Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL

PENANGGULANGAN STUNTING

DISUSUN OLEH :
FERBELA VALLEMORIN
HANNY TRI ANYSHA PINEM
YUNITA ANGGRAINI

DOSEN PENGAMPU : Dr. Demsa Simbolon, SKM., MKM

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BENGKULU
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA
JURUSAN GIZI
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa terima kasih atas kehadiran Allah yang Mahakuasa, untuk semua
belas kasihannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan, dan juga saya juga
berterima kasih kepada mereka yang menyediakan materi dan bantuan intelektual.
Dan kami berharap proposal ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman
pembaca dan, di masa depan, bentuk kertas dapat diperbaiki atau bahwa isi proposal
ini dapat ditingkatkan sehingga lebih lengkap. Karena batas pengetahuan dan
pengalaman kami, menurut kami, proposal ini selalu memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kami benar-benar berharap pembaca dapat memberikan saran dan
kritik yang konstruktif untuk meningkatkan proposal ini.

Bengkulu, 12 Mei 2023


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting adalah suatu kondisi pada seorang yang memiliki panjang atau tinggi
badan kurang jika dibandingkan dengan umurnya. (Oktavia, 2020). Stunting adalah
kondisi tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain pada
umunya atau yang seusia (Atikah, Rahayu, 2018). Kasus stunting merupakan
permasalahan global dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut (Hoffman et al,
2000; Bloem et al, 2013). Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan
(growth faltering) akibat akumulasi ketidak cukupannutrisi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan (Mustika & Syamsul, 2018). Tinggi badan
merupakan salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi
seseorang. Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang (malnutrisi) dalam
jangka waktu yang lama (kronis). Masalah malnutrisi di Indonesia merupakan
masalah kesehatan yang belum bisa diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Hal ini
terbukti dari data- data survei dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar
(2018)yang menyatakan bahwa prevalensi stunting severe (sangat pendek) di
Indonesia adalah 19,3%, lebih tinggi dibanding tahun 2013 (19,2%) dan tahun 2007
(18%).

Bila dilihat prevalensi stunting secara keseluruhan baik yang mild maupun
severe (pendek dan sangat pendek), maka prevalensinya sebesar 30,8% (MKes(Epid),
2020). Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukkan penurunan
prevalensi stunting di tingkat nasional sebesar 6,4% selama 5 tahun, yaitu dari 37,2%
(2013) menjadi 30,8% (2018). Proporsi status gizi; pendek dansangat pendek pada
seseorang, mencapai 29,9% atau lebih tinggi dibandingkan target rencana
pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2019 sebesar 28% (Untung et al.,
2021).

Dari hasil Studi status gizi Indonesia (SSGI) yang dilaksanakan tahun 2019
prevlensi stunting di Indonesia sebesar 27,6% . Sedangkan di Provinsi Bali sebesar
14,4% dan jika melihat persentase stunting di provinsi Bali tahun 2020 sebesar 6,1%,
Persentase di kabupaten Jembrana (2,3%), Tabanan (8,0%), Badung (6,1), Gianyar
(4,8), Klungkung (7,3%), Bangli (6,3%), Karangasem (10,8%), Buleleng (7,2%), dan
Denpasar (1,5%). Persentase stunting di provinsi Bali mengalami penurunan bila
dibandingkan hasil Riskesdas 2018 dan studi status gizi indonesia (SSGI) 2019
(Provinsi Bali, 2020). Torlesse H,.2016 menyatakan Stunting merupakan masalah
kesehatan yang harus diperhatikan dan ditangani sejak dini, karena berdampak sangat
panjang untuk kehidupan seseorang. Kejadian stunting merupakan suatu proses
komulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak – kanak dan sepanjang siklus
kehidupan. (Boucot & Poinar Jr., 2018).

Stunting juga akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif di


usia dewasa (Untung et al., 2021). Beberapa studi menunjukkan dampak akibat
stunting adalah penurunan prestasi akademik (Picauly & Toy, 2013), meningkatkan
risiko obesitas (Hoffman et al, 2000; Timaeus, 2012) lebih rentan terhadap penyakit
tidak menular dan peningkatan risiko penyakit degeneratif (Picauly & Toy, 2013).
Stunting patut mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi kehidupan
seorang, terutama risiko gangguan perkembangan fisik dan kognitif apabila tidak
segera ditangani dengan baik (Nirmalasari, 2020).

B. Rumusan Masalah

Bagaimana cara dalam pencegahan stunting?

C. Tujuan

Mengetahui cara yang baik dan tepat dalam mengatasi stunting

D. Manfaat

1. Prevalensi stunting dapat berkurang


2. Ibu akan lebih mengetahui cara pencegahan dan upaya yang dilakukan

B. Rumusan Masalah

a) Apa itu stunting?


b) Apa penyebab terjadinya stunting?
c) Bagaimana cara mengatasi stunting?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Stunting
Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui defisit 2 SD
dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi refrensi
internasional. Tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau tubuh anak lebih pendek
dibandingkan dengan anak-anak lain seumurnya merupakan definisi stunting yang
ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan
dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai dengan umur anak
(WHO, 2006). Stunting dapat diartikan sebagai kekurangan gizi kronis atau
kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang
untuk gizi kurang pada anak.
Administrative Committee on Coordination/Sub Committee on Nutrition
(ACC/SCN) tahun 2000, diagnosis stunting dapat diketahui melalui indeks
antopometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang
dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka
panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai atau kesehatan. Stunting yaitu
pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari
pola makan yang buruk dan penyakit.
Stunting diartikan sebagai indicator status gizi TB/U sama dengan atau kurang
dari minus dua standar deviasi (-2 SD) dibawah rata-rata standar atau keadaan dimana
tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan ana-anak lain seumurnya, ini
merupakan indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan
gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan sosial ekonomi
(UNICEF II, 2009; WHO, 2006).
B. Dampak Stunting

Dampak stunting dibagi menjadi dua, yakni ada dampak jangka panjang dan
juga ada jangka pendek. Jangka pendek kejadian stunting yaitu terganggunya
perkembangan otak, pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan gangguan metabolisme pada
tubuh. Sedangkan untuk jangka panjangnya yaitu mudah sakit, munculnya penyakit
diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kegemukan, kanker, stroke,
disabilitas pada usia tua, dan kualitas kerja yang kurang baik sehingga membuat
produktivitas menjadi rendah (Kemenkes RI, 2016).

Kejadian stunting menjadi salah satu masalah yang terbilang serius jika
dikaitan dengan adanya angka kesakitan dan kematian yang besar, kejadian obesitas,
buruknya perkembangan kognitif, dan tingkat produktivitas pendapatan yang rendah.
Berbagai permasalahan ini sangat mudah ditemukan di negara – negara berkembang
seperti Indinesia (Unicef, 2007).

Stunting pada anak yang harus disadari yaitu rusaknya fungsi kognitif
sehingga anak dengan stunting mengalami permasalahan dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. Stunting pada anak ini juga menjadi
faktor risiko terhadap kematian, perkembangan motorik yang rendah, kemampuan
berbahasa yang rendah, dan ketidakseimbangan fungsional (Anwar dkk, 2014).

C. Penyebab Stunting

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa
penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus
kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting
terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan
oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian
stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak
langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor
budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas,
2013).

a. Faktor langsung
1) Asupan gizi balita
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita
akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang
mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan
asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai
dengan perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat
balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya yang
disebut dengan gagal tumbuh. Balita yang normal kemungkinan terjadi
gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi.
Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa
konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek,
selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di
bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek
(Sihadi dan Djaiman, 2011).
2) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi
tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk
keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang
gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan
terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu
perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai
dengan kebutuhan anak balita. Penyakit infeksi yang sering diderita
balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare
dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu
pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan
hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian
yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang
menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian
stunting pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012)

b. Faktor tidak langsung


1) Ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya
pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan
kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita perempuan dan
balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-
masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO
2005 (Bappenas, 2011).
Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan
sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting,
ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang
digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan
beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman,
2011). Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan
perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting
(Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara
dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam
keluarga (Paudel et al, 2012).
2) Status gizi ibu
saat hamil Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor,
faktor tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama
kehamilan. Beberapa indikator pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin
(Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah untuk
menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu
gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK
atau tidak; 3) hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan
berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum
hamil (Yongky, 2012; Fikawati, 2010).

D. Kebijakan Penanganan Masalah Stunting

Beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menangani


msalah stunting (Siswati, 2018) diantaranya :

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025.


Undang–undang No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005–2025 menyatakan bahwa pembangunan pangan dan
perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi,
pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi
yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Selain itu, melalui
program pembangunan nasional Akses Universal Air Minum dan Sanitasi
Tahun 2019, menetapkan bahwa pada tahun 2019, Indonesia dapat,
menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang layak bagi 100% rakyat
Indonesia.
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015–2019.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.HK.02.02/Menkes/52/2015
tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015–2019
menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan 2015–2019 adalah program
Indonesia sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status
gizi masyarakat. Salah satu sasaran pokok adalah meningkatnya status
kesehatan gizi ibu dan anak. Dalam RPJMN 2015–2019 telah ditetapkan
target penurunan prevalensi stunting balita 0-23 bulan menjadi 28% pada
2019.
3. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
Permenkes tersebut menyatakan bahwa untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat diperlukan upaya perbaikan gizi perseorangan dan
perbaikan gizi masyarakat pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam
kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kelompok rawan
gizi.
4. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2016-2019 Kebijakan
strategis pangan dan gizi fokus pada :
a. Ketersediaan pangan
b. Keterjangkauan pangan
c. Pemanfaatan pangan
d. Perbaikan gizi masyarakat
e. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
5. Rencana Strategis Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) tahun 2015-2019
Misi yang tertuang dalam rencana strategis BKKBN yang berkaitan
dengan malnutrisi pada anak termasuk stunting adalah: a) mewujudkan
kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera (misi ke-
4) dan mewujudkan Indonesia yang berdaya saing (misi ke-5). Dalam
kaitannya mewujudkan keluarga yang sehat sejahtera, BKKBN telah
menetapkan arah strategi dalam menyelenggarakan pembangunan bidang
kependudukan dan KB yaitu: a) meningkatkan akses dan pelayanan KB
yang merata dan berkualita; b) advokasi dan KIE tentang kependudukan
dan KB; c) pembinaan ketahanan remaja yang dilakukan melalui Pusat
Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) dan
mendorong kegiatan remaja yang positif dengan meningkatkan status
kesehatan dna mendapatkan pendidikan; d) memahami nilai-nilai
pernikahan; e) mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki; f)
peningkatan pembinaan remaja tentang Generasi Berencana (GenRe); g)
pengembangan dan peningkatan fungsi dan peran kegiatan kelompok Bina
Keluarga Remaja guna meningkatkan kepedulian keluarga dan
pengasuhan kepada anak dan remaja; h) peningkatan pembangunan
keluarga dan KIE tentang pentingnya pengasuhan tumbuh kembang anak
dan pentingnya keluarga berencana; i) mengembangkan Kampung KB
sebagai lintas sector.
6. Undang–Undang No.36/2009 tentang Kesehatan
Undang–undang No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa arah
perbaikan gizi adalah meningkatnya mutu gizi perorangan dan masyarakat
melalui perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi
seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik dan kesehatan,
peningkatan akses dan mutu teknologi, dan peningkatan sistem
kewaspadaan pangan dan gizi.
7. Peraturan Presiden (Perpres) No.42/2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi
Perpres ini diikuti dengan Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional
Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Pertama Kehidupan (Gerakan
1.000 HPK),

E. Penanggulangan Stunting Berbasis Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah proses memampukan masyarakat dalam upaya


meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat secara
sistematis untuk mengembangkan diri, mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk memilih dan upaya untuk meningkatkan peran serta aktif masyarakat
dalam mencegah dan mengatasi masalah dengan kegiatan dari, oleh, dan
untuk masyarakat (Waryana, et al. 2015).

Pemberdayaan masyarakat merupakan segala upaya fasilitasi yang


bersifat musyawarah, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi
yang dimiliki, merencanakan, dan melakukan penyelesaiannya dengan
memanfaatkan potensi masyarakat setempan (Kementerian Kesehatan RI,
2015).

Inti pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada kemandirian


masyarakat. Dalam pemberdayaan masyarakat, dimensi partisipasi masyarakat
menjadi sangat penting. Partisipasi bukan hanya berati keterlibatan masyarkat
dalam pelaksanaan program atau masyarakat hanya ditempatkan sebagai
objek, melainkan harus diikuti dengan keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan atau masyarakat
ditempatkan sebagai subjek utama yang harus menentukan jalnnya
pembangunan. Dua elemen penting yang ditekankan pada teori ini ialah
partisipasi (participation) dan pemberdayaan (empowerment) (Waryana, et al.
2015).

Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan bertujuan untuk


menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman akan kesehatan
individu, kelompok, dan masyarakat, menimbulkan kemauan yang merupakan
kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan atau sikap untuk
meningkatkan kesehatan mereka, dan menimbulkan kemampuan masyarakat
untuk mendukung terwujudnya perilaku sehat (Adisasmito, 2010).

Penanggulangan stunting berbasis pemberdayaan pada ibu rumah tangga


adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman
akan pencegahan stunting di desa Donomulyo. Ibu rumah tangga dalam hal ini
berperan sebagai subjek yang berperan aktif dalam penanggulangan stunting.
Pemberdayaan sebenarnya merupakan sebuah alternatif pembangunan yang
sebelumnya dirumuskan menurut cara pandang developmentalisme
(moderinisasi) yang dulunya berorientasi pada negara dan modal, sementara
paradigma baru (pemberdayaan) lebih terfokus pada masyarakat lokal yang
dibangun secara partisipatif.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari


suami istri atau suami, istri, dan anaknya atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya. Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai
peran dan tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan, salah
satu diantaranya mengenal masalah kesehatan. Partisipasi ibu rumah tangga
dalam penanggulangan stunting berbasis pemberdayaan adalah keterlibatan
individu–individu anggota masyarakat untuk bertanggung jawab baik mental
maupun emosi terhadap tujuan penanggulangan stunting. Ibu rumah tangga
memberikan dukungan berupa bentuk dan jenis partisipasi yang semuanya
disesuaikan dengan kebutuhan (perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan, serta penilaian).

Pentingnya peran ibu rumah tangga tidak hanya pada pendidikan anak,
tetapi juga meliputi peranannya terhadap kondisi kesejahteraan keluarga.
Keterlibatan ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga
merupakan fenomena yang tidak asing lagi di kehidupan masyarakat. Ibu
memiliki peran penting dalam pemenuhan gizi anak melalui penyelenggaraan
makan keluarga.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2018), terdapat tiga hal yang harus


diperhatikan dalam pencegahan stunting, yaitu salah satunya perbaikan
terhadap pola makan. Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses
terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak
beragam. Istilah ''Isi Piringku'' dengan gizi seimbang perlu diperkenalkan dan
dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam satu porsi makan, setengah
piring diisi oleh sayur dan buah, setengahnya lagi diisi dengan sumber protein
(baik nabati maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada
karbohidrat.

F. Pencegahan dan Penanganan Stunting


Pemerintah ingin menggerakkan secara besar-besaran Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) melalui Pelayanan 5 Meja Posyandu yang ada di daerah-
daerah. Pemerintah juga akan mengoptimalkan kampanye, baik timbang anak,
masalah gizi, dan yang berkaitan dengan kesehatan bayi. Pelayanan 5 Meja
Posyandu terdiri dari meja pendaftaran, meja penimbangan dan pengukuran
tinggi/panjang badan, meja pencatatan hasil, meja penyuluhan dan pelayanan
gizi bagi Balita, ibu hamil, dan ibu menyusui, serta meja pelayanan kesehatan
(pemeriksaan kesehatan dan pemberian obat cacing).
Ibu hamil dan ibu menyusui harus mengonsumsi makanan bergizi
seimbang dan bagi ibu hamil minum Tablet Tambah Darah sehari sekali.
Selain itu, periksakan kehamilan setidaknya 6 kali selama kehamilan ke bidan/
posyandu / puskesmas, agar terjaga kesehatan ibu dan anak. Ibu hamil, bayi
baru lahir sampai usia 6 tahun harus dipantau pertumbuhan dan
perkembangannya di layanan posyandu setiap bulan. 1000 hari pertama
kehidupan merupakan periode emas di mana kegiatan yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kesehatan dan gizi pada ibu dan anak adalah:
a. Inisiasi Menyusu Dini (IMD), saat bayi lahir segera diletakkan di
perut/dada ibu sehingga bayi akan secara naluriah mencari dan
mengisap puting susu ibu, biasanya dalam waktu 60 menit.
b. Menyusui bayi dengan ASI eksklusif (ASI saja) selama 6 bulan
pertama. Seorang ibu yang bekerja tetap dapat memberikan ASI
eksklusif tanpa meninggalkan tempat kerja karena ASI dapat
diperah dan disimpan.
c. Pemberian MP ASI (Makanan Pendamping ASI) setelah 6 bulan.
Makanan dibuat dari bahan makanan yang sama dengan yang
dimakan keluarga, dengan jumlah dan konsistensi yang bertahap
sehingga anak pada usia 1 tahun sudah mengonsumsi makanan
yang sama dengan anggota keluarga.
d. Lanjutkan ASI sampai 2 tahun.
e. Imunisasi untuk pencegahan penyakit menular.
f. Membiasakan cuci tangan dengan air bersih dan sabun serta
pencegahan dan penanggulangan malaria pada ibu hamil.
Jika semua hal tersebut dilakukan pada ibu hamil, bayi dan anak di
bawah usia dua tahun terbukti berdampak pada penurunan kematian anak.
Kematian anak balita turun sebesar 19 persen karena pemberian ASI
eksklusif dan pemberian MP ASI yang tepat dan baik. Jika kita memberikan
perhatian dan tindakan yang tepat semasa ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan
anak balita, akan terjadi penurunan anak stunting (tinggi tidak sesuai umur).
Kesehatan janin dalam kandungan dan bayi yang dilahirkan sangat
tergantung pada kondisi kesehatan dan gizi ibu hamil, sebelum hamil,
bahkan sebelum menikah. Adapun beberapa kewajiban yang harus dilakukan
oleh ibu hamil, antara lain:
a. Melakukan pemeriksaan kehamilan (antenatal care) sebanyak minimal 6
kali selama kehamilan. Kunjungan pertama/K1 pada trimester-1, K2
pada trimester-2 dan K3 dan K4 pada trimester-3. Suami atau keluarga
harus mendampingi ibu hamil saat pemeriksaan kehamilan.
b. Minum 1 tablet tambah darah (tablet yang berisi besi-folat) setiap hari
selama kehamilan, minimal 90 hari berturut-turut. Pil tambah darah
mencegah ibu menderita kurang darah dan tidak berbahaya bagi janin.
Beri pengertian agar minum 1 tablet tambah darah setiap hari sesudah
makan malam, selama kehamilan. Zat besi sangat penting untuk
pertumbuhan sel dan syaraf otak anak
c. Memperoleh imunisasi tetanus toxoid (TT) untuk mencegah tetanus pada
bayi baru lahir. Mendapat konseling perorangan dan atau kelompok
tentang pola konsumsi makanan beragam, bergizi seimbang dan aman
selama kehamilan.
d. Mengonsumsi garam berIodium yang dibubuhkan pada setiap masakan
di rumah.
e. Dianjurkan memilih makanan yang telah difortifikasi (diperkaya) dengan
zat gizi mikro, terutama vitamin A, besi dan Iodium.
f. Tidak merokok dan melarang anggota keluarga merokok di dalam
rumah.
g. Di daerah endemik malaria, saat tidur menggunakan kelambu
berinsektisida yang diberikan oleh petugas kesehatan.
h. Memperoleh dukungan dari suami dan keluarganya untuk
mempersiapkan psikologis ibu menghadapi kehamilan, serta kesiapan
mengasuh dan mendidik anak. Setelah usia kehamilan 4 bulan, sering-
seringlah ajak bicara bayi atau membaca doa sambil mengelus-elus
perut.
i. Ibu hamil juga harus dihindarkan dari pemakaian narkoba dan minuman
keras.
j. Diberikan pengetahuan tentang hubungan suami isteri selama proses
kehamilan.
k. Menanyakan kepada bidan atau dokter tanggal perkiraan persalinan dan
merencanakan melahirkan ditolong bidan atau dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan.
l. Bersama suami merencanakan ikut keluarga berencana dengan memilih
alat kontrasepsi yang akan dipakai sesudah melahirkan sesuai nasihat
bidan atau dokter.
m. Menyiapkan orang yang bersedia menjadi donor darah jika sewaktu-
waktu diperlukan. ANC atau Ante Natal Care (Ante=sebelum,
Natal=Kelahiran) adalah pemeriksaan kehamilan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan (bidan atau dokter) kepada ibu selama masa kehamilan
untuk mengoptimalisasikan kesehatan mental dan fisik ibu hamil,
sehingga mampu menghadapi persalinan, nifas, persiapan memberikan
ASI, dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar Dalam
melakukan ANC, tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan
berkualitas terstandar yang disebut 10T, terdiri dari :
1. Timbang Berat Badan dan Ukur Tinggi Badan.
Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal
dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin.
Penambahan berat badan yang kurang dari 9 kilogram selama
kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap bulannya menunjukkan
adanya gangguan pertumbuhan janin. Pengukuran tinggi badan pada
pertama kali kunjungan dilakukan untuk menapis adanya faktor
risiko pada ibu hamil. Tinggi badan ibu hamil kurang dari 145 cm
meningkatkan risiko untuk terjadinya CPD (Cephalo Pelvic
Disproportion).
2. Ukur Tekanan Darah
3. Nilai Status Gizi (LILA)
Meliputi juga pengukuran LILA hanya dilakukan pada kontak
pertama oleh tenaga kesehatan di trimester I untuk skrining ibu hamil
berisiko KEK. Kurang energi kronis di sini maksudnya ibu hamil
yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama
(beberapa bulan/tahun) dimana LILA kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil
dengan KEK akan dapat melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).
4. Ukur Tinggi Rahim
Bidan puskesmas juga akan melakukan pengukuran tinggi
rahim pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk
mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan umur
kehamilan. Jika tinggi rahim tidak sesuai dengan umur kehamilan,
kemungkinan ada gangguan pertumbuhan janin. Standar pengukuran
menggunakan pita pengukur setelah kehamilan 24 minggu.
5. Menentukan Letak Janin dan Denyut Jangtung Janin (DJJ)
Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester II
dan selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini
dimaksudkan untuk mengetahui letak janin. Jika pada trimester III
bagian bawah janin bukan kepala, atau atau kepala janin belum
masuk ke panggul berarti ada kelainan letak, panggul sempit atau ada
masalah lain.
6. Status Imunisasi Tetanus dan Berikan Imunisasi Tetanus Toksid
(TT)
Bila Diperlukan Imunisasi TT untuk mencegah terjadinya
tetanus pada bayi, ibu hamil harus mendapat imunisasi TT. Pada saat
kontak pertama, ibu hamil diskrining status imunisasi T-nya.
Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil, sesuai dengan status
imunisasi T ibu saat ini.
7. Beri Tablet Tambah Darah (Tablet Besi)
Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hamil harus
mendapat tablet tambah darah (tablet zat besi) dan asam folat
minimal 90 tablet selama kehamilan yang diberikan sejak kontak
pertama. Pada ANC pertama dilakukan pemeriksaan Hb dan
pemberian low dose suplemen zat besi 30 mg/hari. Pemberian terapi
zat besi akan meningkatkan hemoglobin maternal dan bayi yang baru
lahir, menurunkan kejadian anemia dalam kehamilan, defisiensi zat
besi saat persalinan dan kejadian bayi lahir dengan berat badan
rendah (Hulayya, 2021).
8. Periksa Laboratorium (Rutin dan Khusus)
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada ibu hamil
adalah pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus. Pemeriksaan
laboratorium rutin adalah pemeriksaan laboratorium yang harus
dilakukan pada setiap ibu hamil yaitu golongan darah, hemoglobin
darah, dan pemeriksaan spesifik daerah endemis/epidemi (malaria,
HIV dll). Sementara pemeriksaan laboratorium khusus adalah
pemeriksaan laboratorium lain yang dilakukan atas indikasi pada ibu
hamil yang melakukan kunjungan antenatal.
9. Tata laksana/Penanganan Khusus
Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal di atas dan hasil
pemeriksaan laboratorium, setiap kelainan yang ditemukan pada ibu
hamil harus ditangani sesuai dengan standar dan kewenangan tenaga
kesehatan. Kasus-kasus yang tidak dapat ditangani dirujuk sesuai
dengan sistem rujukan. Menyikat gigi sedikitnya 2 kali sehari yaitu
pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur dengan pemakaian
pasta gigi yang mengandung fluor (Perry A. G , 2005).
Selain itu juga tidak lupa Mengkonsumsi suplemen fluor dan
kalsium Gigi dibentuk saat janin berusia 4 bulan dalam kandungan.
Sehingga, ibu hamil sangat dianjurkan menkonsumsi suplemen fluor
dan kalsium untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan gigi
anak. Namun tidak berhenti saat hamil saja ibu membutuhkan gizi
yang baik, tetapi harus terus berlanjut hingga ibu menyusui dan anak
dalam tahap Makanan Pendamping ASI (MPASI). Selain itu,
biasakan anak minum susu dari gelas, membersihkan gigi dengan air
hangat menggunakan kapas pada bagian gigi dan mulut yang terkena
susu, serta lakukan pemeriksaan berkali ke pelayanan kesehatan gigi
Ketika anak berusia 2 tahun. (Risyadi, 2020)
10. Temu Wicara (konseling)
Temu wicara (konseling) dilakukan pada setiap kunjungan
antenatal yang meliputi:
1) Kesehatan ibu.
2) Perilaku hidup bersih dan sehat.
3) Peran suami/keluarga dalam kehamilan dan perencanaan
persalinan
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Afiyati, S. N. (2020). Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Pada Aspek Pengetahuan,


Sikap Dan Keterampilan Dalam Penyelenggaraan Makan Keluarga Sebagai
Upaya Penanggulangan Stunting Di Desa Donomulyo (Doctoral dissertation,
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).

Astuti, E. E. L., Wahyuningsih, E. P., & Yuliasti, E. (2020). Gambaran Faktor Risiko


Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24–59 Bulan Di Desa Karangsari Kabupaten
Kulon Progo Tahun 2019 (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta).

Dewi, N. L. Y. (2022). Gambaran Upaya Pencegahan Stunting Pada Dewasa Muda


Di Desa Tianyar Barat Kabupaten Karangasem Tahun 2022 (Doctoral
dissertation, Poltekkes Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan Tahun 2022).

Diah Tantri Suhendrawidi, K. (2018). Hubungan Antara Pemberian Asi Eksklusif


Dengan Kejadian Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng III.

Kemenkes RI (2018). Cegah Stunting Dengan Perbaikan Pola Makan, Pola Asuh dan
Sanitasi. Available at: http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatanp2ptm/subdit-penyakit-
diabetes-melitus-dangangguanmetabolik/cegah-stunting-dengan-perbaikan-pola-
makan-pola-asuh-dansanitasi

Laili, U., & Andriani, R. A. D. (2019). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pencegahan


Stunting. Jurnal Pengabdian Masyarakat IPTEKS, 5(1), 8-12.

Listyarini, A. D., Fatmawati, Y., Savitri, I., Studi, P., Keperawatan, I., Cendekia, S.,
& Kudus, U. (2020). Edukasi gizi ibu hamil dengan media booklet sebagai upaya
tindakan pencegahan stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas undaan
kabupaten kudus. http://jpk.jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id

Martina, S. E., & Siregar, R. (2020). Deteksi Dini Stunting Dalam Upaya Pencegahan
Stunting Pada Balita Di Desa Durin Tonggal, Pancur Batu, Sumatera Utara. Jurnal
Abdimas Mutiara, 1(1), 42-47.

Mitra, M. (2015). Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk


Mencegah Terjadinya Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan). Jurnal Kesehatan
Komunitas, 2(6), 254-261.

Nurfatimah, N., Anakoda, P., Ramadhan, K., Entoh, C., Sitorus, S. B. M., &
Longgupa, L. W. (2021). Perilaku Pencegahan Stunting pada Ibu Hamil. Poltekita :
Jurnal Ilmu Kesehatan, 15(2), 97–104. https://doi.org/10.33860p/jik.v15i2.475

Rahayu, A., Yulidasari, F., Putri, A. O., & Anggraini, L. (2018). Study guide-stunting
dan upaya pencegahannya. Yogyakarta: Penerbit CV Mine.

Satriawan, E. (2018). Strategi nasional percepatan pencegahan stunting 2018-


2024. Jakata: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Zain, G., & Kurniasari, R. (2023). Literature Review: Pengaruh Bentuk Media
Edukasi Gizi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Ibu dalam Upaya Pencegahan
Stunting pada Anak: Literature Review: The Influence of Nutrition Education
Media Forms on Increasing Mother's Knowledge to Prevent Stunting in
Children. JURNAL GIZI DAN KESEHATAN, 15(1), 131-139.

Anda mungkin juga menyukai