Anda di halaman 1dari 85

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

TRAUMA ABDOMEN DAN SISTEM PERKEMIHAN


Dosen Pembimbing : Ns. Ahmad Mustofa M.kep
Disusun Oleh :
1. Nanang Abdullatif Khasbullah (G2A017111)
2. Faisal Wahyu Riyantoni (G2A017113)
3. Widya Fitri Amaliyah (G2A017114)
4. Anisa Nanda Salecha (G2A017116)
5. Agnes Anggre Liana P (G2A017117)
6. Luthfi Fakhrul Aziz (G2A017118)
7. Nabila Nur Ilma (G2A017119)
8. Septiani Nur Habibah (G2A017120)
9. Kusnul Khotimah (G2A017121)
10. Arfiana Afanin Zahro (G2A017122)
11. Kiki Faraniska (G2A017123)
12. Devia Nur Azizah (G2A017124)
13. Ria Herlyna (G2A017126)
14. Misbah Indra Nugroho (G2A017127)

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Abdomen adalah sebuah rongga besar yang di lingkupi oleh otot perut
pada bagian ventral lan lateral, serta adanya kolumna spinalis di sebelah dorsal.
Bagian atas abdomen berbatasan dengan tulang iga atau costae. Cavitas
abdominalis berbatasan dengan cairan thorax atau rongga dada melalui otot
difragma dan sebelah bawah dengan cavitas pelvis atau rongga panggul.
Antara cavitas abdominalis dan cavitas pelvis di batasi dengn membran
serosa yang di kenal dengan sebagai peritoneum parietalis. Membran ini juga
membungkus organ yang ada di abdoen dan menjadi peritoneum viscerralis. Pada
vertebrata, di dalam abdomen terdapat berbagai sistem organ, seperti sebagian
besar organ sistem pencernaan, sistem perkemihan.
Istilah trauma abdomen atau gawat abdomen menggambarkan keadaan
klinik akibat kegawatan di rongga abdomen yang biasanya timbbuul mendadak
denngan nyeri sebagian keluhan utama. Keadaan ini perlu penanganan segera
yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau
peradangan , infeksi, obstruksi atau stangulasi jalan cerna apat menyebabkann
perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh saluran crna
sehingga terjadilah oeritonitis.
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa
karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada ditubuh dan anggota
gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma
saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada.
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ
saja,sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani sebagaisatu
kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-tandavital harus
selalu diperbaiki atau dipertahankan, sebelum melangkah kepengobatan yang
lebih spesifik.. Trauma sistem perkemihan bisa terjadi karena trauma tumpul
dantrauma tajam. Trauma tumpul sistem perkemihan lebih besar
tingkatkejadiannya 80 – 90% dibandingkan dengan trauma tajam yang
mencapai10 – 20%. Melihat akibat yang ditimbulkan dari trauma urinaria, maka
kami darikelompok akan menjelaskan makalah laporan pendahuluan dan konsep
asuhan keperawatan gawat darurat pada sistem perkemihan.
Insiden trauma abdomen meningkat tahun ke tahun. Mortalitas biasanya
lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Trauma
abdomen di temukan 25% penderita multi –trauma, gejala dan tanda yang di
timbulkannya kadang-kadang lambat sehingga memerlukan tingkat kewaspadaan
ya ng tinggi untuk dapat menetapka diagnosa. (Suddarth & Brunner, 2002)

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur
keperawatan gawat darurat dan untuk memberikan wawasan kepada
mahasiswa/i tentang trauma abddomen dan perkemihan beserta asuhan
keperawatan pada pasien dengan truma abdomen dan perkemihan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari trauma abdomen dan trauma perkemihan
b. Untuk menetahui etiologi trauma abdomen dan trauma perkemihan
c. Untuk mengetahui patofisiologi trauma abdomen dan trauma perkemihan
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma abdomen dan trauma
perkemihan
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma abdomen
dan trauma perkemihan
f. Untuk mengetahui pengkajian fokus trauma abdomen dan trauma
perkemihan
g. Untuk mengetahui pathways keperawatan trauma abdomen dan trauma
perkemihan
h. Untuk mengetahui diagnosa trauma abdomen dan trauma perkemihan
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan trauma abdomen dan trauma
perkemihan

C. Metode Penulisan

Metode penulisan dalam menyusun mekalah ini yaitu dengan


mengumpulkan data dan informasi yang mendukung penulisan
dikumpulkan dengan melakukan penelusuran pustaka, pencarian sumber-
sumber yang relevan dan pencarian data melalui internet

D. Sistematika penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
Tujuan Instruksional Umum
Tujuan Instruksional Khusus
C. Metode Penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB II : KONSEP DASAR
A. Pengertian
B. Etiologi/Predisposisi
C. Patofisiologi
D. Manifestasi klinis
E. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
F. Pengkajian Fokus
1. Pengkajian Primer
a. Airway
b. Breathing
c. Cirkulasi
d. Dissability
2. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
b. Pemeriksaan penunjang : Laboratorium, USG,
Rontgen, MRI, CT Scan, dll
3. Riwayat Penykit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
G. Pathway Keperawatan
1. Jalan munculnya masalah dikaitkan dengan pathofisiologi
penyakit dari temuan data focus (dibuat dalam bentuk
bagan/skema)
H. Diagnosa Keperawatan
I. Fokus Intervensi dan Rasional
BAB III : TINJAUAN KASUS
BAB IV : PENUTUP (KESIMPULAN DAN SARAN)
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian
1. Trauma Abdomen
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan
daerah antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa
trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak
disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi
gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ (Sjamsuhidayat, 1997).
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap
struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan
oleh luka tumpul atau yang menusuk. (Ignativicus & Workman, 2006)
Jadi, trauma abdomen adalah trauma atau cedera pada abdomen
yang menyebabkan perubahan fisiologis yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau tusuk.

2. Trauma Sistem Perkemihan


Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat
terdiagnosa karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di
tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan
komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena
itu pada setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai
dibuktikan tidak ada.
Trauma saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ
saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu ditangani
sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum dan tanda-
tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke
pengobatan yang lebih spesifik. Berikut trauma yang terjadi pada system
perkemihan:
a. Trauma Renal (Ginjal)
Trauma ginjal adalah kecederaan yang paling sering pada
sistem urinari. Walaupun ginjal mendapat proteksi dari otot lumbar,
thoraks, badan vertebra dan viscera, ginjal mempunyai mobiliti yang
besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal dan
kecederaan vaskular dengan mudah. Trauma sering kali disebabkan
kerana jatuh, kecelakaan lalu lintas, luka tusuk, dan luka tembak.
Trauma ginjal merupakan adalah suatu penyakit ginjal yang
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.Trauma ini sering
terjadi pada sistem urologi. Kejadian penyakit ini sekitar 8-10%
dengan trauma tumpul atau trauma abdominal. Pada banyak kasus,
trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya
(Baverstock, 2001). Pada trauma ginjal akan menimbulkan ruptur
berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar 85-90% trauma
ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
Trauma ginjal biasanya terjadi akibat kecelakaan lalulintas atau
jatuh. Trauma ini biasanya juga disertai dengan fraktur pada vertebra
thorakal 11-12. Jika terdapat hematuria kausa trauma harus dapat
diketahui. Laserasi ginjal dapat menyebabkan perdarahan dalam
rongga peritoneum.Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang
disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun
tajam.
b. Trauma Vessica Urinaria (Kandung Kemih)
Trauma kandung kemih adalah cidera yang terjadi pada
kandung kemih yang diakibatkan oleh kecelakaan atau trauma
iatrogenik (Salam, 2013). Cedera kandung kemih adalah cedera pada
kandung kemih yang terjadi akibat trauma tumpul dan penetrasi dan
bervariasi menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung kemih
penuh akan lebih mungkin untuk menjadi terluka dari pada saat kosong
(Mutaqqin & Sari, 2011). Cedera kandung kemih disebabkan oleh
trauma tumpul atau penetrasi. Kemungkinan cedera kandung kemih
bervariasi menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung kemih
penuh akan lebih mungkin untuk menjadi luka daripada saat kosong.
(Arif muttaqin : 2011).
c. Trauma Urethra
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung
akibat trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang panggul,
khususnya os pubis (simpiolisis).
d. Trauma Ureter
Trauma ureter ialah trauma yang disebabkan oleh rudapaksa
tajam maupun tumpul dari luar ataupun iatrogenik terutama pada
pembedahan rektum, uterus, pembuluh darah panggul, atau tindakan
endoskopik. (Sjamsuhidajat Win De Jong.R.1997).

B. Anatomi Fisiologi
1. Pengertian Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya
proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang
tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih
dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh
larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem perkemihan atau biasa juga disebut Urinary System adalah
suatu sistem kerjasama tubuh yang memiliki tujuan utama
mempertahankan keseimbangan internal atau Homeostatis. Fungsi lainnya
adalah untuk membuang produk-produk yang tidak dibutuhkan oleh tubuh
dan banyak fungsi lainnya yang akan dijelaskan kemudian.
Susunan sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang
menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika
urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin
dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.
a. Anatomi Sistem Perkemihan
1) Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang
peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12
sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji
kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri,
karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
a) Fungsi ginjal :
 Memegang peranan penting dalam
pengeluaran zat-zat toksis atau racun
 Mempertahankan suasana keseimbangan
cairan, osmotic, dan ion,
 Mempertahankan keseimbangan kadar asam
dan basa dari cairan tubuh,
 Fungsi hormonal dan metabolisme,
 Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir
dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
b) Struktur ginjal.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis
yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis
di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan
medulla renalis di bagian dalam yang berwarna
cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian
medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides
renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang
terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla
renalis.

Hilum adalah pinggir medial ginjal


berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh
darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis
renalis berbentuk corong yang menerima urin yang
diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga
calices renalis majores yang masing-masing akan
bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis
minores.

Struktur halus ginjal terdiri dari banyak


nefron yang merupakan unit fungsional ginjal.
Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal.
Nefron terdiri dari :

i. Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang
berasal dari arteriol afferent yang kemudian bersatu
menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat
filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dari darah
yang melewatinya.
ii. Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi
glomerolus untuk mengumpulkan cairan yang
difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
iii. Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
- Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan
reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubuli dan
mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan
tubuli.
- Ansa Henle
Ansa henle membentuk lengkungan tajam
berbentuk U. Terdiri dari pars descendens yaitu
bagian yang menurun terbenam dari korteks ke
medula, dan pars ascendens yaitu bagian yang
naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari
lengkung henle mempunyai dinding yang sangat
tipis sehingga disebut segmen tipis, sedangkan
bagian atas yang lebih tebal disebut segmen
tebal.
Lengkung henle berfungsi reabsorbsi bahan-
bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-
bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu,
berperan penting dalam mekanisme konsentrasi
dan dilusi urin.
- Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat
tertentu.
iv. Duktus pengumpul (duktus kolektifus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan
dari delapan nefron yang berlainan. Setiap duktus
pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis
ginjal.
v. Persarafan ginjal.
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus
renalis(vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk
mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal,
saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah
yang masuk ke ginjal.

2) Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari
ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan
penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.

Lapisan dinding ureter terdiri dari :

● Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)


● Lapisan tengah lapisan otot polos.
● Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
● Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan
peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam
kandung kemih.

3) Vesika Urinaria (Kandung Kemih).


Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini
berbentuk seperti buah pir (kendi). letaknya d belakang simfisis
pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat
mengembang dan mengempis seperti balon karet.

Dinding kandung kemih terdiri dari:

● Lapisan sebelah luar (peritoneum).


● Tunika muskularis (lapisan berotot).
● Tunika submukosa.
● Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).

4) Uretra.
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika
urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.

Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:

a. Urethra pars Prostatica

b. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra


externa)

c. Urethra pars spongiosa.

Pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm


(Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina (antara
clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran
ekskresi.

Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:

● Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari


Vesika urinaria mengandung jaringan elastis dan otot polos.
Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.
● Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung
pembuluh darah dan saraf.
● Lapisan mukosa.

5) Air kemih (urine).


Sifat fisis air kemih, terdiri dari:

● Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari


pemasukan(intake) cairan dan faktor lainnya.
● Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan
menjadi keruh.
● Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan
dan sebagainya.
● Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau
amoniak.
● Berat jenis 1,015-1,020.
● Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga
tergantung dari pada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan
protein member reaksi asam).
● Komposisi air kemih, terdiri dari:
● Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
● Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam
urea amoniak ,Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat,
fospat dan sulfat.
● Pagmen (bilirubin dan urobilin).
● Toksin

b. Fisiologi Sistem Perkemihan


Pada saat vesica urinaria tidak dapat lagi menampung urine
tanpa meningkatkan tekanannya (biasanya pada saat volume urine
kira-kira 300 ml)makam reseptor pada dinding vesika urinaria akan
memulai kontraksi musculus detrussor. Pada bayi, berkemih terjadi
secara involunter dan dengan segera. Pada orang dewasa, keinginan
berkemih dapat ditunda sampai ia menemukan waktu dan tempat
yang cocok. Walaupun demikian, bila rangsangan sensoris ditunda
terlalu lama, maka akan memberikan rasa sakit.

Dengan demikian mulainya kontraksi musculus detrussor,


maka terjadi relaksasi musculus pubococcygeus dan terjadi
pengurangan topangan kekuatan urethra yang menghasilkan
beberapa kejadian dengan urutan sebagai berikut :

1. Membukanya meatus intemus

2. Erubahan sudut ureterovesical


3. Bagian atas urethra akan terisi urine

4. Urine bertindak sebagai iritan pada dinding urine

5. Musculus detrussor berkontraksi lebih kuat

6. Urine didorong ke urethra pada saat tekanan intra abdominal

meningkat

7. Pembukaan sphincter extemus

8. Urine dikeluarkan sampai vesica urinaria kosong

Penghentian aliran urine dimungkinkan karena musculus


pubococcygeus yang bekerja di bawah pengendalian secara
volunteer :

1. Musculus pubococcygeus mengadakan kontraksi pada saat


urine mengalir
2. Vesica urinaria tertarik ke atas
3. Urethra memanjang

4. Musculus sprincter externus di pertahankan tetap dalam


keadaan kontraksi.

Apabila musculus pubococcygeus mengadakan relaksasi lahi maka


siklus kejadian seperti yang baru saja diberikan di atas akan mulai
lagi secara otomatis.

Fungsi sistem homeostatis urinaria:

● Mengatur volume dan tekanan darah dengan mengatur


banyaaknya air yang hilang dalam urine, melepaskan
eritropoietin dan melepaskan rennin.
● Mengatur konsentrasi plasma dengan mengontrol jumlah
natrium, kalium, klorida, dan ion lain yang hilang dalam urin
dan mengontrol kadar ion kalsium.
● Membantu menstabilkan pH darah, dengan mengontrol
kehilangan ion hydrogen dan ion bikarbonat dalam urin.
● Menyimpan nutrient dengan mencegah pengeluaran dalam urin,
mengeluarkan produk sampah nitrogen seperti urea dan asam
urat.
● Membantu dalam mendeteksi racun-racun.
● Mekanisme pembentukan urine
Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit
terbentuk 120 – 125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah
filtrasi). Setiap harinyadapat terbentuk 150 – 180L filtart. Namun
dari jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L) yang akhirnya keluar
sebagai kemih, dan sebagian diserap kembali. Transpor urin dari
ginjal melalui ureter dan masuk ke dalam kandungan kemih.

Tahap-tahap pembentukan urin :

a. Proses filtrasi

Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena permukaan ferent


lebih besar dari oermukaan afferent maka terjadi penyerapan darah,
sedangkan sebagian besar yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein, cairam yang tersaring ditampung oleh simpai
bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfa,
bikarbonat, diteruskan ke seluruh ginjal.

b. Proses reabsorbsi

Terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, sodium, klorida,


fosfat, dan beberapa ion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas.
Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan dan sodium dan ion karbonat, bila diperlukan akan
diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya
terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya
dialirkan pada pupila renalis.

c. Augmentasi (Pengumpul)

Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai


tubulus pengumpul. Pada tubulus pengumpul masih terjadi
penyerapan ion Na+, Cl-, dan urea sehingga terbentuklah urine
sesungguhnya.
Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu di
bawa ke ureter. Dari ureter, urine dialirkan menuju vesika urinaria
(kandung kemih) yang merupakan tempat penyimpanan urine
sementara. Ketika kandung kemih sudah penuh, urine dikeluarkan
dari tubuh melalui uretra.

Urin yang keluar dari kandungan kemih mempunyai komposisi


utama yang sama dengan cairan yang keluar dari duktus koligentes,
tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin tersebut sejak
mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung kemih.

c. Proses Miksi (Rangsangan Berkemih).


Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang
stres reseptor yang terdapat pada dinding kandung kemih dengan
jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk merangsang berkemih (proses
miksi). Akibatnya akan terjadi reflek kontraksi dinding kandung
kemih, dan pada saat yang sama terjadi relaksasi spinser internus,
diikuti oleh relaksasi spinter eksternus, dan akhirnya terjadi
pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih
dan relaksasi spinter interus dihantarkan melalui serabut – serabut
para simpatis. Kontraksi sfinger eksternus secara volunter
bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi. kontrol
volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf – saraf yang menangani
kandung kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh.
Bila terjadi kerusakan pada saraf – saraf tersebut maka akan
terjadi inkontinensia urin (kencing keluar terus – menerus tanpa
disadari) dan retensi urine (kencing tertahan).
Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh
torako lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako
lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter
interna.
Peritonium melapis kandung kemih sampai kira – kira
perbatasan ureter masuk kandung kemih. Peritoneum dapat
digerakkan membentuk lapisan dan menjadi lurus apabila kandung
kemih terisi penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior
berpangkal dari umbilikalis bagian distal, vena membentuk
anyaman dibawah kandung kemih. Pembuluh limfe berjalan
menuju duktus limfatilis sepanjang arteri umbilikalis.
Jadi,reflex mikturisi merupakan sebuah sikus yang lengkap yang
terdiri dari:
- Kenaikan tekanan secara cepat dan progresif
- Periode tekanan menetap
- Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal.
- Perangsangan atau penghambatan berkemih oleh otak.
Pusat – pusat ini antara lain:
- Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang
otak, terutama terletak di ponds, dan beberapa pusat yang
terletak korteks serebral yang terutama bekerja
menghambat tetapi dapat menjadi perangsang.
- Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya
berkemih, tetapi pusat yang lebih tinggi normalnya
memegang peranan sebagai pengendali akhir dari
berkenmih sebagai berikut:
- Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial
penghambatan refleks berkemih kecuali jika peristiwa
berkemih dikehendaki.
- pusat yang lebih tinggi dapat mecegah berkemih, bahkan
jika refleks berkemih timbul, dengan membuat kontraksi
tonik terus menerus pada sfingter eksternus kandung
kemih sampai mendapatkan waktu yang baik untuk
berkemih.
- Jika tiba waktu berkemih, pusat kortikal dapat
merangsang pusat berkemih sacral untuk membantu
untuk mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu
bersamaan menghambat sfingter eksternus kandung
kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.
- Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan
cara berikut: Pertama, seseorang secara sadar
mengkontraksikan otot – otot abdomennya, yang
meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan
mengakibatkan urin ekstra memasuki leher kandung
kemih dan uretra posterior di bawah tekanan, sehingga
meregangkan dindingnya.
d. Urine (Air Kemih)
Mikturisi ( berkemih ) merupakan refleks yang dapat dikendalikan
dan dapat ditahan oleh pusat persarafan yang lebih tinggi dari
manusia. Gerakannya oleh kontraksi otot abdominal yang
menambah tekanan di dalam rongga dan berbagai organ yang
menekan kandung kemih membantu mengosongkannya. Rata-rata
dalam satu hari 1-2 liter, tetapi berbeda sesuai dengan jumlah
cairan yang masuk. Warnanya bening oranye, pucat tanpa endapan,
baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH
rata-rata 6.
1) Sifat – sifat air kemih
- Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari
masuknya (intake) cairan serta faktor lainnya.
- Warna bening muda dan bila dibiarkan akan menjadi
keruh.
- Warna kuning terantung dari kepekatan, diet obat –
obatan dan sebagainya.
- Bau khas air kemih bila dibiarkan terlalu lama maka
akan berbau amoniak.
- Baerat jenis 1.015 – 1.020.
- Reaksi asam bila terlalu lama akan menjadi alkalis,
tergantung pada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis
dan protein memberi reaksi asam).
2) Komposisi air kemih
Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa
yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi.
Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-
molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan
untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun, ada juga
beberapa spesies yang menggunakan urin sebagai sarana
komunikasi olfaktori.
Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa
sisa metabolisme (seperti urea), garam terlarut, dan materi
organik. Cairan dan materi pembentuk urin berasal dari
darah atau cairan interstisial. Komposisi urin berubah
sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting
bagi tubuh, misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh
melalui molekul pembawa. Cairan yang tersisa
mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai
senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan
dibuang keluar tubuh. Materi yang terkandung di dalam
urin dapat diketahui melalui urinalisis. Urea yang
dikandung oleh urin dapat menjadi sumber nitrogen yang
baik untuk tumbuhan dan dapat digunakan untuk
mempercepat pembentukan kompos. Diabetes adalah suatu
penyakit yang dapat dideteksi melalui urin. Urin seorang
penderita diabetes akan mengandung gula yang tidak akan
ditemukan dalam urin orang yang sehat.
Komposisi air kemih :
- Air kemih terdiri dari kira – kira 95 % air
- Zat – zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme
protein asam urea, amoniak dan kreatinin
- Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat,
fosfat dan sulfat
- Pigmen (bilirubin, urobilin)
- Toksin
- Hormon

2. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak
diantara toraks dan pelvis. rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding
abdomen yang terbentuk dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan
tulang ilium. Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang
paling sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang
bayangan horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan
tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah
(regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi
tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca
dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang
rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale.
Regio abdomen tersebut adalah:
a. Hypocondriaca dextra,
b. Epigastrica,
c. Hypocondriaca sinistra,
d. Lumbalis dextra
e. Umbilical,
f. Lumbalis sinistra,
g. Inguinalis dextra,
h. Pubica/hipogastrica,
i. Inguinalis sinistra

Gambar 1. Pembagian anatomi abdomen berdasarkan lokasi organ yang ada di


dalamnya (Griffith, 2003)

a. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung empedu,


sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan
kelenjar suprarenal kanan.
b. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian dari hepar.
c. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar
suprarenal kiri.
d. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
e. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
f. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
g. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan
ureter kanan.
h. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
i. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium
kiri. Dengan mengetahui proyeksi organ intra-abdomen tersebut, dapat
memprediksi organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam
pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut
(Griffith, 2003).

Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :
rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. rongga pelvis
sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal.
Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah. rongga
peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang toraks, termasuk diafragma, liver, lien,
gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen torako-
abdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus halus,
sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ
reproduksi pada wanita (Trauma, 2012)

Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta


abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
ureter, permukaan paskaerior kolon ascenden dan descenden serta komponen
retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh tulang
pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan
retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan
organ reproduksi interna pada wanita (Griffith, 2003).
C. Etiologi/Predisposisi
1. Trauma Abdomen
Menurut Sjamsuhidayat (1998), penyebab trauma abdomen adalah
sebagai berikut:
a. Penyebab trauma penetrasi
1) Luka akibat terkena tembakan
2) Luka akibat tikaman benda tajam
3) Luka akibat tusukan
b. Penyebab trauma non-penetrasi
1) Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
2) Hancur (tertabrak mobil)
3) Terjepit sabuk pengaman karena terlalu menekan perut
4) Cedera akselerasi/deserasi karena kecelakaan olah raga
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang
terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul.
Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak
terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh
klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Menurut (Tim YAGD 118 2011) Trauma abdomen bisa disebabkan
karena trauma tajam dan trauma tumpul, trauma tajam sering disebabkan
oleh luka tikam luka bacok atau luka tembak. Pada kecelakaan kendaraan
bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan
yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau
benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak
yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka
tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan
tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ internal
diabdomen.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera
akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk
pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan
benda tajam atau luka tembak.

2. Trauma Sistem Perkemihan


a. Trauma Renal (Ginjal)
1) Trauma Tumpul
Trauma tumpul sering menyebabkan luka pada ginjal, misalnya
karena kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh atau trauma pada
saat berolahraga. Luka tusuk pada ginjal dapat karena tembakan
atau tikaman. Trauma tumpul dibedakan menjadi :
a) Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal
biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ
organ lain.
b) Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang
menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam
rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi
pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang
menimbulkan trombosis.
2) Trauma Iatrogenik
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan
operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk
retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan
percutaneous lithotripsy
3) Trauma Tajam
Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh tusukan benda
tajam misalnya tusukan pisau. Luka karena senjata api dan pisau
merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal sehingga
bila terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal
sampai terbukti sebaliknya. Pada luka tembus ginjal, 80%
berhubungan dengan trauma viscera abdomen.
b. Trauma Vessica Urinaria (Kandung Kemih)
Penyebab utama cedera kandung kemih adalah trauma
penetrasi (tajam) dan trauma tumpul. Penyebab iatrogenik termasuk
pasca intervensi bedah dari ginekologi, urologi, dan operasi ortopedi
didekat kandung kemih. Penyebab lain melibatkan trauma obstetri
pada saat melahirkan (Mutaqqin & Sari, 2011).
Trauma kandung kemih terutama terjadi akibat trauma tumpul
pada panggul, tetapi bias juga karena trauma tembus seperti luka
tembak dan luka tusuk oleh senjata tajam. Pecahan-pecahan tulang
yang berasal dari fraktura dapat menusuk kandung kemih. Tetapi
ruptur kandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul panggul
atas kandung kemih yang terisi penuh. Tenaga mendadak atas masa
urin yang terbendung di dalam kandung kemih menyebabkan rupture.
Perforasi iatrogen pada kanndung kemih terdapat pada reseksi
transurtral, sistoskopi atau karena manipulasi dengan peralatan pada
kandung kemih.
Ruptur kandung kemih terutama terjadi sehingga akibat trauma
tumpul pada panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti
luka tembak dan luka tusuk oleh senjata tajam, dan cedera dari luar,
cedera iatrogenik dan patah tulang panggul. Pecahan-pecahan tulang
panggul yang berasal dari fraktur dapat menusuk kandung kemih tetapi
rupture kandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul pada
panggul atas kandung terisi penuh. Tenaga mendadak atas massa
urinaria yang terbendung di dalam kandung kemih yang menyebabkan
ruptur. Penyebab iatrogenic termasuk pascaintervensi bedah dari
ginekologi, urolodi, dan operasi ortopedi di dekat kandung kemih.
Penyebab lain melibatkan trauma obstetric pada saat melahirkan.
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat
fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia
endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera
deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah
berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli.
Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat
fragmen tulang pelvis merobek dindingnya (Purnomo, 2007).
c. Trauma Urethra
Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia
eksterna maupun perineum.
d. Trauma Ureter
Menurut Sjamsuhidajat Wim De Jong.R. 1997 penyebab
trauma ureter adalah:
1) Rudapaksa tajam atau tumpul
2) Latrogenik
3) Tindakan endoscopic
Kausa lain:
1) Eksternal trauma:
a) Penetrasi (Luka tusuk, tembak)
b) Op. rongga pelvis (terligasi/terpotong)
2) Internal trauma:
a) Ureteral chatheterization
b) Intra ureteral manipulation
c) Endourologi
D. Patofisiologi
1. Trauma Abdomen
Jika terjadi trauma tajam/penetrasi atau tumpul/non-penetrasi
kemungkinan terjadi pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan
memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel
darah merah yang akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu
organ viseral mengalami perforasi, maka tanda-tanda perforasi, tanda-
tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen
tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi
abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.Bila syok
telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh,
juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda peritonitis mungkin
belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas
yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen,
maka operasi harus dilakukan. Pada trauma abdomen, dapat terjadi akibat
kecelakaan yang menenai kendaraan bermotor serta pejalan kaki, tindak
kekerasan seperti penyerangan dan kecelakaan terjatuh. Cedera tumpul
abdomen terjadi akibat energi mekanis yang meliputi gaya eksternal
(percepata serta deselarasi) dan gaya internal (penekanan serta penarikan),
aorta merupakan contoh yang baik. Deselerasi (gaya eksternal) membuat
struktur yang anatomi yang terfikasi, seperti aorta torakalis desendens,
rentan terhadap cedera, dan tekanan yang merobek (gaya internal) akan
mengakibatkan ruptur aorta.
Sedangkan pada trauma tembus dapat terjadi akibat tusukan, luka
tembak, atau lontaran benda tajam. Pada kasus luka tusuk, cedera tersebut
berkaitan dengan panjang alat yang digunakan untuk menusuk, sudut
tempat masuknya dan ketika kekuatan atau gaya tusukan tersebut bekerja.
Kerusakan jaringan yang terjadi karena peluru berkaitan dengan masa serta
bentuknya, velositas peluru fragmentasi dan jaringan yang tergeser.
Sebanyak 96%-98% luka tembak yang menembus abdomen akibatkan
cedera intraabdomen yang signifikan (oman 2008).
Patofisiologi yang terjadi berhubungan dengan terjadinya trauma abdomen
adalah:
a. Terjadi perpindahan cairan berhubungan dengan kerusakan pada
jaringan, kehilangan darah dan shock.
b. Perubahan metabolic dimediasi oleh CNS dan system
makroendokrin, mikroendokrin.
c. Terjadi masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan
perdarahan massif dan transfuse multiple
d. Inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan oleh sekresi
saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum
e. Perubahan nutrisi dan elektrolit yang terjadi karena akibat
kerusakan integritas rongga saluran pencernaan.
f. Limpa merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan
yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau
perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga semua
upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa.
g. Liver, karena ukuran dan letaknya hati merupakan organ yang paling
sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering
kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang
dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu mengontrol perdarahan
dan mendrainase cairan empedu.
h. Esofagus bawah dan lambung, kadang-kadang perlukaan esofagus
bawah disebabkan oleh luka tembus. Karena lambung fleksibel dan
letaknya yang mudah berpindah, sehingga perlukaan jarang
disebabkan oleh trauma tumpul tapi sering disebabkan oleh luka
tembus langsung.
i. Pankreas dan duodenum, walaupun trauma pada pankreas dan
duodenum jarang terjadi. Tetapi trauma pada abdomen yang
menyebabkan tingkat kematian yang tinggi disebkan oleh perlukaan di
pankreas dan duodenum, hal ini disebabkan karena letaknya yang sulit
terdeteksi apabila terjadi kerusakan.
2. Trauma Sistem Perkemihan
a. Trauma Renal (Ginjal)
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal.
Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah
kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin
meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun
tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya
menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma
tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan
pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum.
Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau
robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya
terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa
ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia
Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah
kecil hematom, tidak sempurna dalam perkembangannnya. Kantong
fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu pada
dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk
sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati
garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal. Karena miskinnya
fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi
maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti
avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis
sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah.
Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga
retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini
sering terjadi pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan
kondisi stabil sementara terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks
ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat. Trauma yang
menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada
kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang
tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena renalis kiri terletak
ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan
trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara
pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial
ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas,
duodenum dan ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti
hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya
oleh adanya trauma ringan.

b. Trauma Vessica Urinaria (Kandung Kemih)


Trauma vessica urinaria terbanyak karena kecelakaan lalu
lintas/kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis
mencederai buli-buli. Trauma vessica urinaria tumpul dapat
menyebabkan rupture buli-buli terutama bila kandung kemih penuh
atau terdapat kelainan patelegik sepetrti tuberculosis, tumor atau
obstruksi sehingga menyebabkan rupture. Trauma vesika urinaria
tajam akibat luka trusuk atau luka tembak lebih jarang ditemukan.
Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun transperineal dan
penyebablain adalah instrumentasi urologic. Fraktur tulang panggul
dapat menimbulkan kontusio atau rupture kandung kemih, pada
kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan
hematuria tanpa eksravasasi urin. Ruptur kandung kemih dapat bersifat
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Rupture kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis
pada dinding depan kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini
terjadi ekstravasasi urin dari rongga perivesikal.
Cedera kandung kemih tidak lengkap atau sebagian akan
menyebabkan robekan mukosa kandung kemih. Segmen dari dinding
kandung kemih jernih mengalami memar, mengakibatkan cedera lokal
dan hematoma. Memar atau contusio memberikan manifestasi klinik
hematuria setelah trauma tumpul atau setelah melakukan aktivitas fisik
yang ekstrem contohnya lari jarak jauh).
Ruptur ekstraperitoneal kandung kemih. Ruptur ekstraperitonel
biasanya berhubungan dengan factor panggul (89%-100%).
Sebelumnya, mekanisme cedera diyakini dari perforasi langsung oleh
fragmen tulang panggul. Tingkat cedera kandung kemih secara
langsung berkaitan dengan tingkat keparahan fraktur.
Beberapa kasus mungkin dengan mekanisme yang mirip
dengan pecahnya kandung kemih intraperitoneal, yang merupakan
kombinasi dari trauma dan overdistention kandung kemih. Temuan
cystographic klasik adalah ekstravasasi kontrol sekitar kandung
kemih.dengan cedera yang lebih kompleks, bahan kontras melaluas ke
paha, penis, perineum, atau kedalam dinding anterior abdomen.
Ekstravasasi akan mencapai skrotum ketika fasia superior diagfragma
urogenital sendiri menjadi terganggu.
Kombinasi ruptur intraperitoneal dan ekstraperitoneal.
Mekanisme cedera penerasi memungkinkan cedera menembus
kandung kemih seperti peluru kecepatan tinggi melintasi kandung
kemih atau luka tusuk abdominal bawah. Hal tersebut akan
menyebabkan intraperitoneal, ekstraperitoneal, cedera, atau gabungan
kandung kemih (Muttaqin & Sari, 2011).
c. Trauma Urethra
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang
panggul karena jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dibagi
menjadi 2 yaitu: Rupture Uretra Posterior dan Anterior.
1) Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis.
Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranaseae
karena prostat dan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama
fragmen fraktur. Sedangkan uretra membranaseae terikat di
diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total
atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek, sehingga buli-buli dan
prostat terlepas ke cranial.
2) Rupture uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat
jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit antara
objek yang keras seperti batu, kayu atau palang sepeda dengan
tulang simpisis. Cedera uretra anterior selain oleh cedera
kangkang juga dapat di sebabkan oleh instrumentasi urologic
seperti pemasangan kateter, businasi dan bedah endoskopi.
Akibatnya dapat terjadi kontusio dan laserasi uretra karena
straddle injury yang berat dan menyebabkan robeknya uretra dan
terjadi ekstravasasi urine yang biasa meluas ke skrotum,
sepanjang penis dan ke dinding abdomen yang bila tidak
ditangani dengan baik terjadi infeksi atau sepsis.
d. Trauma Ureter
Pada cedera ureter akibat rudapaksa tajam biasanya ditemukan
hematuria mikrosikopik pada cedera ureter bilateral terdapat
peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah.
Pada umumnya tanda dan gejala klinik tidak perlu sfesifik.
Hematuria menunjukan cedera pada saluran kemih. Bila terjadi
ekstravasasi urine dapat timbul urinom, fistel uretro-kutan melalui luka
atau tanda rangsang peritonium dan menyebabkan peritonitis.
Hematuria terjadi akibat robeknya pembuluh darah disekitar ureter.
Bila cedera ureter disebabkan oleh Rudapaksa tumpul, gejalanya sering
kurang jelas sehingga diagnosa sering tertunda. Pada cedera bilateral
ditemukan anuria.

E. Manifestasi Klinik
1. Trauma Abdomen
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis
menurut Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah
abdomen, distensi abdomen, demam, anorexia, mual dan muntah,
takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:
a. Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
b. Terjadi perdarahan intra abdominal
c. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga
fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan
peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
d. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah
trauma
e. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada
dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat:
a. Terdapat luka robekan pada abdomen
b. Luka tusuk sampai menembus abdomen.
c. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak
perdarahan/memperparah keadaan
d. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam
andomen.

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen,
yaitu:
a. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri
dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat
ditekan dan nyeri lepas.
b. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang
disebabkan oleh iritasi.
c. Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini
ada saat pasien dalam posisi rekumben.
d. Mual dan muntah
Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) yang disebabkan oleh
kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi.
2. Trauma Sistem Perkemihan
a. Trauma Renal (Ginjal)
Tanda dan gejala trauma ginjal antara lain :
1) Nyeri.
2) Hematuria.
3) Mual dan muntah.
4) Distensi abdomen.
5) Syok akinat trauma multisistem.
6) Nyeri pada bagian punggung.
7) Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin
besar.
8) Massa di rongga panggul.
9) Ekimosis.
10) Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul.
b. Trauma Vessica Urinaria (Kandung Kemih)
Trauma kandung kemih terjadi dari fraktur pelvis dan trauma
multipel ataupun dari dorongan abdomen bawah ketika kandung kemih
penuh. Gejala dari trauma kandung kemih adalah kontusio (memar
berwarna pucat yang besar atau ekimosis akibat masuknya darah ke
jaringan), ruptur kandung kemih secara ekstraperitoneal,
intraperitoneal, atau kombinasi keduanya. Pasien dengan ruptur
kandung kemih mungkin akan mengalami perdarahan hebat untuk
beberapa hari setelah perbaikan (Suharyanto, 2009).
Selain itu, tanda gejala trauma kandung kemih yaitu sebagai berikut:
1) Fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat.
2) Abdomen bagian tempat jejas/hemato.
3) Tidak bisa buang air kecil kadang keluar darah dari uretra.
4) Nyeri suprapubik.
5) Ketegangan otot dinding perut bawah.
6) Trauma tulang panggul.
c. Trauma Urethra
1) Ruptur Uretra Posterior
a) Terdapat tanda patah tulang pelvis.
b) Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai
jejas, hematom dan nyeri tekan.
c) Bila disertai ruptur kandung kemih bisa ditemukan tanda
rangsangan peritoneum.
2) Ruptur Uretra Anterior
Terdapat daerah memar atu hematom pada penis dan scrotum
(kemungkinan ekstravasasi urine).
3) Ruptur Uretra Total
a) Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi
ruda paksa.
b) Nyeri perut bagian bawah dan daerah supra pubic.
c) Pada perabaan mungkin dijumpai kandung kemih yang penuh.
d. Trauma Ureter
Pada umumnya tanda dan gejala trauma ureter tidak spesifik,
hematuria menunjukan adanya ceera pada saluran kemih, terjadi anuria
bila cedera ureter bilateral. Pada rudapaksa tumpul gejala sering
kurang jelas sehingga menunda diagnose.

E. Penatalaksanaan
1. Trauma Abdomen
Menurut Smeltzer, (2002) penatalaksanaan adalah :
a. Abdominal paracentesis menentukan adanya perdarahan
dalam rongga peritonium, merupakan indikasi untuk
laparotomy
b. Pemasangan NGT memeriksa cairan yang keluar dari
lambung pada trauma abdomen
c. Pemberian antibiotik mencegah infeksi
d. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus
atau pada trauma tumpul bila ada persangkaan perlukaan
intestinal.
e. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya
perdarahan hebat yang meragukan kestabilan sirkulasi atau
ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan
pembedahan
f. Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang
berlangsung. Gumpalan kassa dapat menghentikan
perdarahan yang berasal dari daerah tertentu, tetapi yang
lebih penting adalah menemukan sumber perdarahan itu
sendiri
g. Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan
mengisolasikan bagian usus yang terperforasi tadi dengan
mengklem segera mungkin setelah perdarahan teratasi.
2. Trauma Sistem Perkemihan
Menurut Brandes 2003 (dalam Krisanty 2016) penatalaksanaan
trauma sistem perkemihan terdiri dari :
a. Konservatif
Tindakan konsevatif ditujukan pada trauma minor. Pada
keadaan ini dilakukan observasi tanda-tanda vital (Tensi,
nadi, suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa
di pinggang, adanya pembesaran lingkar perut, penurunan
kadar hemoglobin dan perubahan warna kulit pada
pemeriksaan urin. Trauma ginjal minor 85% dengan
hematuria akan berhenti dan sembuh secara spontan. Bed
rest dilakuakan sampai hematuria berhenti.
b. Eksplorasi
1) Indikasi absolut
Indikasi absolut adalah adanya perdarahan ginjal
persisten yang ditandai oleh adanya hematoma
retroperitoneal yang meluas dan berdenyut. Tanda
lain adalah adanya avulsi vasa renalis utama pada
pemeriksaan CT scan atau arteriografik.
2) Indikasi relative
a) Jaringan non viable
Parenkim ginjal yang nekrosis lebih dari
25% adalah indikasi relative untuk
dilakukan eksplorasi.
b) Ekstravasasi urin
Ekstravasasi urin menandakan adnaya
cedera ginjal mayor. Bila ekstravasasi
menetap maka membutuhkan intervensi
bedah.
c. Inclomplete staging
Penatalaksanaan non operatif dimungkinkan apabila telah
dilakukan pemeriksaan imaging untuk menilai derajat
trauma ginjal. Adanya incomplete staging memerlukan
pemeriksaan imaging dahulu atau eksplorasi atau
rekonstruksi ginjal. Pada pasien dengan kondisi tidak stabil
yang memerlukan tindakan laparotomy segera, pemeriksaan
imaging yang bisa dilakuakan hanyalah one shot IVU
dimeja operasi. Bila hasil IVU abnormal atau tidak jelas
atau adanya perdarahan persisten pada ginjal arus diakukan
eksplorasi ginjal.
d. Trombosis arteri
Trombosis arteri renalis bilateral complete atau adanya
ginjal soliter dibutuhkan eksplorasi segera dan
revaskularisasi.
e. Trauma tembus
Pada trauma tembus indikasi absolut dilakukan eksplorasi
adalah perdarahan arteri persisten. Hampir semua trauma
tembus renal dilakukan tindakan bedah. Perkecualian
trauma ginjal tanpa adanya penetrasi peluru intraperitonium
luka tusuk sebelah posterior linea aksilaris posterior relative
untuk melibatkan cedera organ lain.

F. Pengkajian
Menurut krisanty, (2009) :
a. Pengkajian primer
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di
lokasi kejadian. Petugas medis mungkin harus melihat . apabila
ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus
segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada
indikasi, jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan
jalan nafas
1. Airway, dengan control tulang belakang, membuka jalan nafas
menggnakan teknik ‘head tilt chin lift’ atau menegadahkan kepala
dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas . muntahan, makanan,
darah atau benda asing lainnya.
2. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan
dengan menggunaka cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10
detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya
lakukan pemeriksaan status respirasi korban ( kecepatan,ritme, dan
adekuat tidaknya pernafasan).
3. Circulation, dengan control perdarahan hebat, jika pernapasan
korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, makabantuan nafas
dappat dilakukan. Jika tdak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan
resisutasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan
nafas dalam RJP adalah 15:2 (15kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan nafas).
4. Disability, Kesadaran : Compomentis.
b. Pengkajian sekunder
1. Pengkajian fisik
i. Inspeksi
- Harus teliti, meteorismus, darm contour, darm steifung,
adanya tumor, dilatasi vena, benjolan ditempat terjadi
hernia dll.
- Sikap penderita pada peritonitis : fleksi artic, coxae dan
genue sehingga melemaskan dinding perut dan rasa sakit.
ii. Palpasi
- Diperhatikan adanya distensi perut, defans muskuler, sakit
tekan titik McBurney, iliopsoas sign, obturator sign,
rovsing sign, reboud tenderness.
- Rectal toucher : untuk menduga kausa ileus mekanik,
invaginasi, tumor, appendikuler, infiltrate.
- Pemeriksaan vaginal
iii. Perkusi
- Penting untuk menilai adanya massa atau cairan intra
abdominal.
iv. Auskultasi
- Harus sabar dan teliti
- Borboryghmi, metallic sound pada ileus mekanik
- Silent abdomen pada peritonitis/ ileus paralitik.
c. Pengkajian Primer dan Sekunder Trauma Abdomen
No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
IDENTITAS

Nama : Jenis Kelamin : L/P Umur :


Agama : Status Perkawinan : Pendidikan :
Pekerjaan : Sumber informasi : Alamat :

TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :

Mekanisme Cedera :

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) :  Baik  Tidak Baik, ... ... ...
Diagnosa Keperawatan:
AIRWAY Inefektif airway b/d … … …
Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten Kriteria Hasil : … … …
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing  N/A
Intervensi :
Suara Nafas : Snoring Gurgling 1. Stridor
Manajemen N/A
airway;headtilt-chin lift/jaw
thrust
Keluhan Lain: ... ...
2. Pengambilan benda asing dengan
forcep
PRIMER SURVEY

3. … …
4. … …

Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif pola nafas b/d … … …
BREATHING 2. Kerusakan pertukaran gas b/d … …

Gerakan dada :  Simetris  Asimetris Kriteria Hasil : … … …


Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Intervensi :
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur 1. Pemberian terapi oksigen … …
ltr/mnt, via… …
Retraksi otot dada :  Ada  N/A
2. Bantuan dengan Bag Valve Mask
Sesak Nafas :  Ada  N/A  RR : ... ... x/mnt 3. Persiapan ventilator mekanik
4. … …
Keluhan Lain: … …
5. … …

Diagnosa Keperawatan:
1. Penurunan curah jantung b/d … … …
CIRCULATION 2. Inefektif perfusi jaringan b/d … … …

Nadi :  Teraba  Tidak teraba Kriteria Hasil : … … …


Sianosis :  Ya  Tidak
Intervensi :
CRT :  < 2 detik  > 2 detik 1. Lakukan CPR dan Defibrilasi
2. Kontrol perdarahan
Pendarahan :  Ya  Tidak ada
3. … …
Keluhan Lain: ... ... 4. … …
DISABILITY Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif perfusi serebral b/d … … …
2. Intoleransi aktivias b/d … … …
3. … … …

Respon : Alert  Verbal  Pain  Unrespon Kriteria Hasil : … … …


PRIMER SURVEY

Kesadaran :  CM  Delirium  Somnolen  ... ...


Intervensi :
... 1. Berikan posisi head up 30 derajat
2. Periksa kesadaran dann GCS tiap 5
GCS :  Eye ...  Verbal ...  Motorik ...
menit
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint  Medriasis 3. … … …
4. … … …
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada
5. … … …
Keluhan Lain : … …

Diagnosa Keperawatan:
1. Kerusakan integritas jaringan b/d …
……
EXPOSURE 2. Kerusakan mobilitas fisik b/d … … …
3. … … …

Deformitas :  Ya  Tidak Kriteria Hasil : … … …


Contusio :  Ya  Tidak
Abrasi :  Ya  Tidak Intervensi :
Penetrasi : Ya  Tidak 1. Perawatan luka
Laserasi : Ya  Tidak 2. Heacting
Edema : Ya  Tidak 3. … … …
Keluhan Lain: 4. … … …
……

Diagnosa Keperawatan:
1. Regimen terapiutik inefektif b/d … …
SECONDARY SURVEY


ANAMNESA 2. Nyeri Akut b/d … … …
3. … … …

Riwayat Penyakit Saat Ini : … … … Kriteria Hasil : … … …

Intervensi :
1. … … …
2. … … …
Alergi :

Medikasi :

Riwayat Penyakit Sebelumnya:


Makan Minum Terakhir:

Even/Peristiwa Penyebab:

Tanda Vital :
BP : N: S: RR :
PEMERIKSAAN FISIK Diagnosa Keperawatan:
1. … … …
2. … … …

Kepala dan Leher: Kriteria Hasil : … … …


Inspeksi ... ...
Intervensi :
Palpasi ... ... 3. … … …
4. … … …
Dada:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Perkusi ... ...
SECONDARY SURVEY

Auskultasi ... ...


Abdomen:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Perkusi ... ...
Auskultasi ... ...
Pelvis:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Ektremitas Atas/Bawah:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Punggung :
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Neurologis :

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Diagnosa Keperawatan:


1. … … …
2. … … …
 RONTGEN  CT-SCAN  USG  EKG Kriteria Hasil : … … …
 ENDOSKOPI  Lain-lain, ... ...
Intervensi :
Hasil : 1. … … …
2. … … …

Tanggal Pengkajian : TANDA TANGAN PENGKAJI:


Jam :
Keterangan : NAMA TERANG :

Pemeriksaan head to toe trauma abdomen

Selama survei sekunder, perut diperiksa secara sistematis dengan lebih


rinci. Setiap cedera yang terdeteksi harus didokumentasikan secara akurat dan
perawatan apa pun yang diperlukan harus terjadi, seperti menutupi luka,
mengelola perdarahan yang tidak mengancam jiwa, dan belat fraktur.

Perut
Inspeksi:
 Cari tanda-tanda cedera yang jelas, khususnya lecet dan / atau ekimosis.
 Memar sabuk pengaman menunjukkan kekuatan besar telah diterapkan
pada perut dan dikaitkan dengan pecahnya viskos berongga dan
peningkatan insiden cedera intra-abdominal lainnya. Tanda-tanda cedera
rongga viskus sering tertunda, pemeriksaan abdominal serial mungkin
diperlukan.
 Setiap luka tembus yang jelas seharusnya telah diidentifikasi dalam survei
utama, namun pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan untuk secara
meyakinkan mengecualikan ini sebagai masalah.
 Perhatikan kontur perut, apakah rata atau buncit? Distensi perut
kemungkinan disebabkan oleh udara atau darah, dengan perut menahan
hingga 1,5 liter cairan sebelum menunjukkan tanda-tanda distensi.
 Memar dan bengkak ke panggul dapat meningkatkan kecurigaan untuk
cedera retroperitoneal sementara tanda Cullen (ekumbosis periumbilikal)
dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal; namun ini biasanya
membutuhkan waktu berjam-jam untuk berkembang.
Palpasi:
 Palpasi abdomen yang terluka harus dimulai di daerah di mana pasien
tidak mengeluh sakit.
 Catat jika ada yang menjaga perut, baik secara sukarela dan tidak sadar,
serta adanya kelembutan rebound.
 Kepenuhan perut dapat mengindikasikan perdarahan, krepitasi tulang
rusuk bawah mungkin berhubungan dengan cedera hati atau lien yang
mendasarinya.
 Kelembutan perut yang signifikan pada palpasi dan penjagaan tidak
disengaja adalah tanda-tanda peritonitis dan menunjukkan kebocoran isi
usus tetapi mungkin membutuhkan beberapa jam untuk berkembang.
Ketuk:
Gerakan sedikit peritoneum terjadi pada perkusi dan mungkin menunjukkan
tanda-tanda iritasi peritoneum.
Auskultasi:
 Dapat digunakan untuk mencatat ada atau tidak adanya suara usus. Sebuah
ileus (penghentian peristaltik) menyebabkan perut tenang karena
perdarahan atau tumpahan isi usus. Temuan ini lebih signifikan ketika ada
perubahan dari penilaian awal.
Kepala dan wajah
 Periksa wajah dan kulit kepala. Carilah laserasi dan memar.
 Lakukan palpasi dengan lembut untuk melihat adanya depresi atau
penyimpangan di tengkorak dan rahang.
 Tes refleks pupil.
Leher
 Jika kerah serviks adalah insitu itu harus dibuka, kepala didukung dengan
stabilisasi in-line manual dan leher diperiksa. Jika tidak ada kerah,
pertimbangkan mekanisme cedera dan apakah kemungkinan cedera
serviks.
 Palpasi vertebra serviks dengan lembut. Catat adanya nyeri tulang
belakang leher, kelembutan, atau kelainan bentuk.
 Periksa jaringan lunak apakah ada memar, laserasi, emfisema, nyeri, dan
nyeri tekan.
Perhatikan juga yang berikut ini
 Vena: cari distensi - distensi vena leher dapat terlihat pada tension
pneumothorax atau tamponade perikardial.
 Kerongkongan: minta pasien menelan - kemungkinan cedera esofagus jika
pasien mengalami nyeri atau kesulitan menelan.
Aplikasikan kembali kerah serviks dengan hati-hati setelah memeriksa
leher - tulang belakang leher umumnya akan dibersihkan setelah
dipindahkan ke layanan trauma utama dan penilaian spesialis.

Dada
Dada harus dipalpasi untuk segala kelembutan dan kelainan bentuk.
Auskultasi bidang paru-paru; catat kelainan perkusi, kurang bunyi nafas, mengi
atau krepitasi.
Jika bising usus terdengar di atas toraks selama auskultasi, mungkin ada ruptur
diafragma
Periksa bunyi jantung: denyut apeks dan keberadaan serta kualitas bunyi jantung.
Anggota badan
 Periksa semua tungkai dan persendian, raba apakah ada nyeri tulang dan
jaringan lunak.
Catat adanya kerusakan memar, laserasi, otot, dan saraf atau tendon. Cari
cacat apa pun, luka tembus atau fraktur terbuka.
 Nilai warna bagian distal, kehangatan, gerakan, sensasi dan pengisian
kapiler. Log roll pasien.
 Pertahankan stabilisasi in-line secara menyeluruh.
 Periksa seluruh panjang punggung dengan memperhatikan adanya
kelainan bentuk, memar, dan laserasi. Palpasi tulang belakang untuk setiap
kelembutan atau langkah diantara vertebra. Sertakan pemeriksaan serviks
pada tahap ini.
Bokong dan perineum
 Cari cedera jaringan lunak seperti memar atau laserasi. Cidera penetrasi ke
area ini memiliki korelasi cedera intra-abdominal yang tinggi.
 Pemeriksaan colok dubur dapat dilakukan jika ada cedera yang diduga
untuk mencari darah kotor yang menunjukkan perforasi usus dan untuk
menilai tonus dan posisi prostat.
Alat kelamin
Cedera jaringan lunak seperti memar atau laserasi harus diperhatikan.
Periksa adanya darah di meatus yang mungkin mengindikasikan cedera uretra.
Laserasi pada vagina dapat terjadi karena fragmen tulang akibat cedera panggul.

d. Pengkajian Primer dan Sekunder Trauma System Perkemihan

1) Pengkajian primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah
actual/potensial dari kondisi life threatening
a. Airway: (bebasnya jalan nafas) dengan control servical
Kaji :
1) Bersihkan jalan nafas
2) Ada tidaknya sumbatan jalan nafas
3) Distress pernafasan
4) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan,
edema laring, Sumbatan jalan nafas total
5) Pasien sadar: memegang leher, gelisah, sianosis

Pasien tidak sadar: tidak terdengar suara nafas dan sianosis , Sumbatan jalan nafas
sebagian
a. Korban mungkin masih mampu bernafas namun kualitas
pernafasannya bisa baik atau buruk
b. Pada korban engan pernafasan yang masih baik, anjurkan untuk
batuk dengan kuat sampai benda keluar
c. Bila sumbatan partial menetap, aktifkan system emergency
d. Obstruksi partial dengan pernafasan buruk diperlakukan seperti
sumbatan jalan nafas komplit
e. Sumbatan dapat disebabkan oleh berbagai hal penyebab psien
bernafas dengan berbagai suara:
1) Cairan akan menimbulkan gurgling
2) Lidah jatuh ke belakang akan menimbulkan suara ngorok
3) Penyempitan jalan nafas akan menimbalkan suara crowing
1. Breathing: adekuat pernafasan
a. Frekuensi nafas
b. Suara pernafasan
c. Adanya udara keluar dari jalan nafas
d. Cara pengkajian
1) Look: Apakah kesadaran menurun, gelisah, adanya jejas
diatas klavikula, adanya penggunaan otot tambahan
2) Listen: Dengan atau tanpa stetoskop apakah ada suara
tambahan
3) Feel
2. Circulation: (adekuat jantung dan sirkulasi tubuh) dengan control
perdarahan
a. Ada tidaknya denyut nadi karotis
b. Ada tidaknya tanda-tanda syok
c. Ada tidaknya perdarahan eksternal
3. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika
pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-
line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai
dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien,
kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

2) Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah airway, breathing, dan
circulation yang ditemukan pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian
sekunder meliputi pengkajian objektif dan subjektif dari riwayat
keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu,
riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian dari kepala sampai
kaki.
1. Get Vital Sign/ Tanda-tanda vital secara kontinu
Kaji :
a. Tekanan darah
b. Irama dan kekuatan nadi
c. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
d. Saturasi oksigen
e. Riwayat Penyakit
2. Keluhan utama dan alasan klien ke rumah sakit
a. Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah sakit
b. Tipe cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera
c. Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri pada
organ tubuh yang mana, gunakan: provoked (P), quality (Q), radian
(R), severity (S) dan time (T)
3. Riwayat penyakit lain yang pernah dialami/operasi
pembedahan/kehamilan
4. Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang,
imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.
5. Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan klien.
6. Pengkajian Head to toe
a. Pengkajian kepala, leher dan wajah
1) Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang
wajah dan jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing.
2) Periksa mata, telinga, hidung, mulut. Adakah tanda-tanda
perdarahan, benda asing, deformitas, laserasi, perlukaan serta
adanya keluaran.
3) Amati bagian kepala, adakah depresi tulang kepala, tulang
wajah, kontusio/jejas, hematom, serta krepitasi tulang.
4) Kaji adanya kaku leher
5) Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trachea,
distensi vena leher, perdarahan, edema, kesulitan menelan,
emfisema subcutan dan krepitas pada tulang.
b. Pengkajian dada
1) Pernafasan: irama, kedalaman dan karakter pernafasan
2) Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
3) Palpasi krepitas tulang dan emfisema subcutan
4) Amati penggunaan otot bantu nafas
5) Perhatikan tanda-tanda injuri atau cedera : petekiae,
perdarahan, sianosis, abrasi dan laserasi.
c. Abdomen dan pelvis
Hal-hal yang dikaji pada abdomen dan pelvis:
1) Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
2) Tanda-tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi,
abrasi, distensi abdomen, jejas.
3) Masa: besarnya, lokasi dan mobilitas
4) Nadi femoralis
5) Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRST)
6) Bising usus
7) Distensi abdomen
d. Genitalia dan rectal: perdarahan, cedera, cedera pada meatus,
ekimosis, tonus spinkter ani
e. Ekstremitas
Pengkajian di ekstremitas meliputi :
1) Tanda-tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
6) Denyut nadi perifer
f. Tulang belakang
Pengkajian tulang belakang meliputi: Jika tidak didapatkan adanya
cedera/fraktur tulang belakang, maka pasien dimiringkan untuk
mengamati :
1) Deformitas tulang belakang
2) Tanda-tanda perdarahan
3) Laserasi
4) Jejas
5) Luka
6) Palpasi deformitas tulang belakang
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan meliputi :
a. Radiologi dan scanning
b. Pemeriksaan laboratorium: Analisa gas darah, darah tepi, elektrolit,
urine analisa dan lain-lain.

d. Pengkajian pada trauma abdomen


1. Trauma tembus abdomen
a. Dapatkan riwayat mekanisme cidera : kekuatan tusukan/
tembakan, kekuatan tumpul (pukulan)
b. Inspeki abdomen untuk tanda inspeksi sebelumnya : cedera
tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
c. A u s k u l t a s i a d a / t i d a k n ya b i s i n g u s u s d a n c a t a t
data dasar sehingga perubahan dapat
dideteksi. Adanya bising usu s adalah tanda awal
keterlibatan intraperitoneal jika ada tanda
i r i t a s i peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi
pembedahan kedalam rongga abdomen gerakan melindungi
pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan
melindungi, nyeri tekan, kekakuan ototatau nyeri lepas,
penurunan bising usus, hipotensi dan syok.e.
d. Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera
intra1abdomen, observasi cedera yang berkaitan, c a t a t
semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
2. Trauma tumpul abdomen
a. Metode cedera
b. Waktu awitan gejala
c. Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering
menderita rupture limpa atau hati), sabuk keselamatan
dipakai/tidak, tipe restain yang digunakan.
d. Waktu makan atau minum terakhir
e. Kecenderungan perdarahan
f. Penyakit dan medikasi terbaru
g. Riwayat imunisasi dengan perhatian pada tetanus
h. Alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubh pasien
untuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.
e. Pengkajian sistem perkemihan
Pengkajian system perkemihan meliputi :
Frekuensi buang berkemih (miksi):
1. Poliuri (sering miksi)
2. Oliguri (jumlah urine yang keluar kurang dari normal, minimal
urine keluar kurang lebih 400 cc)
3. Stranguri (miksi sering tetapi sedikit-sedikit, lambat dan sakit).
4. Urgensi (pasien berkeinginan untuk miksi, tetapi tidak terkontrol
untuk keluar).
5. Nokturi (pasien terbangun tengah malam untuk miksi).
6. Pasien mengalami keraguan/kesukaran saat memulai untuk
miksi. Intermiten (pasien mengalami tempo berhenti arcs
urinenya selama miksi).
7. Urine keluar secara menetes atau tidak memancar).
8. lnkontinen urine (urine keluar dengan sendirinya tanpa
disadari).
Kelainan miksi:
1. Disuri (adanya rasa sakit sewaktu miksi)
2. Adanya rasa papas sewaktu miksi
3. Hematuri (adanya darah yang keluar bercampur dengan urine).
4. Piuri (adanya nanah dalam urine, keadaan ini diketahui
melalui pemeriksaan mikroskopis, disebabkan tidak semua
urine menjadi keruh karena mengandung nanah.
5. Lituri (urine keluar bersama bate kecil sewaktu miksi)
Dasar pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan
singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.
Pengkajian data dasar menurut Brunner & Suddart (2001), adalah :
1. Aktifitas/istirahat
- Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
- Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim
Bangan cedera (trauma)
2. Sirkulasi
- Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), polanapas
(hipoventilasi, hiperventilasi, dll).
3. Integritas ego
- Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang
atau dramatis)
- Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
- Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau
mengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
- Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan
selera makan.
- Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
- Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
- Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,
perubahan status mental,Kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
- Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan
lokasi yang berbeda, biasanya lama.
- Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8. Pernafasan
- Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
- Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
- Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif. Gangguan
rentang gerak.
Selain hal-hal di atas, dalam pengkajian pasien harus termasuk :
1) Identitas pasien;
2) Riwayat kesehatan umum meliputi berbagai gangguan/penyakit yang lalu,
yang berhubungan atau yang dapat mempengaruhi penyakit
perkemihan, riwayat kesehatan keluarga, dan riwayat kesehatan
pasien;
3) Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/gangguan yang
berhubungan dengan gangguan/penyakit yang dirasakan saat ini.
G. Pathway
Trauma Abdomen

Trauma paksa (jatuh, benda tumpul, kompresi, dll) Trauma paksa (jatuh, benda tumpul, kompresi, dll)

Gaya predisposisi trauma > elastisitas & viskositas

Ketahanan jaringan tidak mampu mengkompensasi

Trauma Abdomen

Trauma tajam Trauma tumpul

Kompresi organ abdomen


Kerusakan jaringan Kerusakan organ Kerusakan
kulit abdomen jaringan
Peningkatan TIA
Luka terbuka Perforasi lapisan Perdarahan
abdomen (kontusio,
Distensi abdomen
laserasi, jejas, hematoma)
Resiko Kekurangan
Volume Cairan Mual/muntah

Resiko Infeksi Nyeri Akut Kerusakan Resiko Ketidakseimbangan


Integritas Kulit Elektrolit

Syok Hipovolemik
Trauma Sistem Perkemihan

Trauma sistem perkemihan

Ruptur ginjal Trauma ureter Trauma uretra Trauma blader

Trauma luka tusuk Terjatuh Trauma


tumpul/abdominal tumpul/[enetrasi
blader
Cidera pembedahan Kontusio & laserasi
Cidera ringan
hematuria Cidera blader

Hematuria Air kencing


Gangguan Rasa Gangguan mrembes Kerusakan blader
Nyaman Nyeri Imobilisasi

Nyeri Hematuria

Hematuria Gangguan Rasa


Nyaman Nyeri
H. Diagnosa Keperawatan Trauma Abdomen
1. Kerusakan integritas kulit b.d cedera tusuk
2. Resiko infeksi b.d kerusakan pada integritas kulit
3. Nyeri akut b.d trauma/diskontinuitas jaringan
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan aktiv
5. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan hipovolemi
6. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan
defisiensi volume cairan

Diagnosa Keperawatan Trauma Sistem Perkemihan


1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d cidera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri/ketidaknyamanan, terapi
pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan
I. Intervensi Trauma Abdomen

No Dx Keperawatan NOC NIC

1 Kerusakan integritas kulit Tissue integrity : skin and Pressure management


berhubungan dengan mucos
cedera tusuk 1. Anjurkan pasien mengguanakan pakaian longgar
Wound healing :primary and
secondary intention 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

Kriteria Hasil : 3. Monitor kulit akan adanya kemerahan

1. Perfusi jaringan 4. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien


normal 5. Monitor status nutrisi pasien
2. Tidak ada tanda-tanda Insision Site Care
infeksi
1. Membersihkan, memantau, dan meningkatkan proses
3. Ketebalan dan tekstur penyembuhan pada luka yang ditutup dengan jahitan klip atau
jaringan normal straples
4. Menunjukan 2. Monitor kesembuhan area insisi
pemahaman dalam
proses perbaikan kulit 3. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi
dan mencwgah
4. Bersihkan area sekitar jahitan atau straples menggunakan lidi kapas
terjadinya cedera
steril
berulang 5. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka
tetap terbuka sesuai program
5. Menunjukan proses
penyembuhan luka

2 Resiko infeksi Imune status Infection Control


berhubungan dengan
kerusakan pada integritas Knowledge : infection control 1. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
kulit Risk control 2. Ganti letak IV peeifer dan line central dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum
Kriteria Hasil :
3. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
1. Klien bebas dari tanda kemih
gejala infeksi
4. Tingkatkan intake nutrisi
2. Mendeskripsikan
proses penularan 5. Berikan terapi antibiotik bila perlu
penyakit, faktor yang
mempengaruhi 6. Batasi pengunjung bila perlu
penularan 7. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
sertapenatalaksanaann berkunjung dan saat meninggalkan pasien
ya
Infection protection
3. Menunjukan
kemampuan untuk
mencegah timbulnya 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
infeksi
2. Monitor hitung granulosit dan WBC
4. Jumlah leukosit dalam
batas normal 3. Monitor kerentanan terhadap infeksi

5. Menunjukan perilaku 4. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko


hidup sehat 5. Berikan perawatan kulit pada epidema

6. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap tanda dan gejala


infeksi

7. Dorong masukan nutrisi

8. Dorong masukan cairan

9. Dorong istirahat

10. Ajarkan kepada pasien tanda dan gejala infeksi

11. Batasi pengunjung bila perlu

3 Nyeri akut berhubungan Pain level Pain Managemen


dengan
trauma/diskontinuitas Pain control 1. Kaji nyeri
jaringan Comfort level 2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
Kriteria Hasil : 3. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

1. Mampu mengontrol 4. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau


nyeri (tahu penyebab
nyeri, mampu 5. Ajarkan teknik non farmakologi
menggunakan teknik 6. Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, Analgesic Administration
mencari bantuan)
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
2. Melaporkan bahwa
2. Cek intruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
nyeri berkurang
dengam menggunakan 3. Cek riwayat alergi
managemen nyeri
4. Tentukan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
3. Mampu mengenali
nyeri (skala, intensitas, 5. Tentukan rute pemberian IV, IM untuk pengobatan nyeri secara
frekuensi, dan tanda teratur
nyeri)
6. Monitor ttv sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertamakali
4. Menyatakan rasa aman
7. Berikan analgesik tepat waktu
nyaman setelah nyeri
berkurang 8. Evaluasi efektivitas analgesik
4 Resiko kekurangan Fluid balance Fluid management
volume cairan
berhubungan dengan Hydration 1. Monitor TTV
kehilangan cairan aktiv Nutritional status : food and 2. Monitor intake dan output
fluid
3. Monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa, nadi
Intake adekuat, tekanan darah ortostastik) jika diperlukan

Kriteria Hasil : 4. Monitor status nutrisi

1. Mempertahankan 5. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat


urine output sesuai
dengan usia dan BB, 6. Dorong masukan oral
berat urine normal, HT 7. Kolaborasi pemberian cairan IV
normal
8. Atur kemungkinan transfusi
2. TTV normal
9. Persiapan transfusi
3. Tidak ada tanda
dehidrasi Hypovolemia management

4. Elastisitas turgor kulit 1. Monitor TTV


baik, membran
2. Monitor status cairan intake dan output
mukosa lembab, tidak
ada rasa haus yang 3. Pelihara IV line
berlebihan
4. Monitor tingkat Hb dan Ht

5. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan

6. Monitor BB

7. Dorong masukan oral

8. Kolaborasi pemberian cairan IV, dan monitor tanda gejala


kelebihan volume cairan

9. Monitor adanya tanda gejala gagal ginjal

5 Resiko syok hipovolemik Syok prevention Syok prevention


berhubungan dengan
hipovolemi Syok management 1. Monitor TTV

Kriteria Hasil : 2. Monitor status sirkulasi, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung,
HR, dan ritme nadi perifer dan kapiler revil
1. TTV dalam batas
normal 3. Monitor inadekuat oksigenasi jaringan

2. Natrium serum dalam 4. Pantau HB, HT, AGD dan elektrolit


batas normal
5. Monitor tanda gejala asites
3. Kalium serum dalam
6. Monitor tanda awal syok
batas normal 7. Tempatkan pasien pada posisi supinasi, kaki elevasi untuk
peningkatan preload dengan tepat
4. Klorida serum dalam
batas normal 8. Monitor kepatenan jalan nafas

5. Kalsium serum dalam 9. Kolaborasi pemberian cairan IV dan oral yang tepat
batas normal
10. 10.Ajarkan pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala datangnya
6. Magnesium serum syok
dalam batas normal
11. Ajarkan pasien dan keluarga tentang langkah mengatasi gejala syok
7. PH darah serum dalam
batas normal Syok management

Hidrasi : (indikator) 1. Monitor TTV

1. Mata cekung tidak 2. Monitor fungsi neurologis


ditemukan 3. Monitor fungsi renal
2. Demam tidak 4. Monitor input dan output cairan
ditemukan
5. Monitor EKG
3. Tekanan Darah normal
6. Monitor faktor penentu pengiriman jaringan oksigen (PaO2, HB,
4. Hematokrit dalam SaO2, CO) jika tersedia
batas normal
7. Monitor gejala gagal nafas
8. Masukan dan memelihara kobosanan akses IV

6 Resiko Fluid balance Fluid managemen


ketidakseimbangan
elektrolit berhubungan Hydration 1. Monitor TTV
dengan defisiensi volume Nutritional status : food and 2. Monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa, nadi adekuat,
cairan fluid tekanan darah ortostatik) jika diperlukan

Intake 3. Monitor input dan output cairan dan hitung intake kalori harian

Kriteria Hasil : 4. Monitor status nutrisi

1. Mempertahankan 5. Dorong masukan oral


urine output sesuai
dengan usia dan BB, 6. Berikan penggantian nasogastrik sesuai output
berat jumlah urine 7. Kolaborasi pemberian cairan IV
normal, Ht normal
8. Atur kemungkinan transfusi
2. TTV normal
9. 9.Persiapan transfusi
3. Elastisitas turgor kulit
baik, membran Hypovolemia Management
mukosa lembab, tidak
1. Monitor TTV
ada rasa haus berlebih
2. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan

3. Pelihara IV line

4. Monitor tingkat Hb dan Ht

5. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan

6. Monitor BB

7. Dorong masukan oral

8. Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan


volume cairan

9. Monitor adanya gagal ginjal


Intervensi Trauma Sistem Perkemihan

No Diagnosa keperawatan NOC NIC

1. Gangguan rasa nyaman Ansiety Fear Leavel Sleep Anxiety Reduction ( penurunan kecemasan)
nyeri berhubungan dengan Deprivation Comfort,
cidera fisik Redines for Enchanced 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapanterhadap pelaku pasien
Kriteria Hasil :
3. Temani pasien untuk memberikan keamnan dan mengurangi
1. Mampu mengontrol
takut.
kecemasan
4. Dorongpasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
2. Status lingkungan
persepsi
yang nyaman
5. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
3. Mengontrol nyeri
6. Berikan obat untuk mengurangi kecemsan
4. Kualitas tidur dan
istirahat adekuat
5. Respon terhadap
pengobatan
6. Control gejala
Status kenyamanan
meningkat
7. Dapat mengontrol
ketakutan
8. Support social
9. Keinginan untuk
hidup
Excercise Therapy : ambulation
2.
Hambatan mobilitas fisik 1. Monitor ttv sebelum dan sesudah latihan dan lihat respon pasien saat
Joint movement : active
b.d nyeri/ketidaknyamanan, latihan
Mobility level
terapi pembatasan aktivitas, 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulansisesuai
Self care : ADLs
dan penurunan kebutuhan
Transfer perfomance
kekuatan/tahanan 3. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulansi
Kriteria Hasil :
4. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
1. Klien meningkat
5. Latih pasien dalam pememuhan kebutuhan adls secara mandiri
dalam aktivitas fisik
sesuai kemampuan
2. Mengerti tujuan dan
6. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu kebutuhan
peningkatan
ADLs
mobilitas
7. Berikan alat bantu jika pasien memrlukan
3. Memverbalisasikan
8. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika
perasaan dalam
meningkatkan diperlukan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
4. Memperagakan
penggunaan alat
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Kasus
Pada tanggal 10 Mei 2020, Tn A berusia 40 tahun datang ke rumah sakit
ditemani oleh istrinya. Tn A mengeluh nyeri di perut bagian kiri dan
merasa sesk nafas. Pada saat pengkajian Tn A mengatakan 1 jam yang lalu
mengalami kecelakaan ketika mengendarai sepeda motornya. Tn A
menabrak gerobak sayur yang menyebrang lalu jatuh dengan posisi perut
kiri membentur aspal, setelah kecelakaan Tn A masih bisa pulang sendiri,
tapi beberapa saat kemudian klien merasa perutnya kembung dan merasa
sesak nafas. Perut Tn A tampak memas. Hasil pemeriksaan didapatkan TD
120/80 mmHg. Nadi 100 x/menit. RR 24 x/menit. Suhu 36,2 °C.

B. Pengkajian
1. Data demografi
Nama : Tn A
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Batang
2. Keluhan utama
Tn A mengeluh nyeri di perut bagian kiri
3. Riwayat penyakit sekarang
Tn A mengalami kecelakaan ketika mengendarai motor. Tn A
menabrak gerobak sayur kemudian terjatuh dengan posisi perut kiri
membentur aspal. Setelah kecelakaan Tn A masih bisa pulang
kerumah. Beberapa saat kemudian, Tn A merasa perutnya
kembung dan merasa sesak. Perut Tn A tampak memar.
4. Riwayat penyakit dahulu
Tn A tidak memiliki riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
Tn A tidak memiliki riwayat penyakit keluarga
6. Pemeriksaan fisik
B1 (Breath) : Klien terlihat sesak nafas, RR 24 x/menit
B2 (Blodd) : TD 120/80 mmHg, Nadi 100 x/menit
B3 (Brain) : Composmentis
B4 (Bladder) : Abdomen klien terlihat memar, nyeri pada
abdomen
B5 (Bowel) : Tidak ada distensi kandung kemih
B6 (Bone) : Ekstremitas dapat digerakan
7. Pengkajian primer
A :-
B : Pasien tampak batuk, susah bernafas dan nafas cepat
C : HB () TD 90/80 Nadi 90x/menit, pucat, keringat dingin,
terdapat memar pada abdomen kiri bawah
D : Composmetis nilai gcs ()
8. Pengkajian Sekunder
Inspeksi : Pasien terlihat pucat, keringat dingin, lemah,
tampak memegangi perut, dan terdapat memar pada abdomen kiri
bawah
Palpasi : Ada nyari tekan abdomen
Perkusi :-
Auskultasi :-
9. Pengkajian Head to toe
a. Pengkajian kepala, leher dan wajah
Tidak terdapat luka dan tidak terdapat nyeri tekan
b. Pengkajian dada
RR 24x/menit , tidak ada nyeri tekan dan tidak terdapat
pengunaan otot bantu pernafasan
c. Abdomen dan pelvis
Terdapat nyeri dan terdapat memar di bagian kiri bawah
P : Pada saat di gerakkan
Q : Tertusuk – tusuk
R : Bagian Abdomen
S :6
T : Hilang Timbul
d. Genitalia dan rectal
Tidak terdapat luka , adanya nyeri , dan tidak ada gangguan
pada fungsi
e. Ekstremitas
Tidak ada gangguan gerak ekstremitas atas dan bawah , dan
terdapat luka lecet di kaki
f. Tulang belakang
Tidak ada luka dan nyeri tekan
10. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan meliputi :
a. Radiologi dan scanning
b. Pemeriksaan laboratorium: Analisa gas darah, darah tepi,
elektrolit, urine analisa dan lain-lain.

C. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 Data subjektif : Perut kiri Pola nafas tidak
- Tn A mengeluh sesak membentur aspal efektif
nafas Trauma tumpul
Data onjektif : Kompresi organ
- Tn A terlihat sesak abdomenr
nafas Perdarahan intra
- RR 24 x/menit abdomen
(bengkak)
Kompresi
diafragma
Ekspansi paru
tidak maksimal
Pola nafas tidak
efektif
2 Data subjektif : Perut kiri Nyeri akut
- Tn A mengeluh nyeri membentur aspal
dibagian kiri Trauma tumpul
Data objektif : Kompresi organ
- Tn A tampak abdomen
kesakitan dan Perdarahan intra
memegangi perutnya abdomen
- Perut Tn A tampak Mendesak organ
memar intra intra
- TD 120/80 mmHg, adomen
Nadi 100 x/menit, RR Menekan
24 x/menit, suhu 36,2 reseptor nyeri di
°C abdomen
Nyeri akut
3 Data subjektif : Perut kiri Kerusakan
- Tn A menambrak membentur aspal integritas kulit
gerobak sayur yang Trauma tumpul
menyebrang lalu Kompresi organ
terjatuh dengan posisi abdomen
perut kiri membentur Kerusakan
aspal jaringan kulit
Data objektif : Kerusakan
- Perut Tn A tampak integritas kulit
memar
- TD 120/80 mmHg,
Nadi 100 x/menit, RR
24 x/menit, suhu 36,2
°C

D. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perdarahan abdomen
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis

E. Intervensi Keperawatan
No Masalah NOC NIC
Keperawatan
1 Pola nafas Setelah dilakukan Airway Management
tidak efektif tindakan keperawatan a. Posisikan klien
berhubungan selama 3x24 jam pola untuk
dengan nafas klien kembali memaksimalkan
perdarahan normal dengan potensi ventilasi
intra indicator : b. Identifikasi klien
abdomen Respiratory Status : yang membutuhkan
a. RR insersi
b. Ritme nafas actual/potensi nafas
c. Auskultasi c. Auskultasi suara
suara nafas nafas
d. Saturasi d. Monitoring status
oksigen respirasi dan
e. Penggunaan oksigenasi
otot bantu nafas e. Masukan oal atau
f. Sianosis nasofaring airway
g. Dispnea jika diperlukan
f. Berikan
bronkodilator yang
sesuai
Oxygen Therapy
a. Bersihkan mulut,
hidung dan sekresi
trakea
b. Pertahakan potensi
jalan nafas
c. Berikan oksigen
tambahan seperti
yang diperintahkan
d. Monitor liter aliran
oksigen
e. Monitor posisi
perangkat
pemberian oksigen
f. Pantau efektifitas
terapi oksigen
2 Nyeri akut Setelah dilakukan Pain Management
berhubungan tindakan keperawatan a. Lakukan pengkajian
dengan agen selama 3x24 jam nyeri nyeri
pencedera akan berkurang/hilang b. Kolaborasi dengan
fisik dengan kriteria hasil: dokter mengenai
Pain control pemberian analgetik
a. Pasien mampu c. Bantu pasien dan
mengontrol keluarga untuk
nyeri mencari dan men
b. Pasien d. Temukan dukungan
melaporkan e. Kontrol lingkungan
nyeri berkurang yang
dengan memperngaruhi
management nyeri
nyeri f. Ajarkan teknik non
c. Pasien mampu farmakologi
mengenali g. Monitoring TTV
nyeri
d. TTV klien
dalam batas
normal

3 Kerusakan Setelah dilakukan Pemberian obat (kulit)


integritas asuhan keperawatan a. Ikuti prinsip 5 benar
kulit 3x24 jam diharapkan pemberian obat
berhubungan gangguan integritas b. Berikan agen topical
dengan kulit dapat teratasi sesuai yang
faktor dengan kriteria hasil : diresepkan
mekanis Integritas jaringan c. Monitor adanya
a. Kulit dan efek samping local
membran dan sistemik dari
mukosa pengobatan
b. Tidak ada lesi d. Ajarkan dan
pada kulit monitor teknik
c. Tidak terjadi pemberian mandiri
penebalan kulit sesuai kebutuhan
d. Tidak ada e. Dokumentasikan
eritema pemberian obat dan
e. Tidak ada respon pasien
pengelupasan Pengecekan kulit
kulit a. Monitor kulit untuk
f. Integritas kulit adanya ruam dan
tidak terganggu lecet
b. Monitor kulit
terhadap adanya
perubahan warna,
memar, dan pecah
c. Lakukan langkah-
langkah untuk
mencegah
kerusakan lebih
lanjut

F. Implementasi Keperawatan
No Hari/Tanggal Masalah Implementasi TTD
Keperawatan
1 Minggu, 10 Pola nafas tidak a. Memantau adanya
Mei 2020 efektif pucat dan sianosis
(09.00 WIB) berhubungan b. Mengkaji ulang
dengan kebutuhan insersi
perdarahan intra jalan nafas
abdomen c. Memantau
kecepatan, irama,
kedalaman dan
usaha respirasi
d. Memperhatikan
pergerakan dada,
dan mengamati
kesimetrisan
penggunaan otot
bantu, serta tetraksi
otot
supraklavikular
dan intervostal
2 Minggu, 10 Nyeri akut a. Mengajarkan
Mei 2020 berhubungan teknik non
(09.25 WIB) dengan agen farmakologi
pencedera fisik (distraksi,
relaksasi, nafas
dalam)
b. Memonitoring
TTV
c. Melakukan
pengkajian nyeri
d. Berkolaborasi
denan dokter
mengenai
pemberian
analgesik
3 Minggu, 10 Kerusakan a. Memberikan obat
Mei 2020 integritas kulit topical yang sudah
(09.50 WIB) berhubungan di resepkan oleh
dengan faktor dokter
mekanik b. Memantau adanya
efek samping local
dan sitemik dari
pengobatan yang
sudah diberikan
c. Mengajarkan dan
menantau teknik
pemberian obat
secara mandiri
sesuai dengan
kebutuhan klien
d. Memantau kulit
jika terdapat ruam
dan lecet
e. Memantau kulit
terhadap adanya
perubahan warna,
memar dan pecah

G. Evaluasi
No Hari/Tanggal Masalah Catatan Perkembangan TTD
Keperawatan
1 Minggu, 10 Pola nafas tidak S : Pasien mengatakan
Mei 2020 efektif sesak sudah mulai
(10.00 WIB) berhubungan menurun
dengan O : TTV mulai
perdarahan intra membaik (TD : 110/70,
abdomen RR : 18 x/menit, Nadi :
86 x/menit, Suhu :
36,5°C). Klien tidak
mengalami sianosis,
klien tidak
menggunakna otot
pernafasan saat
bernafas
A : Masalah teratasi
sebagian
P : Lanjutkan
intervensi
2 Minggu, 10 Nyeri akut S : Klien mengatakan
Mei 2020 berhubungan masih terasa nyeri pada
(10.10 WIB) dengan agen bagian dada yang
pencedera fisik terkena benturan
O : Klien masih tampak
meringis saat
merasakan nyeri. Klien
tidka dapat tidur
dengan nyenyak. RR
18x/menit. Nadi 86
x.menit. Skala nyeri 5
A : Masalah belum
teratasi
P : Lanjutkan
intervensi
3 Minggu, 10 Kerusakan S : Klien mengatakan
Mei 2020 integritas kulit area abdomen masih
(10.20 WIB) berhubungan terasa sakit saat
dengan faktor disentuh
mekanik O : Masih terdapat
memar di area
abdomen
A : Masalah belum
teratasi
P : Lanjutkan
intervensi
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah


antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011). Trauma abdomen
adalah trauma atau cedera pada abdomen yang menyebabkan perubahan
fisiologis yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh
luka tumpul atau tusuk. trauma abdomen atau gawat abdomen menggambarkan
keadaan klinik akibat kegawatan di rongga abdomen yang biasanya timbul
mendadak dengan nyeri sebagian keluhan utama. Keadaan ini perlu penanganan
segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi,
atau peradangan , infeksi, obstruksi atau stangulasi jalan cerna apat menyebabkan
perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh saluran cerna
sehingga terjadilah oeritonitis.
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa
karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota
gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
perdarahan hebat dan peritonitis. Trauma saluran kemih sering tidak hanya
mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem saluran kemih selalu
ditangani sebagai satu kesatuan. Trauma sistem perkemihan bisa terjadi karena
trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma yang terjadi pada system
perkemihan:Trauma Renal (Ginjal), Trauma Vessica Urinaria (Kandung Kemih),
Trauma Urethra, Trauma Ureter.
2. Saran
1) Bagi petugas kesehatan atau instansi kesehatan agar lebih meningkatkan
pelayanan kesehatan terutama pada trauma abdomen dan perkemihan untuk
pencapaian kualitas keperawatan secara optimal dan sebaiknya keperawatan
selalu dilaksanakan secara berkesinambungan.
2) Bagi klien dan keluarga, perawatan tidak kalah pentingnya dengan
pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan
yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh
sebab itu perlu adanya penjelasan pada klien dan keluarga mengenai manfaat
serta pentingnya kesehatan.
3) Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan
menerapkan asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan trauma
abdomen dan perkemihan
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Abdominal and


pelvic trauma. in: advanced trauma life support for doctors atls

student course manua 8th edition. USA: American College of Surgeons

Baradero, Mary dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta:EGC

Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart
(Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC

Cho, Y., Judson, R., Gumm, K., Santos, R., Waish, M., Pascoe, D., et al.
2012. Blunt abdominal trauma. the royal melbourne
hospital. http://clinicalguidelines.mh.org.au/brochur

Guilon, F. 2011. Epidemiology of abdominal trauma. in: CT of the Acute


Abdomen. London: Springer

Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan kritis: pendekatan holistik. Jakarta: EGC
Ignativicus, Donna D: Workman. 2006. Medical surgical nursing critical
thinking for collaborative care. USA: Elsevier Saunders

Krisanty,Paula, dkk.2016.Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.Jakarta:CV.Trans


Info Media

Kidd,Pamela S, dkk.2010;Alih bahasa Monica Ester,dkk.Pedoman Keperawatan


Emergency Edisi 2.Jakarta:EGC

Mutaqqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan.Jakarta: Salemba Medika.

Musliha. (2010). Keperawatan gawat darurat. Yogyakarta: Nuha Medika


NANDA. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds). Jakarta. EGC

Sabiston, D.C., Jr, M.D. 2004. Sabiston buku ajar bedah hal. 364-384. Jakarta: EGC
Salomone A. J., Salomone, J. P. 2011. Emergency medicine: abdominal
blunt trauma. http://emedicine.medscape.com/article/433404-print.
(Diakses pada 1 Oktober 2014)

Shah,Kaushal & Chilembwe Mason;Alih bahasa Huriawati Hartanto.2013.Prosedur


Penting dalam Kedaruratan.Jakarta.EGC

Sjamsuhidayat. 1997. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC

Sjamsuhidayat. 1998. Buku ajar bedah. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner &


suddarth edisi 8. vol 1. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku ajar keperawatan medikal-bedah brunner &


suddarth edisi 8. vol 3. Jakarta: EGC

Suharyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta:TIM.

Suddarth & Brunner. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta : EGC
Swanson, Elizabeth. 2008. Nursing outcome classification. America: Mosby

Udeani, J., Steinberg S. R. 2011. Trauma medicine: blunt abdominal


trauma. http://emedicine.medscape.com/article/821995-print. (Diakses
pada 30 September 2014)

Udeani, J., 2013. Blunt abdominal trauma.


http://emedicine.medscape.com/article/1980980 (Diakses pada 1 Oktober
2014).
MadeEric.2014.https://www.scribd.com/document/direct/176848964?extension=d
oc&ft=1417587600&lt=1417591210&user_id=17907087&uahk=/WTAOi74
Yi7SjoLOjeJb9+pqMiQ diakses tanggal 3 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai