Anda di halaman 1dari 17

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beras Sebagai Bahan Pangan Pokok

Produksi merupakan suatu proses mengubah input menjadi output melalui

mekanisme sistem produksi baik berupa barang maupun jasa. Produksi beras

berarti perubahan input produksi dari biji-bijian hingga menjadi beras yang dapat

dimanfaatkan dan dinikmati oleh konsumen. Pangan pokok merupakan pangan

yang muncul dalam menu sehari-hari dan merupakan sumber energi terbesar bagi

pertumbuhan tubuh. Sedangkan, pangan pokok utama adalah pangan pokok yang

dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat

diganti oleh jenis komoditas lain.

Beras adalah hasil olahan produk sektor pertanian yang disebut padi

(Oryza sativa). Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan makanan

pokok bagi masyarakat bangsa di Asia, khususnya Indonesia, Malaysia, Thailand,

Vietnam, Jepang, dan Myanmar (Ambarinanti, 2007). Padi mempunyai nilai

strategis, karena merupakan tulang punggung ketahanan pangan dan hajat hidup

warga dunia. Hal ini tampak pada pertumbuhan beras yang terus meningkat sesuai

dengan pertambahan dan perkembangan jumlah penduduk. Jumlah produksi beras

di Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah luasan panen dan tingkat

produktivitas. Semakin luas areal panen dan semakin tinggi produktivitas, maka

semakin jumlah besar produksi. Selain kedua hal tersebut, produksi beras juga

dipengaruhi oleh tingkat konversi dari gabah ke beras. Berdasarkan road map

Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) tahun 2012-2014 menuju surplus

10 juta ton beras. Berdasarkan angka ramalan II (ARAM II) Badan Pusat Statistik

9
10

(BPS) produksi padi tahun 2012 mencapai 68,956 juta ton GKG atau meningkat

3,1999 juta ton (4,87%) dari pencapaian produksi tahun 2011 yang hanya sebesar

65,756 juta ton. Dengan perkembangan produksi padi tahun 2012, maka sasaran

produksi tahun 2013 hanya memerlukan peningkatan 3,111 juta ton GKG (4,51%)

bukan 4,239 juta ton (6,25%) dari tahun 2012. Sasaran tersebut ditetapkan dengan

perhitungan jumlah penduduk tahun 2013 sejumlah 248,334 juta jiwa dengan

tingkat konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 132, 98 kg. Dengan sasaran

produksi padi tersebut terjadi surplus beras sejumlah 7,49 juta ton (Departemen

Pertanian, 2012).

Tingginya dominansi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk

Indonesia menyebabkan rendahnya kualitas konsumsi pangan nasional dan

cerminan konsumsi pangan penduduk yang belum beragam dan bergizi seimbang

dengan indikator skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang masih dibawah standar

ideal. Pola Pangan Harapan atau Desireable Dietary Pattern adalah susunan

beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan atau kontribusi energi dan

kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dan suatu pola

ketersediaan atau pola konsumsi pangan. Dengan pendekatan Pola Pangan

Harapan dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary

score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang

semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.

Pola Pangan Harapan berguna sebagai instrumen sederhana menilai situasi

ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi menurut jenis

pangan secara agregat. Disamping itu juga berguna sebagai basis untuk

penghitungan skor pola pangan harapan yang digunakan sebagai indikator mutu
11

gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan, baik pada tingkat ketersediaan

maupun tingkat konsumsi. Selain itu, digunakan untuk perencanaan konsumsi dan

ketersediaan pangan. Dengan pendekatan Pola Pangan Harapan, keadaan

perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat

memenuhi tidak hanya kecukupan gizi (nutritional adequency), akan tetapi

sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang

didukung oleh citarasa (palatability), daya guna (digestability), daya terima

masyarakat (acceptability), kuantitas, dan kemampuan daya beli (affortablity).

Adapun tujuan dan manfaat Pola Pangan Harapan adalah:

1. Tujuan

Secara umum, tujuan Pola Pangan Harapan adalah untuk menghasilkan

suatu komposisi standar pangan. Tujuan analisis Pola Pangan Harapan

berdasarkan ketersediaan dan konsumsi pangan adalah untuk:

- Mengetahui secara mendetail tentang tingkat ketersediaan pangan dari

produksi lokal,

- Mengetahui kesenjangan tingkat mutu gizi dan keragaman konsumsi pangan

pada tingkat ketersediaan dengan memperhatikan keseimbangan gizi yang

didukung oleh citarasa, daya terima masyarakat, kuatitas, dan kemampuan

daya beli.

2. Manfaat

- Sebagai instrumen sederhana menilai situasi ketersediaan dan konsumsi

pangan berupa jumlah dan komposisi menurut jenis pangan secara agregat,
12

- Sebagai basis untuk penghitungan skor Pola Pangan Harapan yang digunakan

sebagai indikator mutu gizi pangan dan keragaman konsumsi pangan baik

pada tingkat ketersediaan maupun tingkat konsumsi,

- Untuk perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan,

- Dengan pendekatan Pola Pangan Harapan, keadaan perencanaan penyediaan

dan konsumsi pangan penduduk diharapkan dapat memenuhi tidak hanya

kecukupan gizi (nutritional adequency), akan tetapi sekaligus juga

mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutritional balance) yang didukung

oleh citarasa (palatability), daya guna (digestability), daya terima masyarakat

(acceptability), kuantitas, dan kemampuan daya beli (affortablity).

Salah satu syarat tercapainya ketahanan pangan nasional adalah

dengan adanya ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan memenuhi

persyaratan gizi untuk penduduk. Bahan pangan yang dapat diproduksi di dalam

negeri diupayakan tetap menjadi pilar utama dalam penyediaan pangan nasional,

karena hal tersebut berkaitan dengan perwujudan ketahanan dan kedaulatan

pangan nasional.

Ketahanan pangan tingkat nasional/regional tidak selalu menjamin

ketahanan pangan tingkat rumah tangga, namun menjadi necessary condition

untuk terwujudnya ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Kebijakan ketahanan

pangan di Provinsi Bali perlu diarahkan pada penanganan rumah tangga di desa

melalui peningkatan pengetahuan tentang gizi, sehingga rumah tangga dapat

merealokasikan pengeluaran pangan guna memenuhi kecukupan energi.


13

2.2 Kebijakan Perberasan di Indonesia

Beras merupakan komoditas strategis, sehingga kebijakan perberasan

menjadi penentu kebijakan pangan nasional dalam pemenuhan hak atas pangan

dan kelangsungan hidup rakyat. Kebijakan perberasan merupakan bagian penting

penentu stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia. Tetapi belum ada perbaikan

secara signifikan dan komperensif terkait pendataan perberasan di Indonesia.

Data statistik pertanian merupakan yang sangat penting untuk

menentukan arah kebijakan di tahun yang mendatang. Data dari berbagai lembaga

terkait pertanian, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian,

Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pekerjaan

Umum, dan lainnya masih tumpang tindih dan belum diintegrasikan antara satu

dan lainnya. Data yang valid dan bias dipertanggungjawabkan merupakan salah

satu kunci untuk mendiagnosis akar permasalahan perberasan di Indonesia,

sesungguhnya egoistik struktural masih berjalan kuat ditiap Kementerian dan

lembaga yang terkaitcsehingga data satu dan lainnya berbeda, karena kepentingan

strukturalnya. Penerapan kebijakan perberasan yang ada di Indonesia memiliki

empat kegiatan utama dalam memperkuat perekonomian domestik dan

memperluas kesejahteraan rakyat, yaitu:

1. Peningkatan daya saing,

2. Peningkatan daya tahan ekonomi,

3. Peningkatan perluasan kesejahteraan rakyat,

4. Pemantapan stabilitas sosial politik

Kebijakan perberasan nasional merupakan suatu paket kebijakan yang

tertuang dalam Inpres No. 3 Tahun 2012 tentang “Kebijakan Pengadaan


14

Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah”. Beberapa elemen yang

terkandung dalam isi tersebut, meliputi kebijakan untuk melindungi stabilitas

harga beras dalam negeri serta menetapkan kebijakan pengadaan dan penyaluran

cadangan beras. Kebijakan tersebut sebagai acuan motorik dan memobilisasi

untuk melindungi petani dan konsumen dari dampak negatif perdagangan

Internasional. Pada hakekatnya, terdapat tiga aspek yang saling berkaitan dalam

kebijakan pangan dan gizi, yaitu aspek produksi, konsumsi, dan distribusi (Wahab

dan Gonarsyah, 1989).

Pembangunan sektor pertanian merupakan hal sangat penting dalam

pembangunan ekonomi Indonesia, karena membutuhkan perencanaan yang cermat

dan terintegrasi bersama masyarakat tani. Adapun kebijakan perberasan di

Indonesia, antara lain:

1. Kebijakan peningkatan produksi padi/beras

Melalui berbagai kebijakan tersebut, produksi padi nasional terus

mengalami peningkatan akibat meningkatnya produktivitas dan luas areal panen

produktif. Peningkatan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat

Indonesia berswasembada beras. Dukungan pemerintah memang sangat

diperlukan untuk mengembangkan usaha padi tersebut. Dengan bersinerginya

lembaga terkait dari pemerintah hingga petani dan bermodalkan tekad dan kerja

keras petani yang sudah ada, besar kemungkinan usaha untuk menjadikan

Indonesia sebagai negara berswasembada pangan akan kembali memposisikaan

“dirinya”. Harga beras bervariasi dan mengalami fluktuasi yang begitu riskan

sehingga mempunyai sifat klasik, tapi perlu diperhatikan, karena menyangkut

usaha jutaan petani kecil yang rentan terhadap risiko. Penyerapan tambahan bagi
15

surplus musiman yang terjadi harus dilakukan melalui penciptaan pasar baru oleh

pemerintah agar harga produsen tidak semakin tertekan (Pranolo dan Tito, 2000).

Pemerintah sangat dibutuhkan peran serta dukungan dalam membina

diversifikasi usaha yang dilakukan oleh petani. Pemerintah dapat memberikan

kucuran modal, sarana dan prasarana maupun bimbingan teknisnya. Perusahaan-

perusahaan agribisnis di bawah Kementerian BUMN yang dalam ini sebagai

lembaga pemerintah dapat berperan aktif secara intensif dalam mendukung

keberhasilan program dan peningkatan produksi padi/beras, seperti memberikan

kucuran dana sosialnya yang lebih lazim dikenal dengan CSR (Corporate Social

Responsibility) dan melakukan pembinaan secara intensif dan pendekatan intuitif

terhadap petani.

Pemerintah harus turut andil bagian dalam mensukseskan usaha yang

akan dirintis oleh petani padi. Keberhasilan usaha yang dijalankan, merupakan

keberhasilan bersama dalam menjaga eksistensi tanaman padi di tanah air. Oleh

karena itu, betapa pentingnya dikembangkan usaha alternatif yang mampu

memberikan pendapatan sampingan selain pekerjaan utama bertani. Keberhasilan

usaha ini akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, sehingga lahan

pertanian tidak lagi ditinggalkan dan apa yang kita harapkan tentang ketersediaan

produksi padi tiap tahunnya tetap terjamin.

2. Kebijakan harga beras

Kebijakan harga beras di Indonesia pertama kali diajukan secara

komprehensif dan operasional oleh Mears dan Afiff (1969). Falsafah dasar

kebijakan tersebut berisikan beberapa komponen sebagai berikut:

1. Menjaga harga dasar yang cukup tinggi untuk merangsang produksi,


16

2. Perlindungan harga maksimum yang menjamin harga layak untuk konsumen,

3. Perbedaan yang layak antara harga dasar dan harga maksimum untuk

memberikan keuntungan yang wajar bagi swasta untuk penyimpanan beras,

4. Hubungan yang wajar antar daerah maupun terhadap harga.

Harga-harga komoditas pertanian memegang peranan penting baik

secara ekonomi maupun politik, karena mempunyai pengaruh besar terhadap

pendapatan petani dan kesejahteraan konsumen. Telah banyak upaya dilakukan

pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam meningkatkan produksi pertanian

dan melakukan rekonsiliasi tingkat pendapatan kesejahteraan petani melalui

berbagai macam program intensifikasi dan ekstensifikasi, namun berdasarkan

pengalaman dinamika tersebut, bagaimanapun konsep-konsep yang mendasari

semua program tersebut, selama harga jual yang diterima petani tidak turut

diperbaiki oleh pemerintah, usaha-usaha pemerintah tersebut tidak akan

membawa hasil yang optimal.

Rangsangan ekonomi dalam bentuk tingkat harga yang

menguntungkan merupakan faktor paling penting bagi petani untuk meningkatkan

produksinya, seperti yang berlaku bagi setiap produsen disektor lainnya. Petani

pada akhirnya merasa tidak memiliki profit memperluas lahan garapan dalam

menerapkan teknologi baru dan menggunakan pupuk berkualitas baik, apabila

semua hal tersebut tidak menambah penghasilan netonya (Tambunan, 2003).

Dalam pemberian jaminan pada para petani, bahwa hasil produksinya akan dibeli

pada harga yang ditetapkan oleh pemerintah atau perusahaan yang telah ditunjuk.

Untuk dapat mempertahankan harga pada tingkat dasar dilakukan dengan

pembelian gabah/beras pada saat penawaran berlimpah (pada waktu panen) dan
17

dilakukan injeksi beras ke pasar pada waktu paceklik untuk mempertahankan

harga agar tidak melampaui harga batas tertinggi (Sapuan, 1989).

BULOG adalah lembaga yang dirancang pemerintah untuk

melaksanakan kebijakan stabilisasi harga, membeli beras pada tingkat tertentu

yang telah ditetapkan pemerintah, serta penyaluran beras untuk masyarakat rawan

pangan dan emerjensi (Amang, 2011). Penetapan kebijakan harga dasar gabah

berubah menjadi kebijakan Harga Pembeliaan Pemerintah (HPP) mulai tahun

2002.

Kebijakan ini juga berfungsi sebagai insentif bagi petani untuk

meningkatkan produksi. Pemerintah mengarahkan perhatian yang besar untuk

dapat merangsang produksi. Dampak positif ini terlihat, bahwa kenaikan produksi

beras selama tiga pelita telah tercapai, karena peran insentif harga dasar dan harga

pupuk serta pestisida sebesar 40%. Faktor-faktor yang lain seperti benih unggul,

irigasi dan pengetahuan dari petani secara bersama menyumbang sebesar 60%

bagi kenaikan produksi padi (Amang, 1989). Melalui Inpres No. 9 Tahun 2002,

pemerintah dengan sangat halus mengganti istilah Harga Dasar Gabah (HDG)

menjadi Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDGP) atau yang saat ini

dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Perubahan ini tidak

terlalu berbeda, akan tetapi sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HPP

pemerintah hanya menjamin harga gabah pada tingkat tertentu yang telah

ditetapkan, tidak lagi menjamin harga gabah minimum di tingkat petani. HPP

berlaku digudang BULOG, bukan di tingkat petani sebagaimana isi dari kebijakan

HDG sehingga tidak lagi memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan

produksinya (Pratiwi, 2008).


18

Pemerintah dalam bentukan lembaganya, untuk melindungi konsumen

menetapkan harga eceran tertinggi lokal. Orientasi BULOG dalam distribusi

bahan pangan adalah harga sesuai dengan tugas pokok BULOG untuk

menstabilkan harga bahan pangan. Terkait penyediaan bahan pangan oleh

BULOG memiliki tujuan, yaitu menjaga variasi harga antar musiman dan antar

tempat (Amang dan Sawit, 1989). Bentuk price policy yang masih berlaku dan

dijalankan oleh BULOG berupa Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar

Khusus (OPK). Perasi Pasar Murni (OPM) merupakan bagian dari general price

subsidy yang digunakan pada saat harga beras sangat tinggi akibat excess demand

di pasar. Operasi Pasar Khusus (OPK) merupakan implementasi dari targeted

price subsidy. Tujuan awal dari OPK adalah penyaluran bantuan pangan pada

masyarakat miskin yang rentan pangan di tahun 1998 yang disebabkan tidak

efektifnya OPM. Pada tahun 2002, OPK berubah namanya menjadi Raskin (beras

untuk rakyat miskin). Program ini terus dilakukan dan diupayakan sebagai salah

satu jaringan pengamanan sosial yang volumenya semakin mengalami

peningkatan dari waktu ke waktu, karena adanya kecenderungan kenaikan harga

bahan pangan di tingkat konsumen (Pratiwi, 2008).

3. Kebijakan impor

Tingginya pola konsumsi menjadi alasan mendasar pelegalan oleh

pemerintah untuk melakukan kebijkan impor beras demi memenuhi target/puncak

yang ditentukan oleh pemerintah. Alasannya, demi menjamin ketersediaan dan

mewujudkan ketahanan pangan. Ketergantungan akan impor beras membuat

pemerintah pada tahun 2013 merencanakan impor beras 670 ribu ton, sementara

realisasi impor tahun lalu sebanyak 2 juta ton. Bahkan Kementerian Pertanian
19

menyatakan produksi beras meningkat sebesar 39 juta ton dengan total konsumsi

34 juta ton hingga 35 juta ton dengan kata lain, masih ada surplus 5 juta ton.

Dalam hal ini dipandang dan berasumsi yang menjadikan impor beras sebagai

ujung tombak bagi terwujudnya ketahanan hak atas pangan dan ketersediaan

pangan merupakan sebuah logika yang salah pemahaman dalam pemenuhan

kebutuhan.

Kebijakan impor dalam mengamankan ketersediaan bahan pangan

merupakan pengabaian terhadap produksi beras dalam negeri dan kedepannya

akan berimplikasi pada kesejahteraan petani. Kebijakan impor bertujuan untuk

menekan jumlah dan mengurangi tingkat ketergantungan impor beras dalam

negeri. Kebijakan impor di implementasikan dalam dua instrumen pokok, yaitu

hambatan tarif dan restriksi.

Pengenaan tarif yang diberlakukan di Indonesia tidak efektif

mengangkat harga beras dalam negeri dan sebaliknya mendorong adanya

penyelundupan beras ke Indonesia (Pratiwi, 2008). Maka, untuk menekan

kebijakan impor dibutuhkan solusi yang sangat komprehensif untuk mengatasi

permasalahn ini. Kebijakan impor lanjutan bukan kebijakan yang tepat untuk

mewujudkan kemandirian pangan, sehingga perencanaan ini perlu dilakukan

perbaikan dan merestorasi perubahan sistem dan mekanismenya. Indonesia,

sebagai negara agraris yang memiliki berbagai potensi yang sangat melimpah

sumber daya alamnya, terkhusus pada bidang pangan dan dapat dimanfaatkan

secara positif potensi yang ada untuk meningkatkan ketahanan dan ketersediaan

pangan domestik yang berkelanjutan demi kepentingan rakyat. Oleh karena itu,

dengan melihat urgensinya mulai saat ini pemerintah perlu menerapkan


20

manajemen perberasan nasional yang berbasis pada tiga pilar yang sangat penting,

yaitu Revitalisasi, Diversifikasi dan Reformasi Perum BULOG.

4. Kebijakan distribusi

Distribusi merupakan hal yang sangat penting dalam menjaga

persediaan barang dan menyalurkannya secara merata. Kebijakan distribusi

merupakan sebuah kebijakan yang bersifat penyatuan secara merata baik

penerapannya di pusat maupun di daerah dengan diikat sistem hukum yang telah

ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang.

Persediaan beras antar daerah tidak selalu sama, ini dikarenakan

kemampuan produksi dan produktivitas sumber daya manusia yang berbeda

sehingga pengaturan dalam perencanaan distribusi yang baik dan sehat sangat

diperlukan. Proses pendistribusian beras di Indonesia dilakukan dengan dua

sitematika, melalui BULOG dan mekanisme pasar. BULOG hanya menguasai

sekitar 10% dari pangsa pasar beras domestik, sedangkan sisanya melalui

mekanisme pasar. Untuk mencegah terjadinya rawan pangan, BULOG

mendistribusikan berasnya pada gudang-gudang (Divre dan Sub-Divre) di seluruh

provinsi yang ada di Indonesia.

2.3 Peran Status Perum BULOG

2.3.1 Peran BULOG dalam status Lembaga Pemerintah Non Departemen


(LPND)

BULOG merupakan sebuah lembaga di bidang pangan yang dibentuk

oleh pemerintah. Pada saat dibentuknya lembaga yang membidangi bahan pangan

tersebut, status BULOG berbentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen

(LPND), yang telah memberikan kontribusi aktif akan tugas dan perannya sebagai
21

sebuah lembaga yang membidangi pangan, baik dari bentuk usaha, jenis usaha

dan pelaporan secara transparansi terkait keuangan yang digelontorkan oleh

pemerintah demi menunjang mekanisme kerja BULOG. Statuta kedudukannya

sebagai sebuah lembaga pemerintah starategis yang sifatnya “otonom” dan berada

dibawah koordinasi Sekretariat Negara sejak tahun 1973, namun dalam

pemenuhan implementasi program yang dijalankan oleh KaBULOG

beratnggungjawab langsung kepada Presiden. Adapun tugas tersebut menyangkut

seperti, stabilisasi harga bahan pangan, distribusi pangan, serta pengelolaan bahan

pangan domestik.

Keberhasilan BULOG dalam melaksanakan tugas yang diberikan

pemerintah tersebut sangat erat korelasinya dengan paket instrumen yang bersifat

terintegrasi. Untuk setiap tujuan yang akan dicapai dalam kebijakan perberasan,

pemerintah menyediakan beberapa instrumen kebijakan yang mempunyai daya

pengaruh untuk proses pengadaan bahan pangan dalam negeri. Selain itu,

pemerintah mengantisipasi akan adanya sebab-akibat akan terjadinya konflik antar

tujuan kebijakan tersebut dengan beberapa instrumen pendukungnya (Moeljono,

1970).

BULOG dalam statutanya sebagai LPND, saat itu mencapai kinerja

yang baik. Umumnya hal ini disebabkan karena, berfungsinya berbagai perangkat

pendukung peran BULOG dalam menjaga stabilitas harga bahan pangan yang

sempat tak berfungsi, seperti peran KUD, pemberian subsidi pupuk, pemberian

pestisida dan program swasembada beras daerah. Perubahan yang telah dibangun

(Inpres 9/201) dapat diaplikasikan secara ulang dan maksimal. Pengelolaan lahan
22

tanam dapat dijaga secara konsisten dan akhirnya proses produksi berjalan dengan

lancar dan dibawah pengelolaan secara intens.

Di sisi lain, banyak pihak menilai aspek ini sudah kuno, namun dengan

situasi dan kondisi saat ini dari para petani penerapan tersebut dengan melakukan

sistem model modifikasi terarah akan lebih meningkatkan efektivitas yang ingin

dicapai. Penerapan dalam implementasi tersebut dapat dibuktikan secara nyata,

pada tahun 2007 Indonesia mampu berswasembada pangan. Dalam penerapan itu,

aspek sentralistik yang terpusat perlahan cenderung memudar sehingga

keterbukaan informasi atau tranparansial yang dilakukan BULOG dapat secara

langsung dilihat masyarakat. Jika, penerapan sistem ini terus dikembangkan

seiring dengan kemajuan teknologi dan secara bersama baik petani, akademisi,

pihak swasta maupun para pelaku usaha ekonomi dibidang pangan sangat realistis

pada tahun 2020 Perum BULOG akan menjadi sebuah lembaga yang berperan

sangat penting sebagai tonggak estafet dari pemerintah dengan mewujudkan pilar

kesejahteraan bangsa ini.

2.3.2 Peran BULOG dalam Status Perum sebagai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)

Penataan sebuah kelembagaan, merupakan kebutuhan dalam upaya

mewujudkan pemerintahan yang baik (good government). Dalam penataan

kelembagaan dibutuhkan pemahaman secara mendalam sebagai salah satu upaya

kebijakan untuk membentuk sebuah sistem yang efektif dan efisien (effective and

efficient); rasional sesuai kebutuhan dan kemampuan (rational to needs of and

local capacity); adanya koordinasi (coordination); integrasi (intregation);


23

sinkronisasi (synchronization) dan simplikasi (simplification) serta adanya

komunikasi kelembagaan.

Peran BULOG sebagai BUMN yang melakasanakan peran Negara

dalam Public Service Obligation (PSO), khususnya bidang pangan memerlukan

hukum dan aturan yang jelas dalam implementasi PSO tersebut. Dalam konteks

ini teori yang digunakan merupakan teori fungsi hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering) sebagaimana yang

dikemukakan oleh Roscoe Pound. Teori in relatif masih sesuai dengan

pembangunan hukum nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan

pemberdayaan birokrasi (beureucratic engineering), sehingga fungsi hukum

sebagai sarana pembagaruan kearah kegiatan yang dikehendaki dapat

menciptakan harmonisasi antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu

wadah yang disebut beureucratic and social engineering (BSE).

Teori hukum yang dikemukakan oleh Roscou Pound dan diaplikasikan

di Indonesia digunakan sebagai pisau analisis untuk menganalisa tentang hukum

dan peraturan perundang-undangan sebagai regulasi yang mengatur pelaksanaan

tugas PSO dapat memberikan manfaat dalam mengarahkan kegiatan perusahaan

BULOG dan birokrat ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan untuk

kesejahteraan masyarakat seperti yang diamanatkan Pasal 27 UUD 1945.

Dinamika yang dialami BULOG, dengan perubahan statutanya

kelembagaannya menjadi Perum pada tahun 2003 membawa konsekuensi bagi

BULOG dengan dihilangkannya berbagai otoritas dalam kemampuannya

melaksanakan stabilisasi harga dan pengelolaan berbagai komoditi yang dianggap

strategis oleh pemerintah. BULOG tidak memiliki fasilitas Kredit Likuiditas Bank
24

Indonesia (KLBI) sebagai sumber pendanaan kegiatan operasionalnya, tidak

memiliki hak monopoli impor beras. Namun, dengan berubahnya statuta BULOG

menjadi Perum kewenangan BULOG diperluas dengan melakukan jenis usaha dan

bisnis. Ini menimbulkan banyak spekulasi bahwa BULOG melakukan usaha

tersebut demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan fungsi

dan peran pokoknya dalam menstabilkan harga dan persediaan bahan pangan.

Lemahnya subsistem distribusi merupakan salah satu bukti meningkatnya inflasi

dan fluktuasi harga yang tidak terarah sehingga menyebabkan kelangkaan

komoditi pada waktu-waktu tertentu dan berdampak sebagian masyarakat

Indonesia.

Secara umum sasaran perubahan statuta BULOG menjadi Perum

terutama adalah:

1. Tetap dapat melaksanakan tugas publik sesuai yang diamandatkan oleh

pemerintah,

2. Melaksanakan fungsi bisnis yang tidak bertentangan dengan hukum dan

kaidah-kaidah tranparansi. Ruang gerak lembaga akan lebih fleksibel, misal

dengan merancang berbagai kerjasama operasional (joint venture) atau

penyertaan modal dalam badan usaha lain,

3. Hasil dari aktivitas bisnis sebagiannya dapat mendukung tugas publik. Hal ini

tentu akan berdampak positif terhadap keuangan pemerintah mengingat

semakin terbatasnya dana pemerintah di masa mendatang,

4. Di lain sisi, BULOG dapat memberikan kontribusi operasionalnya kepada

masyarakat sebagai salah satu pelaku usaha ekonomi dengan melaksanakan

fungsi usaha yang tidak tersentuh dengan hukum,


25

5. Reward and Punishment akan lebih mudah diterapkan, sehingga akan

menumbuhkan peningkatan insentif untuk pegawai yang bekerja secara

optimal dan profesional,

6. Optimalisasi pemanfaatan semua aset yang kini dikuasai termasuk didalamnya

sumber daya manusia secara baik dan positif

2.4 Kerangka Pemikiran

PERUM BULOG
DIVRE BALI

Masalah:

1. Stabilisasi harga beras


2. Persediaan beras
3. Kebijakan pemerintah

Teori Metode Analisis Deskriptif

Menstabilkan Persediaan Kebijakan


Harga Beras Beras Pemerintah

Simpulan

Rekomendasi

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Peran Perum BULOG Divisi Regional (Divre) Bali dalam
Menstabilkan Harga dan Persediaan Beras

Anda mungkin juga menyukai