PENDAHULUAN
indikator. Tujuan pertama dan MDGs adalah bahwa pada tahun 2015 nanti setiap
negara diharapkan mampu untuk menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dan
kondisi awal pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan
pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator
keempat) dan menurunnya jumlah penduduk defisit energi atau kelaparan (indikator
Sebagai negara dengan penduduk besar dan wilayah yang sangat luas,
Indonesia. Kejadian rawan pangan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam
dinamika kehidupan sosial politik Indonesia. Menjadi sangat penting bagi Indonesia
untuk mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional, wilayah, rumah tangga dan
1
2
Kemandirian ini semakin penting ditengah kondisi dunia yang mengalami krisis
pangan, energi dan finansial yang ditandai dengan harga pangan internasional
(bio-energi); resesi ekonomi global yang berakibat semakin menurunnya daya beli
sebagai salah satu pilar ketahanan nasional dan wilayah, maka pada Konferensi
Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2006 para Gubernur selaku Ketua Dewan
kesepakatan yang salah satunya adalah untuk penyusunan suatu rencana menuju
serangkaian pertemuan yang melibatkan instansi lintas sektor dan kelompok kerja
(pokja) ahli Dewan Ketahanan Pangan. Selanjutnya dokumen ini diharapkan dapat
dijadikan panduan dan acuan bagi para pemangku kepentingan baik instansi
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), perguruan
menunjukkan kecenderungan yang semakin baik di semua pilar, mulai dari produksi
seperti produksi pangan, stabilitas harga pangan pokok dan konsumsi pangan telah
seperti padi, jagung, kedele dan gula telah menunjukkan peningkatan. Selama periode
2003-2008 produksi padi meningkat dan 52 juta ton menjadi 60 juta ton. Gula juga
negeri, khususnya beras telah mendorong peningkatan pasokan yang berujung pada
stabilitas harga komoditas pangan ini. Pada tahun 2008, ketika di dunia internasional
terjadi peningkatan harga beras lebih dari 100%, ternyata harga domestik meningkat
hewani, khususnya daging ternak besar (sapi dan kerbau), daging ayam, telur, susu
tertinggi dicapai oleh daging sapi dan kerbau (3.25%) dan daging ayam (4.04%). Bila
Indonesia yang saat ini tergolong masih rendah. Kecuali untuk susu, kedelai, daging
dan gula, ketergantungan impor pangan untuk komoditas lainnya relative rendah.
energi dan protein selama lima tahun terakhir tetah melampaui Angka Kecukupan
Gizi (AKG) tingkat ketersediaan (2,200 kkal/kap/hr dan 57 gram protein/kap/hr) yang
harga pangan domestik yang relatif stabil serta peningkatan akses pangan melalui
cenderung meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Rata-rata konsumsi
energi semakin mendekati kebutuhan sebesar 2000 kkal/kap/hari, dan pada tahun
2007 bahkan tetah memenuhi angka kecukupan dengan rata-rata konsumsi energi
sebesar 2015 kkal/kap atau 100.7% dari angka kecukupan energi. Demikian halnya
dengan protein, konsumsi per kapita per hari umumnya sudah tercukupi.
dengan penurunan persentase rumah tangga yang defisit energi tingkat berat
(konsumsi energi < 70% angka kecukupan gizi) yang juga dikenal sebagai sangat
rawan pangan. Persentase penduduk yang sangat rawan pangan menurun dari 13.1%
tahun 2002 menjadi 11.1% tahun 2008. Meski menurun jumlah penduduk yang
defisit energi tingkat berat (sangat rawan pangan) diperkirakan masih sekitar 25.1 juta
jiwa pada tahun 2008. Apabila dihitung sejak terjadinya krisis pada tahun 1999
dimana persentase penduduk yang sangat rawan pangan mencapai 18.9% (38.6 juta
prevalensi status gizi kurang pada batita berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007. Meskipun status gizi masyarakat tidak hanya ditentukan oleh faktor
konsumsi pangan, tetapi juga oleh faktor lain seperti kualitas pengasuhan dan ada
tentunya telah berkontribusi dalam perbaikan status gizi masyarakat. Pada tahun
2007, prevalensi kurang gizi pada batita adalah 18.4% yang berarti telah melampaui
sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar 20% dan bahkan
sasaran MDGs sebesar 18.7%. Meski demikian perlu diwaspadai bahwa disamping
terjadi masalah kurang gizi, secara bersamaan Indonesia juga mengalami masatah
kegemukan (obesitas) yang prevatensinya pada anak balita mencapai sekitar 12.2%.
Uraian secara lebih rinci dan gambaran tentang situasi ketahanan pangan dan gizi
Bahwa selama lima tahun terakhir tetah terjadi peningkatan produksi pangan,
kecuali ubi jalar dan kacang tanah yang laju produksinya cenderung menurun. Pada
yang relatif rendah, sedangkan pertambahan penduduk saat ini cenderung meningkat
dengan pertumbuhan sebesar 1,2% setiap tahun (Badan Pusat Statistik (BPS), 2005).
Keadaan ini terjadi antara lain karena luas areal produksi pangan yang cenderung
kemampuan penyediaan pangan. Pada padi dan produk hortikultura kehilangan hasik
daging ayam, susu dan tetur mengalami peningkatan dengan laju yang lebih tinggi.
Hal ini cukup menggembirakan karena dalam pola konsumsi pangan masyarakat
Indonesia, kontribusi pangan hewani termasuk yang masih rendah dan perlu untuk
negara yang jumlah penduduknya besar seperti Indonesia. Kebijakan ini dianggap
sebagai cara yang paling aman untuk menjamin terpenuhmnya kebutuhan pangan bila
kebijakan ini tetah mewarnai kebijakan pemerintah Indonesia dalam bidang pertanian
dan pangan sejak tahun 1970-an. Hal ini dapat dilihat dari kondisi penyediaan pangan
ini diukur dengan ketergantungan impor pangan (rasio impor terhadap kebutuhan).
hanya beberapa komoditas pangan yang inpornya lebih dari 10 persen, kecuali
komoditas susu, kedelai dan gula yang masih belum mandiri. Ketergantungan impor
ini semakin menurun sejalan dengan perkembangan waktu, kecuali untuk kedelai
untuk bibit/benih, industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Secara
Kemampuan penyediaan pangan datam energi per kapita per hari di Indonesia
Ketersediaan protein per kapita juga melebihi dari standar yang dianjurkan yakni
menjamin ketersediaan dari konsumsi pangan yang cukup di tingkat rumahtangga dan
dapat terjadi karena adanya masalah dalam distribusi dan akses ekonomi
seluruh pelosok wilayah tanah air pada harga yang terjangkau merupakan upaya yang
termasuk dalam hal mendatangkan pangan dari luar daerah. Di daerah yang terisolir,
rumah tangga terhadap pangan. Dengan kondisi pembangunan yang semakin baik dan
mengakses pangan ditentukan oteh daya beli. Kemiskinan menjadi faktor pembatas
utama dalam mengakses pangan. Setiap rumah tangga memiliki kemampuan yang
berbeda dalam mencukupi kebutuhan pangan secara kuantitas maupun kualitas untuk
kebijakan untuk menjamin agar rumah tangga dan individu memiliki akses terhadap
pangan yang tersedia. Upaya atau kebijakan umum yang diterapkan adalah stabilisasi
harga pangan pokok agar mekanisme pasar dan distribusi yang ada dapat
cadangan pangan nasional dan masyarakat. Upaya ini diiringi dengan pengentasan
kemiskinan sehingga tujuan pertama MDGs serta kesepakatan Gubernur selaku Ketua
Dewan Ketahanan Pangan Propinsi yang dicanangkan pada tahun 2006 untuk
koefisien variasinya dan dimonitor terus menerus. Selama kurun tahun 2002 - 2007,
perkembangan harga beras di Jawa dan Bali cenderung stabil yang ditandai dengan
9
koefisien variasi harga yang rendah. Kebijakan pengendalian harga memiliki dua
tujuan seperti halnya yang diatur dalam Inpres No. 13 Tahun 2005 dan kemudian
harga produsen yang mencukupi kepada petani agar petani tidak menerima harga
lebih rendah dibanding biaya produksi. Gabah hasil pembelian petani digunakan
pokok yang termasuk dalam kebijakan ini adalah beras, minyak goreng, kedele, gula,
dan minyak tanah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dan merespon
kondisi perekonomian global saat ini, terutama yang terkait dengan kenaikan harga-
harga kebutuhan pokok, khususnya minyak dan pangan. Kebijakan tersebut bertujuan
untuk mengurangi dampak gejolak (shock) kenaikan harga, menstabilkan harga, dan
digunakan adalah instrumen fiskal, tataniaga, dan kerjasama dengan dunia usaha.
(PPh) impor, penerapan ‘jalur hijau’ bagi impor komoditi pangan, penyederhanaan
pasokan dalam negeri melalui pengelolaan ekspor, bantuan Langsung bagi kelompok
harga Gabah Kering Panen (GKP) yang menunjukkan bahwa kebijakan Harga
Perkembangan harga transaksi yang terjadi pada umumnya lebih tinggi daripada
Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HPP), kecuali di daerah yang sulit dijangkau
(terisolasi) atau yang komoditas produknya tidak memenuhi syarat pembelian. Untuk
pokok yang paling banyak dikonsumsi, maka prioritas utama pemerintah adalah
untuk menjamin masyarakat agar dapat mengakses beras dalam jumlah yang
sehinga masyarakat miskin yang daya belinya sangat terbatas bisa mendapatkan
menurun pada periode 2002-2007, namun dari segi realisasi penyaluran dan ketepatan
sasaran terhadap Kepala Keluarga (KK) miskin telah terjadi peningkatan kinerja
selama dua tahun terakhir. Secara volume, beras yang didistribusikan dalam program
Raskin memang cukup besar, namun belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan
sesuai norma sebanyak 20 kg per bulan dan seluruh rumah tangga miskin. Sampai
saat ini persentase keluarga miskin yang dapat dijangkau sekitar 70-88 persen (Tabel
1.1).
Tabel 1.1
Volume Beras dan Jumlah Keluarga Sasaran Program Raskin
KK Persen thd KK
Rencana Distribusi Realisasi Penyaluran
Miskin Miskin
Tahun
(ribu Beras (ribu Beras (ribu
Rencana Realisasi
KK) (ton) KK) (ton) KK)
2002 15.135,6 2.349.600 9.029,6 2.235.137 12.333,9 59,66 81,49
2003 15.746,8 2.057.438 8.574,9 2.023.864 11.832,9 54,45 75,14
2004 15.820,5 2.061.793 8.590,8 2.059.707 11.546,0 54,30 72,98
2005 15.790,0 1.992.000 8.300,0 1.991.131 11.207,9 52,56 70,98
2006 15.503,3 1.624.500 10.830,0 1.284.586 12.706,5 69,86 87,62
2007 19.100,9 1.736.007 15.781,8 1.731.805 16.736,4 82,62 87,62
Sumber : Perum BULOG
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam penyaluran raskin adalah volume
melalui musyawarah desa, namun demikian sebagai akibatnya beras dibagi kepada
tiap keluarga miskin dalam jumlah kurang dari 20 kg. Survei evaluasi yang
12
dilaksanakan oleh 35 perguruan tinggi pada tahun 2003 menemukan bahwa rata-rata
penerimaan beras Raskin adalah 13,3 kg/KK/bulan. Terlepas dari adanya kelemahan
kontribusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan dengan beberapa alasan, yaitu: (1)
program Raskin telah mempersempit celah kemiskinan (poverty gap) sekitar 20%; (2)
tingkat konsumsi kalori keluarga miskin penerima Raskin lebih tinggi antara 17-50
kkal/per hari dibandingkan mereka yang tidak memperoleh Raskin; (3) memberikar
stimulasi tidak langsung terhadap permintaan agregat karena adanya efek pengganda
(multiplier effect) dan transfer pendapatan yang meningkatkan daya beli penerima
Instrumen kebijakan lain yang juga telah diterapkan untuk stabilisasi harga
adalah cadangan pangan yang dimiliki pemerintah. Selain digunakan untuk operasi
pasar dalam rangka stabilisasi harga, Cadangan Beras Pemerintah (CBP) juga
digunakan untuk mengatasi kekurangan pangan yang terjadi sebagai akibat bencana
dengan batas maksimum masing-masing sebesar 200 ton dari 100 ton dalam setahun.
Dengan adanya CBP dan kewenangan yang dimiliki oteh kepala daerah tersebut,
masyarakat yang terkena dampak bencana akan dapat terpenuhi kebutuhan konsumsi
pangan pokoknya. Sampai saat ini cadangan pangan untuk keperluan tanggap darurat
hanya berupa beras. Pada kondisi darurat pada saat bencana, masyarakat mengalami
kesulitan pula untuk mendapatkan bahan bakar, air bersih, serta peralatan masak
13
sehingga bantuan pangan berupa beras kurang efektif dalam mengatasi penderitaan
masyarakat saat kondisi darurat seperti banjir; tsunami dan bencana lain yang juga
terutama pangan yang dapat diterima oleh masyarakat setempat. Cadangan pangan
yang siap digunakan oleh daerah dan cocok dengan pola konsumsi daerah sangat
Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara
kuantitatif dan secara kualitatif. Untuk menilai apakah penduduk telah terpenuhi
kebutuhan pangannya secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat
kecukupan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII
sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hr dan kecukupan protein
sebesar 56 g/kap/hari.
konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Aksesibititas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah
tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan
tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli
terutama pada periode 2005-2007. Secara umum konsumsi energi rata-rata semakin
mendekati kebutuhan sebesar 2000 kkal/kap/hari, dan pada tahun 2007 bahkan telah
memenuhi angka kecukupan dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2015 kkal/kap
atau 100.7% dari angka kecukupan energi. Pada tahun 2007, konsumsi energi di
kkal/kap/hr (99.8 % AKE). Akan halnya protein, konsumsi per kapita per hari
umumnya sudah tercukupi meski harus disadari bahwa sebagian besar sumber protein
propinsi di Indonesia, konsumsi energi pada umumnya sudah mendekati 100% dari
Angka Kecukupan Energi (AKE), namun masih bervariasi antar propinsi. Rataan
tingkat konsumsi energi berkisar antara 92.6% AKE (Maluku) hingga 115.2 % (Bali).
kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup aktif dan sehat. Pada
umumnya penduduk rawan konsumsi pangan (energi) dibagi atas dua kelompok,
yaitu sangat rawan (tingkat konsumsi energi < 70% AKE) dan mereka yang memiliki
Berdasarkan analisis data Susenas 2002 hingga 2008, ditemukan bahwa kondisi
penduduk rawan pangan masih masih cukup tinggi, meski secara umum jumlah dan
Pada Tahun 2002 persentase penduduk yang termasuk sangat rawan konsumsi pangan
mencapai 13.1% (sekitar 26.5 juta jiwa), tahun 2005 13.2% (sekitar 28.7 juta jiwa)
dan pada tahun 2007 dan 2008 menurun menjadi 13.0% (29.2 juta jiwa) dari 11.07%
(25.1 juta jiwa). Bila dibandingkan dengan kondisi saat puncak krisis ekonomi tahun
1999 yang prevalensinya adalah 18.9% (sekitar 38.6 juta jiwa), maka baik prevalensi
penurunan yang tajam. Penurunan ini terjadi karena dua hal: 1) karena keberhasilan
(AKE) yang diamanatkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
2004 dimana AKE yang semula 2100 kkal/kap/hr turun menjadi 2000 kkal/kap/hr.
cenderung menurun, namun kondisi ini menyerupai fenomena gunung es. Bila terjadi
peningkatan harga dan atau penurunan daya beli maka dikhawatirkan seperti halnya
telah terjadi pada masa krisis ekonomi yang lalu jumlah dan persentase penduduk
16
rawan konsumsi energi ini akan meningkat. Apalagi persentase penduduk rawan
pangan tingkat sedang dan ringan masih cukup tinggi, sekitar 27.5 persen pada tahun
2008. Apabila dipilah menurut wilayah, maka nampak terjadi keragaman yang cukup
tinggi antar propinsi dalam hal prevalensi penduduk yang sangat rawan konsumsi
pangan (defisit energi tingkat berat). Pada tahun 2008 prevalensi terendah ditemukan
prevalensi sangat rawan pangan <10% pada tahun 2008 selain Bali adalah Lampung
(7.4%), Sumbar (7.4%), Sulut (8.3%), Babel (8.3%) Sumut (8.4%), Jambi (8.5%),
Kepri (9.0%), Banten (9.1%), Kalteng (9.1%), Jabar (9.3%) dan NAD (9.7%).
Sementara itu propinsi dengan prevalensi di atas 20% selain Papua Barat adalah DIY
rawan dan rawan) menunjukkan bahwa pencapaian kondisi ketahanan pangan pada
tingkat nasional atau wilayah masih belum secara langsung menjamin tercapainya
dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga dan daya beli rumah tangga
serta masih tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan tentang
pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi
rumah tangga.
Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat
krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Konsumsi beras menurun sekitar 6
persen dari terigu (pangan olahan dan terigu) menurun sekitar separuhnya (52
17
persen). Sebaliknya konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Pada masa
pemutihan ekonomi (2002-2007), konsumsi beras dan jagung masih terus menurun,
konsumsi terigu relatif stagnan, sedangkan konsumsi ubi jalar dan ubi kayu
meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada konsumsi ubi kayu yang mencapai
16.6 %.
Sementara itu konsumsi pangan sumber protein baik daging, telur, susu maupun
ikan menurun selama masa krisis. Konsumsi pangan protein tersebut kembali
pangan hewani harus terus ditingkatkan untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia agar mampu bersaing di era globalisasi. Pada saat ini konsumsi pangan
hewani penduduk Indonesia baru mencapai 6,2 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini
pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang lebih rendah dibanding dengan
negara-negara tersebut diatas. Demikian pula pada konsumsi pangan sumber lemak,
vitamin dan mineral menurun pada masa krisis, terutama konsumsi buah dan sayuran
yang mencapai lebih dari 20 persen. Pada masa pemulihan ekonomi, peningkatan
konsumsi pangan sumber lemak relatif stagnan, walaupun untuk minyak goreng
18
daya beli yang menurun, masyarakat mengurangi jenis pangan yang harganya mahal
dan mensubstitusinya dengan jenis pangan yang relatif murah. Konsumsi beras
digantikan dengan jagung dan umbi umbian. Sedangkan konsumsi protein hewani
dikurangi. Dalam kondisi krisis finansial, pangan dan energi global seperti yang
terjadi saat ini dan diperkirakan akan masih terus terjadi hingga beberapa waktu
mendatang, pelajaran masa lalu ini menjadi penting untuk diantisipasi agar pada saat
kondisi daya beli yang memburuk kualitas konsumsi pangan masyarakat tidak turun
Tabel 1.2.
Konsumsi Pangan Sumber Lemak dan Vitamin/Mineral (Kg/kap/th)
pendapatan. Suatu komoditas pangan akan masuk ke dalam pola konsumsi apabila
Semakin banyak pangan yang memiliki kontribusi energi di atas 5% akan semakin
beragam pola konsumsinya. Hasil analisis data Susenas 1999 sd 2007 menunjukkan
rendah, terutama di pedesaan mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis
Terigu dan hasil olahannya (khususnya mie instant) menyumbang energi secara
signifikan bukan hanya pada rumah tangga berpendapatan tinggi tetapi juga pada
karena gandum adalah komoditas impor dan tidak diproduksi di Indonesi. Sehingga
arah perubahan pola konsumsi itu dapat menimbulkan ketergantungan pangan pada
impor. Program diversifikasi pangan dalam arti luas menuju gizi seimbang, dan
diversifikasi pangan sumber karbohidrat menjadi sangat penting untuk dilakukan agar
tidak terjadi ketergantungan yang sangat tinggi pada satu jenis pangan saja.
pangan yang dikenal dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Nitai/skor mutu PPH
Semakin besar skor PPH maka kualitas konsumsi pangan dalam artian jumlah dan
kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan dengan peningkatan skor PPH dan 66,3
pada tahun 1999 menjadi 72,6 pada tahun 2002 . Kualitas konsumsi terus meningkat
dan pada tahun 2005 mencapai 79,1 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 9,0
persen selama 4 tahun dan kemudian meningkat kembali menjadi 83.1 pada tahun
21
2007. Laju peningkatan skor PPH yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan
konsumsi energi dan protein mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan dalam
pola konsumsi pangan yang mengarah pada pola konsumsi yang semakin beragam
Meski cenderung meningkat, skor mutu pangan tersebut masih cukup jauh dari
kondisi ideal. Belum idealnya mutu konsumsi pangan ini terjadi karena pola
konsumsi pangan masyarakat masih sangat tergantung pada padi-padian, dan masih
kurang dalam hal konsumsi pangan hewani, sayuran dan buah serta kacang-kacangan.
Tabel 1.4.
Perbandingan Konsumsi Pangan Anjuran dan Aktual
Kelompok Konsumsi Aktual (kalori/kapita/hari)
No Anjuran
Pangan 1999 2002 2003 2004 2005 2007
1 Padi-padian 1.000 1.240 1.253 1.252 1.248 1.241 1.246
2. Umbi-umbian 120 69 70 66 77 73 46
5. Buah/biji berminyak 60 41 52 56 47 51 50
6. Kacang-kacangan 100 54 62 62 64 67 74
9. Lain-lain 60 26 53 32 33 35 36
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu memiliki fisik yang tangguh,
mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan
bahwa kualitas SDM sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, yang secara
22
langsung ditentukan oleh faktor konsumsi pangan dan daya tahan tubuh terhadap
penyakit infeksi. Secara tidak langsung, status gizi dipengaruhi pula oleh pola asuh,
atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan
aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan gizi untuk
mendukung hidup sehat, aktif dan produktif. Indikator untuk mengukur tingkat
Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 95 dan diharapkan dapat dicapai pada tahun
2015.
pada penyediaan produk pangan yang lebih beragam dan aman untuk dikonsumsi,
termasuk produk pangan yang berbasis sumber daya lokal. Dari sisi aktivitas
berbagai ragam sumber pangan, utamanya tanaman sumber karbohidrat, protein dan
zat gizi mikro, serta ternak dan ikan sebagai sumber protein. Selain itu akan dapat
menengah, dan bahkan usaha besar. Aktivitas ekonomi pangan saat ini dapat
dapat pula dijadikan salah satu momentum bagi Pemerintah Daerah untuk
pada satu jenis pangan. Pada saat ini, diketahui dan selalu diperbincangkan tingginya
sejak lebih dari 5 tahun yang lalu). Sementara itu dengan menggunakan kesepakatan
angka dari hasil Susenas, tingkat konsumsi beras di dalam rumah tangga (di luar
untuk industri pangan) pada tahun 2004 sebesar 107,00 kg/tahun dan tahun 2008
langsung yang diharapkan adalah menurunnya konsumsi beras per kapita per tahun
pada tingkat konsumsi langsung di dalam rumah tangga, walaupun disadari bahwa
banyak sekali faktor ekonomi, sosial dan budaya yang mempengaruhi tingkat
konsumsi suatu produk. Sementara itu, total pemanfaatan beras per kapita untuk
keseluruhan (pangan, industni) dapat saja tidak banyak berubah karena meningkatnya
ketahanan pangan dan memiliki dimensi pembangunan yang sangat luas, baik dan
yang dihadapi dalam penganekaragaman konsumsi pangan dewasa ini adalah: (1)
belum tercapainya skor keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan dan gizi
sesuai harapan yang selama ini pencapaiannya berjalan sangat lamban dan cenderung
fluktuatif, (2) cukup tingginya kesenjangan mutu gizi konsumsi pangan antara
masyarakat desa dan kota, (3) adanya kecenderungan penurunan proporsi konsumsi
pangan berbasis sumber daya lokal, (4) lambatnya perkembangan, penyebaran, dan
dalam pengolahan, nilai gizi, nilai ekonomi, nilai sosial, citra dan daya terima, (5)
masih belum optimalnya pemberian insentif bagi dunia usaha dan masyarakat yang
Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Melalui kebijakan ini diharapkan
mampu memberikan daya ungkit yang kuat bagi penyediaan dan permintaan aneka
ragam pangan secara nyata, yang secara simultan dapat mendorong terwujudnya
penyediaan aneka ragam pangan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal.
Selain itu, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) tersebut telah
Lokal.
25
Bengkulu ?
Bengkulu?
1. Model sinergisitas antara Pusat dan Pemerintah Provinsi Bengkulu yang efektif
1. Manfaat Teoritik
2. Manfaat Praktis