Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Modernisasi gaya hidup dalam berbagai bidang seperti teknologi

komunikasi, industri, lingkungan telah menimbulkan berbagai macam perubahan

dalam hidup manusia, yang memberi dampak negatif pada peningkatan derajat

kesehatan seseorang. Dampak negatif dari modernisasi tersebut adalah terjadinya

berbagai masalah kesehatan, peningkatan kompleksitas penyakit dan penyakit –

penyakit yang dapat membahayakan manusia. Sehingga pada era globalisasi

sekarang saat ini, bangsa indonesia sebagai Negara berkembang sedang

menyelengarakan pembangunan disegala bidang termasuk bidang kesehatan,

dimana tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat

dan mencapai kemampuan untuk hidup sehat 2020.

Dilihat dari kenyataan sekarang ini karena pola makan yang tidak teratur

jadi masih timbul banyak penyakit – penyakit diantaranya kasus penyakit dengan

gangguan sistem pencernaan ” Apendisitis “.

Penyebab Apendisitis belum sepenuhnya dimengerti, pada kebanyakan

kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh adanya

penyumbatan didalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan

usus buntu bisa pecah, usus buntu yang pecah bisa menyebabkan : masuknya

kuman usus kedalam perut, menyebabkan peritonitis yang bisa berakibat fatal,

terbentuknya abses, pada wanita indung telur dasn salurannya bisa terinfeksi dan
2

menyebabkan penyumbatan pada salurang yang bisa menyebabkan kemandulan,

masuknya kuman kedalam pembuluh darah ( septikemia ) yang bisa berakibat

fatal.

Kira-kira 7% dari populasi akan mengalami apendisitis pada waktu yang

bersamaan. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapapun, apendisitis paling

sering terjadi atara 10-30 tahun.

Apendisitis akut merupakan kasus terbanyak dari akut abdomen, 1% dari

semua kasus bedah, sangat jarang pada infant, insidens bertambah sesuai dengan

umur, dengan puncak pada umur 10-30 tahun, ratio laki-laki dibandingkan

dengan perempuan pada usia remaja 3 : 2 dan menjadi 1 : 1 sesudah usia 25

tahun. Diagnosa appendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem

pada bidang bedah, angka negatif appendectomy berkisar 20-35%. Selama ini

appendisitis akut berdasarkan anamnese, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium yaitu hitung leukosit > 10.000/mm3 dan hitung jenis leukosit dengan

besaran kekiri yaitu peningkatan persentase neutrophil. Namun sepertiga kasus

(terutama orang tua) leukosit dan hitung jenis leukosit dalam batas normal

ataupun peninggian leukosit dan persentase neutrophil tidak dibanding lurus

dengan keparahan appendisitis.

Groonroors menyatakan akurasi diagnosa appendisitis akut berdasarkan

anamnese, nyeri Mc Burney dan leukositosis kurang dari 80 %. Untuk itu perlu

adanya pemerikasaan laboratorium tambahan untuk menegakkan diagnosa

appendisitis akut untuk menghindari appendektomy yang tidak perlu.


3

C-ractive rotein (CPR) menurut Lorentz R merupakan indikator yang

sensitif terhadap infeksi bakteri, peradangan dan kerusakan jaringan. Cheng dan

Wang melaporkan dalam penelitiannya sensitivitas, spesifitas dan akurasi CPR

untuk diagnosa appendisitis akut adalah 89,5%, 100%, 90,9%. Penelitian lain

Gurleyik mendapat sensitivitas, spesivitas dan akurasi CPR pada keadaan normal

< 0,8 mg/ dl dan meninggi >1 mg/ dl pada keadaan patologis.

(http//www,medicastro,com).

Untuk mencapai tujuan Indonesia sehat 2020, keperawatan merupakan

salah satu usaha penting yang menunjang dalam proses penyembuhan penyakit

dan memberikan pelayanan yang optimal bagi klien termasuk klien dengan

penyakit gangguan sistem pencernaan “Appendisitis”.

Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit didiagnosa. Sehingga bila

tidak ditangani tepat pada waktunya akan terjadi komplikasi, bila diagnosis klinik

sudah jelas maka tindakan yang tepat dan merupakan satu-satunya pilihan adalah

dengan “Apendiktomi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui

lebih jauh tentang perawatan dan pengobatan pasien penyakit Appendisitis yang

tertuang dalam karya tulis ini yang berjudul “Asuhan keperawatan

gangguan sistem pencernaan pada klien Ny “S” dengan post operasi Apendisitis

diruang perawatan bedah RSUD sawerigading

C. Tujuan penulisan
4

1. Tujuan umum

Memperoleh gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan

keperawatan dengan mengaplikasi teori asuhan keperawatan pada klien

dengan gangguan sistem pencernaan post operasi Apendisitis.

2. Tujuan khusus

Untuk memperoleh gambaran dan pengalaman nyata dalam :

a. Pengkajian data pada klien dengan post operasi Apendisitis akut yang

meliputi : Pengumpulan data, dan pengelompokan data.

b. Perumusan diagnosa keperawatan pada klien dengan post operasi

Apendisitis akut terdiri dari : Nyeri, perubahan pola eliminasi BAK,

gangguan pemenuhan istirahat tidur, risiko defisit volume cairan dan

elektrolit tubuh, risiko infeksi dan kurang pengetahuan.

c. Penentuan rencana keperawatan pada klien dengan post operasi

Apendisitis akut yaitu tujuan, rencana rindakan dan rasional.

d. Pelaksanaan tindakan keperawatan yang meliputi : tindakan mandiri

( independen ), kolaborasi ( interdependen ), dan rujukan

( dependen ).

e. Evaluasi keperawatan pada klien dengan post operasi Apendisitis akut

yaitu gangguan rasa nyaman nyeri nyeri dan perubahan pola eliminasi

BAK dapat teratasi, kebutuhan tidur terpenuhi, risiko defisit volume

cairan dan elektrolit dan risiko infeksi tidak terjadi, serta pernyataan

pemahaman klien tentang proses penyakti dan pengobatan.


5

f. Membandingkan kesenjangan antara teori dengan kasus yang ada.

g. Mendokumentasikan kasus post Operasi Apendisitis akut.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi institusi

Dengan adanya penulisan ini, dapat bermanfaat bagi Mahasiswa

institut kesehatan dan bisnis kurnia jaya persada palopo sebagai salah satu

kriteria untuk menilai keberhsilan mahasiswa yang akan berkompetensi pada

institusi, serta memenuhi persyaratan dan kewajiban dalam rangka

menyelesaikan pendidikan di institut kesehatan dan bisnis kurnia jaya persada

palopo

2. Manfaat bagi rumah sakit

Sebagai acuan atau sumber informasi terhadap pedoman kerja di

RSUD sawerigading palopo

3. Manfaat bagi klien

Agar klien dapat memperoleh perawatan secara komprehensif dan

berkesinambungan .

4. Manfaat bagi penulis

Sebagi pengalaman nyata yang bersifat pembelajaran dan merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan profesi ners


6
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar.

1. Pengertian.

Apendisitis adalah peradangan apendiks yang relatif sering dijumpai

yang dapat timbul tanpa sebab yang jelas atau timbul setelah obstruksi

apendiks oleh tinja atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh

darahnya.

Apendisitis adalah inflamasi vermiformis yang disebabkan oleh

obstruksi akibat infeksi, struktur, massa fekal, benda asing, atau tumor

Apendisitis adalah apendix vermiformis organ tambahan pada sekum yang

kurang lebih sebesar jari kelingking dan biasanya berukuran 50,8 kali 152,4

mm

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering

Apendisitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung

yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dalam sekum, dimana

penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh

feces, yang akhirnya merusak suplai aliran darah yang mengikis mukosa yang

menyebabkan inflamasi

Apendiktomi adalah pengangkatan apendiks terinflamasi yang

dilakukan dengan melakukan pendekatan endoskopi


8

Apendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira – kira

10 cm ( 4 inci ) melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal

Post Operasi Apendisitis adalah suatu keadaan setelah dilakukannya

tindakan pembedahan atau pengangkatan apendiks.

2. Anatomi Fisiologi.

a. Anatomi

Gambar, Kolon Asendens Daerah Seikum.

Apendiks adalah organ tambahan kecil berbentuk tabung

panjangnya kira – kira 10 cm ( 4 inci ), melekat pada sekum tepat

dibawah katup ileosekal. Pada posisinya yang normal, apendiks terletak

pada dinding abdomen dibawah titik Mc. Burney Burney dicari dengan

menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilikus. Titik tengah

garis ini merupakan tempat pangkal apendiks

Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian

distal, namun demikian, pada bayi apendiks berbentuk kerucuk, lebar

pada pangkalnya menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin

menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada kasus 65

% kasus, apendiks terletak intra peritoneal. Kedudukan ini

memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada

panjang meso apendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks

terletak retro peritonial, yaitu dibelakang sekum, dibelakang kolon

asendens atau tepi lateral colon asendens.


9

Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang N. Vagus

yang mengikuti a. Mesentrika superior dan a. Apendikularis, sedangkan

persarafan simpatis berasal dari N. Torakalis x. Karena itu nyeri viseral

pada apendiks bermula di sekitar umbilikus.

Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang

merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya

trombosit pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.

b. Fisiologi.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara

normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya mengalir kesekum.

Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan pada

patogenesis apendisitis.

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT ( GUT

Associated Lymphoid Tissue ) yang terdapat sepanjang saluran cerna

termasuk apendiks, ialah IGA ; Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai

pelindung terhadap infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks

tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe

disini kecil jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna tubuh

3. Etiologi.

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri dengan berbagai hal yang

berperan sebagai factor pencetus Antara lain :


10

a. Penyebab utamnya adalah obstruksi / sumbatan lumen apendiks yang

dapat disebabkan oleh :

1). Hyperplasia jaringan limfe.

2). Fekalit ( tinja yang mengeras ) dalam lumen apendiks.

3). Cacing askaris ( benda asing ).

4). Tumor apendiks.

b. Penyebab lain yang dapat diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah :

1). Erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.Histolitica.

2). Keganasan ( karsinoma, karsinoid ).

4. Insiden

Apendisitis, penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran

bawah kanan dari organ abdomen, adalah penyebab paling umum untuk

bedah abdomen darurat. Kira – kira 7 % dari populasi akan mengalami

apendisitis pada waktu yang bersamaan. Meskipun ini dapat terjadi pada usia

berapapun, apendisitis paling sering terjadi antara usia 10 – 30 tahun

(Brunner dan Suddart, 2002 ).

Insiden apendisitis akut pada Negara maju lebih tinggi dari pada

Negara berkembang, umum dalam tiga – empat dasawarsa terakhir menurun

secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya

penggunaan makanan berserat dalam menu sehari – hari. Pada laki – laki dan

perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20 tahun sampai 30

tahun, insiden laki – laki lebih tinggi. Apendisitis dapat ditemukan pada
11

semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan,

mungkin karena tidak diduga, insiden tertinggi pada kelompok umur 20 - 30

tahun

Perforasi relative lebih sering terjadi pada bayi dan pada usia lanjut,

selama periode itu angka mortalitasnya paling tinggi. Angka kematian telah

menurun secara menetap di Eropa dan Amerika Serikat dari 8,1 per 100.000

populasi pada tahun 1941 sampai kurang dari 1 per 100.000 pada tahun 1970

dan seterusnya. Insidensi absolute dari penyakit itu juga turun sebesar kira –

kira 40 tahun persen antara tahun 1940 dan 1960 sejak itu, insidensinya tetap

tidak berubah. Meskipun berbagai macam factor seperti perubahan kebiasaan

makan . perubahan flora usus dan asupan vitamin telah dianggap menjelaskan

penurunan insiden penyakit tersebut, namun alasan yang tepat belum dapat

dikemukakan.

5. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hyperplasia, folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya atau neopalsma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut akan


12

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapendisitis bakteri,

dan ulserasi mukosa, pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang

ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.

Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding

apendiks yang diikuti dengan ganggren. Stadium ini disebut dengan

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi

apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local

yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan

menjadi abses dan menghilang.

Pada anak – anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan

daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.

Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan

pembuluh darah (Arif mansjoer, 2000).

6. Manifestasi klinik
13

Pada kasus apendisitis akut, biasanya gejala bermula dai nyeri

didaerah umbilicus atau penumbilikus yang biasanya disertai oleh demam

ringan, mual, muntah, dan hilangnya nafsu makna. Terdapat juga keluhan

konstipasi dan kadang – kadang terjadi diare. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan

beralih kekuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila

berjalan dan batuk (Arif Mansjoer, 2000).

Nyeri tekan local pada titik MC. Burney bila dilakukan tekanan, nyeri

tekan lepas ( hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan )

mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat

konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi

apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang spetum, nyeri dan nyeri tekan

dapat terasa didaerah lumbar, bila ujungnya ada pada pelvis, tanda – tanda ini

dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rectal. Nyeri pada defekasi

menunjukkan ujung apendiks, berada dekat rectum, nyeri pada saat berkemih

menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau

ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi.

Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah

kiri, yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa kuadran kanan

bawah. Apabila apendiks telah rupture, nyeri lebih menjadi lebih menyebar,

distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk (

Brunner dan Suddart 2002).


14

7. Komplikasi

Komplikasi utama apendiks adalah perforasi apendiks, yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses insidens perforasi adalah 10%

sampai 32 %. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan

suhu 37,7oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri tekan abdomen

yang kontinyu (Brunner dan Suddart , 2002).

8. Diagnostic test

Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan fisik lengkap dan tes

laboratorium dan sinar –X. hitung darah lengkap dilakukan dan akan

menunjukkan peningkatan jumlah darah putih. Jumlah leukosit mungkin lebih

besar dari 10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat menunjukkan

densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran udara terlokalisasi (Brunner

& Suddart, 2002).

9. Differensial diagnosis.

Diagnosis apendisitis yang klasik sekalipun sangat rumit, hal ini

disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak gangguan lain yang juga

memberikan gambaran klinis akut abdomen yang harus dibedakan dengan

apendisitis akut. Beberapa keadaan yang memiliki gambaran klinis

menyerupai apendisitis akut adalah :


15

a. Gastroenteritis.

Pada gastroenteritis, mual, muntah dan diare mendahului rasa

sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak terbatas tegas. Hiperperistaltik

sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan

dengan apendisitis akut.

b. Demam dengue

Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip dengan

peritonitis.

c. Limfadenitis

Limfadenitis mesentrika yang biasa didahului oleh enteritis atau

gastroenteritis ditandai nyeri perut, terutama kanan disertai dengan

perasaan mual, nyeri tekan perut sama terutama kanan.

d. Gangguan alat kelamin perempuan.

Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri

perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

e. Infeksi panggul.

Salfingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut,

suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut bagian

bawah lebih difus.


16

f. Kehamilan diluar kandungan.

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang

tidak menentu. Jika ada rupture tuba atau abortus kehamilan diluar rahim

dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus didaerah

pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

g. Kista ovarium terpuntir.

Timbul nyeri mendadak dengan instensitas yang tinggi dan teraba

massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal atau

colok rectal.

h. Endometriosis eksterna.

Endometrium diluar rahim, akan memberikan keluhan nyeri

ditempat endometriosis berada, dan darah terkumpul sewaktu menstruasi,

karena tidak ada jalan keluar.

i. Urolitis pielum / uretra kanan.

Batu uretra atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari

pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang

khas.

j. Penyakit lain.

Penyakit lain yang perlu diperkirakan adalah peradangan di perut

seperti divertikulitis meckel, perforasi tulak duodenum atau lambung,

kolesitisakut, pangreatitis, divertikulitis, kolon, obstruksi usus awal,


17

perforasi kolon, demam typoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel

apendiks (R. Sjamsuhidayat, 1997).

10. Penatalaksanaan.

a. Tindakan preoperative.

1). Menyiapkan pasien untuk pembedahan.

2). Infuse intravena digunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat

dan menggantikan cairan yang telah hilang.

3). Bila terjadi demam dapat diberikan aspirin untuk mengurangi

peningkatan suhu tubuh.

4). Terapi antibiotic dapat diberikan untuk mencegah infeksi.

5). Apabila terdapat bukti atau kemungkinan terjadi ileus paralitik dapat

dipasang selang nasogastrik. Edema tidak diberikan karena dapat

menimbulkan perforasi (Brunner dan Suddart, 2002).

b. Tindakan operatif.

Untuk mencapai apendiks ada 3 cara yang secara teknik operatif

mempunyai keuntungan dan kerugian :

1). Insisi menurut MC. Burney sayatan dilakukan pada garis tegak lurus

pada garis yang menghubungkan Spina illiaka anterior Superior

( SIAS ) dengan umbilicus pada batas seperti lateral (titik Mc.

Burney). Sayatan ini mengenai kutis, sub kutis, dan fasia. Baris

apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli. Tekhnik inilah

yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi


18

benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum

pada alat – alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah yang lebih

pendek karena penyembuhan lebih cepat, kerugianya adalah lapang

operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama, lapang

operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.

2). Insisi menurut roux ( muscle cuttingn incition ).

Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya

sayatan langsung menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan

arah serabut sampai tampak peritoneum. Keuntungannya, lapangan

operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah.

Kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat

dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah

sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah

lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri

pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang

terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama.

3). Insisi pararektal.

Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominis

dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm.

Keuntungannya, teknik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks

yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan

mudah. Sedangkan Kerugiannya, sayatan ini tidak secara langsung


19

mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan

pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi

diperlukan jahitan penunjang ( Arif Mansjoer, 2000 ).

Teknik apendiktomi Mc. Burney.

1) Pasien berbaring terlentang dalam anastesi umum atau regional,

kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada perut kanan

bawah.

2) Dibuat sayatan menurut Mc. Burney sepanjang kurang lebih 10 cm

dan otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah

serabutnya, berturut-turut M. Oblikus abdominis eksternus, M.

Abdominis internus, M. Transfersus Abdominis, sampai akhirnya

tampak pritoneum.

3) Pritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi.

4) Sekum beserta apendiks diluksasi keluar.

5) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa,

dari puncak kearah basis.

6) Semua perdarahan dirawat dengan ikatan dan jahitan.

7) Disiapkan jahitan kolor (kantong tembakau / tabac-sac ) mengelilingi

basis apendiks dengan sutra, basis apendiks kemudian dijahit dengan

catgut.

8) Dilakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.


20

9) Puntung apendiks diolesi betadin

10) Jahitan tabac-sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul

tersebut. Mesoapendiks diikat dengan sutra.

11) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat

didalamnya, semua perdarahan dirawat.

12) Sekum dikembalikan kedalam abdomen.

13) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan

didekatkan untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum ini dijahit

jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan.

14) Dinding perut ditutup / dijahit lapis demi lapis, fasia dengan sutra,

subkutis dengan catgut dan akhirnya kulit dengan sutra.

15) Luka operasi dibersihkan ditutup dengan kasa steril.

c. Tindakan Post Operatif.

Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan didalam, syok, hiperemi, dan gangguan pernafasan. Angkat

sonde lambung bila penderita telah sadar, sehingga aspirasi cairan

lambung dapat dicegah. Kemudian baringkan penderita dalam posisi

fowler. Penderita dapat dikatakan baik selama 12 jam dan tidak terjadi

gangguan.

Selama itu, penderita puasa. Bila tindakan operasi lebih besar,

yaitu pada perforasi atau peritonitis umum, maka puasa diteruskan sampai

fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai dengan 15


21

ml per jam selama 4 sampai 5 jam, lalu naikkan menjadi 30 ml per jam.

Keesokan harinya diberikan makanan saring. Hari berikutnya diberikan

makanan lunak.

Satu hari pasca bedah, penderita diajurkan untuk duduk tegak

ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua pasca bedah dapat berdiri.

Hari ketujuh pasca bedah hecting diangkat dan penderita boleh pulang

(Arif Mansjoer dkk, 2000).

d. Penyuluhan pasien – keluarga dan perencanaan pemulangan.

1). Obat – obatan, meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, tindakan

pencegahan, interaksi obat / obat dan makanan / obat, dan potensial

efek samping.

2). Perawatan insisi, termasuk pengantian balutan dan pembatasan mandi

tepat.

3). Indikator infeksi : Demam, menggigil nyeri insisi, kemerahan,

bengkak, dan drainase purulen.

4). Tindakan pencegahan terhadap aktivitas pasca bedah : menghindari

mengangkat benda yang berat ( > 4 kg ) selama 6 minggu pertama

atau sesuai dengan petunjuk, waspadalah terhadap dan istirahat setelah

gejala kelelehan, beristirahatlah semaksimal mungkin, meningkatkan

aktivitas secara bertahap sesuai dengan toleransi.


22

5). Pentingnya menghindari enema selama beberapa minggu pertama

pasca operasi ingatkan pasien tentang perlunya berkonsultasi dengan

dokter sebelum melakukan enema.

B. Konsep Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan

dalam praktik keperawatan, hal ini biasa juga disebut sebagai suatu pendekatan

problem solving yang memerlukan ilmu : teknik keterampilan interpersonal dan

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien / keluarga, yang terdiri dari lima

tahap yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang

berintegrasi terhadap suatu tindakan keperawatan ( Nursalam, 2001 ).

Langkah-langkah dalam proses keperawatan yaitu :

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan

suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber

data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan (Nursalam,

2000), dimana tahap pengkajian terdiri dari 3 bagian yaitu : pengumpulan

data, pengelompokan data, dan analisa data.

Sesuai dengan kasus klien, maka pengkajian yang dapat dilakukan

adalah :

a. Pengumpulan data
23

Pengumpulan data merupakan kegiatan untuk mengumpulkan

data-data atau informasi dari klien yang meliputi bio-psiko-sosial-spiritual

yang komprehensif dengan wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik

yang meliputi data-data sebagai berikut :

1). Biodata

a). Identitas klien meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, kawin /

belum kawin, agama, suku / bangsa,

pendidikan, pekerjaan, pendapatan

dan alamat.

b). Identitas penanggung : Nama penanggung, umur, jenis kelamin,

suku / bangsa, pendidikan, pekerjaan,

agama, hubungan dengan klien dan

alamat.

2). Keluhan utama

Keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan pengkajian.

Keluhan-keluhan yang lazim ditemukan yaitu : nyeri pada daerah

operasi.

3). Riwayat kesehatan

a). Riwayat kesehatan sekarang


24

Alasan klien masuk rumah sakit dan keadaan keluhan yang

dirasakan dapat dinilai dengan PQRST (P : Provokatif, Q :

Qualitatif, R : Radiasi / Regin, S : Skala, T : Time)

b). Riwayat kesehatan masa lalu

Untuk mengetahui keadaan klien masa lalu apakah pernah

dirawat di rumah sakit dan dioperasi dan apakah pernah menderita

penyakit yang sama sebelumnya dan kejadiannya berulang.

c). Riwayat kesehatan keluarga

Memberikan informasi ada tidaknya anggota keluarga

yang menderita penyakit yang sama dengan klien.

4). Riwayat psikososial

a). Pola konsep diri : Pandangan klien terhadap keadaannya.

b). Pola kognitif : Pengetahuan klien terhadap penyakit yang

dideritanya.

c). Pola koping : Menyangkut hal-hal yang dilakukan klien

atau keluarga dalam menangani masalahnya.

d). Pola interaksi : Menggambarkan hubungan klien dengan

keluarga, orang lain, perawat, dan tenaga

kesehatan lainnya.

5). Riwayat spiritual


25

Menggambarkan bagaimana ketaatan klien dalam menjalankan

ibadah sesuai dengan keyakinannya, bagaimana dukungan keluarga,

ritual atau acara keagamaan yang biasa dijalankan klien.

6). Pemeriksaan fisik

Teknis yang dipergunakan dalam pemeriksaan fisik ada 4 yaitu:

a ). Inspeksi, merupakan proses observasi dengan mengguna kan mata,

inspeksi dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang

berhubungan status fisik.

b ). Palpasi, dilakukan menggunakan sentuhan atau rabaan. Metode ini

dikerjakan untuk mendeterminasi jaringan atau organ.

c ). Perkusi adalah metode pemeriksaan dengan cara mengetuk, tujuan

perkusi adalah untuk menentukan batas – batas organ atau bagian

tubuh.

d ). Auskultasi merupakan metode pengkajian yang menggunakan

stetoskop untuk menjelaskan pendengaran terhadap bunyi jantung,

paru – paru, bunyi usus.

Pendekatan pengkajian fisik yang dilakukan yaitu Head to Toe yang

terdiri dari :

a ). Keadaan umum klien, diantaranya :

(1). Keadaan klien : Apakah keadaan klien lemah atau

sedang.
26

(2). Kesadaran : Apakah keadaan klien dalam keadaan

compos mentis, apatis, sopor, coma.

(3). Tanda–tanda vital : Tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan

b ). Keadaan kulit.

(1).Bagaimana keadaan turgor kulit, warna kulit.

(2).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

(3).Bagaimana keadaan tekstur kulit.

(4).Apakah teraba adanya lesi

c ). Kepala

(1).Apakah penyebaran rambut merata.

(2).Bagaimana kebersihan rambut.

(3).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

d ). Wajah / muka

(1).Apakah bentuk wajah simetris.

(2).Bagaimana keadaan ekspresi wajah.

(3).Apakah ada tanda – tanda peradangan atau pergerakan

abnormal.

(4).Apakah teraba benjolan atau nyeri tekan.

e ). Mata

(1).Apakah bentuk mata simetris kiri dan kanan.

(2).Bagaimana keadaan sklera, konjungtiva.

(3).Bagaimana keadaan pupil.


27

(4).Apakah ada nyeri tekan.

(5).Bagaimana pergerakan mata

(6).Bagaimana ketajaman penglihatan

f ). Hidung

(1).Apakah hidung simetris kiri dan kanan.

(2).Apakah ada tanda – tanda peradangan.

(3).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

g ). Telinga

(1).Bagaimana keadaan hidung.

(2).Apakah ada tanda – tanda peradangan.

(3).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

h ). Mulut

(1).Bagaimana keadaan mulut, gigi, bibir dan lidah.

(2).Apakah ada tanda – tanda peradangan.

(3).Apakah ada nyeri tekan.

i ). Leher.

(1).Apakah ada pembesaran pada kelenjer limfe dan vena

jugularis.

(2).Apakah teraba pembesaran pada kelenjar limfe dan vena

jugularis

j ). Thorax
28

(1).Bagaimana bentuk, irama, frekuensi pernapasan.

(2).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

(3).Apakah terdengar bunyi nafas tambahan.

k ). Jantung

(1).Bagaimana keadaan ictuscordis.

(2).Apakah ada nyeri tekan.

(3).Apakah ada bunyi jantung tambahan.

(4).Apakah jantung pada batas – batas normal.

l ). Abdomen

(1).Apakah ada pembesaran abdomen.

(2).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

(3).Bagaimana bunyi peristaltik.

m ). Genetalia dan anus.

(1).Bagaimana keadaan genetalia dan anus.

(2).Apakah ada nyeri tekan atau teraba ada massa.

n ). Ekstremitas

(1).Bagaimana kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah.

(2).Bagaimana ROM ekstremitas atas dan bawah.

(3).Apakah ada nyeri tekan.

o ). Status neurologis

(1).Bagaimana fungsi saraf – saraf cranial.

(2).Bagaimana keadaan mentasi klien.


29

(3).Bagaimana refleks – refleks klien.

(4).Bagaimana keadaan sensasi klien.

7). Aktivitas sehari-hari.

Menyangkut perubahan pola yang berhubungan dengan

penyimpangan atau terganggunya kebutuhan dasar klien yang

meliputi : nutrisi, cairan, eliminasi (BAB dan BAK), kebutuhan

istirahat tidur, personal hygiene, olahraga, rekreasi, dan apakah ada

riwayat ketergantungan obat-obat terlarang.

b. Pengelompokan data

Setelah mengkaji status kesehatan klien, maka data dikumpulkan

secara akurat dan sistematis yang diklasifikasikan menjadi 2 macam :

1). Data subjektif.

Data subjektif adalah : Data yang didapatkan dari klien sebagai

suatu pendapat terhadap suatu situasi dan

kejadian (Nursalam, 2000).

2). Data objektif.

Data objektif adalah : Data yang dapat diobservasi dan diukur

(Nursalam, 2000).

Berdasarkan pemahaman secara garis besar akan gambaran klinis

yang sering ditemukan pada klien apendisitis, maka dapat dikelompokkan

data objektif dan subjektif sebagai berikut :

a). Data subjektif


30

Klien mengeluh nyeri pada pasca operasi, tidak dapat tidur,

mual, muntah.

b). Data objektif

Ekspresi wajah meringis, wajah kusut, turgor kulit jelek, dan

luka pasca operasi.

c. Analisa data

Setelah data dikelompokkan data menurut subjektifitas dan

objektifitas maka dilakukan pengindentifikasian masalah keperawatan

klien dan merumuskannya. Umumnya sejumlah masalah klien saling

berhubungan dan dapat digambarkan dengan jelas melalui analisa data

yang terdiri dari 3 komponen yaitu : data, etiologi (penyebab), dan

masalah (problem).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu,

keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan, proses kehidupan,

potensia, atau aktual (Lynda Juall Carpenito, 2000). Diagnosa keperawatan

memberikan dasar untuk mencapai hasil dimana perawat bertanggung gugat

(Nanda, 1990).

Adapun diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada kasus Post

Operasi Apendisitis (Dounges M.E., 2002) adalah sebagai berikut :

a Nyeri berhubungan dengan luka operasi.

b Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri.


31

c Risiko defisit volume cairan elektrolit tubuh berhubungan dengan mual

atau muntah.

d Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.

e Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang

kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan.

3. Perencanaan

Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah

atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnosa

keperawatan. Tahap ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan

dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam, 2000).

Dalam perencanaan terdiri dari tujuan, intervensi, dan rasional.

a Tujuan

Tujuan harus berdasarkan masalah atau diagnosa keperawatan

yang telah dirumuskan, merupakan hasil yang ingin dicapai, harus

objektif, menyediakan 0kriteria hasil sebagai pengulangan atau evaluasi

hasil keperawatan, serta menjadi pedoman dari perencanaan tindakan

keperawatan.

b Rencana tindakan / intervensi

Rencana tindakan adalah desain spesifik untuk membantu klien

dalam mencapai kriteria hasil atau merupakan suatu tindakan langsung

kepada klien yang dilaksanakan oleh perawat. Yang perlu diperhatikan

dalam menuliskan rencana tindakan yaitu :


32

1). Harus berupa kalimat instruksi.

2). Berfungsi untuk menjelaskan asuhan keperawatan yang dilakukan.

3). Kalimatnya dibuat secara ringkas dan jelas.

c Rasional

Rasional adalah memberikan gambaran tentang tindakan yang

dilakukan itu dapat diterima.

Pada masalah Post Apendisitis perencanaan yang disusun sesuai

dengan beberapa diagnosa keperawatan yang diuraikan sebelumnya (Marylin

E.Doengoes, 2002 ), adalah sebagai berikut :

a. Diagnosa I

Nyeri berhubungan dengan luka operasi.

Tujuan : Klien akan melaporkan nyeri berkurang / hilang dengan

kriteria

 Ekspresi wajah tidak meringis.

 Klien tidak mengeluh nyeri

 Skala nyeri 0
33

Tabel 1 : Nyeri berhubungan dengan luka operasi


INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji nyeri, catat lokasi, 1. Berguna dalam pengawas an
karakteristik, beratnya (skala 0- keefektifan obat, kemajuan
5), dan laporkan perubahan nyeri penyembuhan. Perubahan
dengan tepat. pada karak- teristik nyeri
menunjukkan terjadiya abses /
peritonitis, memerlukan
upaya evaluasi medik dan
intervensi.
2. Meningkatkan relaksasi dan
meningkatkan ke- mampuan
2. Berikan tindakan kenyaman- an, koping pasien dengan
contoh pijatan punggung, nafas memfokuskan kembali
dalam, latihan relaksasi. perhatian.
3. Beri posisi nyaman sesuai 3. Posisi yang nyaman dapat
dengan kebutuhan. mengalihkan perhatian klien
sehingga nyeri tidak
dirasakan.
4. Dorong Ambulasi dini. 4. Meningkatkan normalisasi
organ, contoh merangsang
peristaltik dan kelancaran
platus, menurunkan
ketidaknyamanan abdomen.
5. Respon autonomik meliputi
5. Pantau tanda-tanda vital (Tensi, perubahan pada TD, nadi, dan
Nadi, Suhu, Pernapasan). pernafasan yang berhubungan
dengan keluhan / penghilang
nyeri. Abnormalitas tanda-
tanda vital terus menerus
memerlukan evaluasi lanjut.
6. Analgetik dapat menstimulasi
nyeri di hipothalamus
sehingga nyeri berkurang.
6. Kolaborasi pemberian analgetik.
Sumber : Data Sekunder

b. Diagnosa II

Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri.


34

Tujuan : Kebutuhan tidur klien akan terpenuhi dengan kriteria :

 Klien dapat tidur nyenyak

 Jumlah tidur 6 – 8 jam


Tabel 2 : Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan nyeri
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kebiasaan tidur klien dan 1. Mengetahui sejauh mana
perubahan yang terjadi. gangguan tidur yang belum
terpenuhi dan membantu dalam
pemberian intervensi selanjunya.
2. Meningkatkan kenyamanan tidur
2. Berikan tempat tidur yang serta dukungan fisiologis /
nyaman dan beberapa milik psikologis.
pribadi
3. Susu mempunyai kualitas
3. Berikan tindakan kenyaman an suporofik, meningkatkan sintetis
menjelang tidur, misalnya minum serotinin, neurotran- smitter yang
segelas susu hangat, massage. membantu pasien tertidur dan
tidur lebih lama, meningkatkan
efek relaksasi.
4. Dorong posisi yang nyaman, 4. Perubahan posisi mengubah area
bantu dalam mengubah posisi. tekanan dan meningkat- kan
5. Anjurkan klien mengurangi relaksasi.
jumlah minum pada sore hari dan 5. Menurunkan kebutuhan akan
berkemih sebelum tidur. bangun untuk pergi kekamar
mandi / berkemih selama malam
hari.
6. Anjurkan klien berhenti
beraktivitas beberapa jam 6. Aktivitas yang dekat dengan
sebelum tidur. waktu tidur dapat bertindak
sebagai stimulan yang mem-
7. Ciptakan lingkungan yang tenang
perlambat tidur.
dengan mengurangi kebisingan
dan lampu.
Sumber : Data Sekunder 7. Memberikan situasi kondusif
untuk tidur.
c. Diagnosa III

c. Diagnosa III

Risiko defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan mual /

muntah .
35

Tujuan : Klien akan melaporkan defisit volume cairan tidak akan

terjadi dengan kriteria :

 Turgor kulit baik

 Mata tidak cekung

Tabel 3 : Risiko defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan


mual / muntah .
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji dan pantau tanda-tanda 1. Tanda - tanda vital mem-
vital. bantu mengidentifikasi
fluktuasi volume
intravaskuler.
2. Kaji, pantau, dan catat intake dan 2. Penurunan keluaran urine
output cairan secara teliti, pekat dengan peningkatan
termasuk urine, catat warna berat jenis diduga dehidrasi /
urine, konsistensi dan berat jenis. kebutuhan peningkatan
3. Kaji, pantau bising usus, catat cairan.
kelancaran flatus, gerakan usus
3. Adanya gerakan usus
merupakan indikator terjadi
nya peristaltik sehingga
4. Kaji, pantau, membran mukosa, kesiapan untuk pemasu- kan
turgor kulit dan pengisian melalui ora
kapiler. 4. Turgor kulit, dan membran
mukosa merupakan indikasi
status hidrasi serta
keadekuatan sirkulasi perifer.
5. Berikan cairan peroral dan
parenteral. 5. Dapat menurunkan irigasi
gaster / muntah untuk
meminimalkan kehilangan
cairan
Sumber : Data Sekunder

d. Diagnosa IV

Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.


36

Tujuan : Klien akan melaporkan infeksi tidak akan terjadi

dengan kriteria :

 Tidak ada tanda-tanda radang (infeksi) seperti

rubor, kolor, dolor.

 Luka sembuh dengan baik (luka kering)

 Suhu tubuh dalam batas normal (36 – 37 °C)

Tabel 4 : Risiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi


INTERVENSI RASIONAL
1. Cuci tangan sebelum dan 1. Menurunkan jumlah bakteri
sesudah melakukan tindak- an. pada tangan dan mencegah
2. Bekerja steril dalam kontaminasi area luka
melakukan GV (Ganti 2. Mencegah terjadinya pe-
Verband) nyebaran dan kontaminasi
3. Ganti Verband setiap hari kuman penyebab infeksi.
3. Penyembuhan luka dengan
proses primer memerlukan
verband untuk melindungi dari
kontaminasi sampai tepi luka
4. Observasi TTV (Tensi, Nadi, tertutup.
Suhu, Pernapasan). 4. Peningkatan TTV memberi
indikasi terjadinya penyebar- an
infeksi.
5. Kolaborasi pengambilan cairan 5. Pemeriksaan kultur pewarna- an
dari drainage bila gram dan sensitivitas sangat
diindikasikan. berguna untuk meng-identifikasi
organisme pe- nyebab dan
pilihan intervensi
6. Kolaborasi pemberian obat- 6. Memungkinkan menurunnya
obat antibiotik sesuai indikasi jumlah organisme terutama pada
infeksi yang telah ada
sebelumnya sehingga me-
nurunkan penyebaran infeksi.
Sumber : Data Sekunder

e. Diagnosa V
37

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi

tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan

Tujuan : Klien akan melaporkan pemahaman tentang proses

penyakit, pengobatan, dan potensial komplikasi dengan

kriteria :

 Berpartisipasi dalam program pengobatan

Tabel 5 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi


tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji ulang pembatasan aktivitas 1. Memberikan informasi ke-
pasca operasi, contoh pada pasien untuk meren-
mengangkat berat, olah raga. canakan kembali rutinitas
biasa tanpa menimbulkan
masalah.

2. Dorong aktivitas sesuai toleransi


dengan periode istirahat 2. Mencegah kelemahan, me
peroidik. ningkatan penyembuhan dan
perasaan sehat dan
mempermudah kembali ke
3. Diskusikan perawatan insisi aktivitas normal.
termasuk mengganti balutan, 3. Pemahaman meningkat- kan
pembatasan mandi, dan kembali kerja sama dengan program
kedokter untuk mengangkat terapi, meningkat kan
jahitan. penyembuhan dan proses
perbaikan

4. Identifikasi gejala yang


memerlukan evaluasi medik, 4. Upaya peritonitis menurun
contoh peningkatan nyeri, kan risiko, komplikasi serius,
eritema luka, adanya drainase, contohnya lambat nya
demam. penyembuhan, peritonitis
Sumber : Data Sekunder

4. Pelaksanaan (Implementasi)
38

Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah

disusun untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional. Fokus tahap

pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan pelaksanaan tindakan dari

perencanaan yang meliputi tindakan :

a. Independen (tindakan mandiri)

b. Interdependen (Kolaborasi)

c. Dependen (Rujukan)

Pada klien dengan kasus apendisitis, rencana tindakan keperawatan

pada tahap pelaksanaan mencakup :

a. Anamese dan pemeriksaan fisik

b. Observasi tanda-tanda vital

c. Mengobservasi tanda-tanda infeksi.

d. Mengkaji fakor yang dapat memperberat dan meringankan masalah yang

dihadapi klien termasuk nyeri.

e. Membantu memenuhi kebutuhan klien.

f. Mengkaji kemampuan klien beraktivitas.

g. Memberikan informasi tentang proses penyakit, penularan, dan prosedur

tindakan yang diberikan.

h. Melaksanakan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi

pengobatan.

5. Evaluasi
39

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan sejauh mana diagnosa keperawatan, rencana

tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Melalui evaluasi

memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama

tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan.

Adapun hasil evaluasi yang diharapkan dari tindakan keperawatan yang

dilaksanakan adalah :

a. Gangguan rasa nyeri teratasi.

b. Kebutuhan tidur terpenuhi.

c. Risiko infeksi tidak terjadi.

d. Risiko defisit cairan tidak terjadi

e. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai