinkan penegakan diagnostik
secara pasti tanpa laparatomi
2) Hospitalisasi pascabedah hanya sebentar
3) Komplikasi pascabedah jarang terjadi
4) Pemulihan dan pelanjutan kembali aktivitas lebih cepat
b) Apendektomi terbuka dilakukan dengan laparatomi. Irisan melintang kecil
untuk insersi dibuat pada titik McBurney; apendiks diisolasi dan diligasi
(diikat) untuk mencegah kontaminasi area dengan usus dan kemudian
diangkat. Secara umum, laparatomi digunakan ketika apendiks telah
ruptur. Laparatomi memungkinkan pengambilan kontaminan dari rongga
perinoneum melalui irigasi yang menggunakan salin normal steril.

2.2 Tinjauan Keperawatan


2.2.1 Teori Self Care Orem
a. Konsep utama
Pelaksanaan teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan
kepada kebutuhan individu untuk melakukan intervensi keperawatan secara
mandiri serta dapat mengatur dalam segala kebutuhannya. Model ini tidak
hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga psikologis, lingkungan, sampai
dengan perawatan klien setelah pulang ke rumah.
Dalam konsep keperawatan Orem mengembangkan tiga bentuk teori
self care diantaranya :
1) Perawatan Diri Sendiri (self care)
Dalam teori self care, Orem mengemukakan bahwa self care meliputi :
pertama, self care itu sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari
individu serta dilaksanakan oleh individu itu sendiri dalam memenuhi
serta mempertahankan kehidupan, kesehatan serta kesejahteraan; kedua,
self care agency, merupakan suatu kemampuan inidividu dalam
melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia,

10
perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain; ketiga, adanya
tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan
tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan
diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang
tepat; keempat, kebutuhan self care merupakan suatu tindakan yang
ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat
universal dan berhubungan dengan kehidupan manusia serta dalam
upaya mempertahankan fungsi tubuh, self care yang bersifat universal
itu adalah aktivitas sehari-hari (ADL) dengan mengelompokkan ke
dalam kebutuhan dasar manusianya.
2) Self Care Defisit
Merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum dimana segala
perencanaan keperawatan diberikan pada saat perawatan dibutuhkan dan
dapat diterapkan pada kebutuhan yang melebihi kemampuan serta
adanya perkiraan penurunan kemampuan dalam perawatan dan tuntutan
dalam peningkatan self care, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Orem mengidentifikasi lima metode yang dapat digunakan dalam
membantu self care :
a) Tindakan untuk atau lakukan untuk orang lain.
b) Memberikan petunjuk dan pengarahan.
c) Memberikan dukungan fisik dan psikologis.
d) Memberikan dan memelihara lingkungan yang mendukung
pengembangan personal.
e) Pendidikan.
Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan beberapa
atau semua metode tersebut dalam memenuhi self care.
3) Teori Sistem Keperawatan
Teori yang menguraikan secara jelas bagaimana kebutuhan
perawatan diri pasien terpenuhi oleh perawat atau pasien sendiri yang
didasari pada kebutuhan diri sendiri, kebutuhan pasien dan kemampuan
pasien dalam melakukan perawatan mandiri. Dalam pandangan teori
Orem memberikan identifikasi dalam sistem pelayanan keperawatan
diantaranya :
11
a) Sistem bantuan secara penuh (Wholly Compensatory System)
Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan bantuan
secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan pasien dalam
memenuhi tindakan perawatan secara mandiri yang memerlukan
bantuan dalam pergerakan, pengontrolan dan ambulasi serta adanya
manipulasi gerakan.
b) Sistem bantuan sebagian (Partially Compensatory System)
Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri secara sebagian saja
dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara minimal
di mana pasien ini memiliki kemampuan seperti cuci tangan, gosok gigi,
cuci muka akan tetapi butuh pertolongan perawat dalam ambulasi dan
perawatan luka.
c) Sistem suportif dan edukatif
Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang
membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien mampu
memerlukan perawatan secara mandiri. Sistem ini dilakukan agar pasien
mampu melakukan tindakan keperawatan setelah dilakukan
pembelajaran. Pemberian system ini dapat dilakukan pada pasien yang
memerlukan informasi.
Pemahaman tentang konsep self care menurut Dorothea Orem adalah
tindakan yang mengupayakan orang lain memiliki kemampuan untuk
dikembangkan ataupun mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat
digunakan secara tepat untuk mempertahankan fungsi optimal (Tomey &
Alligood, 2014). Self care requesites merupakan bagian dari teori self care Orem,
yang didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan pada upaya perawatan diri
yang bersifat universal dan berhubungan dengan proses kehidupan manusia serta
dalam upaya untuk mempertahankan fungsi tubuh. Orem mengembangkan self
care requesites kedalam tiga jenis yaitu universal self care requesites,
development self care requesites, health deviation self care requesites (Tomey &
Alligood, 2014).
Menurut Orem (Tomey & Alligood, 2014), self care requesites merupakan
bagian utama dalam kehidupan yang dijalani setiap individu. Aktivitas yang
dilakukan terkait dengan universal self care requesites ditujukan untuk
12
memelihara kecukupan akan udara, air dan makanan yang berguna untuk
metabolisme dan menghasilkan energi. universal self care requesites secara
langsung mempengaruhi pasien dengan CHF sebagai contoh klien yang
mengalami sesak karena edema pulmonal akan berupaya memenuhi kebutuhan
akan oksigen. Development self care requesites merupakan upaya yang dilakukan
untuk memenuhi proses perkembangan. Sedangkan health deviation self care
requesites sering dikaitkan dengan kondisi sakit yang dialami pasien, yaitu
bagaimana kemampuan klien merasakan kondisi sakitnya atau ketidakmampuan
dalam melaksanakan fungsi secara normal.

2.2.2 Proses Keperawatan


Proses keperawatan Self Care menurut Orem adalah sebagai berikut :
a. Pengkajian diarahkan pada faktor personal yaitu universal self care
requesites, development self care requesites, health deviation self care
requesites.
b. Membuat diagnosa keperawatan dari keadaan biofisik, psikologis,
psikososial dan lingkungan.
c. Menetapkan tujuan untuk meningkatkan self care.
d. Implementasi intervensi bertujuan untuk tindakan yang mengupayakan
orang lain memiliki kemampuan untuk dikembangkan ataupun
mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan secara
tepat untuk mempertahankan fungsi optimal.
e. Mengevaluasi tercapainya tujuan self care.

2.2.2.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian keperawatan meliputi faktor personal, universal self care,
development self care, health deviation self, self care defisit (Januari,
2014):
a. Universal self care requesites didasarkan pada :
1) Kebutuhan udara (O2) : Dispnea dengan aktivitas atau
istirahat, dyspnea nokturnal yang mengganggu tidur, tidur
duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengan atau tanpa
produksi sputum, terutama ketika telentang, gunakan alat bantu

13
pernapasan, misalnya, oksigen warna jaringan kulit pucat,
bantalan kuku pucat atau sianosis, dengan pengisian kapiler
lambat kehitaman, atau sianosis
2) Kebutuhan air :
3) Kebutuhan makanan : riwayat makan makanan rendah serat, kehilangan
nafsu makan, anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
4) Proses eliminasi dan ekskresi : Penurunan berkemih, urine gelap, malam
berkemih.
5) Pemeliharaan keseimbangan aktivitas dan istirahat
6) Pemeliharaan keseimbangan privasi dan interaksi sosial : Penurunan
partisipasi dalam kegiatan sosial biasa.
7) Pencegahan resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraan.
8) Peningkatan kesehatan dan pengembangan potensi dalam hubungan
sosial.
b) Development self care requesites
Stres yang berhubungan dengan penyakit atau masalah keuangan
(pekerjaan, biaya perawatan medis).
c) Health deviation self care requesites
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
d) Self-care defisit
Kelelahan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas normal sehari-
hari, seperti tidur, naik tangga, dan sebagainya. Intoleransi aktivitas,
dispnea saat istirahat atau aktivitas, insomnia, ketidakmampuan untuk
tidur terlentang.

2.2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang terdapat pada laparaskopi atau laparatomi,
perawatan setelah operasi adalah : (Meg Gulanick, 2014; Wilkinson,
2014; Black and Hawks, 2014) :
a. Risiko infeksi
Berisiko terhadap invasi organisme patogen.

14
Berhubungan dengan:
1) Insisi abdominal
2) Adanya tube dan selang
b. Pola nafas tidak efektif
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
Faktor yang berhubungan:
1) Insisi abdomen kwadran kanan atas
2) Adanya nyeri
c. Kurang pengetahuan
Tidak ada atau kurang informasi kognitif tentang topik tertentu
Berhubungan dengan:
1) Kurangnya pengalaman sebelumnya tentang pembedahan
laparaskopi/ laparatomi
2) Kebutuhan akan manajemen perawatan di rumah
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
metabolik
Berhubungan dengan:
1) Ketidakmampuan untuk menelan atau mencerna makanan atau
menyerap nutrien akibat faktor biologis, psikologis, atau ekonomi
2) Ketergantungan zat kimia (asupan alkohol berlebih)
3) Kesulitan mengunyah atau menelan
4) Faktor ekonomi
5) Intoleransi makanan
6) Kebutuhan metabolik tinggi
7) Kurang pengetahuan terhadap makanan terbatas
8) Hilang nafsu makan
9) Mual dan muntah
e. Risiko kekurangan volume cairan tubuh
Berisiko mengalami penurunan cairan intravaskular, interstisial dan/
atau intraseluler. Hal ini merujuk ke risikodegidrasi, kehilangan air saja
tanpa perubahan natrium

15
Berhubungan dengan:
1) Diuresis yang berlebihan
2) Perdarahan gastrointestinal
3) Koagulopati
f. Nyeri akut
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial; awitan yang
tiba – tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan
akhir yang dapat diantisipasiatau dapat diramalkan dan durasinya
kurang dari enam bulan.
Berhubungan dengan:
- Inflamasi
- Prosedur diagnostik (insisi pasca bedah)
2.2.2.3 Perencanaan Keperawatan
Intervensi keperawatan menurut Meg Gulanick, 2014; Wilkinson, 2014;
Black and Hawks, 2014.
a. Risiko infeksi
1) Tujuan yang diharapkan: Pasien bebas dari infeksi
dibuktikan dengan penyembuhan luka atau sayatan insisi
yang tidak menunjukkan tannda – tanda infeksi seperti
kemerahan, bengkak, bernanah, nyeri, dan temperature
tubuh dalam batas normal dalam waktu 48 jam pasca
operasi.
2) Kriteria hasil NOC
Pasien memperlihatkan pengendalian risiko: Penyembuhan
luka primer dan sekunder, yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1 – 5: tidak ada, terbatas, sedang,
besar dan sangat besar)
3) Intervensi NIC
Perawatn luka insisi, aktivitas keperawatan yang dapat
dilakukan:
Pengkajian

16
1. Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya suhu tubuh,
denyut jantung drainase, penampilan luka, sekresi,
penampilan urin, suhu kulit, lesi kulit keletihan dan
malaise)
2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi (misalnya usia lanjut, usia kurang dari satu tahun,
luluh imun, dan malnutrisi).
3. Pantau hasil laboratorium (misalnya hitung darah lengkap,
hitung granulosit absolut, hitung jenis protein serum dan
albumin)
4. Amati penampilan praktik higiene personal terhadap
infeksi.
Penyuluhan untuk Pasien/ keluarga
1. Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengapa sakit atau
terapi meningkatkan risiko terhadap infeksi
2. Instruksikan untuk menjaga higiene personal untuk
melindungi tubuh terhadap infeksi (misalnya mencuci
tangan)
3. Pengendalian infeksi:
- Ajarkan pasien teknik mencuci tangan yang benar
- Ajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan
sewaktu masuk dan meninggalkan ruang pasien
Aktivitas kolaboratif
1. Ikuti protokol institusi untuk melaporkan infeksi yang
dicurigai atau kultuf positif
2. Berikan terapi antibiotik bila diperlukan
b. Pola nafas tidak efektif
1) Tujuan yang diharapkan yaitu menunjukkan pola pernafasan
efektif, yang dibuktikan oleh status pernafasan yang tidak ada
penyimpangan tanda – tanda vital.
2) Kriteria hasil NOC

17
Menunjukkan status pernafasan: ventilasi tidak terganggu, yang
dibuktkan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1 – 5 :
gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan tidak ada gangguan)

3) Intervensi NIC
Manajemen jalan nafas, aktivitas keperawatan yang dilakukan:
Pengkajian
1. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernafasan
2. Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan
otot – otot aksesoris, serta retraksi otot –otot supraklavikular
dan interkosta
3. Pantau pernafasan yang berbunyi, seperti melengking atau
mendengkur
4. Pantau pola pernafasan: bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
pernafasan Kussmaul, pernafasan Cheyne – Stokes, dan
pernafasan apneastik, pernafasan Biot dan pola ataksik.
5. Perhatikan lokasi trakea
6. Auskultasi suara nafas, perhatikan area penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
7. Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas dan lapar udara
8. Catat perubahan pada SaO2, CO2 , nilai gas darah arteri kalau
perlu
Penyuluhan untuk pasien dan keluarga
1. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik
relaksasi untuk memperbaiki pola pernafasan; uraikan teknik
2. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak
merokok di dalam ruangan
3. Instruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus
memberitahukan kepada perawat pada saat terjadi
ketidakefektifan pola nafas.
Aktivitas kolaborasi

18
1. Laporkan perubahan sensori, bunyi nafas, pola pernafasan,
nilai gas darah arteri, sputum dan sebagainya jika erlu, sesuai
indikasi.
2. Berikan obat ( misalnya bronkodilator) sesuai dengan program
atau protokol
3. Berikan obat nyeri unuk mengoptimalkan pernafasan

c. Kurang pengetahuan
Hasil yang diharapkan Tujuan: Klien memahami akan kondisi
(Penyakit) ditandai dengan:
1) Pasien atau orang dengan verbalisasi dapat mengetahui apa yang
diinginkan.
2) Pasien dapat melakukan keterampilan yang diinginkan.
Rencana Tindakan
1) Observasi
a) Kaji pengetahuan pasien tentang penyebab, pengobatan, dan tindak
lanjut perawatan yang berhubungan dengan laparatomi
b) Identifikasi kesalahpahaman yang ada tentang perawatan.
c) Jantung normal dan sirkulasi
d) Proses penyakit apendisitis
e) Secara keseluruhan tentang tujuan terapi medis
f) Pedoman mendukung aktivitas
g) Obat
h) Aspek psikologis penyakit kronis
i) Sumber daya masyarakat
j) Memberikan informasi tentang cara-cara untuk meningkatkan upaya
pengelolaan diri
k) Menyadari pentingnya perubahan kondisi seseorang
l)
3) Pendidikan Kesehatan
a) Berikan penjelasan tentang proses penyakit yang dialami klien
4) Kolaborasi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

19
1) Tujuan yang diharapkan memperlihatkan status nutrisi yang
dibuktikan dengan indikator sebagai berikut (sebutkan 1 – 5 :
gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan atau tidak ada
penyimpangan dari rentang normal.
2) Kriteria hasil NOC: Manajemen nutrisi

3) Intervensi NIC:
Pengkajian
1. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
2. Pantau nilai laboratorium: khususnya transferin, albumin dan
elektrolit
Penyuluhan untuk pasien/ keluarga
1. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya.
Aktivitas kolaboratif
Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi bila
diperlukan, jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi ( khususnya untuk pasien dengan
kebutuhan energi tinggi, seperti pasien pasca bedah dan luka bakar,
trauma, demam dan luka).
e. Risiko kekurangan volume cairan tubuh
1) Tujuan :
a. Kelebihan cairan dapat dikurangi
b. Keseimbangan cairan
2) Kriteria hasil NOC:
a) Keseimbangan air dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel tubuh.
b) Keparahan overload cairan dapat teratasi.
c) Fungsi ginjal membaik.
3) Intervensi NIC :
a) Pemantauan elektrolit
b) Manajemen cairan
c) Pemantauan cairan
d) Manajemen cairan dan elektrolit

20
e) Manajemen hipervolemia
f) Manajemen eliminasi urine
4) Aktivitas keperawatan :
a) Pengkajian
(1)Tentukan lokasi dan derajat edema perifer, sakral dan periorbital
pada skala +1 sampai +4.
(2)Kaji ekstremitas atau bagian tubuh yang edema terhadap
gangguan sirkulasi dan integritas kulit.
(3)Kaji efek pengobatan pada edema.
(4)Pantau secara teratur lingkar abdomen atau ekstremitas.
(5)Manajemen cairan (NIC)
Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecenderungannya.
(6)Pertahankan catatan haluaran dan asupan yang akurat setiap 4
jam.
(7)Pantau hasil laboratorium yang relevansi terhadap retensi cairan.
(8)Pantau indikasi kelebihan atau retensi cairan.
(9)Kaji distensi vena jugularis, hepatomegali dan nyeri abdomen.
b) Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Ajarkan pasien tentang penyebab dan cara mengatasi edema; diet
rendah natrium.
b) Anjurkan pasien untuk puasa sesuai kebutuhan.
b. Aktivitas kolaboratif
a) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk memberikan diet dengan
kandungan protein yang adekua
b) Konsultasikan dengan dokter jika tanda dan gejala kelebihan
cairan menetap
b. Nyeri akut
1) Tujuan yang diharapkan: memperlihatkan pengendalian nyeri, yang
dibuktikan oleh indikator sebagai berikut ( sebutkan 1 – 5 : tidak
pernah, jarang, kadang – kadang, sering atau selalu
2) Kriteria hasil NOC:
1. Kepuasan klien: manajemen nyeri
2. Tingkat kenyamanan

21
3. Pengendalian nyeri
4. Tingkat nyeri

3) Intervensi NIC
Pengkajian
1. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
atau keparahan nyeri dan faktor presipitasinya
2. Observasi isyarat nonverbal terhadap ketidaknyamanan,
khususnya pada mereka yang tidak mampu komunikasi efektif
Penyuluhan untuk pasien/ keluarga
1. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur
2. Ajarkan penggunanaan teknik nonfarmakologi (hipnosis,
relaksasi, terapi musik, dan sebagainya) sebelum, setelah dan
jika memungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan nyeri.
3. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan.
Aktivitas kolaborasi
1. Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi
lebih berat
2. Laporkan ke dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika
keluhan saat inimerupakan perubahan yang bermaknadari
pengalaman nyeri pasien di masa lalu

22

Anda mungkin juga menyukai