PENDAHULUAN
manusia yang berkualitas dimulai dengan cara penanganan pertumbuhan anak sebagai bagian
dari keluarga dengan asupan gizi dan perawatan yang baik. Dengan lingkungan keluarga
yang sehat, maka hadirnya infeksi menular ataupun penyakit masyarakat lainnya dapat
dihindari. Di tingkat masyarakat faktor-faktor seperti lingkungan yang higienis, ketahanan
pangan keluarga, pola asuh terhadap anak dan pelayanan kesehatan primer sangat
menentukan dalam membentuk anak yang tahan gizi buruk.
Secara makro, dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi lintas
sektor dari pemerintah dan semua stakeholders untuk menjamin terlaksananya poin-poin
penting seperti pemberdayaan masyarakat, pemberantasan kemiskinan, ketahanan pangan,
dan pendidikan yang secara tidak langsung akan mengubah budaya buruk dan paradigma di
tataran bawah dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga termasuk anak.
Keberhasilan pembangunan nasional yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat
sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia. Indikator yang digunakan untuk
mengukur tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Pada umumnya IPM dan IKM
mempunyai komponen yang sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat kesehatan),
penguasaan ilmu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan standar kehidupan yang layak
(tingkat ekonomi). Pada IPM, standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita,
sementara IKM diukur dengan persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas
kesehatan, dan balita kurang gizi.
Salah satu prioritas pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah upaya perbaikan
gizi yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Kurang gizi akan
berdampak pada penurunan kualitas SDM yang lebih lanjut dapat berakibat pada kegagalan
pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktivitas,
meningkatkan kesakitan serta kematian. Visi pembangunan gizi adalah Mewujudkan
keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi masyarakat/keluarga yang optimal.
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama, yaitu kurang gizi mikro
dan kurang gizi makro. Kurang gizi makro pada umumnya disebabkan oleh kekurangan
asupan energi dan protein dibanding kebutuhannya yang menyebabkan gangguan kesehatan,
sedangkan
kurang
gizi
mikro
disebabkan
kekurangan
zat
gizi
mikro
(Dinkes
Purworejo,2006). Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjdinya kekurangan gizi
menahun. Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan (standar) yang telah
ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik.
2
Kalau sedikit dibawah standar disebut gizi kurang. Apabila jauh dibawah standar disebut gizi
buruk. Menurut Departemen Kesehatan, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita
kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak gizi buruk
(8,3%). WHO tahun 1999 mengelompokan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke
dalam empat kelompok, yaitu rendah (<10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat
tinggi (>30%).
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat
yang disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi energi, protein serta makanan sehari-hari
dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (
menurut BB terhadap TB ) dan hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Ada beberapa cara untuk mengetahui seorang anak
terkena busung lapar (gizi buruk) yaitu :
1. Dengan cara menimbang berat badan secara teratur setiap bulan. Bila perbandingan
berat badan dengan umurnya dibawah 60% standar WHO-NCHS, maka dapat
dikatakan anak tersebut terkena busung lapar (Gizi Buruk).
2. Dengan mengukur tinggi badan dan Lingkar Lengan Atas (LILA) bila tidak sesuai
dengan standar anak yang normal waspadai akan terjadi gizi buruk.
kali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan
gizi balita karena ketidaktahuan.
2. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi.
Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa
menyerap zat-zat makanan secara baik. Terjadinya kejadian infeksi penyakit ternyata
mempunyai hubungan timbal balik dengan gizi buruk. Anak yang menderita gizi
buruk akan mengalami penurunan daya tahan sehingga anak rentan terhadap penyakit
infeksi. Disisi lain anak yang menderita sakit infeksi akan cenderung menderita gizi
buruk cakupan pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi, penanganan diare,
tindakan cepat pada balita yang tidak naik berat badan, pendidikan, penyuluhan
kesehatan dan gizi, dukungan pelayanan di posyandu, penyediaan air bersih,
kebersihan lingkungan akan menentukan tinggi rendahnya kejadian penyakit infeksi.
Mewabahnya berbagai penyakit menular akhir-akhir ini seperti demam berdarah,
diare, polio, malaria, dan sebagainya secara hampir bersamaan dimana-mana,
menggambarkan melemahnya pelayanan kesehatan yang ada di daerah. Berbagai
penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh
keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih
besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab
kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek.
Ada berbagai penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang diantaranya
yaitu:
1. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai.
Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh
anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
Namun kemiskinan kadang menjadikan hambatan dalam penyediaan pangan bagi
keluarga.
2. Pola pengasuhan anak kurang memadai.
Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental
dan sosial. Di masa modern ini pengasuhan anak kadang kita serahkan kepada
pembantu yang belum tentu tahu perkembangan dan kebutuhan makan anak.
5
daerah miskin, persediaan makanan yang terbatas, dan tingkat pendidikan yang
rendah. Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil
yang baik. Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki
status kesehatan anak secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik
yang permanen dan gangguan intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak
dilakukan penanganan atau penanganannya yang terlambat, akan memberikan akibat
yang fatal. Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut diatas antara lain:
a. Pola makan
Protein adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan
mengandung protein/asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi
yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju,
tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai
keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadinya kwashiorkhor,
terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
b. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial
dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan
tertentu dan sudah berlansung turun-temurun dapat menjadi hal yang
menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
c. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
Tanda dan gejala klinis yang timbul pada kwashiorkor antara lain:
a. Rambut tipis berwarna merah seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menimbulkan rasa sakit.
b. Edema pada seluruh tubuh terutama pada punggung kaki dan bila ditekan akan
meninggalkan bekas.
c. Kelainan kulit (dermatosis) seperti timbulnya ruam berwarna merah muda yang
meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas.
7
Dari sekian banyak gejala klinis, ada beberapa gejala klinis tersebut yang khas pada
penderita kwashiorkor. Tanpa gejala klinis yang khas ini, penegakkan diagnosis
kwashiorkor tidak dapat ditegakkan. Gejala yang khas tersebut adalah edema, rambut
yang tidak hitam, mudah rontok, jarang dan tipis, perut buncit karena hepatomegali,
dan crazy pavement dermatosis. Karena adanaya edema, maka kwashiorkor bisa
disebutedematous protein calorie malnutrition.
2. Marasmus
Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat kekurangan
kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan dan
mengurusnya lemak bawah kulit dan otot (Dorland, 1998:649). Yang mencolok pada
keadaan nutritional marasmus ialah pertumbuhan yang berkurang atau terhenti
disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak bawah kulit. Pada permulaan kelainan
demikian merupakan proses fisiologik. Untuk berlangsungnya hidup jaringan, maka
tubuh memerlukan energi yang tidak dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan,
sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cadangan protein dipakai juga
untuk memenuhi energi. Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang
dapat terjadi karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat, karena
kelainan metabolik atau malformasi kongenital (Nelson,1999). Marasmus dapat
terjadi pada segala umur, akan tetapi yang sering dijumpai pada bayi yang tidak
mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya atau sering diserang
diare. Marasmus juga dapat terjadi akibat berbagai penyakit lain seperti infeksi,
kelainan bawaan saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik,
penyakit ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat (Dr. Solihin, 1990:116).
Tanda dan gejala yang terjadi seperti:
1. Wajah seperti orang tua.
2. Mudah menangis/cengeng dan rewel.
8
b. Anak diberi makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak,
vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya untuk lemak minimal 10% dari
total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
c. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program posyandu.
Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai,
segera konsultasikan hal itu ke dokter.
d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada
petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
e. Jika anak menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi
dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa
diberikan
setelah
sumber-sumber kalori
lainnya
sudah
terlihat
mampu
meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting
lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik.
Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi
kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan
fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.
11
Peran Keluarga:
1. Pemenuhan Gizi: a. ASI eksklusif dan MP-ASI; b. Gizi seimbang; c. Pola asuh
ibu dan anak
2. Pemantauan pertumbuhan anak
3. Penggunaan garam beryodium
4. Pemanfaatan pekarangan
5. Peningkatan daya beli keluarga miskin
6. Bantuan pangan darurat: a. PMT balita, ibu hamil, b. Raskin
Peran Masyarakat dan Lintas Sektor
1. Mengaktifkan Posyandu: SKDN
2. Semua balita mempunyai KMS,
3. Penimbangan balita (D),
4. Konseling,
5. Suplementasi gizi,
6. Pelayanan kesehatan dasar
7. Berat badan naik (N) sehat dikembalikan ke peran keluarga
8. BB Tidak naik (T1), Gizi kurang diberikan PMT Penyuluhan dan Konseling
9. Berat badan Tidak naik (T2), BGM, Gizi buruk, sakit, dirujuk ke RS atau Puskesmas
Peran Pelayanan Kesehatan
1. Mengatasi masalah medis yang mempengaruhi gizi buruk
2. Balita yang sembuh dan perlu PMT, perlu dikembalikan ke Pusat Pemulihan Gizi
untuk diberikan PMT
3. Balita yang sembuh, dan tidak perlu PMT, dikembalikan kepada masyarakat
12
2.10.
surveilans
berbasis
masyarakat
melalui
SKDN,
Sistem
Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) Gizi Buruk, dan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), untuk meningkatkan manajemen program
perbaikan gizi.
6. Mengembangkan model intervensi gizi tepat guna yang evidence based.
7. Menggalang kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan masyarakat beserta
swasta/dunia usaha dalam memobilisasi sumberdaya untuk penyediaan pangan di
tingkat rumah tangga, peningkatan daya beli keluarga, dan perbaikan pola asuhan gizi
keluarga.
13
BAB III
PEMBAHASAN
Puskesmas Pakan Kamis merupakan Puskesmas rujukan untuk balita gizi buruk yang ada di
Agam timur. Penanganan gizi buruk yang dilaksanakan di Puskesmas Pakan Kamis dalam
mengatasi masalah gizi adalah :
1. Upaya Kesehatan Promotif dan Preventif
a. Pendidikan (penyuluhan) gizi melalui promosi kadarzi
b. Revitalisasi posyandu.
c. Pemberian suplementasi gizi.
d. Pemberian MP ASI bagi balita gakin
2. Upaya Kesehatan Kuratif dan Rehabilitatif
a. Penemuan aktif dan rujukan kasus gizi buruk. Bila terdapat balita yang sudah 3
kali tidak naik berat badannya maka bidan desa / kader posyandu merujuk
ketenaga gizi puskesmas untuk dilakukan kajian penyebab berat badan balita
tidak naik. Bila terdapat masalah kesehatan maka dikonsultasikan dengan
dokter Puskesmas untuk penanganan penyakit balita tersebut.
b. Puskesmas Pakan Kamis mempunyai ruang perawatan untuk gizi buruk.
Dalam perawatan gizi buruk dilakukan pemeriksaan kesehatan lengkap dan di
konsultasikan kepada dokter spesialis anak untuk anjuran makan dan
perawatan gizi buruk. Balita gizi buruk dipantau setiap harinya berapa
kenaikan berat badannya setelah diberikan perawatan / penanganan balita gizi
buruk sesuai dengan standar penanganan gizi buruk dan anjuran dokter
spesialis anak.
c. Setelah berat badan mencapai berat normal, maka balita dapat dikembalikan
kepada masyarakat dan keluarganya dengan tetap dipantau di posyandu oleh
kader dan bidan desa. Petugas gizi tetap melakukan pendampingan balita gizi
buruk pasca perawatan.
14
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut), merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat
yang disebabkan oleh rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein dan makanan
sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Penyebab gizi buruk terdiri dari
penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung, yaitu kurangnya
asupan gizi dari makanan,
akibat
mengakibatkan infeksi.
Sedangkan penyebab tidak langsungnya yaitu ketahanan pangan keluarga yang kurang
memadai, pola pengasuhan anak kurang memadai, pelayanan kesehatan dan lingkungan
kurang memadai. Tipe gizi buruk terdiri dari marasmus, kwashiorkor, marasmickwashiorkor.
4.2. Saran
Penanganan kasus gizi buruk seharusnya dilakukan disaat penderita gizi buruk belum
mencapai tahap membahayakan. Diperlukan kerjasama semua pihak baik dari keluarga,
masyarakat dan lintas sektoral serta pelayanan kesehatan agar balita tidak lama dalam
keadaan gizi buruk. Perlunya perubahan perilaku masyarakat yang sudah membudaya
selama ini adalah,anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian
orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi
dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah
menipis. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu
cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Dan
seharusnya para ibu mengupayakan sesuatu yang terbaik untuk anaknya yangmana
nantinya anak tersebut dapat menolong sang ibu.
15
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Rahma Edy Pakaya, dkk. 2008. Upaya Penanggulangan Gizi Buruk pada Balita.
Yogyakarta: FK UGM, Berita Kedokteran Masyarakat - Vol. 24, No. 2.
2. Ira Rahmawati, dkk. 2007. Pengaruh penyuluhan dengan media audio visual terhadap
peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu balita gizi kurang dan gizi buruk di
Kabupaten Kota Waringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah. [jurnal gizi klinik
indonesia] vol.4. No.2 (hal.69-77)
3. Direktorat Bina Gizi. 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
16