Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN

STUNTING PADA BALITA


*M. Azka Alfathihul Ichsan1, M. Fania Indra Baktiar2, Maulidya Aulia Agynanda
Putri 3, Yeni Kartika Sari4
Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Email: azkaalfathihul@student.ub.ac.id

Abstrak
Stunting adalah permasalahan gizi jangka panjang karena asupan gizi yang tidak mencukupi
selama masa pertumbuhan anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak kondisi
ekonomi yang buruk terhadap tingkat kejadian stunting pada anak. Metode penelitian
menggunakan studi observasional dengan memanfaatkan data sekunder yang berasal dari survei
kesehatan nasional. Data yang dianalisis mencakup informasi anak-anak dalam rentang usia 0-
59 bulan yang berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan rendah. Analisis dilakukan
dengan menggunakan regresi logistik untuk memahami hubungan antara variabel independen
(tingkat pendapatan keluarga) dan variabel dependen (kejadian stunting). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang buruk memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat
stunting pada anak. Anak-anak dari keluarga dengan tingkat pendapatan rendah mempunyai
risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting daripada anak-anak dari keluarga dengan
penghasilan yang lebih tinggi. Faktor-faktor ekonomi yang buruk, seperti kemiskinan dan
ketidakstabilan ekonomi, dapat mempengaruhi akses terhadap makanan bergizi, perawatan
kesehatan yang memadai, dan lingkungan yang sehat. Semua faktor ini berkontribusi pada
terjadinya stunting pada anak.
Kata Kunci: Stunting, ekonomi buruk, tingkat pendapatan, kemiskinan, akses makanan,
perawatan kesehatan, lingkungan sehat.

Abstract
Stunting is a long-term nutritional issue caused by insufficient intake of adequate nutrition during
a child's growth period. This research aims to evaluate the impact of poor economic conditions
on the prevalence of stunting in children. The research method employed is observational study
using secondary data obtained from national health surveys. The analyzed data includes
information on children aged 0-59 months from families with low income levels. The analysis is
conducted using logistic regression to Comprehend the connection between the independent
variable (family income level) and the dependent variable (stunting occurrence). The research
findings indicate that poor economic conditions significantly influence the occurrence of stunting
in children.. Children from families with low income levels have an elevated likelihood of
encountering stunting in contrast to those from higher-income families. Poor economic factors,
such as poverty and economic instability, can impact access to nutritious food, adequate
healthcare, and a healthy environment. All of these factors contribute to the occurrence of
stunting in children.
Keywords: Stunting, poor economy, income level, poverty, food access, health care, healthy
environment.

1|
PENDAHULUAN

Stunting adalah kegagalan tumbuh dan kembang anak balita. Keadaan ini muncul
karena kurangnya asupan gizi secara kronis, sehingga anak menjadi terlalu kecil untuk
usianya. Malnutrisi dapat terjadi mulai dari dalam kandungan hingga beberapa saat setelah
lahir. Namun, gejala stunting belum dapat terlihat hingga anak mencapai usia 2 tahun. Stunting
menjadi masalah karena dapat meningkatkan risiko penyakit, kematian, dan perkembangan
otak yang tidak optimal sehingga perkembangan motorik tertunda. Selain itu, hal ini juga
menghambat pertumbuhan mental (Lewit, 1997; Kusharisupeni, 2002; Unicef, 2013).

Stunting, yang merupakan kondisi rendahnya tinggi badan dibandingkan usia,


disebabkan oleh kekurangan asupan nutrisi dalam jangka panjang atau seringnya terjadinya
infeksi. Meskipun Indonesia memiliki status sebagai negara berpendapatan menengah, namun
memiliki tingkat kejadian stunting anak yang merupakan yang tertinggi kelima di dunia.
Meskipun terdapat sedikit perubahan dalam prevalensi stunting selama satu dekade terakhir,
jika tren ini terus berlanjut, maka Indonesia kemungkinan besar tidak akan mencapai target
yang ditetapkan oleh Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2012, yaitu mengurangi tingkat
stunting sebesar 40% pada tahun 2025. Di tahun 2013, stunting dialami oleh lebih dari
sepertiga (37%) anak yang berumur kurang dari lima tahun, dan prevalensinya mencapai lebih
dari 40% di 15 dari total 33 provinsi.; 18% anak-anak mengalami stunting parah.

Tingginya insiden stunting pada balita disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu
penyebabnya tidah terpenuhinya makanan dan keberadaan penyakit infeksi (Unicef, 1990;
Hoffman, 2000; Umeta, 2003). Faktor lain melibatkan kurangnya wawasasan ibu, pola asuh
yang tidak tepat, dan kurangnya layanan kesehatan (Unicef, 1990). Di samping itu, terdapat
pula faktor-faktor yang berasal dari masyarakat. Kesadaran masyarakat tentang anak pendek
sering kali tidak sesuai dengan norma sebagai anak yang normal. Hal yang serupa terjadi pada
pemahaman gizi ibu selama kehamilan, di mana kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
asupan gizi selama kehamilan masih belum sepenuhnya terbentuk sebagai faktor utama dalam
menentukan status gizi bayi yang akan dilahirkan.
Di Indonesia, Pemerintah sudah membuat target untuk mengurangi prevalensi
stunting menjadi 14 persen di tahun 2024. Pada tahun 2019, angka prevalensi ini mencapai
27,6 persen, seperti yang tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar 2019, dan diharapkan dapat
turun menjadi 21,6 persen pada tahun 2023. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga
menyarankan target global untuk mengurangi stunting pada balita di negara termiskin
sebanyak 40% di tahun 2025. Meskipun demikian, proyeksi penurunan hanya sebesar 0,2%
untuk 3 negara di Afrika, yaitu Malawi, Zambia , dan Niger . Oleh karena itu, dibutuhkan
rancangan juga respons yang tepat untuk mengurangi stunting.
PEMBAHASAN
1. Pengertian stunting
Stunting adalah isu gizi yang menjadi tantangan global, khususnya di negara-negara
yang ekonominya masih berkembang dan miskin, yang melibatkan gagalnya tumbuh kembang
anak. Stunting muncul sebagai hasil dari akumulasi kekurangan nutrisi yang berlangsung
dalam jangka waktu panjang, mulai dari kehamilan hingga usia 24 bulan. Berdasarkan hasil
survei, stunting dapat diidentifikasi sebagai kondisi di mana pertumbuhan anak tidak
memenuhi standar yang seharusnya, terutama dalam hal tinggi badan dan berat badan. Stunting
menjadi isu kesehatan masyarakat global yang mendapat prioritas, dengan perkiraan bahwa
wasting (gizi kurang dan buruk) memengaruhi 52 juta anak (termasuk 19 juta yang mengalami
wasting parah), sedangkan stunting memengaruhi 165 juta anak balita. Setiap tahunnya, sekitar
800.000 kematian terjadi akibat wasting (60% di antaranya disebabkan oleh wasting parah),
dan lebih dari satu juta individu mengalami stunting.
2|
2. Faktor penyebab Stunting
Berbagai faktor berisiko menyebabkan stunting di Indonesia, melibatkan aspek-aspek
dari ibu, anak, dan lingkungan. Faktor-faktor yang terkait dengan ibu mencakup usia ibu
selama kehamilan, lingkar lengan ibu hamil, tinggi badan ibu, praktik memberi ASI dan
MPASI, menyusui yang dilakukan secara dini, serta kualitas makanan yang dikonsumsi.
Faktor-faktor yang terkait dengan anak melibatkan riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)
atau kelahiran prematur, riwayat penyakit neonatal,riwayat berulang, jenis kelamin laki-laki,
riwayat penyakit menular, dan ketidakmenerimaan imunisasi. Sementara faktor-faktor
lingkungan mencakup status sosial ekonomi yang rendah, kurangnya pendidikan ibu,
kurangnya pendapatan keluarga, kebiasaan buang air besar di sungai atau kebun atau
penggunaan jamban yang tidak layak, air minum yang tidak diolah, dan tingginya pajanan
pestisida, semuanya ikut serta dalam timbulnya kasus stunting. Menurut hasil survei stunting
juga dapat ditemukan pada awal kehamilan dengan kurangnya asupan nutrisi oleh ibu,
pertambahan berat badan ibu yang kurang, pemberian ASI yang kurang memadai, pola makan
ibu yang kurang baik, dan lingkungan yang kumuh dengan jamban yang tidak memadai.
3. Cara mencagah stunting
Diperlukan peningkatan pengetahuan tentang gizi melalui upaya edukasi yang
berkelanjutan, terutama kepada masyarakat dan orang tua. Orang tua perlu memiliki
pemahaman mengenai kebutuhan nutrisi anak, mengenali makanan yang baik dan yang
sebaiknya dihindari, serta tidak mudah terpengaruh oleh penggunaan makanan instan.
Berdasarkan hasil survei kami, pencegahan stunting pada balita dapat dilakukan dengan
memberikan penyuluhan kepada ibu. Kader posyandu akan melakukan evaluasi terhadap
kondisi rumah dan lingkungan, termasuk makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Pemerintah
juga memberikan makanan tambahan untuk balita yang mengalami kekurangan berat badan
melalui kader selama 6 bulan.
Pada tahun 2012, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadopsi resolusi mengenai gizi ibu,
bayi, dan anak kecil, serta menetapkan enam target global untuk menuntut pertanggung
jawaban global dalam mengurangi malnutrisi (WHO 2012). Salah satu target utamanya adalah
mengurangi sebanyak 40% jumlah anak di bawah usia 5 tahun yang mengalami stunting pada
tahun 2025.
4. Faktor ekonomi
Adanya korelasi positif dan signifikan antara penghasilan keluarga yang rendah dan
insiden stunting pada anak usia 0–23 bulan. Anak balita dari keluarga dengan pendapatan
perkapita yang rendah mempunyai risiko 5,385 kali lipat lebih tinggi untuk terkena stunting
daripada dengan anak balita dari keluarga dengan penghasilan perkapita yang memadai.
Kondisi ekonomi keluarga yang kurang memadai mengakibatkan terbatasnya kemampuan daya
beli terhadap makanan bergizi, sehingga meningkatkan risiko kekurangan zat gizi. Defisiensi
nutrisi pada ibu hamil dan anak balita bbisa menambah probabilitas terjadinya stunting pada
anak. Meskipun hasil survei menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi stunting, namun pengetahuan orangtua dianggap sebagai faktor
yang paling vital.
5. Dampak stunting
a. Dalam jangka panjang
Stunting bisa mengakibatkan postur tubuh yang tidak normal atau tidak optimal pada masa
dewasa. Bahkan pada usia dini, individu yang mengalami stunting cenderung tinggi tubuh
yang lebih rendah daripada anak-anak yang tidak mengalami stunting. Selain itu, terdapat
risiko tambahan seperti kecenderungan terhadap obesitas dan risiko penyakit lainnya, termasuk
penurunan kesehatan reproduksi, penurunan kemampuan belajar dan performa selama masa
sekolah, serta potensi berkurangnya Efisiensi dalam pekerjaan dan kemampuan kerja pada
tingkat yang suboptimal.
b. Dalam jangka pendek
Seseorang yang mengalami stunting dapat menyebabkan peningkatan tingkat morbiditas dan
mortalitas. Oleh karena itu, individu yang menderita stunting mempunyai risiko yang lebih
3|
besar pada penyakit. Dampak paling serius adalah wasting, yaitu situasi saat anak beresiko
kematian yang lebih tinggi jika tidak dikelola dengan baik. Selain itu, stunting juga dapat
menghambat perkembangan kognitif dan motorik, serta menyebabkan biaya kesehatan yang
tinggi untuk pengelolaan yang memadai.
6. Faktor sosial
Ketidaksetaraan Sosial : Kejadian stunting biasanya lebih tinggi di lingkungan keluarga yang
memiliki tingkat sosial-ekonomi rendah.
Pendidikan dan Kesadaran : Tingkat pendidikan ibu dan pemahaman akan pentingnya gizi
serta perhatian terhadap anak dapat memengaruhi tingkat stunting.
KESIMPULAN
Permasalahan stunting adalah isu gizi yang menjadi tantangan global, terutama pada
negara -negara miskin dan berkembang. Stunting muncul sebagai hasil dari akumulasi
kekurangan nutrisi yang berlangsung dalam jangka waktu panjang, sejak kehamilan hingga
mencapai usia 2 tahun. Meskipun negara ini memiliki status sebagai negara berpendapatan
menengah, tingkat stunting anak-anaknya merupakan yang tertinggi kelima di dunia. Ada
berbagai faktor yang berkontribusi pada tingginya stunting pada anak balita. Sayangnya,
kesadaran terhadap stunting masih rendah jika dibanding masalah kekurangan gizi lainnya.
Salah satu faktor lain yang berperan adalah tingkat ekonomi yang secara tidak langsung
memengaruhi kejadian stunting pada balita, karena semakin rendah tingkat ekonomi suatu
keluarga, semakin rendah pula kualitas gizi yang diterima oleh balita.

4|
DAFTAR PUSTAKA
Khara Tanya, Dolan Carmel, and Berkley James A. (2016). Research Priorities on the
Relationship between Wasting and Stunting. WaSt Technical Interest Group.
Komalasari, K., Supriati, E., Sanjaya, R., & Ifayanti, H. (2020). Faktor-Faktor Penyebab
Kejadian Stunting Pada Balita. Majalah Kesehatan Indonesia, 1(2). 51-56.
Lestari, W., Samidah, I., & Diniarti, F. (2022). Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan
Kejadian Stunting di Dinas Kesehatan Kota Lubuklinggau. Jurnal Pendidikan
Tambusai, 6(1). 3273-3279.
Mitra, M. (2015). Stunting problems and interventions to prevent stunting (a Literature
Review). Jurnal Kesehatan Komunitas, 2(6), 254-261.
Nirmalasari Nur Oktia. (2020). Stunting Pada Anak: Penyebab Dan Faktor Risiko Stunting Di
Indonesia. Qawwam: Journal For Gender Mainstreaming, 14(1). 19-28.
Onis Mercedes de, and Branca Francesco. (2016). Childhood stunting: a global perspective
Maternal & Child Nutrition, 12. 12-26.
Sinuraya Rano K., A. Hafida, Qodrina, dan Amalia Riezki. (2019). Peningkatan Pengetahuan
Masyarakat Dalam Mencegah Stunting. Jurnal Pengabdian. kepada Masyarakat , 4(2):
48 – 51.
Tebi, Dahlia, Wello, Safel, Rahmawati,Juniarty, Kadir. (2021). Literature Riview Faktor-
Faktor yang Memperngaruhi Terjadinya Stunting pada Anak Balita. Fakumi Medical
Jurnal, 1(3). 2808-9146.
Yanti Nova Dwi, Betriyana Feni, dan Kartika Imeldan Rahmayunia.. (2020). Factor
Penyebab Stunting pada anak : tinjauan literatur. REAL in Nursing Journal (RNJ),
Vol. 3.

5|

Anda mungkin juga menyukai