Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010). Istilah usus buntu
yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu
sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di
saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi
system imun yang jelas (syamsyuhidayat, 2012).
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang.
Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal
ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian
(Santacroce, 2009). Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia,
apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa
indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis di
Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes
2008). Dinkes jabar menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa barat
sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Pada
periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka kejadian appendisitis di RSUD Gunung
Jati, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak 102 penderita appendisitis
dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkat ke 2 dari
keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Gunung Jati. Hal ini membuktikan tingginya
angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Gunung Jati
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan
implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi
apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa
periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen
lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis.
Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan
manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan
respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang
tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2015).

1
Tindakan medis yang dilakukan untuk apendisitis salah satunya yaitu apendiktomi.
Apendiktomi ini memakai 2 jenis anestesi salah satunya Subarachnoid Spinal Block, sebuah
prosedur anestesi yang efektif dan bisa digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum.
Umumnya digunakan pada operasi seperti laparaskopi, atau abdomen atas, dan peforasi
abdomen. Dalam kasus ini pembedahan dengan menggunakan teknik laparaskopi maka
dengan anestesi umum. Setiap pembedahan selalu berhubungan dengan insisi/sayatan
yang merupakan trauma atau kekerasan bagi penderita yang menimbulkan berbagai
keluhan dan gejala. Salah satu keluhan yang sering dikemukakan adalah nyeri
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2012). Dengan demikian selain bertujuan menghilangkan
penderitaan, mengatasi nyeri merupakan salah satu upaya menunjang proses
penyembuhan (Wirjoatmodjo, 2009). Dalam hal ini praktek pelayanan anestesi
mengharuskan setiap penata anestesi meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
dalam proses pelayanan kesehatan dan memahami penyakit dengan memperhatikan
pemeberian asuhan keperawatan anestesi kondisi pasien secara individual (Rovers et al.,
2013 ). Berdasarkan pembahasan latar belakang diatas, maka penting dilakukan tindakan
anestesi umum pada pasien dengan tindakan operasi apendiktomi dengan teknik
laparaskopi.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan keperawatan anestesi pada pasien apendisitis akut dengan teknik
anestesi anestesi umum.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Peserta didik diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien
pre, intra dan post operasi yang akan dilakukan pemberian anestesi umum.
b. Peserta didik pelatihan diharapakan mampu melakukan perhitungan dan
pemberian terapi cairan pada saat pre, intra dan post operasi.
c. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu melakukan perhitungan dosis pembrian
obat-obat anestesi.
d. Peserta didik pelatihan diharapkan mampu melakukan tindakan intubasi dan
memberikan pemeliharaan tindakan anestesi.
e. Peserta didik diharapakan mampu memberikan asuhan keperawatan setelah selesai
operasi dan akhir dari anestesi.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks yang berbentuk cacing dan
berlokasi dekat katup ileosekal, peradangan mungkin disebabkan oleh obstruksi oleh fekalit
(Barbara C. Long, 2011). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat (Smeltxer, 2010). Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena
struktur yang terpuntir, apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
dan multiplikasi (Chang, 2010). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat
terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses, akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya (Corwin, 2009).
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam
hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi
pelaksanaan pembedahan (Rojas, 2014). General Anestesi merupakan tindakan
menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible).
Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general
anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu
dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan
endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2009). General
anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
a) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam 11 pembuluh darah vena.
b) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat
atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general
anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan
berimbang, yaitu:

3
(1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat
anestesi umum yang lain.
(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau obat
general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau
general
anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

2.2 Etiologi
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendikial oleh
apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit, atau parasit (Katz, 2009). Studi
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
dari konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman floura kolon biasa.

2.3 Anatomi Dan Fisiologi


Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Apendiks merupakan organ
yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm)
dan pada orang dewasa umbai cacing berukuran sekitar 10 cm. Walaupun lokasi apendiks
selalu tetap yaitu berpangkal di sekum, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda, yaitu
di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang pasti tetap terletak di peritoneum.
Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal.
Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-
anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam
intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan
caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%),
Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).

4
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian
bawah arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk arteri akhir atau ujung. Apendiks memiliki
lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal.
A. Fungsi apendik
Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak
mempunyai fungsi. Tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ
imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan
tubuh). Immunoglobulin sekretoal merupakan zat pelindung yang efektif terhadap
infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di
dalam apendiks adalah Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang
terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran
cerna lain.
Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan
dalam pengaliran tersebut merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisitis.

Fungsi appendiks masih mengalami banyak perdebatan, namun para ahli meyakini
antara lain sebagai berikut :

1. Berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh

Antara lain menghasilkan Immunoglobulin A (IgA) seperti halnya bagian lain


dari usus. IgA merupakan salah satu immunoglobulin (antibodi) yang sangat efektif
melindungi tubuh dari infeksi kuman penyakit. Loren G. Martin, professor fisiologi
dari Oklahoma State University, berpendapat bahwa appendiks memiliki fungsi pada
fetus dan dewasa. Telah ditemukan sel endokrinpada appendiks dari fetus umur 11
minggu yang berperanan dalam mekanisme kontrol biologis (homeostasis). Pada
dewasa, Martin berpendapat bahwa appendiks sebagai organ limfatik. Dalam
penelitiannya terbukti appendiks kaya akan sel limfoid, yang menunjukkan bahwa
appendiks mungkin memainkan peranan pada sistem imun. Pada dekade terakhir
para ahli bedah berhenti mengangkat appendiks saat melakukan prosedur
pembedahan lainnya sebagai suatu tindakan pencegahan rutin, pengangkatan
appendiks hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat, oleh karena pada kelainan
saluran kencing tertentu yang membutuhkan kemampuan menahan kencing yang
baik (kontinen), apendiks telah terbukti berhasil ditransplantasikan kedalam saluran

5
kencing yang menghubungkan buli (kandung kencing) dengan perut sehingga
menghasilkan saluran yang kontinen dan dapat mengembalikan fungsional dari buli.

2. Apendiks dianggap sebagai struktur vestigial (sisihan) yang tidak memiliki fungsi
apapun bagi tubuh.
Dalam teori evolusi, Joseph McCabe mengatakan:The vermiform appendage—
in which some recent medical writers have vainly endeavoured to find a utility—is
the shrunken remainder of a large and normal intestine of a remote ancestor. This
interpretation of it would stand even if it were found to have a certain use in the
human body. Vestigial organs are sometimes pressed into a secondary use when
their original function has been lost.
Menurut Darwin, Appendiks dulunya berguna dalam mencerna dedaunan
seperti halnya pada primata. Sejalan dengan waktu, kita memakan lebih sedikit
sayuran dan mulai mengalami evolusi, selama ratusan tahun, organ ini menjadi
semakin kecil untuk memberi ruang bagi perkembangan lambung. appendiks
kemungkinan merupakan organ vestigial dari manusia prasejarahyang mengalami
degradasi dan hampir menghilang dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada
hewan herbivora seperti halnya Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan
antara usus besar dan halus seperti halnya manusia, namun sangat panjang,
memungkinkan baginya untuk menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk
pemecahan selulosa. Sejalan dengan manusia yang semakin banyak memakan
makanan yang mudah dicerna, mereka semakin sedikit memakan tanaman yang
tinggi selulosa sebagai energi. Sekum menjadi semakin tidak berguna bagi
pencernaan hal ini menyebabkan sebagian dari sekum semakin mengecil dan
terbentuklah appendiks.
Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih besar oleh
karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi inflamasi dan
penyakit.

3. Menjaga Flora Usus


William Parker, Randy Bollinger, and colleagues at Duke University mengajukan
teori bahwa appendiks menjadi surga bagi bakteri yang berguna, saat penyakit
menghilangkan semua bakteria tersebut dari seluruh usus. Teori ini berdasarkan
pada pemahaman baru bagaimana sistem imun mendukung pertumbuhan dari
bakteri usus yang berguna. Terdapat bukti bahwa appendiks sebagai alat yang
berfungsi dalam memulihkan bakteri yang berguna setelah menderita diare.

6
Pada akhirnya semua makhluk yang diciptakan Allah adalah dengan maksud
dan tujuan tertentu. Kita harus menghargai setiap spesies dan organ yang ada
padanya sebagai sesuatu yang memiliki fungsi dan kegunaannya masing-masing.

2.4 Patofisiologi
Kondisi obstruksi akan meningkatakan tekanan intraluminal dan peningkatan
perkembangan bakteri. Hal lainnya, akan terjadi peningkatan kongesti dan penurunan
perfusi pada dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks (Atassi,
2002).
Pasien akan mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan berlanjutnya proses
inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada permukaan serosa apendiks.
Ketika eksudat ini berhubungan dengan parietal peritonium, maka intervensi nyeri yang
khas akan rterjadi (Santa Crose, 2009).
Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri berproliferasi dan meningkatkan
tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang disebut
apendisitis mukosa, dengan manifestasi ketidaknyamanan abdomen. Adanya penurunan
perfusi pada dinding akan mengakibatkan iskemia dan nekrosis disertai peningkatan
tekanan intraluminal yang disebut apendisitis nekrosis, juga akan meningkatkan risiko
perfusi dari apendiks. Proses fagositosis terhadapa respon perlawanan pada bakteri
memberikan manifestasi pembentukan nanah atau push yang terakumulasi pada lumen
apendiks yang disebut apendisitis supuratif.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini dengan menutup apendiks menggunakan omentum dan usus halus
sehingga terbentuk masa periapendikular yang dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.
Pola bagian dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan menyebabkan menigkatnya risiko terjadi
perforasi dan pembentukan masa apendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan
bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respon inflamasi permukaan
peritonium atau terjadi peritonitis. Manifestasi yang khas adalah nyeri hebat dan tiba-tiba
datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005).

2.5 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah dicoba pengobatan
dengan antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya mencapai 35 %.
Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah
dilakukan pembedahan atau apendektomi, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.

7
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur (pecah), terbentuknya
abses atau peradangan pada selaput rongga perut peritonitis (Brunner dan Sudarth, 2002).
Pada hampir 15% pembedahan apendiks, apendiksnya ditemukan normal. Tetapi
penundaan pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat
fatal. Apendiks yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah
gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, apendiks tetap
diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab
nyeri yang sebenarnya.
Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka kematian pada apendisitis.
Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya
cepat dan sempurna. Apendiks yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu,
kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian
mendekati nol.

8
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Biodata Pasien
Nama : An. F
Umur : 14 th
Agama : Islam
No.RM : A179502
Alamat : Jl. Ujang Dewa , Kab. Nunukan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Belum bekerja
Diagnose : Appendicitis Akut
Tindakan operasi : Laparaskopi
Nilai ASA : II
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 03 Februari 2019 Jam : 10.00
Tanggal Pengkajian (OK IBS) : 03 Februari 2019 Jam : 17.20 Wib

3.1.2 Riwayat Kesehatan


a. Keluhan Utama
Pasien dengan keluhan sakit pada bagian perut kanan bawah, kesakitan sejak 2
hari yang lalu, sering mual, timbul demam.
b. Keluhan Tambahan
Nyeri dibagian perut kanan bawah, nyeri saat bergerak. Pasien pasien takut
dengan tindakan operasi
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak ada memiliki riwayat penyakit paru, jantung dan diabetes.
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tidak memiliki riwayat penyakt asma, alegi oban/makanan, darah tinggi
dan penyakit lainya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit pada keluarga

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


a. Kepala : lonjong, simetris, kulit kepala bersih, rambut utuh
b. Mata : conjungtiva anemis, sclera tidak iterik, pupil isokor kiri kanan.
c. Hidung : tidak ada gangguan
d. Telinga : simetris kiri kanan, tidak ada gangguan.
e. Mulut : bibir tidak ada sianosis, tidak ada gigi palsu
f. Tenggorokan : tidak ada gangguan.
g. Leher : tidak ada gangguan.
h. Thorak : tidak ada jejas pada dada, ictus kordis terlhat, kontraksi dada

9
mengembang saat inspirasi ekspirasi, dada simetris kiri kanan,
auskultsi terdengar vesicular pada area lapang paru, tidak ada
suara napas tambahan wheezing.
i. Abdomen : tidak ditemukan jejas pada area abdomen, tidak ada benjolan,
simetris, terdengar bising usus 13 x menit, nyeri tekan pada
bagian kanan bawah abdomen, perut tampak membuncit.
j. Genitalia : tidak ada cidera pada genital, terpasang DC, urine +
k. Ektremitas : tidak ada kelainan pada bagian ekstremitas bawah maupun atas
l. Tanda-tanda vital :
Keadaan umum : baik, kooperatif
Kesadaran : composmentis GCS : E 4 M 6 V 5
Tanda Vital : Tek. Darah : 101/70 mmHg
Nadi : 92/menit, reguler, adekuat
Pernapasan : 25x/menit
Suhu : 37,6 º C
BB : 40 kg

3.1.4 Pemerisaaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 10,4 g/dl 13.5 – 17.5 Normal
Hematokrit 30,3 % 33 – 45 Normal
Leukosit 8.63 Ribu/Ul 4.5 – 11.0 Tinggi
Trombosit 316 Ribu/Ul 150 – 450 Normal
Eritrosit 458 Juta/Ul 4.50 – 5.90 Normal
HEMOSTASIS
CT 4 menit 2-6 Normal
BT 2 menit 1-3 Normal
INR 1.210
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
Natrium darah 138 Mmol/L 136 – 145 Normal
Kalium darah 3.2 Mmol/L 3.3 – 5.1 Rendah
Chlorida darah 82 Mmol/L 58 – 100 Tinggi
HbSAg Rapid 0,01 S//CO Negativ < 0.13 Normal
Hiv Non reaktif Non reaktif

b. Radiologi
Foto thorak : -
c. USG : Kesan ; Chronic constipation disertal localized di abdomen bawah – ec
appendicitis

10
3.2 Persiapan anestesi :
3.2.1. Alat Mesin anestesi :
a. Gas terdiri dari Oksigen dan Nitro Oxide
b. Gas Volotile terdiri dari Sevofluren dan Isofluren
c. Monitor TTV dan EKG
d. STATICS :
Stetoskop dan Laringoskop no blade 3
Tube ( Selang endotrakeal tube) ETT non kin kin no 6.5 Cup +
Air way ( Gudel / Mayo ) ukuran medium no 3
Tape ( Plester )
Introducer ( mandrein, stilet )
Conector
Suction
3.2.2. Persiapan obat anestesi
a. Obat emergency : set kit emergency
b. Premedikasi : midazolam 2 mg
c. Prakinduksi : Pemeriksaan TTV
TD : 101/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit, reguler, adekuat
Pernapasan : 25 x/menit
Suhu : 37,6 º C
d. Induksi :
- Propofol 1 amp 200 mg
e. Analgetik :
- Fentanyl 1 amp 100 mcg
f. Relaksan:
- Atracurium 2 amp 50 mg
g. obat-obat mantenan :
- Atracurium 1 amp 25 mg

3.3 Penatalaksanaan Anestesi


3.3.1 Ruang persiapan
Pasien masuk ke kamar persiapan pada pukul 17.20 WIB, pasien langsung diganti baju
operasi, infus terpasang pada tangan kanan dengan iv line ukuran 20 dan lancar.
Selama di ruang persiapan pasien kooperatif dengan tingkat kesadaran compos mentis
GCS 15. Sebelum tindakan anestesi diperlukan pengecekan informed concent.

Tanda –tanda vital pasien :


Tekanan darah : 103 / 78 mm/Hg
Nadi : 112 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Saturasi : 98 %
Berat badan : 40 Kg

11
3.3.2 Ruang operasi
a. Pasien masuk ke kamar operasi pada pukul 17.30 wib, Pasien di baringkan dengan
posisi supine di meja operasi dan atur kecepatan infus.
b. Nyalakan monitor dan mesin anestesi
c. Pasien dilakukan pemasangan monitor tanda-tanda vital, saturasi
oksigen, precordial.
d. Menunggu intruksi dan lapor kepada konsulen dan operator bila
sudah siap.
e. Menganjurkan pasien untuk berdoa
f. Kemudian dilakuka induksi pada jam 18.00 wib dengan obat :
- fentanyl 80 mcg IV
- Propofol 80 mg IV
- Atracurium 20 mg IV
- Isofluren 2 MAC (2,4 vol %)
g. Reflek bulu mata hilang, terjadi penurunan pernapasan dan
dilakukan baging dengan jaw trust dan chin lift.
h. Pelaksanaan intubasi dilakukan pada jam 18.05 wib dengan
prosedur :
- Posisikan kepala pasien dengank ektensi
- Buka mulut pasien dengan cross finger pegang laringoskop dengan tangan kiri
kemudian masukan kedalam mulut kemudian menyingkirkan lidah ke kiri pasien
dengan posisi laringoskop membuka rongga mulut
- Cari epiglottis, tempatkan ujug bilah laringoskop di valekula.
- Angkat epiglottis denga elevasi laringoskop ke atas ( jangan menekan gigi) untuk
melihat plica vocalis.
- Bila sudah terlihat ambil selang ETT yang sudah terpasang stilet dengan tangan
kanan.
- Masukan ETT dari sisi mulut kanan, sampai masuk ke saluran trakea dengan
ukuran batas mulut minimal 20 cm.
- lepaskan stilet dari ETT, isi balon sebanyak 6 cc udara kemudian hubungkan
dengan konektor kuregatet mesin anestesi.
- Tes kedalam ETT dengan stetoskope pada daerah apex kanan dan kiri untu
memastikan ETT benar-benar masuk kedalam trakea dan mengecek kesimbangan
pengembangan antara paru-paru kanan dan kiri.Stelah ETT sudah dipastikan dalam
keadaan seimbang maka dilakukan fiksasi dengan menggukan plester agar tidak
terjadi perubahan letak posisi ETT. Jam 18.08 pernapasan pasien terhubung ke
ventilator
- Jam 18.15 di mulai tindakan operasi
i. Perhitungan respirasi selama operasi.
Perhitungan rencana pemberian ventilasi :
1. Tidal Volume
Tidal Volume = BB (Kg) x Konstanta (6-10)
= 40 x 7
= 280 ml
2. Minute Volume
Minute Volume = Tidal volume x Respirasi rate ( 12-16 x/menit)

12
= 280 x 16/menit
= 4480 ml = 4,5 L/menit
Pemberian Fres gas flow O2 dan N2O dengan perbandingan 50 : 50.
O2 : N2O = 2,25 L : 2,25 L

3. Menggunkan teknik ventilator VCV (Volume Control Ventilation)


TV RR PEEP I:E
280 16 4 Ratio
ml X/menit 1:2

j. Monitoring Intake dan output cairan


1. Perhitungan cairan pasien selama operasi :
BB : 40 kg
Jenis Operasi : Sedang
Puasa : 6 jam
2. Kebutuhan cairan mentenance untuk pasien BB 40 Kg
Rumus 4 2 1
Kebutuhana caira maintenance :
4 x 10 = 40
2 x 10 = 20
1 x 20 = 20
Jumah = 80 cc/jam
3. Kebutuhan cairan selama puasa
Maintenace x lama puasa
80 ml/jam x 6 jam = 480 cc
4. Insensible Water Lose (IWL)
Stres Operasi : Ringan = 2 – 4 ml, sedang = 4 -6 ml, berat = 6 – 8 ml
IWL = Stress operasi x BB (Kg) pasien
= 4 x 40 kg
= 160 ml
5. Estimated bood lose
Estimated Blood Volume
EBV laki-laki dewasa 70 cc/kgbb
EBV perempuan dewasa 65 cc/kgbb
EBV anak-anak 75 cc/kgbb
EBV = ( 65 x 40 kg )
EBV = 2600 cc
EBL (10 %, 15 %, 20 % )
Ringan = 10 % x 2600 cc = 260 cc
Sedng = 15 % x 2600 cc = 390 cc
Berat = 20 % x 2600 cc = 520 cc
6. Jumlah pendarahan 1 jam pertama :
Suction = 10 cc
Kasa (1 kasa = 10 cc) = 10 cc
Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan perbandingan 1:3 =
20 cc darah : 60 cc Cairan kristaloid

13
Jumlah pendarahan 1 jam kedua :
Suction = 10 cc
Kasa (1 kasa = 10 cc) = 20 cc
Perdarahan di ganti dengan cairan kristaloid dengan perbandingan 1:3 =
30 cc darah : 90 cc Cairan kristaloid
7. Kebutuhan cairan selama operasi
Rumus : Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan = ml
Jam 1 = ½ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan = ml
½ 480 + 80 + 160 + 60 = 540 cc
Jam 2 = ¼ Puasa + Maintenance + IWL + Perdarahan = ml
¼ 480 + 80 + 160 + 90 = 570 cc
8. Total cairan yang keluar
Darah = 50 cc
Urine = 60 cc
9. Cairan yang sudah diberikan (Kristaloid)
Pre operasi = 500 cc
Intra operasi = 610 cc
Total = 1110 cc
10. Jumlah tetesan / menit 1 jam pertama = 540 x 20 tetes/ menit
60 menit
= 180 tetes/menit
Jumlah tetesan / menit 1 jam Kedua = 570 x 20 tetes/ menit
60 menit
= 190 tetes/menit

k. Pengakhiran anestesi
Operasi selesai pada pukul 19.00 wib pasien dilakukan spontanisasi pada
pernapasan dengan baging (aksis) tanpa menggunakan ventilator dan di berikan
terapi injeksi neostigmine 0,5 mg + sulfat atropine 0.25 mg untuk
menghilangkan efek dari obat relaksan (atrakurium). Pasien bernapas spontan
dengan adekuat dengan tanda bisa menelan, pasien sadar penuh, mampu
bernps bila di perintah, kekuatan otot sudah pulih, tensi normal, saturasi normal
dan tidak ada distensi lambung. Pasien dilakukan ektubasi pada jam 19.15 Wib.

3.3.3 Post Operasi (Ruang pemulihan )


Pasien keluar dari kamar oparasi menuju ruang pemulihan pada jam 19.30 wib. Pada
saat masu ke ruang pemulihan pasien masih terpantau. Tanda tanda vital pasien TD
105/73 mmHg, Nadi 84 x/menit. Cairan di ganti dengan Rl, injeksi intravea ketorolac
30 mg, ondansentron 4 mg dan oksigen NRM diberikan 10 liter/menit. Dilakukan
observasi 30 menit dengan pemamtauan alderete score > 8 untuk pindah ruangan.
Pasien keluar dari ruang pemulihan menuju ke ruang perawatan pada pukul 20.05
dengan nilai alderete score > 8.

14
3.4 Analisa Data

No Symptom /Sign Etiologi Problem


Pre anestesi
1 Ds : Proses perjalanan Nyeri akut
Pasien mengatakan nyeri pada penyakit
bagian bawah kanan perut. Nyeri (apendisistis)
dirasakan seperti di tusuk dengan
skala nyeri 8.
DO :
Klien tampak meringis kesakitan
dan memegangi daerah perut.
Hasil tanda-tanda vital:
TD : 103/78 mmHg,
Nadi : 112 x/menit, regular
RR : 22x/menit, irama
normal
Suhu : 37.60C.

2 Ds : Tindakan operasi Cemas


Klien mengatakan takut dengan
tindakan operasi.
Do:
Klien tampak gelisah, berkeringat
dan dan tidak tenang, Wajah klien
tampak tegang.
Hasil tanda-tanda vital:
TD : 103/78 mmHg,
Nadi : 112x/menit, regular
RR : 22x/menit
Suhu : 37,60C

Post Anestesi
3 DS: - Obtruksi jalan Bersihan jalan
DO :
-Terdapat banyak mucus pada napas : mucus/ napas tidak
rongga mulut. hipersalipasi efektif
-TTV : TD : 124 / 74 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respiasi : 23 x / menit
Suhu : 36,50C
4 Ds : Terputusnya Nyeri akut
Pasien mengatakan nyeri pada kontuiniutas
bagian perut yang di operasi jaringan (luka
DO : insisi)
Klien tampak meringis kesakitan

15
dan memegangi daerah perut.
Hasil tanda-tanda vital:
TD : 123/82 mmHg,
Nadi : 112 x/menit, regular
RR : 22x/menit, irama
normal
Suhu : 36.80C.

3.5. Diagnosa keperawatan


1. Pre Anestesi
1. Nyeri behubungan dengan proses perjalanan penyakit (apendisitis)
2. Cemas berhubungan dengan tindakan operasi
2. intra AnestesI ; -
3. Post Anestesi
1. Bersihan Jalan napas berhubungan dengan obtruksi jalan napas : mucus
2. Nyeri akut berhubungan dengan Terputusnya kontuiniutas jaringan (luka insisi)

16
3.8. Intervensi dan Implemetasi
NO/TGL DIAGNOSA TUJUAN / NOC INTERVENSI/NIC IMPLEMENTASI EVALUASI
Pre anestesi
1. Ansietas b/d Kontrol diri 1. Bina hubungan saling 1. Mendekatkan diri untuk S : - Klien mengatakan cemas
tindakan Terhadap percaya membina kepercayaan Berkurang.
04/02/2019 operasi Ketakutan 2. Kaji tanda verbal dan 2. Untuk meihat tanda dari - Klien mengatakan merasa
kriteria hasil: nonverbal kecemasan kecemasan pada wajah klien ngantuk setelah di
Jam 17.20  Memantau 3. Instruksikan 3. Mendorong verbalisasi lakukan pemberian obat
intensitas Menggunakan teknik perasaan, persepsi dan O : - Klien tampak mulai tenang
ketakutan relaksasi ketakutan saat menjelang Operasi
 Menghilangka 4. Jelaskan prosedur dan 4. Untuk mengalihkan - Klien tampak mengantuk,
sensasi yang di rasakan perhatianpasien gelisah berkurang
n penyebab
ketakutan selama prosedur di setelah pemberian
 Mencari lakukan midazolam 2 mg IV
informasi untuk TTV : TD : 103/78 mmHg
mengurangi N : 112 x/menit
nyeri RR: 22 x/ menit
 Menghindari Suhu : 37,8oC
sumber A : Cemas
ketakutan P : - Cemas pasien mulai teratasi
jika - lanjutan intervensi
memungkinan
Menggunakn
strategi koping
yang efektif

17
2. Nyeri b/d Harapan nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengkajian nyeri S : Klien mengatakan nyeri pada
proses berkurang dengan komprehensif yang komprehensif yang meliputi perut kanan bawah saat
04/02/2019 perjalanan kriteria hasil: meliputi lokasi, lokasi, karakteristik, onset bergerak, nyeri seperti
penyakit  Melaporkan karakteristik, onset atau atau durasi, frekusensi, tertusuk-tusuk, skala nyeri 8.
Jam 17.30 (apendisitis) nyeri durasi, frekusensi, kualitas, intensitas atau O : wajah klien tampak meringis
 Melaporkan kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor Kesakitan.
panjangnya beratnya nyeri dan faktor pencetus TTV : TD : 103/78 mmHg
episode nyeri pencetus 2. Mengobservasi adanya N : 112 x/menit
 Ekspresi nyeri 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal RR: 22 x/ menit
wajah petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan Suhu : 37,8oC
mengenai 3. Mendukung istirahat atau A : Nyeri
ketidaknyamanan tidur yang adekuat P : - Masalah belum teratasi
3. Dukung istirahat atau 4. Memberikan informasi - lanjutkan itervensi
tidur yang adekuat mengenai nyeri, seperti
4. Berikan informasi penyebab nyeri, berapa lama
mengenai nyeri, seperti nyeri di rasakan dan
penyebab nyeri, berapa antisipasi dari
lama nyeri di rasakan dan ketidaknyamanan akibat
antisipasi dari prosedur
ketidaknyamanan akibat 5. Mengajarkan penggunaaan
prosedur teknik nonfarmakologi
5. Ajarkan penggunaaan (relaksasi,)
teknik nonfarmakologi 6. Melakukan kolaborasi dengan
(misalnya relaksasi, terapi dokter anestesi untuk
musik, aplikasi panas atau pemberian analgetik :
dingin dan
- Ketorolac 30 mg IV
pijatan,bimbingan
antisipatif)
6. Kolaborasi pemberian
analgetik.

18
Post anestesi
1. Bersihan - respirasi status : 1. Auskultasi suara napas 1. Auskultasi suara napas S:-
jalan napas ventilasi sebelum dan sesudah di sebelum dan sesudah di O : -Terdapat banyak mucus
04 /02/2019 b/d obtruksi - Air way patency sucton sucton pada rongga mulut pada
jalan napas Krteria Hasil : 2. Berikan oksigen 2. Memerikan oksigen dengan
Jam 19.30 saat ektubasi dan setelah di
oleh 1. Memdemontra denganmengunakan mengunakan nasal kanul
ektubasi.
sputum sika batuk NRM 3. Menganjukan pasien untuk
efektif dan 3. Anjukan pasien untuk napas dalam setelah ETT di - pasien sudah bernapas
suara napas napas dalam setelah ETT kelukan spontan.
yang bersih, di kelukan 4. Membuka jalan napas lebih - Terdengar suara stidor pada
mampu 4. Buka jalan napas degan terbuka rongga mulut.
mengekuarkan teknik chin lift atau jaw 5. Membebaskan hambatan - Refplek menelan masih
sputum dan trush bila perlu. pada jalan napas
sangat lemah.
mampu 5. Posisikan pasien untuk 6. Mengeluarkan secret atau
bernapas memaksimalkan ventilasi batuk dengan suction TTV :
dengan mudah. 6. Pasang mayo bila perlu. Monitor status oksigen dan sturasi TD : 130 / 85 mmHg
2. Menunjukan 7. Monitor status oksigen Nadi : 96 x/menit
jalan napas dan sturasi Respiasi : 21 x / menit
yang paten Suhu : 36,40C
dengan A : Bersihan jalan napas tidak
pernapasan
efektif
dalam dan
normal P :- masalah teratasi sebagian
- lanjutkan intervensi
2. Nyeri b/d Harapan nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengkajian nyeri S : Klien mengatakan nyeri pada
terputusnya berkurang dengan komprehensif yang komprehensif yang meliputi luka operasi tertusuk-tusuk,
04 /02/2019 kontuinitas kriteria hasil: meliputi lokasi, lokasi, karakteristik, onset skala nyeri 4.
jaringan  Melaporkan karakteristik, onset atau atau durasi, frekusensi, O : wajah klien tampak meringis
Jam 20.30 (luka insisi) nyeri durasi, frekusensi, kualitas, intensitas atau Kesakitan.
 Melaporkan kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor TTV : TD : 123/80 mmHg

19
panjangnya beratnya nyeri dan pencetus N : 113 x/menit
episode nyeri. faktor pencetus 2. Mengobservasi adanya RR: 22 x/ menit
 Ekspresi nyeri 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal Suhu : 36,8oC
wajah tidak petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan A : Nyeri
ada. mengenai 3. Mendukung istirahat atau P : - Masalah belum teratasi
ketidaknyamanan tidur yang adekuat - lanjutkan itervensi
3. Dukung istirahat atau 4. Memberikan informasi
tidur yang adekuat mengenai nyeri, seperti
4. Berikan informasi penyebab nyeri, berapa lama
mengenai nyeri, seperti nyeri di rasakan dan
penyebab nyeri, berapa antisipasi dari
lama nyeri di rasakan dan ketidaknyamanan akibat
antisipasi dari prosedur
ketidaknyamanan akibat 5. Mengajarkan penggunaaan
prosedur teknik nonfarmakologi
5. Ajarkan penggunaaan (relaksasi,)
teknik nonfarmakologi 6. Melakukan kolaborasi dengan
(misalnya relaksasi, terapi dokter anestesi untuk
musik, aplikasi panas atau pemberian analgetik :
dingin dan
- Ketorolac 30 mg IV
pijatan,bimbingan
- Tramadol 100 mg IV
antisipatif)
6. Kolaborasi pemberian
analgetik.

20
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, apendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi. Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendikial
oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit, atau parasit. Gejala
apendisitis adalah nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus dengan keluhan
mual dan muntah. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah. Nyeri
kemudian dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga disebut nyeri somatik.
Komplikasi apendisitis adalah perforasi, peritonitis, abses apendiks.

4.2 SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa dan dapat menambah pengetahuan tentang Apendisitis. Semoga kita juga
dapat mencegah terjadinya apendisitis, dengan cara diet tinggi serat.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

21
Barbara C. Long, 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Brunner dan Sudarth. 2002. Keperwatan Medikal Bedah. Vol. 3. Edisi ke III. EGC : Jakarta
Monika Ester, S.Kp, 2001. Asuhan Keperwatan intervensi dan implemtasi. Salemba medika.
Yogyakarta.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Katz, 2009. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project,
Mosby.
Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, MR. (2009). Petunjuk praktis anestesiologi ed 2. Jakarta :
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

R. Sjamsuhidajat, Wim de jang. 2009. Buku Ajar Keperawatan Anatomi dan patofisilogi tubuh
manusia. Yogyakarta : Salemba Medika
Rojas, J. O. D., Peter, S., dan William, C. W. (2014). Regional anesthesia versus general
anesthesia for surgery on the lumbar spine: A review of the modern literature. Clinical
Neurology and Neurosurgery
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta
Syamsyul hidayat, 2005. Buku Ajar Penyakit dalam dan Klinis. Edisisi ke II . EGC : Jakarta :
Santa crose,2009. ). Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Tzanakis NE et al, (2015). A New Approach to Accurate Diagnosis of Acute Appendicitis: world
journal of surgery
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.

22
23

Anda mungkin juga menyukai