GASTER
Laporan Kasus
Oleh:
dr. Dheana Ismaniar
Pembimbing :
dr. Nizarli, Sp. B
Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materi. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik
yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Table of Contents
i
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2.1 Lapisan Dinding Peritoneum
4
nyeri dan suhu yang dapat dilokalisasi. Peritoneum visceral menerima persarafan otonom
dari nervus Vagus dan persarafan simpatis yang mengakibatkan sensasi perut yang sulit
dilokalisir yang dipicu oleh distensi organ.9 Adanya persarafan yang berbeda ini
mengakibatkan perbedaan respon sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang
menstimulasi peritoneum visceral atau parietal. 3
Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada
reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu
atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf
somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga berfungsi
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum.
Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle guarding) dan
perut papan (rigidity of abdominal wall). Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak
memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum
parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi, sensasi nyeri akan
dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur
foregut), periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).3
5
Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh untuk menjaga
peritoneum tetap steril.12
Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada rongga
peritoneum. Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya inflamasi, namun
adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-4 jam dan sel-sel PMN
(Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam 48-72 jam pertama. Sel-sel PMN
akan mengeluarkan sitokin, antara lain interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis
factor), leukotriene, platelet activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk
terjadinya inflamasi lokal pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan
pembentukan fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah
mesh yang secara temporer menurunkan dan memblok reabsorpsi cairan dari rongga
peritoneum serta membunuh bakteri dalam sebuah “perangkap”. Mekanisme pertahanan
inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu, omentum juga
bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi pembentukan abses lebih lanjut.
Daerah yang paling umum adalah daerah subphrenik. Kedua mekanisme pertahanan ini
(eliminasi mekanik dan pembentukan eksudat) memiliki efek paradoks. Eliminasi
mekanik pada mekanisme pertahanan yang pertama sebenarnya menyebabkan
bakteremia, dan apabila masif dapat mengakibatkan syok septik dan berakhir dengan
kematian. Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan
opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan syok pada pasien peritonitis karena
albumin berpindah pada rongga abdomen.12
2.2 DEFINISI
6
umumnya disebabkan oleh adanya penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
organ saluran cerna, dan luka tembus atau trauma abdomen. 2
2.3 EPIDEMIOLOGI
Peritonitis akut merupakan patologi intra abdomen yang bersifat gawat darutat
dan berpotensi mengancam jiwa. Peritonitis merupakan penyebab tersering dari nyeri
perut secara tiba-tiba. Penyakit ini membutuhkan antibiotik spektrum luas dan tindakan
laparotomi atau laparoskopi sebagai penyembuhan definitif.13
Pada sebuah studi di Amerika Serikat selama 3 tahun, 11.200 pasien mengalami
peritonitis dengan proporsi 9,3 orang per 1000 pasien rawat inap dengan tingkat
morbiditas dan mortalitas tinggi. 11% dari pasien dengan peritonitis dapat mengalami
sepsis berat, 74% mengalami gagal organ tunggal, dan 20% pasien mengalami kegagalan
multi organ.4 Mortalitas pasien mencapai 6% dari keseluruhan kasus sepsis. Pasien
dengan peritonitis yang mengalami sepsis, umumnya berusia tua dengan rata-rata usia 68
tahun dengan premorbid disfungsi organ. Berdasarkan sebuah studi di 68 rumah sakit di
Eropa yang menunjukkan pola infeksi intra abdomen, ditemukan bahwa 79% pasien
mengalami community acquired abdominal infections dan 21% lainnya merupakan
infeksi nosocomial. 82% dari keseluruhan infeksi nosocomial terjadi pada pasien
postoperative dan lebih dari 99% dari kelompok ini akibat dari kebocoran anastomosis. 14
Peritonitis yang paling umum dijumpai adalah peritonitis umum akut yang
merupakan patologi intra abdomen yang berpotensi mengancam jiwa. Jenis peritonitis
akut yang paling sering terjadi adalah peritonitis yang disebabkan oleh perforasi organ
intra abdomen dengan pravelensi mencapai 305 dari 1.000 kasus terlapor. Perforasi organ
yang paling umum terjadi adalah perforasi gastroduodenal, apendiks, dan ileum. 4
7
Apendisitis merupakan penyebab tersering peritonitis sekunder, terutama pada pasien
muda dengan komorbid rendah serta berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas
rendah.3 Pravelensi kematian pasca operasi sangat bervariasi, antara 8,4% hingga 34%
tergantung beberapa faktor.4
Faktor yang berperan antara lain usia pasien, komorbiditas kardiovaskuler, liver,
renal, dan penyakit neurologis, keterlambatan tatalaksana lebih dari 24 jam, ekstensi
peritonitis, dan sumber infeksi non apendikular.15 Sebuah studi oleh Koperna, et al
menunjukkan bahwa pasien dengan peritonitis seluruh kuadran pada saat pembedahan
memiliki mortalitas sebesar 36% dengan 19% mortalitas selama perawatan rumah sakit
(p=0.003).16
8
2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
2.4.1 Peritonitis
Berdasarkan etiologinya, peritonitis terbagi atas peritonitis primer dan sekunder.
Peritonitis primer mengacu pada kondisi peradangan spontan tanpa adanya patologi intra
abdomen yang mendasari atau riwayat cedera peritoneal yang diketahui. Sedangkan
peritonitis sekunder merupakan komplikasi dari kondisi intra abdominal aseptik atau
patologi septik yang sudah ada sebelumnya.9
Peritonitis secara umum disebabkan oleh infeksi bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), cairan empedu, infeksi tuberkulosis, klamidia,
diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial
dapat diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.17
a. Peritonitis bacterial
Peritonitis bacterial dapat bersifat primer, sekunder, tersier ataupun spontan.
Peritonitis bacterial primer terjadi akibat infeksi primer tanpa adanya riwayat trauma atau
tindakan pembedahan sebelumya.17 Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita
usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang berperan
pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi,
dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal
ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites. 12,18
Peritonitis bacterial sekunder merupakan proses infeksi dan peradangan
peritoneum akibat translokasi bakteri ke rongga peritoneum dari suatu perforasi isi
saluran cerna atau kontaminasi dari luar misalnya pada trauma tembus abdomen. 17
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat
hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Jenis kuman aerob dan anaerob yang paling
sering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.12
Peritonitis bacterial tersier timbul jika infeksi masih ada stelah pasien
mendapatkan terapi infeksi untuk peritonitis bacterial sekunder. Peritonitis tersier
memiliki tingkat mortalitas tinggi dengan masa rawatan intensif lebih lama dibandingkan
9
peritonitis bacterial sekunder tanpa komplikasi. Penyebab terbanyak kasus ini adalah
kuman Enterococcus sp., Candida sp., Staphylococcus epidermidis, dan Enterobacter sp.
Peritonitis bacterial sering terjadi pada pasien dengan penyakit kronis kritis seperti pasien
sirosis hepatis dengan asites, gagal ginjal kronik dengan hemodialisis peritoneal (CAPD),
dan sindroma nefrotik.17
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi
langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen atau infeksi saat
tindakan laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak
(misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma,
atau iatrogenik pada kasus leakage anastomosis); (3) melalui aliran darah dan/atau
translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi tanpa sumber infeksi
yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-hemolyticus primer dan pasien post
splenektomi, gagal hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya
penyebaran langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumokokus primer,
salpingitis akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus). 12
10
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda
dalam patogenesisnya. Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum
yang steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.11 Secara
fisiologis, tidak terjadi hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga
peritoneum. Jika terjadi kerusakan integritas dari traktur gastrointestinal akibat perforasi
organ, kanker, volvulus, dan lain-lain maka hubungan tersebut akan terjadi, sehingga
transmisi infeksi akan semakin meluas.13 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus
seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae serta bakteri gram negatif dan
anaerobik lainnya masuk dalam rongga peritoneum.19
Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram
negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan
reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum
(dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah
satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang
pada akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS
(Multiple Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan
cairan ke “rongga ketiga” yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan
tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome),
dimana dapat ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90
kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or
<4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi akut dalam rongga
abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristaltik
(ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat
pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik
menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol. 19
b. Peritonitis Kimiawi
Peritonitis kimiawi adalah peritonitis yang disebabkan langsung oleh zat kimia.
Penyebab peritonitis kimiawi adalah perforasi organ intra abdomen sehingga cairan di
dalam lumen keluar dan menyebabkan inflamasi pada peritoneum. Sebagai contoh ulkus
11
gaster, ulkus duodenum, perforasi apendiks, ekstravasasi cairan urin yang tidak terinfeksi
sebelumnya (akibat trauma buli), ekstravasasi cairan bilier (setelah operasi bilier). Bila
tatalaksana kondisi ini terlambat, dapat menyebabkan infeksi sekunder. Adanya
rangsangan peritoneum berupa defans muscular pada umumnya akan tampak jelas pada
pemeriksaan fisik. Selain itu, bukti adanya leukositosis dan syok memerlukan tindakan
operasi segera pada kasus peritonitis.17
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis
kimiawi umumnya akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam
akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus). Selain itu, peritonitis biliaris
merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat terjadi berbagai sumber
penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat
kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik. 12
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis tuberkulosis,
peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing. 12
12
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi Batu Kandung Empedu
Keganasan
Kista Duktus Koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia Inkarserata
Obstruksi Loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan apendiks Iskemia kolon
Divertikulitis
Keganasan
Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma
13
2.4.2 Perforasi Gaster
Etiologi sebagian besar perforasi gaster atau lambung adalah sekunder akibat
penyakit ulkus peptikum tetapi juga dapat disebabkan oleh trauma, keganasan, prosedur
intervensi, dan patologi lambung intrinsik atau dapat terjadi secara spontan pada bayi baru
lahir.3,10 Penyebab perforasi gaster diuraikan sebagai berikut:
a. Penyakit Ulkus Peptikum (PUD)
PUD adalah penyebab paling umum dari perforasi gaster. Karena kemajuan
manajemen medis, kejadian perforasi gaster terjadi pada kurang dari 10% pasien dengan
penyakit tukak lambung. Hal ini paling sering terjadi pada pasien usia lanjut yang
menggunakan NSAID dan pada pasien yang mengonsumsi alkohol berlebihan. Cairan
kimia yang disebabkan oleh perforasi ulkus gaster atau ulkus duodenum masuk ke rongga
peritoneum sehingga menyebabkan peritonitis kimiawi dan kemudian dapat
menyebabkan infeksi bakteri sekunder. Jika ulkus gaster pada dinding posterior merusak
dinding, sehingga isi lumen bocor ke kantung yang lebih kecil, yang cenderung
membatasi peritonitis. Pasien-pasien ini mungkin hadir dengan gejala yang kurang
jelas.21
b. Perforasi Gaster Spontan
Perforasi gaster spontan merupakan kejadian jarang terutama terlihat pada periode
neonatal, beberapa hari pertama kehidupan, sebagai penyebab pneumoperitoneum. Di
luar periode neonatal, perforasi jarang terjadi dan biasanya sekunder akibat trauma,
pembedahan, konsumsi kaustik, atau ulkus peptikum.21
c. Trauma
Perforasi traumatik lebih sering disebabkan oleh cedera tembus pada gaster,
meskipun perforasi dan ruptur organ dapat terjadi pada trauma tumpul abdomen yang
parah. Cedera abdomen dapat terjadi sehubungan dengan trauma tembus abdomen,
seperti luka tembak dan tusukan. Sekitar 8% dari cedera yang melibatkan abdomen, lima
persen merupakan cedera akibat trauma. Dengan luka tembus, dinding anterior dan
posterior lambung dapat terluka, dan dinding posterior organ harus selalu terlihat pada
saat pembedahan. Dengan trauma tumpul pada daerah abdomen bagian atas, gaster bisa
teriris, atau bahkan bisa pecah jika terisi penuh dan menggelembung pada saat cedera
14
terjadi. Gaster relatif terlindungi oleh lokasi anatomisnya dan merupakan organ berongga
intra-abdomen ketiga yang paling sering mengalami cedera setelah usus halus dan usus
besar.22
d. Perforasi Gaster Akibat Keganasan
Neoplasma dapat melubangi dengan penetrasi langsung atau nekrosis dan akibat
obstruksi. Perforasi yang berhubungan dengan tumor juga dapat terjadi secara spontan
setelah kemoterapi atau akibat pengobatan radiasi. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan
intervensi seperti penempatan stent untuk obstruksi gaster ganas.3
e. Iatrogenik
Gaster mungkin dapat mengalami cedera akibat beberapa prosedur
pembedahan. Endoskopi bagian atas adalah penyebab utama perforasi iatrogenik. Insiden
perforasi yang berhubungan dengan endoskopi meningkat dengan kompleksitas
prosedural dan perforasi lebih jarang terjadi pada diagnostik dibandingkan dengan
prosedur terapeutik. Gaster bagian proksimal memiliki risiko terbesar karena di sinilah
dindingnya paling tipis. Tingkat perforasi keseluruhan adalah 0,11% untuk endoskopi
kaku dibandingkan dengan 0,03% untuk endoskopi fleksibel. Perforasi iatrogenik lebih
sering terjadi pada pasien dengan patologi lambung yang sudah ada sebelumnya. Ruptur
gaster karena insuflasi yang berlebihan dapat terjadi selama endoskopi atau bahkan
prosedur yang tidak terkait, seperti resusitasi kardiopulmoner, dan biasanya terletak di
kurva yang lebih rendah, di mana organ paling tidak dapat diregangkan. 23
15
2.5 DIAGNOSIS
Gambar 2.5 Gambaran CT-Scan Pasien dengan Peritonitis dan Perforasi Gaster
18
Diagnosis dikonfirmasi oleh pencitraan rontgen menunjukkan udara bebas
intraperitoneum. Awalnya dapat dimulai dari foto polos abdomen. Beberapa petunjuk lain
meliputi terbatasnya air-fluid-level pada lambung dan gas pada usus distal. Sensitivitas
foto polos dalam deteksi udara bebas eksta lumen mencapai 50-70%.27 Pemeriksaan foto
polos abdomen yang menunjukkan terjadinya peritonitis dapat ditandai oleh :
• Penebalan dinding usus akibat edema
• Adanya gambaran udara bebas (free air)
• Bayangan peritoneal fat line kabur akibat dari infiltrasi sel radang
• Udara usus yang merata, membedakan dengan ileus obstruktif
• Eksudasi cairan ke rongga peritoneum yang berhubungan dengan perlunya koreksi
cairan dan elektrolit.
Gambar 2.6 Gambaran Foto Polos Abdomen 3 Posisi pada Pasien Peritonitis akibat
Perforasi Gaster
19
USG dapat menjadi modalitas dengan potensi baik untuk identifikasi
pneumoperitoneum dan adanya perforasi organ abdomen.14
Gambar 2.7 Gambaran USG pasien Peritonitis dengan gambaran free air dan perforasi
gaster.26
Gambar 2.8 Beberapa pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan pada Kasus
Peritonitis beserta Derajat Sensitivitas dan Spesifisitasnya. 14
20
2.6 TATALAKSANA
21
tindakan pembedahan dan bersifat life-saving.2 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat
“early and definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder,
tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.
Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk
prognosis.5
Beberapa pilihan regimen antibiotik yang direkomendasikan antara lain gabungan
dari golongan penicillin / β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4 x 3,1 gram
intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1 x 750 mg intravena), atau
sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena) dengan metronidazole
3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x500 mg intravena atau meropenem 3x1 gram intravena). 5 Pemberian
antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung jenis
batang < 3%.3 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk dilakukan,
target resusitasi, antara lain mean arterial pressure > 65 mmHg, dan urine output >
0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).
Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus
dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. Pada pasien penurunan kesadaran
dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.2,5
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi
(koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis. 12
Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga
abdomen yang adekuat dan komplit. Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai
bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi atau repair. Pada perforasi kolon lebih
aman dipasangkan stoma usus sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus
di kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik). 3
Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline hangat (> 3L)
dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan
mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-akumulasi dari pus).5,12,14 Tidak
direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia lainnya.
Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup
22
dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa
basah selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat
dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-
abdomen.29
Peritonitis yang disebabkan oleh perforasi gaster membutuhkan tambahan anti
nyeri intravena dan Proton Pump Inhibitor jika dibutuhkan. Menejemen pembedahan
menjadi tatalaksana utama pada perforasi gaster. Pembedahan baik secara terbuka
maupun laparaskopi emergensi hampir diindikasikan bagi semua kasus. Menejemen
pembedahan antara lain :30,31
• Primary repair: defek ditutup secara primer menggunakan simpul penjahitan. Teknik
ini dugunakan pada kasus perforasi traumatik
• Graham patch repair: Defek ditutup sederhana menggunakan pedikel omentum yang
tervaskularisasi dengan baik
• Modified Graham patch repair: Penutupan primer defek dan ditambahkan flap
omentum
• Wedge resection: Area perforasi mungkin direseksi dari jaringan normal sekutarnya,
terutama apabila terjadi pada kurvatura mayor dan jauh dari gastreesophageal
junction atau pilorus
Rekosntruksi yang dapat dilakukan antara lain :30,31
• Bilroth I: Gatroduodenostomi, yakni anastomosis antara gaster sisa dengan
duodenum.
• Bilroth II: Gastrojejunostomi, yakni anastomosis tipe side to side antara sisa gaster
dengan jejunum dan penutupan duodenal stump.
• Roux-en-Y gastrojejunostomy: Pembentukan jejuno-jejunostomi dengan figurasi Y
pada usus halus.
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi lain yang dapat muncul pada kasus peritonitis adalah adhesi dan syok
sepsis. Adhesi dari organ - organ intra abdomen dapat menyebabkan obstruksi usus dan
volvulus. Penilaian suspek sepsis pada pasien dengan infeksi yang tidak dirawat dalam
23
ICU dapat dilakukan dengan Quick Sepsis-related Organ Failure Assesment (qSOFA).
qSOFA terdiri dari variabel takipnea ≥ 22 kali permenit, perubahan status kesadaran
dengan GCS < 15, dan hipotensi dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setiap
variabelnya memiliki poin satu dan total poin 0 atau 1 memiliki risiko yang rendah dan
pasien dapat ditangani dengan manajemen yang sesuai. Namun, total poin 2 atau 3
diasosiasikan dengan tingkat mortalitas lebih dari 10% dan pasien harus ditangani dengan
evaluasi tanda - tanda adanya disfungsi organ. Untuk menilai disfungsi organ secara lebih
lanjut dan kemungkinan sepsis dapat dilakukan Sepsis-related Organ Failure Assesment
(SOFA).32
2.8 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada peritonitis secara umum bervariasi mulai dari 10%-40%
pada perforasi gastrointestinal. Faktor yang mempengaruhi tingginya mortalitas adalah
etiologi dan durasi penyakit, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien,
dan keadaan umum pasien. Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi atau ulkus appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri yang
minim, dan penegakkan diagnosis dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II
atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum albumin
24
preoperatif yang rendah merupakan resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif
(ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.33
25
BAB III
LAPORAN KASUS
26
Riwayat Pemakaian Obat : Inj. Ranitidin 1 amp, Paracetamol 500 mg (di RS
Pertamina). Pasien lupa nama obat yang selama ini
dikonsumsi di rumah secara rutin.
Kepala Normosefali
27
Gigi dan Mulut Bibir tampak normal, tidak ada sianosis. Lidah tidak terdapat
bercak putih, gigi tidak berlubang
Perkusi: Sonor
Hematologi
28
Hematokrit 38,5 37-47 %
Neutrofil 88,7 %
Limfosit 8,7 %
Hematologi
29
3.6 Pemeriksaan EKG
30
Gambar 3.7.1 Foto Polos Abdomen 3 Posisi (26/1/2023)
Pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi pada tanggal 26 Januari 2023
dijumpai adanya udara bebas berbentuk bulan sabit di bawah diafragma pada
pemeriksaan foto polos abdomen posisi erect (cresent sign). Pada posisi LLD tampak
gambaran cross table abdominal. Pada posisi supine, adanya udara bebas di
intraperitoneal menyebabkan permukaan ventral hepar akan menjadi lebih radiolusen
(brightness) yang dikenal dengan hyperlucent liver sign. Psoas line dan pre-peritoneal fat
line tampak menghilang.
Kesan :
Pneumoperitoneum
Peritonitis ec Perforasi Organ
3.8 Diagnosis
Peritonitis ec Perforasi Organ + Sepsis
31
3.9 Tatalaksana
A. Terapi Medikamentosa
IVFD Ringer Lactat 20 tetes per menit
Inj. Cefobactam 1 gr / 12 jam (skintest)
Inj. Metronidazol 500 mg / 8 jam
Inj. Santagesic 1 gr / 8 jam
Inj. Omeprazole 40 mg / 12 jam
B. Terapi Non-Medikamentosa
Puasa
Pasang NGT
Pasang Kateter
Rencana Laparotomi Eksplorasi Cyto
32
3.10 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari ulasan anamnesis, pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh
permukaan perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri awalnya hanya
memberat pada bagian ulu hati dan kiri atas, namun dalam beberapa jam meluas sehingga
seluruh permukaan perut. Keluhan ini disertai perut terasa keras dan kembung. Pasien
juga mengeluhkan mual muntah yang sudah dirasakan 1 hari ini dengan frekuensi muntah
2 kali per hari, berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi. Sebelumnya pasien
mengaku sudah sering mengalami nyeri ulu hati, mual, dan muntah, namun saat ini
keluhan tidak berkurang walaupun sudah minum obat. BAB terakhir tadi pagi, flatus ada.
BAK dalam batas normal. Pasien memiliki riwayat penyakit gastritis dan sefalgia sejak
usia muda dan rutin minum obat antinyeri. Pasien juga memiliki kebiasaan makan tidak
teratur dan merokok.
Pada pemeriksaan tanda vital dijumpai kesadaran kompos mentis dengan tekanan
darah 130/86 mmHg, nadi 103 kali per menit, pernafasan 23 kali per menit, suhu 37,6 0C,
dan saturasi oksigen 97%. Pada pemeriksaan fisik pasien tampak kesakitan berat dengan
permukaan abdomen tampak defans muscular, bising usus menurun, perkusi
hipertimpani, dan nyeri pada seluruh lapangan abdomen yang memberat pada bagian
epigastrium.
Dari uraian anamnesis dan pemeriksaan fisik diduga pasien mengalami peritonitis.
Peritonitis merupakan inflamasi pada peritoneum yang ditandai dengan adanya nyeri pada
seluruh lapangan abdomen disertai adanya defans muscular. Nyeri pada awalnya
terlokalisir pada daerah epigastrium, namun dalam beberapa jam menyebar ke seluruh
lapangan abdomen. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya
terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang
terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga
berfungsi menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle
34
guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal wall) atau defans muscular. Di sisi lain,
iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang
serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral
terstimulasi, sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain
lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik
(struktur hindgunt).3
Penyebab peritonitis terbagi atas peritonitis primer dan sekunder. Pasien ini diduga
mengalami peritonitis sekunder akibat perforasi organ intra abdomen. Pada peritonitis
sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap mikroorganisme
yang berasal dari traktus gastrointestinal.11 Untuk menegakkan diagnosa tersebut,
diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil adanya leukositosis dengan peningkatan
neutrophil (shift to the left). Pada pemeriksaan radiologi menggunakan foto polos
abdomen 3 posisi dijumpai adanya udara bebas berbentuk bulan sabit di bawah diafragma
pada pemeriksaan foto polos abdomen posisi erect (cresent sign). Pada posisi LLD
tampak gambaran cross table abdominal. Pada posisi supine, adanya udara bebas di
intraperitoneal menyebabkan permukaan ventral hepar akan menjadi lebih radiolusen
(brightness) yang dikenal dengan hyperlucent liver sign. Psoas line dan pre-peritoneal fat
line tampak menghilang. Tampak kesan pneumoperitoneum dengan peritonitis et causa
perforasi organ. Sehingga pada pasien ini didiagnosa dengan peritonitis dengan suspek
perforasi organ.
Pasien juga memiliki riwayat penyakit gastritis dan sefalgia sebelumnya. Selama
ini mengeluhkan mual dan muntah. Pasien rutin mengkonsumsi obat lambung dan
antinyeri serta memiliki kebiasaan merokok sejak lama. Berdasarkan riwayat tersebut,
diduga pasien mengalami perforasi gaster dengan riwayat adanya ulkus peptikum
sebelumnya. Hal ini diperkuat dengan keluhan pasien yang awalnya merasakan nyeri
pada bagian epigastrium yang kemudian menyebar ke seluruh lapangan abdomen.
Perforasi gaster merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan destruksi pada
dinding gaster yang mengakibatkan adanya hubungan antara lumen gaster dan kavitas
peritoneum. Gaster biasanya tidak memiliki mikroorganisme karena tingkat keasamannya
35
yang tinggi. Mayoritas individu yang mengalami perforasi gaster tidak berisiko untuk
pertumbuhan bakteri secara langsung. Kebocoran cairan asam di rongga peritoneum
dapat menyebabkan peritonitis kimiawi. Beberapa jam setelah perforasi pasien akan
mengalami nyeri perut akut dan tanda-tanda peritonitis. Trias klasik penanda perforasi
ulkus peptikum ditandai dengan nyeri abdomen secara tiba-tiba, takikardi, dan adanya
kekakuan dinding abdomen (rigid wall abdomen).35,36 Tiga gejala dari trias klasik ini
seluruhnya ditemukan pada pasien ini.
Pasien juga mengalami sepsis yang ditandai dengan terpenuhnya 3 dari 4 kriteria
SIRS (Systemic Inflammatory Response Score) yaitu temperatur < 36 oC atau > 38 oC,
respiratory rate > 20 kali per menit, Heart rate > 90 kali per menit dan peningkatan
leukosit > 12.000 / mm3. Selain itu, diagnosis sepsis juga dapat dinilai dari kriteria
qSOFA yang terdiri dari variabel takipnea ≥ 22 kali permenit, perubahan status kesadaran
dengan GCS < 15, dan hipotensi dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Setiap
variabelnya memiliki poin satu dan total poin 0 atau 1 memiliki risiko yang rendah dan
pasien dapat ditangani dengan manajemen yang sesuai.6 Pada pasien ini dijumpai adanya
takipneu dengan risiko rendah mortalitas, namun harus ditangani secara cepat dan tepat.
Pasien dalam laporan kasus ini didiagnosis dengan peritonitis et causa perforasi
gaster dan sepsis, kemudian dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi cyto. Laparotomi
dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab munculnya pneumoperitoneum dan juga
sebagai prosedur terapeutik dengan cara menutup organ yang mengalami perforasi. 6 Hasil
laparotomi didapatkan pasien mengalami perforasi gaster pada bagian pilorus. Penelitian
mengenai karakteristik klinis pasien perforasi gaster didapatkan bahwa sebanyak 41 dari
total 75 pasien mengalami perforasi pada bagian antrum dan pilorus. Sebanyak 25 kasus
pada duodenum, 8 kasus pada corpus, dan 1 kasus pada cardia.7
Pasien yang mengalami peritonitis dengan perforasi gaster harus diperbaiki
keadaan umumnya sebelum dilakukan operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit,
pemasangan Nasogastric Tube (NGT) dan pemberian antibiotik mutlak diperlukan.
Laparotomi segera dilakukan setelah upaya tersebut dikerjakan. 17 Pasien ini diberikan
guyur RL 1000 cc kemudian dilanjutkan cairan maintenance 20 tetes per menit untuk
memenuhi kebutuhan cairannya sementara pasien dipuasakan. Kateter urin
36
memungkinkan pemantauan ketat urin output. Antibiotik spektrum luas telah terbukti
mengurangi risiko infeksi luka.3 Antibiotik spektrum luas yang diberikan adalah injeksi
Cefobactam 2x1 gram secara intravena dan Metronidazole 3x500 mg secara intravena,
yang berfungsi mengatasi leukositosis yang terjadi pada pasien ini. Kemudian diberikan
injeksi Santagesic 3x1 gram secara intravena sebagai anti nyeri dan agen antipiretik.
Peritonitis yang disebabkan oleh perforasi gaster membutuhkan tambahan Proton Pump
Inhibitor, sehingga diberikan injeksi omeprazole 2x40 mg secara intravena.
Menejemen pembedahan menjadi tatalaksana utama pada perforasi gaster.
Pembedahan baik secara terbuka maupun laparaskopi emergensi hampir diindikasikan
bagi semua kasus.30,31 Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab
dari kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.12 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar
eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit. Secara umum, kontrol dan koreksi
etiologi tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi atau repair. Pada
perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus sementara sebelum dilakukan
tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum
pasien membaik).3 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline
hangat (> 3 liter) dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi
bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-akumulasi dari pus).5,12,14
Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia
lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia
ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan
kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat
dilakukan (delayed primary closure technique).29
37
BAB V
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar D, Garg I, Sarwar AH, et al. Causes of Acute Peritonitis and Its
Complication. Cureus. 2021;13(5):e15301. Published 2021 May 28.
doi:10.7759/cureus.15301
3. Sigmon DF, Tuma F, Kamel BG, et al. Gastric Perforation. [Updated 2022 Jun
27]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519554/
5. Inukai, K., Usui, A., Yamada, M. et al. Open abdominal management for
perforative peritonitis with septic shock: a retrospective analysis on usefulness of
a standardized treatment protocol. Eur J Trauma Emerg Surg 47, 93–98 (2021).
https://doi.org/10.1007/s00068-019-01132-2
7. Choi YS, Heo YS, Yi JW. Clinical characteristics of primary repair for perforated
peptic ulcer: 10-year experience in a single center. J Clin Med. 2021;10(8).
10. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition.
Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
39
13. Tochie JN, Agbor NV, Frank Leonel TT, Mbonda A, Aji Abang D, Danwang C.
Global epidemiology of acute generalised peritonitis: a protocol for a systematic
review and meta-analysis. BMJ Open. 2020;10(1):e034326. Published 2020 Jan
8. doi:10.1136/bmjopen-2019-034326
14. Ross JT, Matthay MA, Harris HW. Secondary peritonitis: principles of diagnosis
and intervention. BMJ. 2018;361:k1407. Published 2018 Jun 18.
doi:10.1136/bmj.k1407
15. Enchev, E., et al. “Current Approaches in Diagnosis and Treatment of Patients
with Peritonitis.” Trakia Journal of Sciences, vol. 18, no. Suppl.1, 2020, pp. 110–
113., https://doi.org/10.15547/tjs.2020.s.01.019.
19. Paryani JJ, Patel V, Rathod G. Etiology of Peritonitis and Factors Predicting.
2013;4(1).
20. Chen TY, Liu HK, Yang MC, Yang YN, Ko PJ, Su YT, Huang RY, Tsai CC.
Neonatal gastric perforation: a report of two cases and a systematic
review. Medicine (Baltimore). 2018 Apr;97(17):e0369. [PMC free article]
[PubMed]
22. Sekiya K, Mori S, Otomo Y. Coin pica-induced gastric perforation resulting from
ingestion of 1,894 coins, 8 kg in total: case report and review of published
works. Acute Med Surg. 2018 Apr;5(2):177-180. [PMC free article] [PubMed]
23. Verma A, Shahid MH, Boldt JW. Gastric perforation following cardiopulmonary
resuscitation. Intensive Care Med. 2018 Oct;44(10):1752-1753. [PubMed]
40
24. Daley B. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape. 2017. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/180234-overview
26. Memon AA, Siddiqui FG, Abro AH, et al. An audit of secondary peritonitis at a
tertiary care university hospital of Sindh Pakistan. World J Em Surgery, 2012.
7(1): 6. doi:10.1186/1749-7922-7-6
27. van Baal JO, Van de Vijver KK, Nieuwland R, van Noorden CJ, van Driel WJ,
Sturk A, Kenter GG, Rikkert LG, Lok CA. The histophysiology and
pathophysiology of the peritoneum. Tissue Cell. 2017 Feb;49(1):95-105.
28. Inukai, K., Usui, A., Yamada, M. et al. Open abdominal management for
perforative peritonitis with septic shock: a retrospective analysis on usefulness of
a standardized treatment protocol. Eur J Trauma Emerg Surg 47, 93–98 (2021).
https://doi.org/10.1007/s00068-019-01132-2
30. Melmer PD, Banks T, Holmes S, Sciarretta JD, Davis JM. Gastroduodenal
Surgery: A Persistent and Continuing Challenge. Am Surg. 2018 Jul
01;84(7):1204-1206.
32. Marik P, Taeb A. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. Journal of Thoracic
Disease. 2017;9(4):943-945.
33. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855.
34. Tansakul, Varisara, et al. “Prediction of Sepsis and in-Hospital Mortality Using
Electronic Health Records.” Methods of Information in Medicine, vol. 57, no. 04,
2018, pp. 185–193., https://doi.org/10.3414/me18-01-0014.
35. Mannana A, Tangel SJC, Prasetyo E. Diagnosis Akut Abdomen akibat Peritonitis.
e-CliniC. 2021;9(1):33–9.
36. Haspari TM. Penatalaksanaan Pasien Bedah Saluran Cerna (Perforasi Gaster) di
Rumah Sakit Emanuel Banjarnegara. J Nutr Heal. 2021;9(2):8–12.
41