Anda di halaman 1dari 14

Dosen Pengampu: Yade K. Yasin, M.

Gizi, RD

TUGAS GIZI KESEHATAN MASYARAKAT


MAKALAH

MASALAH GIZI DAN RENCANA PENANGANANNYA


PADA BALITA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
SYAHRUL Z (200304501026)
SILVIA DEWI SAPUTRI (200304501029)
FUTRIANI (200304502022)
SRI SINTA RESKY (200304502045)
TIARA PANGALINGAN (200304502048)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KESEHATAN


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
A. Gambaran Umum
Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
utama di Indonesia. Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita
karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat.
Balita termasuk kelompok yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat
di mana masa itu merupakan masa peralihan antara saat disapih dan mulai
mengikuti pola makan orang dewasa.
Masalah gizi dapat dinilai melalui status gizinya. Status gizi adalah
keadaan gizi seseorang yang dapat dilihat untuk mengetahui apakah
seseorang tersebut itu normal atau bermasalah (gizi salah). Gizi salah
adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau
kelebihan dan atau keseimbangan zat-zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, kecerdasan dan aktivitas atau produktivitas. Status gizi juga
dapat merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
dimasukkan ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh
(nutrient output) akan zat gizi tersebut.
Balita adalah anak yang berumur di bawah lima tahun, tidak
termasuk bayi karena bayi mempunyai karakter makan yang khusus
(Irianto dalam Wahyuni, 2018). Menurut Peraturan Menteri Nomor 25
tahun 2014 pasal 1 ayat 4, anak balita adalah anak umur 12 bulan sampai
dengan 59 bulan. Menurut Maria Montessori menyatakan bahwa pada
rentang usia lahir sampai 6 tahun anak mengalami masa keemasan (golden
age) yang merupakan masa dimana anak mulai peka/sensitive menerima
berbagai rangsangan.
Karakteristik balita menurut Septriasa (2012) dalam Widyawati,
dkk (2016) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua yaitu:
1) Anak usia 1-3 tahun, merupakan konsumen pasif artinya anak
menerima makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan
usia balita lebih besar dari usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah
makanan yang relatif besar. Perut yang lebih kecil menyebabkan
jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih
kecil bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih besar. Oleh
sebab itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan
frekuensi sering;
2) Anak usia prasekolah (3-5 tahun), anak menjadi konsumen aktif yang
mulai memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan
anak cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak
beraktivitas lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak
makanan yang disediakan orang tuanya.
Hingga anak menginjak usia dua tahun, ini merupakan periode
kritis bagi anak dan termasuk dalam periode window of opportunity. Pada
periode ini sel-sel otak tumbuh sangat cepat sehingga saat umur dua tahun
pertumbuhan otak sudah mencapai lebih dari 80% dan masa kritis bagi
pembentukan kecerdasan (Susilowati dan Kuspriyanto, 2016). Pada umur
tersebut anak berada pada periode tumbuh kembang manusia yang disebut
dengan the golden age. Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan
bahwa the golden age terdapat pada masa konsepsi, yaitu sejak manusia
masih dalam rahim ibu hingga beberapa tahun pertama kelahirannya yang
diistilahkan dengan usia dini (Uce, 2017).
Setelah anak berumur 24 bulan, tidak ada lagi pertambahan sel-sel
neuron baru seperti yang terjadi pada umur sebelumnya, tetapi
pematangannya masih berlangsung sampai anak berusia empat atau lima
tahun. Pada masa awal-awal kehidupan yang dimulai kira-kira umur 3
tahun 11 anak mulai mampu untuk menerima keterampilan sebagai dasar
pembentukan pengetahuan dan proses berpikir (Uce, 2017).
Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga
pada perkembangan mental dan kecerdasannya. Dampak tersebut akan
terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak
kompetitif sehingga berakibat pada rendahnya produktivitas ekonominya
pada usia dewasa (1000 HPK, 2013). Jika pada usia ini, seorang anak
mengalami kekurangan gizi maka perkembangan otak dan kecerdasannya
terhambat dan tidak dapat diperbaiki (Susilowati dan Kuspriyanto. 2016).
B. Masalah Gizi secara Umum
Permasalahan gizi masih menjadi tantangan yang nyata di negara-
negara berkembang. Seperti di Indonesia sendiri, dimana Indonesia kini
menghadapi masalah gizi ganda, yaitu gizi kurang di satu sisi dan
kegemukan di sisi lainnya. Prevalensi balita pendek (stunting) cenderung
tidak mengalami perbaikan dalam satu dekade terakhir.
Menurut UNICEF, status gizi balita dipengaruhi langsung oleh
asupan makanan dan penyakit infeksi. Asupan zat gizi pada makanan yang
tidak optimal dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gizi lebih.
Masalah gizi pada balita antara lain:
1. Kekurangan Energi Protein (KEP)
KEP adalah sebuah kondisi dimana kita mengalami kekurangan
asupan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama dan
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan asupan zat gizi dan
penyakit infeksi.
2. Kekurangan Vitamin A (KVA)
Hal ini biasa terjadi pada anak yang menderita KEP atau gizi buruk
sebagai asupan gizi yang sangat kurang, termasuk zat gizi makro
dalam hal ini adalah vitamin A. Anak dengan diagnosa KVA akan
mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut,
campak, cacar air, dan beberapa infeksi lain.
3. Anemia Gizi Besi (AGB)
Keadaan ini merupakan keadaan dimana anemia yang terjadi
disebabkan karena defisiensi atau kekurangan zat besi pada tubuh
anak. Kondisi ini termasuk kedalam kondisi yang berbahaya dan
mempunyai dampak pada hampir seluruh organ tubuh pada anak.
4. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
Hal ini dapat terjadi dikarenakan kurang asupan yodium yang
dapat menyebabkan produksi hormon tiroid di dalam tubuh sehingga
menyebabkan masuknya penyakit hipotiroid dan penyakit gondok.
5. Gizi Lebih
Gizi lebih merupakan suatu kondisi dimana jumlah asupan gizi
yang masuk ke dalam tubuh melebihi kebutuhan gizi hariannya. Hal
ini didukung juga ketika hal tersebut tidak disertai dengan aktivitas
fisik yang rutin dan setara, sehingga terjadilah penimbunan lemak pada
tubuh anak.
6. Stunting
Stunting adalah sebuah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di
bawah lima tahun yang disebabkan kekurangan gizi pada waktu yang
lama. Hal ini terlihat dimana tinggi badan seseorang lebih pendek
dibanding tinggi badan orang lain pada umumnya (seusia).
Berdasarkan angka status gizi pada balita diketahui bahwa kejadian
permasalahan stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya seperti wasting dan overweight. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan adanya penurunan
prevalensi stunting di tingkat Nasional sebesar 6.4 %.

C. Masalah Gizi secara Khusus


1. Pengertian Stunting
Stunting adalah sebuah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di
bawah lima tahun yang disebabkan kekurangan gizi pada waktu yang
lama. Hal ini terlihat dimana tinggi badan seseorang lebih pendek
dibanding tinggi badan orang lain pada umumnya (seusia).
Stunting menurut WHO adalah suatu gangguan pertumbuhan pada
anak akibat asupan nutrisi yang buruk, infeksi berulang dan stimulasi
psikososial yang tidak kuat. Kondisi gagal tumbuh pada anak balita
akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak lebih pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan
masa awal kehidupan setelah lahir tetapi baru tampak setelah anak
berusia 2 tahun.
Stunting juga didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana keadaan
tubuh pendek atau sangat pendek yang didasarkan pada indeks
panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur
(TB/U) dengan ambang batas (z-score) antara -3 SD dari median
standar pertumbuhan anak menurut WHO untuk kategori usia dan
jenis kelamin yang sama.
2. Faktor Penyebab Stunting
Berdasarkan penilitian yang telah dilakukan oleh beberapa pakar,
diketahui bahwa stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja,
melainkan beberapa faktor. Stunting dikaitkan dengan berat badan
lahir, diare, pengetahuan dan tingkat pendidikan ibu, pendapatan
keluarga, dan sanitasi. Pengetahuan tenaga kesehatan dan masyarakat
terhadap faktor penyebab stunting merupakan hal penting karena
diharapkan dapat berkontribusi untuk mencegah terjadinya stunting
dan menurunkan angka stunting di masyarakat.
Dari beberapa penyebab stunting yang ada, yang menjadi fokus
dalam pengelompokkan faktor penyebab stunting, diantaranya:
a. Pengetahuan ibu dan pola asuh orang tua
Pendidikan ibu secara tidak langsung berhubungan dengan
pengambilan keputusan terhadap gizi dan perawatan kesehatan.
Ibu dengan pendidikan lebih baik akan mempertimbangkan gizi
yang baik untuk anak. Selain itu, pola asuh yang tidak tepat juga
berkontribusi secara tidak langsung terhadap risiko terjadinya
stunting. Pola asuh didefinisikan sebagai sebuah praktik
pengasuhan dengan ketersediaan pangan, perawatan kesehatan,
dan sumber lain di dalam rumah tangga yang bertujuan untuk
kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak.
Anak-anak dengan pemberian makan yang kurang baik, praktik
kebersihan dan kesehatan yang kurang baik memiliki risiko yang
lebih tinggi mengalami stunting.
b. BBLR dan status gizi
Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan faktor risiko paling
dominan terhadap kejadian stunting pada anak. Lingkungan pra
kelahiran yang merupakan pertumbuhan saat masa janin dapat
dilihat dari indikator berat badan lahir dan berdampak pada
pertumbuhan anak setelah lahir. Hal ini mengindikasikan urgensi
perhatian terhadap status gizi ibu saat hamil. Tidak hanya status
gizi ibu saat hamil, status gizi anak juga berkaitan dengan stunting.
Hal ini terbukti dari anak dengan tingkat kecukupan protein dan
zinc yang kurang memiliki risiko yang lebih besar mengalami
stunting dibandingkan dengan anak dengan asupan protein dan
zinc yang cukup. Status gizi berhubungan dengan ketahanan
pangan. Keluarga dengan ketahanan pangan yang cukup
cenderung memiliki status gizi yang baik.
c. Status ekonomi keluarga
Tingkat sosial ekonomi keluarga memiliki dampak signifikan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Kondisi sosial
ekonomi yang mencakup sanitasi dan sumber air minum yang
tidak memiliki akses yang tidak sesuai berisiko besar terhadap
terjadinya stunting. Balita dari keluarga dengan pendapatan
perkapita kurang memiliki risiko 5,385 kali mengalami stunting
dibanding dengan balita dari keluarga dengan pendapatan cukup.
Penjelasan yang memungkinkan untuk hal ini adalah keluarga
dengan status ekonomi kurang memiliki daya beli yang kurang
terhadap makanan yang memiliki zat gizi baik sehingga berisiko
terjadi kekurangan zat gizi makro dan mikro. Kekurangan zat gizi
inilah yang dapat meningkatkan risiko stunting.
3. Pengukuran Stunting
Cara untuk mendeteksi stunting pada Balita diantaranya dengan
pengukuran klinis atau antropometri. Pengukuran klinis merupakan
metode yang penting untuk mengetahui status gizi balita berdasarkan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh anak. Hal ini dapat
dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, rambut, atau mata. Adapun
antropometri didasarkan pada ukuran tubuh manusia dan dilakukan
sesuai dengan usia anak (Supariasa, dkk, 2012). Antropometri secara
umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein
dan energi. Ketidakseimbangan terlihat pada pola pertumbuhan fisik
dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam
tubuh. Beberapa indeks pengukuran yang digunakan dalam penentuan
status gizi yaitu indeks berat badan menurut umur (BB/U), indeks
tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB).
Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan
lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang
mendadak, seperti terserang infeksi, kurang nafsu makan, dan
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Oleh karena itu
indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang.
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan pada
keadaan normal tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang
sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan tampak dalam
waktu yang relatif lama. Oleh karena hal tersebut, indeks TB/U
menggambarkan status masa lampau. Berat badan mempunyai
hubungan yang linear dengan tinggi badan. Perkembangan berat
badan dalam keadaan normal cenderung searah dengan pertumbuhan
berat badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, dkk., 2012).

D. Rencana Penanganan
Dalam penanganan stunting, pemerintah mengambil kebijakan
penanggulangan masalah gizi berdasarkan pada Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis
Pangan dan Gizi. Kebijakan ini berhubungan dengan ketersediaan pangan,
keterjangkauan pangan, pemanfaatan pangan, perbaikan gizi masyarakat,
serta penguatan kelembagaan dan gizi.
1. Program Kesehatan yang Dicanangkan
Melihat dari penyebab terjadinya stunting, ada beberapa program
yang dapat dijalankan dengan melihat beberapa sasarannya. Sasaran
yang dimaksud disini adalah para ibu rumah tangga, tenaga kesehatan,
kader, maupun balita itu secara langsung. Beberapa program itu
adalah:
a. Aceting (Ayo Cegah Stunting)
Program ini berorientasi pada pemberian edukasi untuk menambah
wawasan, yang sasarannya adalah para ibu dan tenaga kesehatan.
Aceting ini akan memberikan pemahaman terkait bahaya stunting,
gejala-gejala stunting, cara pencegahannya, serta langkah
penanganan yang dapat dilakukan jika sudah terjadi.
b. Sehari dengan makanan seimbang
Program ini berorientasi pada pemberian makanan dengan gizi
yang seimbang yang telah di konsultasikan dengan pakar gizi
anak. Sasaran langsung dari program ini adalah balita yang ada di
sebuah keluarga pada suatu desa. Sedangkan sasaran tidak
langsung dari program ini adalah ibu dari balita itu sendiri. Hal ini
dapat terjadi ketika sang ibu membawa anaknya untuk mengikuti
program ini, secara tidak langsung dapat memberikan pemahaman
kepada ibu terkait apa saja makanan yang seimbang itu, apa
makanan yang bisa dan tidak bisa dikonsumsi di usia anaknya,
serta mengetahui porsi makanan untuk anaknya.
2. Pengorganisasian Pelaksanaan Program
Berdasarkan program yang telah ditetapkan, hal pertama yang
dapat dilakukan sebagai bentuk pengoraganisasian pelaksanaan
program adalah membentuk tim untuk turun langsung menjalankan
program yang ada. Contohnya untuk program aceting yang telah
dicanangkan, kita membutuhkan sekitar 5 orang sebagai penggerak
utama yang didapatkan dari suka relawan yang memang relevan
dengan kasus gizi untuk memberikan edukasi terkait stunting. Dari 5
orang penggerak utama ini dapat ditambah lagi melalui pemberdaayan
masyarakat, remaja, atau mahasiswa yang ada di daerah itu untuk ikut
andil dalam menyukseskan program ini. Program aceting ini dapat
dilaksanakan dua kali sebulan untuk mengetahui perkembangan yang
terjadi pada balita dan keluarga. Pemateri untuk pemberian edukasi ini
tidak hanya dari sukarelawan, kita juga dapat mengundang ahli gizi
dari rumah sakit luar untuk memberikan edukasi serta menambah
semangat para ibu agar mau mengikuti program ini, yang tentunya
melalui kerja sama antar puskemas yang ada dan pemerintah.
Pelaksanaan program yang selanjutnya yaitu sehari dengan
makanan seimbang ini dapat dilakukan dengan membuat sebuah tim
masak. Karena program ini berorientasi pada pemberian makanan
yang dilakukan pada sebuah tempat berkumpul, maka program ini
dapat dilaksanakan sekali seminggu. Konsep dari program ini adalah
pemberian makanan pada satu hari yang telah ditentukan, yang mana
dari satu hari itu diharapkan ibu dapat menerapkan dan melanjutkan
pemberian makanan seimbang dirumah pada hari-hari selanjutnya.
Pelaksanaan program ini diharapkan dapat dikoordinir langsung oleh
tim dari puskesmas serta bantuan dari pemerintah untuk menghadirkan
masyarakatnya.
3. Monitoring serta Evaluasi Program
Monitoring program berjalan dapat dilaksanakan per 2 minggu
sekali setelah pelaksanaan perdana program, agar dapat menilai
jalannya program berjalan serta langsung dapat memperbaiki jika
terjadi penyimpangan dari perencanaan awal program. Monitoring
dapat dilakukan dengan cara mewawancarai sasaran yaitu ibu dan
balita yang mengikuti program atau dapat dilakukan dengan observasi
lapangan untuk melihat langsung perkembangan yang terjadi pada
masyarakat.
Untuk evaluasi program ini dapat dilakukan setiap sebulan sekali
setelah pelaksanaan perdana program. Karena program ini merupakan
program jangka panjang, maka untuk mengetahui perkembangan yang
terjadi pada masyarakat diperlukan adanya pemeriksaan di awal
sebelum program dijalankan atau dalam kata lain perlu dilakukannya
pra test untuk mengetahui seberapa banyak yang telah dipahami serta
sebagai tolak ukura pengukuran status gizi diakhir nanti. Setelah 5-6
kali pelaksanaan, dapat dilakukan post test untuk mengetahui
keberhasilan dari program yang telah dilakukan. Apakah terdapat
perkembangan atau perubahan yang berarti untuk mengatasi masalah
stunting pada balita dan untuk menentukan keberlanjutan program.
4. Output Program
Melalui program aceting dan sehari dengan makanan seimbang ini
diharapkan dapat menjadi kerangka acuan untuk perbaikan status gizi
masyarakat, terutamanya untuk kebutuhan gizi balita. Beberapa output
yang diharapkan melalui program ini antara lain adalah:
a. Meningkatnya pemahaman ibu dan tenaga kesehatan terkait
makanan bergizi dan seimbang yang diperlukan untuk tumbuh
kembang balitanya.
b. Meningkatnya kesadaran ibu untuk memberikan makanan yang
bergizi.
c. Terpenuhinya kebutuhan gizi untuk membantu tumbuh kembang
balita.
d. Adanya sebuah percontohan yang dapat ditiru oleh ibu dalam
memberikan porsi makanan kepada anak balitanya.
e. Menurunnya angka stunting melalui penerapan kedua program ini.

E. Kesimpulan
Status gizi balita ini dipengaruhi langsung oleh asupan makanan
dan penyakit infeksi. Asupan zat gizi pada makanan yang tidak optimal
dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi pada
balita antara lain kekurangan energi protein (KEP), kekurangan vitamin A
(KVA), anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan yodium
(GAKY) dan gizi lebih serta masalah gizi lain pada balita adalah stunting.
Stunting didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana keadaan tubuh pendek
atau sangat pendek yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut
umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan ambang
batas (z-score) antara -3 SD dari median standar pertumbuhan anak
menurut WHO untuk kategori usia dan jenis kelamin yang sama.
Cara untuk mendeteksi stunting pada balita diantaranya dengan
pengukuran klinis atau antropometri. Kedua cara pengukuran ini dapat
dilakukan dengan melibatkan jaringan epitel (kulit, rambut, atau mata) dan
pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot,
dan jumlah air dalam tubuh.
Adapun langkah pencegahan dan penanganan yang dapat dilakukan
adalah dengan melaksanakan program aceting dan sehari dengan makanan
seimbang. Aceting yang merupakan program yang berorientasi pada
pemberi ediukasi terkait stunting yang dapat dilaksanakan setiap 2 kali
sebulan. Sedangkan program sehari dengan makanan seimbang merupakan
program yang berorientasi pada pemberian makanan seimbang untuk
setiap seminggu sekali yang sasarannya merupakan anak balita. Untuk
monitoring serta evaluasi program dapat dilaksanakan setiap sebulan
sekali dengan menggunakan metode pra test dan post test pada
penilaiannya. Dari program ini diharapkan dapat meningkatnya
pemahaman ibu dan tenaga kesehatan terkait makanan bergizi dan
seimbang yang diperlukan untuk tumbuh kembang balitanya,
meningkatnya kesadaran ibu untuk memberikan makanan yang bergizi,
terpenuhinya kebutuhan gizi untuk membantu tumbuh kembang balita,
adanya sebuah percontohan yang dapat ditiru oleh ibu dalam memberikan
porsi makanan kepada anak balitanya dan menurunnya angka stunting
melalui penerapan kedua program ini.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, R., Utami, T.N. and Asriwati, A., 2020. Hubungan Perilaku Keluarga
Sadar Gizi dengan Kejadian Stunting Balita dan Evaluasi Program. Jurnal
Keperawatan Priority, 3(2), pp.42-52. Dilihat pada 16 April 2022,
http://jurnal.unprimdn.ac.id/index.php/jukep/article/view/948/8.
Ariani, M., 2020. Determinan Penyebab Kejadian Stunting Pada Balita: Tinjauan
Literatur. DINAMIKA KESEHATAN: JURNAL KEBIDANAN DAN
KEPERAWATAN, 11(1), pp.172-186. Dilihat pada 15 April 2022, doi:
http://10.33859/dksm.v11i1.559.
Ernawati, A., 2019. Analisis implementasi program penanggulangan gizi buruk
pada anak balita di Puskesmas Jakenan Kabupaten Pati. Jurnal Litbang:
Media Informasi Penelitian, Pengembangan dan IPTEK, 15(1), pp.39-50.
Dilihat pada 15 April 2022,
https://ejurnal-litbang.patikab.go.id/index.php/jl/article/view/131/118.
Utami, N.H. and Mubasyiroh, R., 2019. Masalah gizi balita dan hubungannya
dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakat. Penelitian Gizi dan
Makanan (The Journal of Nutrition and Food Research), 42(1), pp.1-10.
Dilihat pada 16 April 2022, doi: http://10.22435/pgm.v42i1.2416.
Yanti, Nova Dwi, Feni Betriana dan Imelda Rahmayunia Kartika, 2020. Faktor
penyebab stunting pada anak: Tinjauan literatur. REAL in Nursing Journal
(RNJ), 3(1), pp. 1-10.
NOTULENSI PRESENTASI

Pertanyaan yang Di Lemparkan ke Kelompok 4 Gizi Kesehatan Masyarakat:


1. (MELINDA)
Apakah program perbaikan gizi dari pemerintah, sudah mampu
menurunkan angka kasus stunting pada balita dan bisa mengatasi stunting
jika ditinjau dari faktor penyebabnya yaitu faktor langsung dan tidak
langsung
DIJAWAB OLEH: TIARA PANGALINGAN dan DITAMBAHKAN oleh
SRI SINTA RESKY

2. (PAULARIA INTAN TANDIBUA)


Apakah permasalahan gizi buruk pada balita berpengaruh terhadap fungsi
otak, jika berpengaruh coba jelaskan bagaimana kedepannya fungsi otak
pada alita tersebut.
DI JAWAB OLEH: SRI SINTA RESKY dan SILVIA DEWI SAPUTRI

3. (AINUN GHITZA)
Sebutkan contoh gizi buruk tidak langsung.
DIJAWAB OLEH: SRI SINTA RESKY

Anda mungkin juga menyukai