Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

“ASUHAN KEPERAWATAN PERITONITIS”

Nama :
Donny Prastyo
Tingkat II A Reguler
Dosen Pembimbing : S.Haeryanto, SKM., M.Kep.

PRODI KEPERAWATAN KIMIA 17


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
2013

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Sang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, berkat Ridho Nya,
penulis akhirnya mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN PERITONITIS”.

Dalam menyusun makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis alami,
namun berkat dukungan, dorongan dan semangat dari orang terdekat, sehingga penulis mampu
menyelesaikannya. Oleh karena itu penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada :

1. Ns. Sunardi, M.Kep., Sp.KMB selaku Penanggung Jawab Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah I.

2. Bapak S.Haeryanto, SKM., M.Kep. selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Keperawatan
Medikal Bedah I.

3. Ibu dan Ayah, atas semua doa dan bantuan finansial untuk menyelesaikan makalah ini.

4. Teman-teman yang telah memberikan semangat dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu
segala kritikan dan saran yang membangun akan penulis terima dengan baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aminn.
Jakarta, September 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2
BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG 3

B. TUJUAN PENULISAN 3

C. SISTEMATIKA PENULISAN 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI ATAU PENGERTIAN 5
2. JENIS/KLASIFIKASI/STADIUM 6
3. PATOFISIOLOGI 7
4. TANDA DAN GEJALA 9
5. KOMPLIKASI 11
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 12
7. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN 12

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN 15
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 18
3. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI 18
4. DISCHARGE PLANNING ATAU CONTINUING CARE 25
5. EVALUASI 26

BAB III. PENUTUP

A. KESIMPULAN 27

B. SARAN 27

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan
intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat


penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun,
dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan
analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis
selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga
oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera
langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.

B. Tujuan Penulisan.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan peritonitis

2. Untuk mengetahui jenis atau klasifikasi peritonitis

3. Untuk mengetahui patofisiologi peritonitis

4. Untuk mengetahui tanda dan gejala peritonitis

5. Untuk mengetahui komplikasi dari peritonitis

6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostic dari peritonitis

7. Untuk mengetahui penatalaksanaan atau pengobatan peritonitis


C. Sistematika Penulisan.

Pada makalah Peritonitis ini dimulai dengan bab 1 Pendahuluan, yang berisi latar belakang,
tujuan penulisan dan sitematika penulisan. Bab 2 Tinjauan Pustaka berisi konsep dasar yang
terdiri dari definisi atau pengertian, jenis/klasifikasi/stadium, patofisiologi, tanda dan gejala,
komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan atau pengobatan serta Asuhan
Keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, discharge planing, dan
evaluasi. Bab III Penutup berisi kesimpulan dan saran.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar.

1. Definisi atau Pengertian Peritonitis.


Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan oleh
infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan atau pada
organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley, 2000).
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu membran yang melapisi rongga
abdomen (Corwin, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau sekunder,
akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasita peritoneal oleh bakteri
atau kimia (Marylinn E,doenges, 1999 hal:513)
Peritonitis adalah peradangan pada semua bagian peritonium. Ini berarti baik
perritoneum parietal, yaitu membran yang melapisi dinding abdomen, mauoun
peritoneum viseral, yang terletak di atas visera atau organ-organ internal, meradang. (
WHO.2002:63)
Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang
melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnya.

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga abdomen


dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk
akut maupun kronis / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.

Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang bersifat epitelial. Pada


permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelm. Diantara
kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron.

Peritonitis adalah peradangan pada peritonitis yang merupakan pembungkus


visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif
dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.

Enteron di daerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal, dan
ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut menjadi
peritonium.Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa)

2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis

3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis

Peritonitis dapat berasal dari penyebaran melalui pembuluh limfe uterus, para
metritis yang meluas ke peritoneum, salpingo-ooforitis meluas ke peritoneum atau
langsung sewaktu tindakan perabdominal.
Peritonitis adalah infeksi nifas yang dapat menyebar melalui pembuluh limfe yang
berada di dalam uterus langsung mencapai peritoneum.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, selaput tipis yang melapisi dinding
abdomen dan meliputi organ-organ dalam. Kasus peritonitis akut yang tidak
tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini penanganan peritonitis dan abses
peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang berhubungan juga dengan
perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi suportif untuk
mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ.

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


a. bentuk primer (i.e. spontan),
b. sekunder (i.e. terkait proses patologi pada organ visceral),
c. tertier (i.e. infeksi persisten atau recurrent setelah terapi inisial).
d. Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi :
e. generalized (peritonitis),
f. localized (abses intra abdomen).
Peritonitis nifas bisa terjadi karena meluasnya endometritis, tetapi dapat juga
ditemukan bersama-sama dengan salpingo-ooforitis dan sellulitis pelvika. Peritonitis,
yang tidak menjadi peritonitis umum, terbatas pada daerah pelvis. Penderita demam,
perut bawah nyeri, tetapi keadaan umum tetap baik.

2. Jenis atau Klasifikasi atau Stadium Peritonitis.


Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Peritonitis Bakterial Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah pasien
dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.
b) Peritonitis Bakterial Akut Sekunder (Supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organism tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
1) Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.
2) Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh
bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
3) Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c) Peritonitis tersier, misalnya:
Peritonitis yang disebabkan oleh jamur, seperti Peritonitis yang sumber kumannya
tidak dapat ditemukan.Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung,
seperti misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d) Bentuk lain dari peritonitis:
1) Aseptik/steril peritonitis.
2) Granulomatous peritonitis.
3) Hiperlipidemik peritonitis.
4) Talkum peritonitis.

3. Patofisiologi Peritonitis.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta
muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit
dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk
keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang
disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini
timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan
peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian
menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi,
belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat asam
garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi
dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari
organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon
yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat.
Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

4. Tanda dan Gejala Peritonitis.


1. Menurut Price, 1995 : 402
– Sakit perut (biasanya terus menerus)
– Mual dan muntah
– Abdomen yang tegang, kaku, nyeri
– Demam dan leukositosis
– Dehidrasi
2. Menurut C. Long 1996 : 228
– Kemerahan
– Edema
– Dehidrasi

3. Menurut Mubin 1994 : 276


– Pasien tidak mau bergerak
– Perut kembung
– Nyeri tekan abdomen
– Bunyi usus berkurang/menghilang
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi
atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic),
penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
Tanda gejala yang lain juga terjadi :
1) Nyeri seluruh perut spontan maupun pada palpasi
2) Demam menggigil
3) Pols tinggi, kecil
4) Perut gembung tapi kadang-kadang ada diarrhea
5) Muntah
6) Pasien gelisah, mata cekung
7) Pembengkakan dan nyeri di perut
8) Demam dan menggigil
9) Kehilangan nafsu makan
10) Haus
11) Mual dan muntah
12) Urin terbatas
13) Bisa terdapat pembentukan abses.
14) Sebelum mati ada delirium dan coma

Peritonitis yang tidak menjadi peritonitis umum, terbatas pada daerah pelvis
tanda dan gejalanya ; demam, Perut bawah nyeri, keadaan umum tetap baik, pada
pelvioperonitis bisa terdapat pertumbuhan abses, nanah yang biasanya terkumpul
dalam kavum douglas harus dikeluarkan, ibu dengan peronitis dapat mengalami
gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan
syok sepsis. Pada pelvioperitonitis bisa terdapat pertumbuhan abses. Nanah yang
biasanya terkumpul dalam kavum douglas harus dikeluarkan dengan kolpotomia
posterior untuk mencegah keluarnya melalui rektum atau kandung kencing.
Diagnosis peritonitis ditegakan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneun
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-
tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien
yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi, nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maksimum
ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekainsme antisipasi penderita secara tidak sadar utnuk menghindari palpasinya
yang meyakinakan/tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan
nyeri akibat pelvic inflammatory disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa
jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes
berat, penggunaan steroid, pascatranspalntasi, atau hiv), penderita dengan
penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, enselofati toksik, syok sepsis, atau
penggunaan analgesik), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
Peritonitis umum disebabkan oleh kuman yang sangat patogen dan
merupakan penyakit berat. Suhu meningkat menjadi tinggi, nadi cepat dan kecil,
perut kembung dan nyeri, ada defense musculaire. Muka penderita, yang mula-
mula kemerah-merahan, menjadi pucat, mata cekung, kulit muka dingin; terdapat
apa yang dinamakan facies hippocratica. Mortalitas peritonitis umum tinggi.

5. Komplikasi Peritonitis.
Menurut Chushieri komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut
sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan
lanjut, yaitu :
a) Komplikasi dini
1) Septikemia dan syok septic
2) Syok hipovolemik
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system
4) Abses residual intraperitoneal
5) Portal Pyemia (misal abses hepar)
b) Komplikasi lanjut
1) Adhesi

2) Obstruksi intestinal rekuren

6. Pemeriksaan Diagnostik Peritonitis.

Tes diagnostik untuk peritonitis dapat mencakup:

1) Tes darah dan urin (leukositosis, hematokrit meningkat, asidosis


metabolik)
2) Studi pencitraan seperti X-ray dan scan computerized tomography (CT),
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3) Exploratory surgery (Eksplorasi bedah).

7. Penatalaksanaan atau Pengobatan Peritonitis.


a. Penatalaksanaan Peritonitis.

Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai


berikut :

1) Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari


penatalaksanaan medik.

2) Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.


3) Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.

4) Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi
ventilasi.

5) Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga


diperlukan.

6) Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).

7) Tujuan utama tindakan bedah adalah untuk membuang materi penginfeksi


dan diarahkan pada eksisi, reseksi, perbaikan, dan drainase.

8) Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.

b. Pengobatan Peritonitis.
Antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi
nifas. Adanya antibiotika sangat merubah prognosa infeksi puerperalis dan
pengobatan dengan obat-obat lain merupakan usaha yang terpenting.
Dalam memilih satu antibiotik untuk mengobati infeksi, terutama infeksi yang
berat harus menyandarkan diri atas hasil test sensitivitas dari kuman penyebab.
Tapi sambil menunggu hasil test tersebut sebaiknya segera memberi dulu salah
satu antibiotik supaya tidak membuang waktu dalam keadaan yang begitu gawat.
Pada saat yang sekarang peniciline G atau peniciline setengah syntesis
(ampisilin) merupakan pilihan yang paling tepat karena peniciline bersifat
baktericide (bukan bakteriostatis) dan bersifat atoxis. Sebaiknya diberikan
peniciline G sebanyak 5 juta S tiap 4 jam jadi 20 juta S setiap hari. Dapat
diberikan sebagai iv atau infus pendek selama 5-10 menit.
Dapat juga diberikan ampiciilin 3-4 gr mula-mula iv atau im. Staphylococ
yang peniciline resisten, tahan terhadap penicilin karena mengeluarkan
penicilinase ialah oxacilin, dicloxacilin dan melbiciline.
Di samping pemberian antibiotic dalam pengobatannya masih diperlukan
tindakan khusus untuk mempercepat penyembuhan infeksi tersebut.
Karena peritonitis berpotensi mengancam kehidupan. Penderita disarankan
mendapat perawatan di rumah sakit.
Secara jelas, penatalaksanaan pada peritonitis yaitu ;
1) Bila peritonitismeluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok
dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan
vena yang berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti
elektrolit dan kehilangan protein. Lakukan nasogastric suction melalui
hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus.
2) Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:
a) Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5
mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV
setiap 8 jam

b) Antibiotik harus diberikan dalam dosis yang tinggi untuk


menghilangkan gembung perut di beri Abot Miller tube.

3) Pasien biasanya diberi sedative untuk menghilangkan rasa nyeri.


Minuman dan makanan per os baru di berikan setelah ada platus.
4) Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan.

5) Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah


peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor
adalah insisi dan drainase terhadap abses.

Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan


(laparotomi eksplorasi). Pertimbangan dilakukan pembedahan :
a) Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri
tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani).
b) Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi
usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri
mesenterika.
c) Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
d) Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

a) Mengeliminasi sumber infeksi.

b) Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal

c) Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Therapi (Instruksi Dokter) dan asuhan(dikerjakan bidan) yang diberikan antara


lain:
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama. Analgesik diberikan
untuk mengatasi nyeri antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan
muntah. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan
okesigenasi secara adekuat, tetapi kadang- kadang inkubasi jalan napas dan bentuk
ventilasi diperlukan.Tetapi medikamentosa non- operatif dengan terapi antibiotik,
terapi hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolik dan terapi
modulasi respon peradangan.
Jika pasien harus dilakukan operasi maka, asuhan keperawatan/kebidanan selama
masa pra, intra, post operatif maka tindakan bidan atau perawat harus memahami
tahapan- tahapan yang dilakukan pada seorang pasien, tahapan tersebut, mencakup
tiga fase yaitu :
a) Fase pra-operatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan
untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien digiring ke meja operasi.
Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan
pengkajian data dasar pasien yang datang di klinik, rumah sakit atau di rumah,
menjalani wawancara pra-operatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang
diberikan dan pembedahan. Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi
hingga melakukan pengkajian pasien pra-operatif ditempat ruang operasi
b) Fase intra-operatif dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien masuk
atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas
keperawatan dapat meliputi : memasang infus (IV), memberikan medikasi melalui
intervena sesuai Instruksi Dokter, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh
sepanjang prosedur pembedahandan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa
contoh, aktivitas keperawatan terbatas hanya pada menggemban tangan pasien
selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya sebagai perawat scub,
atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
menggunakan prinsip- prinsip dasar kesejajaran tubuh
c) Fase pasca-operatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah. Lingkup
keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase
pasca-operatif langsung, fokus terhadap mengkaji efek dari agen anastesia dan
memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak
lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi
diikuti dengan pemulangan. Setiap fase ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini.
Kapan berkaitan dan memungkinkan proses keperawatan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.

B. Asuhan Keperawatan.

1. Pengkajian.

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).

a. Identitas Klien: meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, suku, pekerjaan dan
pendidikan peritonitis biasanya lebih sering terjadi pada usia dewasa.
b. Riwayat Kesehatan.
a) Keluhan utama: Klien dengan Peritonitis biasanya mengeluhkan perut
kembung, disertai mual dan muntah serta demam.
b) Riwayat penyakit sekarang:
Sebagian besar atau penyebab terbanyak peritonitis adalah infeksi sekunder dari
apendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, typhus abdominalis, klien
biasanya nampak lemah dengan disertai demam dan mual, muntah.
c) Riwayat penyakit dahulu:
Klien dengan peritonitis sering terdapat riwayat penyakit saluran cerna atau organ
dalam pencernaan.
d) Riwayat penyakit keluarga :
Tidak terdapat korelasi kasus pada anggota keluarga terhadap kejadian peritonitis.

c. Pemeriksaan fisik.
B1 (Breath)
Klien dengan peritonitis bisanya menampakkan gejala dispneu, nafas dangkal dan
cepat, Ronchi (-), whezing (-), perkusi sonor, taktil fremitus tidak ada gerakan
tertinggal.
B2 (Blood)
Biasanya menampakkan adanya peningkatan nadi, penurunan tekanan darah (pre
syok), perfusi dingin kering, suara jantung normal, S1/S2 tunggal, perkusi pekak
pada lapang paru kiri ICS 3-5, iktus kordis ICS 4-5, balance cairan deficit.
B3 (Brain)
Klien nampak lemah, biasanya mengalami penurunan kesadaran, convulsion (-),
pupil isokor, lateralisasi (-).
B4(Bladder)
Klien nampak mengalami penurunan nafsu makan dan minum,
oliguri,distensi/retensi (-).
B5 (Bowel)
Klien nampak mengalami penurunan nafsu makan, abdomen nampak distended,
bising usus dan peristaltik usus menurun, perubahan pola BAB, klien nampak
mual dan muntah.
B6 (Bone)
Klien dengan peritonitis biasanya nampak letih dan lesu, klien nampak bedrest,
mengalami penurunan masa dan kekuatan otot.

d. Pemeriksaan Penunjang.
1. Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
2. X-Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan : Illeus
merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar
dilatasi, udara bebas (air fluid level) dalam rongga abdomen terlihat pada kasus
perforasi.

e. Masalah Keperawatan Yang Mungkin.


Ketidakefektifan pola nafas, Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan,
Hipertermia, Syok hipovolemik atau septic, Gangguan perfusi jaringan (anemis),
Kerusakan integritas kulit, Defisit perawatan diri, Intoleransi aktifitas.

Pengkajian pasein dengan peritonitis (Doenges, 1999) adalah meliputi :

 Aktivitas / istirahat

Gejala : kelemahan

Tanda : kesulitan ambulasi

 Sirkulasi

Tanda : Takikardi, berkeringat, pucat hipotensi (tanda syok). Edema


jaringan.
 Eleminasi

Gajala : ketidakmampuan defekasi dan flatus. Diare (kadang-kadang)

Tanda : cegukan, distensi abdomen. Penurunan haluaran urine, warna


gelap. Penurunan/tak ada bising usus, bising usus kasar.

 Makanan dan cairan

Gejala : anoreksia, mual, muntah, haus.

Tanda : muntah proyektil. Membran mukosa kering, lidah bengkak, turgor


kulit buruk.

 Nyeri/ketidaknyamanan

Gejala : nyeri abdomen tiba-tiba berat, umum atau local, menyebar ke


bahu, terus menerus oleh gerakkan.

Tanda : distensi, kaku, nyeri tekan. Otot tegang (abdomen), lutut fleksi,
perilaku distraksi, gelisah, fokus pada diri sendiri.

 Pernapasan

Tanda : pernapasan dangkal, takipnea.

 Keamanan

Geajala : riwayat inflamasi organ pelvic (salpingitis) ; infeksi pasca


melahirkan, abses retroperitoneal..

 Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : riwayat adanya trauma penetrasi abdomen ; perforasi kandung


kemih ; penyakit saluran GI (apendiksitis perforasi, ganggren/rupture kandung
empedu, perforasi Ca gaster, perforasi gaster/ulkus duodenal, obstruksi
ganggrenosa usus, perforasi divertikulum, ileitis regional, hernia strangulasi).

2. Diagnosa keperawatan.

Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).

Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien dengan peritonitis (Doenges, 1999)
adalah :

1) Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan,
prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.

2) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke


ekstravaskuler.

3) Nyeri berhubungan dengan iritasi kimia peritonium perifer, trauma jaringan,


akumulasi cairan dalam rongga abdomen/distensi abdomen.

4) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual dan nafsu makan yang
menurun.

5) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian/perubahan status


kesehatan, faktor fisiologis, status hipermetabolik.

6) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan prosedur pengobatan


berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, tidak
mengenal sumber informasi.

3. Intervensi dan implementasi.


Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono,
1994:20)

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).

Intervensi dan implementasi pada pasien dengan peritonitis (Doenges, 1999) adalah :

1) Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer,


perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan
kerusakan kulit.

Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.

Kriteria: – tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.

– luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.

– Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :

a) Pantau tanda-tanda vital.

R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh


meningkat.

b) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.

R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.

c) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase


luka, dll.

R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.


d) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb
dan leukosit.

R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi


akibat terjadinya proses infeksi.

e) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

2) Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan


intravaskuler ke ekstravaskuler.

Tujuan : Tidak terjadi defisit voume cairan

Kriteria : – Input dan output seimbang

– Vital sign dalam batas normal

– Tidak ada tanda presyok

– Akral hangat

– Capilarry refill < 3 detik

Intervensi dan Implementasi :

a) Awasi vital sign tiap 3 jam/sesuai indikasi

R/ Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi cairan intravaskuler

b) Observasi capillary Refill

R/ Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer

c) Observasi intake dan output. Catat warna urine / konsentrasi, BJ


R/ Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi.

d) Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari ( sesuai toleransi )

R/ Untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh peroral

e) Kolaborasi : Pemberian cairan intravena

R/ Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya


hipovolemic syok.

3) Nyeri berhubungan dengan iritasi kimia peritonium perifer, trauma jaringan,


akumulasi cairan dalam rongga abdomen/distensi abdomen.

Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.

Kriteria : – Nyeri berkurang atau hilang

– Klien tampak tenang.

Intervensi dan Implementasi :

1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga

R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif

2) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri

R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri

3) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri

R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri


4) Observasi tanda-tanda vital.

R/ untuk mengetahui perkembangan klien

5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik

R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk


memblok stimulasi nyeri.

4) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu
makan yang menurun.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi

Kriteria :- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

– Menunjukkan berat badan yang seimbang.

Intervensi dan Implementasi :

a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai

R/ Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi

b. Observasi dan catat masukan makanan pasien

R/ Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi


makanan

c. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan)

R/ Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas intervensi.

d. Berikan makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu
makan
R/ Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan
meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster.

e. Berikan dan Bantu oral hygiene.

R/ Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral

f. Hindari makanan yang merangsang dan mengandung gas.

R/ Menurunkan distensi dan iritasi gaster.

5) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian/perubahan


status kesehatan, faktor fisiologis, status hipermetabolik.

Tujuan : ansietas berkurang/terkontrol.

Kriteria : – klien mampu merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi


yang membuat stress.

– klien mampu mempertahankan penampilan peran.

– klien melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.

– klien melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.

– tidak ada manifestasi perilaku akibat kecemasan.

Intervensi dan Implementasi :

a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.

R/ memudahkan intervensi.

b. Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi


ansietas di masa lalu.
R/ mempertahankan mekanisme koping adaftif, meningkatkan
kemampuan mengontrol ansietas.

c. Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk


mengungkapkan pikiran dan perasaan.

R/ pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk


mengeksternalisasikan kecemasan yang dirasakan.

d. Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saat
ini, harapan-harapan yang positif terhadap terapy yang di jalani.

R/ alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan


untuk mengurangi kecemasan.

e. Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas sehari-


hari meskipun dalam keadaan cemas.

R/ menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa dirinya


mampu mengatasi masalahnya dan memberi keyakinan pada diri
sendri yang dibuktikan dengan pengakuan orang lain atas
kemampuannya.

f. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.

R/ menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.

g. Sediakan informasi factual (nyata dan benar) kepada pasien dan


keluarga menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.

R/ meningkatkan pengetahuan, mengurangi kecemasan.

h. Kolaborasi pemberian obat anti ansietas.

R/ mengurangi ansietas, sesuai kebutuhan.


6) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan prosedur pengobatan berhubungan dengan
kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

Tujuan : orang tua mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.

Kriteria : – melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari


suatu tindakan.

– memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam
regimen perawatan.

Intervensi dan Implementasi :

a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.

R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga


tentang penyakitnya.

b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.

R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan


keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.

c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.

R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.

d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah
diberikan.

R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai


keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
4. Discharge Planning atau Continuing Care.

Discharge Planning adalah suatu proses mulainya pasien mendapatkan pelayanan


kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses
penyembuhan maupundalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien
merasa siap untuk kembali kelingkungannya. Discharge Planning menunjukkan
beberapa proses formal yang melibatkan teamatau memiliki tanggung jawab untuk
mengatur perpindahan sekelompok orang ke kelompok lainnya (RCP,2001).

CONTOH FORMAT DISCHARGE PLANNING

No. Reg Pasien :

Nama :

DISCHARGE PLANNING Umur :

Jenis Kelamin :
Tgl. MRS : Tgl KRS :

Bagian : Bagian :
Di pulangkan dari RS. X dengan keadaan
:
o Pulang Paksa
o Sembuh
o Lari atau Kabur
o Meneruskan Obat Jalan
o Meninggal
o Pindah Rumah Sakit Lain
A. Kontrol

 Waktu :
 Tempat :
B. Lanjutan perawatan di rumah :

(luka operasi, pemasangan gift,


pengobatan dan lain-lain.)

C. Aturan Diet/ Nutrisi :

D. Obat-obatan yang masih :

diminum dan jumlahnya

E. Aktivitas dan Istirahat :

F. Yang dibawa pulang :

(Hasil Lab, Rongten, MRI, dll)


Lain-lain
Jakarta, 2013

Pasien/Keluarga Perawat

(……………………………..) (……………………………..)
5. Evaluasi.

Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan


dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi
tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan peritonitis (Doenges, 1999) adalah :

1. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.


2. Tidak terjadi defisit voume cairan
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi
5. Ansietas berkurang/terkontrol.
6. Klien/keluarga mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan
proses pengobatan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera


dalam rongga perut. Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut
dan dinding perut sebelah dalam. Peritonitis yang terlokalisir hanya dalam rongga pelvis disebut
pelvioperitonitis.

Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi,
penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual, infeksi dari
rahim dan saluran telur, kelainan hati atau gagal jantung, peritonitis dapat terjadi setelah suatu
pembedahan, dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal), iritasi tanpa infeksi.
Patofisologi peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa,
yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Prinsip umum terapi ini dapat
dilakukan, yaitu :

1) Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena

2) Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam pengobatan infeksi nifas.

3) Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.

4) Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.

3.2 Saran

Kita sebagai seorang perawat dalam mengatasi masalah peritonitis di masyarakat dapat
memberikan berbagai cara untuk mencegah peritonitis dan diharapkan mahasiswa/i dapat
memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien yang mengalami peritonitis yang sesuai
dengan apa yang dipelajari.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah,Edisi 8,Vol.2. Jakarta: EGC

Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, ECG ; Jakarta

http://www.webmd.com/digestive-disorders/peritonitis-symptoms-causes-treatments diakses
tanggal : 21 September 2013.

http://en.wikipedia.org/wiki/Peritonitis diakses tanggal : 21 September 2013.


http://rizqidyan.wordpress.com/tag/peritonitis/ diakses tanggal : 21 September 2013.
https://donnyprastyo.wordpress.com/2014/03/13/askep-peritonitis/

Askep peritonitis
SISTEM PENCERNAAN

“ASKEP PERITONITIS”

Di Susun Oleh : Kelompok 10

Satrio Noviansyah 1126010034

Vera Vonica 1126010040

Fauzan Azim 1226010153

Melisa Riananda 1026010080

Jhon Edward 1026010118

Ariko Bintara 1026010161

PROGRAM ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

TRI MANDIRI SAKTI BENGKULU


2012/2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau
penyakit berat atau sistemik dengan syok sepsis.

Biasanya peritonitis disebabkan akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran
gastrointestinal atau, pada wanita : dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari
sumber eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi
yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal. Bakteri paling umum yang terlibat
adalah E. Coli, Klebsiella, Proteus, dan Pseudomonas. Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung
dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan
perforasi usus. Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.

Dengan demikian, kita selaku perawat hendaknya mengetahui apa saja asuhan keperawatan terhadap
pasien dengan penyakit peritonitis. Sehingga dampak lain yang ditimbulkan bisa teratasi dan dapat
menunjang proses perawatan terhadap pasien/klien.

1.2. Tujuan

 Untuk mengetahui Pengertian Peritonitis

 Untuk mengetahui Etiologi Peritonitis

 Untuk mengetahui Patofisiologi Peritonitis

 Untuk mengetahui Manisfestasi Klinis

 Untuk mengetahui WOC Peritonitis

 Untuk mengetahui Komplikasi Peritonitis

 Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang

 Untuk mengetahui Penatalaksanaan

 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Peritonitis


BAB II

ISI

2.1 Pengertian Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen) dan organ
didalamnya. (Arif Muttaqin, 2011)

Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera.
(Brunner dan Suddarth, 2001)

2.2 Etiologi

Penyebab terjadinya peritonitis adalah invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum. Kuman yang
paling sering menyebabkan infeksi, meliputi gram negatif: Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae
(7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%), dan gram positif, seperti
Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%).
Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%. (Cholongitas, 2005)

Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan oleh berbagai kelainan pada gastrointestinal dan
penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, 1997) atau perforasi organ pascatrauma
abdomen (Ivatury, 1998)

Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau, pada
wanita : dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera
atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ
diluar area peritonium, seperti ginjal. Bakteri paling umum yang terlibat adalah E. Coli, Klebsiella,
Proteus, dan Pseudomonas. Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab
umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis
juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal. (Brunner dan Suddarth,
2001)

2.3 Patofisiologi

Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan aktivitas inhibitor


aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat
fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina
dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme pembersihan oleh
tubuh (van Goor, 1998)

Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi, namun
proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan
abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan tubuh
tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem
kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu
fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer)
merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah respon
imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan
abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan bahwa
infeksi nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan
kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008)

Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka
aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik (Price, 1995)

Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons
hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh
karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian
akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia (finlay,1999)

Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan
edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik
bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan
dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi.

Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien dengan peritonitis
tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier
berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada sebelumnya dan
pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi,
insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat
mencapai 50-74% (Sawyer, 1991)

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen biasanya sebagai
akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi
edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi
keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari
saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam
usus. (Brunner dan Suddarth, 2001)
2.4 Manisfestasi klinis

Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari peritonitis adalah gejala
dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. Pada awalnya nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri
cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh
gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku.
Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi. Biasanya terjadi mual dan muntah serta penurunan
peristaltik. Suhu dan frekuensi nadi meningkat, dan hampir selalu terdapat peningkatan jumlah leukosit.

2.5 WOC

2.6 Komplikasi

Seringkali, inflamasi tidak lokal dan seluruh rongga abdomen menjadi tertekan pada sepsis umum. Sepsis
adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau
hipovolemia. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan
terjadinya perlekatan usus.

Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah eviserasi luka dan pembentukan abses. Berbagai
petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan
sesuatu terbuka” harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa
menunjukkan adanya dehisens luka.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah.
Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar kalium, natrium, dan klorida.

Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus yang terdistensi. Pemindaian
CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta
sensitivitas cairan teraspirasi dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab.

2.8 Penatalaksanaan

Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter
larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari
lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler.
Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan
muntah. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan dalam
meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan. Terapi
oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-
kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan.

Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari antibiotik
spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi
antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai.

Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan
pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus),
memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal.

2.9 Asuhan Keperawatan

2.9.1 Pengkajian

1. Biodata/ identitas pasien : Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan dan alamat

2. Riwayat penyakit

a. Keluhan utama

Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit sering kali membosankan dan
kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih
terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada
beberapa penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia usus) nyeri
abdomen dapat digeneralisasi dari awal

b. Riwayat kesehatan sekarang

Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada
kondisi lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari septikemia

c. Riwayat kesehatan dahulu

Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk
memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai bahan untuk
mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola makan, gaya hidup atau pun
penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit
apendititis, ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain
3. Pengkajian psikososial

Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan, serta perlunya
pemenuhan informasi prabedah

4. Pemeriksaan fisik

Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul.

a. Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan

b. TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik.

c. Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien tampak legarti serta syok
hipovolemia

d. Pemeriksaan fisik yang dilakukan :

- Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen didapatkan pada hampir semuja pasien
dengan peritonitis dengan menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan peritonitis
berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi ketegangan
dinding perut. Perut sering mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini mencerminkan
ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga mengungkapkan peradangan massa

- Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu tanda ileus obstruktif

- Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh, adanya darah atau cairan dalam
rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah
diafragma. Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin
mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah abses.

Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk mendeteksi penyakit radang panggul
(misalnya endometritis, salpingo-ooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit
diinterprestasikan dalam peritonitis berat

- Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen

5. Pemeriksaan diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut :

1. Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan leukositosis (>11.000 sel/µL)

2. Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis

3. Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi disfungsi pembengkuan

4. Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis


5. Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun pasien dengan perut bagian
bawah dan infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan mikrohematuria

6. Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septikemia

7. Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan peritoneal). Pada peritonitis
tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak
limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur

b. Pemeriksaan radiografik

1. Foto polos abdomen

Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus halus dan usus besar
berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi
jauh lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks
perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling sering
disebalah kanan) sebagai indikasi adanya viskus berlubang

2. Computed tomography scan (CT scan)

CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk abses peritoneal. CT scan
ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan foto
polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah
bimbingan CT scan

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai abses intra-abdomen. Abses
abdomen menunjukkan penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan homogen atau
peningkatan intensitas sinyal heterogen pada gambar T2-weighted. Terbatasnya

c. USG

USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas (misalnya perihepatic abses,
kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst), kuadran kanan bawah, dan patologi pelvis
(misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi
terbatas karena adanya nyeri, distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi
peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah kurang dari
100 ml sangat terbatas

2.9.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri tekan pada abdomen

2. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya asupan makanan
yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan anoreksia
3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh ditandai dengan muntah
yang berlebihan

4. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder dari syok sepsis ditandai
dengan mual, muntah, dan demam

2.9.3 Intervensi Keperawatan

1. Nyeri b.d infeksi, inflamasi intestinal, abses abdomen ditandai dengan nyeri tekan pada abdomen

Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang atau teradaptasi

Kriteria evaluasi :

- Secara subjektif pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi

- Skala nyeri 0-1 (0-4)

- TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks

Intervensi Rasional

Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif Pendekatan
dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmatologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri

Lakukan manajemen nyeri keperawatan, meliputi:

- Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST


- Beri oksigen nasal apabila skala nyeri ≥ 3 (0-4)

- Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul

- Atur posisi fisiologis

- Berikan kompres hangat pada abdomen

- Kolaburasi : Berikan analgesic

Pendekatan PQRST dapat secara komprehensif menggali kondisi nyeri pasien :

P=Penyebab nyeri bisa diakibatkan oleh respons iritasi atau inflamasi intestinal, abses abdomen, kram
abdomen

Q=Kualitas nyeri seperti tumpul, terbakar, kram, dan mulas

R=Area nyeri yang dirasakan seperti nyeri pada abdomen bawah atau atas

S=Pasien mengalami skla nyeri 3 (0-4)

T=Nyeri bertambah pada waktu ditekan atau dilepas dan saat BAB

Pemberian oksigen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada saat pasien mengalami nyeri
pascabedah

Istirahat diperlukan untuk menurunkan peristaltik usus sehingga nyeri dapat berkurang

Pengaturan posisi dapat membantu merelaksasi otot-otot abdomen sehingga menurunkan nyeri

Memberikan respons vasodilatasi. Kompres ini dilakukan pada pasien tanpa pembedahan

Untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri

2. Risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurangnya asupan makanan
yang adekuat ditandai dengan mual, muntah dan anoreksia

Tujuan : setelah 3 x 24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7 x 24 jam pascabedah asupan nutrisi dapat
optimal dilaksanakan.

Kriteria evaluasi :
- Pasien dapat menunjukkan metode menelan yang tepat

- Keluhan mual dan muntah berkurang

- Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan

- Berat badan meningkat

Intervensi Rasional

Kaji dan berikan nutrisi sesuai tingkat toleransi individu Pemberian nutrisi pada pasien dengan enteritis
regional bervariasi sesuai dengan kondisi klinik dan tingkat toleransi individu

Sajikan makanan dengan cara yang menarik Membantu merangsang nafsu makan. Tindakan ini dapat
diberikan bila toleransi oral tidak menjadi masalah pada pasien

Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah lemak Diet diberikan pada pasien dengan gejala malabsorpsi
akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Khusunya penyerapan lemak. Keterlibatan ileum
terminal dapat mengakibatkan steatorrhea (buang air besar dengan feses bercampur lemak)

Fasilitasi pasien memperoleh diet dengan kandungan serat tinggi Suplemen serat dikatakan bermanfaat
bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek
asam lemak yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa kolon

Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah serat pada gejala obstruksi Diet rendah serat biasanya
diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruksi

Fasilitasi untuk pemberian nutrisi parenteral Nutrisi parental total (TPN) digunakan bila gejala penyakit
usus inflamasi bertambah berat. Dengan TPN, perawat dapat mempertahankan catatan akurat tentang
intake dan output cairan, serta berat badan pasien setiap hari. Berat badan pasien harus meningkat setelah
dilakukan terapi.

Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu) Berguna
dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan

Lakukan perawatan mulut Intervensi ini untuk men urunkan risiko infeksi oral

Kolaborasi dengan ahli gizi jenis nutrisi yang akan digunakan pasien

Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai
dengan kebutuhan individu

3. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d keluarnya cairan tubuh ditandai dengan muntah
yang berlebihan

Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Kriteria evaluasi :
- Pasien tidak mengeluh pusing, membran mukpsa lembap, turgor kulit normal. TTV dalam batas normal,
CRT >3 detik, urine >600 ml/hari

- Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/Kreatinin
menurun

Intervensi Rasional

Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output) Jumlah dan tipe cairan pengganti
ditentukan dari keadaan status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi
urine, monitoring yang ketat pada produksi urine, apabila <600 ml/hari merupakan tanda-tanda terjadinya
syok hipovolemik

Kaji sumber kehilangan cairan Kehilangan cairan dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium
via oral yang juga akan meningkatkan risiko gangguan elektrolit

Auskultasi TD Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemik yang memberikan manisfestasi sudah terlibatnya
sistem kardiovaskuler untuk melakukan kompensasi mempertahankan tekanan darah

Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara teratur Mengetahui adanya pengaruh
peningkatan tahanan perifer

Kolaborasi

- Pertahankan pemberian cairan secara intravena

- Evaluasi kadar elektrolit

Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan perawat dalam melakukan
kontrol intake dan output cairan

Sebagai diteksi awal menghindari gangguan elektrolit sekunder dari muntah pada pasien peritonitis

4. Risiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, sekunder dari syok sepsis ditandai
dengan mual, muntah, dan demam

Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi syok hipovolemik

Kriteria evaluasi :

- Tidak terdapat tanda-tanda syok : pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesadaran
optimal, urine >600 ml/hari

- Membran mukosa lembap, turgor kulit normal, CRT >3 detik


- Laboratorium : nilai elektrolit normal, nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/Kreatinin
menurun

Intervensi Rasional

Intervensi kedaruratan pemenuhan cairan :

- Identifikasi adanya tanda-tanda syok dan status dehidrasi

- Kolaborasi skor dehidrasi

- Lakukan pemasangan IVFD

- Lakukan pemasangan dan pembeian infus secara intraoseus

- Kolaborasi rehidrasi cairan

- Monitor rehidrasi cairan

- Dokumentasi dengan akurat tentang intake dan output cairan

- Lakukan monitoring ketatpada seluruh sistem organ

Pada pasien dengan perubahan akut TTV dan dehidrasi berat maka pemulihan hidrasi menjadi parameter
utama dalam melakukan tindakan

Pasien yang mengalami dehidrasi berat ditandai dengan skor dehidrasi 7-12 dan mempunyai risiko tinggi
terjadi syok hipovolemik
Pemasangan IVFD secara dua jalur harus dapat dilakukan untuk mencegah syok yang bersifat ireversibel

Setalal dilakukan pemasangan infus intraoseus dengan memberikan cairan satu liter, diharapakan terdapat
perbaikan sirkulasi ditandai dengan bendungan vena sehingga syok bisa diatasi

Pemberian 1-2 liter larutan dekstrosa 5% dalam 0,5 NaCl disertai 50 mEq NaHCO2 dan 10-20mEq KCl
selama 30-40 menit sangat penting dilakukan pada dehidrasi berat

Rehidrasi cairan harus diperhatikan dan diberikan sampai didapatkannya perbaikan status mental dan
tanda perfusi jaringan sudah membaik

Sebagai evaluassi penting dari intervensi hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi

Pasien yang mengalami syok hipovolemik mendapat perawatan di ruang intensif untuk memudahkan
dalam memonitor seluruh kondisi organ

5. Evaluasi Keperawatan

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :

1. Tidak terjadi syok hipovolemik

2. Informasi kesehatan terpenuhi

3. Nyeri berkurang atau teradaptasi

4. Asupan nutrisi optimal sesuai tingkat toleransi individu

5. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen) dan organ
didalamnya. Penyebab dari peritonitis meliputi invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan
oleh berbagai kelainan pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen
(Rotstein, atau perforasi organ pascatrauma abdomen. Manisfestasi yang ditimbulkan berupa nyeri, mual,
muntah, suhu dan frekuensi nadi meningkat, serta peningkatan jumlah leukosit.

3.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis mengharapkan kepada para mahasiswa keperawatan khususnya,
agar dapat memahami dan menambah pengetahuan kita tentang Askep Peritonitis dalam mata kuliah
sistem pencernaan. Serta diharapkan kritik dan saran yang membangaun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi 6. Jakarta :
EGC

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta
: EGC

http://rionaldocapelo.blogspot.co.id/2014/11/askep-peritonitis.html

Anda mungkin juga menyukai