Anda di halaman 1dari 8

PENERAPAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM

TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA PASIEN PASCA


APENDIKTOMI

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Pada kehidupan modern sekarang ini, banyak manusia yang selalu ingin melakukan
aktivitasnya secepat mungkin, terutama dalam segi makanan. Kebanyakan orang
mengkonsumsi makanan cepat saji karena berbagai macam kesibukan dan mencari
kepraktisan, serta kelezatan dari makanan cepat saji yang ditawarkan. Ada juga yang
mengkonsumsi makanan yang dapat menimbulkan permasalahan seperti makanan rendah
serat, cabai, dan jambu biji. Bagi orang yang menjadikan makanan tersebut sebagai makanan
favorit, mereka tidak peduli dengan dampak yang dihasilkan. Sehingga banyak dari mereka
mengkonsumsi makanan tersebut secara berlebih, akibatnya dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit, salah satunya adalah apendisitis (Ulya, 2017)
Penyakit apendisitis ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan,
tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Prima perdana, 2015). Penyakit
apendisitis merupakan penyebab sakit perut yang parah didunia yang berhubungan nyeri
setelah operasi(Kriistanti, 2017)
Angka Kejadian appendisitis cukup tinggi di negara Indonesia. Apendisitis merupakan
penyakit urutan ke empat setelah dyspepsia, gastritis, duodenitis dan sistem cerna lainnya.
Setiap tahun Appendisitis menyerang 10 juta penduduk Indonesia dan saat ini morbiditas
angka appendicitis di Indonesia mencapai 95/1000 penduduk dan angka ini merupakan
tertinggi diantara Negara - Negara Assosiation South East Asian Nation (ASEAN). (Amir and
Nuraeni, 2018)
Menurut WHO (2009) pasien laparatomi setiap tahunnya meningkat 15%. Sedangkan
menurut Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010,
tindakan bedah laparatomi mencapai 32% dengan menempati urutan ke 11 dari 50 pertama
pola penyakit di rumah sakit se-Indonesia. Laporan Departemen Kesehatan (Depkes)
mengenai kejadian laparatomi meningkat dari 162 pada pada tahun 2007 menjadi 983 kasus
pada tahun 2008 dan 1.281 kasus pada tahun 2009, tindakan bedah menempati urutan ke 11
dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan presentase 12,8% yang
diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi

Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindakan pembedahan segera untuk


mencegah terjadinya kompilkasi berbahaya (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Apendiktomi
merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan segera mungkin
untuk mengurangi risiko perforasi (Brunner & Suddarth, 2001). Apendisitis yang tidak
tertangani segera maka dapat terjadi perforasi dan diperlukan tindakan operasi laparatomi.
Tindakan pasca bedah untuk mengatasi masalah apendisitis tentunya dapat menimbulkan
masalah keperawatan lainnya(Keperawatan and Ners, 2013)

Salah satu upaya non farmakologis untuk mengatasi nyeri adalah teknik relaksasi.
Teknik relaksasi terbagi atas 4 macam yaitu relaksasi otot (progressive muscle relaxation),
pernafasan (diaphragmatic breathing), meditasi (attentionfocusing exercise) dan relaksasi
prilaku (behavioral relaxation). Kelebihan latihan teknik relaksasi dibandingkan dengan
teknik lain adalah teknik relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan dalam kondisi apapun serta
tidak memiliki efek samping apapun(Manurung, Manurung and Sigian, 2019)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengambil judu “pengaruh
teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca apendiktomi”

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut “bagaimana pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan skala
nyeri pada pasien pasca apendiktomi
3. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan penerapan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi apendiktomi
2. Tujuan Khusus
a. Teridentifikasinya hasil penerapan teknik relaksasi nafas dalam untuk
b. Teridentifikasinya perbedaan faktor tingkat nyeri pada dua pasien dengan
teknik relaksasi nafas dalam untuk pemenuhan kebutuhan rasa aman nyaman
4. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Menambah wawasan, pengetahuan, serta bahan kajian mahasiswa tentang penerapan teknik
relaksasi nafas dalam untuk menurunkan nyeri post operasi apendiktomi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Hasil penerapan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi rumah sakit dalam
menetapkan kebijakan-kebijakan untuk pasien post operasi apendiktomi dan meningkatkan
pelayanan kesehatan, khususnya dalam menangani pasien yang mengalami nyeri post operasi,
serta dapat membentuk citra baik di masyarakat karena pasien merasa diperhatikan dan
kebutuhan rasa aman dan nyaman terpenuhi sehingga pada akhirnya pasien merasa puas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tindakan operasi (appendiktomi) merupakan suatu ancaman potensial atau actual kepada
integritas seseorang baik bio-psiko-sosial yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Rasa
nyeri tersebut biasanya timbul setelah operasi. Nyeri merupakan sensasi objektif, rasa yang
tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan actual dan potensial. Untuk
menurunkan rasa nyeri pada pasien post appendiktomi, maka perlu dilakukan beberapa terapi
seperti relaksasi nafas dalam. relaksasi nafas dalam juga sangat bermanfaat bagi pasien untuk
mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaks dan juga dapat
meningkatkan kualitas tidur. Pasien diletakkan dalam posisi duduk untuk memberikan
ekspansi paru yang maksimum dan memudahkan latihan nafas dalam beberapa kali, pasien
diinstruksikan untuk bernafas dalam-dalam dan menghembuskan melalui mulut. (Wirya and
Sari, 2013)

Penanganan standar apendisitis didunia adalah operasi pengangkatan apendiks yang


disebut apendektomi dan dilakukan laparotomi jika sudah terjadi perforasi. (C.s and Sabir,
2016) Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang meradang. Jadi
post operasi appendektomi adalah masa dimana klien telah mengalami operasi pengangkatan.
(Haflah, 2014)

Selain penanganan secara farmakologi, cara lain adalah dengan manajemen nyeri non
farmakologi dengan melakukan teknik relaksasi, suatu bentuk asuhan keperawatan, yang
dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam,
nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas
secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenisasi darah. (Yusrizala, Zarni
Zamzaharb, 2012)

Relaksasi adalah suatu tindakan untuk “membebaskan” mental dan fisik dari ketegangan
dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri. (Haflah, 2014) Teknik
relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress
fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi dapat digunakan saat indvidu dalam kondisi sehat
atau sakit. Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan untuk membantu tubuh
segar kembali. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil
yang optimal, klien yang telah mengetahui teknik ini mungkin hanya perlu diinstruksikan
menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri.
(Haflah, 2014)

Apendisitis merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor


pencetusnya, namun sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
pencetus disamping hyperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat
menyebabkan sumbatan .(Arifuddin, Salmawati and Prasetyo, 2017) Apendisitis adalah
peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut
yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini
dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu yang
sebenarnya adalah sekum.(Aleq Sander, 2011)

Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering
ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya obstruksi lumen yang berlanjut
kerusakan dinding apendiks dan pembentukan abses. (C.s and Sabir, 2016) Apendisitis akut
dapat terjadi pada setiap umur, sering pada usia dewasa dan dewasa muda, serta laki-laki (7%)
lebih sering daripada perempuan. Pada awalnya apendisitis akut terjadi karena peningkatan
tekanan intraluminal yang mengganggu aliran vena. Pada 50-80% kasus dihubungkan dengan
obstruksi lumen apendiks, dan biasanya disebabkan karena massa dari kotoran yang
menyerupai batu kecil yang disebut batu tinja (fekolit). (Lintong and Tambajong, 1991)
Apendisitis bisa terjadi pada semua usia namun jarang terjadi pada usia dewasa akhir dan
balita, kejadian apendisitis ini meningkat pada usia remaja dan dewasa. (Arifuddin, Salmawati
and Prasetyo, 2017) Apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, namun yang paling sering
terjadi pada usia dewasa dan remaja muda. Laki-laki lebih sering terkena apendisitis dari pada
wanita dan remaja, lebih sering pada orang dewasa. Meskipun apendisitis dapat terjadi pada
semua usia, apendisitis paling sering terjadi pada usia 10 – 30 tahun. (Haflah, 2014)

Dalam bentuk tanda dan gejala fisik, apendisitis adalah suatu penyakit prototipe yang
berlanjut melalui peradangan, obstruksi dan iskemia dalam jangka waktu yang bervariasi.
Gejala awal apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilicus. Gejala ini
umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran
kanan bawah dengan disertai oleh anoreksia, mual dan muntah. Dapat juga tidak terjadi nyeri
tekan disekitar titik Mc Burney. Kemudian timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Apabila
terjadi rupture pada apendiks, tanda perforasi dapat berupa nyeri, nyeri tekan dan spasme.
(September, Thomas and Tangkilisan, 2016)

Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
yang akan menetap dan diperberat bila berjalan. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise,
dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang
terjadi diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan
abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin
progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri
maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi
nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda rovsing, psoas, dan obturator
positif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis. (Yusrizala, Zarni Zamzaharb, 2012)

Apendisitis lebih cenderung disebabkan oleh jenis makanan yang kurang serat, yang
dikonsumsi yang terkandung banyak dari jenis makanan karbohidrat. Oleh karena itu, untuk
memenuhi beberapa fungsi tersebut, setiap harus makan makanan yang bergizi dan berserat
tinggi. Makanan yang bergizi yaitu makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh
tubuh. Peranan kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya penyakit Apendisitis. Tinja yang keras dapat menimbulkan terjadinya
konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan
fungsional Apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya Apendisitis. Diet memainkan peran utama dalam pembentukan sifat
feses, yang mana penting dalam pembentukan fekalit. (Sirma, Haskas and Darwis, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Aleq Sander, M. (2011) ‘Apendisitis Akut: Bagaimana Seharusnya Dokter Umum Dan Perawat
Dapat Mengenali Tanda Dan Gejala Lebih Dini Penyakit Ini ?’, Jurnal Keperawatan. doi:
10.22219/jk.v2i1.479.

Amir, N. D. and Nuraeni, P. (2018) ‘Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Intensitas
Nyeri Pada Pasien Post Operatif Appendictomy di Ruang Nyi Ageng Serang RSUD
Sekarwangi’, Jurnal Keperawatan, 1(2), pp. 107–118.

Arifuddin, A., Salmawati, L. and Prasetyo, A. (2017) ‘Faktor Resiko Kejadian Apendisitis di
Bagian Rawat Inap RSU Anutapura Palu 2017’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), pp. 26–33.
Available at: http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Preventif/article/view/8344.

C.s, W. and Sabir, M. (2016) ‘Perbandingan Antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit, dan Platelet
Distribution Width (PDW) Pada Apendisitis Akut dan Perforasi’, Jurnal Kesehatan Tadulako,
2(2), pp. 24–32.

Haflah, N. (2014) ‘HUBUNGAN MOTIVASI KLIEN DAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS


DALAM DENGAN INTENSITAS NYERI PADA KLIEN POST OPERASI APENDEKTOMI
DI RSUD. Dr. R.M.DJOELHAM KOTA BINJAI Nurul’, VII(2), pp. 69–78.

Keperawatan, F. I. and Ners, P. P. (2013) Analisis praktik.., Kurniasih, FIK UI, 2013.

Kriistanti, N. (2017) ‘Upaya penurunan nyeri pada pasien dengan post appendisitis’, Ilmu
Kesehatan, pp. 1–21.

Lintong, P. M. and Tambajong, E. H. (1991) ‘ET CAUSA BLASTOCYSTIS HOMINIS’, pp.


111–117.

Manurung, M., Manurung, T. and Sigian, P. (2019) ‘Skala nyeri post appendixtomy di RSUD
Porsea’, Priority, Jurnal Keperawatan, 2(2), pp. 61–69.

September, O., Thomas, G. A. and Tangkilisan, A. (2016) ‘Angka kejadian apendisitis di RSUP
Prof . Dr . R . D . Kandou Manado’, 4(September 2015).

Sirma, F., Haskas, Y. and Darwis (2013) ‘Faktor risiko kejadian apendisitis di rumah sakit umum
daerah kab. pangkep’, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013 ● ISSN : 2302-1721, 2, pp. 1–8.
Ulya, N. K. (2017) ‘Pengaruh Terapi Guided Imagery Dan Iringan Musik Terhadap Penurunan
Nyeri Pada Pasien Dengan’, 4(2), pp. 76–91.

Wirya, I. and Sari, M. (2013) ‘Pengaruh pemberian masase punggung dan teknik relaksasi nafas
dalam terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post appendiktomi di zaal C RS’, Jurnal
Keperawatan HKBP Balige, I(1). Available at: http://www.akperhkbp.ac.id/wp-
content/uploads/2013/07/Jurnal-Keperawatan-Akper-HKBP-Balige-Vol-1-No-1.pdf#page=95.

Yusrizala, Zarni Zamzaharb, E. A. (2012) ‘Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Masase
Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pasien Pasca’, 000.

Anda mungkin juga menyukai