Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Stunting adalah kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan
karena malnutrisi jangka panjang. Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek
hingga melampaui deficit -2SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary dan
Solomous 2009 dalam Renyoet dkk, 2013). Stunting merupakan masalah kesehatan
utama di negara berpendapatan rendah dan menegah karena hubungannya dengan
peningkatan resiko kematian pada kanak-kanak, stunting juga mempengaruhi fisik dan
fungsional tubuh (The lancet 2008 dalam Fitri 2012).
Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah malnutrisi.
Masalah malnutrisi merupakan permasalahan global 25% populasi dengan mengalami
kelebihan berat badan, 17% anak usia sekolah yang memiliki berat badan kurang 28,5%
mengalami stunting (Indonesia health sector review, 2012). Malnutrisi akan membawa
dampak yang luas diantaranya mudah anak terkena infeksi dan gangguan tumbuh
kembang serta fungsi organ tubuhnya (Rodrignes L dan Cervantes A 2011 dalam Giri
2013).
Kekurangan gizi kronis dalam bentuk anak pendek (stunting) masih umum di
beberapa negara. Data PBB 2008 dalam Rah et al 2010, di seluruh dunia mempengaruhi
hampir sepertiga dari anak di bawah lima tahun, dengan prevalensi yang lebih tinggi di
negara-negara sumber daya Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan (Renyoet dkk 2013),
sedangkan menurut data yang 2 dikeluarkan Unicef terdapat sekitar 195 juta anak yang
hidup di negara miskin dan berkembang mengalami stunting (Shashidar 2009 dalam
Wiyogawati 2010). Data dari world health statistic 2011 menunjukan prevalensi stunting
secara global mencapai 26,7% dan gizi kurang mencapai 16,2% (WHO 2012 dalam
Soemardi dkk 2013).
Masalah malnutrisi yang mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini adalah masalah
kurang gizi kronis dalam bentuk anak pendek atau stunting. Stunting adalah masalah gizi
utama yang makin mengkhwatirkan mengingat terdapatnya hubungan antara stunting dan
penyakit tidak menular di kemudian hari, yang saat ini menjadi mayoritas beban penyakit
di indonesia. Kaitan antara stunting dengan penyakit tidak menular belum sepenuhnya
dipahami atau ditangani dengan baik oleh pembuat petugas kesehatan dan pembuat
kebijakan (kebijakan gerakan sadar gizi, 2012).
Status gizi balita harus sangat dijaga dan diperhatikan oleh orang tua, karena terjadi
malnutrisi pada masa ini dapat mengakibatkan kerusakan yang irreversible yaitu sulit
untuk pulih kembali. Sangat mungkin ukuran tubuh pendek adalah salah satu indikator
atau petunjuk kekurangan gizi yang berkepanjangan pada balita. Kekurangan gizi yang
lebih fatal akan berdampak pada perkembangan otak (Agria dkk 2012 dalam Dewi 2013).
Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi tantangan yang lebih besar
memasuki era globalisasi karena harus bersaing dengan negaranegara lain dalam berbagai
bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas, salah satunya adlah aspek 3 kesehatan. Salah satu komponen dari aspek
kesehatan adalah gizi. Gizi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan
pembangunan kesehatan sebuah negara dalam membangun sumber daya manusia yang
berkualitas (Depkes RI 2009 dalam Rosary dkk 2013). Gizi merupakan salah satu
penentu kualitas sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif
(Dahlia, 2012).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersedian sumber daya
manusia yanb berkualitas, yaitu sumber daya yang memiliki fisik yang tangguh, mental
yang kuat, kesehatan yang prima, seta cerdas. Kualitas bangsa dimasa depan sangat
dipengaruhi oleh status gizi pada saat ini, terutama anak di bawah usia 5 tahun. Upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dengan perhatian utama pada proses
tumbuh kembang anak sejak pertumbuhan sampai mencapai usia dewasa muda (Rahim,
2011).
Masa balita adalah masa yang sangat penting dalam upaya menciptakan sumber
daya manusia yang berkualitas. Masa balita merupakan golden age (periode keemasan)
yaitu periode yang penting dalam proses tumbuh kembang manusia, pertumuhan
danperkembangan dimasa itu menjadipenentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak diperiode selanjutnya (Hurlock EB, 2006). System persarafan terjadi
pertumbuan otak pada masa balita secara berkelanjutan hingga 80% dan peningkatan
ketrampilan inelektual (Potts dan Mandleco 2007 dalam Nurhidayati 2011).
Gangguan perkembangan dan pertumbuhan pada balita yang mempengaruhi
ketahanan fisik dan kecerdasan sehingga dapat memberi 4 dampak terhadap kehidupan
pada masa yang akn datang. Digambarkan pula, ada kekhawatiran jika permasalahan gizi
pada balita tidak ditanggulangi akan menyebabkan generasi yang hilang (lost generation),
yaitu suatu keadaan yang bebahaya bagi kelangsungan suatu bangsa (Novayeni dkk,
2011). Anak di bawah usia lima tahun salah satu kelompok yang beresiko tinggi
mengalami gangguan perkembangan fisik apabila ada gangguan gizi (Soetjiningsih 2002
dalam Shafran, Kusnanto dan Fuad 2008). Masalah gizi dan kesehatan pada anak
umumnya adalah gizi buruk, gizi kurang, gizi lebih, masalah pendek/ stunting, anemia
kekurangan zat besi, dan karies gigi (Soetardjo, 2011).
Indonesia telah berhasil menurunkan angka kekurangan gizi pada anak usia di
bawah lima tahun (balita) dari 24-50% dari tahun 2005 menjadi 17,90% pada tahun 2010
(Riskesdas, 2010). Dalam perjalanannya Indonesia berhasil menurunkan angka gizi
kurang dan gizi buruk. Namun Indonesia dihadapkan pada pembangunan pangan dan gizi
yang lain, yaitu masih tingginya prevalensi balita yang pendek (stunting). Walaupun
penurunan prevalensi anak balita yang gizi kurang dan gizi buruk cukup bermakna,
namun prevalensi anak balita pendek masih memprihatinkan (Bappenas 2011).
Prevalensi balita stunting pada tahun 2007 berdasarkan data riset kesehatan dasar
(2007) di Indonesia serta nasional sebesar 36,8% (Riskesdas, 2007). Berdasarkan data
Riskesdar (2010), untuk skala nasional prevalensi balita stunting sebesar 35,6% atau
turun 1,2% dibandingkan dengan 2007 5 (Riskesdas, 2010). Sedangkan prevalensi balita
stunting secara nasional pada tahun 2013 adalah 37,2% atau meningkat 1,6%
dibandingkan tahun 2010 (Riskesdas, 2013).
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi Stunting
stunting adalah kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan
anak kurang jika dibandingkan dengan umurnya, di mana anak mengalami
gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan tubuhnya lebih pendek
ketimbang teman-teman seusianya dan memiliki penyebab utama kekurangan
nutrisi. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari
minus dua standar deviasi media standar pertumbuhan anak dari WHO (Pusat
Data dan Informasi Kemenkes RI, 2018). Anak masuk ke dalam kategori
stunting ketika panjang atau tinggi badannya menunjukkan angka di bawah -2
standar deviasi (SD). Terlebih lagi, jika kondisi ini dialami anak yang masih
di bawah usia 2 tahun dan harus ditangani dengan segera dan tepat.
Stunting adalah indikator dari hasil malnutrisi yang memperburuk
keadaan anak pada usia dini dan sangat terkait dengan kondisi jangka pendek
dan jangka panjang (Takele, dkk. 2019). Stunting merupakan suatu kondisi
dimana terjadi gagal tumbuh pada anak balita (bawah lima tahun) disebabkan
oleh kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi berada di dalam kandungan dan pada masa
awal setelah bayi dilahirkan. Akan tetapi, kondisi stunting baru akan muncul
setelah anak berusia 2 tahun.

2. Klasifikasi
Penilaian status gizi pada anak biasanya menggunakan pengukuran
antopometri, secara umum pengukuran antopometri berhubungan dengan
pengukuran dimensi tubuh. (SDIDTK, 2016). Keadaan Stunting dapat
diketahui berdasarkan pengukuran TB/U lalu dibandingkan dengan standar.
Secara fisik balita Stunting akan tampak lebih dari balita seusianya.
Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Pendek
dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit
dalam pertumbuhan. Stunting adalah pertumbuhan linear yang gagal
mencapai potensi genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi yang
suboptimal (Anisa, 2012).

3. Etiologi
a. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi sebelum hamil, saat hamil,
dan setelah melahirkan
b. Terbatasnya akses pelayanan kesehatan, termasuk layanan kehamilan dan
postnatal (setelah melahirkan)
c. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi
d. Masih kurangnya akses makanan bergizi karena tergolong mahal

4. Tanda dan gejala


Menurut kementrian desa, (2017) balita Stunting dapat dikenali dengan ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tubuh adalah 5cm/tahun
b. Kecepatan tumbuh tinggi badan < 4 cm/tahun kemungkinan ada kelainan
hormonal
c. Umur tulang (bone age) bisa normal atau terlambat untuk umurnya
d. Tanda pubertas terlambat
e. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar
f. Pertumbuhan gigi terlambat
g. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam
h. Pertumbuhan melambat
i. Wajah tampak lebih muda dari usianya

5. Patofisiologi Stunting
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai
usia 24 bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbaginya kejar tubuh
(catch up growth) yang memadai (Mitra, 2015). Masalah Stunting terjadi
karena adanya adaptasi fisiologi pertumbuhan atau non patologis, karena
penyebab secara langsung adalah masalah pada asupan makanan dan
tingginya penyakit infeksi kronis terutama ISPA dan diare, sehingga memberi
dampak terhadap proses pertumbuhan balita (Sudiman, 2018).
Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan berkurangnya
lapisan lemak dibawah kulit hal ini terjadi karena kurangnya asupan gizi
sehingga tubuh memanfaatkan cadangan lemak yang ada, selain itu imunisasi
dan produksi albumin juga ikut menurun sehingga balita akan mudah
terserang infeksi dan mengalami perlambatan perubahan dan perkembangan.
Balita denga gizi kurang akan mengalami peningkatan kadar asam basa pada
seluruh cerna yang akan menimbulkan diare (Maryunani, 2016).

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurarif dan Kusuma, 2016 mengatakan pemeriksaan penunjang
untuk Stunting antara lain:
a. Melakukan pemeriksaan fisik
b. Melakukan pengukuran antropometri BB, TB/PB, LILA, lingkar kepala.
c. Melakukan penghitungan IMT
d. Pemeriksaan laboratorium darah: albumin, globulin, protein total
elektrolit serum

7. Penatalaksanaan
Menurut khoeroh dan indriyanti, 2017 beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mengatasi Stunting yaitu:
a. Penilaian status gizi yang dapat dilakukan melalui kegiatan posyandu
setiap bulan
b. Pemberian makanan tambahan pada balita
c. Pemberian vitamin A
d. Memberi konseling oleh tenaga gizi tentang kecukupan gizi balita
e. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia 2
tahun, dengan ditambah asupan MP-ASI
f. Pemberian suplemen menggunakan makanan penyediaan makanan dan
minuman menggunakan bahan makanan yang sudah umum dapat
meningkatkan asupan energi dan zat gizi yang besar bagi banyak pasien
g. Pemberian suplemen menggunakan suplemen gizi khusus peroral siap
guna yang dapat digunakan bersama makanan untuk memenuhi
kekurangan gizi.

8. Komplikasi
Menurut Kementrian desa, 2017 dampak buruk yang ditimbulkan akibat
Stunting antara lain:
a. Anak akan mudah mengalami sakit
b. Postur tubuh tidak maksimal saat dewasa
c. Kemampuan kognitif berkurang
d. Saat tua berisiko terkena penyakit yang berhubungan dengan pola makan
e. Fungsi tubuh tidak seimbang
f. Mengakibatkan kerugian ekonomi
Menurut WHO dalam Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2018) dampak
yang ditimbulkan Stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan
jangka panjang:
1) Dampak jangka pendek: Meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian,
Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal,
Peningkatan biaya kesehatan.
2) Dampak jangka panjang: Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa
(lebih pendek dibandingkan pada umumnya), Meningkatnya risiko
obesitas dan penyakit lainnya, Menurunnya kesehatan reproduksi,
Kapasitas balajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah,
Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
Dari sepuluh jurnal ini
Di tambahkan Keaslian penelitian di bab 2 terdiri dari

Judulnya peneitiannya siapa


Nama pengarang
Tempat penelitian
Metode
Hasil
Perbedaan

Quesener

Anda mungkin juga menyukai