Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih,
2010)
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat pada diit harian (Santacroce,2009).
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia,
apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan
beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen.
Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainya (Depkes RI 2008).

Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik


juga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan
memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.
Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya
perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons
inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi
apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan manifestasi
nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan

respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah


nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis,
2005).

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa defenisi dari apendisitis ?


2. Apa etiologi dari apendisitis ?
3. Bagaimana patofisiologi apendisitis ?
4. Apa manifestasi klinis apendisitis ?
5. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang ?
6. Apa saja penatalaksanaan medis dari apendisitis ?
7. Jelaskan Komplikasi apendisitis !
8. Bagaimana Pencegahan apendisitis ?
9. Jelaskan Prognosis apendisitis !
1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan yang diinginkan penulis yaitu diperolehnya pengalaman nyata


dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. I dengan Post Operasi
Appendiktomi Hari ke-1 di Ruang Operasi.

1.3.2 Tujuan Khusus

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama3x24 jam maka diharapkan


penulis dapat :

1. Malaksanakan pengkajian pada klien dengan appendicitis


2. Membuat analisa data keperawatan pada klien dengan appendicitis
3. Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan appendicitis
4. Merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan appendicitis
5. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan appendicitis
6. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada klien dengan appendicitis
7. Mengidentifikasi factor pendukung

2
1.4 Ruang Lingkup

Dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi Ruang lingkup pada


Asuhan Keparawatan pada pasien Appendicitis. Ruang lingkup dalam laporan ini
adalah keperawatan medical bedah dan berfokus pada kasus Appendicitis pada
Tn, I Di Ruang Bedah Rumah Sakit Grha Permata Ibu Depok, Asuhan
Keparawatan mulai dilakukan pada tanggal 8 Maret 2019. Jam 06.20 WIB.

1.5 Sistematika Penulisan

a. Wawancara dengan melakukan pengkajian langsung melalui pertanyaan


pada keluarga tentang masalah pasien.
b. Observasi dan pemeriksaan fisik dengan pengamatan secara langsung pada
klien tentang hal yang berkaitan dengan masalah pasien
c. Studi dokumentasi dilakukan dengan cara mencari sumber informasi yang
didapat dari status pasien dan hal yang berhubungan dengan masalah pasien.
d. Studi literature ( kepustakaan) yaitu dengan mempelajari buku, makalah dan
sumber-sumber lain untuk mendapatkan dasar-dasr ilmiah yang
berhubungan dengan Appenditicis sehingga dapat membandingkan teori
dengan pelaksaan yang ada pada kasus nyata di Rumah Sakit.

3
BAB II

KOSEP MEDIS

2.1 Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang
laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen
dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis
adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan
penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian
antara lain :

1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan
bawah.

2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)


Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis
ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum.

3. Apendisitis perforata

4
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya
perforasi apendiks.

4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi
sekitar 50%.

5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel
inflamasi kronik.

2.2 Etiologi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,
terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak
faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks,
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang
dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga
merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).
2.3 Patofisiologi

5
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin
lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih
pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,
2000).

6
2.4 Manifestasi Klinik
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula
dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan
muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang
akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan
anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan
satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah
dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis
akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara
umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot
dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya
infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri
tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini
dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi
menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih
menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda
rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah.
Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia,
tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut

7
dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur
apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena
banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak
secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000),
manifestasi klinis apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat
rendah, mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan
sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri
tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah
, yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar;
terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
2. 5 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar
pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil
diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum
yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

8
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang
diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang.
2.6 Konsep Dasar Kebutuhan

A. Definisi
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Nyeri, sakit,
dolor (Latin) atau pain (Inggris) adalah kata-kata yang artinya bernada negatif;
menimbulkan perasaan dan reaksi yang kurang menyenangkan. Walaupun
demikian,kita semua menyadari bahwa rasa sakit kerapkali berguna,antara lain
sebagai tanda bahaya; tanda bahwa ada perubahan yang kurang baik di dalam
dirimanusia.

Berikut adalah pendapat beberapa ahli mengenai pengertian nyeri :


1. MC. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut
pernah mengalaminya.
2. Wolf Weifsel Feurst (1974), nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara
fisik dan mental atau perasaan yang bias menimbulkan ketegangan.
3. Arthur C. Curton (1983), nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi
tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut
bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.
4. Scrumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya rangsangan fisik dari serabut saraf dalam tubuh ke otak dan
diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, dan emosional.

9
B. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nociceptor , secara anatomis
reseptor nyeri (nociceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin
dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nociceptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul
juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nociceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu reseptor A delta dan
serabut C.
1. Reseptor A Delta
a. Merupakan serabut bermyelin
b. Mengirimkan pesan secara cepat
c. Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya
d. Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti,
otot tendon, dll.
e. Biasanya sering ada pada injury akut.
f. Diameternya besar.
2. Serabut C
a. Tidak bermyelin.
b. Diameternya sangat kecil.
c. Lambat dalam menghantarkan impuls.
d. Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten.
e. Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan

10
Halus.
f. Reseptor terletak distruktur permukaan

C. Klasifikkasi Nyeri
1. Berdasarkan sumbernya
a. Cutaneus / superficial,
Yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning
(seperti terbakar). Contoh: terkena ujung pisau atau gunting.
b. Deep somatic / nyeri dalam,
Yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pemb. Darah, tendon dan syaraf, nyeri
menyebar & lbh lama daripada cutaneus. Contoh: sprain sendi.
c. Visceral (pada organ dalam),
Stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya
terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.
2. Berdasarkan penyebab
a. Fisik.
Bisa terjadi karena stimulus fisik. Contoh: fraktur femur.
b. Psycogenic.
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber dari
emosi / psikis dan biasanya tidak disadari. Contoh: orang yang marah-marah, tiba-
tiba merasa nyeri pada dadanya.
3. Berdasarkan lama / durasinya.
a. Nyeri akut.
Merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak
melebihi 6 bulan dan ditandai dengan adanya peningkatan tegangan otot.
b. Nyeri kronis.
Merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam
waktu cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri
kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis.

11
D. Stimulus Nyeri
Seseorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance), atau dapat
mengenali jumlah stimulasi nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya :
1. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya
kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.
2. Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri.
3. Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
4. Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blockade pada arteria koronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
5. Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.

E. Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, diantaranya :
1. Teori pemisahan (specificity theory).
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis melalui kornu
dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan
menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat
rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
2. Teori pola (pattern theory).
Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla spinalis dan
merangsang aktifitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang
merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi
menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri,
persepsi dipengaruhi oleh modalitas dari reaksi sel T.

12
3. Teori pengendalian gerbang (gate comtrol theory).
Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja saraf besar dan kecil yang keduanya
berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar akan
meningkatkan tertutupnya pintu mekanisme sehimgga aktivitas sel T terhambat
dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar
dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan
ke dalam medulla spinalis melalui serat efferent dan reaksinya mempengaruhi
aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas subtansia
gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T
yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri.
4.Teori transmisi dan inhibisi.
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls saraf,
sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmitter yang
spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada
serabut-serabut besar yang memblok impuls pada serabut lamban dan endogen
opiate system supresif.

F. Tingkatan Nyeri.
1. Skala intensitas.
10 : Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien.
9, 8, 7 : Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan aktifitas
yang bisa dilakukan.
6 : Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk.
5 : Nyeri seperti tertekan atau bergerak.
4 : Nyeri seperti kram atau kaku.
3 : Nyeri seperti perih atau mules.
2 : Nyeri seperti melilit atau terpukul.
1 : Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan.
0 : Tidak ada nyeri.

13
2. Tipe nyeri
10 : tipe nyeri sangat berat.
7-9 : tipe nyeri berat.
4-6 : tipe nyeri sedang.
1-3 : tipe nyeri ringan.
G. Faktor yang mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di
antaranya adalah :
1. Arti nyeri.
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hamper sebagian arti
nyeri merupakan negative, seperti membahayakan,merusak dll. Keadaan ini
dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial
budaya, lingkungan, dan pengalaman.
2. Persepsi nyeri.
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sngat subyektif tempatnya pada korteks
(pada fungsi evaluative kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh factor yang dapat
memicu stimulasi nociceptor.
3. Toleransi nyeri.
Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang menahan nyeri. Factor yang dapat mempengaruhi
peningkatan toleransi nyeri antara lain alcohol, obat-obatan, hipnotis, gesekan
atau garukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat, dsb. Sedangkan faktir
yang menurunkan toleransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri
yang tidak kunjung hilang, sakit dll.
4. Reaksi terhadap nyeri.
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri, seperti
ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk
respons nyeri yang dapat dipengaruhioleh beberapa factor, seperti arti nyeri,
tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan social,
kesehatan fisik dan mental, rasa takut,cemas, usia dll.

14
C. Konsep Dasar Asuhan Keparawatan
Pasien dengan Kebutuhan Nyeri Kronis berhubungan dengan agen ingjuri ditandai
dengan pasien menyatakan nyeri dibagian abdomen.

15

Anda mungkin juga menyukai