Anda di halaman 1dari 12

FAKTOR PENGARUH MUNCULNYA GEJALA STUNTING DI DESA TALESAN,

KECAMATAN PURWANTORO, KABUPATEN WONOGIRI

Sesario Aulia, M.Kn, Fitria Wulandari, Luqman Abdul Ghoniy, Siti Amini

Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

sesario@gmail.com

luqmangoni@gmail.com fitriaawhuland@email.com sitiaminy4@gmail.com

kpm10@iainponorogo.ac.id

Abstrak

Secara umum, stunting menjadi salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs). Saat ini
Indonesia tengah berproses mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs ke-2 yaitu
mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik, dan
mendukung pertanian berkelanjutan. Target yang termasuk di dalamnya adalah
penanggulangan masalah stunting yang diupayakan menurun pada tahun 2025. Stunting
dalam hal ini layak mendapat perhatian lebih karena dapat berdampak bagi kehidupan anak
sampai tumbuh besar, terutama risiko gangguan perkembangan fisik dan kognitif jika tidak
segera ditangani dengan baik maka akan berdampak buruk pula bagi tatanan kehidupan.
Tulisan ini dibuat dengan melakukan tinjauan pustaka dari berbagai sumber khususnya dicari
menggunakan search engine yaitu google scholar, dengan mengutamakan sumber dari lima
tahun terakhir dan merupakan riset yang dilakukan terhadap populasi di Indonesia. Berdasarkan
hasil identifikasi dan telaah beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa berbagai faktor risiko
terjadinya stunting di Indonesia dapat berasal dari faktor ibu, anak, maupun lingkungan. Faktor ibu
dapat meliputi usia ibu saat hamil, tinggi ibu, pemberian ASI ataupun MPASI. Faktor anak dapat
berupa riwayat berat badan lahir rendah ataupun prematur, anak dengan jenis kelamin laki-laki,
riwayat diare yang sering dan berulang, riwayat penyakit menular, dan anak tidak mendapat
imunisasi. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi stunting di desa Talesan, kecamatan
Purwantoro, kabupaten Wonogiri secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan
kurangnya asupan gizi secara kualitas maupun kuantitas. Adapun faktor secara tidak langsung
yaitu dari faktor sosial ekonomi, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,Asi eksklusif,
status imunisasi, serta pola asuh yang kurang memadai.Lingkungan dengan status sosial
ekonomi yang rendah, pendidikan keluarga terutama ibu yang kurang, pendapatan keluarga yang
kurang, kebiasaan buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun ataupun jamban
yang tidak memadai, air minum yang tidak diolah, dan tingginya pajanan pestisida juga
berkontribusi dalam menimbulkan kejadian stunting.

Kata kunci: Stunting, gizi buruk, penyebab, faktor, resiko


Abstract

In general, stunting is one of the goals of the Sustainable Development Goals (SDGs). Currently,
Indonesia is in the process of realizing the 2nd SDGs or sustainable development goals,
namely ending hunger, achieving better food security and nutrition, and supporting sustainable
agriculture. The target included in this is tackling the problem of stunting which is to be
reduced by 2025. Stunting in this case deserves more attention because it can have an impact on
children's lives until they grow up, especially the risk of impaired physical and cognitive
development if not handled properly it will have an impact also bad for the order of life. This
paper was made by conducting a literature review from various sources, specifically searched
using a search engine, namely Google Scholar, with emphasis on sources from the last five years
and is research conducted on populations in Indonesia. Based on the results of identification and
analysis of several sources, it can be concluded that various risk factors for stunting in
Indonesia can come from maternal, child and environmental factors. Maternal factors can
include the mother's age during pregnancy, mother's height, breastfeeding or solids. Child
factors can be in the form of a history of low or premature birth weight, a male child, a history
of frequent and recurrent diarrhea, a history of infectious diseases, and children not receiving
immunizations. Factors that can influence stunting in Talesan village, Purwantoro subdistrict,
Wonogiri district are directly influenced by infectious diseases and
lack of nutritional intake in quality and quantity. The indirect factors are socio-economic factors,
parents' education, parents' occupation, exclusive breastfeeding, immunization status, and
inadequate parenting. Environments with low socioeconomic status, poor family education,
especially mothers, low family income, open defecation habits such as rivers or gardens or
inadequate latrines, untreated drinking water, and high exposure to pesticides also contribute
to cause stunting.

Keywords: Stunting, malnutrition, causes, factors, risks


PENDAHULUAN
Pada era saat ini banyak sekali macam penyakit yang sangat merugikan manusia, bahkan
beberapa penyakitpun bisa turun temurun dari orang tua ke anaknya, salah satu penyakit tersebut
adalah stunting. Stunting sendiri merupakan sebuah tanda seseorang kekurangan gizi kronis yang
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan dalam jangka waktu yang lama, kualitas asupan
makanan yang kurang baik, meningkatnya jumlah penyakit dalam suatu populasi, dan terjadinya
gangguan pertumbuhan badan yang tidak sesuai dengan usia.

Menurut pedoman WHO-MGRS (Multicenter Growth Reference Study), stunting adalah


suatu kondisi dimana tubuh menjadi pendek secara tidak normal. Pada anak di bawah usia
lima tahun, stunting adalah jenis lain dari kegagalan pertumbuhan yang menyebabkan anak
menjadi lebih kecil dari rata-rata usianya. Malnutrisi yang dimulai saat anak masih dalam
kandungan dan berlanjut pada masa HPK (Hari Pertama Kehidupan) setelah lahir dan akan
ditemukan setelah anak berumur dua tahun.

Desa Talesan merupakan sebuah desa yang terbilang tidak sedikit terdapat kasus
stunting dikarenakan desa ini adalah salah satu desa yang tidak jarang terjadi pernikahan dini,
dan hal tersebut yang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya stunting. Kurangnya wawasan
mengenai ilmu dan minimnya sosialisasi tentang seksual juga menjadi salah satu penyebab
masyarakat kurang mengetaui batasan-batasan umur berapa tunbuh mereka bisa optimal untuk
bereproduksi dan juga pentingnya cecukupan gizi dalam sebuah makanan.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan artikel ini adalah observasi dan
wawancara. Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan dilapangan untuk
memperoleh data yang selanjutnya akan dianalisis. Wawancara merupakan sebuah kegiatan tanya
jawan antara dua orang atau lebih dengan tujuan untuk memperoleh data-data dan informasi yang
kemudian digunakan untuk sebuah penelitian.

Analisis dan Pembahasan


ISI DAN PEMBAHASAN

1. Pengertian Stunting

Stunting merupakan kondisi ketika pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak
terhambat akibat kekurangan gizi dan nutrisi yang mencukupi pada masa pertumbuhan
mereka, terutama pada usia 0 hingga 4 tahun 11 bulan 29 hari. Stunting dapat
menyebabkan anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari rata-rata usianya,
serta dapat mempengaruhi perkembangan otak dan kemampuan belajar mereka.

Seseorang dikategorikan stunting bila skor Z-ideks Tinggi Badan menurut Umur atau
(TB/U) dibawah -2 Standar Deviasi (SD). Kejadian stunting diakibatkan oleh dampak dari
asupan gizi yang tidak mencukupi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, tingginya
kesakitan, atau merupakan percampuran dari keduanya. Kondisi seperti ini marak terjadi
juga di Negara Indonesia. Anak kerdil yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak
hanya dialami oleh rumah tangga/keluarga yang miskin dan kurang mampu, karena
stunting juga dialami oleh rumah tangga/keluarga yang tidak miskin/yang berada di
atas 40 % tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Ditemukan berbagai penelitian bahwa rumah tangga yang mengalami kondisi rawan
pangan lebih cenderung memiliki balita dengan keadaan stunting. Pangan merupakan salah
satu kebutuhan pokok yang diperlukan manusia untuk bertahan hidup. Ketahanan pangan
mengacu pada kemampuan setiap individu atau kelompok untuk memenuhi akses pangan
yang cukup baik dari segi ekonomi maupun fisik, aman, dan bergizi untuk memenuhi
kebutuhan agar dapat hidup dengan sehat dan baik. 2 Penyakit pada anak tetap
menjadi masalah yang berpengaruh terhadap status gizi di Indonesia. Asupan energi
dan zat gizi yang tidak memadai, serta penyakit infeksi merupakan faktor yang sangat
berperan terhadap masalah stunting

Pendapat lain menjelaskan stunting merupakan kondisi gagal tumbuh atau


pertumbuhan terhambat pada anak akibat kekurangan gizi kronis dalam jangka waktu yang
panjang, terutama selama periode seribu hari pertama kehidupan (mulai dari kehamilan
hingga usia 2 tahun). Stunting ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih rendah
dari standar normal yang seharusnya dicapai pada usia tertentu. Kondisi ini dapat
memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan fisik, kognitif, dan kesehatan
anak.

Pengertian stunting menurut para ahli dapat bervariasi, tetapi intinya adalah sebagai
berikut:
1. World Health Organization (WHO): WHO mendefinisikan stunting sebagai kondisi
ketika panjang atau tinggi badan anak lebih rendah dari standar normal yang
seharusnya dicapai pada usia tertentu, berdasarkan kurva pertumbuhan anak dari
World Health Organization (WHO).
2. UNICEF: Menurut UNICEF, stunting terjadi saat anak memiliki tinggi badan
yang lebih pendek dari rata-rata anak seusianya. Hal ini biasanya diukur dengan
menggunakan indeks tinggi badan menurut usia (stunting) yang lebih dari 2 standar
deviasi di bawah rata-rata WHO.
3. USAID (United States Agency for International Development): USAID mengartikan
stunting sebagai kondisi ketika anak memiliki tinggi badan lebih rendah dari tinggi
badan rata-rata anak seumurannya dalam populasi yang sehat.
4. The Lancet: Jurnal skesehatan The Lancet menyebut stunting sebagai kondisi gagal
pertumbuhan jangka panjang akibat kekurangan nutrisi kronis yang mencerminkan
kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang buruk.
5. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Pangan dan Pertanian (FAO): WHO dan
FAO menjelaskan stunting sebagai gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan
oleh ketidakcukupan nutrisi dan infeksi berulang selama periode penting
pertumbuhan anak.

Penting untuk diingat bahwa stunting adalah masalah multifaktorial yang melibatkan
aspek gizi, sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Upaya pencegahan dan
penanggulangan stunting melibatkan kerja sama lintas sektor dan pendekatan holistik.

2. Faktor Penyebab Stunting


Penyebab utama secara langsung dari stunting dibahas oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) ada empat utama: infeksi menular, kebiasaan menyusui, aksesibilitas
makanan, serta lingkungan rumah dan keluarga. Sedangkan faktor ekonomi politik,
layanan kesehatan dan medis, pendidikan, elemen sosial dan budaya, pertanian dan sistem
pangan, air, sanitasi, dan lingkungan adalah semua variabel komunal dan sosial yang
berkontribusi terhadap stunting.
Riwayat kehamilan ibu yang meliputi bentuk tubuh ibu yang pendek, jarak
kehamilan yang terlalu dekat, intensitas melahirkan yang terlalu sering, usia ibu yang
terlalu tua saat hamil, dan usia ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) pada saat
hamil, yang semuanya meningkatkan risiko stunting. memiliki bayi yang BBLR dan tidak
mendapatkan cukup nutrisi selama kehamilan. Penyebab lainnya adalah kegagalan fase
penyapihan dini,
pemberian ASI eksklusif, dan inisiasi menyusu dini (IMD). Stunting juga dipengaruhi oleh
sanitasi dan situasi sosial ekonomi selain variabel tersebut.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi
penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu


mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu
melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan
2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas
6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi,
MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat
disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan
pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi
Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu
semakin menurun dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan
imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi
sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan
pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum
terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
c. Masih kurangnya akses rumah tangga / keluarga ke makanan bergizi. Penyebabnya
karena harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar
(BAB) di ruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke
air minum bersih.
Selain itu peran sanitasi dalam mempengaruhi kejadian stunting, karena saniasi yang
buruk akan meningkatkan kejadian sakit, sepeti yang disampaikan pada penelitian Safitri,
Uji korelasi antara sanitasi rumah dengan kejadian diare pada balita juga menunjuk- kan
adanya hubungan yang signifikan. Keluarga dengan sanitasi rumah memenuhi syarat
sebagian besar memiliki balita yang tidak terkena diare, begitu pula sebaliknya. Hal
tersebut terjadi karena sanitasi tidak memenuhi syarat, cenderung tidak memiliki
penyediaan air bersih untuk mencuci tangan dan makanan maupun member- sihkan
peralatan makan sehingga kuman dan bakteri penyebab diare tidak dapat hilang.
Penyediaan air berhubungan erat dengan kesehatan. Di negara berkembang, kekurangan
penyediaan air yang baik sebagai sarana sanitasi akan meningkatkan terjadinya penyakit
dan kemudian berujung pada keadaan malnutrisi.9 Komponen fasilitas sanitasi yang tidak
terpenuhi juga merupa-kan penyebab terjadinya diare dalam keluarga. Akses dan sarana
toilet yang buruk, serta tidak adanya fasilitas pengelolaan tinja dan limbah akan menambah
resiko terjadinya diare pada balita dalam keluarga karena persebaran virus, kuman, dan
bakteri akan semakin tinggi.

Banyak faktor yang menyebabkan stuting pada balita, namun karena mereka sangat
tergantung pada ibu/keluarga, maka kondisi keluarga dan lingkungan yang mempengaruhi
keluarga akan berdampak pada status gizinya. Pengurangan status gizi terjadi karena
asupan gizi yang kurang dan sering terjadinya infeksi. Jadi faktor ling- kungan, keadaan dan
perilaku keluarga yang mempermudah infeksi berpengaruh pada status gizi balita.
Kecukupan energi dan protein per hari per kapita anak Indonesia terlihat sangat kurang jika
dibanding Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan baik pada anak normal atau
pendek. Hal ini sangat menarik, ternyata asupan energi maupun protein tidak berbeda
bermakna antara anak-anak yang tergolong pendek atau normal. Diasumsikan secara
umum, konsumsi yang diperoleh untuk seluruh anak (pendek atau normal), kondisinya
sama, kurang dari AKG. Jika hal ini berlangsung bertahun-tahun maka terjadi masalah
kronis.
Di Desa Talesan ini menunjukkan bahwa balita yang lahir dengan berat badan rendah
berhubungan dengan kejadian stunting pada Balita. Dengan kata lain, balita yang memiliki
berat badan lahir rendah cenderung lebih berisiko mengalami stunting saat tumbuh
kembangnya. Penelitian di Nepal (Paudel, et al., 2012). Penelitian ini memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang interaksi antara faktor-faktor kesehatan maternal,
kondisi bayi saat lahir, dan risiko stunting di kemudian hari. Hasil-hasil ini dapat
membantu masyarakat desa Talesan dan pihak-pihak terkait dalam merancang intervensi
yang lebih
efektif untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil, merawat bayi yang baru lahir, dan
mencegah stunting pada masa balita.

Balita yang lahir dengan berat badan rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami stunting jika dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan normal.
Dalam konteks ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa berat badan lahir yang rendah
secara signifikan meningkatkan kemungkinan balita mengalami kondisi stunting pada
tahap perkembangan mereka. Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan
pada bayi yang baru lahir. Berat badan lahir merupakan parameter yang sering dipakai
untuk menggambarkan pertumbuhan janin pada masa kehamilan. Bayi dengan berat badan
lahir rendah akan lebih rentan terhadap pengaruh lingkungan yang kurang baik di masa
mendatang (Umboh, 2013) Dengan kejadian stunting pada balita dapat disebabkan
oleh banyak faktor yang lebih besar pengaruhnya dengan kejadian stunting balita seperti
ketidak cukupan gizi serta Infeksi (Kusharisupeni, 2002). Selain itu efek berat badan lahir
terhadap pertumbuhan tinggi badan Paling besar terdapat pada usia 6 bulan pertama.

Jika pada 6 bulan pertama balita dapat memperbaiki status gizinya, maka
terdapat kemungkinan bahwa tinggi badan balita dapat tumbuh dengan normal dan
terhindar dari kejadian stunting di usia selanjutnya (Adair dan Guilkey, 1997) risiko untuk
terjadi gangguan tumbuh (growth faltering) lebih besar pada bayi yang telah mengalami
falter sebelumnya yaitu keadaan pada masa kehamilan dan prematuritas. Artinya, panjang
badan yang jauh di bawah rata-rata lahir disebabkan karena sudah mengalami
keterbelakangan mental pertumbuhan saat dalam kandungan.

Keterhambatan pertumbuhan selama masa kehamilan mencerminkan kekurangan


gizi dan perawatan kesehatan yang tidak memadai bagi ibu, yang akibatnya menyebabkan
bayi dilahirkan dengan ukuran tubuh yang kurang optimal. (Kusharisupeni, 2002). Status
ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan terhadap kemungkinan
anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013). Menurut Bishwakarma (2011), keluarga
dengan status ekonomi baik akan dapat memeroleh pelayanan umum yang lebih baik
seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, akses jalan, dan lainnya sehingga dapat
memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya beli keluarga Akan semakin meningkat
sehingga akses keluarga terhadap pangan akan menjadi lebih baik. Besar keluarga
menentukan status gizi, namun status gizi juga ditentukan oleh faktor lain seperti
dukungan keluarga dalam pemberian makanan bergizi serta tingkat sosial ekonomi
keluarga. Keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang cukup disertai
jumlah anak yang banyak akan
mengakibatkan bukan hanya kurang perhatian dan kasih sayang pada anak namun juga
kebutuhan tumbuh kembang. Faktor penyebab stunting yaitu praktek pengetahuan yang kurang,
kurangnya akses terhadap makanan bergizi, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan
ANC. Proses terjadinya stuntuing yaitu ketika seorang remaja menjadi ibu yang kurang gizi dan
anemia, kemudian saat hamil tidak mendapatkan asupan gizi yang mencukupi, dan ibu hidup di
lingkungan dengan sanitasi kurang memadai. Dari data yang di dapat hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting di Desa Talesan Kecamatan
Purwantoro ini pada anak usia balita, anak tersebut memiliki tinggi badan dan berat badan yang
kurang ada juga yang memiliki tingkat kecukupan energi dan protein yang rendah, berat badan
rendah, dan tingginya pestisida Kelima variabel tersebut memberikan Kontribusi terhadap
stunting sebesar 45%. Faktor risiko yang paling besar terhadap Kejadian stunting adalah tingginya
badan, berat badan.

Data balita stunting yang dihasilkan pada bulan Juli 2023 melalui observasi dan
wawancara dengan sekretaris desa sebagaimana yang dicantumkan di atas. Banyak
ditemukan balita dengan berat badan dan tinggi badan yang kurang hingga sangat kurang.
Normal berat badan baduta laki-laki di usia 2 tahun yaitu 9,7 kg, perempuan yaitu 9 kg,
jika beratnya kurang dari 9,7 kg maka balita tersebut memiiki kriteria berat badan yang
kurang. Untuk normal tinggi badan baduta yaitu 82 cm, untuk perempuan yaitu 80 cm.
untuk usia 2-3 tahun normal anak laki-laki yaitu 12,2 kg, perempuan 11,5 kg, 3-4 tahun
laki-laki 14,3 kg, perempuan 13,9 kg, 4-5 tahun laki-laki 16,3 kg, perempuan 16,1 kg,
sementara berat badan balita yang lebih dari rentang tersebut menandakan kondisi tidak
ideal karena anak yang kelebihan berat badan atau mengalami obesitas pada anak. Jika
penurunan berat badan terus menerus, bisa menjadi tanda pertumbuhan anak sedang
bermasah atau kondisi kesehatan anak sedang terganggu.
3. Upaya Pencegahan dan Pengobatan Stunting

Upaya pencegahan stunting melibatkan serangkaian langkah penting untuk


memastikan pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Langkah-langkah ini
mencakup peningkatan gizi ibu hamil dengan memberikan edukasi tentang makanan
bergizi dan suplementasi yang tepat, serta mendorong pemberian ASI eksklusif selama
6 bulan pertama kehidupan. Setelah itu, pemberian makanan pendamping ASI yang
kaya akan nutrisi menjadi penting, sambil terus memantau pertumbuhan anak secara
berkala. Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang gizi seimbang, sanitasi yang baik,
dan pemberdayaan perempuan juga memiliki peran krusial dalam mengurangi risiko
stunting. Kolaborasi antar sektor dan program pemberian makanan tambahan bagi
kelompok rentan juga menjadi komponen penting dalam upaya pencegahan stunting.
Dengan pendekatan komprehensif ini, diharapkan stunting dapat ditekan sehingga anak-
anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan optimal. Pencegahan dan
pengobatan stunting pada anak usia dini sangat penting.

Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan cara meningkatkan kesadaran orang tua
dan masyarakat tentang pentingnya gizi yang baik selama kehamilan dan pada masa
pertumbuhan anak, memberikan makanan yang kaya nutrisi dan seimbang untuk anak,
serta memastikan ibu hamil mendapatkan asupan gizi yang cukup, memberikan akses
yang mudah ke fasilitas kesehatan dan posyandu, termasuk pemeriksaan rutin dan
vaksinasi
mengatasi infeksi dan penyakit dengan cepat dan tepat, memberikan pendidikan gizi kepada orang
tua dan anggota keluarga untuk memastikan pola makan yang baik dan sehat.
Di Desa Talesan, program pemberian makanan tambahan telah diterapkan untuk
memperbaiki status gizi anak yang mengalami stunting. Pencegahan dan penanganan stunting
ini dari pihak Kecamatan Purwantoro disalurkan ke perangkat Desa tersebut dan sudah
memberikan pelayanan yang baik yaitu dengan memberikan pendanaan melalui posyandu balita.
Sesuai informasi yang kami dapatkan pendanaan yang diberikan di tahun 2023 yaitu sebesar 11.
700.000 untuk digunakan selama satu tahun, dan setiap bulan nya anak yang terkena Stunting di
beri tambahan gizi berupa makanan yang mengandu protein atau gizi yang dibutuhkan agar anak
tersebut menjadi sehat, Dengan upaya yang tepat dan berkesinambungan, stunting pada anak usia
dini dapat dikurangi dan dihindari, sehingga anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal.
KESIMPULAN
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh atau pertumbuhan terhambat pada anak,
akibat kekurangan gizi kronis ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih rendah dari
standar normal yang seharusnya dicapai pada usia tertentu. Kondisi ini dapat memiliki dampak
jangka panjang pada perkembangan fisik, kognitif, dan kesehatan anak. Keterhambatan
pertumbuhan selama masa kehamilan mencerminkan kekurangan gizi dan perawatan
kesehatan yang tidak memadai bagi ibu, yang akibatnya menyebabkan bayi dilahirkan dengan
ukuran tubuh yang kurang optimal. di desa talesan kecamatan purwantoro kabupaten wonogiri
balita stunting yang dihasilkan dari data pada bulan Juli 2023 Banyak ditemukan balita dengan
berat badan dan tinggi badan yang kurang hingga sangat kurang. Normal berat badan baduta
laki-laki di usia 2 tahun yaitu 9,7 kg, perempuan yaitu 9 kg, jika beratnya kurang dari 9,7 kg
maka balita tersebut memiiki kriteria berat badan yang kurang. Untuk normal tinggi badan baduta
yaitu 82 cm, untuk perempuan yaitu 80 cm, tetapi di desa talesan tersebut sangaat banyak sekali
anak-anak yang memiliki kekurangan gizi akibatnya badan menjadi pendek ,kecil dan
kesehatannya menjadi lemah .
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawati Andini, Nurrika Dieta, Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting, Jakarta,
Universitas Airlangga, 2022
Ni’mah Khoirun, Rahayu Siti, Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita,
Surabaya, Media Gizi Indonesia, 2015
Nirmalasari, Nur Oktia, Stunting Pada Anak: Penyebab dan Faktor Risiko Atunting di Indonesia,
Jurnal For Gender Mainstreaming, 2020
Sutarto dkk, Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya, Lampung, Juni 2018
Wellina WF,Kartasurya MI, Rahfilludi MZ. (2016). Faktor risiko stunting pada anak umur 12-24
bulan. Jurnal Gizi Indonesia Vol. 5, No. 1, Desember 2016
Timangger, Jeki.2019. Hulu-Hilir Penanggulangan stunting Di Indonesia. Journal Of Political
Issues. Universitas Bangka Belitung. Vol 1 No 1

Anda mungkin juga menyukai