Anda di halaman 1dari 54

KEGAWATDARURATAN KASUS : MENABRAK JEMBATAN

Pada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang diduga mengalami cedera kepala.
Hal ini dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar darah dari mulut, hidung dan
telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita hindari pada kejadian trauma
kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani dengan segera maka dapat muncul
manifestasi dari cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan primary survey berupa
pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary survey, dan secondary survey.

Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia merupakan pembunuh


utama penderita gawat darurat dan paling cepat disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga
penilaian dan pengelolaan jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu
pencegahan hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,
ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.

Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang disebabkan karena
muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada keadaan penurunan kesadaran akan
terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal
lidah akan jatuh ke posterior menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan
napas dan pada kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran).
Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu dengan
melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman dilakukan pada
penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical). Pemasangan collar brace dilakukan
untuk imobilisasi kepala dan leher pasien.

Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang ditandai dengan suara
napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Pembebasan jalan napas dilakukan dengan cara
suction, dan pada kasus ini digunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk
menghisap darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di orofaring
sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle
crycothyroidotomi.

Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan usaha untuk
mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa pemasangan intubasi endotrakeal.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan
mencegah terjadinya aspirasi. Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan
monitoring. Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien
ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin memburuk dengan
terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu pada pneumothoraxnya.

Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan. Frekuensi
pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit. Pernapasan dikatakan abnormal
jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per menit atau jika kurang dari 10 kali menit.
Abnormalitas dari pernapasan ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain
adalah gangguan pada ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan
pasien sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit. Kemungkinan
besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada pasien.

Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini perlu diperhatikan
karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada permukaan dari dinding dada saja, tetapi
dapat juga mencederai organ vital di dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya
pengembangan yang tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax
sinistra. Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di dalam organ paru itu
sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau menjadi redup, menandakan bahwa
jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang kemungkinan besar berupa darah. Pemeriksaan foto
thorax diperlukan untuk mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa ataupun memastikan
adanya hematothorax pada pasien ini.
Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami peningkatan yaitu 108
kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami takikardi karena sudah melebihi 100 kali per
menit. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena perfusi oksigen yang menurun di
jaringan akibat terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan ventilasi maupun akibat kehilangan
darah akibat perdarahan aktif pada pasien. Peningkatan denyut nadi tersebut merupakan
kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan agar tetap adekuat. Meskipun terjadi
takikardi dan terdapat perdarahan aktif, pasien belum masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat
dilihat dari tekanan darah dan perfusi jaringan perifer pada pasien(dilihat dari akral) yang masih
normal.

Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin untuk mencegah
pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi metabolik yang mengiringinya.
Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh dokter pada kasus ini merupakan golongan
kristaloid yang mirip dengan cairan ekstraseluler. Cairan ini mempunyai kadar-kadar fisiologis
sesudah infus, setelah terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat tidak
memperberat asidosis laktat dan sejumlah volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan
transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat
berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam
laktat melalui siklus Krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik.
Pemberian RL sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan yang sering dipakai.
Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien, dipasang kateter urin. Pemasangan
kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan
minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila kurang menunjukkan adanya hipovolemia.

Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera kepala berat.
Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8. Cedera kepala primer dapat
berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario ini, kemungkinan besar mengalami fraktur
basis cranii dan fraktur maksilofacial. Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya
halo test + yang merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan.
Selain itu juga terdapat perdarahan dari telinga, dan hidung. Perdarahan dari telinga,
kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari hidung akibat
fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et sinistra juga merupakan tanda
fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari
hidung dan telinga. Pada pasien ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka
dapat disimpulkan fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya
deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi yang terjadi
merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan fraktur maksila dan mandibula.

Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen yang bersifat
neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium intrasel, dan
pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran
neuron, sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan , tidak
teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya kejang pada pasien tersebut. Untuk
mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran
sehingga terjadi peningkatan penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi
mitokondria yang menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan
asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma.

Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya, dan
hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda
neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala. Pupil anisokor merupakan tanda khas
adanya hematom epidural, dan pada kasus ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada
daerah temporoparietal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial
yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Pada hematom epidural, perdarahan
terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Epidural hematom merupakan keadaan
neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang
memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang ke dalam ruang
epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan
berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang arteri meningea
media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi sangat cepat. Hematoma yang
membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah
dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik
pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral yang ditunjukkan oleh
adanya hemiparesis dekstra pada kasus ini. Pasien tidak mengalami lucid interval karena pada
epidural hematoma dengan trauma primer berat, pasien langsung tidak sadarkan diri.

Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang pusat muntah
yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar ventrikel keempat, dan secara
anatomis berada di dekat pusat salivasi dan pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari
korteks serebral, organ vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan
simpatis) dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui serabut
motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas
dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan
yang dalam, penutupan glottis, pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior,
kemudian kontraksi yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua
otot abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu
tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian diikuti dengan relaksasi otot
sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini
menyebabkan pada pasien terdapat gejala muntah.

Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat menghasilkan
berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan astrosit di permukaan
leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin
1-, tumor nekrosis alfa, interleukin 6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin.
Ekspresi toksik mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke
mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh PMN yang
bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas sitokin ini menyebabkan
berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara lain: pireksia, netrofilia, dan edema
serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan
pemberian manitol bolus 200 cc iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotic yang
digunakan untuk menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat
berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya.
Dari hasil secondary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa hematothorax.
Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura . Pengembangan dinding dada pada
hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons
hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Gerakan pernapasan
normal mungkin terhambat oleh efek akumulasi darah dalam rongga pleura.
Terdapatnya angulasi, edema, dan krepitasi pada femur dekstra mengindikasikan
terjadinya fraktur femur dektra pasien. Fraktur femur yang paling sering terjadi akibat adanya
trauma kecelakaan adalah fraktur batang femur. Adanya vulnus apertum sepanjang 3 cm dan fat
globul yang positif menunjukkan bahwa fraktur batang femur yang terjadi pada pasien kasus ini
merupakan fraktur yang bersifat terbuka derajat III, yaitu lukanya lebih luas dari derajat II, lebih
kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah). Perdarahan aktif
yang terjadi harus dikoreksi dengan baik agar penanganan yang optimal dapat dilakukan jika
fraktur mengenai arteri femoralis sehingga mengganggu status sirkulasi pasien. Penatalaksanaan
yang dilakukan oleh dokter, yaitu dengan melakukan bebat tekan realignmen femur dan
imobilisasi sudah tepat. Kemudian pasien dirujuk ke Trauma Center karena pasien mengalami
multitrauma dan memerlukan penanganan secara intensif.
1 BAB II KEGAWATAN PADA AIRWAY, BREATHING, CIRCULATION, DISSABILITY 2.1
Kegawatan Airway (Jalan Napas) Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak
dan organ vital lainnya merupakan penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab
itu pencegahan kekurangan oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan napas
yang terjaga bebas dan stabil, ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang normal (tidak shock)
menempati prioritas pertama dalam penanganan kegawatdaruratan. Sifat gangguan yang terjadi
pada jalan napas bisa mendadak oleh karena sumbatan total, atau bisa juga perlahan oleh karena
sumbatan parsial (dengan berbagai sebab). Sumbatan pada jalan napas dapat terjadi pada pasien
tidak sadar atau pasien dengan kesadaran menurun atau korban kecelakaan yang mengalami
trauma daerah wajah dan leher. Penanganan airway mendapat prioritas pertama karena jika tidak
ditangani akan mengakibatkan kematian yang cepat, dan penanganan segera perlu dilakukan.
Pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tanpa alat (manual) maupun
dengan alat. Alat bantu pembebasan jalan napas yang digunakan ada berbagai macam
disesuaikan dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang pada intinya bertujuan
mempertahankan jalan napas agar tetap bebas Sumbatan Jalan Napas Ada beberapa keadaan di
mana adanya sumbatan jalan napas harus diwaspadai, yaitu: a. Trauma pada wajah b. Fraktur
ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan gangguan
jalan napas pada posisi terlentang. c. Perlukaan daerah leher mungkin menyebabkan gangguan
jalan napas karena rusaknya laring atau trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang
menekan jalan napas. d. Adanya cairan berupa muntahan, darah, atau yang lain dapat
menyebabkan aspirasi e. Edema laring akut karena trauma, alergi, atau infeksi Pembebasan Jalan
Napas

2 Pembebasan jalan napas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara normal
dengan cara membuka jalan napas sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi hipoksia dan atau
hiperkarbia. Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan napas dan
mempertahankan agar jalan napas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru
secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan napas dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual). Cara manual dapat
dilakukan di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila menggunakan alat namun
pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat menghindarkan resiko kematian atau
kecacatan permanen. Pada kasus trauma, pengelolaan jalan napas tanpa alat dilakukan dengan
tetap memperhatikan kontrol tulang leher. Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan
jalan napas yaitu: 1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti
jalan napasnya bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan jalan napas sehingga
memerlukan tindakan pembebasan jalan napas. Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar
umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang. 2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan
dengan sungkup muka (simple masker) atau masker dengan reservoir (rebreathing/non
rebreathing mask) atau nasal kateter atau nasal prong walaupun belum sepenuhnya jalan napas
dapat dikuasai dan dipertahankan bebas. Jika memang dibutuhkan pemberian ventilasi bisa
menggunakan jackson-reese atau BVM. 3. Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk
membebaskan jalan napas lanjut maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan
napas sekaligus melakukan pembebasan jalan napas secara manual apabila pasien tidak sadar
atau kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan
secara simultan, menilai jalan napas sekaligus fungsi pernapasan: L Look (lihat) Lihat
pengembangan dada, adakah retraksi sela iga otot-otot napas tambahan lain, warna mukosa/kulit
dan kesadaran. Lihat apakah korban mengalami kegelisahan (agitasi), tidak dapat berbicara,
penurunan kesadaran, sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia.
Sianosis dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.

3 L Listen (dengar). Dengar aliran udara pernapasan. Adanya suara napas tambahan adalah tanda
ada sumbatan parsial pada jalan napas. Suara mendengkur, berkumur, dan stridor mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial pada daerah faring sampai laring. Suara parau
(hoarseness, disfonia) menunjukkan sumbatan pada faring. F Feel (rasakan). Rasakan ada
tidaknya udara yang hembusan ekspirasi dari hidung dan mulut. Hal ini dapat dengan cepat
menentukan apakah ada sumbatan pada jalan napas. Rasakan adanya aliran udara pernapasan
dengan menggunakan pipi penolong. 4. Obstruksi jalan napas Obstruksi jalan napas dibagi
macam, obtruksi parsial dan obstruksi total. a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya
suara napas tambahan yaitu: Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke
posterior. Cara mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa
orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal, pemasangan Masker Laring (Laryngeal
Mask Airway). Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya cairan di daerah
hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, suction atau pengisapan. Crowing Stridor, oleh karena
sumbatan di plika vokalis, biasanya karena edema. Cara mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi. b.
Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan see saw pada menitmenit pertama
terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing antara dada dan perut. Dan jika
sudah lama akan terjadi henti napas yang ketika diberi napas buatan tidak ada pengembangan
dada. Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan trauma leher, yang ditandai dengan
adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di atas clavicula, trauma dengan riwayat kejadian
ngebut (high velocity trauma), trauma dengan defisit neurologis dan multiple trauma.
Pembebasan Jalan Napas Tanpa Alat. Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh ke
posterior, yang jika didengarkan seperti suara orang ngorok (snoring). Hal ini mengakibatkan
tertutupnya trakea sebagai jalan

4 napas. Untuk penanganannya ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas,
yaitu head tilt, chin lift dan jaw thrust. head-tilt (dorong kepala ke belakang). chin-lift Maneuver
(tindakan mengangkat dagu). jaw-thrust Maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah ke
atas). Head Tilt Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-
pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala
menjadi sedikit tengadah (slight Extention). Chin Lift Dilakukan dengan cara menggunakan jari
tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong
tulangnya ke depan. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan di bawah
dagu, jangan terlalu menengadahkan kepala. Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat
otot pangkal lidah ke depan. Tindakan ini sering dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt.
Tehnik ini bertujuan membuka jalan napas secara maksimal. Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift
sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan
sebagai gantinya bisa digunakan teknik jaw thrust. Jaw Thrust Jika dengan head tilt dan chin lift
pasien masih ngorok (jalan napas belum terbuka sempurna) maka teknik jaw thrust ini harus
dilakukan. Begitu juga pada dugaan patah tulang leher, yang dilakukan adalah jaw thrust (tanpa
menggerakkan leher). Walaupun tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling
sesuai untuk pasien trauma dengan dugaan patah tulang leher. Caranya adalah dengan
mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga barisan gigi bawah berada di
depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka, bisa dibantu dengan ibu
jari.

5 Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih Pembebasan Jalan Napas
Dengan Alat Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil
sempurna atau pasien memerlukan bantuan untuk mempertahankan jalan napas dalam jangka
waktu lama bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat yang digunakan
bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang intinya
bertujuan mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. a. Oropharyngeal Tube (pipa
orofaring) Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka dan
menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas pada pasien
tidak sadar. Yang perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini hanya boleh dipakai pada pasien
yang tidak sadar atau penurunan kesadaran yang berat (GCS 8).

6 Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya.
Bersihkan dan basahi agar licin. Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa
orofaring yang panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari tengah
bibir sampai ke angulus mandibula pasien. Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan
telunjuk). Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatum). Masuk separoh, putar
180 (sehingga lengkungan mengarah ke arah lidah). Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat.
Pada anak-anak arah lengkungan tidak perlu menghadap ke palatum tapi langsung menghadap
bawah dan untuk lidahnya ditekan dengan tongue spatle. Yakinkan lidah sudah tertopang pipa
orofaring, lihat, dengar, dan raba napasnya. b. Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring) Untuk
pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis cranii yang ditandai dengan
adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan battle sign. Teknik Pemasangan
Nasopharyngeal Tube 1. Nilai lubang hidung, septum nasi, tentukan pilihan ukuran pipa. 2.
Ukuran pipa yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa nasofaring yang panjangnya
sama dengan jarak dari ujung hidung sampai ke tragus dan diameternya sesuai dengan jari
kelingking tangan kanan pasien. 3. Pakai sarung tangan. 4. Beri jelly pada pipa dan kalau ada
tetesi lubang hidung dengan obat tetes hidung atau larutan vasokonstriktor (efedrin).
7 5. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan, ujungnya diarahkan ke
arah telinga. 6. Masukkan pipa nasofaring ke lubang hidung dengan posisi ujung yang tajam
menjauhi septum nasi. Masukkan sekitar 2 cm. 7. Kemudian lihat arah lengkungan dari pipa
nasofaring, jika sudah menghadap bawah maka pipa nasofaring tinggal dimasukkan secara tegak
lurus dengan dasar. Tapi jika arah lengkungan pipa nasofaring menghadap atas maka putar pipa
nasofaring tersebut 180 sehingga lengkungannya menghadap ke bawah. 8. Kemudian dorong
pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang plester (kalau perlu). Bila dengan pemasangan
jalan napas buatan pipa orofaring atau pipa nasofaring ternyata masih tetap ada obstruksi jalan
napas, pernapasan belum juga baik atau karena indikasi cedera kepala berat; maka dilakukan
pemasangan definitive airway yaitu pipa endotrachea (ETT Endotracheal Tube). Pemasangan
pipa endotrachea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan
memudahkan tindakan bantuan pernapasan. c. Endotracheal Tube Pipa Endotracheal berbagai
ukuran Intubasi endotrachea adalah gold standard untuk pembebasan jalan napas. Sehingga
Intubasi endotrachea disebut juga definitive airway. Intubasi endotrakhea adalah proses
memasukkan pipa endotrakheal ke dalam trakhea, bila dimasukkan melalui mulut disebut
intubasi orotrakhea, bila melalui hidung disebut intubasi

8 nasotrakhea. Intubasi endotrakhea hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih
dan berpengalaman. Peralatan Intubasi 1. Pipa oro/nasofaring. 2. Suction/alat pengisap. 3.
Sumber Oksigen 4. Kanula dan masker oksigen. 5. BVM/Ambu bag, atau jackson reese. 6. Pipa
endotrakheal sesuai ukuran dan stylet. 7. Pelumas (jelly). 8. Forcep magill. 9. Laringoscope
(handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu) 10. Obat-obatan sedatif i.v. 11.
Sarung tangan. 12. Plester dan gunting. 13. Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia) Teknik
Intubasi 1. Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan jalan napas
terbuka (hati-hati pada cedera leher). 2. Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff),
siapkan stylet, beri jelly. 3. Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus
menyala terang. 4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan
mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri. 5. Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi
= Sellick Maneuver). 6. Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi,
gusi, bibir). 7. Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu. 8. Masukkan
ETT sampai batas masukny di pita suara. 9. Keluarkan stylet dan laringoskop secara hati-hati.
10. Kembangkan balon (cuff) ETT.

9 11. Pasang pipa orofaring. 12. Periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi
suara pernapasan atau udara yang ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen. 13. Amankan
posisi (fiksasi) ETT dengan plester. d. Laringeal Mask Airway (LMA) LMA adalah alat
pembebasan jalan napas yang non-invasif yang dipasang di supraglotis. Secara umum terdiri dari
3 bagian: airway tube, mask, dan Inflation line. LMA disebut juga sebagai alternative airway,
karena bagi tenaga yang belum berpengalaman melakukan intubasi endotrachea maka LMA
inilah yang menjadi alternatif pilihan yang paling baik untuk membebaskan jalan napas. Indikasi
penggunaan LMA: Keadaan di mana terjadi kesulitan menempatkan masker (BVM) secara tepat
Dipergunakan sebagai back up apabila terjadi kegagalan dalam intubasi endotracheal Dapat
dipergunakan sebagai second-last-ditch airway apabila pilihan terakhir untuk secure airway
adalah dengan pembedahan Kontraindikasi pemasangan LMA: Usia kehamilan lebih dari
minggu Pasien dengan trauma masif atau multipel Cedera dada masif Trauma maksilofasial yang
masif

10 Pasien dengan risiko aspirasi lebih besar dibandingkan keuntungan pemasangan LMA Catatan
: Tidak ada kontraindikasi yang bersifat absolut Efek Samping Pemasangan LMA: Nyeri
tenggorokan Rasa kering pada ternggorokan ataupun mukosa sekitarnya Efek samping lebih
banyak berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak tepat Peralatan yang diperlukan untuk
pemasangan LMA: LMA dengan ukuran yang sesuai Syringe untuk mengembangkan cuff LMA
Water soluble lubricant Perlengkapan ventilasi Stetoskop Tape Persiapan untuk pemasangan
LMA: 1. Pemilihan Ukuran sesuai dengan pasien Ukuran yang direkomendasikan (disesuaikan
dengan berat badan): Size 1 : < 5 kg Size 1.5 : 5 s.d 10 kg Size 2 : 10 s.d 20 kg Size 2.5 : 20 s.d
30 kg Size 3 : 30 kg s.d Small adult Size 4 : Adult/Dewasa Size 5 : Large adult(dewasa
besar)/poor seal with size 4 2. Pengecekan LMA Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada
kebocoran/tidak dengan cara mengembang kempiskan cuffnya 3. Pemberian jelly (water soluble)
pada bagian belakang Mask LMA 4. Ekstensikan kepala dan fleksikan daerah leher

11 Teknik Pemasangan LMA: 1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin
dengan bagian akhir masker LMA. 2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di
atas gigi (hard palate) 3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker
ke arah atas menyusuri hard palate 4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum
sampai masker LMA masuk faring. Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai
lidah 5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker ke arah dinding
faring posterior dengan menggunakan jari telunjuk 6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari
telunjuk, arahkan mask LMA ke bawah sesuai posisi yang diharapkan 7. Pegang tube LMA
dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring 8. Secara gentle tangan yang lain
menekan LMA ke bawah sampai benar-benar mask LMA sudah masuk sepenuhnya. 9.
Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang direkomendasikan. Berikut
volume maksimal dari pengembangan cuff: Size 1 : 4 ml Size 1.5 : 7 ml Size 2 : 10 ml Size 2.5 :
14 ml Size 3 : 20 ml Size 4 : 30 ml Size 5 : 40 ml 10. Jangan sampai masker LMA over-inflate
11. Jangan menyentuh tube LMA selama dikembangkan, kecuali posisinya tidak stabil. 12.
Secara normal Masker LMA akan naik ke hipofaring saat dikembangkan berada pada posisi yang
tepat. 13. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator

12 14. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara napas simetris atau tidak, pastikan tidak ada
suara udara masuk ke lambung 15. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah
oklusi tube karena tergigit pasien 16. Fiksasi LMA e. Krikotiroidotomy Untuk sumbatan yang
terjadi karena masalah di laring/plica vocalis, maka dapat dilakukan krikotiroidotomy. Ada 2
jenis krikotiroidotomy: - Krikotiroidotomy dengan jarum (Needle Cricothyroidotomy). -
Krikotiroidotomy dengan pembedahan, dengan pisau (Surgical Cricothyroidotomy). Cara ini
dipilih pada kasus pemasangan pipa endotracheal tidak mungkin dilakukan, dipilih tindakan
krikotiroidotomy dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih dan terampil dapat
melakukan krikotiroidotomy dengan pisau. Krikotiroidotomy Dengan Jarum Alat 1. Jarum infus
ukuran besar, no Sput 10 cc 3. Aquades/PZ 4. Alkohol swab 5. Sumber Oksigen dan selang
Teknik 1. Cari titik tusuknya dengan cara: dari jakun (Thyroid Cartilage, Adam s Apple) raba ke
bawah sampai ada cekungan yang disebut membrana cricothyroidea, inilah titik tusuknya. Di
bawah titik tusuk ini ada ring yang agak lebih besar dari ring tulang trakhea (Cricoid Cartilage).

13 2. Isi Spuit dengan Aquades/PZ 3. Desinfeksi daerah tusukan dengan alkohol swab 4. Tusuk
di membrana cricothyroidea dengan arah ke bawah untuk menghindari melukai pita suara.
Menusuk sambil menaril piston dari spuit. Jika sudah keluar gelembung berarti sudah masuk
jalan napas. 5. Selanjutnya cabut jarum sisakan kanul infus yang di dalamnya. 6. Sambungkan
kanul tersebut dengan selang oksigen untuk selanjutnya pasien diberi oksigen aliran 10 lpm
dengan sistem jet insuflasi (4:1). 7. Teknik ini hanya bertahan 10 menit karena jika terlalu lama
akan terjadi penumpukan karbondioksida. 8. Untuk itu tindakan ini perlu dilanjutkan dengan
teknik Surgical Cricothyroidotomy, kemudian disambungkan dengan selang yang lebih besar
atau dipasang canul trakeostomi.

14 Kritotirotomi dengan Pisau (Surgical Crycothyrotomy) Alat Sarung tangan, pisau/skalpel no.
1, no. 20. Obat anti septik/desinfektan. Obat anestesi lokal. Kasa. Kanula trakheostomi no Baju
steril, masker. Gunting. Teknik 1. Jelaskan pada penderita bila pasien masih sadar (inform
consent). 2. Pilih ukuran kanula trakheostomi yang sesuai. 3. Atur posisi pasien a. Netral, pasang
penyangga leher (collar splint) pada pasien dengan cedera leher. b. Ekstensi pada kasus tanpa
cedera leher. 4. Pakai baju, masker, kaca mata, sarung tangan. 5. Desinfeksi leher, tutup leher
dengan kain steril berlubang. 6. Berikan anestesi lokal. 7. Tentukan letak membran krikoid. Insisi
pada membran 2 3 cm menembus sampai rongga trakhea dengan sudut derajat ke bawah untuk
menghindari cedera pita suara. 8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau
pergunakan klem atau spekulum (dilatator). 9. Pasang kanula trakheostomi/kembangkan balon
(cuff). 10. Berikan ventilasi dengan 100% O Cek segera patensi jalan napas. 12. Pasang pita
pengikat kanula. 13. Cek foto X-ray (bila fasilitas memungkinkan).

15 2.1.3 Membersihkan Jalan Napas Untuk memeriksa jalan napas terutama di daerah mulut,
dapat dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang
disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan napas tersumbat karena adanya benda
asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari(finger sweep).
Kegagalan membuka napas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan
napas di daerah faring atau adanya henti napas (apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak
sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan
ada sumbatan total pada jalan napas dan dilakukan pijat jantung. a. Membersihkan Jalan Napas
karena Cairan Membersihkan Jalan Napas Secara Manual (Finger Sweep) Membersihkan jalan
napas secara manual dapat dilakukan dengan sapuan jari (finger sweep). Dilakukan bila jalan
napas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti
gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan napas hilang (tersumbat).
Cara melakukannya : Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher)
kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas
(maneuver emaresi) Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus
dengan sarung tangan/kassa/kain (jangan tisu atau kertas karena mudah hancur dan malah akan
memperburuk sumbatan jalan napas) untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan
menyapu.

16 Gambar 1.6 Teknik finger sweep Membersihkan benda asing cair dalam jalan napas
menggunakan alat pengisap (suction) Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair yang
ditandai dengan terdengar suara tambahan berupa gargling, maka harus dilakukan pengisapan
(suctioning). Digunakan alat pengisap yang lebih populer dengan nama suction (pengisap/
manual portable, pengisap dengan sumber listrik). Masukkan kanula pengisap tidak boleh lebih
dari lima sampai sepuluh detik. Teknik Suctioning 1. Pengisap dihubungkan dengan pipa kecil/
suction catheter (dapat digunakan Naso Gastric Tube - NGT atau pipa lainnya) yang bersih. 2.
Gunakan sarung tangan bila memungkinkan. 3. Buka mulut pasien kalau perlu tengadahkan
kepala agar jalan napas terbuka. 4. Lakukan pengisapan (tidak boleh lebih dari 5 detik) 5. Cuci
pipa pengisap dengan memasukkannya pada air bersih/ cairan infus untuk membilas selang
suction, ulangi lagi bila diperlukan. b. Mengatasi Sumbatan Jalan Napas Karena Benda Padat
(Sumbatan Total) Dapat digunakan tehnik manual thrust Abdominal thrust. Chest thrust. Back
blow. Back Blow dan Abdominal Thrust/Heimlich Maneuver pada Pasien Dewasa Untuk
penderita sadar dengan sumbatan jalan napas parsial/total karena benda padat boleh dilakukan
tindakan Back Blow dan abdominal thrust (pada pasien dewasa). Bantu / tahan penderita tetap
berdiri atau condong ke depan dengan merangkul dari belakang.

17 a. Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis antar belikat dan garis
punggung tulang belakang (Back Blows). b. Rangkul korban dari belakang dengan ke dua lengan
dengan mempergunakan kepalan ke dua tangan, hentakan mendadak pada ulu hati, di tengah-
tengah antara Peocessus Xiphoid dengan pusar (abdominal thrust). Setiap hentakan harus
terpisah dan gerakan yang jelas. c. Ulangi secara bergantian antara Back Blow dan Abdominal
Thrust masingmasing 5 kali hingga jalan napas bebas atau hentikan bila korban jatuh tidak sadar
dan ganti dengan tindakan RJPO, pijat jantung napas buatan. d. Segera panggil bantuan, call for
help. Abdominal Thrust (Heimlich Maneuver) yang dilakukan pada diri sendiri Pertolongan
terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas. Caranya : kepalkan sebuah tangan,
letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum, genggam
kepalan itu dengan kuat, beri tekanan ke atas ke arah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika
tidak berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang
kursi. Back Blows Pada Bayi Bayi masih sadar : 1. Bila penderita dapat batuk keras, observasi
ketat. 2. Bila napas tidak efektif/ berhenti. Lakukan Back blow 5 kali (hentakan keras mendadak
pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/ vertebra).
Chest Thrust Usaha untuk membebaskan jalan napas dari sumbatan parsial/total oleh karena
benda padat. Untuk bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil. Penderita sadar : Penderita anak
lebih dari satu tahun :

18 Lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari kedua dan ketiga kira-kira satu jari
di bawah garis imajinasi antar puting susu). Penderita tak sadar : Tidurkan terlentang. Lakukan
chest thrust. Tarik lidah dan lihat adakah benda asing. Berikan pernapasan buatan. Bila jalan
napas tersumbat di bagian bawah, lanjutkan dengan krikotiroidotomy jarum Membersihkan
Benda Asing Padat Dengan Alat Bila pasien tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di
daerah hipofaring yang tak mungkin dilakukan dengan sapuan jari, maka digunakan alat bantu
berupa : - laringoskop - alat pengisap (suction) - alat penjepit (forcep) Teknik 1. Buka jalan napas
lurus/ lebar dengan memperbaiki posisi kepala 2. Gunakan laringoskop dengan tangan kiri. 3.
Masukkan blade-laryngoscope pada sudut mulut kanan dan menyusur tepi lidah sampai pangkal
lidah, geser ujung blade perlahan ke tengah dan angkat tangkai laringoskop ke atas depan (sesuai
sumbu handle laringoskop) sehingga terlihat hipofaring dan rima glotis. 4. Gunakan pengisap
untuk benda cair dan liur. Gunakan forcep bila terdapat benda padat. 2.2 Kegawatan Breathing
(Pernapasan)

19 Gangguan fungsi pernapasan (gangguan ventilasi) dapat berupa hipoventilasi sampai henti
napas yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Apapun penyebabnya bila tidak dilakukan
penanganan dengan baik akan menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia. Jalan napas yang
tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu langkah yang pertama yang harus
dilakukan pada pasien dengan gangguan adalah meyakinkan bahwa jalan napas bebas dan
pertahankan agar tetap bebas. Setelah jalan napas bebas tetapi tetap ada gangguan ventilasi maka
harus dicari penyebab lain. Trauma thorax merupakan penyebab mortalitas yang bermakna.
Sebagian besar pasien trauma thoraks meninggal saat datang ke Rumah Sakit, disamping itu,
banyak kematian yang dapat dicegah dengan upaya diagnosis dan tata laksana yang akurat.
Kurang dari 10% kasus trauma tumpul thoraks dan sekitar 15-30% trauma tembus thoraks
memerlukan tindakan torakotomi. Sebagian besar pasien trauma toraks memerlukan tindakan
torakotomi. Penilaian dan tatalaksana awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari primary
survey, resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan penanganan definitif. Trauma
toraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali dan ditangani saat primary
survey termasuk adanya tension pneumothorax, open pneumothorax (sucking chest wound), flail
chest, kontusio paru dan hemotorax masif. Gangguan pernapasan juga dapat disebabkan oleh
keadaan yang non trauma seperti acute lung oedem(alo),acute respiratory disstres syndrome
(ARDS) Trauma Thoraks A. Tension Pneumothoraks Tension pneumothoraks terjadi akibat
kebocoran udara one-way valve dari paru atau melalui dinding toraks. Udara didorong masuk
kedalam rongga toraks tanpa ada celah untuk keluar sehingga memicu paru kolaps. Mediastinum
terdorong ke sisi berlawanan. Terjadi penurunan aliran darah balik vena dan penekanan pada
paru di sisi yang berlawanan. Penyebab utama tension pneumothoraks adalah ventilasi mekanik
dengan ventilasi tekanan positif pada pasien dengan trauma pleural visceral. Tension
pneumothoraks juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari simple pneumothoraks pasca trauma
tumpul atau tembus toraks dimana parenkim paru gagal untuk mengembang atau pascca
penyimpangan pemasangan kateter vena subklavia atau jugularis interna. Defek traumatik pada
toraks juga dapat memicu tension pneumotoraks jika tidak ditutup dengan benar dan jika defek
tersebut memicu tejadinya mekanisme flap-valve. Tension pneumothoraks juga dapat terjadi
akibat penyimpangan letak pasca fraktur tulang belakang torakal.

20 Tension pneumothoraks merupakan diagnosis klinis yang mencermikan kondisi udara


dibawah tekanan dalam ruang pleura. Tatalaksana tidak boleh ditunda karena menunggu
konfirmasi radiologi selesai. Tension pneumothoraks ditandai dengan beberapa tanda dan gejala
berikut ini : nyeri dada, air hunger, distress napas, hipotensi, takikardia, deviasi trakhea,
hilangnya suara napas pada salah satu sisi atau unilateral, distensi vena leher dan sianosis sebagai
manifestasi lanjut. Tanda tension pneumothoraks ini dapat dikacaukan oleh tamponade jantung
akibat adanya kemiripan. Kedua kasus ini dapaat dibedakan dengan adanya hipersonansi pada
perkusi atau suara napas yang menghilang pada hemithoraks yang sakit. Tension pneumothoraks
memerlukan dekompresi segera dan ditatalaksana awal dengan cepat melalui penusukan jarum
kaliber besar pada ruang interkostal kedua pada garis midklavikular dari hemithoraks yang sakit.
B. Open Pneumothoraks Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open
pneumotoraks atau sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan
atmosfer segera tercapai. Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga dari diameter
trakea, udara mengalir melalaui defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara
cenderung mengalir kelokasi yang tekanan nya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu
sehingga memicu terjadinya hipoksia dan hiperkarbia. Penatalaksanaan awal dari open
pneumotoraks dapat tercapai dengan menutup defek tersebut dengan occlusive dressing yang
steril. Penutup ini harus cukup besar untuk menutupi seluruh luka dan kemudian direkatkan pada
tiga sisi untuk memberikan feel flutter type valve. C. Flail Chest dan Kontusio Paru Flail chest
terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas tulang sehingga terjadi
defek pada thoracic cage. Kondisi ini biasanya terjadi akibat trauma terkait fraktur costae
multipel- yaitu dua atau lebih tulang iga mengalami fraktur pada dua tempat atau lebih. Adanya
segment flail chest menyebabkan gangguan pergerakan dinding dada yang normal. Jika trauma
yang mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi hipoksia. Kesulitan utama flail chest
diakibatkan oleh trauma pada paru (kontusio paru). Walaupun instabilitas dinding dada memicu
pergerakan paradoksal dinding dada pada saat inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak
menyebabkan hipoksia. Ketrebatasan

21 pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari merupakan penyebab
penting hipoksia. Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya splinting
pada dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang
iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan rontgen toraks akan
ditemui fraktur costae multipel tetapi dapt juga tidak dijumpai pemisahan costochondral. Analis
gas darah arteri yang menunjukkan ada hipoksia juga akan membantu menegakkkan diagnosis
flail chest. Penatalaksanaan definitif meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian
cairan secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Pemberian analgesia dapat
dilakukan dengan pemberian narkotikaintravena atau berbagai metode anestesi lokal yang tidak
berpotensi memicu depresi pernapasan seperti pada pemberian narkotika sistemik. Pemilihan
anestesi lokal yang meliputi blok saraf intermitten pada intercostal, intrapleural, ekstrapleural,
dan anetesi epidural. Bila digunakan dengan tepat agen anestesi lokal dapat memberikan
analgesia yang sempurna dan menekan perlunya dilakukan intubasi. Pencegahan hipoksia juga
merupakan bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada
periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan
lengkap. Penilaian yang teliti akan kecepatan pernapasan, tekanan oksigen arterial dan
kemampuan pernapasan menjadi indikasi waktu pemasangan intubasi dan ventilasi. D.
Hemotoraks Masif Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah
atau satu pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat
luka tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga dapat
terjadi akibat trauma tumpul. Akumulasi darah dan cairan dalam hemitoraks dapat mengganggu
upaya pernapasan dengan menekan paru dan mencegah ventilasi yang adekuat. Akumulasi akut
darah secara dramatis dapat bermanifestasi sebagai hipotensi dan syok Non-Trauma A. Acute
Lung Oedem (ALO)

22 Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga
alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal napas.
Etiologi: 1. Edema Paru Kardiogenik Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan
pada jantung atau sistem kardiovaskuler. a. Penyakit pada arteri koronaria Arteri yang menyuplai
darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung
terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak
otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami
gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa. b. Kardiomiopati Penyebab
terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini penyebab
terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung
(miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat
kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada
keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka
darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di
paru-paru (flooding). c. Gangguan katup jantung Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta,
katup yang berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat
(stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru. d. Hipertensi Hipertensi tidak
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai
dengan penyakit arteri koronaria. 2. Edema Paru Non Kardiogenik

23 Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri.
Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru. c. Paparan toxic d. Reaksi
alergi e. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) f. Neurogenik ALO kardiogenik
dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak tinggi di atrium kiri, vena
pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25
mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan
akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini
sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami ALO
adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler
paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga menyebabkan
masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya
pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret ini akan
mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya. ALO dapat dibagi
menurut stadiumnya (3 stadium), a. Stadium 1 Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru
yang prominen akan mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi CO. Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan
aktivitas. b. Stadium 2

24 Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan
kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama di daerah basal karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak
napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal. c. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi oedema
alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia.
Penderita tampak mengalami sesak napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink
froty). Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Pemeriksaan Fisik: 1.
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih. 2. Ronchi basah
nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi
kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma
kardiale. 3. Takikardia dengan S3 gallop. 4. Murmur bila ada kelainan katup. Elektrokardiografi :
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab
gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.
Laboratorium : 1. Analisa gas darah po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia. 2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. 3. Darah
rutin, ureum, kreatinin,, elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB,
Troponin T), angiografi koroner Rontgen Dada : X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema
mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan

25 opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal
dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai
akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyebab yang mungkin mendasarinya. Penatalaksanaan Pengobatan : 1. Posisi duduk. 2.
Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. 3. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmhg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. 4. Infus
emergensi, monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. 5. Menurunkan preload dan
mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin (NTG) dan Furosemide merupakan obat
pilihan utama. 6. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari). 7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5
ug/kgbb/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgbb/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. 8. Trombolitik atau revaskularisasi pada
pasien infark miokard 9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen. 10. Penggunaan Aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai
bronkokonstriksi atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor
kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek
inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan. 11. Penggunaan Inotropik. Pada
penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan, dapat diberikan digitalis seperti
Deslano-side (Cedilanide-D). Obat lain yang dapat dipakai adalah golongan Simpatomi-metik
(Dopamine, Dobutamine) dan golongan inhibitor Phos-phodiesterase (Amrinone, Milrinone,
Enoxumone, Piroximone) B. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

26 Acute respiratory distress syndroem (ARDS) adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba
dan bentuk kegagalan napas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah
terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal. Menurut Hudak & Gallo (1997),
gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah 1. Sistemik: Syok karena beberapa
penyebab Sepsis gram negative Hipotermia Hipertermia Takar lajak obat ( Narkotik, Salisilat,
Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin ) Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif,
Bypass kardiopulmonal ) Eklampsia Luka bakar 2. Pulmonal : Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur,
penumosistik karinii ) Trauma ( emboli lemak, kontusio paru ) Aspirasi ( cairan gaster,
tenggelam, cairan hidrokarbon ) Pneumositis 3. Non-Pulmonal : Cedera kepala Peningkatan TIK
Pascakardioversi Pankreatitis Uremia Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan
sebagai berikut : Kerusakan sistemik menyebabkan penurunan perfusi jaringan sehingga terjadi
Hipoksia seluler dan terjadi Pelepasan faktor-faktor biokimia( enzim lisosom, vasoaktif, system
komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine ) yang menyebabkan Peningkatan permiabilitas
kapiler paru yang berakibat terhadap Penurunan aktivitas surfaktan sehingga terjadi Edema
interstisial alveolar paru dan menyebabkan Kolaps alveolar yang progresif

27 sehingga compliance paru menurun (Stiff lung) dan meningkatkan shunting sehingga terjadi
Hipoksia arterial. Penatalaksanaan : Pasang jalan napas yang adekuat Pencegahan infeksi
Ventilasi mekanik Dukungan nutrisi TEAP Monitor system terhadap respon Pemantauan
Oksigenasi Arteri Perawatan kondisi dasar Cairan Farmakologi (O2,diuretik,antibiotik)
Pemeliharaan jalan napas 2.3 Kegawatan Circulation (Sirkulasi) Syok A. Definisi dan
Patofisiologi Syok adalah kumpulan gejala yang diakibatkan oleh gangguan perfusi jaringan,
yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Gangguan perfusi
tersebut mengakibatkan jaringan kekurangan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan energi. Bila tidak diterapi dengan segera, metabolisme sel secara anaerobic akan
menyebabkan terjadinya asidosis asam laktat yang akan mengganggu fungsi sel dan sel tersebut
akan mati. Demikian, syok dapat pula diartikan sebagai gangguan oksigenasi sel/ jaringan.
Mekanisme kompensasi tubuh bila terjadi syok adalah vasokonstriksi untuk mempertahankan
tekanan darah, terutama untuk syok jenis hipovolemi. Pada syok septic atau cardiogenic dapat
terjadi vasodilatasi. Selain vasokonstriksi, dapat pula terjadi rangsangan pada baroreceptor yang
berakibat pada meningkatnya sekresi katekolamin. Kompensasi lain adalah terjadinya shift
cairan dari interstitial kedalam intravaskuler. Pada tahap dekompensasi, akan terjadi peningkatan
permeabilitas membrane kapiler, pengelompokan leukosit dan

28 trombosit yang menyebabkan sumbatan pada mikrovaskuler, dan jika proses berlanjut akan
menyebabkan gangguan fungsi organ. B. Macam Macam Penyebab Syok Terdapat banyak
pembagian penyebab syok misalnya: A. 1. Syok hipovolemi 2. Syok cardiogenic 3. Syok septic
4. Syok neurogenic B. 1. Syok hipovolemik 2. Syok cardiogenic 3. Syok obstruktif 4. Syok
distributif C. 1. Syok hemorrhagic 2. Syok non hemorrhagic Adanya banyak macam pembagian
syok dapat merupakan tanda bahwa pemahaman tentang syok masih belum lengkap. Pembagian
menurut klasifikasi A cukup banyak digunakan. B.1 Syok Hipovolemik Syok dapat disebabkan
karena tubuh kehilangan darah, plasma atau cairan tubuh yang lain, misalnya: pembedahan,
trauma, luka bakar, muntah atau diare. Kehilangan cairan pada rongga ketiga tubuh yang biasa
disebut dengan third space loss juga dapat mengakibatkan syok, misalnya: peritonitis,
pancreatitis, dan ileus obstuksi. B.2 Syok Kardiogenik Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi jantung, misalnya karena: Akut Miokard Infark, Cardiomyopati,
Aritmia, Payah jantung, Tamponade jantung dan Trauma jantung. B.3 Syok Septic

29 Syok septic didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipotensi yang tidak respon
terhadap resusitasi cairan yang adekuat. B.4 Syok Neurogenik Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi system saraf simpatis, sehingga tejadi vasodilatasi pembuluh darah,
misalnya pada: Trauma tulang belakang, spinal syok dan anestesi yang terlalu dalam. B.5 Syok
Anafilaktik Gangguan perfusi jaringan sebagai respon dari masuknya allergen (misal: antibiotic)
kedalam tubuh yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Gejala dapat timbul sangat
cepat, yang ditandai dengan distress napas akut, syok, maupun keduanya. Mediator terpenting
yang terlibat dalam proses anafilaktik adalah histamine, leukotriene, basophil kalikrein (BK- A),
and platelet- activating factor. Mediator mediator tersebut mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Aktivasi dr reseptor H1 menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, sedangkan reseptor H2 sebabkan vasodilatasi, meningkatkan sekresi mucus,
takikardi, dan meningkatkan kontraktilitas miokard; BK- A memecah bradikinin dari kininogen,
bradikinin menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi dan kontraksi otot
polos. Aktivasi dari factor Hageman juga terlibat dalam mengawali koagulasi intravaskuler.
Eosinophil chemotactic factor, neutrophil chemotactic factor, dan leukotriene B menyebabkan
terjadinya proses inflamasi sel yang berakibat pada injury jaringan. Angioedem yang terjadi pada
laring, faring dan trakea menyebabkan sumbatan jalan napas bagian atas, sedangkan
bronkospasme dan edema mukosa berakibat pada sumbatan jalan napas bagian bawah.
Transudasi cairan dari kulit (angioedema) dan visera, menyebabkan hipovolemia dan syok,
dimana vasodilatasi arterial menurunkan tahanan vaskuler sistemik. Hipoperfusi coroner dan
hipoksia arteri menyebabkan aritmia dan iskemik miokard. Leukotrien dan prostaglandin juga
dapat menyebabkan vasospasme dari pembuluh darah coroner. Syok dari sirkulasi yang
berkepanjangan dapat berakibat pada asidosis asam laktat dan iskemia dari organ organ vital.
Jenis syok ini dapat diakibatkan oleh kontras media, obat, makanan, reaksi transfusi,
sengatanserangga maupun gigitan ular berbisa.

30 C. Tanda dan Gejala Syok Sistem pernapasan : Napas cepat dan dangkal Sistem sirkulasi :
Perfusi ekstrimitas pucat, dingin, basah. Waktu pengisian kapiler > 2 detik. Nadi cepat dan
lemah. Tekanan darah turun. (bila kehilangan darah >30 %) Vena tampak kolaps (CVP < 2 cm
H2O) Sistem syaraf pusat : Gelisah sampai tidak sadar (tegantung derajat syok) Sistem ginjal :
Produksi urin menurun ( Normal = 0,5-1 cc/kg BB/ jam) Sistem pencernaan : Mual, muntah.
Sistem otot/ kulit : Turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering. D. Tatalaksana
Tatalaksana syok tergantung pada penyebabnya, namun terdapat prinsip penanganan utama pada
syok, yakni: 1. Memperbaiki system pernapasan a. Bebaskan jalan napas b. Terapi oksigen c.
Bantuan napas 2. Memperbaiki system sirkulasi a. Posisi syok b. Pemberian cairan c. Monitoring
nadi, tekanan darah, perfusi perifer dan produksi urin 3. Menghilangkan dan mengatasi penyebab
syok D.1 Syok Hipovolemi Segera pasang infus dengan jarum ukuran besar (#14,16) pasang di
dua tempat. Jumlah cairan yang diberikan tergantung derajat syok, rata- rata untuk awal
pengobatan diberikan cc cepat. Usaha untuk mempercepat pemberian cairan infus dapat
dilakukan dengan cara:

31 1. Gunakan IV kateter ukuran besar dan pendek 2. Botol cairan ditempatkan setinggi mungkin
3. Gunakan pompa Macam cairan yang digunakan: 1. Kristaloid: Ringer Lactate, Normal Saline
0,9% Cairan Kristalod diberikan sebanyak 2-4x perkiraan jumlah perdarahan, karena sifatnya
yang tidak dapat bertahan lama di intravaskuler. Sehingga juga berfungsi mengisi cairan
interstitial yang hilang. RL lebih fisiologis dibandingkan normal saline, sehingga lebih banyak
dipilih RL untuk resusitasi initial cairan pada syok hipovolemi, kecuali pada pasien dengan
kelainan ginjal dan cidera kepala. 2. Kolloid Terbagi menjadi golongan protein: albumin atau
plasma dan golongan non protein: dextran atau gelatin. Cairan kolloid lebih stabil berada dalam
rongga intravaskuler sehingga diberikan sesuai dengan perkiraan jumlah perdarahan. 3. Darah:
Whole Blood fresh or stored, PRC. Tahap awal dalam resusitasi cairan digunakan cairan
kristaloid dan dilanjutkan dengan koloid. Penelitan membuktikan pemberian darah pada tahap
awal resusitasi cairan angka kematian yang berhubungan dengan reaksi transfusi. Hemodilusi
adalah mengganti kehilangan darah dengan larutan kristaloid atau koloid sampai hemodinamik
stabil yang ditandai dengan nadi <100x/ menit, tekanan darah systole >100 cmhg, perfusi perifer
hangat kering merah, serta waktu pengisian kapiler <2 detik. Syok Hipovolemi, Dehidrasi (Diare,
muntaber, peritonitis) Klasifikasi Klinis Pengelolaan Dehidrasi Ringan: Nadi normal/ sedikit
meningkat Penggantian volume cairan Kehilangan cairan tubuh Selaput lendir kering yang
hilang dengan 3-5% BB Haus terus menerus kristaloid Dehidrasi Sedang: Nadi cepat
Penggantian volume cairan Kehilangan cairan tubuh 6-8% BB Tekanan darah turun Selaput
lendir sangat kering Oliguria Status mental tampak lesu, lemas yang kristaloid hilang dengan

32 Dehidrasi Berat: Kehilangan cairan tubuh >8% BB Nadi cepat, kecil, sampai tidak teraba
Tekanan darah turun Perfusi perifer lambat Anuria Kesadaran menurun Penggantian volume
cairan yang hilang dengan kristaloid Cara pemberian terapi infus pada kasus dehidrasi adalah: 1.
Infus cepat untuk mengisi kembali IVF 2. Infus lambat untuk mengisi kembali ISF 3.
Memberikan juga cairan maintenance

33 Syok Hipovolemi, Perdarahan Perdarahan dalam jumlah besar melebihi 15% volume darah,
akan menyebabkan perubahan fungsi tubuh sehingga jatuh dalam kondisi syok. Satu jam pertama
masa syok sering disebut the golden hour. Pertolongan harus cepat dilakukan, yakni dengan
menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan infuse cairan. Tabel.
Klasifikasi perdarahan berdasar ATLS D.2 Syok Kardiogenik Permasalahan utama pada syok
kardiogenik adalah berkurangnya kekuatan pompa jantung, maka terapi paling utama adalah
memperkuat pompa jantung dengan menggunakan inotropic yakni: dopamine, dobutamin,
isoprenolol atau nor-adrenalin. Pemilihan obat-obatan tersebut kembali disesuaikan dengan
gejala klinis dan performance jantung masing masing penderita dengan tidak melupakan
permasalahan airway, breathing dan circulation. Syok kardiogenik dapat juga terjadi akibat
trauma, yakni kontusio jantung, tamponade jantung dan tension pneumothorax. Sehingga perlu
dilakukan tindakan terhadap penyebab tersebut, sebagai contoh; pericardiosentesis pada
tamponade jantung dan thoracosentesis pada tension pneumothorax. D.3 Syok Septic Tatalaksana
syok septic berdasar guideline Surviving Sepsis Campaign 2012:

34 D.4 Syok Anafilaktik Terapi syok anafilaktik harus dilakukan segera dan bergantung pada
derajat keparahan dari reaksi yang terjadi. Meliputi: 1. Penghentian segera dari pemberian agen
penyebab. (misal: obat) 2. Berikan oksigen 100% 3. Adrenalin (0,01-0,5 mg IV atau IM;
tergantung pada derajat keparahan) 4. Pertimbangkan untuk intubasi 5. Bolus cairan intravena 6.
Antihistamin: Diphenhydramine (50-75 mg IV) 7. Ranitidine (150 mg IV) 8. Kortikosteroid:
Hydrocortisone (sampai 200 mg IV) atau methylprednisolone (1-2 mg/kg BB) Terapi Cairan
Pengganti Perdarahan Perdarahan dan hemorrhagic syok sering terjadi pada kasus trauma berat
dan merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan pasca bedah dini. Perdarahan dapat
ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat atau Normal Saline dalam jumlah besar.
Lahir istilah Hemodilusi karena selama darah yang hilang diganti cairan, terjadilah pengenceran
darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi bukan keadaan fisiologik, tetapi sutau yang berguna
untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan hebat. Darah diberikan pada saat yang tepat
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

35 A. Dasar-dasar pemikiran Penderita yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa
volume darah yang beredar dan berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Volume darah Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa
jam. Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan: a. Vasokonstroksi organ sekunder (viscera, otot,
kulit) untuk menyelamatkan morgan primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa b.
Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobic dengan produk
asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-
perubahan sekunder pada organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi
kerusakan merata. d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler
sampai 10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih
dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel
ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intra
vaskuler), penderita masih mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversible dan
berakhir kematian. Eritrosit untuk transportasi oksigen Dalam keadaan normal, jumlah oksigen
yang tersedia untuk jaringan adalah = Cardiac output x Saturasi O2 x Hb x 1,34 + CO po2 x
(5,9). Kalau unsur CO x po2 x karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan oksigen
untuk jaringan tergantung pada Cardiac Output, saturasi dan kadar Hb. Karena kebutuhan
oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika
eritrosit hilang, total Hb berkurang Cardiac Output harus naik agar penyediaan oksigen jaringan
tidak terganggu. Orang normal dapat menaikkan Cardiac output 3x normal dengan cepat, asalkan
volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor-faktor Hb dan saturasi jelas tidak dapat naik.

36 Hipovolemea akan mematahkan kompensasi Cardiac output. Dengan mengembalikan volume


darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu
berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi CO dapat naik sampai 3x, maka
penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume, mutlak
diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit. B. Cara mengatasi perdarahan Penderita datang
dengan perdarahan Pasang infus jarum besar Ambil sample darah catat tekanan darah, nadi,
perfusi, (produksi urine) Ringer laktat atau NaCl 0.9% 20 ml/kg bb cepat, ulangi ml dalam 1 jam
Hemodinamik baik Tekanan darah 100, nadi 100 Perfusi hangat, kering Urine ml/kg/jam
Hemodinamik buruk teruskan cairan 2-4 x estimated loss Hemodinamik buruk Hemodinamik
baik A B C Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika hemoglobin kurang dari 8 gm% atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya
diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu perdarahan,
transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C,
transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu perdarahan

37 masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama
dan anemia terlalu berat, terjadi hipoksia jaringan. Pada 1/2 jam pertama, kalau diukur Hb/Hct,
hasil yang diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah
penderita kembali normovolemik dengan pemberian cairan. Penderita didalam keadaan anestesi,
dengan napas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematocrit 10% - 15%. Tetapi
penderita biasa, sadar, napas sendiri, memerlukan Hb 8 gm% atau lebih agar cadangan
kompensasinya tidak terkuras habis. C. Jumlah cairan Lebih dulu dihitung Estimated Blood
Volume penderita, ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih
dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah
transfusi tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV
berkisar antara 2-4 x volume yang hilang. Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan
kriteria Trauma Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infusi, cairan
Ringer Laktat akan meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi
keseimbangan baru antara Plasma Volume (IVF) dan ISF. Expansi ISF ini merupakan interstitial
edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula
organorgan tersebut telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan frusemide setelah
transfusi diberikan. Tabel. Traumatic status dari Giesecke TANDA TS I TS II TS III Sesak napas
- Ringan ++ Tekanan darah N Turun Tak teratur Nadi Cepat Sangat cepat Tak teraba Urine N
Oliguria Anuria Kesadaran N Disorientasi / coma

38 Gas darah N po2 / pco2 po2 / pco2 CVP N Rendah Sangat Rendah Blood loss% EBV Sampai
10% Sampai 30% Lebih 50% D. Macam cairan Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun
menjadi perbantahan sengit: a. Transfusi darah Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok
ada. Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan
hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor belum tersedia, menghemat jumlah
darah donor yang perlu ditransfusikan dan memberikan koreksi ECF defisit. Bila darah golongan
yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan 0 dengan titer anti A
rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cells-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di
UGD. b. Plasma expander Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi (dextran,
gelatin, hydroxyethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama intravaskuler. Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander. Selain itu
harga plasma expander adalah 10x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi anaphylactoid dapat
terjadi baik karena dextran maupun gelatin ( % pemberian). Penulis mengalami 2 kasus reaksi ini
dengan syok, yang memerlukan adrenaline untuk mengatasinya. Reaksi ini dapat berakhir fatal.
Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross match darah dan pada dosis lebih dari ml/kg
BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah. c. Albumin Albumin 5% ataupun Plasma
Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi volume effect. Tetapi harganya adalah 70x
harga Ringer laktat untuk volume effect yang sama. d. Ringer laktat atau NaCl 0,9%

39 Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infusi IVF
diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF jenuh. Idealnya
cairan ini hanya digunakan pada perdarahan yang tidak melebihi 15% volume darah penderita.
Cairan lain seperti Dextrose, 0,45 NaCl tidak dapat digunakan.

40 E. Penyulit Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada
proses metabolisme atau pada paru. Dekompensasi Jantung Dekompensasi ditandai oleh
kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi
jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian colloid
dapat mengalami kenaikkan PCWP 50% yang potensial akan mengalami dekompensasi jantung.
Edema paru Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/ Qt.
Pemberian colloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami kenaikan
Qs/Qt yang sama yaitu %. Akibat pengenceran darah, terjadi transient hypoalbuminemia mg%
dari harga pre op sebesar mg%. Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan oncotic plasma
dari menjadi Penurunan selisih tekanan COP PCWP dari nilai pre op tidak selalu menyebabkan
edema. Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 20
25% dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar gm%
Jika masih terjadi edema paru, berikan frusemide, 1-2 mg/kg. Gejala sesak napas akan berkurang
setelah urine keluar ml. Lakukan digitalisasi atau berikan Dopamin drip 5-10
microgram/kg/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila diperlukan mendesak
lakukan napas buatan + PEEP. Insiden pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah
2.1%. Lactic Acidosis Pemberian Ringer laktat tidak menambah buruk acidosis laktat karena
syok. Laktat dirubah hepar menjadi bicarbonate yang menetralisir metabolic acidosis pada syok.
Perbaikan sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan kadar laktat darah karena
perbaikan transport oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.

41 Gangguan hemostasis Gangguan karena pencgenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi
sudah mencapai 1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah thrombocyt. Pemberian
Fresh Frozen Plasma tidak berguna karena tidak mengandung thrombocyt, sedang faktor V dan
VIII dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5-30% normal). Thrombocyt dapat diberikan sebagai
fresh blood, platelet rich plasma atau thrombocyt concentrate dengan masa simpan kurang dari 6
jam jika suhu 4oC. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar thrombocyt per mm3. Dextran
juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kg BB. F. Rangkuman Ringer
Laktat dan NaCl 0,9% selain harganya murah, tersedia dengan mudah sampai ketingkat
Puskesmas, tanpa perlu cross match, tanpa reaksi allergi, waktu simpan tak terbatas, tak perlu
lemari es, dan dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti. Dengan kemasan botol plastik, paket-
paket cairan ini dapat didrop dengan cepat dari helikopter dan langsung digunakan untuk
stabilisasi korban, dimanapun dia berada. Jika pedoman-pedoman pemberian cairan diikuti,
pemberian cairan berlebih sekalipun tidak mudah menyebabkan kematian penderita. Jika toh
akan menyebabkna kematian, prosesnya jauh lebih lama daripada proses syok perdarahan.
Sehingga kita cukup waktu untuk melakukan koreksi terhadap penyulit yang mengancam jiwa
tersebut Tranfusi Darah Transfusi sebenarnya bukan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan
anemia pada seorang pasien yang kehilangan darah, baik itu kehilangan akut ataupun kronis.
Kehilangan kronis dapat mudah diatasi dengan terapi Fe (besi) dan perbaikan nutrisi, kecuali
beberapa pasien kelainan sistim hemopoetik. Kehilangan darah akut dapat diganti volumenya
dengan cairan pengganti (larutan elektrolit atau plasma expander). Pada hakekatnya blood is
RED, selain merah, RED berarti Rare-Expensive-Dengerous (Langka, mahal, berbahaya)

42 A. Resiko Transfusi Resiko transfusi yang banyak dikenal adalah reaksi transfusi. Jenis yang
sering terjadi adalah reaksi transfusi panas, yang disebut leukosit donor/leukoaglutinin resipien
atau bahan pirogen. Reaksi ini tak berbahaya dan berhenti dengan penghentian transfusi atau
pemberian antiretika. Kebiasaan memberikan premedikasi dengan antipiretika + antihistamin pra
transfusi tidak dapat dibenarkan. Prevalensi reaksi ini hanya sekitar 1%, prevensi yang diberikan
adalah pemborosan dan menambah resiko alergi obat atas diri pasien yang semestinya tidak akan
mengalami resiko. Obat-obat tersebut dapart memberikan masking effect pada tanda-tanda awal
reaksi transfusi jenis berbahaya. Reaksi transfusi alergi adalah akibat kontak dengan protein
asing dan terbentuknya immune-complex, aktivasi komplemen yang diiukti degranulasi sel-sel
mast dan basofil yang melepaskan histamine. Reaksi yang ringan berupa pruritus dan urticaria.
Reaksi yang berat berupa bronchospasme, sesak napas atau bahkan reaksi anafilaktik yang fatal.
Reaksi transfusi hemolitik adalah hemolisis akut intravaskuler karena inkompatibilitas golongan
darah ABO. Jika hemolisis tidak berat dan jumlah darah yang mismatch masih sedikit (< 250
ml), pasien masih dapat diselamatkan jika ditangani dengan baik. Reaksi tranfusi
bakteremia/septik terjadi karena darah donor tercemar umumnya dari bakteria dari jenis: E. Coli,
proteus spp, P. aeruginosa, A. Aerogenes, K. Pneumoniae. Darah yang tercemar plasmanya
keruh, berwarna abu-abu atau coklat hitam. Angka kematian pada reaksi ini sangat tinggi karena
endotoksin kuman-kuman ini menyebabkan shock. Resiko transfusi yang lain adalah transmisi
penyakit. Dari survey di Surabaya didapatkan prevalensi hepatitis B pada lebih kurang dua
persen dari donor, sedang di Jakarta dilaporkan 5%. Sebanyak 5-10% pasien hepatitis B menjadi
carrier yang menular. Screening hepatitis B tidak tersedia disetiap kota dimana darah
ditransfusikan. Timbulnya gejala antara 2 minggu samapi 6 bulan setelah transfusi % pasien
hepatitis NANB ini menjadi khronis dan 10-20% dari yang khronis ini akan menjadi cirrhosis.
Screening test yang terbaru sekalipun masih belum memiliki sensitivitas 100%. Prevalensi
Hepatitis non A non B adalah 2-3 x lebih besar daripada Hepatitis B dan test untuk NANB belum
ada yang dapat diandalkan dengan harga terjangkau. Masalah AIDS yang dapat ditularkan dari
donor asimptomatik (tanpa gejala). Masa inkubasi bertahun-tahun, tanpa gejala, sampai pada saat
timbulnya AIDS Related Complex
43 lalu Full Blown AIDS. Jarak anatar transfusi sampai diagnosis AIDS (+) pada orang dewasa
rata-rata 30 bulan dan pada anak 13,5 bulan. Pencegahan diupayakan dengan seleksi
menyingkirkan calon donor yang beresiko tinggi (homosex dan pecandu narkotik) dan
melakukan test Elisa untujk menyingkirkan mereka yang seropositif. Test ini masih mahal. B.
Langkah-langkah rasionalisasi Untuk melakukan transfusi yang aman dilakukan dengan indikasi
transfusi, batas awal dan akhir yang tepat, penggunaan komponen yang tepat, penggunaan cairan
pengganti (teknik hemodilusi) dan transfusi darah sendiri (autologous) Indikasi Transfusi, Batas
Awal dan Akhir yang tepat Pada perdarahan akut, pasien kehilangan volume darah dan eritrosit
yang berisi Hemoglobulin. Penggantian volume yang hilang harus didahulukan karena defisit
30% sudah menyebabkan shock berat dan kematian. Toleransi kehilangan Hb lebih besar. Kadar
Hb yang tinggal 50% masih dapat diatasi tubuh dengan mekanisme kompensasi, karena itu tidak
semua kehilangan darah harus diganti transfusi. Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10
gm/dl masih cukup memberikan oksigen jaringan dengan baik, asal volume sirkulasi
dipertahankan normal. Terapi cairan yang bertujuan mengembalikan volume sirkulasi menjadi
normal, dengan kadar Hb dalam batas 6-8 gm/dl, dengan demikian transfusi dapat ditunda.
Apabila diperlukan transfusi, maka kadar Hb akan dikembalikan menjadi 10 gm/dl dan tidak
perlu sampai Hb jadi normal 15 gm/dl, karena dengan Hb 10 gm/dl oksigenasi jaringan sudah
cukup. Transfusi ml (1-2 kantong) pada pasien dewasa, tidak diperlukan pemberian transfusi,
tetapi dengan diberikan Ringer Laktat atau NaCl ml saja. Pemberian satu kantong darah
menaikkan Hb 0,25 gm/dl, peningkatan sebesar ini dapat dicapai dengan pemberian gizi yang
baik dan terapi Fe++. Manfaat kenaikan Hb 0,25 gm/dl tidak layak dibandingkan dengan resiko
penyakit yang mungkin ditularkan. Penggunaan Komponen yang Tepat dan Dosis yang Tepat
Palang Merah Indonesia menyediakan darah utuh, darah yang dihadapkan, trombosit dan plasma.
Darah utuh (whole blood = WB), memiliki faktor koagulasi labil (Labile Factor)

44 dan trombosit jika belum lewat jam 6. lewat batas 6 jam itu, hanya Hb dan faktor pembekuan
stabil lainnya yang masih cukup banyak. Darah diendapkan/dipadatkan Packed Red Cell (PCR),
digunakan untuk anemia yang tidak disertai hipovolemia. Misalnya anemia khronis, atau anemia
karena perdarahan akut yang sudah mendapat penggantian volume sirkulasi. Dari 250 cc darah
utuh diperoleh 125 cc PRC maka dari 250 cc PCR didapat peningkatan Hb 2x lebih banyak dan
resiko circulatiory overload dapat dikurangi. Trombosit Dalam penyediaan transfusi ada 2
macam ialah plasma kaya trombosit (platelet Rich Plasma) atau konsentrat trombosit
(Thrombocyte Concentrate = TC). Satu unit PRP (50 cc) bearsal dari 250 cc darah utuh, teoritis
akan meningkatkan jumlah trombosit 5000/mm3. Pemberian trobosit dilakukan pada
trombositopenia (kadar /mm3) misalnya pada edema hemoragik dan hemodilusi (penggantian
perdarahan dengan cairan). Trombosit diberikan cukup sampai perdarahan berhenti atau masa
perdarahan (bleeding time) mendekati 2x nilai normal. Plasma Diberikan untuk mengatasi
hipovolemia akibat kehilangan plasma seperti pada demam hemoragik Dengue dan luka bakar
yang luas. Untuk DHF diberikan cc/kg sampai shock teratasi, berupa plasma segar, plasma segar
atau plasma biasa. Plasma segar beku (Fres Frozen Plasma = FFP) dan plasma segar (Fresh
Plasma kurang dari 24 jam) dapat digunakan mengatasi defisiensi faktor pembekuan. Diberikan
10 cc/kg satu jam pertama, dilanjutkan 1 cc/kg BB per jam sampai hasil PPT dan APTT
mencapai nilai kurang atau sama dengan 1,5 x nilai kontrol yang normal. Plasma tidak dapat
digunakan untuk menaikkan kadar albumin pasien hipo-albuminemia. C. Penggunaan Cairan
Pengganti (Teknik Hemodilusi) Volume darah normal adalah cc/kgbb. Kehilangan sampai 25%
volume darah masih dapat diganti cairan RL, NaCl 0,9% atau kombinasi dengan cairan koloid
seperti

45 Dextran, Expafusin. Jika kehilangan mencapai 30-50%, maka selain RL/NaCl 0,9% harus
ditambahkan Darah Endap (PRC) terutama jika kadar Hb mencapai kurang 6-8 gm/dl atau
hematokrit 20-25%. Teknik hemodilusi ini tidak sesuai bagi pasien trauma kepala dan trauma
thorax karena bahaya edema otak atau edema paru. D. Transfusi Autologous Cara ini
menggunakan darah pasien sendiri untuk mengganti perdarahan pada pembedahan yang
terencana (elektif). Cara yang dipakai adalah dengan menabung darah sendiri atau retarnsfusi
darah yang keluar. E. Menabung darah sebelum pembedahan Dalam waktu 2-7 hari sebelum
pembedahan, ml darah dapat diambil dari pasien itu sendiri 8 ml/kg yang setara dengan 10-15%
volume darahnya. Darah ini disimpan untuk kemudian ditransfusikan kembali setelah
pembedahan selesai. Jika perlu persiapan darah lebih banyak maka prosedur dimulai dua minggu
prabedah dengan mengambil 450 ml. Pasien diberi makanan bergizi, F2++ dan vitamin yang
cukup. Hari ketujuh prabedah, diambil lagi 900 ml dan pada saat itu darah pengambilan ke I
ditransfusikan kembali. Pasien jadi hanya kehilangan volume 450 ml saja, tetapi kita mempunyai
900 ml diluar tubuh pasien tersebut. Darah pengambilan ke II disimpan untuk pembedahan dan
diretransfusikan setelah pembedahan selesai. Transfusi autologous ini dapat dilakukan jika
kondisi umum pasien baik, Hb kurang dari 10 gm/dl dan tidak ada penyakit Diabetes lanjut,
penyakit jantung koroner dan penyakit cerebrovaskuler. F. Retransfusi darah yang keluar
(autotransfusion) Darah yang keluar selama pembedahan ditampung atau dihisap hati-hati,
disaring dari bahan diluar darah kemudian ditransfusikan kembali. Cara ini kurang dianjurkan.
G. Rangkuman Dengan menghemat transfusi, dapat dicegah hospital acquired infection,
utamanya Hepatitis dan AIDS. Pemberian trnasfusi seharusnya diperhitungkan dengan matang,
sehingga berusaha menghindari transfusi yang kurang perlu.

46 2.3.4 keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa Keseimbangan cairan dan elektrolit
merupakan salah satu segi yang menunjang berlangsungnya metabolisme tubuh dan kehidupan.
Penyakit dasar, Pembedahan dan anestesi memberikan pengaruh besar dan menyebabkan
perubahan-perubahan pada keseimbangan cairan ini sangat berarti bagi proses penyembuhan dan
pencegahan infeksi. Terapi cairan meliputi: penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan
air, elektrolit dan nutrisi, untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang
normal. A. Kebutuhan Basal Air Dan Elektrolit Dalam keadaan normal, rata-rata pengeluaran air
dan elektrolit seorang pasien dengan BB 50 kg adalah berikut: Tabel Pengeluaran air dan
elektrolit pasien berat badan 50 kg Air Na K Urine 1500 cc Pernapasan 1000 cc (700 cc /m2/24
jam) - Penguapan 1500 cc (tropis) - - Feces 100 cc 5 10 Di daerah tropis kehilangan cairan
penguapan dapat mencapai 1500cc dalam 24 jam, hanya terdiri dari air tanpa elektrolit. Keringat
menambah kehilangan ini cc/24 jam, yang merupakan air dengan sejumlah kecil Na dan K.
Sebaliknya, pemecahan jaringan otot dan lemak karena puasa menghasilkan kurang lebih 400 cc
air yang meningkat sampai 1000 cc pada katabolisme yang cukup besar/sepsis. Secara umum
disimpulkan, kebutuhan air seorang pasien dengan BB 59 kg dalam keadaan basal kurang lebih
( ) cc, yaitu 2700 cc /24 jam atau kurang 50 cc/kg/24 jam. Pada terapi cairan selama 2-3 hari saja,
elektrolit yang diutamakan adalah Na dan K kebutuhan Na sekitar meq/24 jam, kalium sekitar
meq/24 jam. Pada hari-hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan penambahan K, karena adanya
pengeluaran K dari sel/jaringan rusak, proses katabolisme dan transfusi darah (Whole blood)
mengandung kalium kurang lebih 20 meq/l) yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa
stress pembedahan menyebabkan pelepasan Aldosterone dan ADH sehingga terjadi
kecenderungan tubuh untuk menahan air dan Na. Pada orang tua dengan cardiac reserve yang
sempit

47 sebaiknya pada permulaan terapi cairan hanya diberikan 2/3 dari kebutuhan yang
diperhitungkan. Berdasarkan pengamatan dan penelitian selanjutnya, jumlah cairan dapat diatur
kembali. Pada hari ke 2-5 pasca bedah, terjadi reabsorpsi kembali cairan yang hilang ke third
space. Penambahan yang tak tampak ini harus diperhitungkan dalam evaluasi untuk pengaturan
cairan. B. Koreksi Gangguan Keseimbangan Air Dan Elektrolit Water exess Terjadi pada pasien-
pasien yang mendapat terapi cairan dengan sedikit/tanpa Na, untuk mengganti sejumlah besar
kehilangan Na. Contoh yang jelas adalah kehilangan dari saluran pencernaan (tubuh, diarrhea,
cairan lambung) yang diganti hanya dengan cairan Dextrose 5%. Kelebihan air terhadap
keseimbangannya dengan Na, menyebabkan turunnya kadar Na serum. Hiponatremi ini dapat
menyebabkan edema pada sel-sel otak, dan timbulnya gejala-gejala tergantung cepatnya
penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat diatasi dengan restriksi air, tetapi bila kadar Na serum
kurang dari 120 meq/l, perlu diberi terapi dengan Na hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini
harus berhati-hati pada pasien-pasien tua dengan cardiac reserve yang sempit. Kelebihan air
dapat dikeluarkan dengan pemberian glukosa hipertonis atau furosemide yang sebaiknya harus
diberikan bersama-sama NaCl dan KCl. Terapi dengan furosemide dalam jangka waktu lama
juga akan menyebabkan penurunan kadar Na serum. Water deficit Terjadi bilamana tubuh
kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada keadaan-keadaan: febris lama,
hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi, diabetes insipidus, non ketotic hyperosmolar
dehydration. Kekurangan 2% dari BB menimbulkan rasa haus, naik berat terjadi kelemahan
umum otot-otot, delirium dan convulsi. Terapi adalah pemberian cairan cairan Dextrose 5%
(isotonis) Saline Excess Umumnya terjadi sebagai akibat samping resusitasi cairan kolloid untuk
mengatasi syok dan mempertahankan volume CFC pada masa-masa prabedah dan selama
pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh pasien-pasien

48 muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi cordis dan edema paru-paru.
Terapi yang dilakukan adalah restriksi cairan, kalau perlu diberikan diuretic dan digitalisasi.
Saline Deficit Terutama terdapat pada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi, yang sering
disebabkan karena muntah, diare dan peritonitis. Kehilangan dari saluran pencernaan pada masa
pasca bedah memperbesar defisit ini. Terapi adalah penggantian dengan Ringer Lactat atau NaCl
0,9% Hipokalemi Terutama disebabkan pemberian cairan tanpa kalium, atau pengantian tidak
sesuai pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan. Gejala-gejala
klinis adalah kelemahan otot, paraesthesia, paralytic ileus. Kecuali bila kadar K serrum dibawah
2 meq/l, terapi kalium dapat dilakukan dalam 2-4 hari. Pemberian kalium jangan melebihi 200
meq/24 jam, dengan kecepatan meq/jam, dicampur dalam cairan infus. Hiperkalemi Pasien-
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kerusakan jaringan luas dan combustio/luka bakar akan
terjadi hiperkalemi. Tanda-tanda klinis dapat hanya kelemahan otot atau tanpa keluhan sampai
terjadi gangguan irama jantung dan cardiac arrest. Umumnya setelah kadar K serum lebih dari 6
meq/l terjadi perubahan-perubahan khas pada EKG. Bila kadar serum mencapai 6 meq/l segera
diberikan terapi untuk menurunkan sebagai berikut: 1. Pemberian calcium glukonat/chlorida ml
perlahan dalam waktu 2 menit. Pemberian calcium ini kontra indikasi pada pasien yang
mendapat terapi digitalis 2. Pemberian sodium bicarbonat meq untuk alkalinisasi darah 3.
Pemberian Glukosa 25% bersama reguler insulin 1 unit setiap 4-5 gr glukosa (pada renal failure
1 unit setiap 10 gr glukosa) sebanyak 200 dalam jam Penurunan kadar K dengan terapi ini
dapat bertahan selama 6 jam. C. Keseimbangan Asam Basa Perubahan ph cairan tubuh sangat
berpengaruh pada kerja sel dan enzym tubuh sehingga tubuh selalu berusaha mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam suatu batas fisiologis yang sempit. Pemeriksaan dilakukan pada
contoh darah arteri dengan harga normal,

49 p mmhg, pc mmhg, ph 7,35-7,45, HCO mmol/l dan BE -2 s/d +2. Penyimpangan ke arah
acidosis (ph kurang dari 7,35) dan alkalosis (ph lebih dari 7,45) dapat disebabkan oleh gangguan
pernapasan maupun gangguan metabinterprestasi hasil pemeriksaan gas darah dapat dilakukan
sebagai berikut: 1. Tentukan acidosis atau alkalosis Apabila penyebabnya respiratorik, pc02
menyimpang searah dengan ph dan jika BE menyimpang searah dengan ph penyebabnya
metabolic 2. Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi dengan melihat pco2 atau
BE yang menyimpang ke arah yang berlawanan dengan ph. Usaha kompensasi dengan
menurunkan BE tidak boleh dikoreksi dengan Na bicarbonat. Penyebab asidosis metabolik antara
lain ketoacidosis yang terjadi pada pasien diabet yang tidak diterapi dengan baik atau lactic
acidosis akibat gangguan perfusi jaringan oleh sebab cardiac, sepsis, perdarahan Alkalosis
metabolic terjadi pada pasien yang kehilangan cairan lambung dalam jumlah yang besar. Terapi
terhadap asidosis metabolic dan alkalosis metabolic adalah memperbaiki dan mengatasi
penyebab. Pada acidosis metabolik koreksi dilakukan dengan Na bicarbonate memakai patokan
rumus: dosis 1/3 x Berat Badan x BE (meq) Jumlah ini mula-mula diberikan separuhnya, sisanya
diberikan atau 1 jam kemudian. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan setelah terapi ,45
ph pco BE ACIDOSIS ph + pco2 : respiratorik p11 + BE : Metabolik ALKALOSIS

50 D. Terapi Cairan Pada Kasus Bedah Terapi cairan dilakukan sejak masa pra bedah, untuk
mengatasi keadaan syok karena dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidrasi
sedang dan ringan. Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin diganti masa pra bedah. Pada pasien-
pasien yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat kualitatif maupun
kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi. Hidrasi yang cukup ini diperlukan
untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu kehilangankehilangan yang
disebabkan perdarahan, edema jaringan karena manipulasi dan penguapan dari cavum
peritoneum. Pada laparatomi terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air,
elektrolit dan nutrisi, mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung,
febris), melanjutkan penggantian deficit pra bedah dan selama pembedahan, koreksi terhadapt
gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Sumber kehilangan cairan dan
elektrolit pasca bedah Kehilangan pada masa pasca bedah antara lain berasal dari febris, saluran
pencernakan dan hiperventilasi. Kebutuhan cairan dalam keadaan febris meningkat sebanyak
15% setiap kenaikan 1 o C suhu tubuh. Produksi cairan lambung yang berlebihan, muntah dan
diarrhea akan menambah kebutuhan cairan dan elektrolit. Hiperventilasi memperbesar
pengeluaran air lewat paru-paru, sedang humidifikasi udara kering mengambil sejumlah besar
cairan tubuh. Hiperventilasi pada pasien dengan tracheostomi tanpa humidifikasi akan
memperbesar kehilangan cairan. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan kehilangan air 1-1,5
L/hari. Tabel Fluid and electrolit in the acutely ill adult (Shoemaker, WC) Electrolyte
Concentrations (meq/l) Volume K CI Na PH Saliva ,5-7,8 Gastric juice Hepatic bile Pancreatic
juice Duodenol secretions Colonic mucosal secretions

51 Total Selain koreksi cairan, elektrolit dan asam basa yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, pada kasus pasca bedah perlu juga diperhitungkan asupan kalori mapun nutrisi
parenteral. Kalori Pasien-pasien dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan yang
minimal, pemberian karbohidrat gr sudah memadai. Jumlah ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sel-sel yang harus memakai glukosa sebagai sumber kalori, dan dapat menekan
pemecahan protein sebanyak 50%. Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan pertimbangan
mengenai kesulitan-kesulitan pemakaian cairan hipertonis, yang diperlukan untuk mendapatkan
jumlah asam amine dan kalori sesuai kebutuhan. Tersedianya larutan 2,5% asam amine dengan
150 gr karbohidrat merupakan suatu pilihan baru, karena dengan osmolalitas dibawah 800 mosm
memungkinkan pemberian lewat vena perifer. Dilain pihak, penambahan asam amine ini dapat
membuat N balance mendekati keseimbangan. Kebutuhan basal air, elektrolit dan kalori pasca
bedah pasien dengan operasi herniotomy, berat badan 50 kg. Terapi cairan hari ke 0 pasca bedah
dalam 24 jam adalah: Air 2500 cc (50 x 50 cc), Na 60 meq, K 0 meq dan kalori 100gr glukosa.
Cairan 500 cc PZ atau PZ Dextrose 5% dengan 2000 cc Dextrose 5% akan menghasilkan total
cairan 2500 cc cairan dengan 80 meq Na dan 125 gr glukosa. Parenteral Nutrition Pasien pasca
bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali, akan kehilangan protein
gr/hari. Pemberian karbohidrat saja gr menekan pemecahan ini sebanyak 50%. Pemberian kalori
dalam jumlah minimal yang berlangsung terus-menerus, akan kehilangan protein menjadi cukup
besar. Albumin dan enzym pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat, karena adanya
proses metabolisme yang cepat. Hipoalbuminemia akan menyebabkan edema jaringan, infeksi
dan dehisensi luka operasi. Turunya enzym pencernaan akan menyulitkan proses realimentasi.
Total parenteral Nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu kalori, protein dan
lemak termasuk unsure-unsure penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian
kalori sampai Kcal/kg dengan protein 0,2-0,24 N/kg. Cairan

52 hipertonis yang mengandung semua unsur ini, memberikan beberapa masalah mengenai
teknik pemberian, akibat samping mapun monitoring. Pada pasien yang diperkirakan
realimentasi sesudah 3-5 hari, mengalami pembedahan besar pada saluran pencernaan, keadaan
umum/status gizi kurang baik diperlukan pemberian parenteral nutrisi. Pada kasus-kasus yang
saluran pencernaannya memungkinkan, gabungan enteral dan prenteral nutrition merupakan
suatu pilihan lain E. Pemantauan Terapi cairan ditetapkan berdasarkan, perhitungan cairan keluar
masuk pemeriksaan laboratorium dan tanda-tanda klinis. Perhitungan cairan masuk umumnya
dilakukan setelah 24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya pasien dengan gagal ginjal,
dilakukan setiap 3 sampai 6 jam. Terapi cairan selama 1-2 hari tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium. Bila berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda klinis yang
mencurigakan, minimal dilakukan pemeriksaan serum elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi yang
klasik, kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi perkiraan berdasarkan perhitungan
cairan keluar masuk Burns Luka bakar mempunyai karakteristik yang berbeda dari kebanyakan
luka yang lain. Dimulai dari cara penanganan, perawatan, kesembuhan serta dampak perubahan
pada tubuh, dimana perubahan pada tubuh ini dapat terjadi secara lokal disekitar luka, mapun
sistemik hingga dapat menyebabkan kegagalan organ tubuh. Kesembuhan yang tidak sempurna
juga dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, oleh karena itu diperlukan penanganan dan
perawatan luka bakar yang lengkap dan menyeluruh guna menurunkan angka mortalitas serta
morbiditas akibat luka bakar. Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dapat dikelompokkan
menjadi berbagai jenis, antara lain adalah luka bakar karena api, air panas, bahan kimia,
listrik/petir, sengatan sinar matahari, udara panas dan ledakan bom. A. Derajat Luka Bakar
Kedalaman kerusakan luka bakar tergantung pada derajat sumber panas, penyebab, dan lama nya
kontak dengan tubuh penderita. Derajat kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3, yakni: 1. Luka
Bakar Derajat I

53 - Luka bakar terbatas pada lapisan epidermis (superficial) - Kulit hiperemik/eritem - Tidak
tedapat bullae - Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi - Penyembuhan
terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus. 2. Luka Bakar Derajat II Berupa reaksi
inflamasi yang disertai proses eksudasi. Dibedakan menjadi dua, yakni: a. Derajat II A
(superficial) - Mengenai epidermis dan lapisan atas dari dermis - Organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea (benih epitel) masih banyak - Dijumpai bullae -
Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi - Penyembuhan terjadi secara
spontan dalam waktu hari tanpa bentuk cicatrik b. Derajat IIB (deep) - Kerusakan mengenai
hampir seluruh bagian dermis - Organ kulit (sisa jaringan epitel) tinggal sedikit - Dijumpai bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi - Penyembuhan dapat disertai
parut hipertrofi dan terjadi lebih lama, biasanya lebih dari 1 bulan 3.Luka Bakar Derajat III -
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai jaringan
subkutan, otot, dan tulang - Kulit yang terbakar berwarna abu abu sampai dapat berwarna hitam
kering. - Seluruh organ kulit mengalami kerusakan, tidak tesisa lagi sisa elemen epitel - Tidak
dijumpai bullae - Dijumpai eskar (koagulasi protein pada epidermis dan dermis) - Tidak dijumpai
rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung ujung sensoris telah rusak - Penyembuhan terjadi
lama karena tidak dijumpai epitelisasi spontan. Tindakan graft dan debridement hampir selalu
diperlukan pada luka bakar derajat ini.

54 B. Luas Luka Bakar Digunakan pembagian oleh Wallace, yang membagi bagian bagian tubuh
atas 9% atau kelipatan dari 9%, disebut juga dengan Rule of Nine atau Rule of Wallace: Dewasa
Gambar. Skema pembagian luas luka bakar Rule of Nine C. Penatalaksanaan Penderita Luka
bakar Saat memeriksa pasien dengan luka bakar, diwajibkan memakai sarung tangan steril untuk
meminimalisasi resiko infeksi pada penderita. Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh
meliputi dari ABCDE pada primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey. Airway
dan Breathing Bebaskan jalan napas. Lakukan manuver pembebasan jalan napas dengan tetap
memperhatikan ada tidaknya cedera cervical. Penderita luka bakar dapat juga mengalami trauma
lain seperti trauma kepala ataupun trauma pada cervical spine. Penderita luka bakar dengan
distress napas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotracheal. Selain
membebaskan jalan napas dan pemberian oksigen yang adekuat, evaluasi juga ada/ tidaknya
trauma inhalasi. Trauma Inhalasi Terjadi dikarenakan penderita menghirup langsung uap panas
atau uap dari produk yang terbakar seperti jelaga dan bahas iritan khusus yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa saluran napas dan bronchospasme reaktif. Kerusakan mukosa
ini diikuti dengan adanya proses inflamasi yang menyebabkan edema saluran napas, diperparah
dengan peningkatan debris endobronchial yang tidak bisa dikeluarkan akibat kerusakan system
klirens silier,

21 pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari merupakan penyebab
penting hipoksia. Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya splinting
pada dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi tulang
iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan rontgen toraks akan
ditemui fraktur costae multipel tetapi dapt juga tidak dijumpai pemisahan costochondral. Analis
gas darah arteri yang menunjukkan ada hipoksia juga akan membantu menegakkkan diagnosis
flail chest. Penatalaksanaan definitif meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian
cairan secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Pemberian analgesia dapat
dilakukan dengan pemberian narkotikaintravena atau berbagai metode anestesi lokal yang tidak
berpotensi memicu depresi pernapasan seperti pada pemberian narkotika sistemik. Pemilihan
anestesi lokal yang meliputi blok saraf intermitten pada intercostal, intrapleural, ekstrapleural,
dan anetesi epidural. Bila digunakan dengan tepat agen anestesi lokal dapat memberikan
analgesia yang sempurna dan menekan perlunya dilakukan intubasi. Pencegahan hipoksia juga
merupakan bagian penting dalam penanganan pasien trauma dimana intubasi dan ventilasi pada
periode waktu yang singkat diperlukan hingga diagnosis pola trauma secara keseluruhan
lengkap. Penilaian yang teliti akan kecepatan pernapasan, tekanan oksigen arterial dan
kemampuan pernapasan menjadi indikasi waktu pemasangan intubasi dan ventilasi. D.
Hemotoraks Masif Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah
atau satu pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat
luka tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga dapat
terjadi akibat trauma tumpul. Akumulasi darah dan cairan dalam hemitoraks dapat mengganggu
upaya pernapasan dengan menekan paru dan mencegah ventilasi yang adekuat. Akumulasi akut
darah secara dramatis dapat bermanifestasi sebagai hipotensi dan syok. 2.2.2 Non-Trauma A.
Acute Lung Oedem (ALO)

22 Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga
alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal napas.
Etiologi: 1. Edema Paru Kardiogenik Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan
pada jantung atau sistem kardiovaskuler. a. Penyakit pada arteri koronaria Arteri yang menyuplai
darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung
terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak
otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami
gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa. b. Kardiomiopati Penyebab
terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini penyebab
terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung
(miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat
kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada
keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka
darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di
paru-paru (flooding). c. Gangguan katup jantung Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta,
katup yang berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat
(stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru. d. Hipertensi Hipertensi tidak
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai
dengan penyakit arteri koronaria. 2. Edema Paru Non Kardiogenik

23 Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri.
Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru. c. Paparan toxic d. Reaksi
alergi e. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) f. Neurogenik ALO kardiogenik
dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak tinggi di atrium kiri, vena
pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25
mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan
akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini
sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami ALO
adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler
paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga menyebabkan
masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya
pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret ini akan
mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya. ALO dapat dibagi
menurut stadiumnya (3 stadium), a. Stadium 1 Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru
yang prominen akan mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas
difusi CO. Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan
aktivitas. b. Stadium 2

24 Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan
kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama di daerah basal karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak
napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal. c. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi oedema
alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia.
Penderita tampak mengalami sesak napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink
froty). Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Pemeriksaan Fisik: 1.
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih. 2. Ronchi basah
nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi
kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma
kardiale. 3. Takikardia dengan S3 gallop. 4. Murmur bila ada kelainan katup. Elektrokardiografi :
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab
gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.
Laboratorium : 1. Analisa gas darah po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia. 2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. 3. Darah
rutin, ureum, kreatinin,, elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB,
Troponin T), angiografi koroner Rontgen Dada : X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema
mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan

25 opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal
dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai
akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyebab yang mungkin mendasarinya. Penatalaksanaan Pengobatan : 1. Posisi duduk. 2.
Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. 3. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmhg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator. 4. Infus
emergensi, monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. 5. Menurunkan preload dan
mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin (NTG) dan Furosemide merupakan obat
pilihan utama. 6. Morfin sulfat 3 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari). 7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5
ug/kgbb/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgbb/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya. 8. Trombolitik atau revaskularisasi pada
pasien infark miokard 9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen. 10. Penggunaan Aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai
bronkokonstriksi atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor
kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek
inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan. 11. Penggunaan Inotropik. Pada
penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan, dapat diberikan digitalis seperti
Deslano-side (Cedilanide-D). Obat lain yang dapat dipakai adalah golongan Simpatomi-metik
(Dopamine, Dobutamine) dan golongan inhibitor Phos-phodiesterase (Amrinone, Milrinone,
Enoxumone, Piroximone) B. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

26 Acute respiratory distress syndroem (ARDS) adalah kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba
dan bentuk kegagalan napas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah
terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal. Menurut Hudak & Gallo (1997),
gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah 1. Sistemik: Syok karena beberapa
penyebab Sepsis gram negative Hipotermia Hipertermia Takar lajak obat ( Narkotik, Salisilat,
Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin ) Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif,
Bypass kardiopulmonal ) Eklampsia Luka bakar 2. Pulmonal : Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur,
penumosistik karinii ) Trauma ( emboli lemak, kontusio paru ) Aspirasi ( cairan gaster,
tenggelam, cairan hidrokarbon ) Pneumositis 3. Non-Pulmonal : Cedera kepala Peningkatan TIK
Pascakardioversi Pankreatitis Uremia Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan
sebagai berikut : Kerusakan sistemik menyebabkan penurunan perfusi jaringan sehingga terjadi
Hipoksia seluler dan terjadi Pelepasan faktor-faktor biokimia( enzim lisosom, vasoaktif, system
komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine ) yang menyebabkan Peningkatan permiabilitas
kapiler paru yang berakibat terhadap Penurunan aktivitas surfaktan sehingga terjadi Edema
interstisial alveolar paru dan menyebabkan Kolaps alveolar yang progresif

27 sehingga compliance paru menurun (Stiff lung) dan meningkatkan shunting sehingga terjadi
Hipoksia arterial. Penatalaksanaan : Pasang jalan napas yang adekuat Pencegahan infeksi
Ventilasi mekanik Dukungan nutrisi TEAP Monitor system terhadap respon Pemantauan
Oksigenasi Arteri Perawatan kondisi dasar Cairan Farmakologi (O2,diuretik,antibiotik)
Pemeliharaan jalan napas 2.3 Kegawatan Circulation (Sirkulasi) 2.3.1 Syok A. Definisi dan
Patofisiologi Syok adalah kumpulan gejala yang diakibatkan oleh gangguan perfusi jaringan,
yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Gangguan perfusi
tersebut mengakibatkan jaringan kekurangan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan energi. Bila tidak diterapi dengan segera, metabolisme sel secara anaerobic akan
menyebabkan terjadinya asidosis asam laktat yang akan mengganggu fungsi sel dan sel tersebut
akan mati. Demikian, syok dapat pula diartikan sebagai gangguan oksigenasi sel/ jaringan.
Mekanisme kompensasi tubuh bila terjadi syok adalah vasokonstriksi untuk mempertahankan
tekanan darah, terutama untuk syok jenis hipovolemi. Pada syok septic atau cardiogenic dapat
terjadi vasodilatasi. Selain vasokonstriksi, dapat pula terjadi rangsangan pada baroreceptor yang
berakibat pada meningkatnya sekresi katekolamin. Kompensasi lain adalah terjadinya shift
cairan dari interstitial kedalam intravaskuler. Pada tahap dekompensasi, akan terjadi peningkatan
permeabilitas membrane kapiler, pengelompokan leukosit dan

28 trombosit yang menyebabkan sumbatan pada mikrovaskuler, dan jika proses berlanjut akan
menyebabkan gangguan fungsi organ. B. Macam Macam Penyebab Syok Terdapat banyak
pembagian penyebab syok misalnya: A. 1. Syok hipovolemi 2. Syok cardiogenic 3. Syok septic
4. Syok neurogenic B. 1. Syok hipovolemik 2. Syok cardiogenic 3. Syok obstruktif 4. Syok
distributif C. 1. Syok hemorrhagic 2. Syok non hemorrhagic Adanya banyak macam pembagian
syok dapat merupakan tanda bahwa pemahaman tentang syok masih belum lengkap. Pembagian
menurut klasifikasi A cukup banyak digunakan. B.1 Syok Hipovolemik Syok dapat disebabkan
karena tubuh kehilangan darah, plasma atau cairan tubuh yang lain, misalnya: pembedahan,
trauma, luka bakar, muntah atau diare. Kehilangan cairan pada rongga ketiga tubuh yang biasa
disebut dengan third space loss juga dapat mengakibatkan syok, misalnya: peritonitis,
pancreatitis, dan ileus obstuksi. B.2 Syok Kardiogenik Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi jantung, misalnya karena: Akut Miokard Infark, Cardiomyopati,
Aritmia, Payah jantung, Tamponade jantung dan Trauma jantung. B.3 Syok Septic

29 Syok septic didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipotensi yang tidak respon
terhadap resusitasi cairan yang adekuat. B.4 Syok Neurogenik Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi system saraf simpatis, sehingga tejadi vasodilatasi pembuluh darah,
misalnya pada: Trauma tulang belakang, spinal syok dan anestesi yang terlalu dalam. B.5 Syok
Anafilaktik Gangguan perfusi jaringan sebagai respon dari masuknya allergen (misal: antibiotic)
kedalam tubuh yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Gejala dapat timbul sangat
cepat, yang ditandai dengan distress napas akut, syok, maupun keduanya. Mediator terpenting
yang terlibat dalam proses anafilaktik adalah histamine, leukotriene, basophil kalikrein (BK- A),
and platelet- activating factor. Mediator mediator tersebut mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Aktivasi dr reseptor H1 menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, sedangkan reseptor H2 sebabkan vasodilatasi, meningkatkan sekresi mucus,
takikardi, dan meningkatkan kontraktilitas miokard; BK- A memecah bradikinin dari kininogen,
bradikinin menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, vasodilatasi dan kontraksi otot
polos. Aktivasi dari factor Hageman juga terlibat dalam mengawali koagulasi intravaskuler.
Eosinophil chemotactic factor, neutrophil chemotactic factor, dan leukotriene B menyebabkan
terjadinya proses inflamasi sel yang berakibat pada injury jaringan. Angioedem yang terjadi pada
laring, faring dan trakea menyebabkan sumbatan jalan napas bagian atas, sedangkan
bronkospasme dan edema mukosa berakibat pada sumbatan jalan napas bagian bawah.
Transudasi cairan dari kulit (angioedema) dan visera, menyebabkan hipovolemia dan syok,
dimana vasodilatasi arterial menurunkan tahanan vaskuler sistemik. Hipoperfusi coroner dan
hipoksia arteri menyebabkan aritmia dan iskemik miokard. Leukotrien dan prostaglandin juga
dapat menyebabkan vasospasme dari pembuluh darah coroner. Syok dari sirkulasi yang
berkepanjangan dapat berakibat pada asidosis asam laktat dan iskemia dari organ organ vital.
Jenis syok ini dapat diakibatkan oleh kontras media, obat, makanan, reaksi transfusi,
sengatanserangga maupun gigitan ular berbisa.

30 C. Tanda dan Gejala Syok Sistem pernapasan : Napas cepat dan dangkal Sistem sirkulasi :
Perfusi ekstrimitas pucat, dingin, basah. Waktu pengisian kapiler > 2 detik. Nadi cepat dan
lemah. Tekanan darah turun. (bila kehilangan darah >30 %) Vena tampak kolaps (CVP < 2 cm
H2O) Sistem syaraf pusat : Gelisah sampai tidak sadar (tegantung derajat syok) Sistem ginjal :
Produksi urin menurun ( Normal = 0,5-1 cc/kg BB/ jam) Sistem pencernaan : Mual, muntah.
Sistem otot/ kulit : Turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering. D. Tatalaksana
Tatalaksana syok tergantung pada penyebabnya, namun terdapat prinsip penanganan utama pada
syok, yakni: 1. Memperbaiki system pernapasan a. Bebaskan jalan napas b. Terapi oksigen c.
Bantuan napas 2. Memperbaiki system sirkulasi a. Posisi syok b. Pemberian cairan c. Monitoring
nadi, tekanan darah, perfusi perifer dan produksi urin 3. Menghilangkan dan mengatasi penyebab
syok D.1 Syok Hipovolemi Segera pasang infus dengan jarum ukuran besar (#14,16) pasang di
dua tempat. Jumlah cairan yang diberikan tergantung derajat syok, rata- rata untuk awal
pengobatan diberikan 1000-2000cc cepat. Usaha untuk mempercepat pemberian cairan infus
dapat dilakukan dengan cara:

31 1. Gunakan IV kateter ukuran besar dan pendek 2. Botol cairan ditempatkan setinggi mungkin
3. Gunakan pompa Macam cairan yang digunakan: 1. Kristaloid: Ringer Lactate, Normal Saline
0,9% Cairan Kristalod diberikan sebanyak 2-4x perkiraan jumlah perdarahan, karena sifatnya
yang tidak dapat bertahan lama di intravaskuler. Sehingga juga berfungsi mengisi cairan
interstitial yang hilang. RL lebih fisiologis dibandingkan normal saline, sehingga lebih banyak
dipilih RL untuk resusitasi initial cairan pada syok hipovolemi, kecuali pada pasien dengan
kelainan ginjal dan cidera kepala. 2. Kolloid Terbagi menjadi golongan protein: albumin atau
plasma dan golongan non protein: dextran atau gelatin. Cairan kolloid lebih stabil berada dalam
rongga intravaskuler sehingga diberikan sesuai dengan perkiraan jumlah perdarahan. 3. Darah:
Whole Blood fresh or stored, PRC. Tahap awal dalam resusitasi cairan digunakan cairan
kristaloid dan dilanjutkan dengan koloid. Penelitan membuktikan pemberian darah pada tahap
awal resusitasi cairan angka kematian yang berhubungan dengan reaksi transfusi. Hemodilusi
adalah mengganti kehilangan darah dengan larutan kristaloid atau koloid sampai hemodinamik
stabil yang ditandai dengan nadi <100x/ menit, tekanan darah systole >100 cmhg, perfusi perifer
hangat kering merah, serta waktu pengisian kapiler <2 detik. Syok Hipovolemi, Dehidrasi (Diare,
muntaber, peritonitis) Klasifikasi Klinis Pengelolaan Dehidrasi Ringan: Nadi normal/ sedikit
meningkat Penggantian volume cairan Kehilangan cairan tubuh Selaput lendir kering yang
hilang dengan 3-5% BB Haus terus menerus kristaloid Dehidrasi Sedang: Nadi cepat
Penggantian volume cairan Kehilangan cairan tubuh 6-8% BB Tekanan darah turun Selaput
lendir sangat kering Oliguria Status mental tampak lesu, lemas yang kristaloid hilang dengan
32 Dehidrasi Berat: Kehilangan cairan tubuh >8% BB Nadi cepat, kecil, sampai tidak teraba
Tekanan darah turun Perfusi perifer lambat Anuria Kesadaran menurun Penggantian volume
cairan yang hilang dengan kristaloid Cara pemberian terapi infus pada kasus dehidrasi adalah: 1.
Infus cepat untuk mengisi kembali IVF 2. Infus lambat untuk mengisi kembali ISF 3.
Memberikan juga cairan maintenance

33 Syok Hipovolemi, Perdarahan Perdarahan dalam jumlah besar melebihi 15% volume darah,
akan menyebabkan perubahan fungsi tubuh sehingga jatuh dalam kondisi syok. Satu jam pertama
masa syok sering disebut the golden hour. Pertolongan harus cepat dilakukan, yakni dengan
menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan infuse cairan. Tabel.
Klasifikasi perdarahan berdasar ATLS D.2 Syok Kardiogenik Permasalahan utama pada syok
kardiogenik adalah berkurangnya kekuatan pompa jantung, maka terapi paling utama adalah
memperkuat pompa jantung dengan menggunakan inotropic yakni: dopamine, dobutamin,
isoprenolol atau nor-adrenalin. Pemilihan obat-obatan tersebut kembali disesuaikan dengan
gejala klinis dan performance jantung masing masing penderita dengan tidak melupakan
permasalahan airway, breathing dan circulation. Syok kardiogenik dapat juga terjadi akibat
trauma, yakni kontusio jantung, tamponade jantung dan tension pneumothorax. Sehingga perlu
dilakukan tindakan terhadap penyebab tersebut, sebagai contoh; pericardiosentesis pada
tamponade jantung dan thoracosentesis pada tension pneumothorax. D.3 Syok Septic Tatalaksana
syok septic berdasar guideline Surviving Sepsis Campaign 2012:

34 D.4 Syok Anafilaktik Terapi syok anafilaktik harus dilakukan segera dan bergantung pada
derajat keparahan dari reaksi yang terjadi. Meliputi: 1. Penghentian segera dari pemberian agen
penyebab. (misal: obat) 2. Berikan oksigen 100% 3. Adrenalin (0,01-0,5 mg IV atau IM;
tergantung pada derajat keparahan) 4. Pertimbangkan untuk intubasi 5. Bolus cairan intravena 6.
Antihistamin: Diphenhydramine (50-75 mg IV) 7. Ranitidine (150 mg IV) 8. Kortikosteroid:
Hydrocortisone (sampai 200 mg IV) atau methylprednisolone (1-2 mg/kg BB) 2.3.2 Terapi
Cairan Pengganti Perdarahan Perdarahan dan hemorrhagic syok sering terjadi pada kasus trauma
berat dan merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan pasca bedah dini. Perdarahan dapat
ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat atau Normal Saline dalam jumlah besar.
Lahir istilah Hemodilusi karena selama darah yang hilang diganti cairan, terjadilah pengenceran
darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi bukan keadaan fisiologik, tetapi sutau yang berguna
untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan hebat. Darah diberikan pada saat yang tepat
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

35 A. Dasar-dasar pemikiran Penderita yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa
volume darah yang beredar dan berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Volume darah Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa
jam. Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan: a. Vasokonstroksi organ sekunder (viscera, otot,
kulit) untuk menyelamatkan morgan primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa b.
Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobic dengan produk
asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-
perubahan sekunder pada organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi
kerusakan merata. d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler
sampai 10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih
dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel
ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intra
vaskuler), penderita masih mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversible dan
berakhir kematian. Eritrosit untuk transportasi oksigen Dalam keadaan normal, jumlah oksigen
yang tersedia untuk jaringan adalah = Cardiac output x Saturasi O2 x Hb x 1,34 + CO po2 x
0.003 (5,9). Kalau unsur CO x po2 x 0.003 karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa
persediaan oksigen untuk jaringan tergantung pada Cardiac Output, saturasi dan kadar Hb.
Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi
dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang Cardiac Output harus naik agar penyediaan
oksigen jaringan tidak terganggu. Orang normal dapat menaikkan Cardiac output 3x normal
dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor-faktor Hb dan saturasi
jelas tidak dapat naik.

36 Hipovolemea akan mematahkan kompensasi Cardiac output. Dengan mengembalikan volume


darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu
berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi CO dapat naik sampai 3x, maka
penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume, mutlak
diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit. B. Cara mengatasi perdarahan Penderita datang
dengan perdarahan Pasang infus jarum besar Ambil sample darah catat tekanan darah, nadi,
perfusi, (produksi urine) Ringer laktat atau NaCl 0.9% 20 ml/kg bb cepat, ulangi 1000-2000 ml
dalam 1 jam Hemodinamik baik Tekanan darah 100, nadi 100 Perfusi hangat, kering Urine
ml/kg/jam Hemodinamik buruk teruskan cairan 2-4 x estimated loss Hemodinamik buruk
Hemodinamik baik A B C Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak
diperlukan. Pada kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gm% atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan
terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab
yaitu perdarahan

37 masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama
dan anemia terlalu berat, terjadi hipoksia jaringan. Pada 1/2 jam pertama, kalau diukur Hb/Hct,
hasil yang diperoleh mungkin masih normal. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah
penderita kembali normovolemik dengan pemberian cairan. Penderita didalam keadaan anestesi,
dengan napas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematocrit 10% - 15%. Tetapi
penderita biasa, sadar, napas sendiri, memerlukan Hb 8 gm% atau lebih agar cadangan
kompensasinya tidak terkuras habis. C. Jumlah cairan Lebih dulu dihitung Estimated Blood
Volume penderita, 65-70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan
baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan
lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai
darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10%
EBV berkisar antara 2-4 x volume yang hilang. Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan
dengan kriteria Trauma Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infusi,
cairan Ringer Laktat akan meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi
keseimbangan baru antara Plasma Volume (IVF) dan ISF. Expansi ISF ini merupakan interstitial
edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula
organorgan tersebut telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan frusemide setelah
transfusi diberikan. Tabel. Traumatic status dari Giesecke TANDA TS I TS II TS III Sesak napas
- Ringan ++ Tekanan darah N Turun Tak teratur Nadi Cepat Sangat cepat Tak teraba Urine N
Oliguria Anuria Kesadaran N Disorientasi / coma

38 Gas darah N po2 / pco2 po2 / pco2 CVP N Rendah Sangat Rendah Blood loss% EBV Sampai
10% Sampai 30% Lebih 50% D. Macam cairan Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun
menjadi perbantahan sengit: a. Transfusi darah Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok
ada. Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan
hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor belum tersedia, menghemat jumlah
darah donor yang perlu ditransfusikan dan memberikan koreksi ECF defisit. Bila darah golongan
yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan 0 dengan titer anti A
rendah (Rh negatif) atau Packed Red Cells-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di
UGD. b. Plasma expander Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi (dextran,
gelatin, hydroxyethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama intravaskuler. Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander. Selain itu
harga plasma expander adalah 10x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi anaphylactoid dapat
terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0.03-0.08% pemberian). Penulis mengalami 2 kasus
reaksi ini dengan syok, yang memerlukan adrenaline untuk mengatasinya. Reaksi ini dapat
berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross match darah dan pada dosis lebih
dari 10-15 ml/kg BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah. c. Albumin Albumin 5%
ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi volume effect. Tetapi
harganya adalah 70x harga Ringer laktat untuk volume effect yang sama. d. Ringer laktat atau
NaCl 0,9%

39 Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infusi IVF
diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF jenuh. Idealnya
cairan ini hanya digunakan pada perdarahan yang tidak melebihi 15% volume darah penderita.
Cairan lain seperti Dextrose, 0,45 NaCl tidak dapat digunakan.
40 E. Penyulit Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada
proses metabolisme atau pada paru. Dekompensasi Jantung Dekompensasi ditandai oleh
kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi
jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian colloid
dapat mengalami kenaikkan PCWP 50% yang potensial akan mengalami dekompensasi jantung.
Edema paru Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/ Qt.
Pemberian colloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami kenaikan
Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient hypoalbuminemia
2.5 + 0.1 mg% dari harga pre op sebesar 3.5 + 0.1 mg%. Penurunan albumin ini diikuti
penurunan tekanan oncotic plasma dari 21 + 0.4 menjadi 13 + 1.0. Penurunan selisih tekanan
COP PCWP dari nilai pre op tidak selalu menyebabkan edema. Giesecke memberi batasan
bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 20 25% dapat diberikan dengan tetesan
lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar 0.25-0.50 gm% Jika masih terjadi edema
paru, berikan frusemide, 1-2 mg/kg. Gejala sesak napas akan berkurang setelah urine keluar 1000
2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan Dopamin drip 5-10 microgram/kg/menit. Sebagai
terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila diperlukan mendesak lakukan napas buatan +
PEEP. Insiden pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah 2.1%. Lactic Acidosis
Pemberian Ringer laktat tidak menambah buruk acidosis laktat karena syok. Laktat dirubah
hepar menjadi bicarbonate yang menetralisir metabolic acidosis pada syok. Perbaikan sirkulasi
akibat pemberian volume justru menurunkan kadar laktat darah karena perbaikan transport
oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.

41 Gangguan hemostasis Gangguan karena pencgenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi
sudah mencapai 1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah thrombocyt. Pemberian
Fresh Frozen Plasma tidak berguna karena tidak mengandung thrombocyt, sedang faktor V dan
VIII dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5-30% normal). Thrombocyt dapat diberikan sebagai
fresh blood, platelet rich plasma atau thrombocyt concentrate dengan masa simpan kurang dari 6
jam jika suhu 4oC. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar thrombocyt 100.000 per mm3.
Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kg BB. F. Rangkuman
Ringer Laktat dan NaCl 0,9% selain harganya murah, tersedia dengan mudah sampai ketingkat
Puskesmas, tanpa perlu cross match, tanpa reaksi allergi, waktu simpan tak terbatas, tak perlu
lemari es, dan dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti. Dengan kemasan botol plastik, paket-
paket cairan ini dapat didrop dengan cepat dari helikopter dan langsung digunakan untuk
stabilisasi korban, dimanapun dia berada. Jika pedoman-pedoman pemberian cairan diikuti,
pemberian cairan berlebih sekalipun tidak mudah menyebabkan kematian penderita. Jika toh
akan menyebabkna kematian, prosesnya jauh lebih lama daripada proses syok perdarahan.
Sehingga kita cukup waktu untuk melakukan koreksi terhadap penyulit yang mengancam jiwa
tersebut. 2.3.3 Tranfusi Darah Transfusi sebenarnya bukan satu-satunya cara untuk mengatasi
keadaan anemia pada seorang pasien yang kehilangan darah, baik itu kehilangan akut ataupun
kronis. Kehilangan kronis dapat mudah diatasi dengan terapi Fe (besi) dan perbaikan nutrisi,
kecuali beberapa pasien kelainan sistim hemopoetik. Kehilangan darah akut dapat diganti
volumenya dengan cairan pengganti (larutan elektrolit atau plasma expander). Pada hakekatnya
blood is RED, selain merah, RED berarti Rare-Expensive-Dengerous (Langka, mahal,
berbahaya)

42 A. Resiko Transfusi Resiko transfusi yang banyak dikenal adalah reaksi transfusi. Jenis yang
sering terjadi adalah reaksi transfusi panas, yang disebut leukosit donor/leukoaglutinin resipien
atau bahan pirogen. Reaksi ini tak berbahaya dan berhenti dengan penghentian transfusi atau
pemberian antiretika. Kebiasaan memberikan premedikasi dengan antipiretika + antihistamin pra
transfusi tidak dapat dibenarkan. Prevalensi reaksi ini hanya sekitar 1%, prevensi yang diberikan
adalah pemborosan dan menambah resiko alergi obat atas diri pasien yang semestinya tidak akan
mengalami resiko. Obat-obat tersebut dapart memberikan masking effect pada tanda-tanda awal
reaksi transfusi jenis berbahaya. Reaksi transfusi alergi adalah akibat kontak dengan protein
asing dan terbentuknya immune-complex, aktivasi komplemen yang diiukti degranulasi sel-sel
mast dan basofil yang melepaskan histamine. Reaksi yang ringan berupa pruritus dan urticaria.
Reaksi yang berat berupa bronchospasme, sesak napas atau bahkan reaksi anafilaktik yang fatal.
Reaksi transfusi hemolitik adalah hemolisis akut intravaskuler karena inkompatibilitas golongan
darah ABO. Jika hemolisis tidak berat dan jumlah darah yang mismatch masih sedikit (< 250
ml), pasien masih dapat diselamatkan jika ditangani dengan baik. Reaksi tranfusi
bakteremia/septik terjadi karena darah donor tercemar umumnya dari bakteria dari jenis: E. Coli,
proteus spp, P. aeruginosa, A. Aerogenes, K. Pneumoniae. Darah yang tercemar plasmanya
keruh, berwarna abu-abu atau coklat hitam. Angka kematian pada reaksi ini sangat tinggi karena
endotoksin kuman-kuman ini menyebabkan shock. Resiko transfusi yang lain adalah transmisi
penyakit. Dari survey di Surabaya didapatkan prevalensi hepatitis B pada lebih kurang dua
persen dari donor, sedang di Jakarta dilaporkan 5%. Sebanyak 5-10% pasien hepatitis B menjadi
carrier yang menular. Screening hepatitis B tidak tersedia disetiap kota dimana darah
ditransfusikan. Timbulnya gejala antara 2 minggu samapi 6 bulan setelah transfusi. 50-70%
pasien hepatitis NANB ini menjadi khronis dan 10-20% dari yang khronis ini akan menjadi
cirrhosis. Screening test yang terbaru sekalipun masih belum memiliki sensitivitas 100%.
Prevalensi Hepatitis non A non B adalah 2-3 x lebih besar daripada Hepatitis B dan test untuk
NANB belum ada yang dapat diandalkan dengan harga terjangkau. Masalah AIDS yang dapat
ditularkan dari donor asimptomatik (tanpa gejala). Masa inkubasi bertahun-tahun, tanpa gejala,
sampai pada saat timbulnya AIDS Related Complex

43 lalu Full Blown AIDS. Jarak anatar transfusi sampai diagnosis AIDS (+) pada orang dewasa
rata-rata 30 bulan dan pada anak 13,5 bulan. Pencegahan diupayakan dengan seleksi
menyingkirkan calon donor yang beresiko tinggi (homosex dan pecandu narkotik) dan
melakukan test Elisa untujk menyingkirkan mereka yang seropositif. Test ini masih mahal. B.
Langkah-langkah rasionalisasi Untuk melakukan transfusi yang aman dilakukan dengan indikasi
transfusi, batas awal dan akhir yang tepat, penggunaan komponen yang tepat, penggunaan cairan
pengganti (teknik hemodilusi) dan transfusi darah sendiri (autologous) Indikasi Transfusi, Batas
Awal dan Akhir yang tepat Pada perdarahan akut, pasien kehilangan volume darah dan eritrosit
yang berisi Hemoglobulin. Penggantian volume yang hilang harus didahulukan karena defisit
30% sudah menyebabkan shock berat dan kematian. Toleransi kehilangan Hb lebih besar. Kadar
Hb yang tinggal 50% masih dapat diatasi tubuh dengan mekanisme kompensasi, karena itu tidak
semua kehilangan darah harus diganti transfusi. Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10
gm/dl masih cukup memberikan oksigen jaringan dengan baik, asal volume sirkulasi
dipertahankan normal. Terapi cairan yang bertujuan mengembalikan volume sirkulasi menjadi
normal, dengan kadar Hb dalam batas 6-8 gm/dl, dengan demikian transfusi dapat ditunda.
Apabila diperlukan transfusi, maka kadar Hb akan dikembalikan menjadi 10 gm/dl dan tidak
perlu sampai Hb jadi normal 15 gm/dl, karena dengan Hb 10 gm/dl oksigenasi jaringan sudah
cukup. Transfusi 250-500 ml (1-2 kantong) pada pasien dewasa, tidak diperlukan pemberian
transfusi, tetapi dengan diberikan Ringer Laktat atau NaCl 500-1000 ml saja. Pemberian satu
kantong darah menaikkan Hb 0,25 gm/dl, peningkatan sebesar ini dapat dicapai dengan
pemberian gizi yang baik dan terapi Fe++. Manfaat kenaikan Hb 0,25 gm/dl tidak layak
dibandingkan dengan resiko penyakit yang mungkin ditularkan. Penggunaan Komponen yang
Tepat dan Dosis yang Tepat Palang Merah Indonesia menyediakan darah utuh, darah yang
dihadapkan, trombosit dan plasma. Darah utuh (whole blood = WB), memiliki faktor koagulasi
labil (Labile Factor)

44 dan trombosit jika belum lewat jam 6. lewat batas 6 jam itu, hanya Hb dan faktor pembekuan
stabil lainnya yang masih cukup banyak. Darah diendapkan/dipadatkan Packed Red Cell (PCR),
digunakan untuk anemia yang tidak disertai hipovolemia. Misalnya anemia khronis, atau anemia
karena perdarahan akut yang sudah mendapat penggantian volume sirkulasi. Dari 250 cc darah
utuh diperoleh 125 cc PRC maka dari 250 cc PCR didapat peningkatan Hb 2x lebih banyak dan
resiko circulatiory overload dapat dikurangi. Trombosit Dalam penyediaan transfusi ada 2
macam ialah plasma kaya trombosit (platelet Rich Plasma) atau konsentrat trombosit
(Thrombocyte Concentrate = TC). Satu unit PRP (50 cc) bearsal dari 250 cc darah utuh, teoritis
akan meningkatkan jumlah trombosit 5000/mm3. Pemberian trobosit dilakukan pada
trombositopenia (kadar 50.000 80.000/mm3) misalnya pada edema hemoragik dan hemodilusi
(penggantian perdarahan dengan cairan). Trombosit diberikan cukup sampai perdarahan berhenti
atau masa perdarahan (bleeding time) mendekati 2x nilai normal. Plasma Diberikan untuk
mengatasi hipovolemia akibat kehilangan plasma seperti pada demam hemoragik Dengue dan
luka bakar yang luas. Untuk DHF diberikan 10-20 cc/kg sampai shock teratasi, berupa plasma
segar, plasma segar atau plasma biasa. Plasma segar beku (Fres Frozen Plasma = FFP) dan
plasma segar (Fresh Plasma kurang dari 24 jam) dapat digunakan mengatasi defisiensi faktor
pembekuan. Diberikan 10 cc/kg satu jam pertama, dilanjutkan 1 cc/kg BB per jam sampai hasil
PPT dan APTT mencapai nilai kurang atau sama dengan 1,5 x nilai kontrol yang normal. Plasma
tidak dapat digunakan untuk menaikkan kadar albumin pasien hipo-albuminemia. C. Penggunaan
Cairan Pengganti (Teknik Hemodilusi) Volume darah normal adalah 67-70 cc/kgbb. Kehilangan
sampai 25% volume darah masih dapat diganti cairan RL, NaCl 0,9% atau kombinasi dengan
cairan koloid seperti
45 Dextran, Expafusin. Jika kehilangan mencapai 30-50%, maka selain RL/NaCl 0,9% harus
ditambahkan Darah Endap (PRC) terutama jika kadar Hb mencapai kurang 6-8 gm/dl atau
hematokrit 20-25%. Teknik hemodilusi ini tidak sesuai bagi pasien trauma kepala dan trauma
thorax karena bahaya edema otak atau edema paru. D. Transfusi Autologous Cara ini
menggunakan darah pasien sendiri untuk mengganti perdarahan pada pembedahan yang
terencana (elektif). Cara yang dipakai adalah dengan menabung darah sendiri atau retarnsfusi
darah yang keluar. E. Menabung darah sebelum pembedahan Dalam waktu 2-7 hari sebelum
pembedahan, 250-500 ml darah dapat diambil dari pasien itu sendiri 8 ml/kg yang setara dengan
10-15% volume darahnya. Darah ini disimpan untuk kemudian ditransfusikan kembali setelah
pembedahan selesai. Jika perlu persiapan darah lebih banyak maka prosedur dimulai dua minggu
prabedah dengan mengambil 450 ml. Pasien diberi makanan bergizi, F2++ dan vitamin yang
cukup. Hari ketujuh prabedah, diambil lagi 900 ml dan pada saat itu darah pengambilan ke I
ditransfusikan kembali. Pasien jadi hanya kehilangan volume 450 ml saja, tetapi kita mempunyai
900 ml diluar tubuh pasien tersebut. Darah pengambilan ke II disimpan untuk pembedahan dan
diretransfusikan setelah pembedahan selesai. Transfusi autologous ini dapat dilakukan jika
kondisi umum pasien baik, Hb kurang dari 10 gm/dl dan tidak ada penyakit Diabetes lanjut,
penyakit jantung koroner dan penyakit cerebrovaskuler. F. Retransfusi darah yang keluar
(autotransfusion) Darah yang keluar selama pembedahan ditampung atau dihisap hati-hati,
disaring dari bahan diluar darah kemudian ditransfusikan kembali. Cara ini kurang dianjurkan.
G. Rangkuman Dengan menghemat transfusi, dapat dicegah hospital acquired infection,
utamanya Hepatitis dan AIDS. Pemberian trnasfusi seharusnya diperhitungkan dengan matang,
sehingga berusaha menghindari transfusi yang kurang perlu.

46 2.3.4 keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa Keseimbangan cairan dan elektrolit
merupakan salah satu segi yang menunjang berlangsungnya metabolisme tubuh dan kehidupan.
Penyakit dasar, Pembedahan dan anestesi memberikan pengaruh besar dan menyebabkan
perubahan-perubahan pada keseimbangan cairan ini sangat berarti bagi proses penyembuhan dan
pencegahan infeksi. Terapi cairan meliputi: penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan
air, elektrolit dan nutrisi, untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang
normal. A. Kebutuhan Basal Air Dan Elektrolit Dalam keadaan normal, rata-rata pengeluaran air
dan elektrolit seorang pasien dengan BB 50 kg adalah berikut: Tabel Pengeluaran air dan
elektrolit pasien berat badan 50 kg Air Na K Urine 1500 cc 65 90 Pernapasan 1000 cc (700 cc
/m2/24 jam) - Penguapan 1500 cc (tropis) - - Feces 100 cc 5 10 Di daerah tropis kehilangan
cairan penguapan dapat mencapai 1500cc dalam 24 jam, hanya terdiri dari air tanpa elektrolit.
Keringat menambah kehilangan ini 300-600 cc/24 jam, yang merupakan air dengan sejumlah
kecil Na dan K. Sebaliknya, pemecahan jaringan otot dan lemak karena puasa menghasilkan
kurang lebih 400 cc air yang meningkat sampai 1000 cc pada katabolisme yang cukup
besar/sepsis. Secara umum disimpulkan, kebutuhan air seorang pasien dengan BB 59 kg dalam
keadaan basal kurang lebih (3100-4000) cc, yaitu 2700 cc /24 jam atau kurang 50 cc/kg/24 jam.
Pada terapi cairan selama 2-3 hari saja, elektrolit yang diutamakan adalah Na dan K kebutuhan
Na sekitar 60-100 meq/24 jam, kalium sekitar 40-60 meq/24 jam. Pada hari-hari pertama pasca
bedah tidak dianjurkan penambahan K, karena adanya pengeluaran K dari sel/jaringan rusak,
proses katabolisme dan transfusi darah (Whole blood) mengandung kalium kurang lebih 20
meq/l) yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa stress pembedahan menyebabkan
pelepasan Aldosterone dan ADH sehingga terjadi kecenderungan tubuh untuk menahan air dan
Na. Pada orang tua dengan cardiac reserve yang sempit

47 sebaiknya pada permulaan terapi cairan hanya diberikan 2/3 dari kebutuhan yang
diperhitungkan. Berdasarkan pengamatan dan penelitian selanjutnya, jumlah cairan dapat diatur
kembali. Pada hari ke 2-5 pasca bedah, terjadi reabsorpsi kembali cairan yang hilang ke third
space. Penambahan yang tak tampak ini harus diperhitungkan dalam evaluasi untuk pengaturan
cairan. B. Koreksi Gangguan Keseimbangan Air Dan Elektrolit Water exess Terjadi pada pasien-
pasien yang mendapat terapi cairan dengan sedikit/tanpa Na, untuk mengganti sejumlah besar
kehilangan Na. Contoh yang jelas adalah kehilangan dari saluran pencernaan (tubuh, diarrhea,
cairan lambung) yang diganti hanya dengan cairan Dextrose 5%. Kelebihan air terhadap
keseimbangannya dengan Na, menyebabkan turunnya kadar Na serum. Hiponatremi ini dapat
menyebabkan edema pada sel-sel otak, dan timbulnya gejala-gejala tergantung cepatnya
penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat diatasi dengan restriksi air, tetapi bila kadar Na serum
kurang dari 120 meq/l, perlu diberi terapi dengan Na hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini
harus berhati-hati pada pasien-pasien tua dengan cardiac reserve yang sempit. Kelebihan air
dapat dikeluarkan dengan pemberian glukosa hipertonis atau furosemide yang sebaiknya harus
diberikan bersama-sama NaCl dan KCl. Terapi dengan furosemide dalam jangka waktu lama
juga akan menyebabkan penurunan kadar Na serum. Water deficit Terjadi bilamana tubuh
kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada keadaan-keadaan: febris lama,
hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi, diabetes insipidus, non ketotic hyperosmolar
dehydration. Kekurangan 2% dari BB menimbulkan rasa haus, naik berat terjadi kelemahan
umum otot-otot, delirium dan convulsi. Terapi adalah pemberian cairan cairan Dextrose 5%
(isotonis) Saline Excess Umumnya terjadi sebagai akibat samping resusitasi cairan kolloid untuk
mengatasi syok dan mempertahankan volume CFC pada masa-masa prabedah dan selama
pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh pasien-pasien

48 muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi cordis dan edema paru-paru.
Terapi yang dilakukan adalah restriksi cairan, kalau perlu diberikan diuretic dan digitalisasi.
Saline Deficit Terutama terdapat pada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi, yang sering
disebabkan karena muntah, diare dan peritonitis. Kehilangan dari saluran pencernaan pada masa
pasca bedah memperbesar defisit ini. Terapi adalah penggantian dengan Ringer Lactat atau NaCl
0,9% Hipokalemi Terutama disebabkan pemberian cairan tanpa kalium, atau pengantian tidak
sesuai pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan. Gejala-gejala
klinis adalah kelemahan otot, paraesthesia, paralytic ileus. Kecuali bila kadar K serrum dibawah
2 meq/l, terapi kalium dapat dilakukan dalam 2-4 hari. Pemberian kalium jangan melebihi 200
meq/24 jam, dengan kecepatan 10-20 meq/jam, dicampur dalam cairan infus. Hiperkalemi
Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kerusakan jaringan luas dan combustio/luka bakar
akan terjadi hiperkalemi. Tanda-tanda klinis dapat hanya kelemahan otot atau tanpa keluhan
sampai terjadi gangguan irama jantung dan cardiac arrest. Umumnya setelah kadar K serum lebih
dari 6 meq/l terjadi perubahan-perubahan khas pada EKG. Bila kadar serum mencapai 6 meq/l
segera diberikan terapi untuk menurunkan sebagai berikut: 1. Pemberian calcium
glukonat/chlorida 10-30 ml perlahan dalam waktu 2 menit. Pemberian calcium ini kontra
indikasi pada pasien yang mendapat terapi digitalis 2. Pemberian sodium bicarbonat 50-100 meq
untuk alkalinisasi darah 3. Pemberian Glukosa 25% bersama reguler insulin 1 unit setiap 4-5 gr
glukosa (pada renal failure 1 unit setiap 10 gr glukosa) sebanyak 200 dalam jam Penurunan
kadar K dengan terapi ini dapat bertahan selama 6 jam. C. Keseimbangan Asam Basa Perubahan
ph cairan tubuh sangat berpengaruh pada kerja sel dan enzym tubuh sehingga tubuh selalu
berusaha mempertahankan keseimbangan asam basa dalam suatu batas fisiologis yang sempit.
Pemeriksaan dilakukan pada contoh darah arteri dengan harga normal,

49 p02 80-100 mmhg, pc02 35-45 mmhg, ph 7,35-7,45, HCO3 21-25 mmol/l dan BE -2 s/d +2.
Penyimpangan ke arah acidosis (ph kurang dari 7,35) dan alkalosis (ph lebih dari 7,45) dapat
disebabkan oleh gangguan pernapasan maupun gangguan metabinterprestasi hasil pemeriksaan
gas darah dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Tentukan acidosis atau alkalosis Apabila
penyebabnya respiratorik, pc02 menyimpang searah dengan ph dan jika BE menyimpang searah
dengan ph penyebabnya metabolic 2. Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi
dengan melihat pco2 atau BE yang menyimpang ke arah yang berlawanan dengan ph. Usaha
kompensasi dengan menurunkan BE tidak boleh dikoreksi dengan Na bicarbonat. Penyebab
asidosis metabolik antara lain ketoacidosis yang terjadi pada pasien diabet yang tidak diterapi
dengan baik atau lactic acidosis akibat gangguan perfusi jaringan oleh sebab cardiac, sepsis,
perdarahan Alkalosis metabolic terjadi pada pasien yang kehilangan cairan lambung dalam
jumlah yang besar. Terapi terhadap asidosis metabolic dan alkalosis metabolic adalah
memperbaiki dan mengatasi penyebab. Pada acidosis metabolik koreksi dilakukan dengan Na
bicarbonate memakai patokan rumus: dosis 1/3 x Berat Badan x BE (meq) Jumlah ini mula-mula
diberikan separuhnya, sisanya diberikan atau 1 jam kemudian. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulangan setelah terapi. 7.55 7,45 ph 45 35 pco2-2 0 +2 BE ACIDOSIS ph + pco2 :
respiratorik p11 + BE : Metabolik ALKALOSIS

50 D. Terapi Cairan Pada Kasus Bedah Terapi cairan dilakukan sejak masa pra bedah, untuk
mengatasi keadaan syok karena dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidrasi
sedang dan ringan. Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin diganti masa pra bedah. Pada pasien-
pasien yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat kualitatif maupun
kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi. Hidrasi yang cukup ini diperlukan
untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu kehilangankehilangan yang
disebabkan perdarahan, edema jaringan karena manipulasi dan penguapan dari cavum
peritoneum. Pada laparatomi terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air,
elektrolit dan nutrisi, mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung,
febris), melanjutkan penggantian deficit pra bedah dan selama pembedahan, koreksi terhadapt
gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Sumber kehilangan cairan dan
elektrolit pasca bedah Kehilangan pada masa pasca bedah antara lain berasal dari febris, saluran
pencernakan dan hiperventilasi. Kebutuhan cairan dalam keadaan febris meningkat sebanyak
15% setiap kenaikan 1 o C suhu tubuh. Produksi cairan lambung yang berlebihan, muntah dan
diarrhea akan menambah kebutuhan cairan dan elektrolit. Hiperventilasi memperbesar
pengeluaran air lewat paru-paru, sedang humidifikasi udara kering mengambil sejumlah besar
cairan tubuh. Hiperventilasi pada pasien dengan tracheostomi tanpa humidifikasi akan
memperbesar kehilangan cairan. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan kehilangan air 1-1,5
L/hari. Tabel Fluid and electrolit in the acutely ill adult (Shoemaker, WC) Electrolyte
Concentrations (meq/l) Volume K CI Na PH Saliva 1000-1500 10-20 6-30 10-40 5,5-7,8 Gastric
juice 2000-2500 10-20 10-30 60-120 1.5-7.3 Hepatic bile 600-800 2-12 80-110 130-153 6.2-8.5
Pancreatic juice 700-1000 3-10 30-50 150-143 7.8-8.8 Duodenol secretions 300-800 2-10 70-120
90-140 5.8-7.5 Colonic mucosal secretions 200-500 3-10 60-90 140-148 7.8-8.0

51 Total 8000-10000 Selain koreksi cairan, elektrolit dan asam basa yang telah dijelaskan pada
sub bab sebelumnya, pada kasus pasca bedah perlu juga diperhitungkan asupan kalori mapun
nutrisi parenteral. Kalori Pasien-pasien dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan
yang minimal, pemberian karbohidrat 100-150 gr sudah memadai. Jumlah ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan sel-sel yang harus memakai glukosa sebagai sumber kalori, dan dapat
menekan pemecahan protein sebanyak 50%. Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan
pertimbangan mengenai kesulitan-kesulitan pemakaian cairan hipertonis, yang diperlukan untuk
mendapatkan jumlah asam amine dan kalori sesuai kebutuhan. Tersedianya larutan 2,5% asam
amine dengan 150 gr karbohidrat merupakan suatu pilihan baru, karena dengan osmolalitas
dibawah 800 mosm memungkinkan pemberian lewat vena perifer. Dilain pihak, penambahan
asam amine ini dapat membuat N balance mendekati keseimbangan. Kebutuhan basal air,
elektrolit dan kalori pasca bedah pasien dengan operasi herniotomy, berat badan 50 kg. Terapi
cairan hari ke 0 pasca bedah dalam 24 jam adalah: Air 2500 cc (50 x 50 cc), Na 60 meq, K 0 meq
dan kalori 100gr glukosa. Cairan 500 cc PZ atau PZ Dextrose 5% dengan 2000 cc Dextrose 5%
akan menghasilkan total cairan 2500 cc cairan dengan 80 meq Na dan 125 gr glukosa. Parenteral
Nutrition Pasien pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali, akan
kehilangan protein 75-125 gr/hari. Pemberian karbohidrat saja 100-150 gr menekan pemecahan
ini sebanyak 50%. Pemberian kalori dalam jumlah minimal yang berlangsung terus-menerus,
akan kehilangan protein menjadi cukup besar. Albumin dan enzym pencernaan mengalami
penurunan yang lebih cepat, karena adanya proses metabolisme yang cepat. Hipoalbuminemia
akan menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka operasi. Turunya enzym
pencernaan akan menyulitkan proses realimentasi. Total parenteral Nutrition bertujuan
menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu kalori, protein dan lemak termasuk unsure-unsure
penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori sampai 40-50 Kcal/kg
dengan protein 0,2-0,24 N/kg. Cairan
52 hipertonis yang mengandung semua unsur ini, memberikan beberapa masalah mengenai
teknik pemberian, akibat samping mapun monitoring. Pada pasien yang diperkirakan
realimentasi sesudah 3-5 hari, mengalami pembedahan besar pada saluran pencernaan, keadaan
umum/status gizi kurang baik diperlukan pemberian parenteral nutrisi. Pada kasus-kasus yang
saluran pencernaannya memungkinkan, gabungan enteral dan prenteral nutrition merupakan
suatu pilihan lain E. Pemantauan Terapi cairan ditetapkan berdasarkan, perhitungan cairan keluar
masuk pemeriksaan laboratorium dan tanda-tanda klinis. Perhitungan cairan masuk umumnya
dilakukan setelah 24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya pasien dengan gagal ginjal,
dilakukan setiap 3 sampai 6 jam. Terapi cairan selama 1-2 hari tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium. Bila berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda klinis yang
mencurigakan, minimal dilakukan pemeriksaan serum elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi yang
klasik, kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi perkiraan berdasarkan perhitungan
cairan keluar masuk. 2.3.5 Burns Luka bakar mempunyai karakteristik yang berbeda dari
kebanyakan luka yang lain. Dimulai dari cara penanganan, perawatan, kesembuhan serta dampak
perubahan pada tubuh, dimana perubahan pada tubuh ini dapat terjadi secara lokal disekitar luka,
mapun sistemik hingga dapat menyebabkan kegagalan organ tubuh. Kesembuhan yang tidak
sempurna juga dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup, oleh karena itu diperlukan
penanganan dan perawatan luka bakar yang lengkap dan menyeluruh guna menurunkan angka
mortalitas serta morbiditas akibat luka bakar. Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dapat
dikelompokkan menjadi berbagai jenis, antara lain adalah luka bakar karena api, air panas, bahan
kimia, listrik/petir, sengatan sinar matahari, udara panas dan ledakan bom. A. Derajat Luka Bakar
Kedalaman kerusakan luka bakar tergantung pada derajat sumber panas, penyebab, dan lama nya
kontak dengan tubuh penderita. Derajat kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3, yakni: 1. Luka
Bakar Derajat I

53 - Luka bakar terbatas pada lapisan epidermis (superficial) - Kulit hiperemik/eritem - Tidak
tedapat bullae - Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi - Penyembuhan
terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus. 2. Luka Bakar Derajat II Berupa reaksi
inflamasi yang disertai proses eksudasi. Dibedakan menjadi dua, yakni: a. Derajat II A
(superficial) - Mengenai epidermis dan lapisan atas dari dermis - Organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea (benih epitel) masih banyak - Dijumpai bullae -
Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi - Penyembuhan terjadi secara
spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa bentuk cicatrik b. Derajat IIB (deep) - Kerusakan
mengenai hampir seluruh bagian dermis - Organ kulit (sisa jaringan epitel) tinggal sedikit -
Dijumpai bullae - Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi -
Penyembuhan dapat disertai parut hipertrofi dan terjadi lebih lama, biasanya lebih dari 1 bulan
3.Luka Bakar Derajat III - Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampai mencapai jaringan subkutan, otot, dan tulang - Kulit yang terbakar berwarna abu abu
sampai dapat berwarna hitam kering. - Seluruh organ kulit mengalami kerusakan, tidak tesisa
lagi sisa elemen epitel - Tidak dijumpai bullae - Dijumpai eskar (koagulasi protein pada
epidermis dan dermis) - Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung ujung
sensoris telah rusak - Penyembuhan terjadi lama karena tidak dijumpai epitelisasi spontan.
Tindakan graft dan debridement hampir selalu diperlukan pada luka bakar derajat ini.

54 B. Luas Luka Bakar Digunakan pembagian oleh Wallace, yang membagi bagian bagian tubuh
atas 9% atau kelipatan dari 9%, disebut juga dengan Rule of Nine atau Rule of Wallace: Dewasa
Gambar. Skema pembagian luas luka bakar Rule of Nine C. Penatalaksanaan Penderita Luka
bakar Saat memeriksa pasien dengan luka bakar, diwajibkan memakai sarung tangan steril untuk
meminimalisasi resiko infeksi pada penderita. Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh
meliputi dari ABCDE pada primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey. Airway
dan Breathing Bebaskan jalan napas. Lakukan manuver pembebasan jalan napas dengan tetap
memperhatikan ada tidaknya cedera cervical. Penderita luka bakar dapat juga mengalami trauma
lain seperti trauma kepala ataupun trauma pada cervical spine. Penderita luka bakar dengan
distress napas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotracheal. Selain
membebaskan jalan napas dan pemberian oksigen yang adekuat, evaluasi juga ada/ tidaknya
trauma inhalasi. Trauma Inhalasi Terjadi dikarenakan penderita menghirup langsung uap panas
atau uap dari produk yang terbakar seperti jelaga dan bahas iritan khusus yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa saluran napas dan bronchospasme reaktif. Kerusakan mukosa
ini diikuti dengan adanya proses inflamasi yang menyebabkan edema saluran napas, diperparah
dengan peningkatan debris endobronchial yang tidak bisa dikeluarkan akibat kerusakan system
klirens silier,

55 sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas yang progresif. Mikroatelektasis difus dapat
juga terjadi karena hilangnya surfactant dan edema alveolar. Penderita patut dicurigai mengalami
trauma inhalasi: 1. Terjadi pada ruang tertutup (terjebak didalam ruangan terbakar) 2. Luka bakar
pada perioral, hidung, bibir, mulut dan tenggorokan 3. Sputum tercampur arang (jelaga) 4.
Penurunan kesadaran 5. Rasa tercekik, tersedak, suara serak/ batuk, malas bernapas, rasa tidak
nyaman pada mata atau tenggorokan (iritasi mukosa) 6. Tanda tanda distress napas 7.
Wheezing/stridor pada suara napas, takipneu, sampai sesak. Selain menghirup langsung udara
panas, penderita dapat juga mengalami intoksikasi asap yang toksik, misalnya; hydrogen sianida,
nitrogen dioksida, nitrogen klorida, akreolin, yang juga dapat menyebabkan iritasi mukosa
saluran napas serta bronkokonstriksi. Sehinggga obstruksi jalan napas akan lebih hebat akibat
trakeal bronkitis dan edema saluran pernapasan. Intoksikasi karbon monoksida juga tidak dapat
dipisahkan pada kejadian trauma inhalasi. Gas CO mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap
Hb dibandingkan dengan O2. Hal ini akan mengakibatkan terbentuk nya karboksihemoglobin
(COHb) yang tinggi, sehingga distribusi O2 ke jaringan menurun dan terjadi hipoksia
jaringan/sel. Kadar COHb dalam darah dapat diukur, sehingga juga dapat digunakan untuk
menunjang diagnose trauma inhalasi. Hipoksia jaringan yang progesif pada trauma inhalasi akan
membawa penderita dalam keadaan ARDS yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, tindakan
intubasi endotrakeal hendaknya segera dipertimbangkan untuk menciptakan patensi dari jalan
napas dan oksigenasi yang memadai. Indikasi intubasi pada luka bakar antara lain; Adanya luka
bakar sirkumferensial pada leher, luka bakar pada wajah, edema laring atau faring (stridor),
penurunan kesadaran, kehilangan reflek jalan napas, keracunan karbon monoksida dan sianida,
luka bakar >40% (resiko laryngeal edema sebagai bagian dari edema menyeluruh pada luka
bakar luas), terdapat tanda- tanda ARDS. Pipa endotracheal yang digunakan dipilih yang terbesar
agar dapat dilakukan bronchial toilet dan bronchoscopy dengan mudah. Pada kasus yang berat
mungkin memerlukan ventilasi mekanis, yang dilakukan dengan teknik khusus seperti HFO
(High Frequency Oscilation) atau protective ventilation strategy dengan permissive hypercapnea
untuk menjamin oksigenasi dan mencegah

56 timbulnya kerusakan paru lebih lanjut karena pasien luka bakar lebih sensitive terhadap
barotrauma. Circulation Pada luka bakar berat (derajat II atau III dengan luas >20%), terjadi
perubahan permeabilitas kapiler sistemik yang diikuti oleh ekstravasasi cairan ke jaringan
interstitial. Sehingga hipovolemik intravaskuler dan edema interstitial menjadi masalah utama
dalam penanganan sirkulasi penderita luka bakar. Hipovolemik intravaskuler menyebabkan
perfusi ke bagian distal tubuh semakin menurun sehingga memperburuk oksigenasi jaringan, jika
proses ini terus berlanjut, penderita akan mengalami syok. Mekanisme syok pada luka bakar
berat dapat juga terjadi karena penurunan cardiac ouput hingga 50% dalam 30 menit pertama
sebagai respon dari vasokonstriksi general tubuh, yang dapat berakibat pada normovolemik
hipoperfusi (burn shock). Prognosis penderita bergantung pada terapi cairan dan pengembalian
hemodinamik penderita. Jika cairan telah kembali tercukupi, fungsi jantung dapat kembali dalam
48 jam, dan selanjutnya akan berlanjut pada fase hiperdinamik fisiologis sebagai respon dari
proses penyembuhan. Angka kematian pada penderita luka bakar sangat dipengaruhi oleh
kecepatan penanganan resusitasi cairan untuk mengatasi syok hypovolemia. Keterlambatan
resusitasi cairan dapat menyebabkan renal failure, sepsis, dan multiple organ failure. Selain itu
penanganan segera dari pembedahan untuk eksisi jaringan nekrosis juga sangat berpengaruh
pada angka kematian. Terapi cairan diperlukan pada penderita luka bakar dewasa dengan luas
luka bakar >20% TBSA, sedangkan pada anak >10% TBSA. Tujuan resusitasi adalah
memberikan cairan dan elektrolit, namun dengan meminimalisasi edema, sehingga perfusi dan
oksigenasi jaringan adekuat yang pada akhirnya organ tubuh dapat berfungsi dengan baik.
Pemberian cairan yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang serius, karena dapat
berakibat terjadinya circulatory overload, edema paru, dan pleural effusion. Pada pasien dewasa
kadang terjadi abdominal compartment syndrome (tekanan intra abdominal > 25 mmhg). Hal ini
dapat mengakibatkan turunnya compliance paru, mengganggu pengembangan paru, menaikkan
tahanan jalan napas, menurunkan venous return, mengganggu cardiac output, menyebabkan
oliguria, dan juga dapat menyebabkan edema otak terutama pada anak.

57 Berbeda dengan traumatic injury yang lain, hipovolemia pada luka bakar terjadi secara
bertahap dan dapat diprediksi, sehingga resusitasi yang diberikan juga harus bertahap dan
dilakukan selama 24 jam. Bermacam-macam rumus dipakai untuk melakukan resusitasi
hipovolemia pada luka bakar. Hal itu tergantung dari rumah sakit dan pengalaman dari pengelola
burn unit. Rumus yang sering digunakan adalah Parkland Formula atau juga dikenal sebagai
Formula Baxter, rumus ini telah digunakan dan diajarkan pada Advanced Trauma Life Support
dan Emergency Medicine for severe burn di Amerika. Terapi cairan pada luka bakar
menggunakan Formula Baxter, dengan menggunakan jarum besar melalui kateter intravena
disambungkan ke cairan Ringer Laktat. Yakni: Ringer laktat 4cc x Berat Badan x % luas luka
bakar Cara pemberian: 50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 8 jam pertama
50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 16 jam berikutnya Komplikasi
berupa edem paru dan pneumonia dapat terjadi akibat resusitasi cairan yang berlebihan, sehingga
pemberian cairan pada penderita luka bakar harus dicatat dan dimonitor ketat melalui produksi
urin. Contoh: Penderita perempuan dengan berat badan 40 kg, mengalami luka bakar lebih dari
grade 2, dengan luas luka bakar 50% (perhitungan menggunakan rule of nine), maka defisit
cairan berdasarkan Parkland Formula/Baxter yang akan diberikan dalam 24 jam adalah : 4ml x
40 x 50 (% burn surface area) = 8000ml 4000ml RL diberikan dalam 8jam pertama 4000ml RL
sisanya diberikan dalam 16 jam Pada resusitasi luka bakar harus dihindari penggunaan cairan
normal saline karena dapat menimbulkan hiperchloremic metabolic acidosis.

58 Disability Dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran maupun trauma kepala yang mungkin
dapat menyertai penderita luka bakar. Exposure Periksa titik kontak utama pada luka bakar.
Terutama jika luka bakar disebabkan karena sengatan listrik, periksa apakah melewati garis
tengah tubuh, tempat titik masuk dan keluar nya aliran listrik dalam tubuh. Luka bakar akibat
sengatan listrik dapat mengakibatkan gangguan irama jantung, rabdomyolisis, thrombosis
maupun oklusi kapiler berat. Karakteristik primer pada penderita luka bakar adalah
ketidakmampuan untuk meregulasi suhu tubuh, sehingga hipotermi seringkali menjadi
permasalahan utama. Oleh karena itu, lingkungan resusitasi pada penderita luka bakar harus terus
dijaga mendekati temperature tubuh. D. Monitoring Penderita Luka Bakar Monitoring penderita
luka bakar meliputi: 1. Vital Sign 2. Produksi Urin, sebagai indikasi resusitasi cairan adekuat.
(0,5-1,0 ml/kg/jam) 3. ph darah, kadar HbCO 4. Laboratorium, meliputi: Serum elektrolit,
plasma albumin, total protein, hematocrit, hemoglobin, urin sodium, fungsi liver, fungsi ginjal,
gas darah dan pemeriksaan sesuai indikasi spesifik penderita. 5. Penilaian fungsi paru,
Pemeriksaan fisik terhadap fungsi paru perlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adamya
perubahan yang terjadi antara lain; stridor, wheezing, bronkospasme, atau dyspnea yang dapat
merupakan gejala impending obstruksi. 6. Penilaian gastrointestinal, Monitoring gastrointestinal
setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bising usus dan pemeriksaan
secret lambung untuk mengetahui adanya tanda- tanda Culing s ulcer.

59 Pada penderita luka bakar anak, dewasa dengan luka bakar melingkari perut, dan penderita
yang menerima resusitasi cairan melebihi 6mL/kg/%luka bakar beresiko untuk mengalami
Abdominal Compartment Syndrome. Dekompresi rongga abdomen diindikasikan jika tekanan
intra-abdomen mencapai 20 mmhg 7. Penilaian Luka, Bila dilakukan perawatan luka secara
tertutup, dinilai apakah kassa basah, terdapat tanda pus atau cairan berbau. E. Anestesi Pada
Luka Bakar Intubasi trakea pada periode awal luka bakar (48 jam pertama) dapat menggunakan
suksinil kolin sebagai pelumpuh otot. Pada penderita dengan luka bakar berat (luas >20%),
kerusakan pada neuromuscular end plates diikuti dengan up-regulasi dari reseptor asetilkolin.
Pemberian suksinil kolin pada periode lebih dari 48 jam dapat mengakibatkan peningkatan letal
kadar potassium serum. Analgesia pada penderita luka bakar memerlukan pendekatan
multimodal, mengingat adanya toleransi terhadap opioid dan komplikasi psikososial. Regional
anestesi dapat dipertimbangkan, walaupun pada kondisi akut teknik anestesi ini dapat
menimbulkan masking effect terhadap gejala klinis maupun tanda tanda dari compartment
syndrome. 2.4 Kegawatan Disability Dalam penanganan kegawatdaruratan (primary survey)
semua tindakan yang dilakukan tujuan utamanya adalah untuk menjamin suplai oksigen ke otak.
Hal ini dikarenakan otak memiliki peran yang sangat penting dalam metabolisme tubuh manusia
secara keseluruhan. Selain itu juga, karakteristik otak yang sangat rentan di mana ketiadaan
oksigen lebih dari 5-20 menit saja sudah mulai menimbulkan kematian sel-selnya; maka hal
inilah membuat otak menjadi prioritas dalam penanganan kegawatdaruratan. Jadi pada
prinsipnya, semua tindakan yang dilakukan selama primary survey, goal/tujuan utamanya adalah
menjamin oksigenasi otak. Pemeriksaan yang penting dalam penilaian fungsi
Neurologi/Brain/Dissability adalah penilaian kesadaran. Pemeriksaan kesadaran yang lazim
digunakan dalam kegawatdaruratan adalah pemeriksaan dengan metode AVPU dan metode GCS
(Glasgow Coma Scale-Score).

60 2.4.1. Penilaian Derajat Kesadaran Dengan Metode Avpu Saat pertama kali kita menerima
pasien gawat maka langkah pertama kita pasti adalah tegur sapa terhadap pasien. Dari tegur sapa
ini kita bisa menilai kesadaran pasien secara cepat. Ini adalah bagian dari metode AVPU. Jika
dipanggil(tegur sapa) tidak memberikan respon maka bisa dilanjutkan dengan memberikan
rangsang nyeri di bagianbagian tubuh yang bisa menimbulkan rangsang nyeri yang adekuat,
misalnya: di sternum, supra orbita atau glabella, dan pangkal kuku pasien. Kadang-kadang ada
yang memberikan rangsang nyeri di areola mammae, rangsangan di areola mammae memang
adekuat untuk menimbulkan nyeri, tapi hal ini perlu hati-hati terutama pada pasien wanita karena
pemeriksa bisa dianggap melakukan pelecehan saat ada orang/keluarga yang melihat. Untuk
interpretasi AVPU adalah sebagai berikut: Alert/Awake. Pada pasien normal, sadar baik, bisa
diajak komunikasi/bicara dengan baik. Verbal Responds Kesadaran menurun, tampak
tidur/terpejam tapi terbangun dengan membuka mata saat namanya dipanggil. Pain Responds
Kesadaran menurun, tampak tidur/terpejam, dan tidak terbangun ketika dipanggil dan baru
memberi respon (dengan membuka mata atau menggerakkan anggota tubuh) ketika dirangsang
nyeri. Unresponsive. Tidak ada respon apapun dengan rangsangan apapun(verbal maupun pain).
2.4.2 Penilaian Derajat Kesadaran Dengan Metode Gcs Penilaian GCS ini baru dilakukan saat
secondary survey. Pemeriksaan GCS ini merupakan pemeriksaan yang lebih detail daripada
pemeriksaan AVPU, dan bersifat kuantitatif. Kegunaan utama dari pemeriksaan GCS ini adalah
untuk menilai kesadaran pada kasus-kasus trauma terutama trauma kepala. Dampak dari suatu
trauma kepala adalah adanya Cedera Otak Primer (edema otak, dan perdarahan yang akan
mengakibatkan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK); dan adanya Cedera Otak Sekunder
(yaitu semakin beratnya cedera otak setelah terjadi cedera primer yang disebabkan oleh hal-hal
berikut: hipoksia, hiperkarbia, hipovolemia, batuk, mengejan
61 dan semua hal yang akan meningkatkan tekanan intra thoraks, dan intra abdomen yang
mengakibatkan peningkatan TIK). Yang penting yang perlu diingat dari pemeriksaan GCS ini
adalah bahwa GCS ini digunakan untuk memprediksi prognosis pasien. Jika GCS pasien
baik(atau pada awalnya baik/lucid interval pada EDH) maka akan mempunyai prognosis yang
baik jika segera dilakukan tindakan). Ketika kita ragu-ragu tentang nilai GCS yang kita lakukan
maka tetapkan harga yang jika salah tetap tidak akan merugikan pasien. Dalam hal ini jika GCS
rendah berakibat kita harus melakukan tindakan yang invasif, maka berikan nilai rendah; dan jika
GCS tinggi memberikan harapan yang lebih baik, maka berikan nilai tinggi agar dilakukan upaya
medik yang maksimal. Perlu diingat bahwa pemeriksaan GCS ini dilakukan jika pasien: tidak di
bawah pengaruh obat sedatif, pelumpuh otot, narkotik, alkohol, tidak hipotermia, hipotensi,
shock, hipoksia, dan diukur jika masalah di primary survey sudah diterapi dengan baik. Jadi
pemeriksaan ini harapannya dapat menilai fungsi otak murni, tanpa ada kelainankelainan lain
yang saat itu berpengaruh pada otak. Penilaian GCS Penilaian GCS meliputi respon mata,
bicara/verbal, dan gerak/motorik. Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan rangsang nyeri
pada daerah-daerah yang menimbulkan nyeri yang adekuat, dan dinilai dari nilai terbaiknya.
Skor maksimal adalah 15 dengan rincian: E (eye opening responses)= 4, V (verbal responses)= 5,
dan M (Motoric Responses)= 6 pada sisi yang terkuat. E Score: 4 : membuka mata spontan
(normal) 3 : membuka mata bila diminta 2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri 1 :
tidak membuka mata meskipun diberikan rangsangan nyeri V Score: 5 : mempunyai orientasi
(orang, tempat, waktu) yang baik terhadap pertanyaanpertanyaan yang diajukan

62 4 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi bingung, tidak sesuai dengan pertanyaan
(confused conversation) 3 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi hanya berupa kata-kata
yang tidak jelas (inappropriate words) 2 : bersuara yang tidak jelas (incomprehensible sounds),
misalnya erangan. 1 : diam, tidak ada suara sama sekali. M Score 6 : menurut pada perintah,
menggerakkan anggota tubuh sesuai perintah (Obeys command) 5 : dapat menggerakkan anggota
tubuhnya ke arah rangsang nyeri berusaha menangkis (localise to pain) 4 : dapat menggerakkan
anggota tubuhnya yang dirangsang nyeri untuk menjauhi rangsang nyeri tersebut (withdraws to
pain) 3 : adanya gerakan fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (Abnormal Flexion) 2 : adanya
gerakan ekstensi terhadap rangsang nyeri(extensor Respons) 1 : tidak ada gerakan sama sekali
meskipun telah diberi rangsang nyeri yang adekuat 2.4.3 Penanganan Pada prinsipnya,
penanganan pada Brain/Dissability adalah: 1. Tindakan untuk menjamin oksigenasi ke otak yang
cukup 2. Mencegah terjadinya Peningkatan Tekanan Intra Kranial. Pada kasus trauma maka
tujuan lain dari tindakan pertolongan terhadap pasien adalah untuk mencegah terjadinya Cedera
Otak Sekunder. Hal ini dilakukan dengan cara: 1. Menjaga Airway-nya tetap bebas, juga saat
melakukan suctioning tidak boleh terlalu agresif sehingga mengakibatkan oksigen tersedot. Pada
kecurigaan Cervical Injury pasien diposisikan in-line position 2. Memberikan support Breathing
berupa oksigenasi yang adekuat, cegah hipoksia & hiperkarbia 3. Menjaga agar Circulationnya
tidak mengalami shock 4. Memposisikan kepala lebih tinggi 30 5. Penanganan penyebab
terjadinya coma (trauma, non-trauma)
63 6. Jangan menggunakan obat-obat anestesi yang dapat meningkatkan TIK (misal: halothan,
ketamin, morfin). Bahan Bacaan 1. American Burn Association. Advance Burn Life Support
Provider s manual. 2001 2. Dripps RD, Ekkenhoff JE,Vandam LD, Intreocduction to Anesthesia.
7 th edition.w.b Saunders Company. Phladelpia-London Toronto,1988. Hal: 389-402 3. Edward
Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange Medical Book.
2013. 4. Ipaktchi K, Arbabi S: Advance in burn critical care. Crit Care Med 2006; 34-S239 5.
Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi untuk S1 Kedokteran
Universitas Airlangga. 2012. 6. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi Modul dasar.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000. 7. Puger
Rahardjo. Penanganan Luka Bakar. Departemen Anestesiologi dan Reanimasi- RSUD
Dr.Soetomo-Universitas Airlangga Surabaya. 2013

Anda mungkin juga menyukai