Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendiks disebut juga umbai cacing organ berbentuk tabung, panjangnya
kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit
di bagian proksimal dan melebar dibagian distal (Ballester, et al, 2016).
Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 321 juta kasus tiap tahun
(handwashing 2016). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 20 – 35
juta kasus apendisitis. Statistik menunjukan bahwa setiap tahun apendisitis
menyerang 10 juta penduduk Indonesia. Saat ini morbiditas angka apendisitis di
Indonesia mencapai 95 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan tertinggi di
antara Negara-negara di Assosiation south East Asia Nation (ASEAN) (Bisset,
2017).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia  pada tahun 2017.
Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini
masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis
berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000
orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia,
apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa
indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen.
Penelitian yang dilakukan oleh Huda (2017) melalui data dari rekam
medis pasien apendisitis akut di RSUD Sleman. Dari 186 orang pasien
apendisitis akut di RSUD Sleman pada periode Januari 2017-Maret 2017 : pasien
dengan jenis kelamin pria 45,10%, dan wanita 54,80%. Pasien usia 0-10 tahun
13,90%, usia 11-20 tahun 24,10%, usia 21-30 tahun 20,90%, usia 31-40 tahun
14,50%, usia 41-50 tahun 16,60%, usia 51-60 tahun 6,40%, usia 61-70 tahun
2,10%, usia 71-80 tahun 1,00%. Pasien dengan manifestasi klinis nyeri perut
kanan bawah 96,70%, mual 26,80%, muntah 19,80%, demam 19,35%, nyeri
tekan Mc Burney (36,50%), rebound tenderness 3,20%, tanda rovsing 8,60%,
tanda psoas 17,70%, tanda obturator 12,90%, tidak ada gejala 1,00%. Pasien
dengan angka lekosit normal 50,00%, leukositosis 47,80%, tidak diperiksa

1
2,10%. Pasien apendisitis akut lebih banyak terjadi pada wanita, berusia 11-30
tahun.
Apabila apendisitis tidak ditangani maka akan menyebabkan komplikasi-
komplikasi meliputi perforasi apendiks, peritonitis dan abses. Komplikasi-
komplikasi jika tidak ditangani akan menyebabkan tingkat mortalitas dan
morbiditas meningkat, dalam hal ini diperlukan tindakan pembedahan untuk
menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas pasien dengan apendisitis.
Keberhasilan operasi apendisitis tergantung dari kerjasama antar tim operasi,
termasuk didalamnya perawat anestesi. Perawat anestesi menggunakan asuhan
keperawatan anestesi sebagai metode untuk menyelesaikan kasus keperawatan
anestesi (Eylin, 2016).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya asuhan keperawatan pada pasien apendisitis pada Ny.M
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penyusunan makalah ini adalah agar mahasiswa lebih
memahami:
a. Perawat mampu melakukan pengkajian keperawatan.
b. Perawat mampu merumuskan diagnosa keperawatan.
c. Perawat mampu melakukan perencanaan tindakan keperawatan.
d. Perawat mampu melakukan intervensi keperawatan.
e. Perawat mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada
secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara
anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau
umbai cacing. Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen.
Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara
appendix berada di sebelah postero-medial secum (Guyton, 2015).
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai
mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan
appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan
appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang
daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix
yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara
organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan
appendix bergerak ke belakang colon yang disebut appendix retrocolic.
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica
superior dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula
disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang
dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior (Guyton, 2015).
 
2. Fisiologi
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga
berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix
menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan

3
secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada
patogenesis appendicitis (Guyton, 2015).
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa
mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks berperan pada patofisiologi
appendiks (Guyton, 2015).
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai
perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh
(Guyton, 2015).

B. Pengertian
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10
cm 94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung
menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner & suddarth, 2015).
Appendikitis merupakan peradangan pada appendiks (umbai cacing).
Kira-kira 7% populasi akan mengalami appendikitis pada waktu yang
bersamaan dalam hidup mereka. Pria lebih cenderung terkena appendiksitis
dibanding wanita. Appendiksitis lebih sering menyerang pada usia 10 sampai
30 tahun (Pasaribu,2016).

C. Tanda dan Gejala


Menurut Sirma,dkk (2015), manifestasi klinis apendisitis meliputi:
1. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah,
mual dan seringkali muntah.

4
2. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina
anterior dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku
dari bagian bawah otot rektus kanan.
3. Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumlah nyeri
tekan, spasm otot, dan konstipasi atau diare kambuhan.
4. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah,
yang menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).
5. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar;
terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

Sedangkan menurut Indri,dkk (2014), manifestasi klinis apendisitis meliputi :


1. Nyeri abdomen periumbilikal, mual, muntah
2. Lokalisasi nyeri menuju fosa iliaka kanan.
3. Pereksia ringan.
4. Pasien menjadi kemerahan, takikardi, lidah berselaput, halitosis.
5. Nyeri tekan (biasanya saat lepas) di sepanjang titik McBurney).
6. Nyeri tekan pelvis sisi kanan pada pemeriksaan per rektal.
7. Peritonitis jika apendiks mengalami perforasi.
8. Masa apendiks jika pasien datang terlampat.

D. Etiologi
Menurut Arisandi ( 2017 ) Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau
spesifik tetapi ada faktor presdisposisi yaitu :
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi
ini terjadi di :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya fekolit dalam lumen apendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijan.

d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.


2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.coli &
Streptococcus.

5
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 –
30 tahun ( remaja dewasa ). Ini disebabkan oleh karena peningkatan
jaringan limfoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks :
a. Apendiks yang terlalu panjang.
b. Masa apendiks yang pendek.
c. Penonjolan jaringan limfoid pada lumen apendiks.
d. Kelainan katup di pangkal apendiks.

E. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing, striktutur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Apabila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding (NIC-NOC, 2015).
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuraktif akut. Apabila kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gengren. Stadium
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila proses di atas berjalan lambat, omentum
dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Oleh karena itu tindakan yang
paling tepat adalah apendiktomi, jika tidak dilakukan tindakan segera mungkin

6
maka peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang
(NIC-NOC, 2015).
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat
atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda
asing. Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan
nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam
terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks
yang terinflamasi berisi pus (NIC-NOC, 2015).

F. Pathway

7
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Anamnesa

a. Nyeri (mula-mula di daerah epigastrum, kemudian menjalar ke titik


McBurney).

b. Muntah (rangsang visceral)

c. Panas (infeksi akut)

2. Pemeriksaan fisik

a. Status generalis

a) Tampak kesakitan

b) Demam (≥37,7 oC)

c) Perbedaan suhu rektal > ½ oC

d) Fleksi ringan art coxae dextra

b. Peritonitis umum (perforasi)

a) Nyeri diseluruh abdomen

b) Pekak hati hilang

c) Bising usus hilang.

c. Rectal : nyeri tekan pada jam 9-12

3. Pemeriksaan penunjang

a. laboratorium

1) Hb normal

2) Leukosit normal atau meningkat (bila lanjut umumnya leukositosis,


>10,000/mm3)

3) Hitung jenis: segmen lebih banyak

4) LED meningkat (pada appendicitis infiltrate)

b. Rongent: appendicogram

Hasil positif berupa:

8
1) Non-filling

2) Partial filling

3) Mouse tail

4) Cut off

Rongent abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis.

H. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya dan Putri (2013, h. 91) penatalaksanaan apendisitis yaitu:
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat
perlu dilaksanakan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya
apendisitis ataupun peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan
rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk
mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah
dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan
antibiotik, kecuali apendisitis ganggrenosa atau apendisitis perporasi.
Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perporasi.
2. Operasi
a. Apendiktomi
b. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perporasi bebas, maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
c. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin
mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari.

9
d. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau pernapasan, angka
sonde lambung bila pasien sudah sadar, sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah, baringkan pasien dalam posisi terlentang.
Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama itu pasien dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar,
misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pasca operasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2x30 menit.
Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperboleh pulang.

I. Kompilkasi
Komplikasi dari apendisitis adalah:
1. Perforasi
Insidens perforasi 10-32%, rata-rata 20%, paling sering terjadi pada usia
muda sekali atau terlalu tua, perforasi timbul 93% pada anak-anak di
bawah 2 tahun antara 40-75% kasus usia diatas 60 tahun ke atas. Perforasi
jarang timbul dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi insiden
meningkat tajam sesudah 24 jam.
Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,50C tampak
toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat akibat
perforasi dan pembentukan abses.
2. Peritonitis
Adalah trombofebitis septik pada sistem vena porta ditandai dengan panas
tinggi 390C-400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang relatif
jarang.
a. Tromboflebitis supuratif dari sistem portal, jarang terjadi tetapi
merupakan komplikasi yang letal.

10
b. Abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi
intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan (Wijaya & Putri,
2013).
L. Pengkajian
1. Pengkajian Keperawatan
a. Riwayat:
Data yang dikumpulkan perawat dari klien dengan kemungkinan
apendisitis meliputi: umur, jenis kelamin, riwayat pembedahan, dan
riwayat medik lainnya, pemberian barium baik lewat mulut/rektal,
riwayat diit terutama makanan yang berserat.
b. Riwayat kesehatan:
1) Keluhan utama
2) Riwayat kesehatan sekarang
3) Riwayat kesehatan masa lalu
4) Riwayat kesehatan keluarga
c. Data subyektif
Sebelum operasi
1) Nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut kanan bawah
2) Mual, muntah, kembung
3) Tidak nafsu makan, demam
4) Tungkai kanan tidak dapat diluruskan
5) Diare atau konstipasi
Sesudah operasi
1) Nyeri daerah operasi
2) Lemas
3) Haus
4) Mual, kembung
5) Pusing
d. Data objektif
Sebelum operasi
1) Nyeri tekan dititik Mc. Burney
2) Spasme otot

11
3) Takhikardi, takipnea
4) Pucat, gelisah
5) Bising usus berkurang atau tidak ada
6) Demam 38-38,50C
Sesudah operasi
1) Terdapat luka operasi di kuadran kanan bawah abdomen
2) Terpasang infus
3) Terdapat drain/pipa lambung
4) Bising usus berkurang
5) Selaput mukosa perut kering

M. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul Berdasarkan Nanda


1. Preoperatif:

a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisiologi (proses penyakit)


b) Cemas b/d tidakan pembedahan yang akan dilakukan.
2. Pasca operatif:

a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (insisi pembedahan


pada apendiktomi).
b) Kurang perawatan diri berhubungan dengan nyeri
c) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasive, insisi post
pembedahan

12
13
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2010, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih
bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made
karyasa. EGC: Jakarta.
Buku Ajar Ilmu bedah.Jakarta:EGC. Sjamsudhidajat, R & Wim, de Jong
(ed)2004
Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa keperawatan; Aplikasi pada praktik klinis,
Edisi. 6., Jakarta: EGC.
Corwin, J.E. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC.
University IOWA., NIC and NOC Project., 2010, Nursing outcome
Classifications, Philadelphia, USA
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
McCloskey&Bulechek, 2010, Nursing Interventions Classifications, Second
edisi, By Mosby-Year book.Inc,Newyork
Maurytania, A.R, 2003, Buku Saku Ilmu Bedah, Widya Medika, Yogyakarta.
Margaret, Rendy. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam.
Nuha Medika: Yokyakarta.
NANDA, 2010-2011, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Padila. 2012. Keperawatan Medikal Bedah. Nuha Medika: Yogyakarta.
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, Dan Praktik.Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih,
dkk. Jakarta : EGC.2005
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah
Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC

14

Anda mungkin juga menyukai