Anda di halaman 1dari 5

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA BALITA

OLEH : RIA NITA IMANSARI

Mahasiswa D3 Kebidanan Universitas Muhammadiyah Ponorogo

EMAIL

rianita860@gmail.com

ABSTRACT

Stunting is a linear growth disorder caused by chronic undernutrition. The state of


under-five nutrition is the cause of 2.2 million of all causes of under-five mortality
worldwide. Many factors can cause stunting in children under five, such as the
characteristics of children under five and socio-economic factors. Factors related to the
incidence of stunting in children under five include, there is a relationship between the
length of birth of children under five, history of exclusive breastfeeding, family income,
maternal education and knowledge of maternal nutrition on the incidence of stunting in
children under five, the need for integrated and multisectoral programs to increase family
income, mother's education, knowledge of maternal nutrition and exclusive breastfeeding
to reduce the incidence of stunting. Mother's education level has the most dominant
relationship with the incidence of stunting. This research suggests that the government,
health agencies and related parties collaborate to implement policies to reduce the risk of
stunting. The community is advised to get quality education, provide a balanced nutrient
intake and improve the health status of children.

Key words: factors, stunting, toddlers

ABSTRAK

Stunting adalah gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan kurang gizi yang
berlangsung kronis. Keadaan gizi balita pendek menjadi penyebab 2,2 juta dari seluruh
penyebab kematian balita di seluruh dunia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya stunting pada balita seperti karakteristik balita maupun faktor sosial ekonomi.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita meliputi, terdapat
hubungan antara panjang badan lahir balita, riwayat ASI eksklusif, pendapatan keluarga,
pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian stunting pada balita, perlunya
program yang terintegrasi dan multisektoral untuk meningkatkan pendapatan keluarga,
pendidikan ibu,pengetahuan gizi ibu dan pemberian ASI eksklusif untuk mengurangi
kejadian stunting. Tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan paling dominan dengan
kejadian stunting. Penelitian ini menyarankan pemerintah, instansi kesehatan, dan pihak
terkait berkolaborasi menerapkan kebijakan untuk mengurangi risiko stunting.
Masyarakat disarankan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, memberikan asupan
nutrien yang seimbang dan meningkatkan derajat kesehatan anak.

Kata kunci: faktor-faktor, stunting, balita

PENDAHULUAN

Kekurangan gizi masa anak-anak selalu dihubungkan dengan kekurangan vitamin


mineral yang spesifik dan berhubungan dengan mikronutrien maupun makronutrien
tertentu. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian mengenai dampak dari
kekurangan intake zat gizi, dimulai dari meningkatnya risiko terhadap penyakit infeksi dan
kematian yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mental. Stunting
merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan penurunan kecepatan
pertumbuhan dan merupakan dampak dari ketidakseimbangan gizi.
Menurut World Health Organization (WHO) Child Growth Standart, stunting
didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding
umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD. Stunting masih merupakan satu
masalah gizi di Indonesia yang belum terselesaikan. Stunting akan menyebabkan dampak
jangka panjang yaitu terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, serta kognitif.
Anak yang terkena stunting hingga usia 5 tahun akan sulit untuk diperbaiki sehingga akan
berlanjut hingga dewasa dan dapat meningkatkan risiko keturunan dengan berat badan
lahir yang rendah (BBLR).
Prevalensi stunting di Indonesia menempati peringkat kelima terbesar di dunia. Data
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi stunting dalam
lingkup nasional sebesar 37,2 persen, terdiri dari prevalensi pendek sebesar 18,0 persen
dan sangat pendek sebesar 19,2 persen. Stunting dianggap sebagai masalah kesehatan
masyarakat yang berat bila prevalensi stunting berada pada rentang 30-39 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masalah kesehatan masyarakat yang
berat dalam kasus balita stunting.
Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak,
dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti
penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan produktivitas
hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan fisik anak yang irreversible, sehingga
menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan motorik serta penurunan performa
kerja. Anak stunting memiliki rerata skor Intelligence Quotient (IQ) sebelas poin lebih
rendah dibandingkan rerata skor IQ pada anak normal. Gangguan tumbuh kembang pada
anak akibat kekurangan gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini akan berlanjut
hingga dewasa. Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status
kesehatan pada anak.
PEMBAHASAN

1). Stunting
Tingkat pendapatan keluarga memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian
stunting, dimana tingkat pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian stunting pada balita. Status ekonomi rendah
dianggap memiliki pengaruh yang dominan terhadap kejadian kurus dan pendek pada
anak. Orang tua dengan pendapatan keluarga yang memadai akan memiliki kemampuan
untuk menyediakan semua kebutuhan primer dan sekunder anak.
Keluarga dengan status ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan kesehatan
yang lebih baik. Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung
mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi yang kurang. Status
ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dan membeli makanan yang bergizi dan
bervariasi.

2). Faktor-faktor Stunting Pada Balita

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan faktor risiko yang paling dominan
terhadap kejadian stunting pada anak baduta. Karakteristik bayi saat lahir (BBLR atau
BBL normal) merupakan hal yang menentukan pertumbuhan anak. Anak dengan riwayat
BBLR mengalami pertumbuhan linear yang lebih lambat dibandingkan Anak dengan
riwayat BBL normal. Periode kehamilan hingga dua tahun pertama usia anak merupakan
periode kritis. Gangguan pertumbuhan pada periode ini sulit diperbaiki dan anak sulit
mencapai tumbuh kembang optimal.
Tinggi badan ibu merupakan faktor resiko untuk stunting pada bayi BBLR.
Demikian pula penelitian sebelumnya di negara dengan pendapatan rendah hingga
menengah menggambarkan perawakan pendek ibu sebagai prediktor kedua untuk BBLR
dan pengerdilan selama masa bayi. Selain itu, Tingkat pendidikan ibu turut menentukan
mudah tidaknya seorang ibu dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang
didapatkan. Pendidikan diperlukan agar seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap
adanya masalah gizi di dalam keluarga dan diharapkan bisa mengambil primer seperti
makanan, sandang, dan papan atau perumahan tidak dapat terpenuhi.
Jumlah anggota keluarga tidak memilki hubungan yang signifikan dengan kejadian
stunting pada anak balita. Hal ini disebabkan status gizi memiliki banyak faktor, tidak
hanya dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga. Status gizi juga dipengaruhi oleh
dukungan keluarga dalam pemberian makanan bergizi dan status sosial ekonomi keluarga.
Jumlah anggota rumah tangga tidak menjamin secara mutlak status gizi anggotanya.
Jumlah anggota rumah tangga yang banyak apabila diimbangi dengan asupan nutrien
yang cukup akan menurunkan risiko stunting.
Peningkatan durasi diare berhubungan dengan penurunan indeks TB/U. Peningkatan
durasi diare, demam, dan ISPA juga berhubungan dengan parameter gizi lain, yaitu
penurunan indeks BB/U. Hambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh diare
berhubungan dengan gangguan absorpsi nutrien selama dan setelah episode diare.
Hambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh ISPA berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan metabolik dan gangguan intake makanan selama periode penyakit.
Mencukupi kebutuhan asupan energi yang adekuat merupakan hal yang sangat
penting bagi anak. Energi tersebut bersumber dari makronutrien seperti: karbohidrat,
lemak, dan protein. Karbohidrat merupakan sumber energi yang secara kuantitas paling
penting bagi tubuh. Karbohidrat menyediakan energi untuk seluruh jaringan di dalam
tubuh, terutama di otak yang normalnya menggunakan glukosa sebagai sumber energi
aktivitas sel. Protein merupakan zat yang esensial bagi sel-sel tubuh. Lemak yang
dikonsumsi dalam makanan dijadikan sebagai sumber energi dan asam lemak esensial.
Asam lemak struktural merupakan bagian penting dari membran sel, serabut saraf, dan
struktur sel secara umum. Cadangan lemak terutama pada jaringan adiposa sebagai
sumber energi jangka panjang bagi tubuh.

KESIMPULAN
Panjang badan lahir, riwayat ASI Eksklusif, pendapatan keluarga, pendidikan ibu,
dan pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita. Perlu adanya program yang terintegrasi dan multisektoral untuk
meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, dan pemberian
ASI eksklusif untuk menanggulangi kejadian stunting pada balita.

DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN

Anda mungkin juga menyukai