Anda di halaman 1dari 8

Laporan F4.

Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

Topik : Status Gizi Balita

LATAR
BELAKANG Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa secara nasional
konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia masih rendah
pada semua kelompok umur dimana 44,4% kelompok usia 6-12
tahun mengonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal. Hal ini
sebenarnya tidak diharapkan karena pada kelompok usia 6-12
tahun membutuhkan asupan nutrisi yang adekuat untuk
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Jika asupan energi
rendah maka dapat diperkirakan terjadi defisiensi zat gizi,
termasuk mikronutrien (RISKESDAS, 2010)

Data Riskesdas menyatakan  pada usia 6-12 tahun,


frekuensi anak yang tergolong pendek adalah 35,6%, serta anak
yang tergolong kurus adalah 12,2%. Data Riskesdas 2010 juga
memperlihatkan bahwa masih terdapat 20 propinsi dengan
frekuensi anak pendek di atas angka frekuensi nasional dan
terdapat 15 propinsi dengan frekuensi anak kurus diatas angka
frekuensi nasional (RISKESDAS, 2010)

Data diatas memperlihatkan bahwa pada anak usia


sekolah 6-12 tahun, masalah kecukupan gizi perlu mendapat
perhatian lebih lanjut. Kecukupan asupan gizi pada anak usia
sekolah mencakup kecukupan zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat
gizi makro mencakup karbohidrat, lemak dan protein. Karbohidrat
berfungsi sebagai sumber energi, sehingga harus diberikan dalam
jumlah cukup untuk mendukung aktivitas anak sehari-hari.
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab
tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia.
Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang
merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan
nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan,
Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia (Litbang Depkes RI, 2008).
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris
The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut
secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu
atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan Zinc selama
ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun
pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung
lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik,
2008).

Kekurangan gizimerupakan salah satu penyebab tingginya


kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam
hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan
berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut KEP
tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka
akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya
perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem
pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat
sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat
kematian (Anonim, 2010).

Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh


kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek.
Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar
dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa
54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi
anak yang jelek (Irwandy, 2007).

Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi


antara berbagai faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua
faktor yaitu konsumsi pangan dan infeksi, adanya
ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat protein
melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif.
Dideritanya panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran
pernafasan dan infeksi saluran pencernaan, maka keadaan kurang
gizi akan bertambah parah. Namun sebaliknya penyakit-penyakit
tersebut dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi
sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan
penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya
kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Irwandy, 2007).

Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor


yang menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan
anak, kondisi lingkungan atau penyediaan air bersih serta
pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta faktor sosial
budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar
anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan
adat kebiasaan yang merugikan (Irwandy, 2007).

Prevalensi KEP pada balita yang dipantau melalui kegiatan


Pemantauan Status Gizi (PSG) Posyandu, yang dilaksanakan secara
rutin dan berkesinambungan setiap tahun sekali menunjukkan
penurunan yang cukup bermakna.  Pada 6 (enam) tahun terakhir
prevalensi balita gizi buruk dapat diturunkan dari 1,86 % (1998)
menjadi 1,36% (2003). Walaupun demikian, kondisi ini masih jauh
lebih tinggi dibanding tahun 1997 (sebelum dampak krisis
ekonomi nampak).  Pada saat itu prevalensi balita gizi buruk telah
mampu ditekan hingga 0,02 %.   Sementara itu, prevalensi balita
gizi kurang turun dari 24,76 % (1998) menjadi 12,75 % (2003) dan 
balita gizi baik naik dari 68,39 % (1998) menjadi 83,78 % (2003).

Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat,


yang bila tidak ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif
dapat mengakibatkan kematian. Perawatan  gizi buruk
dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk
rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat
Pemulihan Gizi (Terapheutic Feeding Center ) sedangkan Gizi
buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan di
Puskesmas, Poskesdes dan Pos pemulihan gizi berbasis
masyarakat (Community Feeding Centre /CFC) (Minarto, 2011).

Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk atau pun gizi


kurang sering ditemukan terlambat dan atau ditangani tidak tepat.
Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk
melaksanakan tatalaksana gizi buruk dan gizi kurang. Selain itu
kurangnya ketersediaan sarana dan prasana untuk menyiapkan
formula khusus untuk balita  gizi buruk dan gizi kurang, serta
kurangnya tindak lanjut pemantauan  setelah balita pulang ke
rumah (Minarto, 2011).
PERMASALAHA a. Asupan makanan yang kurang
N Pasien dikatakan kurang asupan makanannya karena hanya makan
sekali dalam sehari. Kecenderungan pasien untuk minum susu
formula saja dan makan makanan ringan memperparah kondisi
gizi pasien. Ibu menyuapi pasien hanya jika pasien merasa lapar
dan meminta makan. Ibu tidak berinisiatif mengatur pola makan
pasien agar lebih teratur.
Selain makanan yang kurang secara kuantitas, kualitas gizi pun
kurang berimbang, karena pasien hanya diberikan makanan yang
disukai saja. Jika pasien tidak suka dengan suatu menu, ibu tidak
berusaha mencari menu alternatif yang disukai pasien.
Faktor asupan makanan ini dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk
kondisi ekonomi, pengetahuan ibu, dan pola asuh ibu. Pada
pasien, faktor pola asuh ibu sangat dominan, kurangnya perhatian
ibu menyebabkan pola makan pasien tidak tertangani dengan
baik. Kondisi ibu hamil 8 bulan juga mempengaruhi besarnya
perhatian ibu terhadap pasien.
b. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi
Ibu kurang mengetahui pentingnya gizi cukup dan seimbang untuk
anaknya. Pemikiran bahwa makanan bisa digantikan dengan susu
formula masih sangat kuat. Selain itu, ibu juga berpendapat
bahwa makanan bisa digantikan dengan biskuit maupun susu
kemasan.
c. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan Dasar
Keterjangkauan pelayanan kesehatan pada pasien bagus. Letak
rumah dan lingkungan pasien dekat dengan tempat imunisasi,
pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan
anak serta sarana kesehatan seperti posyandu, puskesmas, rumah
sakit, praktek bidan dan dokter.
d. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan dalam keluarga dinilai cukup baik, keluarga
mampu menyediakan sumber karbohidrat, lemak, protein,
vitamin, dan susu bagi pasien.
e. Higiene Sanitasi Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal pasien dinilai baik. Ketersediaan air
bersih, ketersediaanjamban, serta jenis lantai rumah cukup baik.
Namun tidak diketahui kebersihan peralatan makan.
f. Pola Pengasuhan Anak
Pola pengasuhan anak dinilai kurang. Anak cenderung bermain
dengan saudara sepupu dan tetangga. Perhatian ibu yang kurang
juga bisa dipengaruhi oleh status gizi ibu yang termasuk dalam
KEK.
g. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga cukup ideal, karena hanya terdiri dari
tiga orang, yaitu: bapak, ibu, dan pasien. Dengan demikian
kebutuhan gizi lebih mudah terpenuhi dibandingkan dengan
keluarga dengan jumlah anggota yang banyak.
h. Pekerjaan Orang Tua
Ayah pasien yang hanya bekerja serabutan tanpa penghasilan
tetap kemungkinan berperan dalam kejadian gizi buruk pada
pasien. Keterbatasan ekonomi yang berarti ketidakmampuan daya
beli keluarga yang berarti tidak mampu membeli bahan makanan
yang berkualitas baik, maka pemenuhan gizi pada balitanya juga
akan terganggu.
i. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan berhubungan dengan pekerjaan orang tua.
Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, akan sangat berdampak
rendahnya daya beli keluarga tersebut.
A. Genetik
Riwayat keluarga dengan postur tubuh kecil juga memberikan
kontribusi pada masalah yang diderita pasien. Tinggi badan dan
berat badan pasien mungkin jauh di bawah anak-anak seusianya.
Tapi proporsi TB/BB biasanya normal.
PERENCANAAN B. Intervensi untuk Keluarga
DAN PEMILIHAN 1. Penyuluhan tentang status gizi balita
INTERVENSI a. Tujuan:
i Meningkatkan pengetahuan orang tua dan anggota
keluarga tentang status gizi balita
ii Meningkatkan pengetahuan pasien tentang gizi
seimbang untuk balita dan makanan pemulihan
untuk balita gizi kurang dan gizi buruk
b. Sasaran:
Orang tua atau pengasuh anak dan anggota keluarga
lainnya
c. Strategi pelaksanaan:
2. Memberikan edukasi mengenai status gizi
balita
3. Memberikan informasi mengenai menu
gizi seimbang untuk balita
4. Memotivasi ibu untuk lebih
memperhatikan pola makan anak
5. Memberi contoh menu penanganan
masalah gizi balita dan meminta ibu mengupayakan
mengikuti pola menu tersebut, atau mengganti
dengan menu lain yang sejenis
d. Pengembangan alternatif kegiatan:
i Memberitahukan dampak jangka pendek dan
jangka panjang dari kurang gizi atau gizi buruk
ii Mengajarkan PHBS pada keluarga
2. Program penanganan masalah gizi balita
a. Tujuan:
Menangani gizi buruk dengan benar dan tuntas
b. Sasaran:
Pasien
c. Strategi pelaksanaan
Memberikan edukasi tentang cara membuat formula
WHO maupun modisko
d. Pengembangan alternatif kegiatan
Mengajak ibu memasak bersama resep Modisco
(Modified Dietetic Skim and Cotton Sheet Oil), sehingga
ibu bisa menerapkan sendiri di rumah
3. Pembagian makanan tambahan
a. Tujuan:
Meningkatkan status gizi pada balita gizi kurang atau
gizi buruk
b. Sasaran:
Pasien
c. Strategi pelaksanaan
Memberikan makanan tambahan setiap kegiatan
posyandu
d. Pengembangan alternatif kegiatan
i. Pemberian makanan tambahan pemulihan pada
balita selama 90hari
ii. Memberikan makanan tambahan setiap kegiatan
Posyandu pada semua balita
4. Pemantauan status gizi dan balita
a. Tujuan:
iii Memantau perkembangan status gizi balita gizi
buruk maupun balita bawah garis merah (BGM)
iv Deteksi dini kekurangan gizi pada balita
v Mencegah akibat lanjut kekurangan gizi
b. Sasaran:
Pasien
c. Strategi pelaksanaan:
Memantau status gizi balita di posyandu setiap bulan
d. Pengembangan alternatif kegiatan:
vi Melakukan pemeriksaan fisik lengkap pada balita
vii Mengobati penyakit infeksi pada balita
C. Intervensi untuk Puskesmas
1. Memberi penyuluhan kepada kader posyandu tentang
masalah gizi kurang dan gizi buruk dan penanganannya
a. Tujuan
i Meningkatkan pengetahuan kader posyandu tentang
gizi kurang dan gizi buruk (penyebab, gejala, faktor
risiko, pengobatan, komplikasi,dan pencegahannya)
ii Meningkatkan pengetahuan kader posyandu tentang
gizi seimbang untuk balita dan makanan pemulihan
untuk balita gizi kurang dan gizi buruk
b. Sasaran
Kader posyandu dan tokoh masyarakat
c. Strategi pelaksanaan
2. Memberikan edukasi mengenai balita gizi kurang dan
gizi buruk
3. Memberikan informasi mengenai menu gizi
seimbang untuk balita
4. Mengadakan penyuluhan cara membuat formula
modisko maupun modifikasi cara memasak makanan
modifikasi lainnya.
d. Pengembangan alternatif kegiatan
i. Demo memasak formula modisko dan makanan
bergizi untuk balita gizi kurang dan gizi buruk
ii. Kader memasak formula modisko dan variasi
makanan bergizi bersama ibu-ibu dengan balita gizi
buruk maupun kurang dalam interval waktu tertentu.
2. Mengaktifkan kader posyandu dalam pemantauan status
gizi balita
a. Tujuan:
i Memantau perkembangan status gizi balita gizi
buruk maupun balita bawah garis merah (BGM)
ii Deteksi dini kekurangan gizi pada balita
iii Mencegah akibat lanjut kekurangan gizi
b. Sasaran:
Kader posyandu
c. Strategi pelaksanaan:
Memantau status gizi balita di posyandu setiap bulan
d. Pengembangan alternatif kegiatan:
iv Melakukan pemeriksaan antropometri pada balita
v Segera melaporkan jika terdapat balita BGM maupun
gizi buruk
Mengaktifkan Pusat Pelayanan Gizi (PPG)
a. Tujuan:
vi Memberi fasilitas konsultasi gizi pada orang tua
vii Melakukan penanganan gizi buruk maupun gizi
kurang dengan tepat
b. Sasaran:
Petugas kesehatan
c. Strategi pelaksanaan
5. Melakukan pembinaan terhadap orang tua mengenai
menu makanan seimbang bagi semua orang tua
6. Melakukan pembinaan intensif mengenai tata
laksanan gizi buruk bagi orang tua penderita gizi
buruk
d. Pengembangan alternatif kegiatan
D. Membuat buku saku pedoman pemberian makanan
pada balita gizi kurang dan gizi buruk
E. Mengunjungi rumah pasien secara intensif dan
berkala dalam melakukan tahap-tahap penanganan
gizi buruk ataupun gizi kurang
PELAKSANAAN Pemeriksaan terhadap status gizi balita rutin dilaksanakan di
Posyandu Wilayah Karang Jati setiap bulan nya, dimulai sekitar
pukul 08.30 sampai dengan selesai. Secara umum, balita akan
diperiksa mulai dari penimbangan berat badan dan tinggi badan.
Penambahan berat badan setiap bulannya merupakan salah satu
indikator gizi pada balita. Apabila penambahan berat badan tidak
sesuai dengan yang seharusnya maka selanjutnya ibu akan
mendapatkan konsultasi gizi tentang gizi balita nya. Ibu akan
ditanyakan pola makan sehari-harinya dan akan diberi
kesempatan untuk mengartikan apakah gizinya tersebut sudah
mencukupi untuk kebutuhan balitanya.
Selain itu kami juga memberi konsultasi seputar masalah
kesehatan kader-kader posyandu yang terdiri dari ibu-ibu rumah
tangga di sekitar wilayah posyandu wilayah Karang Jati untuk
melakukan pemeriksaan antropometri pada balita dan degera
melaporkan jika terdapat balita BGM maupun gizi buruk.
Selama kegiatan posyandu kader kader posyandu menyiapkan
makanan sehat untuk para ibu dan balita agar dapat dicontoh oleh
para ibu ibu untuk pilihan makanan balita nya.
23 WAKALARA 19/12/19

MONITORING Evaluasi dan monitoring kegiatan ini adalah pengecekan ulang


DAN EVALUASI keadaan gizi balita saat posyandu bulan depan. meningkatkan
kesadaran ibu-ibu terhadap asupan gizi anaknya yaitu dengan
memperbaiki pola makan serta rutin untuk mengikuti kegiatan
posyandu. Serta mengulang pengetahuan para kader tentang
pengetahuan nya terhadap status gizi balita

Komentar/Umpan Balik:
Pandaan, 29 September 2014

Peserta Pendamping

dr. Dwi Nanda S.A.W. dr. Titin Yuliani

Anda mungkin juga menyukai