Anda di halaman 1dari 5

B.

Transisi Masalah Pangan dan Gizi


Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan. Pengerttian Pangan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan,
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Sedangkan gizi merupakan zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan
yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan
komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
1. Transisi masalah pangan
Pola pangan di dunia berubah sesuai dengan perkembangan
ekonomi dan industrialisasi. Pengaruh industrialisasi membawa banyak
perubahan pada pola pangan berbagai penduduk, yaitu dengan banyaknya
berbagai macam pangan olahan sehingga tidak mengandalkan makanan
yang dihasilkan atau diolah sendiri. Perkembangan teknologi pangan
menyebabkan berbagai pangan dapat diperoleh sepanjang musim,
melalui teknik pengeringan, pengalengan, pendinginan, dan radiasi
(Almatsier, 2001)
Kecukupan konsumsi energi masyarakat Indonesia masih bertumpu
pada sumber karbohidrat. Tingkat konsumsi pangan sumber karbohidrat
selama 15 tahun dari tahun 1996-2011 mengalami penurunan sebesar
4,4% dan penurunan di kota lebih besar dari pada penduduk di desa.
Penurunan yang sangat tajam terlihat pada pangan lokal seperti umbi-
umbian mengingat Indonesia memiliki keanekaragaman pangan pokok.
Perubahan pola konsumsi pangan lokal ke pangan internasional berbahan
dasar terigu meningkat yaitu 10,5%. Hal ini dapat di lihat banyaknya
produk pangan berbahan dasar terigu seperti kue, roti, mi instan, dan
lain-lain.
Hasil analisis yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (2009)
yang menggunakan data Susenas Tahun 2006, pola konsumsi pangan
pokok di perkotaan pada semua kelompok pengeluaran adalah beras dan
terigu (termasuk turunannya). Sementara itu, untuk di pedesaan, pola
pangan pokok pertama pada semua kelompok pengeluaran adalah beras,
kemudian diikuti dengan jagung, ubikayu, terigu pada kelompok
berpendapatan rendah. Sementara itu pada kelompok menengah dan kaya
di pedesaan setelah beras diikuti terigu (Kementerian Perdagangan,
2013).
Banyak faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan
masyarakat namun dua aspek utama yang mempengaruhi hal tersebut
adalah tingkat pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi masyarakat.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat
terus meningkat yang juga dapat diartikan terjadi peningkatan
pendapatan masyarakat (Kementerian Perdagangan, 2013).
Perubahan pola konsumsi di Indonesia selama 15 tahun terakhir
sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2011 yaitu (Kementerian
Perdagangan, 2013)
- Adanya perubahan dominasi pangsa pengeluaran dari padi-padian
kepada kelompok makanan/minuman jadi
- Peningkatan konsumsi energi
- Penurunan kualitas konsumsi pangan yang mengacu pada Pola
Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan (PPH) adalah komposisi
kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi
kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH merupakan susunan
beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi
dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi,
baik dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi
daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama.
Mutu konsumsi pangan penduduk dapat dinilai dari skor pangan
(dietary score)/skor PPH. Komposisi pangan yang ideal yang terdiri
dari 56 - 68% dari karbohidrat, 10 – 13% dari protein dan 20 – 30%
dari lemak. Konsumsi dari padi-padian sangat tinggi, melebihi dari
ketentuan, sebaliknya untuk pangan hewani, sayur dan buah yang
termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor
PPH secara signifikan masih belum banyak dikonsumsi sesuai
dengan ketentuan.
- Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat seperti beras, umbi-
umbian, jagung, kecuali untuk terigu terus meningkat
- Peningkatan konsumsi pangan sumber protein kecuali daging sapi
- Peningkatan konsumsi kedelai dan minyak goreng
- Peningkatan konsumsi sayur dan buah, namun tingkat konsumsinya
tahun 2011 lebih rendah daripada tahun 2010
- Peningkatan konsumsi gula pasir.

2. Transisi masalah gizi


Transisi gizi berkaitan erat dengan transisi demografi dan
epidemiologi. Transisi gizi merupakan pergeseran pola konsumsi
makanan terkait dengan adanya perubahan ekonomi, demografi, dan
epidemiologi. Perubahan pola konsumsi masyarakat saat ini lebih banyak
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gula, serta rendah serat
berakibat pada pergeseran pola penyakit. Transisi demografi berkaitan
angka kelahiran kelahiran dan kematian, dimana pada negara
berkembang terjadi pergeseran dari angka kelahiran dan kematian yang
tinggi menjadi rendah. Sedangkan transisi epidemiologi yaitu adanya
pergeseran pola penyakit menular ke penyakit kronis dan degenerative
terkait dengan gaya hidup. (Popkin, 2003)
Transisi gizi pada negara berkembang menurut Popkin, (2003)
yaitu mulai berkuranganya masalah kelaparan seiring dengan
meningkatnya pendapatan, perubahan pola makan dan aktivitas yang
menyebabkan munculnya masalah penyakit baru, dan adanya perubahan
perilaku. Perubahan tersebut di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti
urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, perubahan teknologi, dan perubahan
budaya.
Hasil Riskesdas Tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan
masalah gizi yaitu masalah gizi buruk, gizi kurang, stunting, dan
penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes mellitus, dan hipertensi.
Proporsi kasus gizi buruk dan kurang pada tahun 2013 sebesar 17,7%
meningkat menjadi 19,6%, dan proporsi stunting (status gizi pendek dan
sangat pendek) pada tahun 2013 sebesar 30,8% meningkat menjadi
37,2% pada tahun 2018. Untuk Prevalensi obesitas pada tahun 2013
sebesar 14,8% meningkat menjadi 21,8% pada tahun 2018. Prevalensi
diabetes mellitus berdasarkan pemeriksaan darah yaitu dari 6,9% pada
tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018 (menurut konsensus Perkeni
2011). Prevalensi penyakit hipertensi juga meningkat dari 31,7% pada
tahun 2013 menjadi 34,1% pada tahun 2018.
Indonesia saat ini mengalami beban ganda masalah gizi (Double
Burden Disease), selain masalah kekurangan gizi yang cukup tinggi,
prevalensi obesitas juga meningkat. Beban masalah gizi di Indonesia
dipengaruhi pergesaran pola penyakit dari penyakit menular ke penyakit
tidak menular (PTM), peningkatan kesejahteraan secara nasional disertai
dengan peningkatan ketersediaan pangan yang lebih banyak
mengkonsumsi lemak dan makanan olahan, pertumbuhan urbanisasi dan
kurangnya fasiltas yang mendorong aktivitas fisik khususnya yang di
perkotaan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2019). Pembangunan Gizi di
Indonesia. Direktorat Kesehatan Dan Gizi Masyarakat Kedeputian
Pembangunan Manusia, Masyarakat Dan Kebudayaan Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Laporan Nasional Hasil Riset kesehatan
Dasar 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
RI. Jakarta
Kementerian Perdagangan. (2013). Laporan Akhir Analisis Dinamika Konsumsi
Pangan Masyarakat Indonesia. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan. Jakarta.
Popkin, B. M,. (2003). The Nutrition Transition in the Developing World.
Development Policy Review. 21 (5-6): 581-597.http doi : 10.1111 / j.1467-
8659.2003.00225.x.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tentang Pangan

Anda mungkin juga menyukai