Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN PERITONITIS

DOSEN PEMBIMBING:
Ns. Yulia Rizka,M.Kep

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

Anita Astuti (2011166006) Rahmad Hidayat (2011166601)


Dien Fadillah (2011166204) Ratih Oktavia (2011166603)
Fenni Indrayati (2011166201) Sandra Morena (2011166015)
Fenny Arzimustika (2011166001) Sekar D.Pratiwi (2011165373)
Intan Ayuza (2011165993) Sonia P.Sihaloho (2011166737)
Nora Situmeang (2011166010) Winda GP Br. M (2011165996)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang
melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini
biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen (Sjamsuhidayat, 2010).
Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis merupakan salah satu penyebab
kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%
(Tarigan, 2014).
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
peritonitis sekunder, dan peritonitis tersier(Japanesa, 2016). Peritonitis sampai
saat ini merupakan masalah infeksi yang sangat serius, walaupun
perkembangan antimikroba dan penanganan intensif sangat pesat, kematian
kasus peritonitis generalisata cukup tinggi yaitu antara 10– 20%,di negara-
negara berkembang angka kematian lebih tinggi lagi. Penelitian di Rio de
Janeiro, Brazil didapatkan angka kematian sebesar 61,8%, di Semarang RSUP
Dr. Kariadi, Indonesia didapatkan angka kematian 54% (Mughni, 2016).
Berdasarkan survei World Health Organization (WHO) angka
kejadian peritonitis, sebagai bentuk dari complicated intra abdominal
infections, mencapai 5,9 juta kasus di dunia (Padang, 2014). Di Republik
Demokrasi Kongo, telah terjadi 615 kasus peritonitis berat (dengan atau tanpa
perforasi), termasuk 134 kematian (tingkat fatalitas kasus, 21,8%), yang
merupakan komplikasi dari demam tifoid. Penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Hamburg-Altona Jerman, ditemukan 73% penyebab tersering
peritonitis adalah perforasi dan 27% terjadi pasca operasi. Terdapat 897 pasien
peritonitis dari 11.000 pasien yang ada. Angka kejadian peritonitis di Inggris
sebesar 0,0036% (4562 orang) (Japanesa, 2016).
Pada tahun 2008 Indonesia mempunyai angka kejadian yang tinggi
untuk peritonitis, yang merupakan bentuk dari complicated intra abdominal
infections, sebanyak 7% dari total seluruh penduduk Indonesia atau sekitar
179.000 jiwa (DEPKES-RI, 2008). Provinsi Jawa Tengah memiliki angka
kejadian peritonitis sebanyak 5980 kasus, 177 diantaranya meninggal. Kota
Semarang merupakan kota dengan angka kejadian yang paling tinggi diantara
kota lainnya di Jawa Tengah, yaitu sebanyak 970 kasus(Dinkes-Jateng, 2009).
Di Provinsi Lampung, khususnya di RS Airan Raya selama 3 bulan terakhir
pada Januari-Maret 2020 sejumlah 52 kasus peritonitis ditemukan dengan
tindakan pembedahan laparatomi.
Dalam (Japanesa, 2016) dijelaskan pula bahwa sebagian besar
pasien peritonitis dilakukan tindakan operatif berupa laparatomi eksplorasi
yang mana sejalan dengan penelitian Sahu et al yaitu pada 42 kasus peritonitis
dilakukan tindakan operatif dan 8 kasus mendapatkan terapi konservatif.
Peritonitis sekunder umum akibat perforasi apendiks merupakan jenis
peritonitis yang terbanyak (53,1%). Sebagian besar pasien peritonitis
mendapatkan tatalaksana bedah berupa laparatomi eksplorasi dan apendektomi
(64,3%).
Tindakan laparatomi di India, menyebutkan bahwa dalam 100 kasus
dengan tindakan laparatomi emergensi ditemukan, dengan beberapa penyebab
mayor antara lain peritonitis perforasi (45%), obstruksi intestinal akut (25%),
dan trauma abdomen (19%) (AR Bansal, 2019). Selain itu ditemukan pula
operasi laparatomi pada laki-laki sebesar (71%) dan perempuan sebesar (29%)
dengan usia 15–80 tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Laporan
Kementerian Republik Indonesia menyebutkan jumlah kasus laparatomi di
Indonesia meningkat dari 3281 kasus pada tahun 2011 dan 3625 kasus pada
tahun 2014. Presentase jumlah kasus laparatomi yang ditangani di rumah
sakit pemerintah sebesar 38,5% dan rumah sakit swasta sebesar 60,5%. Kasus
operasi laparatomi dRSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
(Ikawati, 2019) pada tahun 2015 terdapat 250 pasien yang memerlukan
tindakan bedah laparatomi.
Prosedur operasi merupakan salah satu bentuk terapi yang dapat
menimbulkan rasa takut, cemas sehingga stress, karena dapat mengancam
integritas tubuh, jiwa dan dapat menimbulkan rasa nyeri (Wawan, 2011).
Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis, buruknya
integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi dapat menjadi komplikasi
pada pasien dengan laparatomi. Komplikasi lain pada pasien laparatomi
adalah nyeri yang hebat, perdarahan, bahkan kematian. Post laparatomi yang
tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca bedah dapat
memperlambat penyembuhan dan menimbulkan komplikasi (Data Depkes,
2010).
Dalam tindakan operatif, perawat memiliki peran dalam melakukan
asuhan keperawatan perioperatif (Wawan, 2011). Peran perawat perioperatif
tampak meluas, mulai dari praoperatif, intraoperatif, sampai ke perawatan
pasien pascaanestesi. Oleh (Farida, 2015) penelitian yang dilakukan di RSUD
dr. Soegiri Lamongan pada pre-operasi laparatomi didapatkan data pasien
yang mengalami tingkat kecemasan sedang yaitu 18 pasien atau 56,2%.
Sehingga, salah satu tugas perawat saat fase pre operatif khususnya pre-
operasi laparatomi yaitu sebagai educator. Edukasi pre-operatif membantu
pasien untuk memahami dan menyiapkan mental untuk melakukan prosedur
pembedahan (laparatomi) serta penyembuhan post operatif (Islam, 2019).
Pada fase intra operasi (Romadhan, 2012) menyebutkan pasien yang
akan dilakukan prosedur pembedahan laparotomi tepatnya pada abdomen,
perawat berfokus pada pemeriksaan tanda-tanda vital, membuka dan
mempersiapkan persediaan alat yang dibutuhkan, mengatur selang atau drain,
memantau kelancaran obat- obatan dan cairan melalui intravena, menjaga
lingkungan yang asepsis dan steril, memposisikan pasien sesuai prosedur
operasi, menghitung jarum dan kasa yang digunakan untuk memastikan tidak
ada kasa yang tertinggal dalam tubuh pasien (Kemenkes-RI, 2011)
Pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum seperti oprasi
laparatomi, akan dipasang alat bantu napas selama dalam kondisi teranestesi,
sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman dan terasa
lendir kental ditenggorokan akibat akumulasi sekret (Hartini dan Na’imah,
2014). Pada fase post operasi perawat bertugas mengkaji efek anestesi,
memantau tanda-tanda vital dan efektifitas jalan nafas (Romadhan, 2012).
Perawat juga dapat menjadi edukator untuk melatih batuk efektif pada post
operasi laparatomi di ruang pemulihan kamar operasi.
Sehingga berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membuat
makalah berjudul “Asuhan Keperawatan Kritis Pada Pasien dengan
Peritonitis”

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa defenisi Peritonitis?
b. Bagaimana Etiologi Peritonitis?
c. Apa Manifestasi klinis Peritonitis?
d. Bagaimana patofisiologi peritonitis?
e. Apa klasifikasi peritonitis?
f. Apa saja komplikasi peritonitis?
g. Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?
h. Apa yang dilakukan saat pemeriksaan fisik peritonitis?
i. Apa pemeriksaan penunjang peritonitis?
j. Apa terapi diet peritonitis?
k. Bagaimana Asuhan Keperawatan kritis terhadap pasien
peritonitis?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa/i mampu mengetahui dan memahami tentang Asuhan
Keperawatan Kritis Pada Pasien dengan Peritonitis
b. Tujuan Khusus
Mahasiswa/i diharapkan :
1) Mampu memahami defenisi peritonitis?
2) Mampu memahami etiologi peritonitis?
3) Mampu mengetahui manifestasi klinis peritonitis?
4) Mampu mengetahui patofisiologi peritonitis?
5) Mampu mengetahui klasifikasi peritonitis?
6) Mampu mengetahui komplikasi peritonitis?
7) Mampu mengetahui penatalaksanaan peritonitis?
8) Mampu memahami saat pemeriksaan fisik peritonitis?
9) Mampu mengetahui pemeriksaan penunjang peritonitis?
10) Mampu memahami terapi diet peritonitis?
11) Mampu mengetahui asuhan keperawatan kritis terhadap pasien
peritonitis ?

1.4 Manfaat Penulisan


a. Bagi mahasiswa/i
Mahasiswa/i dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan
bacaan dan pembelajaran tentang Asuhan Keperawatan Kritis
Pada Pasien dengan Peritonitis

b. Bagi institusi
Sebagai sarana pengembangan dan pemahaman ilmu
pengetahuan untuk menunjang proses pembelajaran.
SKENARIO
Bapak A sudah 3 hari dirawat diruang ICU karena mengalami penurunan
kesadaran setelah menjalani operasi akibat trauma pada abdomen. Saat ini pasien
terpasang ET pada jalan napas dan menggunakan alat bantu napas berupa
ventilasi mekanik (ventilator). Hasil pemeriksaan didapatkan data bahwa
keadaan umum lemah dengan GCS E2VtM4. TD: 140/95 mmHg, HR: 125
x/menit, MAP: 110, SpO2: 93%, CRT: 7 detik. Hasil pemeriksaan fisik terjadi
distensi pada abdomen, perut teraba keras, otot perut kaku, nyeri tekan pada
abdomen, dan suara bising usus tidak terdengar. Hasil pemeriksaan penunjang
menunjukan bahwa pasien mengalami leukositosis dan peradangan pada
peritoneum.

A. Terminologi
1. Icu
2. Abdomen
3. Trauma
4. Peritonium
5. Penurunan kesadaran
6. Distensi
7. Pemeriksaana penunjang
8. Endotracheal tube

B. Pengertian terminologi
1. Icu atau Instalasi rawat intensif atau ruang perawatan intensif
adalah bagian khusus dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan
lainnya yang melakukan pelayanan rawat intensif
2. Abdomen adalah bagian tubuh berupa rongga perut yang berisi
alat pencernaan
3. Trauma setiap benturan ,luka, kesakitan atau shock yang
terjadi pada fisik dan mental individu –yang berakibat
timbulnya gangguan serius.
4. Peritoneum merupakan selaput yang melapisi dinding
abdomen bagian dalam dan menyelimuti organ-organ yang
terdapat pada abdomen.
5. Penurunan kesadaran adalah kondisi ketika seseorang kurang
atau tidak dapat memberi respons terhadap rangsangan apa
pun. Kondisi ini bisa disebabkan oleh kelelahan, cedera,
penyakit, atau efek samping obat-obatan
6. Distensi adalah penggelembungan atau pembesaran, biasanya
mengacu pada perut.
7. Pemeriksaan penunjang merupakan bagian dari pemeriksaan
medis yang dilakukan oleh dokter untuk mendiagnosis
penyakit tertentu. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan setelah
pemeriksaan fisik dan penelusuran riwayat keluhan atau
riwayat penyakit pada pasien.
8. Terpasang et (Endotracheal Tube) adalah terpasang sejenis alat
yang digunakan di dunia medis untuk menjamin saluran napas
tetap bebas, ETT banyak digunakan oleh dokter dengan
spesialisasi anestesi dalam pembiusan dan operasi.

C. Identifikasi masalah
1. Apa saja tanda atau gejala terjadinya peradangan pada peritonitis?
2. Apa indikasi pasien terpasang ventilator?
3. Tindakan bedah apa yg dilakukan pada pasien peritonitis?
4. Bagaimana cara pemeriksaan gcs?
5. Pemeriksaan penunjang seperti apa yg menandakan pasien itu
leukositosis?

D. Jawaban identifikasi masalah


1. tanda gejala peritonitis Demam
- Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
- Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum
- Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas. Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal
diatas, yang didahului dengan hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan
lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan output urin dan syok.

2. indikasi pasien terpasang ventilator


- pasien dengan gagal nafas
- insufiensi jantung
- disfungsi neurologis
- Tindakan operasi

3. Tindakan pembedahan yang dilakukan pada peritonitis umumnya adalah


laparotomi.

4. Cara pemeriksaan GCS


Mata. Berikut ini adalah panduan pemeriksaan mata untuk menentukan
angka GCS:
a). Poin 1: mata tidak bereaksi dan tetap terpejam meski telah diberi
rangsangan, seperti cubitan pada mata.
b). Poin 2: mata terbuka setelah menerima rangsangan.
c). Poin 3: mata terbuka hanya dengan mendengar suara atau dapat
mengikuti perintah untuk membuka mata.
d). Poin 4: mata terbuka secara spontan tanpa perintah atau sentuhan.
Suara. Untuk pemeriksaan respons suara, panduan untuk menentukan
nilai GCS adalah sebagai berikut:
a). Poin 1: tidak mengeluarkan suara sedikit pun meski sudah
dipanggil atau diberi rangsangan.
b). Poin 2: suara yang keluar berupa rintihan tanpa kata-kata.
c). Poin 3: suara terdengar tidak jelas atau hanya mengeluarkan kata-
kata, tetapi bukan kalimat yang jelas.
d). Poin 4: suara terdengar dan mampu menjawab pertanyaan, tetapi
orang tersebut tampak kebingungan atau percakapan tidak lancar.
e). Poin 5: suara terdengar dan mampu menjawab semua pertanyaan
yang diajukan dengan benar serta sadar penuh terhadap lokasi,
lawan bicara, tempat, dan waktu.
Gerakan. Panduan penentuan angka GCS untuk pemeriksaan
respons gerakan adalah sebagai berikut:
a). Poin 1: tidak mampu menggerakkan tubuhnya sama sekali walau
sudah diperintahkan atau diberi rangsangan nyeri.
b). Poin 2: hanya dapat mengepalkan jari tangan dan kaki atau
meluruskan kaki dan tangan saat diberi rangsangan nyeri.
c). Poin 3: hanya mampu menekuk lengan dan memutar bahu saat
diberi rangsangan nyeri.
d). Poin 4: mampu menggerakkan tubuh menjauhi sumber nyeri ketika
dirangsang nyeri. Misalnya, orang tersebut merespons dengan
menarik tangannya ketika dicubit.
e). Poin 5: mampu menggerakkan tubuhnya ketika diberikan
rangsangan nyeri dan orang tersebut dapat menunjukkan lokasi
nyeri.
f). Poin 6: mampu melakukan gerakan tubuh apa pun saat
diperintahkan.

5. Diagnosis leukositosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium darah


lengkap di mana jumlah sel darah putih (leukosit) lebih tinggi dari batas
atas nilai normal.
E. Mind mapping

Tn. A post op trauma abdomen

Masuk ICU 3 hari yang lalu


Pemeriksaan
Fisik

Kondisi Saat
Ini
Pemeriksaan
Penunjang

Ku: Lemah
GCS; E2V5M4 Leukositosis (+)
Distensi abdomen (+) TD : 140/95 mmHg Radang Peritonium (+)
Perut Keras (+) HR: 125 x/i
Otot perut kaku (+) S : 38.5 oC
Nyeri Tekan (+) MAP: 110
Bising Usus (-) SpO2: 93%
CRT: &s
ET (+)
Ventilator (+)

Peritonitis

F. Learning objektif
1. Defenisi
2. Etiologi
3. Manifestasi
4. Patofisiologi
5. Klasifikasi
6. Komplikasi
7. Penatalaksanaan
8. Pemeriksaan fisik
9. Pemeriksaan penunjang
10. Therapy diet pd pasien peritonitis
11. Askep pd pasien kritis dng peritonitis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Peritonitis


Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau
kondisi aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah
selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut
bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat
akut atau kronik.
Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut
abdomen. Akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat
terjadi karena masalah bedah dan non bedah. Peritonitis secara umum
adalah penyebab kegawatan abdomen yang disebabkan oleh bedah.
Peritonitis tersebut disebabkan akibat suatu proses dari luar maupun
dalam abdomen. Proses dari luar misalnya karena suatu trauma,
sedangkan proses dari dalam misal karena apendisitis perforasi.
Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya
disertai dengan bakteremia atau sepsis. Kejadian peritonitis akut sering
dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak
ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis dikategorikan
sebagai primary peritonitis.
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
peritonitis sekunder, dan peritonitis tersier. Peritonitis primer disebabkan
oleh penyebaran infeksi melalui darah dan kelenjar getah bening di
peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit sirosis hepatis.
Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang
berasal dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang
paling sering terjadi. Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang
disebabkan oleh iritan langsung yang sering terjadi pada pasien
immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid.
Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh
berbagai penyebab. Infeksi traktus gastrointestinal, infeksi traktus
urinarius, benda asing seperti yang berasal dari perforasi apendiks, asam
lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung
empedu serta laserasi hepar akibat trauma.
2.2 Anatomi atau Lokasi Peritonitis
Peritonium adalah membran serosa rangkap yang terbesar di
dalam tubuh yang terdiri dari bagian utama yaitu peritoneum parietal
yang melapisi semua organ yang ada di dalam rongga itu (Pearce, 2009).
Peritoneum perietal yaitu bagian peritoneum yang melapisi dinding
abdomen dan peritoneum yaitu lapisan yang menutup viscera (misalnya
gaster dan intestium). Cavitas peritonealis adalah ruangan sebuah potensi
karena organ-organ tersusun amat berdekatan. Dalam cavitas terdapat
sedikit cairan sebagai lapisan tipis untuk melumasi permukaan
peritoneum sehingga memungkinkan viscera abdomen bergerak satu
terhadap yang lain anpa adanya gesekan.
Organ Intraperitoneal aadalah abdomen yang meliputi peritoneum
visceral dan organ ekstraperitoneal (retroperitoneal) adalah vesicelera
yang terletak antara peritoneum pariatale dan dinding abdomen dorsal
(Pearce,2009).

2.3 Etiologi Peritonitis


Penyebab peritonitis menurut (Hughes, 2012) adalah :
a). Infeksi bakteri
1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran
gastrointestinal
2. Appendicitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptic (lambung/duodenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukak disentri amuba / colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis Diverticulitis (radang usus)
Kuman yang paling sering ialah bakteri coli, streptokokus
U dan B hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan
yang paling berbahaya adalah clostrdiumwechii.
b). Secara langsung dari luar
1. Operasi yang tidak steril
2. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide,
terjadi peritonitis yang disertai pembentukan jaringan
granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut
juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis
local.
3. Trauma pada kecelakaan seperti rupture limpa dan rupture hati
4. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis,
terbentuk pula peritonitis granulomatous.
c). Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut
seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media,
mastoiditis, glomerulonephritis, penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokukus.

2.4 Manifestasi Peritonitis


Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri
dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu
tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya
dirasakan saat penderita bergerak. Gejala lainnya meliputi:
1. Demam Temperatur lebih dari 38º C, pada kondisi sepsis berat
dapat hipotermia.
2. Mual dan muntah Timbul akibat adanya kelainan patologis organ
visera atau akibat iritasi peritoneum.
3. Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas. Dehidrasi dapat terjadi akibat
ketiga hal diatas, yang didahului dengan hipovolemik
intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
4. Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak
terdengar bising usus.
5. Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi
akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen
ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum.
6. Nyeri tekan dan nyeri lepas (+).
7. Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi.
8. Tidak dapat BAB/buang angin.
2.5 Klasifikasi Peritonitis
Peritonitis diklasifikasikan menjadi:
a). Menurut agens
1. Peritonitis kimia
Misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam
lambung, cairan empedu, cairan pankreas yang masuk
kerongga abdomen akibat perforasi.
2. Peritonitis septik
Merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya
karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus
dapat sampai ke peritoneum dan menimbulkan
peradangan.
b). Menurut sumber kuman
1. Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal
dari penyebaran secara hematogen.Sering disebut juga
sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan
disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi
transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi
bacterial pada rongga peritoneum.
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ
peritoneal yang langsung dari rongga peritoneum.
Penyebab paling sering adalah spontaneous bacterial
peritonitis. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi mono
bacterial terutama oleh bakteri gram negatif( E.coli,
klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri
gram positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
a. Spesifik : Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman
yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa.
b. Non- spesifik : Peritonitis yang disebabkan infeksi
kuman yangnon spesifik, misalnya kuman penyebab
pneumonia yang tidakspesifik.

2. Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab
utama, diantaranya adalah:
a. Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus
gastrointestinal atau traktus genitourinarius kedalam
rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks,
perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis,
volvulus, kanker, strangulasiusus, dan luka tusuk.
Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreaske
peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya
asam empedu akibat trauma pada traktusbiliaris.
b. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters.

3. Peritonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien
imuno kompromise. Organisme penyebab biasanya
organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative
Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan
candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah
dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya
terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula.
Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau kedalam
peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan
tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium. Komplikasi
yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang,
abses intra abdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini
sebaiknya kateter dialysis dilepaskan.
2.6 Patofisiologi Peritonitis
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivikas fibrinolitik intra
abdomen (peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan
fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya Produksi
eksodakt fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh tetapi
sejumlah bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrins Matrin fibrin
tersebut yang memproteksi bakteri dari mekanisme pembersih tubuh.
(Muttaqin, 2001).
Efek utama dari fibrin mungkin berhubungan dengan tingkat
kontaminasi bakteri peritoneal. Pada study bakteri campuran, hewan
peritonitis mengalami efek sistemik defibrinogenasi dan kontaminasi
peritoneal berat menyebabkan peritonitis berat dengan kematian dini
(<48 jam) karena sangat sepsis (Muttaqin, 2011).
Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk
mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat menyebabkan
infeksi paristen dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan
abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses ke
lingkunganyang steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen
infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem
kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinası faktor-faktor yang
memiliki fitur yang umum yaitu fagositosis Kontaminasi transien bakteri
pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer)
merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah
ditunjukan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang
Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insiden pembentukan abses,
perubahan konten bakteri, dan meningkatkan angka kematian Studi
terbaru menunjukan bahwa infeksi nosokomial di organ lain (pneumonca,
spesies, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinkan pembentukan
abses abdomen berikutnya (Muttaqin, 2011).
Faktor faktor virulensi bakteri akan menghambat proses
fagositosis sehingga menyebabkan pembentukan abses. Faktor-faktor ini
adalah pembentukan kapsul., pembentukan fakultatif anaerob,
kemampuan adhesi, dan produksi asam suksinat. Sinergi antara bakteri
dan jamur tertentu mungkin juga memainkan peran penting dalam
merusak pertahanan tubuh Sinergi seperti itu mungkin terdapat antara B
fagilis dan bakteri gram negatif terutama E Coli, dimana ko-invokulasi
bakten secara signifikasi meningkatkan perforasi dan pembentukan abses
(Muttaqin, 2011).

Abses peritoneal menggambarkan pembentukan sebuah kumpulan


cairan yang terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, mentum, dan
sebelah organ viseral Mayoritas abses terjadi selanjutnya pada peritonits.
Sekitar setengah dari pasien mengembangkan abses sederhan, sedangkan
separuh pasien yang lain mengembangkan sekunder abses kompleks
fibrinosa dan organisasi dari bahan abses. Pembentukan abses terjadi
paling sering didaerah subhepatik dan panggul, tetapi mungkin juga
terjadi didaerah perisplenik, kantong yang lebih kecil, dan puteran usus
kecil, serta mesenterium (Muttaqin, 2011).
Selanjutnya abses terbentuk diantara perlekatan fibrinosa,
menempel menjadi satu permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang pula, tetapi dapat menetap sebagai
pita- pita fibrinosa Bila bahan yang menginfeksi terbesar luas pada
perrmukaan peritoneum, maka aktivitas motolitas usus menurun dan
meningkatkan resiko ileus peristaltik (Muttaqin, 2011).
Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi
cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit
cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka akan menyebabkan
kematian sel. Pelepasan berbagai mediator misal interleukin, dari
kegagalan organ. Oleh karena tubuh mencoba untuk mengompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi
kemudian akan segera terjadi badikardi begitu terjadi syok hipovolamik
(Muttaqin, 2011).
Organ-organ di dalam vakum peritoneum termasuk dinding
abdomen mengalami edema. Edema disebabkan oleh parmeabilitas.
pembuluh darah kapiler organ- organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen - lumen usus, serta edema
seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemik
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta
muntah Terjebaknya cairan di rongga peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha pernafasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan perfusi (Muttaqin, 2011).
2.7 Pathway Peritonitis

2.8 Komplikasi Peritonitis


Jika tidak segera ditangani, infeksi di peritoneum dapat menyebar
ke aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada sejumlah organ tubuh.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul akibat peritonitis adalah:
a). Sindrom hepatorenal, yaitu gagal ginjal progresif
b). Sepsis, yaitu reaksi berat akibat bakteri yang sudah memasuki
aliran darah
c). Ensefalopati hepatik, yaitu hilangnya fungsi otak akibat hati tidak
dapat menyaring racun dari darah
d). Abses atau kumpulan nanah pada rongga perut
e). Kematian jaringan pada usus
f). Perlengketan usus yang dapat menyebabkan usus tersumbat
g). Syok septik, yang ditandai dengan penurunan tekanan darah yang
drastis dan sangat berbahaya

2.9 Pemeriksaan Penunjang


a). USG
Dalam banyak kasus, riwayat medis pasien, hasil
pemeriksaan klinis, temuan laboratrium, dan hasil radiografi polos
abdomen atau dada cukup untuk menunjukkan perlunya
pembedahan segera, dan pemeriksaan ultrasonografi tidak
diindikasikan dalam pasien-pasien ini. Namun, dalam kasus lain,
ketika diagnosis klinis tidak pasti dan pengobatan tidak jelas,
ultrasonografi dapat mengidentifikasi penyebab yang tepat yang
mendasari nyeri perut akut yang memerlukan pembedahan.
Temuan ultrasonografi yang paling umum adalah ascites,
dilatasi loop usus kecil dengan ketebalan dinding,
pneumoperitoneum, ketebalan antrum atau dinding duodeal,
apendisitis perforata dengan akumulasi eksudat perifokal, dan
pembentukan abses.
b). CT-scan
Pada CT scan abdomen, peritoneum normal tampak sebagai
struktur tipis yang halus, sedangkan pada keadaan patologis
menghasilkan penebalan lapisan peritoneum.
c). Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis,
hematocrit yang meningkat BGA, menunjukan asidosis metabolic,
dimana terdapat kadar karbondioksida yang disebabkan oleh
hiperventilasi.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung
banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit;
basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per
kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat.

d). Analisis Cairan Peritoneum (Paracentesis)


Pemeriksaan penunjang terakhir yang dilakukan untuk
mendeteksi peritonitis adalah analisis cairan peritoneum. Langkah
ini dilakukan dengan mengambil sampel cairan peritoneum untuk
mengetahui ada atau tidaknya infeksi atau peradangan. Bukan itu
saja, pemeriksaan ini juga dapat mengetahui ada atau tidaknya
bakteri.
2.10 Pemeriksaan Fisik
a). Inspeksi:
Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit
dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh
gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut
yang membuncit dan tegang atau distended.
b). Palpasi:
Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan
viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum
parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan
di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri.
Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri
dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular
(rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah
proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi
berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan
nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang
dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
c). Perkusi :
Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan
perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada
pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan
perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus
dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk
membantu penegakan diagnosis. 1,7 Nyeri yang difus pada lipatan
peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada
peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya
kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau
adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general
peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi
usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula
rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula
biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk
kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.
d). Auskultasi :
Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara
bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan
melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena
peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut
lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis
lokal bising usus dapat terdengar normal.

2.11 Terapi Diet Pada Pasien Peritonitis


1. Terapi Diet pasien Peritonitis
a). Cara pemberian diit lambung yaitu makan sedikit berulang kali.
b). Makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil.
c). Makanan harus lembek dan mudah dicernakan.
d). Perut tidak boleh terlalu kosong atau terlalu penuh.
e). Bahan makanan tinggi glutamine. Glutamina adalah satu dari
20 asam amino yang memiliki kode pada kode genetik standar.
Rantai sampingnya adalah suatu amida. Glutamina dibuat dengan
mengganti rantai samping hidroksil asam glutamat dengan gugus
fungsional amina. Glutamina merupakan bagian penting
dari asimilasi nitrogen yang berlangsung
pada tumbuhan. Amonia yang diserap tumbuhan atau hasil
reduksi nitrit diikat oleh asam glutamat menjadi glutamina dengan
bantuan enzim glutamin sintetase atau GS. Fase  pertumbuhan atau
pada saat sakit, permintaan akan molekul glutamina akan
meningkat melebihi jumlah pasokannya, sehingga pada saat ini
glutamina menjadi asam amino esensial.
2. Adapun bahan Makanan yang tunggi glutamin adalah :
a). Protein hewani seperti ikan, telur, susu, daging sapi, unggas,
yogurt, keju ricotta, keju cottage.
b). Protein nabati seperti kacang-kacangan, bit, bayam, parsley, kubis,
biji rami dan chia benih.
c). Bahan makanan yang mengandung omega 3 seperti vitamin A, D,
E dan K.
3. Diet Pasien Peritonitis Pasca Bedah Laparatomi
a). Makanan pasca bedah I (MPBI)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah. Pasca
bedah kecil : setelah sadar atau rasa mual hilang. Pasca bedah
besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda
usus mulai bekerja. Selama 6 jam sesudah pembedahan,
makanan yang diberikan berupa air putih, teh manis, air
kacang, hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin,
karena kurang dari semua zat gizi. Makanan diberikan secara
bertahap sesuai kemampuan dan kondisi pasien, mulai dari 30
ml/jam.
b). Makanan pasca bedah II (MPB II)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan
diberikan dalam bentuk cair kental, berupa sari buah, sup, susu,
dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasien tidak tidur.
Jumlah cairan yang diberikantergantung keadaan dan kondisi
pasien. Diet ini diberikan untuk waktu sesingkat mungkin
karena zat gizinya kurang.
c). Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang
diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan biskuit.
Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml sehari.
d). Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada : Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasc
abedah I Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II
Makanana diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam
3 kali makanan lengkap dan 1kali makanan selingan
(Maulidina, 2021).

2.12 Penatalaksanaan Peritonitis


Menurut Kristiyanasari (2012) ada beberapa pemeriksaan
diagnostik yang perlu diketahui yaitu test laboratorium : leukositosis,
hematokrit meningkat dan asidosis metabolik meningkat. Untuk
pemeriksaan X-Ray : foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral), akan didapatkan ileus, usus halus dan usus besar dilatasi, dan
udara dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
Menurut Muttaqin dan Sri (2011) pemeriksaan dapat membantu
dalam mengevaluasi kuadran kanan misal prihepatic abses, kolesistitis
biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst dan kuadran kiri misal
appendiksitis, abses tuba ovarium, abses douglas, tetapi kadang
pemeriksaan terbatas karena adanya nyeri distensi abdomen dan
gangguan gas usus, USG juga dapat untuk melihat jumlah cairan dalam
peritoneal.
2.13 Asuhan Keperawatan Peritonitis
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien : nama, umur, agama, pekerjaan, suku/bangsa, jenis
kelamin,alamat
2. Identitas Penanggung Jawab: nama, umur, pekerjaan, alamat, hub.
dengan pasien,
3. No registrasi, tgl. masuk RS, tanggal pengkajian, jam dilakukan
pengkajian,metode pengkajian
4. Data Umum
keluhan utama : keluhan yang sangat mengganggu aktivitas klien,
pasien peritonitis biasanya mengalami nyeri di bagian abdomen
riwayat penyakit sekarang: dikaji perjalanan penyakit klien
riwayat kesehatan dahulu: yang diakaji penyakit yang pernah diderita
kliensebelum penyakit yang diderita saai ini.
riwayat kesehatan keluarga: apakah ada anggota keluarga yang
pernahmengalami penyakit atau keluhan seperti yang dialami klien
kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
5. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : kebersihan anak, keadaan kulit, kesadaran
Pengukuran lain: BB sebelum dan saat pengkajian, tinggi badan
Vital Sign: suhu, nadi, respirasi, tekanan darah
Keadaan Fisik:
Kepala: bentuk, warna rambut, ada tidaknya lesi
Mata: warna, penglihatan
Mulut: perhatikan mukosa bibir, kelembaban, perdarahan,kebersihan,
jumlah gigi
Hidung: perhatikan ada tidaknya epistaksis, nyeri tekan,
pernafasancuping hidung, kebersihan
Telinga: perhatikan ada tidaknya nyeri tekan, kebersihan
Thorax: perhatikan bentuk dada, kesimetrisan, suara paru dan jantung
Abdomen: perhatiakan apakah ada nyeri tekan, asites, peristaltic
Ekstremitas: perhatikan apakah ada edema, cianosis, pergerakan sendi
Genetalia: perhatikan kebersihan, ada tidaknya kelainan
Anus: perhatikan kebersihan, dan ada tidaknya perdarahan
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan kenyamanan: nyeri berhubungan dengan inflamasi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual,muntah
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
sekunder, mual, muntahakibat peritonitis
4. Intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan
5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltic sekunder

C. Intervensi Keperawatan
No Tujuan Intervensi Rasional
1 Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji tingkat, 1. Untuk
keperawatan selama 2 x 24 lokasi, frekuensi memperoleh data
jam nyeri berkurang nyeri yang akurat
sampai hilang dengan 2. Bantu klien sehingga dapat
criteria hasil: mengatur posisi memberikan
1. Klien melaporkan senyaman asuhan
nyeri berkurang mungkin keperawatan yang
atau hilang 3. Ajarkan teknik tepat
2. Tidak ada nyeri distrakasi 2. Posisi yang tepat
tekan 4. Ajarkan teknik dan nyaman dapat
nafas dalam menurunkan
5. Kolaborasi nyeri
dengan dokter 3. Pengalihan
dalam perhatian dapat
pemberian menurunkan
analgesic nyeri karena klien
6. Kolaborasi terfokus pada hal
dengan dokter lain
untuk tindakan 4. Nafas dalam
pembedahan dapat
meningkatkan
input oksigen
sehingga otot –
otot tidak tegang
sehingga nyeri
berkurang
5. Analgesic dapat
menurunkan
nyeri
6. Mencegah
peradangan yang
lbih luas
2 Setelah dilakukan asuhan 1. Berikan makan 1. Makanan hangat
keperawatan 3 x 24 jam dalam keadaan dapat
nutrisi terpenuhi dengan hangat meningkatkan
criteria hasil: 2. Berikan klien nafsu makan
1. Klien menunjukan makan dalam 2. Meningkatkan
peningkatan nafsu porsi kecil tapi intake makanan
makan sering 3. Pengetahuan
2. Berat badan klien 3. Berikan yang adekuat
normal informasi yang dapat
akurat tentang meningkatkan
pentingnya kepatuhan klien
nutrisi terhadap
4. Motivasi klien intervensi
untuk 4. Dukungan dari
menghabiskan oranglain akan
makanannya membuat klien
5. Timbang berat merasa dihargai
badan setiap hari 5. Untuk
6. Pertahankan mengetahui
kebersihan perkembangan
mulut yang baik klien
sebelum dan 6. Meningkatkan
sesudah makan kesejahteraan
7. Hindarkan klien klien sehingga
dari rangsangan nafsu makan
yang membuat meningkat
klien mual dan 7. Mencegah
muntah kekurangan
8. Kolaborasi nutrisi lebih parah
dengan dokter 8. Meningkatkan
untuk pemberian nafsu makan
multivitamin
penambah nafsu
makan

3 Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau berat 1. Mengetahui


keperawatan 2x24 jam badan, suhu perkembangan
cairan terpenuhi dengan tubuh, kondisi klien
criteria hasil: kelembaban 2. Meningkatkan
1. Mukosa bibir pada rongga intake cairan
lembab oral, volume dan 3. Mencegah
2. Memperlihatkan konsentrasi dehidrasi
tidak adanya tanda urine 4. Untuk
dan gejala dehidrasi 2. Kaji yang menentukan
disukai dan yang metode
tidak disukai, pemenuhan
berikan cairan cairan
yang disukai
dalam batasan
diet
3. Pantau masukan,
pastikan
sedikitnya 1500
mL cairan per
oral setiap 24
jam
4. Kaji pengertian
individu tentang
alasan
mempertahanka
n hidrasi yang
adekuat dan
metode –
metode untuk
mencapai tujuan
masukan cairan
4 Setelah dilakukan asuhan 1. Periksa TTV 1. Untuk memantau
keperawatan 2 x 24 jam 2. Berikan bantuan kondisi klien
pasien dapat mentoleransi dalam aktivitas 2. Untuk
aktivitas dengan criteria perawatan diri meningkatkan
hasil: sesuai indikasi aktivitas klien
1. Pasien melaporkan 3. Tingkatkan tirah secara bertahap
badannya tidak baring dan beri 3. Menyediakan
lemah lagi lingkungan yang ketenangan dan
2. Makan, nyaman energy untuk
minum,ganti baju 4. Evaluasi aktivitas dan
pasien terpenuhi peningkatan penyembuhan
toleran aktifitas 4. Untuk
menentukan
intervensi
selanjutnya

5 Setelah dilakukan asuhan 1. Anjurkan klien 1. Dapat


keperawatan selama 2x24 untuk diet meningkatkan
jam konstipasi teratasi makanan yang produksi feses
dengan criteria hasil: lembek dan 2. Data yang akurat
1. Klien BAB 1 x berserat dapat
sehari 2. Monitor menentukan
2. Konsistensi perkembangan intervensi yang
lembek,warna frekuensi,jumlah tepat dan benar
kuning,bau normal dan warna feses 3. Latihan regular
3. Tekankan dapat
kebutuhan meningkatkan
terhadap latihan peristaltic usus
regular sehingga feses
yang terbentuk
tidak keras
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi atau Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan
juga meliputi pengumpulan dan berkelanjutan, mengobservasi respon klien
selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru
(Nikmatur, Saiful, 2012).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan evaluasi adalah mengakhiri
rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana tindakan
keperawatan, meneruskan rencana tindakan keperawatan (Nikmatur,
Saiful, 2012). Macam-macam evaluasi :
1. Evaluasi Proses (Formatif)
a). Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.
b). Berorientasi pada etiologi.
c). Dilakukan secara terus menerus sampai tujuan yang telah
ditentukan tercapai.

2. Evaluasi hasil (Sumatif)


a). Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna.
b). Berorientasi pada masalah keperawatan.
c). Menjelaskan keberhasilan/ ketidakberhasilan.
d). Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai
dengan kerangka waktu yang ditetapkan.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang
menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu
bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat yang di
sebabkan karena adanya trauma hinggan perdarahan dalam rongga
abdomen,asites,peradangan akibat infeksi bakteri dan adhesi. Peritonitis di
klasifikasikan menjadi peritonitis primer,sekunder dan tersier. Penaganan
peritonitis tidak bisa hanya dilakukan oleh satu petugas kesehatan dalam
hal ini dokter, namun membutuhkan upaya kolaborasi semua tenaga
kesehatan seperti dokter, ahli gizi, apoteker, serta perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan.

3.2 Saran
a). Dengan mempelajari materi ini mahasiswa keperawatan yang
nantinya menjadi seorang perawat profesional agar dapat lebih
mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pasien dengan
peritonitis sehingga meningkat kan kesehatan pasien.
b). Mahasiswa dapat melakukan tindakan-tindakan intervensi asuhan
keperawatan pasien peritonitis dengan baik dan sesuai standart
operasi prosedural.
DAFTAR PUSTAKA

Kowalak, J. P., & Hughes, A.S. (2012). Buku Saku Tanda dan Gejala :
Pemeriksaan Fisik dan Anamnesis, Penyebab, Tip Klinis, Ed 2. Jakarta:EGC

Maulidina, R. (2021). Manajemen Asuhan Gizi Klinik Pada Pasien Peritonitis


Generalisata Di Rumah Sakit Kalisat Kabupaten Jember.

Inayah, Iin. 2004.Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem


Pencernaan.Salemba Medika. Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta.

Santosa, Budi.2005-2006. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika.


Jakarta

Gearhart SL, Silen W. Acute appendisitis and peritonitis. Dalam: Fauci A,


Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al, editor (penyunting).
Harrison’s principal of internal medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA:
McGrawHill; 2008. hlm. 1916-7

Daldiyono, Syam AF. Nyeri abdomen akut. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor (penyunting). Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-5 Jilid ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2010. hlm. 474-6.

Ridad MA. Infeksi. Dalam: R. Sjamsuhidajat, editor (penyunting). Buku ajar ilmu
bedah Sjamsuhidajatde jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2007. hlm.52

Anda mungkin juga menyukai