PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010). Istilah usus buntu
yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya
adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di saluran
pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun
yang jelas (syamsyuhidayat, 2005). Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di
Negara berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat pada diit harian (Santacroce, 2009).
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, apendisitis akut
merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan
operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan
tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008). Dinkes jateng
menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980
penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januari
sampai 31 Desember 2011 angka kejadian appendisitis di RSUD salatiga, dari seluruh jumlah
pasien rawat inap tercatat sebanyak 102 penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien
wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di
instalsi RSUD Salatiga. Hal ini membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus
apendiksitis di RSUD Salatiga.
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat
dalam bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan
resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi
permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan
material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan
kemudian juga akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi
apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis,
2005).
Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di negara-
negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi
cenderung meningkat oleh karena pola dietnya yang mengikuti orang barat.
2. Tujuan Penulisan
1. Peserta didik pelatihan mampu menjelaskan keseluruhan konsep dan asuhan
keperawatan pada klien dengan Appendisitis.
2. Peserta didik diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien pre,
intra dan post operasi yang akan dilakukan pemberian anestesi.
3. Peserta didik pelatihan diharapakan mampu melakukan perhitungan dan pemberian
terapi cairan pada saat pre, intra dan post operasi.
4. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu melakukan perhitungan dosis pembrian
obat-obat anestesi.
5. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu melakukan tindakan intubasi dan
memberikan pemeliharaan tindakan anestesi.
6. Peserta didik diharapakan mampu memberikan asuhan keperawatan setelah selesai
operasi dan akhir dari anestesi.
7. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu mengembalikan keadaan pasien dalam
keadaan normal ke ruangan perawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000). Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum
inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab
paling umum untuk bedah abdomen darurat. Berdasarkan defenisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks
dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental
setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di
tutupi pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan
diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan
parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
2. Etiologi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya
apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus
terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga
merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis
akut (Sjamsuhidayat, 2004).
2. Apendiks dianggap sebagai struktur vestigial (sisihan) yang tidak memiliki fungsi
apapun bagi tubuh.
Dalam teori evolusi, Joseph McCabe mengatakan:The vermiform appendage—
in which some recent medical writers have vainly endeavoured to find a utility—is
the shrunken remainder of a large and normal intestine of a remote ancestor. This
interpretation of it would stand even if it were found to have a certain use in the
human body. Vestigial organs are sometimes pressed into a secondary use when
their original function has been lost.
Menurut Darwin, Appendiks dulunya berguna dalam mencerna dedaunan
seperti halnya pada primata. Sejalan dengan waktu, kita memakan lebih sedikit
sayuran dan mulai mengalami evolusi, selama ratusan tahun, organ ini menjadi
semakin kecil untuk memberi ruang bagi perkembangan lambung. appendiks
kemungkinan merupakan organ vestigial dari manusia prasejarahyang mengalami
degradasi dan hampir menghilang dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada
hewan herbivora seperti halnya Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan
antara usus besar dan halus seperti halnya manusia, namun sangat panjang,
memungkinkan baginya untuk menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk
pemecahan selulosa. Sejalan dengan manusia yang semakin banyak memakan
makanan yang mudah dicerna, mereka semakin sedikit memakan tanaman yang
tinggi selulosa sebagai energi. Sekum menjadi semakin tidak berguna bagi
pencernaan hal ini menyebabkan sebagian dari sekum semakin mengecil dan
terbentuklah appendiks.
Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih besar oleh
karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi inflamasi dan
penyakit.
4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks
hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena
omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
5. Penatalaksanaan Medis
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik
sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin
untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum
atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh
para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi
dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi
masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada
kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C.
Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai
berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak
terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita
dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan
maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika
memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena
merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan
hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi
tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi
kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi
dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas
yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol
ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya
hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik
mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi
akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila
pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien
dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Biodata Pasien
Nama : Tn. D
No.RM : 55272
Umur : 22 th
Alamat : Astanalanggar Losari, Cirebon
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan pabrik
Diagnose : Appendicitis sup Peporasi
Tindakan : Laparatomy
Nilai ASA :I
Tanggal Masuk RS : 30 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 30 Januari 2019
B.Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Pasien dengan keluhan sakit pada bagian perut kanan bawah, kesakitan sejak 2 hari
yang lalu, pasien sebelumya sering mengeluh di bagian perut kanan bawah dengan
nyeri hilang datang.
2. Keluhan Tambahan
Nyeri dibagian perut kanan bawah, nyeri hilang datang, nyeri saat bergerak. Pasien
pasien takut dengan tindakan operasi
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma, alergi obat/makanan, darah tinggi dan
diabetes.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatkan nyeri pada perut sudah 2 hari, nyeri dirasakan menetap pada
bagian perut kanan bawah, sulit beraktifitas dan akhirnya di bawa ke rumah sakit
untuk dilakukan tindakan operasi.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan dalam kelarga tidak memiliki riwayat penyakit paru, jantung,
dan diabetes.
Pemeriksaan Fisik
Kepala : lonjong, simetris, kulit kepala bersih, rambut utuh dan
memutih
Mata : conjungtiva anemis, sclera tidak iterik, pupil
isokor kiri kanan,
Hidung : tidak ada kelainan.
Telinga : simetris kiri kanan, tidak ada gangguan.
Mulut : bibir tidak ada sianosis, tidak ada gigi palsu
Tenggorokan : tidak ada gangguan .
Leher : simetris, tidak ada gangguan
Thorak : tidak ada jejas pada dada, ictus kordis terlhat, kontraksi dada
mengembang saat inspirasi ekspirasi, dada simetris kiri kanan, auskultsi
terdengar vesicular pada area lapang paru, tidak ada suara napas tambahan
wheezing.
Abdomen : tidak ditemukan jejas pada area abdomen, perut tampak
membesar, terdengar bising usus 12 x menit, nyeri tekan pada bagian kanan
bawah abdomen.
Genitalia : tidak ada cidera pada genital, terpasang DC.
Ektremitas : tidak ada kelainan pada bgian ekstremitas bawah maupun atas
Tanda-tanda vital :
Keadaan umum : baik, kooperatif
Kesadaran : composmentis GCS : E 4 M 6 V 5
Tanda Vital : Tek. Darah : 105/72 mmHg
Nadi : 82x/menit, reguler, adekuat
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5 º C
BB : 50 kg
Pemeriksaan fisik focus
Abdomen tampak membesar, nyeri tekan pada kanan bawah perut, bising usus
terdengar 12 x/menit, perut tersa nyeri saat bergerak berubah posisi.
C. Data psikologis
Pasien mengatakan merasa khwatir dengan penyakit dan nyeri yang di rasakannya.
D. Data sosial
Pasien mengatakan berhubungan baik dengan keluarga, maupun tetangganya semua baik
baik saja.
E. Data Kultural
Pasien mengatakan dia asli orang indramayu, berbahasa jawa cirebon dia ikuti sejak dulu
secara turun temurun, tidak menutup kemungkina dia juga mengatakan bisa bahasa
indonesia walaupun capur bahasa jawa Cirebon.
F. Data Spiritual
Pasien mengatakan dia beragama islam, untuk ibadah rutin ia melaksanakan solat lima
waktu secara rutin, sekarang pasien tampak cemas dengan keadaan penyakitnya sekarang.
Pasien menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan dan berharap cepat sembuh. Karena
pasien mempercayai bahwa sakitnya merupakan cobaan dan teguran dari Tuhan.
H. Pemerisaaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 10,4 g/dl 13.5 – 17.5 Normal
Hematokrit 30,3 % 33 – 45 Normal
Leukosit 6.63 Ribu/Ul 4.5 – 11.0 Tinggi
Trombosit 316 Ribu/Ul 150 – 450 Normal
Eritrosit 458 Juta/Ul 4.50 – 5.90 Normal
HEMOSTASIS
CT 4 menit 2-6 Normal
BT 2 menit 1-3 Normal
INR 1.210
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 Mmol/L 136 – 145 Normal
Kalium darah 3.2 Mmol/L 3.3 – 5.1 Rendah
Chlorida darah 82 Mmol/L 58 – 100 Tinggi
HbSAg Rapid 0,01 S//CO Negativ < 0.13 Normal
Hiv Non reaktif Non reaktif
2. Radiologi
Foto thorak : Corakan bronkosvaskular normal, sinus costophreni cus lanci,
diafragma licin, cor CTR < 0,5, sitema tulang infact.
3. USG : Kesan ; Chronic constipation disertal localized peritonitis di abdomen bawah –
ec appendicitis
I. Analisa Data
Symptom /Sign Etiologi Problem
Ds : Agen cedera fisik Nyeri akut
P: Klien mengatakan nyeri pada bagian (Trauma)
perut kanan bawah. Nyeri semangkin
sakit apa bila bergerak pada bagian
perut
Q: Klien mengatakan nyeri seperti
tertusuk-tusuk
R: Klien mengatakan nyeri di bagian
kuadran kanan bawah perut
S: Klien menunjukkan nyeri dengan skala
8
T: Klien mengatakan nyeri hilang timbul
dan tidak menentu
DO :
- Klien tampak meringis kesakitan dan
memegangi daerah perut yang sakit
pada bagian kanan bawah.
- Hasil tanda-tanda vital:
TD : 125/78 mmHg,
Nadi : 103 x/menit, regular
RR : 22x/menit, irama
normal
Suhu : 36.60C.
- Klien terpasang IVFD RL di
tangan kiri.
- Klien terpasang DC
Do:
Klien tampak gelisah, berkeringat dan
mulut kering, tidak tenang, klien tampak
pucat dan muka tegang.
Hasil tanda-tanda vital:
TD : 128/80 mmHg,
Nadi : 105x/menit, regular
RR : 22x/menit
Suhu : 36,60C
K. Intervensi Keperawatan
L. Implementasi Keperawatan
1. Mesin anestesi :
a. Gas terdiri dari Oksigen dan Nitro Oxide
b. Gas Volotile terdiri dari Sevofluren dan Isofluren
2. Monitor TTV dan EKG
3. STATICS :
a. Laringoskop no blade 3 dan stetoskop
b. Tube ( Selang endotrakeal tube) ETT kin kin no 7.5 Cup +
c. Air way ( Gudel / Mayo ) ukuran medium no 4
d. Tape ( Plester )
e. Introducer ( mandrein, stilet )
f. Conector
g. Suction
4. Persiapan obat anestesi
a. Premedikasi :
- Midazolam 0,05 mg/Kg BB = 0,05 x 50 kg = 2,5 mg
- Fentanyl 1- 2 mcg/KgBB = 1 x 50 kg = 50 mcg, 2 x 65 kg = 100 mcg
b. Induksi :
- Propofol 2 mg/kg BB = 2 x 50 kg = 100 mg
- Atracurium 0,5 mg/kgBB = 0,5 x 50 = 25 mg
C. Penatalaksanaan Anestesi
1. Ruang persiapan
Pasien masuk ke kamar persiapan pada pukul 10.00 WIB, pasien langsung diganti baju
operasi, infus terpasang pada tangan kiri dengan iv line ukuran 18 dan lancar. Selama di
ruang persiapan pasien kooperatif dengan tingkat kesadaran compos mentis GCS 15.
Sebelum tindakan anestesi diperlukan pengecekan surat izin anestesi (SIA) dan surat izin
operasi (SIO) terlebih dahulu.
2. Ruang operasi
Pre Operasi
a. Pasien masuk ke kamar operasi pada pukul 10.10 wib, Pasien di baringkan dengan
posisi supine di meja operasi dan atur kecepatan infus.
b. Nyalakan monitor dan mesin anestesi
c. Pasien dilakukan pemasangan monitor tanda-tanda vital, saturasi
oksigen, precordial.
d. Menunggu intruksi dan lapor kepada konsulen dan operator bila
sudah siap.
e. Menganjurkan pasien untuk berdoa
f. Pasien dilakukan pemberian premedikasi : midazolam 2,5 mg dan
ondansentron 8 mg
g. Kemudian dilakuka induksi pada jam 10.15 wib dengan obat :
- fentanyl 100 mcg IV
- Propofol 100 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
- sevofluren 2 MAC ( sesuai kebutuhan pasien)
h. Reflek bulu mata hilang, terjadi penurunan pernapasan dan
dilakukan baging dengan jaw trust dan chin lift.
i. Pelaksanaan intubasi dilakukan pada jam 10.20 wib dengan
prosedur :
- Posisikan kepala pasien dengank ektensi
- Buka mulut pasien dengan cross finger pegang laringoskop dengan tangan kiri
kemudian masukan kedalam mulut kemudian menyingkirkan lidah ke kiri pasien
dengan posisi laringoskop membuka rongga mulut
- Cari epiglottis, tempatkan ujug bilah laringoskop di valekula.
- Angkat epiglottis denga elevasi laringoskop ke atas ( jangan menekan gigi) untuk
melihat plica vocalis.
- Bila sudah terlihat ambil selang ETT yang sudah terpasang stilet dengan tangan
kanan,
- Masukan ETT dari sisi mulut kanan, sampai masuk ke saluran trakea dengan
ukuran batas mulut minimal 20 cm.
- lepaskan stilet dari ETT, isi balon sebanyak 10 cc udara kemudian hubungkan
dengan konektor kuregatet mesin anestesi.
- Tes kedalam ETT dengan stetoskope pada daerah apex kanan dan kiri untu
memastikan ETT benar-benar masuk kedalam trakea dan mengecek kesimbangan
pengembangan antara paru-paru kanan dan kiri.
- Stelah ETT sudah dipastikan dalam keadaan seimbang maka dilakukan fiksasi
dengan menggukan plester agar tidak terjadi perubahan letak posisi ETT. Jam
10.25 pasien terhubung ke ventilator.
- Jam 10.35 di mulai tindakan operasi
j. Perhitungan respirasi selama operasi.
Perhitungan rencana pemberian ventilasi :
1. Tidal Volume
Tidal Volume = BB (Kg) x Konstanta (6-10)
= 50 x 8
= 400 ml
2. Minute Volume
Minute Volume = Tidal volume x Respirasi rate ( 12-16 x/menit)
= 400 x 12/menit
= 4800 ml = 4,8 L/menit
3. Menggunkan teknik ventilator IPPV ( )
TV RR PEEP I:E
400 12 4 Ratio
ml X/menit 1:2
Intra Operasi
Pasein sudah terintubasi dengan ETT non kin kin no 7.0 cup +, mayo ukuran medium
no 4 pada jam 09.55 dan terhubung ke ventilator mesin anestesi.
1. Monitoring Intake dan output cairan
1. Perhitungan cairan pasien selama operasi :
BB : 50 kg
Jenis Operasi : Sedang
Puasa : 8 jam
2. Kebutuhan cairan mentenance untuk pasien BB 50 Kg
Rumus 4 2 1
Kebutuhana caira maintenance :
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 30 = 30
Jumah = 90 ml/jam
3. Kebutuhan cairan selama puasa
Maintenace x lama puasa
90 ml/jam x 8 jam = 720 cc
4. Insensible Water Lose (IWL)
Stres Operasi : Ringan = 2 – 4 ml, sedang = 4 -6 ml, berat = 6 – 8 ml
IWL = Stress operasi x BB (Kg) pasien
= 6 x 60 kg
= 300 ml
5. Estimated Blood Volume
EBV laki-laki dewasa 70 cc/kgbb
EBV perempuan dewasa 65 cc/kgbb
EBV = ( 70 x 50 kg )
EBV = 3500 cc
6. Estimated bood lose
EBL (10 %, 15 %, 20 % )
Ringan = 10 % x 3500 cc = 350 cc
Sedng = 15 % x 3500 cc = 525 cc
Berat = 20 % x 3500 cc = 700 cc
7. Jumlah pendarahan 1 jam Pertama :
Suction = 50 cc
Kasa (1 kasa = 10 cc) = 30 cc
Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan perbandingan 1:3 =
80 cc darah : 240 cc Cairan kristaloid
Jumlah pendarahan 1 jam Kedua :
Suction = 50 cc
Kasa (1 kasa = 10 cc) = 40 cc
Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan perbandingan 1:3 =
90 cc darah : 270 cc Cairan kristaloid
8. Kebutuhan cairan selama operasi
Rumus : Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan = ml
Jam 1 = ½ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan = ml
½ 720 + 90 + 300 + 240 = 990 cc
Jam 2 = ¼ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan = ml
¼ 720 + 90 + 300 + 270 = 840 cc
9. Total cairan yang keluar
Darah = 170 cc
Urine = 130 cc
10. Cairan yang sudah diberikan (Kristaloid)
Pre operasi = 500 cc
Intra operasi 1 jam pertama = 990 cc
Intra operasi 1 jam kedua = 840 cc
Total = 2330 cc
11. Jumlah tetesan / menit 1 jam pertama = 990 x 20 tetes/ menit
60 menit
= 330 tetes/menit
1. Pengakhiran anestesi
Operasi selesai pada pukul 12.40 wib pasien dilakukan spontanisasi pada
pernapasan dengan baging ( axis) tanpa menggunakan ventilator dan di berikan
terapi injeksi neostigmine 0,5 mg + sulfat atropine 0.25 mg untuk
menghilangkan efek dari obat relaksan (atrakurium). Pasien bernapas spontan
dengan adekuat dengan tanda bisa menelan, pasien sadar penuh, mampu
bernps bila di perintah, kekuatan otot sudah pulih, tensi normal, saturasi normal
dan tidak ada distensi lambung. Pasien dilakukan ektubasi pada jam 13.00 .
F. Intervensi Keperawatan
Waktu
Skor
TD Pra Anestesi : / mmHg
5” 15” 30” 45” 60” 90” 120” Keluar
2 2 2 2 2
TD+/-20 mHg dari normal
Siskulasi 1 1 1 1
TD+/20-50 mHg dari normal
TD+/ > 50 mHg dari normal 0
Sadar penuh 2 1 2 2 2 2 2 2
Menggerakkan 4 ekstremitas 2 2 2 2 2 2 2 2
Menggerakkan 2 ekstremitas 1
Aktifitas
Tidak mampu menggerakkan 0
ekstremitas
TOTAL 7 8 9 10 10 10 10
I. Intervensi Keperawatan
J. Implementasi keperawatan
2. KESIMPULAN
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi. Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendikial
oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit, atau parasit. Gejala
apendisitis adalah nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus dengan keluhan
mual dan muntah. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah. Nyeri
kemudian dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga disebut nyeri somatik.
Komplikasi apendisitis adalah perforasi, peritonitis, abses apendiks.
3. SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
peserta pelatihan anestes dan dapat menambah pengetahuan tentang asuhan
keperawatan anestesi pada appendisitis. Semoga kita juga dapat mencegah terjadinya
apendisitis, dengan cara diet tinggi serat.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Brunner dan Sudarth. 2002. Keperwatan Medikal Bedah. Vol. 3. Edisi ke III. EGC : Jakarta
Monika Ester, S.Kp, 2001. Asuhan Keperwatan intervensi dan implemtasi. Salemba medika.
Yogyakarta.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Katz, 2009. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project,
Mosby.
R. Sjamsuhidajat, Wim de jang. 2009. Buku Ajar Keperawatan Anatomi dan patofisilogi tubuh
manusia. Yogyakarta : Salemba Medika
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Syamsyul hidayat, 2005. Buku Ajar Penyakit dalam dan Klinis. Edisisi ke II . EGC : Jakarta :
Santa crose,2009. ). Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.