Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH PLENO

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN PERITONITIS

Dosen Pembimbing: Ns. Yulia Rizka, M.Kep


Disusun oleh:
Kelompok 3

Aula Rahmawati (1711123067) Muhammad Roni Septiawan (1711122820)


Ayu Rintiani (1711122759) Nur Ela Janniati Sakina (1711123015)
Cessy Oktarina Amri (1711123024) Permata Rigina Sonia (1711122753)
Dessy Magdalena Menchi (1711195290) Putri Melda Ningsih (1711122243)
Gita Febriani (1711122591) Sangkot Hany Rizki (1711122842)
Ilwana (1711122958) Shindy Yurisca (1711122220)
Jhodi Ibrahim (1711113657) Siti Khairunnisa (1711122277)
Maulia Trijuliani Putri (1711123115) Tia pratiwi (1711123099)
Megawati (1711123135) Vivi Dwiyani (1711121838)
Mei Indah Novayani Munthe (1711123142) Zahwa Ayunda Salsabila (1711123000)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020

i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan kemampuan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Kritis Pada Pasien Peritonitis”. Penulis menyadari bahwa penyelesaian
makalah ini tidak terlepas dari motivasi dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu, terima kasih
penulis ucapkan kepada:

1. Ibu Ns. Yulia Rizka, M.Kep selaku dosen pembimbing Pleno dalam mata kuliah
Keperawatan Kritis.
2. Kepada teman-teman seangkatan yang bersedia membantu dan memberikan masukan
yang bersifat membangun demi penyelesaian dan kesempurnaan makalah ini.
Semoga kebaikan yang telah mereka berikan dibalas oleh Allah Swt. Penulis telah
berusaha menyelesaikan makalah ini sesuai dengan ilmu dan pengetahuan yang penulis
peroleh. Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama
dalam kemajuan dunia pendidikan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi
sistematika penulisan maupun dari segi penyajian. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan dari pembaca. Atas perhatian, saran, dan kritikan dari
pembaca penulis ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 16 oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dari stangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran
cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
infeksi organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), rupture saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari
luka tembus abdomen (Arief. 2000).
Sebagaimana dalam penelitian Tarigan pada tahun 2012, peritonitis didefenisikan
suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi rongga abdomen dan organ-
organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata,
bakterial ataupun kimiawi. Peradangan peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, bahan kimia iritan, dan benda asing. Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis
merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan
mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90% penderita
peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu perforasi
gastrointestinal ataupun kebocoran (Tarigan, M.H, 2012).
Angka kejadian penyakit peritonitis di Amerika pada tahun 2011 diperkirakan 750
ribu pertahun dan akan meningkat bila pasien jatuh dalam keadaan syok . Dalam setiap
jamnya didapatkan 25 pasien mengalami syok dan satu dari tiga pasien syok berakhir
dengan kematian. Angka insiden ini meningkat 91,3% dalam sepuluh tahun terakhir dan
merupakan penyebab terbanyak kematian di ICU diluar penyebab penyakit peritonitis.
Angka insidensi syok masih tetap meningkat selama beberapa dekade, rata-rata angka
mortalitas yang disebabkannya juga cenderung konstan atau hanya sedikit mengalami
penurunan.
Kejadian peritonitis tersebut dapat memberikan dampak yang sangat kompleks bagi
tubuh.Adanya penyakit peritonitis menjadikan kasus ini menjadi prognosis yang buruk.
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian peritonitis di sebagian besar wilayah
Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita
penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar
179.000 orang (Depkes, RI 2008).
Hasil survey Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak
5.980 dan 177 diantaranya menyababkan kematian. Jumlah penderita peritonitis tertinggi
ada di Kota Semarang, yakni 970 orang. (Dinkes Jateng,2009).

4
Berdasarkan data yang diperoleh di ICU RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KUDUS, dalam kurun waktu enam bulan terakhir dari bulan Januari 2014 sampai bulan
Juni 2014 tercatat ada 32 pasien dengan diagnosa Peritonitis dari 236 pasien yang
dirawat, dengan presentase 3,8%. Atas dasar karakteristik itulah penyusun akan
memaparkan Asuhan Keperawatan pada klien dengan peritonitis dalam bentuk kasus
yang penyusun laksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Peritonitis?
2. Apa Etiologi Dari Peritonitis?
3. Apa Patofiologi Dari Peritonitis?
4. Apa Manifestasi Dari Peritonitis?
5. Apa Saja Klasifikasi Dari Peritonitis?
6. Apa Saja Komplikasi Peritonitis?
7. Apa Saja Pemeriksaan Penunjang Peritonitis?
8. Apa Saja Penatalaksanaan Peritonitis?
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan Peritonitis?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Definisi Peritonitis
2. Untuk Mengetahui Etiologi Peritonitis
3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Peritonitis
4. Untuk Mengetahui Manifestasi Peritonitis
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi Peritonitis
6. Untuk Mengetahui Komplikasi Peritonitis
7. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Peritonitis
8. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Peritonitis
9. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Peritonitis

D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Manfaat bagi civitas akademika yaitu dapat dijadikan sebagai bahan referensi
untuk makalah selanjutnya yang berkaitan dengan peritonitis.
2. Sebagai informasi untuk menambah ilmu pengetahuan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. STEP 1
Terminologi
1. Peritoneum
2. ET
3. Leukositosis
4. Distensi
5. Ventilasi Mekanik
6. MAP
7. Inflamasi

Jawab :

1. Peritoneum
a. Membran yang melapisi kavum abdomen yang membungkus banyak organ.
b. Untuk mengatur jumlah oksigen.

2. ET
a. Singkatan dari Endotracheal Tube.
b. Alat yang di gunakan untuk membebaskan jalan nafas.
c. ET adalah endotracheal tube Alat medis yang digunakan untuk menjamin
saluran napas tetap bebas

3. Leukositosis
a. Peningkatan leukosit dalam darah untuk sementara waktu.
b. suatu kondisi tubuh yang ditandai dengan peningkatan leukosit di dalam darah.
c. Leukositosis merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh yg berfungsi untuk
melindungi diri dari infeksi atau penyakit
d. suatu kondisi tubuh dimana terjadi nya peningkatan sel darah putih didalam
darah bagian dari sistem kekebalan tubuh

4. Distensi
a. istilah medis yang menggambarkan kejadian yang terjadi ketika ada zat (gas atau
cairan) menumpuk di dalam perut yang menyebapkan perut atau pinggang
mengembung melebihi ukuran normal.
b. Distensi abdomen ( peregangan atau pembengkakan yg terjadi pada abdomen
akibat penumpukan cairan atau gas)

6
c. terjadi nya pembengkakan pada abdomen, terjadi karena ada penumpungkan
gas /cairan.

5. Ventilasi Mekanik
a. suatu ventilasi buatan untuk membantu jalan nafas spontan
b. Ventilasi mekanik adalah ventilasi buatan digunakan untuk membantu atau
mengganti pernapasan spontan.

6. MAP
tekanan antara sistol dan diastol

7. Inflamasi
proses peradangan. Ditandai dengan colour dolor tumor rubor fungsio laesa

B. STEP 2
Learning Isues
1. Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran pd px tersebut setelah operasi akibat
trauma?
2. Apa Indikator px masuk ruang ICU?
3. Apakah ada penyebab lain penurunan kesadaran selain faktor trauma abdomen?
4. Apakah ada kontraindikasi px terpasang ventilasi mekanik.?
5. Indikasi diberikan ventilator dan apa tujuan nya?
6. Perbedaan ventilasi mekanik dan ventilasi lainnya?
7. Bagaimana cara membaca GCS E2VtM4dan apa perbedaan antara suhu tinggi nadi
dan suu tinggi dengan masalah pasien?
8. Berapa normal MAP dan SPo2, di skenario apakan normal atau tidak?
9. apa penyebab bising usus bapak A tidak terdengar?
10. Apa intervensi yang dapat dilakukan terhadap pasien tersebut?
11. apa yg menyebabkan distennsi pada abdomen pasien yg mengalami leukositosis dan
inflamasi peritoneum?
12. Pemeriksaan penunjang seperti apa yang dapat menunjukan hasil mengalami
leukositosis?
13. Apa hubungan leukositosis dengan inflamasi peritoneum?
14. Apa tanda dan gejala khusus leukositosis pada pasien di skenario?
15. Apa penyebab terjadinya inflamasi peritonineum?
16. Karakteristik perawat di ruang ICU?
17. Pemeriksaan GCS ?
18. Apa masalah utama pada bpk A dan apa diagnosa yang dapat kita angkat?

7
C. STEP 3
Jawaban
1. = Karena akibat trauma pada pasien, sehingga menyebabkan syok dan terjadi
penurunan kesadaran pada pasien.
= karena kondisi pasien semakin memburuk di tandai dengan TTV pasien yang
mengalami penurunan dan adanya peningkatan leujosistosis dan inflamasi bisa
menyadi salah satu penyebab penurunan kesadaran.
2. = Perawatan untuk memulihkan kondisi pasien setelah menjalani operasi
= Kecelakaan parah misalnya mengalami luka bakar atau cedera parah dikepala.
= Infeksi parah seperti pneumonia atau sepsis
= Serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal
3. SPO2 rendah,inflamasi peritoneum
4. = henti jantung paru
= ensepalopati berat
= hemodinamik tidak stabil
= deformitas pada wajah
= risiko tinggi aspirasi
= gagal nafas bukan karena respirasi
5. ndikasi diberikan ventilator
Indikasinya yaitu salah satunya di skenario kondisi pasien mengalamani penurunan
GCS <8.
Tujuannya : mengurangi berat kerja pernapasan pasien dengan membongkar otot
pernapasan secara sinkron
= Penyebab penurunan kesadaran lain banyak sekali.. bisa disebabkan oleh masalah
fisik seperti stroke,epilepsi,radang otak,gagal ginjal,dll dan masalah psikologis
seperti, ketakutan,depresi,
= gg. Sirkulasi pada darah
= Karena gcs dibawah 8,
= px gagal nafas
= px disfungsi neurologis
6. Beda ventilasi alami dengan ventilasi mekanik yaitu Ventilator alami ketika tubuh
manusia masih mampu melakukan proses inspirasi ekspirasi serta menyebarkan
oksigen ke seluruh tubuh secara normal/alami. Sedangkan ventilasi mekanik
dilakukan apabila seseorang tidak mampu melakukan proses pernapasan secara alami
sehinggan membutuhkan bantuan mesin.
7. GCS:
E2 = Mampu membuka mata saat diberi rangsangan nyeri
Vt= respon suara tidak terkaji
M4= mampu menggerakkan ekstremitas setelah di berikan rangsangan nyeri dengan
fleksi normal.
8
8. MAP tidak normal karena nilai nya ( 106 mmHg). sedangkan nilai normal nya 70-100
mmHg Nilai SPo2 Normal 93%
9. = Penyebab bising usus tidak terjadi.
Ileus paralitik disebakan oleh kurang atau tidak adanya pergerakan usus.. salah satu
penyebab nya adalah Operasi dimana normalnya aktivitas usu halus sudah kembali
dalam beberapa jam namun usus besar kembali normal 3-5 hari pasca operasi. Namun
apabila ada gangguan akan kembali normal dalam waktu yang lama.
= Penyebab bising usus tidak terdengar selain akibat pasca operasi, bisa terjadi akibat
distensi abdomen karena penumpukan gas ataupun cairan dalam abdomen. Dan akibat
kelumpuhan pada otot2 usus.
10. Pemberian oksigen
11. Distensi : penumpukan cairan atau gas.
terjadinya inflamasi lalu sisa sisa sel radang (leukositosis) menumpuk makanya
menyebabkan distensi
12. Pemeriksaan Penunjang
= hitung darah lengkap, agar jumlah dan jenis sel darah putihnya dapat diketahui.
= sampel darah juga akan diperiksa melalui apusan darah(peripheral blood smear),
untuk mengetahui jenis sel darah putih yang domain.
= pemeriksaan dahak atau rontgen dada, melihat apakah terjadi infeksi yang
menyebabkan jumlah sel darah putih tinggi.
= aspirasi sum-sum tulang belakang, untuk mengetahui apakah terjadi kelainan pada
sum-sum tulang, seperti pada pasien leukemia biasanya.
= pem.Genetik
13. leukositosis merupakan agen dari terjadinya proses inflamasi
= inflamasi : proses peradangan
= leukositosis : meningkatnya sel radang
14. Penyebab Leukositosis
Leukositosis umumnya merupakan pertanda:
= Respons tubuh dalam melawan infeksi kuman
= Efek samping obat
= Penyakit pada sumsum tulang yang menyebabkan produksi sel darah putih tak
terkendali jumlahnya
= Kelainan imunitas tubuh
15. multifaktorial. bisa karna adanya bakteri atau kuman yg tertinggal ataupun benda
asing pasca operasi
16. Karakteristik perawat di icu
1. Kecepatan respon pelayanan terhadap pasien dengan kondisi kritis dan ketenagaan
yang terdiri dari interdisplin keilmuan kesehatan dengan kualifikasi dan pelatihan
khusus perawatan intensif.
2. Kolaborasi interdisiplin tim kesehatan juga diperlukan karena kompleks
permasalahan penyakit yang dialami pasien di icu.
9
17. Respon buka mata (Eye Opening, E)
= Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) =4
= Respon terhadap suara (suruh buka mata) =3
= Respon terhadap nyeri (dicubit) =2
= Tidak ada respon (meski dicubit) =1
Respon verbal (V)
= Berorientasi baik = 5
= Berbicara mengacau (bingung) =4
= Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-
kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”) =3
= Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang) =2
= Tidak ada suara =1
Respon motorik terbaik (M)
= Ikut perintah =6
= Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
=5
= Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) =4
= Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada &
kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)=3
= Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri) =2
= Tidak ada (flasid) =1
GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)
18. masalah utamanya : komplikasi pasca operasi

10
D. STEP 4
Mind Mapping

11
E. STEP 5
LO (Learning Objectif)
1. Defenisi Peritonitis
2. Etiologi
3. Patofisiologi
4. Manifestasi
5. Klasifikasi
6. Komplikasi
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksanaan
9. Terapi Diet
10. Asuhan Keperawatan

F. STEP 7
Menjawab LO
1. Definisi Peritonitis
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang sebesar dalam tubuh
yang terdiri dua bagian utama yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding
rongga abdominal, dan rongga peritoneum viseral yang meliputi semua organ
yang berada pada didalam rongga itu (Pearce, 2009).
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum ( lapisan membran serosa
rongga abdomen ) dan organ didalamnya (Muttaqin & Sari, 2011). Peritonitis
adalah peradangan pada peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan
vaskularisasi dan aliran limpa (Jitwiyono & Kristiyanasari, 2012).
Definisi PeritonitisPeritonitis adalah peradangan pada peritonium, suatu
lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran darah. Yang
dimana vaskularisasi adalah pembentukkan pembuluh darah secara abnormal atau
berlebihan.
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa
rongga abdomen) dan organ dalamnya.

2. Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah bakteri, bakteri ini masuk ke rongga
peritoneum dan terjadi peradangan. Menurut Muttaqin (2011) bakteri yang sering
menyebabkan peritonitis yaitu Escheria Coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Streptococcus pneumoniae (15%), Pseudomonas species, Proteus species, dan
gram negatif lainnya (20%), Streptococcus lainnya (15%), Staphylococcus (3%).

12
Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2012) peritonitis juga bisa
disebabkan secara langsung dari luar seperti operasi yang tidak steril,
terkontaminasi talcum veltum, lypodium, dan sulfonamida, serta trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa, dan ruptur hati.
Etiologi peritonitis juga tergantung pada jenis peritonitis. (Daley., 2013)
a. Peritonitis Primer
Peritonitis primer pada pasien dewasa disebabkan oleh penyakit
sirosis hepatis dan asites, sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh
sindroma nefrotik dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Pasien asites
yang disebabkan oleh penyebab lain, sepreti gagal jantung, keganasan,
penyakit autoimun, juga berisiko tinggi untuk berkembangnya peritonitis
ini. (Zinner, et al., 1997) Peritonitis primer juga dapat disebabkan oleh
karena penggunaan kateter peritoneum, seperti pada kateter dialisis
peritoneum. (Mazuski & Solomkin, 2009).
b. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder disebabkan oleh penyakit pada organ
abdomen, trauma pada abdomen, dan operasi intra-abdominal sebelumnya.
Penyakit pada organ abdomen, contohnya inflamasi usus (appendicitis dan
divertikulitis), strangulasi obstruksi (volvulus dengan strangulasi, closed-
loop adhesive obstruction), perforasi (gaster, neoplasma (karsinoma
kolon), duodenum), dan vascular (ischemic colitis). Trauma pada
abdomen dapat berupa trauma tajam, tumpul, atau iatrogenik. Peritonitis
sekunder akibat komplikasi operasi, contohnya kebocoran anastomosis
usus. (Mieny & Mennen, 2013).
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier timbul akibat gagalnya terapi peritonitis atau karena imunitas
pasien yang tidak adekuat. Gangguan sistem imun yang signifikan pada pasien
dengan peritonitis teriser menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik yang
rendah untuk proliferasi dan menyebabkan penyakit ini. (King, 2007; Marshall,
2004; Lopez, et al., 2011).

1. Infeksi bakteri
 Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
 Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
 Appendiksitis yang meradang dan perforasi
 Tukak peptik (lambung / dudenum)

13
 Tukak thypoid
 Tukak pada tumor
2. Secara langsung dari luar.
 Operasi yang tidak steril
 Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
 Trauma pada kecelakaan peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur hati
 Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

Etiologi peritonitis juga tergantung pada jenis peritonitis. (Daley., 2013).

1. Peritonitis primer
pada pasien dewasa disebabkan oleh penyakit sirosis hepatis dan asites,
sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh sindroma nefrotik dan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE). Pasien asites yang disebabkan oleh penyebab lain,
sepreti gagal jantung, keganasan, penyakit autoimun, juga berisiko tinggi untuk
berkembangnya peritonitis ini. (Zinner, et al., 1997) Peritonitis primer juga dapat
disebabkan oleh karena penggunaan kateter peritoneum, seperti pada kateter
dialisis peritoneum. (Mazuski & Solomkin, 2009).
2. Peritonitis sekunder
disebabkan oleh penyakit pada organ abdomen, trauma pada abdomen, dan
operasi intra-abdominal sebelumnya. Penyakit pada organ abdomen, contohnya
inflamasi usus (appendicitis dan divertikulitis), strangulasi obstruksi (volvulus
dengan strangulasi, closed-loop adhesive obstruction), perforasi (gaster,
neoplasma (karsinoma kolon), duodenum), dan vascular (ischemic colitis).
Trauma pada abdomen dapat berupa trauma tajam, tumpul, atau iatrogenik.

14
Peritonitis sekunder akibat komplikasi operasi, contohnya kebocoran
anastomosis usus. (Mieny & Mennen, 2013). Peritonitis tersier timbul akibat
gagalnya terapi peritonitis atau karena imunitas pasien yang tidak adekuat.
Gangguan sistem imun yang signifikan pada pasien dengan peritonitis teriser
menyebabkan mikroorganisme dengan patogenik yang rendah untuk proliferasi
dan menyebabkan penyakit ini. (King, 2007; Marshall, 2004; Lopez, et al., 2011).
Selain itu etilogi peritonitis juga bisa disebabkan oleh:
Menurut agens
3. Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung,
cairan empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
4. Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya
karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke
peritoneum dan menimbulkan peradangan.

Menurut sumber kuman


1. Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran
secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis
(SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh
perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan
inokulasi bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi
monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif (E.coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif (streptococcus pneumonia,
staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan menjadi:
a. Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya
kuman tuberkulosa.
b. Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya
kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
2. Peritonitis sekunder

15
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya adalah:
a. invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada: perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk.
b. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
c. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters.

16
3. Patofisiologi
Phatway
4.

Invasi kuman kelapisan Repon peradangan PERITONITIS


peritonieum oleh berbagai pada peritoneum dan
kelainan system organ didalamnya
gastrointestinal dan
penyebaran infeksi dari organ
Respon sistemik Penurunan aktivitas
didalam abdomen atau
fibronolitik intra-
perforasi organ pascatrauma
abdomen
abdomen.
Peningkatan suhu tubuh

Pembentukan eksudat
fibrosa atau abses
Hipertermia pada peritoneum

Penurunan kemampuan batuk Ketidakefektifan


efektif bersihan jalan nafas

Invasi bedah laparotomy Respon lokal saraf Distensi abdomen


terhadap infalamasi

Nyeri

Preoporative Pascaoperatif

Resiko psikologis misintepretasi Kerusakan jaringan


Porth enter pasca bedah
perawat dan penatalaksanaan pasca bedah
pengobatan

Resiko Infeksi
Disfungsi motalitas
gastroientastinal
Kecemasan pemenuhan informasi Deficit Pengetahuan
ketakutan

17
Resiko ketidak efektifan perfusi Gangguan Syok sepsis
5.
gastrointestinal gastrointestinal
6.

Respon kardiovaskuler
Mual, muntah,
kembung anoreksia

Curah jantung menurun


Intak nutrisi tidak
adekuat kehilangan
Ketidak seimbangan nutrisi
cairan dan elektrolit
kurang dari kebutuhan resiko
Suplai darah ke otak
ketidak seimbangan elektrolit
melemah

Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak Perubahan tingkat
kesadaran

7. Manifestasi
Manifestasi klinis peritonitis
a. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberapa penderita
peritonitis umum
b. Demam, Distensi abdomen
c. Nyeri tekan abdomen dan rigitasi yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung
pada peluasan iritasi peritonitis
d. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang
jauh dari lokasi peritonitisnya
e. Nausea, vomiting, penurunan paristaltik
f. Konstipasi dan tidak bisa buang gas
g. Anoreksia, Mual muntah
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah, penderita biasanya juga mengeluh haus
h. Takikardia
i. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan
cairan kedalam peritoneum
j. Tekanan darah menurun

18
k. Berkeringat dingin
l. Pekat hati menghilang
m. Nafas dangkal

Manifestasi ada beberapa bagian yaitu:


Manifestasi Lokal:
1. Nyeri Perut
2. Nyeri Tekan
3. Kekakuan
4. Distensi
5. Udara bebas peritoneum
6. Penurunan bising usus

Manifestasi Sistemik:
1. Demam
2. Menggigil
3. Takikardi
4. Takipnea
5. Berkeringat
6. Oliguria
7. Syok

19
8. Klasifikasi
Klasifikasi peritonitis menurut Japanesa, Zahari, dan Rusjdi (2016) adalah:
a. Peritonitis primer
Peritonitis primer disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui darah dan
kelenjar getah bening di peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit
sirosis hepatis.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal
dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang paling
sering terjadi. Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh
berbagai penyebab. Infeksi traktus gastrointestinal, infeksi traktus urinarius,
benda asing seperti yang berasal dari perforasi apendiks, asam lambung dari
perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung empedu serta
laserasi hepar akibat trauma.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan
langsung yang sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-
orang dengan kondisi komorbid.

Menurut Nurarif dan Kusuma (2016), klasifikasi peritonitis terbagi menjadi:


a. Peritonitis primer
Terjadi biasanya pada anak-anak dengan sindrom nefritis atau sirosis hati.
Peritonitis primer lebih banyak terdapat pada anak perempuan daripada anak
laki-laki. Peritonitis terjadi tanpa adanya sumber infeksi di rongga
peritoneum, mikroorganisme masuk ke rongga peritoneum melalui aliran
darah atau pada pasien perempuan melalui saluran alat genital.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunnder merupakan jenis peritonitis yang paling sering
terjadi. Peritonitis sekunder terjadi bila mikroorganisme masuk ke rongga
peritoneum dalam jumlah yang cukup banyak. Biasanya dari lumen saluran cerna.
Bakteri dapat masuk ke peritoneum melalui saluran getah bening diagfragma
tetapi jika banyak bakteri yang masuk secara terus menerus akan terjadi
peritonitis. Peritonitis sekunder juga dapat disebabkan oleh rangsangan kimiawi
karena masuknya asam lambung, makanan, tinja, Hb, jaringan nekrotik, atau saat
imunitas menurun. Jenis mikroorganisme penyebab peritonitis adalah
mikroorganisme aerob dan anaerob. Selain itu, peritonitis juga terjadi jika ada
sumber intraperitoneal seperti appendisitis, divertkulitis, salpingitis, kolesistitis,
dan pankreatitis.
Peritonitis karena pemasangan benda asing ke dalam rongga peritoneum yang
menyebabkan peritonitis seperti pemasangan kateter ventrikulo peritoneal yang

20
dipasang pada pengobatan hidrosefalus, kateter peritoneal jugular untuk
mengurangi asites, dan continous ambulatory peritoneal dialysis.
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bakterial primer.
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau
Pneumococus. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya
malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok
resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis.
3. Peritonitis non bakterial akut
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine. Peritonitis bakterial kronik
(tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau
tractus urinarius.
4. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)
Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan
granuloma, dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa
kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat
disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan mengurangi
masalah ini.

9. Komplikasi
Menurut Haryono (2013), komplikasi dapat terjadi pada peritonitis
bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi
komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
1) Septikemia dan syok septic
2) Syok hipovolemik
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem
21
4) Abses residual intraperitoneal
5) Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
1) Adhesi (perlengketan usus)
2) Obstruksi intestinal rekuren.

10. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Diagnostik
1) Gambaran radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:
a) Tidur telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP)
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri bila memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP
c) Tidur miring ke kiri (left lateral decubitus : LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu: terlihat kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan
adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal (Rasad S dkk,
1999).

b. Pemeriksaan X-Ray

22
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus
dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus
perforasi (Schrock. T. R., 2008).
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
- Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
- Usus halus dan usus besar dilatasi.
- Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, biasanya di temukan leukositosis, hematrokit
yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan
peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil
pembiakan didapat (Schrock. T. R., 2008).
- Leukositosis : pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung
banyak protein>3 gram/100 ml
- Hematokrit meningkat
- Asidosis metabolik : didapatkan dari hasil lab ph:7,31 PCO2:40, BE:4
- Analisis cairan peritoneum (paracentesis), Pengambilan sampel cairan
peritoneum untuk melihat apakah ada infeksi atau peradangan. Kultur
cairan juga bisa dilakukan untuk mengetahui keberadaan bakteri.

11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Peritonitis
- Pergantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia
terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus
kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler
- Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri
- Antiemtik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual muntah
- Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi
abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus
- Terapi oksigen dengan Kanula rasal atau masker akan meningkatkan
oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang kadang intubasi jalan napas dan
bantuan ventilasi di perlukan
- Terapi antibiotik masif biasanya di mulai di awal pengobatan peritonitis.

23
Dosis besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai
organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang
tepat dapat dimulai

a. Penatalaksanaan farmakologi
1) Antibiotik
Pemberian antibiotik dapat mencegah multiplikasi dari bakteri dan
pelepasan endotoksin, dan untuk meurunkan komplikasi infeksi peritonitis
baik lokal maupun sistemik. Terapi awal adalah dengan pemberian
antibiotik broad spectrum secara parenteral, yang dapat melawan bakteri
aerob dan anaerob. (Mieny & Mennen, 2013; William, et al., 2008).
Antibiotik mulai diberikan sebelum operasi dan setelah didapatkan hasil
kultur dan uji sensitivitas, rejimen antimikroba harus disesuaikan untuk
mempersempit spektrum pada spesies yang menginfeksi. (Marshall, 2004;
Ramachandra, et al., 2007)
Hasil terbaik saat ini diperoleh dengan terapi awal terapi antibiotik
empiris tiga kali lipat untuk mengeleminasi 3 kelompok bakteri utama
yang biasanya terisolasi, meliputi coliform, enterococci, dan anaerob.
Aminoglikosida bersifat bakterisidal untuk organism gram negative
fakultatif dan indikasikan untuk peritonitis yang disebabkan oleh bakteri
ini. Aminoglikosida di ekskresikan di urine dan pasien dengan gangguan
fungsi ginjal perlu untuk menurunkan dosisnya untuk mencegah kerusakan
ginjal. Volume distribusi dan tingkat ekskresi bervariasi pada setiap
individu dan kebutuhan dosis harus berdasarkan melalui dan puncak untuk
meminimalisir tingkat komplikasi setelah pemberian melalui intravena.
(Mieny & Mennen, 2013)
Pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan, generasi
ketiga sefalosporin menyediakan pengganti yang efektif untuk
aminoglikosida. Kebanyakan anaerobes, termasuk spesies Bacteroides,
resisten terhadap aminoglikosida. Metronidazol merupakan agen anti-
anaerob pilihan. Pada eksperimental peritonitis, Enterococcus sering
ditemukan dan merupakan mitra sinergis yang penting dengan anaerobes.
Enterococcus biasanya sensitif terhadap ampicillin dan dianjurkan untuk
pengobatan pasien dengan peritonitis bakteri sekunder. (Mieny & Mennen,
2013)
Lamanya penggunaan antibiotik yang optimal harus berdasarkan
patologi yang mendasari, beratnya infeksi, keefektifan source control, dan
respon pasien terhadap terapi yang diberikan. Antibiotik dapat dihentikan
jika tanda klinis infeksi telah hilang. Jika terjadi rekuren dengan beberapa
infeksi, seperti infeksi dari Candida dan Staphylococcus aureus, maka
terapi dilanjutkan sselama 2-3 minggu. (Daley, 2013). Untuk pasien
24
dengan peritonitis tersier, peran terapi antimikroba sistemik adalah buruk.
Ada sedikit bukti bahwa antibiotik secara signifikan mengubah perjalanan
klinis, selain itu organisme yang menginfeksi cenderung resisten terhadap
penggunanan antibiotik empiris. Beberapa peneliti mendukung
penggunaan antibiotik spektrum sempit, yang dipilih berdasarkan hasil
kultur dan sensitivitas dan menghindari antibiotik dengan aktivitas
antianaerobik. (Marshal & Innes, 2003)
2) Obat-obatan lain
Analgesik baru dapat diberikan jika diagnosis peritonitis sudah
ditegakkan atau setidaknya tindakan operasi sudah diputuskan. Pasien
harus dibebaskan dari rasa sakit sebelum dan sesudah operasi. Infus
epidural dapat memberikan efek analgesik yang sangat baik. Pasien
peritonitis dengan tanda- tanda sepsis dapat diberikan obat vasoaktif dan
steroid. Pasien dengan demam diatas 385 C dapat menyulitkan
anastesisaat operasi, sehingga perlu diberikan obat salisilat yang efektif
untuk menurunkan demam. (William, et al., 2008; Doherty & Thompson,
2010; Marshal & Innes, 2003)
Untuk menunjang hemodinamik pada resusuitasi pasien sepsis,
dapat digunakan obat-obatan seperti vasopressor dan inotropik. Terapi
vasopressor (norepinefrin atau dopamin) harus dimulai ketika penggantian
cairan yang adekuat tidak mengembalikan tekanan darah menjadi normal
atau perfusi organ. Terapi inotropik (dobutamin) dalam kombinasi dengan
vasopresor wajib diberikan pada pasien dengan curah jantung rendah yang
persisten meskipun penggantian cairan telah dianggap adekuat. Tambahan
terapi untuk pasien sepsi yang mendapat perawatan di ICU, terdiri dari
profilaksis deep-veinn trombosis (heparin, stoking kompresi), stres
profilaksis ulkus (H, inhibitor reseptor). (Lamme, 2005)

12. Terapi Diet


Terapi Diet
Diit merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai
ialah cara pemberian diit lambung dengan dasarnya makan sedikit berulang
kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi
makanan yang dimakan harus lembek dan mudah dicernakan, tidak
merangsang, kemungkinan dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya
dalam porsi kecil dan berulang kali. Pada pasien ini tidak diperbolehkan
makan pedas, masam, dan berkarbonasi. Perut tidak boleh kosong atau terlalu
penuh.
Beberapa penelitian zat yang baik diberikan pasca operasi diantaranya :
1) Glutamin

25
Glutamin adalah asam amino yang paling banyak dalam tubuh.
Glutamin terdiri  lebih dari 60 persen asam amino bebas di otot rangka
dan lebih banyak terlibat dalam proses metabolisme daripada asam amino
lainnya. Penelitian telah menunjukkan pemberian glutamin efektif
mempercepat penyembuhan perawatan penyakit luka bakar, kanker
kolorektal, penyakit Crohn, HIV / AIDS, penyakit inflamasi usus (IBD),
sindrom iritasi usus (IBS), obesitas, peritonitis, kerusakan radiasi, sepsis,
ulseratif kolitis, dan penyembuhan luka. Adapun manfaat dari asam
amino glutamin yaitu membuat usus lebih sehat, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh dan otot, membantu memerangi kelelahan dan masalah
gula darah dan mendorong kemampuan otak. Penelitian yang dilakukan
Nakeeb (2009) menunjukkan prevalensi kunjungan di rumah sakit
pembedahan digesta dapat dikurangi dengan memberikan parenteral yang
mengandung glutamin tinggi kepada pasien. Uji klinis telah
menunjukkan bahwa pasien yang diberi tinggi glutamin akan membantu
meningkatkan keseimbangan nitrogen, regenerasi-cysteinyl
polymorphonuclear leukotrienes dari granulosit neutrofil dan limfosit dan
peningkatan permeabilitas usus (pascaoperasi pasien) dibandingkan
dengan mereka yang tidak diberi glutamin dalam diet; penelitian ini
dilakukan tanpa adanya efek samping
2) Bahan Makanan Tinggi Glutamin
Glutamin merupakan asam amino non- esensial dalam tubuh dan
sebagian besar dibuat dan disimpan dalam otot rangka. Ketika tubuh
mengalami stres metabolik atau trauma, pembedahan, kanker, sepsis dan
luka bakar, maka glutamin perlu ditambahkan di dalam dietnya. Bahan
makanan alami sumber glutamin meliputi protein hewani seperti ikan,
telur, susu, daging sapi, unggas, yogurt, keju ricotta, keju cottage. Pada
protein nabati glutamine juga dapat ditemukan pada kacang-kacangan,
bit, bayam, parsley, kubis, biji rami dan chia benih. Sejumlah kecil
glutamin juga ditemukan dalam kacang-kacangan, jus sayuran dan
makanan fermentasi.  Dosis arginin yang diajurkan pada orang dewasa
diantaranya hingga mencapai 21 gram/hari (Boelens,2002). Pemberian
arginin banyak dilakukan melalui parenteral. Penelitian prospektif yang
dilakukan Antonio (1992) menunjukkan bahwa pemberian parenteral
nutrition dapat meningkatkan keadaan umum dan kesembuhan pasien
perioperatif.
3) Omega 3
Omega 3 merupakan asam lemak yang baik dikonsumsi karena
berperan dalam mengatasi inflamasi paska operasi seperti kondisi seperti
IBS, ulcerative colitis dan radang sendi. Omega 3 juga berperan dalam
tingkat penyerapan vitamin yang larut dalam lemak, seperti vitamin A, D,
26
E dan vitamin K. Vitamin tersebut diperlukan oleh tubuh kita untuk
melawan infeksi, menjaga kesehatan mata dan kulit, sirkulasi jantung,
pembekuan darah dan kuat tulang.

13. Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
b. Riwayat kesehatan
 Kaji keluhan utama
 Keluhan waktu di data : terdapat pasien muntah-muntah, demam,
sakit kwpala, nyeri ulu hatiu, makan-minum kurang, turgor kulit
jelek, keadaan umum lemah.
 Riwayat kesehatan yang lalu : pernah menderita moviting atau tidak.
 Riwayat kesehatan keluarga : apakah anggota keluarga pernah
menderita penyakit seperti pasien.
c. Pemeriksaan fisik
 Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi.
 Inspeksi :
- Kepala : keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga
dan leher.
- Abdomen : biasanya terjadi pembesaran limfa.
- Genetalia : tidak ada perubahan
 Palpasi abdomen : teraba pembesaran limfa, perut kembung, nyeri.
 Auskultasi : peristaltic usus menurun.
 Perkusi abdomen : hipersonor

2. Pengkajian primer
a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas
berupa secret, lidah jatuh atau benda asing.
b. Breathing
Kaji pernafasan klien berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai
berapa frekuensi pernafasan klien per menit.
c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji
keseimbangan cairan dan elektrolit klien lenbih lanjut kaji output dan
intake klien.
b. Disability

27
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri
atau sama sekali tidak sadar. tidak dianjurkan menggunakan GCS,
adapun cara yang cukup jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon bicara
P: Respon nyeri
U: Tidak ada nyeri
c. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat
mengetahui kelainan yang muncul, pada abdomen akan tanpak distensi
sebagai akibat perubahan sirkulasi, penumpukan cairan dan udara yang
tertahan dilumen.

3. Analisis Data
No Data Etiologi Masalah
1. DO : Invasi kuman ke lapisan Resiko Syok
HR : 125x/menit peritoneum
CRT : 7 detik
TD : 140/90 mmHg Respon peradangan
S : 38,50C
GCS : E2V1M4 Penurunan aktivitas fibrinolitik

DS : Pembentukan eksudat fibrinosa


- Pasien terpasang
ET dan ventilator Cairan intraseluler terakumulasi
- Pasien mengalami
penurunan Distensi abdomen
kesadaran.
Resiko syok

2. - Perut teraba keras Ileus paralitik Nyeri Akut


- Distensi abdomen
- Otot perut kaku Penyumbatan atau obstruksi usus
- Nyeri tekan pada
abdomen Akumulasi cairan
- Inflamasi pada
peritoneum Kompresi jaringan

Distensi abdomen

Nyeri

4. Diagnose Keperawatan

28
1. Resiko Syok b.d infeksi
2. Nyeri akut b.d kerusakan jaringan

5. Intervensi Keperawatan
1. Manajemen Syok Hipovolemik
Observasi
- Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi nafas,
TD, MAP)
- Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
- Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit, CRT)
- Pemeriksaan tingkat kesadaran dan respon pupil
- Pemeriksaan seluruh permukaan tubuh terhadap adanya DOTS
(deformitiy/deformitas, open wound/luka terbuka, tenderness/nyeri tekan,
swelling/bengkak)
Terapeutik
- Pertahankan jalan nafas paten
- Berikan oksigen untuk mempertahankan sturasi oksigen >94%
- Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
- Lakukan penekanan langsung (direct pressure) pada pendarahan eksternal
- Berikan posisi syok (modified Trendelenberg)
- Pasang jalur IV berukuran besar (mis, nomor 14 atau 16)
- Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine
- Pasang selang nasogastric umtuk dekompresi lambung
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian invus cairan kristaloid 1 – 2 L pada dewasa
- Kolaborasi pemberian infus cairan kristatoid 20mL/kgBB pada anak
- Kolaborasi pemeberian transfuse darah, jika perlu

2. Nyeri Akut
- Kontrol suhu ruangan
- Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
- Berikan lingkungan nyaman bagi klien
- Berikan analgetik mengurangi nyeri
- Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.

Diagnosa berdasarkan prioritas utama


1. Syok Hipovolemik

29
Dikarnakan data-data pendukung yang ada diskenario mengarah pada
kondisi syok hipovolemik. Syok hipovolemik juga merupakan masalah
utama yang harus segera ditangani, pada kondisi syok hipovolemik tubuh
mengalami kekurangan/kehulangan cairan sehingga pasokan oksigen dan
darah dalam sel dan jaringan berkurang. Oleh karna itu, jika syok
hipovolemik sudah teratasi maka kemungkinan masalah lain akan
berkurang.
2. Syok Sepsis
Syok sepsis adalah diagnosa kedua karna jika syok hipovolemik tadi tidak
teratasi tentu kondisi klien semakin memburuk, apalagi klien sudah
mengalami leukositosis, itu artinya bakteri dan virus/kuman sudah
menyebar di aliran darah sehingga inflamasi pada tubuh semakin parah dan
dapat menyebabkan masalah lainnya.
3. Nyri Akut
Nyeri akut menjadi diagnosa terakhir karena jika diamgkat menjadi
diagnosa utama kurang tepat, karena walaupun syok hopovolemik dan syok
sepsis dapat teratasi belum tentu nyeri dapat berkurang/hilang. Karena ada
kemungkinan klien dilakukan laparatomi kembali yang mengakibatkan
perlukaan berulang sehingga akan menyebabkan nyeri.

30
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Peritonitis didefenisikan sebagai peradangan pada selaput serosal yang melapisi
rongga perut yang terkandung didalam nya. Peritonitis (radang selaput perut) adalah
suatu radang akut selaput perut lapisan dari rongga abdomen. Penyakit ini biasanya
terjadi karena adanya bakteri di dalam selaput perut. Bakteri ini berasal dari saluran
gastroientestinal atau pecahan daru suatu organ tubuh di dalam abomen atau tulang
panggul. Penyebab terjadinya peritonitis adalah bakteri, peritonitis juga disebabkan
secara langsung dari luar seperti operasi yang tidak steril, terkontaminasi talcum
veltum, lypodium, dan sulfonamida, serta trauma pada kecelakaan seperti rupture
limpa, dan rupture hati. Jika tidak dilakukan penanganan nya akan mengakibatkan
hal baru yang memperparah keadaan.

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai calon perawat dapat
menangani dan dapat mengatasi apabila pasien dengan peritonitis. Perawat
diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan dengan baik kepada klien
dengan peritonitis.

31
DAFTAR PUSTAKA

A. Nurarif, H. K. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan nanda

nic-noc. (3, Ed.). Jogjakarta: Mediaction publishing

Arief, M. S., Wahyu, I. K., & Wieiek, S. (2000). Bedah digestif dalam capital selekta

kedokteran. Ed 3, Jilid 2, p 302-321. Jakarta. Media Aesculapius FKUI.

Beilman G, Dunn D. (2010). Surgical infections. In: schwartz’s principles of surgery. 10th ed.

McGraw-Hill Companies.

Daley B. (2017). Peritonitis and abdominal sepsis. Medscape.. Available from:

https://emedicine.medscape.com/article/180234-overview

De Jong, Wim & Sjamsuhidayat, R. (2011). Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Ghosh P, Mukherjee R, Sarkar S, Halder S, Dhar D. (2016). Epidemiology of secondary

peritonitis: analysis of 545 cases. Int J Sci Study.;3(12). Available from:

https://www.ijss-sn.com/uploads/2/0/1/5/20153321/ijss_mar_oa16.pdf

Haryono, Rudy. (2013). Keperawatan medikal bedah: sistem perkemihan. Yogyakarta: Rapha

Pubhlisihing

Japanesa, A., Zahari, A., & Rusjidi, S. R. (2016). Pola kasus dan penatalaksanaan peritonitis

akut di bangsal bedah RSUP Dr. M. Djamil padang. Jurnal

Jitowiyonk, S dan Kritiyana, W. 2012. Asuhan keperawatan post operasi dengan pendekatan

nanda,NIC NOC. Nuhana Medika. Yogyakarta

Muttaqin dan Sari. 2011. Asuhan keperawatan gangguan system perkemihan. Selemba Medika.

Jakarta

Nurarif, A. H & Kusuma H (2016). Asuhan keperawatan kritis berasarkan penerapan diagnose

nanda, NIC NOC dala, betrbagai kasus. Jogjakarta : Mediaction

32

Anda mungkin juga menyukai