Anda di halaman 1dari 66

1

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa,

dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana

dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat pembangunan yang

berlangsung tanpa henti, dengan menaikan tingkat kesejahteraan masyarakat dari

generasi demi generasi. Pembangunan pada hakikat adalah upaya peningkatan

taraf hidup rakyat secara adil dan merata. Salah satu indikator peningkatan taraf

hidup rakyat tersebut adalah dengan pengukuran aksesibilitas rakyat terhadap

pangan (Hendra, 2008).

Suryana (2001) mengatakan, sejarah membuktikan bahwa ketahanan

pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi,

stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan Nasional. Selain itu, ketahanan

pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkait dengan upaya peningkatan

mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan pangan yang cukup dan

bermutu, tidak mungkin dihasilkan sumberdaya manusia yang bermutu. Oleh

karena itu membangun sistim ketahanan pangan yang kokoh merupakan syarat

mutlak bagi pembangunan nasional.

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia

untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan yang dikonsumsi

merupakan sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air)
2

yang sangat dibutuhkan oleh tubuh demi mencapai kesehatan dan kesejahteraan

sepanjang hidupnya. Dalam siklus kehidupannya manusia mulai dari janin dalam

kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun sampai lanjut usia selalu

membutuhkan makanan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan

hidup, tumbuh dan berkembang serta mencapai prestasi kerja.

Pembangunan ketahanan pangan, sesuai dengan amanat undang-undang

nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, bertujuan untuk mewujudkan ketersedian

pangan bagi seluruh rumah tangga dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang

layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Ketahanan

pangan merupakan aspek yang sangat esensial bagi negara yang berkembang

yang yang diwujudkan oleh hasil kerja dari suatu sistem ekonomi pangan yang

terdiri dari subsistem penyediaan, subsistem distribusi, subsistem konsumsi yang

saling berinteraksi secara kesinambungan.

Selain itu pentingnya ketahanan pangan suatu daerah adalah dilihat dari

ketersediaan, yang merupakan salah satu perubahan stok (cadangan) pangan

penduduk. Ketersediaan pangan yang cukup dapat meningkatkan pengolaan

cadangan yang baik pula, baik itu yang berasal dari kemampuan produksi dalam

negeri, maupun dari impor atau mengisi kesenjangan antara produksi dan

kebutuhan. Sehingga melalui hal tersebut dapat mengatasi penanganan masalah

pada kondisi darurat rawan pangan.

Pembangunan di Provinsi Jambi sendiri masih diarahkan pada

pembangunan pertanian. Rata-rata penduduk di Provinsi Jambi bekerja di sektor

Pertanian. Berdasarkan data tahun 2011 sebanyak 249.978 KK bekerja di

perkebunan karet (Statistik Perkebunan Provinsi Jambi, 2011) (Lampiran 4).


3

Salah satu tanaman perkebunan yang menjadi sumber mata pencaharian utama

penduduk. Salah satu Kabupaten di Provinsi Jambi yang paling gencar melakukan

pengembangan komoditas karet adalah Kabupaten Sarolangun. Pengembangan

komoditas perkebunan karet (Hevea braziliensis) telah sejak lama dilakukan

berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2011, komoditi karet

menempati tempat teratas untuk luas lahan yaitu 119.221 ha diikuti oleh

komoditas kelapa sawit dangan luas lahan 9.020 ha. Bahkan Kabupaten

Sarolangun merupakan Kabupaten yang memiliki Produktivitas karet paling tinggi

di Provinsi Jambi yaitu 942 kg/ha. Perkebunan karet adalah penyedia lapangan

kerja terbesar di Kabupaten Sarolangun, yakni sebesar 31.185 KK dari total

seluruh rumah petani yaitu 61.439 KK (Lampiran 4).Rata-rata masing-masing

rumah tangga petani karet di Kabupaten Sarolangun memiliki luas lahan hampir 4

ha/KK, dengan masing-masing KK terdiri dari 4 orang anggota keluarga

(Lampiran 5).

Keberhasilan pembangunan perkebunan di Kabupaten Sarolangun

seharusnya dengan peningkatan kesajahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya

seperti yang tercantum pada misi pembangunan Provinsi Jambi di atas. Namun,

upaya untuk memenuhi hak penduduk seperti pangan belum sepenuhnya berhasil

dilaksanakan. Hal ini tercermin dari hasil analisis konsumsi yang telah dilakukan.

Rata-rata konsumsi energi penduduk per kapita per hari Kabupaten Sarolangun

berdasarkan hasil survey konsumsi pangan tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-

rata konsumsi energi masyarakat masih berada di bawah konsumsi energi yang

dianjurkan yakni sebesar 1.945 kkal/kap/hari (Badan Ketahanan Pangan

Kabupaten Sarolangun Tahun 2010).


4

Besarnya penduduk yang bekerja di perkebunan karet

mengidentifikasikan bahwa perkebunan merupakan sektor penting bagi

perekonomian Kabupaten Sarolangun. Sumbangan subsektor perkebunan terhadap

PDRB masih yang terbesar dibanding subsektor lain dalam sektor pertanian.

Sedangkan sektor pertanian sendiri adalah sektor penggerak dalam perekonomian

Kabupaten Sarolangun dengan sumbangan PDRB terbesar diantara sektor-sektor

lainnya. Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kabupaten

Sarolangun atas dasar harga berlaku pada tahun 2007 sebesar37,18% (Statistik

Provinsi Jambi, 2011).

Kabupaten Sarolangun terdiri dari 10 Kecamatan dengan 134 desa dan 9

kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 253.421 jiwa dengan jumlah rumah

tangga 65.495 rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang

(lampiran 7). Kecamatan Mandiangin adalah salah satu Kecamatan yang memiliki

banyak potensi alam, baik yang sudah dimanfaatkan seperti pertanian dan

perkebunan.Mata pencaharian penduduknya sebagian besar bekerja di

perkebuanan karet dimana pada tahun 2011 produksi tanaman karet di Kecamatan

Mandiangin bahkan menempati urutan pertama luas lahan karet yaitu seluas

26.836 Ha, dengan produksi dan produktivitasnya yang cukup tinggi. Ini semua

menunjukkan bahwa kecamatan Mandiangin memang benar-benar potensial bagi

pengembangan komoditi karet (Lampiran 6).

Mayoritas masyarakat di kecamatan Mandiangin adalah masyarakat yang

memiliki identitas sebagai petani khususnya petani karet.Sejak dulu identitas

sebagai petani telah melekat dalam diri mereka yang kemudian mempengaruhi

kehidupan mereka baik dalam kehidupan ekonomi, sosial maupun budaya.


5

Perilaku kehidupan mereka ini secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap

kebiasaan sehari-hari mereka termasuk kebiasaan dan cara mereka mengkonsumsi

pangan dan gizi.

Meskipun sekarang harga karet agak jatuh, namun harganya masih mampu

menopang kehidupan petani. Artinya pendapatan petani karet saat ini masih bisa

diandalkan untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga petani.Profesi menjadi

petani karet ini telah dijalani turun temurun oleh petani karet di Kecamatan

Mandiangin. Banyak faktor yang akan mempengaruhi petani membuat keputusan

untuk mengkonsumsi pangan. Faktor-faktor antara lain adalah faktor ekonomi,

sosial, budaya dan sosio demografi.

Faktor ekonomi seperti pendapatan yang tinggi belum tentu akan membuat

petani akan mengkonsumsi pangan secara baik dan benar. Perubahan pendapatan

secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga.

Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan

dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya, penurunan pendapatan

akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang di

beli (Baliwati, dkk 2004).

Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah

produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak

ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan

mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam

bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi


6

dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur

kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.

Faktor sosial budaya seperti pendidikan, agama, suku, dan adat istiadat

tentu juga akan sangat mempengaruhi keputusan petani dalam menentukan

pangan yang akan di konsumsi. Jumlah rumah tangga akan menentukan proporsi

pengeluaran untuk bahan pangan. Banyaknya anggota keluarga dalam suatu

rumah tangga akan mempengaruhi kecukupan konsumsi akan bahan pangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian

lebih lanjut dengan mengangkat judul “Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Rumah

Tangga Petani Karet di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun”.

I.2. Rumusan Masalah

Konsumsi pangan atau kebiasaan makan terhadap pangan adalah yang

meliputi : pangan yang dipilih, cara memperolehnya, cara penyimpanan dan cara

pemeliharaannya, cara mempersiapkannya, yang mengkonsumsinya : kapan,

dengan siapa, bagaimana dan berapa jumlah yang dikonsumsi baik secara kualitas

maupun kuantitas.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk

adalah tingkat kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam unit kalori dan protein.

Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menetapkan patokan kecukupan

konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000 kalori dan 52

gram protein.

Terpenuhinya angka kecukupan konsumsi energi dan kalori ini sangat

terkait dengan pola konsumsi (kebiasaan makan) suatu kelompok masyarakat,


7

kebiasaan makan dalam suatu kelompok masyarakat dipengaruhi oleh berbagai

macam faktor. Harga pangan, pendapatan yang tersedia, sosial budaya dan religi

adalah beberapa hal yang mempengaruhi seseorang atau kelompok masyarakat

dalam mengkonsumsi zat gizi.

Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli

pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik jumlah anggota keluarga

dalam satu keluarga juga menentukan besarnya porsi konsumsi makanan yang

bisa dikonsumsi. Pendidikan dan pengetahuan rumah tangga akan pola dan

kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan juga bisa menentukan kualitas

konsumsi bahang pangan. Kesemuanya ini tentu saja akan mempengaruhi pola

konsumsi pangan dan gizi dalam suatu masyarakat. Kondisi terpenuhinya

kecukupan konsumsi baik energi maupun protein dapat dicapai salah satunya

dengan penganekaragaman konsumsi pangan. Hal ini tercermin dalam pola

konsumsi atau kebiasaan makan seseorang.

Petani karet yang merupakan bagian dari masyarakat Kabupaten

Sarolangun yang cukup secara ekonomi belum tentu cukup dari segi sosial.

Banyak petani yang mampu memenuhi kebutuhan ekonominya sampai kebutuhan

sekunder dan tersier, namun terkadang gizi dan kesehatan anak-anak dan istri

mereka mengkhawatirkan. Bagi petani itu sendiri dapat dilihat dari produktivitas

kerja serta semangat kerja mereka yang rendah. Gizi yang tidakterpenuhi secara

baik inilah yang akan mengakibatkan rendahnya kualitas petani seperti

produktivitas kerja, kemampuan dan daya saing mereka akan semakin jauh

tertinggal.
8

Permasalahan gizi keluarga petani karet ini sangat terkait dengan pola

konsumsi atau kebiasaan makan rumah tangga. Kebiasaan makan dalam rumah

tangga paling diperhatikan karena kebiasaan makan mempengaruhi tinggi

rendahnya mutu makanan rumah tangga. Fenomena inilah yang sedang terjadi

pada rumah tangga petani karet di Kecamatan Mandiangin, melihat kondisi

tersebut maka dirasakan perlu dilakukan penelitian dengan rumusan masalah :

1. Bagaimana pola konsumsi pangan dan gizi petani karet di Kecamatan

Mandiangin Kabupaten Sarolangun?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pola konsumsi pangan dan gizi

petani karet di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun?

I.3. Tujuan Penelitian dan kegunaan Penelitian

I.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui pola konsumsi pangan dan gizi petani karet di

Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun.

2. Untuk melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pola

konsumsi pangan dan gizi di Kecamatan Mandiangin Kabupaten

Sarolangun.

I.3.2. Kegunaan Penelitian

Adapun kugunaan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi tingkat sarjana

pada Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dalam

merumuskan kebijakasanaan tentang konsumsi pangan dan gizi.


9

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Peran Pangan dan Gizi dalam Pembangunan Pertanian

Dalam undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 disebutkan bahwa

ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga

yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pengembangan ketahanan pangan

mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena:

1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat

Indonesia merupakan hak yang paling azasi bagi manusia.

2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat

ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan

dan gizi.

3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan

ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonim,

2001).

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri

atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan,

distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan

merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.

1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta

keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus

dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat

musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang
10

tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil

penyediaannya dari waktu ke waktu.

2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan

ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata

menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang

membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah

belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem

distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan

mekanisme pasar terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan

akses pangan bagi seluruh penduduk.

3. Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan

dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan,

gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya

secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan

pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi

pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Dalam

subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi.

Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman

konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas

satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi

dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu.

Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan

cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat


11

bersaing dengan produk-produk yang telah ada. Dalam kaitan ini peranan

teknologi pengolahan pangan sangat penting.

Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga

subsistem tersebut (Hardinsyah, dkk. 2002). Pembangunan subsistem ketersediaan

pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan

pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan

subsistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan

stabilitas harga pangan. Pembangunan subsistem konsumsi bertujuan menjamin

setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi

dan aman.

Peningkatan produktivitas petani harus dilakukan dari berbagai dimensi.

Meningkatkan produktivitas petani bisa dimulai dengan meningkatkan kualitas

sumberdaya manusianya sendiri yang dalam hal ini adalah petani itu sendiri.

Kualitas sumberdaya manusia itu salah satunya ditentukan oleh jenis pangan yang

dipilih untuk dikonsumsinya.

II.2. Kebutuhan Pangan Dan Gizi

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang

dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pola konsumsi

masyarakat ini dapat diamati dari parameter Pola Pangan Harapan (PPH). PPH

menggambarkan susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan

energi dari kelompok pangan utama. Secara konseptual penganekaragaman dapat

dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu penganekaragaman

produksi pangan, distribusi dan penyediaan pangan, serta konsumsi pangan

(Baliwati, dkk. 2004).


12

Pola konsumsi pangan dinamakan juga kebiasaan makan yang meliputi

pangan yang dipilih, cara memperolehnya, cara penyimpanan dan

pemeliharaannya, cara mempersiapkannya, yang mengkonsumsinya : kapan,

dengan siapa, bagaimana dan berapa jumlah yang dikunsumsi serta penggunaan

pangannya.

Berkaitan dengan itu, terdapat konsep ketahanan gizi minimum sehari,

yaitu jumlah zat gizi minimal yang diperlukan seseorang dalam sehari untuk

hidup sehat. Selain itu ada konsep lain yang dikenal dengan konsep jumlah yang

dianjurkan sehari, yaitu normal gizi yang dianjurkan untuk dimakan agar dapat

menjamin kesehatan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, RDA adalah kecukupan

rata-rata zat gizi yang diperlukan manusia berdasarkan kelompok umur, jenis

kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang

optimal.

Kebutuhan pangan dan gizi berbeda antar individu, karena dipengaruhi

oleh beberapa hal berikut : a) tahap perkembangan, meliputi kehidupan sebelum

lahir, sewaktu bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan lansia. Masing-

masing tahapan ini memiliki kebutuhan pangan dan gizi yang berbeda-beda; b)

faktor fisiologis tubuh, misalnya kehamilan; c)Keadaan sakit dan dalam

penyembuhan; d) aktivitas fisik tinggi makin banyak memerlukan energi; e)

ukuran tubuh (berat dan tinggi badan).

II.3. Konsep Pangan dan Gizi

Menurut Suhardjo (1988), pangan diartikan sebagai bahan-bahan yang

dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan,

kerja dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Mereka juga menidentifikasi
13

pangan pokok sebagai pangan yang dimakan secara teratur oleh suatu kelompok

penduduk dalam jumlah cukup besar untuk menyediakan bagian terbesar dari

konsumsi energi total yang dihasilkan oleh makanan.

Pangan didefinisikan sebagai sumber pangan manusia yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan (pertanian primer) serta ternak dan ikan (pertanian sekunder).

Produksi pangan bergantung pada berbagai sumber daya, seperti sinar matahari,

tanah, air, dan udara. Kinerja produksi pangan akan mempengaruhi pangan yang

tersedia di masyarakat. Agar masyarakat dapat mengkonsumsi pangan secara

aman, seimbang, merata, dan kontiu maka peranan faktor pemasaran, jasa,

produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,

mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau

merubah untuk pangan. Dari defenisi tersebut terlihat bahwa terdapat proses

menghasilkan pangan. Proses ini tentu saja dihasilkan petani.

Secara umum, pangan dikelompokkan menjadi dua, yaitu pangan hewani

dan pangan nabati. Pangan hewani meliputi daging, ikan, kerang, telur, susu, dan

hasil susu. Sementara, pangan nabati meliputi : serealia/biji (family Graminiae),

kacang-kacangan/biji (family leguminoseae), sayuran dalam bentuk akar-akaran,

daun-daunan, pucuk-pucuk, labu dan sayur buah, biji-bijian, semua biji-bijian

yang tidak termasuk serealia dan kacang-kacangan, buah-buahan segar dan kering,

bumbu dan rempah, pangan lainnya seperti madu, gula, dan jamur.

Penggolongan pangan yang digunakan oleh FAO dikenal sebagai

Desirable Dietary Pattern (Pola Pangan Harapan). Kelompok tersebut yaitu

meliputi : (1) Padi-padian : seperti padi, jagung, gandum, sorgum, dan produk

olahannya seperti tepung, pasta; (2) umbi-umbian: seperti singkong, ubi jalur,
14

kentang; (3) pangan Hewani: daging, telur, susu, dan ikan serta hasil olahannya;

(4) minyak dan lemak: seperti minyak kelapa, Minyak sawit, minyak kacang

tanah, minyak kedelai, minyak jagung, minyak kapas, margarin, serta yang

berasal dari hewani yaitu ikan; (5) Buah/biji berminyak: seperti kacang mete,

kelapa, kemiri, maupun wijen; (6) kacang-kacangan: biji-bijian seperti kacang

tanah, kacang tunggak, kacang hijau, kacang merah, kacang kedelai, dan hasil

olahannya; (7) Gula: gula pasir dan gula merah serta produk olahannya; (8)

sayuran dan buah: yaitu daun, bunga, batang, umbi, atau buah; (9) lain-lain adalah

bumbu-bumbuan yang berfungsi sebagai penyedap dan penambah cita rasa

pengolahan, seperti ketumbar, merica, pala, dll.

Zat gizi adalah zat unsur-unsur kimia yang terkandung dalam makanan

yang diperlukan untuk metabolism dalam tubuh secara normal (Suhardjo, 1986).

Zat gizi adalah yang bertanggung jawab atas fungsi dari pangan. Keenam zat gizi

adalah : Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, miniral, dan air.

Banyak pangan yang mengandung beberapa atau seluruh zat gizi tersebut.

Beberapa diantaranya, misalnya gula, mengandung hanya satu zat gizi. Untuk

dapat disebut penting, pangan tersebut sedikitnya harus mengandung satu macam

zat gizi.

II.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang

dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pola konsumsi

masyarakat ini dapat diamati dari parameter Pola Pangan Harapan (PPH). PPH

menggambarkan susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan

energi dari kelompok pangan utama. Secara konseptual penganekaragaman dapat


15

dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu penganekaragaman

produksi pangan, distribusi dan penyediaan pangan, serta konsumsi pangan

(Baliwati, dkk. 2004).

Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis dan

frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan

ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi pangan merupakan

faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Dengan demikian

diharapkan konsumsi pangan yang beranekaragam dapat memperbaiki mutu gizi

makanan seseorang (Harper dalam Evinaria, 2004).

II.5. Pengukuran Pangan dan Gizi

Penilaian status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian

konsumsi pangannya, cara konsumsi pangan merupakan cara menilai keadaan

atau status gizi masyarakat secara tidak langsung, informasi tentang konsumsi

pangan dapat dilakukan dengan cara survey dan akan menghasilkan data yang

bersifat kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan

jenis pangan yang dikonsumsi. Secara kualitatif dakan diketahui frekuensi makan

maupun cara memperoleh pangan (Supraisa, dkk, 2002). Untuk pengukurannya

dapat digunakan dengan metode pengukuran sebagai berikut :

a. Metode Recall 24 Jam

Metode Recall 24 jam merupakan metode yang digunakan untuk estimasi

jumlah pangan dan minuman yang dimakan oleh seseorang selama 24 jam

yang lalu atau sehari sebelum wawancara dilakukan. Prinsip dari metode ini

dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi

pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini, responden disuruh
16

menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu

(kemarin). Apabila pengukuran hanya sekali, maka data yang diperoleh kurang

representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena

itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak

berturut-turut. Minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat

menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberi variasi yang

lebih besar tentang intake harian individu. Dengan metode ini akan diketahui

besarnya porsi pangan berdasarkan ukuran rumah tangga (urt) kemudian di

konversikan ke ukuran metric (gr).

b. Perkiraan Makanan (estimated food records)

Metode ini biasa disebut food records atau dietary records yang digunakan

mencatat semua makanan dan minuman yang dikunsumsi selama seminggu.

Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah

tangga (urt) atau menimbang langsung berat pangan yang dimakan (weight

food records). Responden diminta untuk mencatat semua yang dimakan dan

diminum setiap kali sebelum makan dalam ukuran rumah tangga atau dengan

menimbangnya selama 2-4 hari berturut-turut atau seminggu, termasuk cara

pengolahan dan penyiapan makanan tersebut.

c. Penimbangan Makanan (food weighing)

Pada metode ini responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh

makanan yang dikonsumsi responden selama sehari, penimbang dilakukan

secara langsung pada saat wawancara.


17

d. Metode Frekuensi Makanan (foof frequency questionnaire)

Merupakan suatu metode untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi

sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode waktu tertentu

seperti hari, minggu, bulan dan tahun. Dengan metode frekuensu makanan,

dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif.

Metode pengukuran ini digunakan terutama untuk mengetahui kebiasaan atau

memperoleh informasi mengenai pola konsumsi pangan seseorang atau

sekelompok orang melalui kuisioner yang terdiri dari daftar jenis dan frekuensi

konsumsi pangan.

e. Metode Dietary History

Metode ini dikenal dengan metode riwayat pangan yang bertujuan untuk

menemukan pola inti pangan sehari-hari pada jangka waktu lama serta untuk

melihat kaitan antar inti pangan dengan kejadian penyakit tertentu. Metode ini

terdiri dari tiga komponen yaitu :

1. Wawancara (termasuk recall 24 jam), yang mengumpulkan data tentang

apa saja yang dimakan responden selam 25 jam,

2. Frekuensi penggunaan dari sejumlah bahan dengan memberikan daftar

(chek list) yang sudah disiapkan, untuk mengecek kebenaran recall 24 jam

tadi,

3. Pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang.

II.6. Standar Kecukupan Pangan dan Gizi

Kecukupan konsumsi pangan mencangkup kecukupan konsumsi jumlah

dan gizi pangan yang digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah

dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup sehat. Penilaian konsumsi pangan


18

melalui sisi kuantitas dapat ditinjau dari jumlah pangan yang dikonsumsi dan

kosumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Berdasarkan Pola Pangan

Harapan (PPH) 2020 direkomendasikan untuk konsumsi sembilan kelompok

pangan adalah seperti terlihat pada lampiran.

II.7. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan dan Gizi

Rumah Tangga

Secara umum faktor yang mempengaruhi pola konsumsi ada dua yaitu

ekonomi dan harga serta faktor sosio-budaya dan religi (Baliwati, dkk. 2004).

II.7.1. Faktor Ekonomi (Tingkat Pendapatan dan Harga Pangan)

Dalam pengertian sehari-hari pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang

diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu

(Samuelson, 1993). Menurut Hermanto (1996) macam-macam ukuran pendapatan

adalah pendapatan kerja petani, penghasilan kerja petani, pendapatan kerja

keluarga, dan pendapatan keluarga. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan

yang diperoleh oleh masing-masing masyarakat berupa harian, mingguan, bahkan

tahunan diukur dalam satuan rupiah pendapatan ini pendapatan permanen perata-

rata dengan tingkat pendidikan tertentu disertai lamanya bekerja (dengan satuan

tahunan) baik yang disektor formal maupun nonformal.

Tingkat pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat

berpengaruh terhadap kualitas konsumsi pangan keluarga. Semakin tinggi tingkat

pendapatan keluarga, semakin baik pula kualitas konsumsi pangan

keluarga.Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan


19

konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar

peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik.

Selain pendapatan, faktor ekonomi yang mempengaruhi konsumsi pangan

adalah harga pangan dan harga non pangan. Perubahan harga dapat berpengaruh

terhadap besarnya permintaan pangan. Harga pangan yang tinggi menyebabkan

berkurangnya daya beli yang berarti pendapatan rill berkurang. Keadaan ini

mengakibatkan konsumsi pangan berkurang.

II.7.2. Faktor Sosio-Budaya dan Religi

Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh

terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek

sosio-budaya pangan adalah fungsi pangan dalam masyarakat yang berkembang

sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan

masyarakat tersebut. Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh atau

tidak boleh memakan suatu makanan (tabu), walaupun tidak semua tabu rasional

bahkan jenis tabu yang tidak masuk akal (Baliwati, dkk. 2004).

Sehubungan dengan pangan yang biasanya dipandang pantas untuk

dimakan, dijumpai banyak pola tantangan, tahayul, dan larangan pada beragam

kebudayaan dan daerah yang berlainan. Misalnya larangan memakan daging babi

dalam agama islam dan larangan mengkonsumsi lembu dalam agama hindu.

Kepercayaan semacam ini di dasari oleh kepercayaan dalam kehidupan beragama

seseorang dan umumnya tidak akan bisa diubah.

Pola kebiasaan makan juga ditentukan berdasarkan tentang pangan dan

gizi. Kecukupan pangan dan gizi masyarakat juga ditentukan oleh taraf

pengetahuan terhadap pangan dan gizi. Kemampuan berdaya beli tidak selalu
20

diimbangi oleh pengertian gizi yang baik. Akibatnya meskipun daya beli

terjangkau penyakit gizi akan tetap jadi masalah.

Pendidikan mempunyai pengaruh dalam pengelolaan usia, baik sektor

pertanian maupun non pertanian. Semakin tinggi pendidikan seseorang,

diharapkan semakin baik pengelolaan usahanya, yang berarti akan semakin tinggi

tingkat pendapatannya.

Peran seorang ibu dalam membina sebuah keluarga tidak perlu diragukan

lagi. Ibu merupakan anggota keluarga yang terlibat langsung dalam pengawasan

anak dan menyiapkan makanan untuk keluarga. Ibu rumah tangga yang

berpendidikan tinggi cenderung memilih bahan makanan yang bernilai gizi tinggi

untuk keluarga. Ibu rumah tangga yang berpendidikan tinggi lebih cepat

menerima informasi tentang gizi dan kesehatan. Secara umum masyarakat yang

kualitas konsumsi pangannya rendah adalah masyarakat/individu yang tingkat

pendidikan dan pengetahuannya rendah.

Hal lain yang juga berpengaruh adalah besarnya rumah tangga menyatakan

jumlah seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam rumah tangga. Besaran

rumah tangga dapat memberikan indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi

besaran rumah tangga berarti semakin banyak anggota rumah tangga yang

selanjutnya semakin berat beban rumah tangga tersebut untuk memenuhi

kebutuhan anggota rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang rendah.

Hasil survey Bina Hidup (SBH) tahun 1989 membuktikan bahwa semakin

besar jumlah anggota rumah tangga maka semakin besar proporsi pengeluaran

rumah tangga untuk makanan dari pada untuk bukan makanan. Ini berarti semakin
21

kecil anggota rumah tangga, maka semakin kecil pula bagian pendapatan untuk

kebutuhan makanan.

II.8. Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian Sayekti (2008) mengenai pola konsumsi pangan rumah tangga

diwilayah historis pangan beras dan non beras di Indonesia menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan pola konsumsi pangan pada wilayah historis konsumsi beras

dan non beras daerah pedesaan-perkotaan pada berbagai strata pendapatan dan

pada seluruh wilayah, semakin tinggi pendapatan semakin rendah konsumsi

pangan sumber karbonhidrat padi-padian dan tinggi konsumsi sumber protein

hewani daging, telur, dan susu, serta makanan dan minuman jadi sedangkan untuk

kelompok-kelompok pangan lain bervariasi.

Penelitian Sugiarto (2008) tentang pendapatan, pola konsumsi dan

kesejahteraan petani padi sawah di pededaan di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa

Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara yang menyimpulkan bahwa

komditas bahan makanan pokok seperti beras masih mendapat porsi yang lebih

besar diantara kelompok pengeluaran bahan makanan. namun demikian pada

kelompok pendapatan yang semakin tinggi, akan terjadi pergeseran konsumsi

beras cenderung menurun dan digantikan oleh komoditas yang karbohidrat

lainnya atau peningkatan komoditas yang mengandung protein, mineral atau

vitamin.

Penelitian Susilawati (2008) mengenai pola konsumsi pangan dan gizi

sumber protein rumah tangga berdasarkan tingkat pendapatan di Kota Jambi

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dan

pengdidikan rumah tangga dengan konsumsi protein rumah tangga. Semakin


22

tinggi pendapatan keluarga maka akan menyebabkan semakin terpenuhinya

konsumsi protein rumah tangga.

II.9. Kerangka Pemikiran

Pola (kebiasaan) konsumsi petani dipengaruhi oleh banyak hal seperti

pendapatan, pendidikan, struktur rumah tangga, kepercayaan dan hal lainnya.

kebiasaan makan dari suatu rumah tangga berkaitan erat dengan pendidikan yang

berhubungan dengan pengetahuan dakan pangan dan gizi, jumlah rumah tangga

dan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. Rendahnya pendapatan

(keadaan miskin) merupakan salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan dan

gizi serta buruknya status gizi. Kurang gizi akan mengurangi daya tahan tubuh,

rentan terhadap penyakit, menurunkan produktivitas kerja dan pendapatan.

Akhirnya masalah pendapatan rendah, kurang konsumsi, kurang gizi dan

rendahnya hidup membentuk siklus yang berbahaya.

Status gizi seseorang akan dapat mempengaruhi kualitas manusia, karena

gizi adalah salah satu unsur paling dalam pembentukan kualitas manusia. Keadaan

gizi kurang dapat memberi dampak pada setiap perkembangan hidup manusia.

Pada tahap bayi masih dalam kanduangan, gizi kurang dapat mengakibatkan

pembentukan otak yang tidak sempurna. Padahal keadaan gizi pada saat

dilahirkan merupakan modal dasar bagi bayi yang akan menentukan masa

depannya. Kemudian rendahnya kualitas manusia pada masa kanak-kanak akan

berakibat rendahnya kualitas manusia pada masa dewasa. Kualitas usia dewasa

yang rendah berarti kualitas tenaga kerja akan rendah dan tentu saja akan menurun

produktivitas kerja. Bisa dibayangkan jika ini terjadi pada tenaga kerja petani

karet yang merupakan komoditi unggulan Provinsi Jambi. Penurunan


23

produktivitas pada komoditi ekspor seperti karet ini secara tidak langsung akan

mempengaruhi PDRB Provinsi Jambi, GNP Nasional atau devisa Negara dan

berarti bahwa sangat berperan penting dalam pembanguan ekonomi secara

Nasional.

Peningkatan kualitas petani dapat dipahami dari berbagai sudut pandang.

Diantaranya dari aspek konsumsi petani terhadap pangan baik dari kuantitas

maupun dari kualitas pangan yang dimakan. Arah dan kebijakan pembangunan

pertanian telah mengamanatkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya

manusia insan pertanian itu sendiri, peningkatan kualitas sumberdaya petani

diharapkan mampu mengelola sumberdaya alam yang ada dengan sebaik-baiknya

yang nantinya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan petani.

Jadi baik secara langsung maupun tidak langsung, unsur atau faktor gizi

memberi andil dalam pembangunan Nasional. Khususnya pembanguan pertanian

melalui usia produktif yang lebih panjang, produktivitas kerja yang meningkat

dan kualitas petani yang meningkat dapat digunakan sebagai alat (indikator)

keberhasilan pembangunan khususnya pembanguan pertanian.

Jumlah ART
Pola Konsumsi Pangan dan
Pendidikan Gizi Rumah Tangga
Petani Karet

Pendapatan

Kecukupan Pangan dan Gizi


(Kualitas Petani)

Kecukupan Pangan dan Gizi


(Kualitas Petani)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran


24

II.10.Hipotesis

Berdasarkan pada kerangka pemikiran, maka hipotesis dalam penelitian ini

adalah ”diduga bahwa jumlah anggota rumah tangga, pendidikan dan

pendapatan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dan gizi rumah

tangga petani karet di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun”.


25

III. METODE PENELITIAN

III.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun,

Provinsi Jambi. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 08 November sampai

tangggal 08 Desember 2013. Adapun data yang dihimpun dalam penelitian ini

adalah data jumlah konsumsi pangan rumah tangga petani karet, kandungan dan

jumlah zat gizi rumah tangga petani karet, pendapatan rumah tangga petani karet,

dan data-data lain yang terkait dengan penelitian ini. Sedangkan petani karet yang

diteliti adalah petani karet yang memiliki kebun karet sendiri dan di sadap sendiri

kebun karet miliknya tersebut.

III.2. Sumber dan Metode Pengumpulan data

III.2.1.Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

Data utama yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari penduduk

yang menjadi sample penelitian melalui wawancara langsung yang dipandu

dengan pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan. Data sekunder yang

dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait, hasil-

hasil penelitian, majalah-majalah ilmiah, jurnal dan studi kepustakaan yang

berkait dengan penelitian ini.

III.2.2.Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dihimpun dengan metode recall 24 jam yang

dilanjutkan dengan wawancara langsung dengan responden melalui kuisioner

yang dituntun dengan pertanyaan terlebih dahulu. Data sekunder dihimpun dengan
26

mengutip dan menyalin dari instansi literatur, literatur pustaka dan hasil penelitian

sebelumnya.

III.3. Metode Penarikan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani karet di

Kecamatan Mandiangin yang merupakan daerah yang memiliki areal karet terluas,

produksi tertinggi dengan rumah tangga petani karet di Kabupaten Sarolangun.

Karena gambaran populasi belum diketahui maka penarikan contoh dilakukan

sebagai berikut, pertama menginventarisir semua desa di Kecamatan Mandiangin

yang mengusahakan Karet. Berdasarkan data dari BPS di Kabupaten Sarolangun,

Kecamatan Mandiangin terdapat 20 desa, yaitu Gurun Mudo, Gurun Tuo, Gurun

Tuo Simpang, Pemusiran, Rangkiling, Rangkiling Simpang, Mandiangin Tuo,

Mandiangin, Taman Dewa, Kertopati, Kertopati Simpang, Muaro Ketalo,

B.Peranginan, Guruh Baru, Petiduran Baru, Butang Baru, Meranti Baru, Jati Baru,

Sei. Butang, dan Talang Serdang.

Dari beberapa desa tersebut maka dipilih 2 desa sebagai lokasi penelitian

dengan pertimbangan bahwa dua desa tersebut memiliki jumlah rumah tangga

petani karet yang terbanyak (Lampiran 9), yaitu Desa Mandiangin dan Desa

Pemusiran. Desa sampel yang diambil ditetapkan secara sengaja (purposive)

dengan pertimbangan bahwa rata-rata semua desa memiliki penduduk yang

bekerja di perkebunan karet. Sedangkan untuk pengambilan sampel rumah tangga

petani karet digunakan metode sampel quota (Quota Sampling) yaitu pengambilan

sampel dengan mendasarkan pada jumlah yang sudah ditentukan. Biasanya yang

dihubungi adalah subjek yang mudah ditemui, sehingga pangumpulan datanya

mudah. Yang penting diperhatikan disini adalah terpenuhinya jumlah yang telah
27

ditetapkan. Sedangkan teknik pengambilan sampelnya menggunakan rumus dari

Taro Yamane atau Slovin (dalam Riduwan, 2007) sebagai berikut :

N
n= 2
N d +1

Dimana :

n = jumlah sampel

N = jumlah seluruh populasi petani karet (KK)

Desa Mandiangin + Desa Pemusiran = 1.375 KK

d2 = Presisi (ditetapkan 10%)

Berdasarkan rumus di atas diperoleh jumlah sampel sebagai berikut:

N 1.375 N 10809 N 10809


n= = n= = n= =
2
N d +1 ¿ ¿ 2
N d +1 ¿¿ 2
N d +1 ¿¿

Dari jumlah sampel 94 responden tersebut maka ditentukan jumlah

masing-masing sampel menurut Desa secara proposional dengan rumus :

Ni
¿= n
N

Dimana:

ni = jumlah sampel menurut stratum

n = jumlah sampel seluruh

Ni = jumlah populasi menurut stratum

N = jumlah populasi seluruhnya

Dari rumus diatas, maka akan di peroleh jumlah sampel masing-masing

Desa yang ditetapkan secara sengaja (purposive)yaitu sebagai berikut :

400
Pemusiran ¿ 93=27,054 ≈ 27 KK
1375

975
¿ 44=9,5844504=9 KK
4.476
28

400 975
¿ 44=12 , 8=13 KK ¿ 44=KK Mandiangin
1375 10809

975 400 812


¿ 9 3=65,954 ≈ 66 KK ¿ 44=KK 44=21 KK
1375 10809 1683

3.4. Metode Analisis Data

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi

makanan akan menghasilkan jenis data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.

Kemudian data yang diperoleh dari hasil penelitian disederhanakan dengan

tabulasi, kemudian data tersebut dianalisis secara deskriptif dan analisis

kuantitatif, sebagai berikut :

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umumtentang

rata-rata jumlah pangan rumah tangga, tingkat perbedaan pendapatan rumah

tangga terhadap kecukupan dan keragaman pangan dan gizi rumah tangga.

Untuk menghitung kecukupan dari setiap bahan pangan digunakan rumus

Kgij1 = (Bj/Bs) x Kp dan Kgij2 = (Bj/Bs) x Kp

Dimana:

Kgij1= Kandungan protein bahan pangan yang dikonsumsi (gram/kapita/hari)

Kgij2= Kandungan energi bahan pangan yang dikonsumsi (kkal/kapita/hari)

Bj = Berat bahan pangan yang dikonsumsi

Bs = Berat satuan penukar

Kp = Kandungan satuan penukar (Lampiran 10)

Setelah didapat hasilnya maka jumlah dari keseluruhan bahan pangan yang

dikonsumsi selama 24 jam dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah anggota rumah

tangga.
29

2. Analisis Kuantitatif

Analisis ini digunakan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pola

konsumsi pangan rumah tangga petani karet, digunakan bentuk dan persamaan

Cobb-Douglas (Soekartawi, 1994), adalah sebagai berikut :

Y = A.Kb1.Lb2.eu

Fungsi konsumsi protein adalah:

Y1 = aX1b1.X2b2.X3b3.e4

Fungsi konsumsi energi adalah:

Y2 = aX1b1.X2b2.X3b3.e4

Dimana :

Y1 = Jumlah Konsumsi pangan protein rumah tangga petani karet (Gr/Kap/Hr)

Y2 = Jumlah Konsumsi pangan energi rumah tangga petani karet (KKal/Kap/Hr)

X1 = Jumlah anggota rumah tangga (Orang)

X2 = Pendidikan (Tahun)

X3 = Pendapatan (Rp/hari)

a = Konstanta

e = Kesalahan penggunaan

Untuk menghitung sumbangan setiap variabel terhadap pola konsumsi

pangan rumah tangga petani karet atau apakah hasil pendugaan bidang regresi

tersebut cukup baik atau tidak digunakan ukuran koefisien determinasi berganda

(R2) dengan rumus ;


30

2 b ∑ xi yi
R=
∑ yi 2

Dimana :

R2 = Koefisien Determinasi Berganda

xi = Jumlah Simpangan Suatu Variabel dari Nilai Rata-rata

yi = Jumlah Variabel Deviasi ke-i dari Rata-rata

bi = Koefisien Regresi Variabel ke-i

yi2 = Jumlah Kuadrat Simpangan Variabel dari Nilai Rata-rata

Koefisien determinasi (R2) mempunyai nilai 0 sampai 1, apabila R2

semakin mendekati 1, maka persentase sumbangan setiap variabel terhadap

tingkat pola konsumsi rumah tangga petani karet semakin kuat.

a. Pengujian secara keseluruhan

Untuk menguji seluruh kebenaran dari seluruh variabel secara keseluruhan

digunakan uji F dengan rumus :

R 2 /K
F-hit = 2
(1−R )/(n−k−1)

Dimana :

R2 = Koefisien determinasi berganda

K = Banyaknya jumlah peubah bebas

n = Jumlah sampel

Kaidah pengambilan keputusan ;

Tolak H0 bila F-hitung > F-tabel (db = k;n-k-1) artinya berpengaruh

Terima H0 bila F-hitung ≤ F-tabel (db = k;n-k-1) artinya tidak berpengaruh.

b. Uji secara individual


31

Untuk mengetahui masing-masing variabel terhadap pola konsumsi

pangan dan gizi petani karet maka dilakukan pengujian dengan uji statistik

t-test dengan rumus :

bi
ti=
Sbi

Dimana ;

ti = t-hitung

bi = Koefisien regresi variabel ke-i

Sbi = Standar error perkiraan ke-bi

Dengan kaidah keputusan adalah ;

> tα/2 (n-k-1), tolak H0 artinya berpengaruh

t-hitung

≤ tα/2 (n-k-1), terima H0 artinya tidak berpengaruh

Dimana ;

n = jumlah sampel

k = jumlah variabel bebas

Adapun untuk memudahkan perhitungan maka data diolah dengan sistem

komputasi dengan menggunakan software SPSS 16. Hal ini dilakukan untuk

menghindari dan meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam perhitungan.

3.5. Konsepsi Pengukuran

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber yang berasal dari

sumber hayati dan air, baik diolah maupun yang tidak diolah yang tidak

diperuntukan sebagai makanan dan minuman bagi kansumsi manusia


32

termasuk bahan tambahan pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam

proses penyiapan, pengolahan dari atau pembuatan makanan dan minuman.

2. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang

dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu.

3. Konsumsi pangan rumah tangga adalah besarnya konsumsi yang dilakukan

oleh rumah tangga dalam bentuk energi/kalori.

4. Petani karet adalah petani yang pekerjaan utamanya sebagai penyadap karet

untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

5. Konsumsi energi adalah jumlah energi total yang dikonsumsi perkapita

perharinya berdasarkan satuan kalori (Kkal/kapita/hari).

6. Konsumsi protein adalah jumlah protein total yang dikonsumsi perkapita

perharinya berdasarkan satuan gram (Gr/kapita/hari).

7. Karakteristik rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga, struktur

umur, pendidikan, dan lapangan pekerjaan.

8. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah jiwa yang ada dalam suatu rumah

tangga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, (Jiwa).

9. Pendapatan Rumah Tangga adalah total Pendapatan per bulan yang diperoleh

rumah tangga atau keluarga dapat berupa uang atau barang yang dapat

diuangkan atau dihitung dalam nilai uang akibat melakukan suatu pekerjaan

pada satu atau lebih dalam cabang usaha (Rp/bln).


33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Gambaran Umum Wilayah

IV.1.1.Kondisi Geografis

Kecamatan Mandiangin terletak diantara lintang selatan 2º3,194 lintang

selatan sampai dengan 102º53,76 bujur timur. Luas wilayah Kecamatan

Mandiangin adalah 636 km². jumlah desa/kelurahan dalam kecamatan

Mandiangin adalah 19 desa/kelurahan. Tinggi Kecamatan Mandiangin dari

permukaan laut adalah 30 m dpl. Adapun batas-batas Kecamatan Mandiangin

adalah :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Batanghari

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Batanghari

Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pauh

Keadaan wilayah kecamatan Mandiangin datar dan sedikit berbukit dan

terdiri dari tiga belas (13) desa asli dan enam (6) desa ex-transmigrasi dengan

jumlah penduduk sebanyak 36.555 jiwa dan rumah tangga 10.809 KK serta rata-
34

rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang. Ibukota Kecamatan Mandiangin

adalah Desa Mandiangin dengan jarak ke ibu kota kabupaten Sarolangun.

Desa Mandiangin Memiliki luas wilayah 64 km² dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Mandiangin Tuo

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Taman Dewa

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rangkiling Simpang

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Rangkiling Simpang

Desa Pemusiran memiliki luas wilayah 56 km² dengan batas-batas wilayah

sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rangkiling Simpang

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rangkiling

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Gurun Tuo Simpang

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Rangkiling Simpang

Kecamatan Mandiangin Terdiri dari 13 Desa asli dan 6 desa ex-

transmigrasidengan rincian :

Table 1. Pembagian Luas Wilayah Kecamatan Mandiangin Berdasarkan Desa


Tahun 2012

Luas Kecamatan
No Desa/Kelurahan Luas (km²)
Mandiangin (%)
1 Gurun Mudo 35 5.30
2 Gurun Tuo 36 5.45
3 Gurun Tuo Simpang 32 4.84
4 Pemusiran 56 8.48
5 Rangkiling 28 4.24
6 Rangkiling Simpang 33 5
7 Mandiangin Tuo 58 8.78
8 Mandiangin 64 9.69
9 Taman Dewa 25.5 3.86
35

10 Kertopati 34 5.15
11 Kertopati Simpang 30 4.54
12 Muaro Ketalo 39 5.90
13 B. Peranginan 69 10.45
14 Guruh Baru 15 2.27
15 Petiduran Baru 15 2.27
16 Butang Baru 15 2.27
17 Meranti Baru 22 3.33
18 Jati Baru 19 2.87
19 Sei. Butang 16.5 2.72
20 Talang Serdang 16.5 2.5
Kecamatan 660 100
Sumber : BPS Provinsi Jambi Tahun 2012
Tabel 1 menunjukkan bahwa desa yang memliki luas adalah Desa Bukit

Peranginan yaitu 69 km², sedangkan desa yang memiliki luas paling kecil adalah

desa Guruh Baru, Petiduran Baru, Butang Baru dengan masing-masing memiliki

luas yaitu 15 km².

IV.1.2.Kependudukan dan Mata Pencaharian

Jumlah penduduk merupakan potensi yang cukup berpengaruh terhadap

pertumbuhan suatu daerah. Hal ini berkaitan dengan keberadaan sumber daya

alam yang ada sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Jumlah penduduk

kecamatan Mandiangin menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2012 mencapai

36.555 jiwa. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk di Kecamatan

Mandiangin berdasarkan desa dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Kecamatan Mandiangin Berdasarkan


Desa Tahun 2012
Jumlah Penduduk Kepadatan
No Desa/Kelurahan
(Jiwa) (Jiwa/Km)
1 Gurun Mudo 2269 66
2 Gurun Tuo 876 34
3 Gurun Tuo Simpang 1345 42
4 Pemusiran 2110 38
5 Rangkiling 854 31
6 Rangkiling Simpang 2208 67
7 Mandiangin Tuo 1896 33
8 Mandiangin 4599 72
9 Taman Dewa 1367 54
36

10 Kertopati 1378 41
11 Kertopati Simpang 581 19
12 Muaro Ketalo 1069 27
13 B. Peranginan 1582 23
14 Guruh Baru 3321 221
15 Petiduran Baru 2093 140
16 Butang Baru 2021 135
17 Meranti Baru 2025 90
18 Jati Baru 1810 95
19 Sei. Butang 2076 115
20 Talang Serdang 1065 65
Jumlah 36555 55
Sumber : BPS Provinsi Jambi Tahun 2012
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada

Desa Mandiangin yaitu sebesar 4.599 Jiwa dari total penduduk Kecamatan

Mandiangin, sedangkan jumlah penduduk yang terkecil berada pada Desa

Kertopati Simpang yaitu 581 jiwa.

Penduduk Kecamatan Mandiangin pada umumnya bekerja sebagai petani

karet, hal ini dikarenakan kondisi daerah di Kabupaten Sarolangun ini sendiri

sangat cocok ditanami tanaman karet sehingga sebagian besar masyarakatnya

menggantungkan perekonomian mereka pada budidaya tanaman karet. Khususnya

Penduduk di daerah penelitian sebagian besar adalah petani karet baik sebagai

petani pemilik maupun petani penggarap.

IV.1.3.Keadaan Pertanian

Tanah atau lahan pertanian di Kecamatan Mandiangin pada umumnya

digunakan sebagai perkebunan karet dan sawit. Sektor pertanian tersebut

disamping merupakan sumber pendapatan penduduk dan juga merupakan

lapangan pekerjaan terbesar bagi penduduk didesa penelitian.

Umumnya Kecamatan Mandiangin khususnya 2 desa penelitian ini masih

hidup dari sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan. Luas areal pertanian
37

di Kecamatan Mandiangin didominasi oleh tanaman perkebunan, terutama

perkebunan karet, sawit serta tanaman pangan. Adapun perkebunan karet

merupakan sektor perkebunan yang memiliki luas pengusahaan paling besar dan

paling banyak diusahakan di daerah ini. Hal ini dapat dilihat dari luas areal

perkebunan serta jumlah penduduk yang hidup dari usaha perkebunan tersebut.

IV.1.4.Sarana dan Prasarana

Pengembangan sarana dan prasarana yang memedai sangat menentukan

dalam pengembangan suatu wilayah. Ketersediaan sarana dan prasarana pada

suatu wilayah akan mendukung jalannya suatu pengembangan daerah baik secara

ekonomi maupun sosial. Lebih jauh dikatakan bahwa pembangunan sarana dan

prasarana adalah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi.

Salah satu sarana yang dibutuhkan dalam pengembangan suatu wilayah

adalah sarana transportasi. Transportasi merupakan urat nadi perekonomian

daerah dan merupakan salah satu faktor strategis dalam menciptakan daerah yang

dinamis, efektif dan efisien. Dua desa penelitian pada dasarnya tidak terlalu

memiliki masalah dalam ketersediaan sarana dan prasarana perhubungan. Hal ini

dikarenakan daerah penelitian terletak di pinggir jalan lintas tengah Sumatra

sehingga dapat menggerakan perekonomian local dalam waktu yang singkat dan

pada gilirannya meningkat pendapatan masyarakat.

Sarana dan prasarana penting lainnya harus dimiliki dalam pembangunan

wilayah adalah sarana pendidikan. Sarana pendidikan yang sudah dapat dijumpai

pada daerah penelitian milai dari tingkat TK, SD, SMP, dan SMK.
38

IV.2. Karakteristik Rumah Tangga

Adapun yang menjadi karakteristik responden didaerah penelitian

mencakup umur dan pendidikan ibu rumah tangga, jumlah anggota keluarga,

suku, pendapatan dan pengeluaran.

IV.2.1.Umur Ibu Rumah Tangga

Umur akan mempengaruhi ketahanan fisik seseorang dalam melakukan

pekerjaan. Selain itu, umur juga berpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Semakin muda seseorang, maka ide-ide untuk menganekaragamkan konsumsi

pangan akan semakin baik. Umur disaat manusia mampu bekerja secara optimal

dikatakan dengan usia produktif. Usia produktif berada pada rentang usia 15-45

tahun. Pada usia inilah biasanya seseorang berpikir dengan baik bagaimana agar

dapat bekerja secara optimal dan menyediakan makanan yang dapat memenuhi

segala kebutuhan pangan yang berkualitas baik dan bergizi.

Tabel 3. Distribusi Petani Berdasarkan Kelompok Umur di Daerah Penelitian


Tahun 2013

Jumlah Keluarga Persentase


No Kelompok Umur
(KK) (%)
1 19 – 25 13 13.98
2 26 – 32 24 25.81
3 33 – 39 18 19.35
4 40 – 46 15 16.13
5 47 – 53 11 11.83
6 54 – 60 7 7.53
7 61 – 67 1 1.07
8 68 – 74 4 4.30
Jumlah 93 100
Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013
39

Tabel 3 menunjukkan bahwa petani di daerah penelitian Kecamatan

Mandiangin yang terbanyak adalah pada kelompok umur 26-32 tahun yaitu

sebanyak 25,81 persen, responden berada pada rentang usia produktif. Hal ini

berarti sebagian besar usia ibu rumah tangga responden di daerah penelitian

berada pada rentan usia produktif yaitu 15 - 45 tahun. Sehingga pada usia inilah

biasanya seseorang mampu berfikir dengan baik sehinnga dapat bekerja secara

optimal untuk dapat memenuhi segala kebutuhannya baik pangan maupun non

pangan.

IV.2.2.Pendidikan Ibu Rumah Tangga

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas

petani, pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan kemampuan, wawasan,

keahlian, status, dan harapan seseorang dalam menerima perubahan-perubahan

dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan

seseorang, maka akan lebih bijaksana dalam memilih pangan apa yang patut

dikonsumsi dengan pertimbangan makan yang dikonsumsi itu harus sehat dan

bergizi.

Tabel 4. Disribusi Petani Berdasarkan Pendidikan Terakhir di Daerah Penelitian


Tahun 2013

Pendidikan Jumlah Persentase


(Tahun) Keluarga (KK) (%)
≤6 51 54.84
7–9 27 29.03
10 – 12 15 16.13
> 12 0 0
Jumlah 93 100
Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang memiliki persentase

terbesar di Kecamatan Mandiangin adalah pada jenjang pendidikan SD yaitu


40

Sebesar 54,84 %. Sedangkan responden yang pernah menempuh perguruan tinggi

tidak ada. Hal ini menandakan bahwa tingkat pendidikan di daerah penelitian

masih belum cukup baik.

IV.2.3.Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang menjadi beban

atau tanggungan keluarga. Banyaknya jumlah orang dalam keluarga erat

kaitannya dengan distribusi penghasilan terutama untuk kebutuhan konsumsi

rumah tangga dan keperluan lainnya. Jumlah anggota rumah tangga

menggambarkan keadaan ekonomi yang dipikul masing-masing keluarga terhadap

kesejahteraan rumah tangga. Adapun distribusi jumlah anggota keluarga di daerah

penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 5. Disribusi Petani Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga di Daerah


Penelitian Tahun 2013

Jumlah Persentase
Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga (KK) (%)
2 7 7.53
3 26 27.96
4 42 45.16
5 15 16.13
6 3 3.22
Jumlah 93 100
Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Tabel 5 menunjukan bahwa rata-rata jumlah anggota keluarga yang

memiliki persentase terbesar di Desa Penelitian adalah 4 orang yaitu 45,16 persen.

Dan jumlah anggota keluarga yang memiliki persentase terkecil adalah 6 yaitu

sebesar 3,22 persen.


41

IV.2.4.Suku

Suku atau kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang

berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang akan di konsumsi. Suku

atau kebudayaan mengajarkan tentang cara bertingkah laku dan berusaha dalam

menentukan kebutuhan seseorang sehingga orang dapat menentukan apa yang

akan digunakan sebagai makanan, untuk siapa, dan dalam keadaan yang

bagaimana makanan itu dapat dimakan. Selain itu, suku dan kebudayaan

menentukan kapan seseorang boleh atau tidak memakan suatu jenis makanan

(tabu). Oleh karena itu, suku atau kebudayaan dapat mempengaruhi seseorang

dalam pemilihan jenis pangan, pengolahan, dan penyajian.

Untuk Kecamatan Mandiangin masyarakatnya terdiri dari 2 suku

diantarnya suku Melayu Jambi dan suku Jawa. Berikut distribusi responden

berdasarkan suku di daerah penelitian.

Tabel 6. Disribusi Petani Berdasarkan Suku di Daerah Penelitian Tahun 2013

Suku N %
Jawa 27 29.03
Melayu Jambi 66 70.97
Jumlah 93 100
Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Tabel 6 menunjukan bahwa rata-rata jumlah suku yang memiliki

persentase terbesar di Desa Penelitian adalah 66 orang yaitu 70,97 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa suku asli yang ada di Kecamatan Mandiangin adalah suku

melayu sedangkan selebihnya suku Jawa merupakan suku pendatang yaitu sebesar

29,03 persen.

IV.2.5.Pendapatan
42

Dalam rumah tangga, pendapatan merupakan alat memenuhi kebutuhan

konsumsi keluarga. Dengan adanya pendapatan, maka rumah tangga akan dapat

memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tingkat pendapatan yang diperolehnya.

Rumah tangga dengan tingkat pendapatannya yang relatif tinggi tentu mampu

untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik

dibandingkan rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang relative rendah serta

mampu memenuhi kecukupan pangan untuk seluruh anggota keluarganya.

Sumber pendapatan utama rumah tangga di daerah penelitian berasal dari

sektor pertanian subsektor perkebunan yaitu perkebunan karet. Rata-rata setiap

rumah tangga responden memiliki luas lahan 2,2 ha kebun karet dengan rata-rata

produksi 563.97 kg/ha/bulan. Harga rata-rata yang diterima petani pada saat

penelitian ini adalah Rp. 9.210,- (lampiran 18). Besarnya Pendapatan rata-rata

yang diterima oleh petani dari usahatani karet adalah Rp. 5.018.763.- per bulan,

hal ini berarti bahwa usahatani karet benar-benar merupakan sumber pendapatan

yang menjanjikan untuk keluarga. Berikut pengklasifikasian distribusi pendapatan

responden di daerah penelitian.

Tabel 7. Distribusi Petani Berdasarkan Tangkat Pendapatan Tahun 2013


Jumlah Responden
No Tingkat Pendapatan
KK Persentase (%)
1 ≤ Rp. 2.999.999,. 10 10.76
2 Rp. 3.000.000 – Rp. 3.999.999,. 13 13.98
3 Rp. 4.000.000 – Rp. 4.999.999,. 19 20.43
4 Rp. 5.000.000 – Rp. 5.999.999,. 27 29.03
5 Rp. 6.000.000 – Rp. 6.999.999,. 16 17.20
6 ≥ Rp. 7.000.000,. 8 8.60
Jumlah 93 100
Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Tabel 7 menunjukan diatas menunjukkan tingkat pendapatan responden di

daerah penelitian di Kecamatan Mandiangin. Dimana 100 persen dari responden


43

penelitian memiliki tingkat pendapatan di atas rata-rata standar yang telah

ditetapkan oleh Sajogyo yaitu 240 kg beras atau Rp.1.920.000. Rata-rata

Pendapatan terbesar di daerah penelitian yaitu Rp. 5.000.000 – Rp. 5.999.999

sebesar 29.03 persen atau sebesar 27 orang, dan pendapatan diatas Rp. 7.000.000

hanya 8,60 persen atau sekitar 8 orang. Hal ini berarti bahwa pada umumnya

petani di daerah penelitian berada pada tingkat pendapatan yang tinggi.

IV.2.6.Pengeluaran Rumah Tangga

Pengeluaran rumah tangga terdiri dari pengeluaran untuk pangan, non

pangan dan investasi (pendidikan, kesehatan dan tabungan). Pengeluaran yang

dikeluarkan oleh suatu rumah tangga semestinya selalu sama dengan pendapatan

yang diperoleh oleh rumah tangga tersebut. Pendapatan dikeluarkan oleh rumah

tangga untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti pangan, non pangan dan

investasi. Berikut rata-rata distribusi pengeluaran rumah tangga petani karet

berdasarkan kebutuhan per bulan:

Tabel 8. Distribusi Petani Berdasarkan Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Per


Bulan Tahun 2013

No Pengeluaran Jumlah (Rp)


1 Pangan 1.896.561
2 Non Pangan 1.663.383
3 Investasi 578.767
Total 4.138.711
Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Berdasarkan tabel 8 diatas, pengeluaran rumah tangga petani karet paling

besar berada pada kebutuhan pangan yaitu sebesar Rp. 1.896.561 per bulan.

Sedangkan alokasi pengeluaran untuk Non pangan yaitu sebesar Rp. 1.663.338

per bulan. Untuk investasi petani responden mengeluarkan dana rata-rata sebesar
44

Rp. 578.767 per bulan. Total pengeluaran rumah tangga petani responden dalam

satu bulan dari pangan,non pangan dan investasi adalah mencapai Rp. 4.138.711

per bulan.

Khususnya untuk pangan, orang atau orang rumah tangga akan terus

menambah konsumsi pangannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan,

namun sampai pada batas tertentu penambahan pendapatan tidak lagi

menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Bila secara

kuantitas kebutuhan sudah terpenuhi, maka lazimnya orang akan mementingkan

kualitas atau beralih pada pemenuhan kebutuhan bukan makanan. Dengan

demikian, sejalan dengan meningkatnya pendapatan, persentase pendapatan

dibelanjakan untuk makanan semakin menurun. Oleh karena itu, komposisi

pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran tingkat kesejahteraan

penduduk; semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total

pengeluaran, makin membaik perekonamian penduduk (BPS 2012).

IV.3. Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Rumah Tangga Petani Karet

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang

dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pola konsumsi

masyarakat ini dapt mmenunjukan tingkat keragaman masyarakat dan kebiasaan

konsumsi dari sekelompok masyarakat.

Adapun pola konsumsi pangan yang dimaksud disini adalah pola

konsumsi pangan sumber energi dan sumber protein pada rumah tangga petani

karet. Pangan bergizi adalah makanan yang mengandung gizi (karbohidrat, asam

lemak, protein/asam amino, vitamin atau mineral) tinggi dan aman untuk

dikonsumsi, sedangkan pangan berimbang merupakan keseimbangan kelompok


45

pangan utama (karbohidrat, lauk pauk, sayur, dan buah) dan konsumsi pangan

antar waktu (pagi, siang, dan malam) yang dikembangkan bebasis pada

keseimbangan pangan nabati dan hewani.

IV.3.1.Pola Menu Konsumsi Pangan dan Gizi Rumah Tangga Petani Karet

Berdasarkan hasil penelitian rumah tangga petani keret di Kecamatan

Mandiangin ini, diperoleh bahwa konsumsi pangan responden cukup beragam

yang bersumber dari karbohidrat, protein hewani maupun protein nabati serta

sayur-sayuran, namun konsumsi hariannya masih didominasi oleh sumber protein

hewani dari jenis ikan asin atau teri.

Tabel 9. Keragaman Menu Konsumsi Rata-rata Rumah Tangga Petani Karet


Tahun 2013

Pagi Siang Malam


N
Ragam Menu R R
o RT % % %
T T
1 10.7
10 0 0 0 0
Nasi + Telor + teh/kopi/susu 5
2 10.7
10 0 0 0 0
Nasi + ikan + Teh/Kopi/susu 5
3 Nasi + Ayam + Teh/Kopi/susu 9 9.7 0 0 0 0
4 Roti + Gorengan +Teh/Kopi/susu 12 12.9 0 0 0 0
5 Mie + Telor + Teh/Kopi/susu 6 6.45 0 0 0 0
6 Nasi Goreng + Telor + Teh/Kopi 8 8.6 0 0 0 0
7 27.9
26 0 0 0 0
Nasi + Ikan Asin/Teri + Sayur + 5
Teh/Kopi/susu
8 Nasi + Telor + Sayur +
12 12.9 0 0 0 0
Teh/Kopi/Susu
9 Nasi + Ayam + Tahu/Tempe + 29.0
0 0 36 38.71 27
kentang + Sayur 3
10 22.5
0 0 18 19.35 21
Nasi + Ikan + Tahu/Tempe + 9
kentang + Sayur
11 18.2
0 0 7 7.52 17
Nasi + Telor + Sayur 8
12 Nasi + Ikan Asin/Teri + Tahu/Tempe 30.1
0 0 32 34.41 28
+ Mie/Bihun + Sayur 0
  Jumlah 93 100 93 100 93 100
46

Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Adapun pola menu konsumsi rata-rata petani pada pagi hari adalah nasi di

tambah dengan lauk pauk yaitu jenis ikan asin/teri sebesar 27,95 dan ikan sebesar

10,75 persen, dengan lauk pauk telur sebesar 10.75 persen. Namun ada juga yang

mengkonsumsi panganan lainnya seperti roti dan gorengan sebesar 12,9 persen,

golongan mie instan sebesar 6,48 persen serta nasi goring sebesar 8,6 persen. Pada

pagi hari rata-rata minum teh atau kopi sebelum melakukan aktivitas dan ada juga

yang membawa minuman teh atau kopi tersebut ke kebun karet sebagai minuman

ketika sedang berhenti istirahat. Untuk susu, hanya sebagian kecil yang

mengkonsumsinya.

Pada siang hari rata-rata petani karet mengkonsumsi nasi ditambah lauk

pauk dan sayuran. Lauk pauk yang paling banyak dikonsumsi adalah dari jenis

ayam sebesar 38,81 persen, ikan asin sebesar 34,41 persen, ikan sebesar 19,35

persen dan telur ayam sebesar 7,52 persen. Ikan asin/teri ini dimasak dengan cara

disambal dan ikan, ayam serta telur di masak dengan cara di goreng, sambal atau

gulai. Ikan asin/teri, ikan, ayam dan telur ini biasanya dimasak dicampur dengan

tempe, tahu, kentang, mie/bihun serta kacang panjang dan buncis. Sedangkan

sayuran yang sering dan banyak dikonsumsi adalah dari jenis labu siam, bayam,

kangkung, jagung muda, daun singkong, pakis dan katuk.

Saat makan malam pola menu konsumsi yang dikonsumsi petani di daerah

ini tidak begitu jauh berbeda dengan menu pada siang hari yaitu dari jenis nasi

ditambah lauk pauk dan sayuran. Lauk pauk yaitu ikan asin/teri sebesar 30,10

persen, ayam sebesar 29,03 persen, ikan sebesar 22,59 persen, dan telur sebesar

118,28 persen. Ikan asin, ikan, ayam dan telor yang dimasak dengan cara
47

disambal atau digulai dicampur dengan tempe, tahu, terong, rebung, toge dan

pare. Untuk sayur biasanya yang dimakan malam hari ini adalah lebih dari makan

pada siang hari.

Menurut Kartasapoetra, Marsetyo, Med (2008) di pedesaan-pedesaan

keadaan makanan keluarga biasanya lebih baik, dimana buruh-buruh tani yang

pendapatannya tergolong rata-rata rendah pun masih dapat memberi makan

kepada keluarganya dua kali sahari dengan lauk pauk ikan asin atau sambal dan

mereka dapat memberikan lauk pauk tambahan seperti sayur-sayuran yang

diambil dari tanaman pekarangan rumah mereka. Hal ini memang benar adanya

dan terjadi pada rumah tangga petrani karet di daerah penelitian. Rata-rata petani

di sana mampu menyediakan dan memberikan makan kepada keluarga mereka

yang di ambil dari tanaman yang mereka tanam di kebun atau pekarangan mereka.

IV.3.2.Kelompok Padi-Padian dan Umbi-Umbian

Kelompok padi-padian merupakan pangan yang berasal dari tanaman

serealia yang biasa dikonsumsi sebagai pangan pokok seperti padi, jagung,

gandum, sorgum, dan produk olahannya seperti butiran tepung (terigu, beras) dan

pasta (bihun, macaroni, mie) dan lainnya. Sedangkan umbi-umbian adalah pangan

yang berasal dari akar/umbi yang biasa dikonsumsi sebagai pangan pokok seperti

singkong, ubi jalar dan kentang. Di daerah penelitian beras merupakan jenis bahan

makanan yang dikonsumsi oleh semua responden dengan frekuensi antara 2-3 kali

per hari. Sedangkan untuk jenis bahan makanan sagu tidak dikonsumsi oleh

rumah tangga responden karena penggunaannya yang sangat jarang (biasanya

hanya untuk pembuatan kue dan panganan lainnya).


48

IV.3.3.Kelompok Pangan Hewani dan Pangan Nabati

Pangan hewani adalah pangan yang berasal dari hewan yang terdiri dari

daging, telur, susu, dan ikan serta hasil olahannya. Sedangkan pangan nabati dalah

pangan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari kacang-kacangan,

sayur, dan buah serta produk olahannya. Dari semua jenis bahan makanan pangan

hewani dan nabati, hanya pada jenis bahan makanan sayur yang dikonsumsi

responden dengan frekuensi harian sedangkan jenis kacang-kacangan tidak

dikonsumsi oleh semua responden dan hanya dikonsumsi dengan frekuensi

bulanan dan tahunan. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani karet kadang-

kadang menanam sendiri sayuran untuk dikonsumsi.

Sedangkan untuk jenis bahan makanan daging unggas paling banyak

dikonsumsi dengan frekuensi satu kali per minggu. Sedangkan untuk jenis bahan

makanan yang mengandung protein nabati dari kacang kedele, kacang tanah dan

kacang hijau. Kacang kedele dikonsumsi oleh rumah tangga responden dalam

bentuk produk olahannya seperti tahu dan tempe dengan frekuensi 4-6 kali per

minggu. Untuk kacang tanah dan kacang hijau paling banyak dikonsumsi dengan

frekuensi 1 kali per bulan. Untuk buah responden mengkonsumsinya hanya ketika

musiman buah tiba seperti halnya dengan sayuran, buah juga banyak yang dipetik

dari kebun sendiri misalnya pisang, papaya, jambu, rambutan, durian, duku dan

lain-lain.

IV.3.4.Kelompok Minyak dan Lemak, Gula, dan Pangan Lainnya

Pangan minyak sawit dan bumbu-bumbuhan dikonsumsi oleh seluruh

responden dengan frekuensi harian yaitu dengan frekuensi 3 kali perhari. Hal ini

dikarenakan minyak sawit dan bumbu-bumbuhan merupakan bahan utama dalam


49

mengolah atau memasak bahan makanan menjadi makanan yang siap untuk

dimakan atau disajikan. Begitu pula dengan gula pasir, teh dan kopi yang rata-rata

dikonsumsi oleh responden dengan frekuensi 1 kali per hari, hal ini dikarenakan

responden di daerah penelitian yang suka meminum teh atau kopi setiap harinya

terutama pada saat pagi hari. Sedangkan untuk gula merah sangat jarang

dikonsumsi rumah tangga dengan frekuensi per bulan, karena gula merah biasanya

digunakan untuk membuat makanan selingan seperti bubur, kolak, kue dan lain

sebagainya yang biasanya sering dibuat pada waktu-waktu tertentu saja misalnya

saat ada hajatan atau pada saat hari besar keagamaan. Sedangkan untuk minyak

kelapa dan lemak hewani sangat jarang bahkan tidak dikonsumsi oleh rumah

tangga responden.

IV.4. Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein Rumah Tangga Petani

Karet

IV.4.1. Kecukupan Konsumsi Energi Rumah Tangga Petani Karet

Kecukupan konsumsi energi yang dimaksud mencakup kecukupan

konsumsi jumlah energi yang digunakan untuk melihat apakah konsumsi telah

memenuhi kebutuhan untuk hidup sehat sesuai standar yang dianjurkan. Pola

Pangan Harapan Tahun 2020 bahwa angka kecukupan konsumsi energi adalah

2100 kkal/kap/hari. Dimana angka ini merupakan angka rata-rata yang harus

dipenuhi oleh seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Dari hasil penelitian yang diperoleh bahwa rata-rata konsumsi energi

rumah tangga petani karet di Kecamatan Mandaiangin Kabupaten Sarolangun

sudah mencukupi standar yang telah dianjurkan yaitu sebesar 2908,43

kkal/kap/hari. Dalam hal ini berarti secara keseluruhan rata-rata jumlah konsumsi
50

energi rumah tangga petani karet di Kecamatan Mandaiangin Kabupaten

Sarolangun sudah tercukupi. Normalnya manusia mengkonsumsi 2000 – 2500

kkal/kap/hari energi per harinya, dimana setengahnya adalah karbohidrat. Untuk

mendapatkan gizi yang seimbang, dalam satu hari porsi makanan setengahnya

haruslah sayur, seperempatnya lauk dan seperempatnya lagi adalah nasi.

Kelebihan asupan konsumsi energi ini dapat menimbulkan masalah kelebihan gizi

(kegemukan dan obesitas) serta penyakit tidak menular (degeneratif) lainnya

seperti jantung, stroke, hipertensi dan diabetes. Untuk itu perlu diperhatikan

dalam masalah pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi, frekuensi makan

dan aktivitas tubuh setiap harinya, semakin beragam buah dan sayur yang

dikonsumsi akan semakin baik untuk memenuhi gizi seimbang terutama buah

daan sayuran berwarna dan konsumsi susu serta diimbangi dengan olahraga yang

teratur.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rumah tangga petani

responden memiliki konsumsi pangan yang cukup beragam yang besumber dari

karbihodrat, protein hewani dan protein nabati serta sayur-sayuran. Adapun

Distribusi konsumsi energi rumah tangga petani karet sebagai berikut :

Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi Rumah Tangga


Tahun 2013

No Klasifikasi Jumlah (KK) Persentase (%)


1 1709,90 – 1844,66 5 5,38
2 1844,67 – 1979,43 4 4,30
3 1979,44 – 2114,20 8 8,60
4 2114,21 – 2248,97 15 16,13
5 2248,98 – 2383,74 8 8,60
6 2383,75 – 2518,51 16 17,20
7 2518,52 – 2653,28 26 27,96
8 2653,29 – 2788,05 11 11,83
Jumlah 93 100
51

Rata – rata 2371,84


Sumber : Hasil Data Olahan Kuisioner Tahun 2013

Pada Tabel 10 di atas dapat dilihat rumah tangga petani responden terdapat

26 rumah tangga responden yang memiliki tingkat konsumsi energi antara

2518,52 – 2653,28 kkal/kap/hari dan hanya 27,96 hanya 11,83 persen rumah

tangga petani responden memiliki tingkat konsumsi lebih dari 2600 kkal/kap/hari.

Rata-rata tingkat konsumsi energi untuk seluruh petani responden yaitu sebesar

2371,84 kkal/kap/hari. Secara keseluruhan dilihat dari nilai rata-rata konsumsi

energi di setiap tingkat pendapatan di daerah penelitian, maka rumah tangga

petani responden telah mampu memenuhi standar konsumsi energi yang

dianjurkan yaitu sebesar 2100 kkal/kap/hari, bahkan sebagian besar dari rumah

tangga petani responden memiliki tingkat konsumsi energi melebihi dari standar

yang ditentukan.

Semakin tinggi pendapatan dalam rumah tangga maka kualitas dan

kuantitas makanan yang dikonsumsi akan semakin baik pula. Rata-rata tingkat

pendapatan petani responden di daerah penelitian adalah Rp. 4.990.322 per bulan

yang berarti bahwa pendapatan petani responden berada pada tingkat pendapatan

di atas standar yang ditetapkan oleh Sajogyo yaitu dengan nilai Rp. 1.920.000.

IV.4.2. Kecukupan Konsumsi Protein Rumah Tangga Petani Karet

Kecukupan konsumsi protein yang dimaksud mencangkup kecukupan

konsumsi jumlah protein yang digunakan untuk melihat apakah konsumsi telah

memenuhi kebutuhan untuk hidup sehat sesuai dengan standar yang dianjurkan

dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 dalam

Ening Eriningsih sebesar 52 gram/kapita/hari.


52

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2008), dalam gambaran komposisi

tubuh orang dewasa, seperlima dari berat tubuhnya terdiri dari protein, dari analisa

berat keringnya relative dari berat tubuhnya terdiri dari protein, sepertiga dari

bagian itu berada dalam otot, seperlimanya berada dalam tulang dan tulang rawan,

sepersepuluhnya tersimpan dalam kulit dan sisanya berada dalam tubuh dan

berbagai jaringan tubuh. Karena itu protein sangat penting bagi tubuh terutama

sebagai zat pembangun baik untuk partumbuhan maupun sebagai memelihara

jaringan tubuh.

Protein juga adalah sebagai sumber energi bagi teubuh manusia.

Umumnya protein akan berfungsi demikian apabila tersedianya karbohidrat dan

lemak dalam tubuh tidak mencukupi kebutuhan yang diperukan tubuh untuk

melakukan berbagai kegiatan internal dan eksternal. Dalam keadaaan tersedianya

karbohidrat tidak mencukupi, maka untuk menyediakan energi sejumlah karbon

yang terkandung dalam protein akan dimanfaatkan seperlunya sehingga

berlansungnya pembakaran, sejumlah protein lainnya digunakan untuk memenuhi

fungsi yang sebenarnya yaitu untuk membentuk jaringan. Dalam membantu

terpenuhinya energi ternyata menurut penelitian, protein tiap gramnya mensuplai

4 kalori, dengn demikian untuk mencukupi kekurangan energi 210 kalori

misalnya diperlukan 52,5 gram protein.

Kuranganya konsumsi akan protein tentunya akan berdampak tidak baik

terhadap mutu sumberdaya manusia yang dalam hal ini adalah keluarga petani

karet. Pada anak-anak mereka menyebabkan pertumbuhan terhambat begitu juga

dengan perkembangan sel-sel otak. Protein juga berguna untuk mengganti sel-sel

tubuh yang rusak dan mati, dan juga merupakan materi penyusun dasar dari
53

semua jaringan tubuh. Jadi, jika asupan protein berada dibawah standar gizi yang

dianjurkan maka dalam jangka panjang akan menurunkan mutu generasi yang

akan datang. Sedangkan bagi petani itu sendiri kekurangan konsumsi protein

dapat menyebabkan daya tahan tubuh menurun, daya kreatifitas, produktivitas,

dan daya kerja merosot.

Pola konsumsi pangan dan gizi sumber protein rumah tangga petani

responden memiliki tingkat konsumsi protein cukup beragam. Dimana protein

berasal dari protein hewani diperoleh dari ikan,telur dan Daging ayam serta

protein nabati yang berasal dari olahan kacang kedelai yaitu tahu dan tempe. Rata-

rata keselurahan konsumsi protein rumah tangga petani responden mencapai 54,54

gram/kap/hari. Hal ini berarti bahwa rumah tangga petani responden belum

mampu memenuhi standar konsumsi protein yang telah dianjurkan yaitu 57

gram/kap/hari.

Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Protein Rumah Tangga


Tahun 2013

No Klasifikasi Jumlah (KK) Persentase (%)


1 36.82 – 40.66 4 4.30
2 40.67 – 44.51 14 15.05
3 44.52 – 48.36 21 22.58
4 48.37 – 52.21 10 10.75
5 52.22 – 56.06 23 24.73
6 56.07 – 59.91 10 10.75
7 59.92 – 63.76 8 8.60
8 63.77 – 67.61 3 3.23
Jumlah 93 100
Rata-Rata 50.96
Sumber : Hasil Olahan Data Kuisioner 2013

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa konsumsi protein rumah tangga yang

sebanyak 24,73 persen berada pada kelas yang berkisar 52,22 – 56,06

gram/kap/hari. Dimana hanya 3,23 persen rumah tangga yang berada pada kelas
54

63,77 – 67,61 gram/kap/hari. Sedangkan jumlah rumah tangga yang sama

sebanyak 10,75 persen berada pada kelas 48,37 – 52,21 gram/kap/hari dan 56,07 –

59,91 gram/kapita/hari.

IV.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Energi Rumah

Tangga Petani Karet

Untuk melihat faktor yang diduga berpengaruh terhadap konsumsi energi

dan protein (sebagai variabel Y) dilakukan dengan uji Cobb-douglas. Variabel

yang diduga berpengaruh (sebagai variabel x) dan dimasukan dalam uji Coob-

Douglas meliputi jumlah anggota rumah tangga, pendidikan, dan Pendapatan.

Dari hasil analisis didapat persamaan Cobb-douglas sebagai berikut:

Y = 2154 + 0,028 X1 + 0,017 X2 + 0,537 X3

Y = Konsumsi Energi

X1 = Jumlah Anggota Rumah Tangga

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

Hasil uji SPSS 16 seperti yang dilampirkan pada lampiran 23 diperoleh

nilai F sebesar 64.073 dengan nilai sig = 0,000. Model ini dapat dilanjutkan jika

angka signifikasi (sig) harus < 0,05. Karena nilai signifikasi < 0,05 maka

keputusannya adalah H0 ditolak dan H1 diterima dan oleh sebab itu, pengujian

secara individual dapat dilakukan atau dilanjutkan.

Angka R Square yang didapat sebesar 0,684 yang setelah dikalikan 100%

menjadi 68,4 persen. Hal ini berarti sebesar 68,4 persen konsumsi energi bisa

dijelaskan dengan variabel jumlah anggota rumah tangga, pendidikan dan

Pendapatan. Sedang sisanya sebesar 31,6 persen harus dijelaskan oleh faktor-
55

faktor lain. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak variabel lain yang

berkontibusi dan perlu dipertimbangkan dalam konsumsi energi masyarakat petani

karet, misalnya suku, agama dan lingkungan tempat tinggal.

IV.5.1. Pengaruh Jumlah Anggota Rumah Tangga Terhadap Konsumsi

Energi

Jumlah anggota rumah tangga berkontribusi secara signifikan terhadap

konsumsi energi. Uji secara individual seperti yang ditunjukkan oleh lampiran 23

didapat nilai sig 0,000. Nilai sig 0,000 lebih kecil dari probabilitas 0,05 atau nilai

0,05 > 0,000 maka keputusannya H0 ditolak dan H1 diterima artinya koefisien

signifikan. Jadi, jumlah anggota rumah tangga berkontribusi secara signifikan

terhadap konsumsi energi.

Berdasarkan hubungan antara variabel konsumsi energi dengan jumlah

anggota keluarga adalah 0,013. Artinya hubungan kedua variabel ini kuat.

Hubungan antara variabel jumlah anggota keluarga dan konsumsi energi

signifikan jika dilihat dari angka signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari

0,05 artinya ada hubungan signifikan antara kedua variabel tersebut.

Nilai koefisien dari variabel ini adalah 0,028 yang berarti bahwa tiap

penambahan 1 anggota keluarga akan menurukan konsumsi sebesar 0,028 satuan.

Hal ini berarti bahwa penambahan jumlah anggota rumah tangga dengan kondisi

tingkat variabel yang lain tetap akan dapat menurunkan jumlah konsumsi energi

rumah tangga.

IV.5.2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Konsumsi Energi


56

Tingkat Pendidikan tidak berkontribusi secara signifikasi terhadap

konsumsi energi. Uji secara individual sebagaimana yang dilampirkan pada

lampiran 23 didapat nilai sig 0,730. Nilai sig lebih besar dari nilai probabilitas

0,05 maka keputusannya H0 diterima artinya koefisien tidak signifikan. Jadi,

pendidikan tidak berkontribusi secara signifikan terhadap konsumsi energi.

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Irdawati,

Wuryaningsih, Sayekti, Kordina dan Rangga (2008) tentang studi pola

pendapatan, pengeluaran, dan konsumsi pangan petani sayuran pinggir kota di

Kelurahan Way Kandis Kecamatan Tanjung Senang Kota Bandar Lampung

menyimpulkan bahwa pendidikan bapak secara tunggal berpengaruh nyata

terhadap tingkat kecukupan energi.

Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan formal

dan informal yang diikuti oleh ibu rumah tangga, yang mana seorang ibu dituntut

untuk lebih dapat memahami mengenai pangan yang beragam, bergizi, dan

berimbang. Ternyata tidak hanya diperlukan pendidikan formal melainkan harus

lebih dipahami mengenai pengetahuan gizi itu sendiri, dimana tingkat

pengetahuan gizi ibu yang baik akan dapat mempermudah pelaksanaan tanggung

jawab seorang ibu yaitu tanggung jawab berupa pemilihan jenis pangan yang

mengandung zat gizi bagi keluarganya.

Nilai koefisien dari variabel ini adalah 0,017 yang berarti bahwa setiap

penambahan 1 tingkat pendidikan akan menurukan konsumsi energi sebesar 0,017

satuan. Hal ini berarti bahwa peningkatan tingkat pendidikan dengan kondisi

tingkat variabel yang lain tetap akan dapat menurunkan jumlah konsumsi energi

rumah tangga.
57

Semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang, maka orang

cenderung akan mengurangi konsumsi makanan sumber karbohidrat (energi) dan

akan beralih memperbesar porsi makanan sumber protein. Hal ini terlihat dari

nilai koefisien pendidikan untuk konsumsi protein yang positif. Makanan sumber

protein adalah juga sumber energi sedangkan makanan sumber energi hanya

sedikit mengandung protein. Dengan pendidikan yang tinggi, maka pengetahuan

akan gizi khususnya protein akan lebih baik sehingga akan meningkatkan

konsumsi protein seseorang.

Konsumsi makanan sumber energi hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan tubuh akan energi, tidak boleh terlalu tinggi dan tidak boleh terlalu

rendah, karena energi hanya digunakan agar tubuh agar bisa beraktivitas.

Sedangkan protein selain sebagai cadangan energi, protein diperlukan untuk

membentuk sel dan erat kaitannya dengan kualitas manusia seperti tingkat

kecerdasan. Oleh karena itu, orang berpendidikan cenderung menurunkan

konsumsi makanan sumber energi dan menaikan proporsi makanan sumber

protein.

IV.5.3. Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi Energi

Pendapatan berkontribusi secara signifikan terhadap konsumsi energi. Uji

secara individual seperti yang dilampirakan pada lampiran 23 didapat nilai sig

0,000. Nilai sig 0,000 lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,05 >

0,000 maka keputusannya H0 ditolak dan H1 diterima artinya signifikan. Jadi,

pendapatan bekontribusi secara signifikan terhadap konsumsi energi.

Besar hubungan antara variabel konsumsi protein dengan pendapatan

0,1319. Artinya hubungan kedua variabel ini kuat. Hubungan antara variabel
58

pendapatan dan konsumsi energi signifikan jika dilihat dari angka signifikan

sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan

antara kedua variabel tersebut.

Nilai koefisien dari variabel ini adalah 0,537 yang berarti bahwa setiap

penambahan 1 tingkat pendapatan akan menaikan konsumsi energi sebesar 0,537

satuan. Hal ini berarti bahwa peningkatan pendapatan dengan kondisi tingkat

variabel yang lain tetap akan dapat menaikan jumlah konsumsi energi rumah

tangga.

Zaman sekarang, pendapatan merupakan jalan bagi suatu keluarga untuk

bisa mengakses pangan. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang

untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya

penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan

kuantitas pangan yang dibeli (Baliwati, 2004). Kecenderungan dengan semakin

tingginya tingkat pendapatan terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan,

yaitu pangan yang dikonsumsi akan lebih beragam.

IV.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Protein Rumah

Tangga Petani Karet

Sama halnya dengan konsumsi energi, untuk melihat faktor yang diduga

berpengaruh terhadap konsumsi protein (sebagai variabel Y) dilakukan dengan uji

Cobb-Douglas. Variabel yang diduga berpengaruh (sebagai variabel X) dan

dimasukan dalam uji Cobb-Douglas meliputi jumlah anggota rumah tangga,

pendidikan, dan Pendapatan. Dari hasil analisis didapat persamaam sebagai

berikut:

Y = 0,569 – 0.105 X1 + 0,033 X2 + 0,486 X3


59

Y = Konsumsi Protein

X1 = Jumlah Anggota Rumah Tangga

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

Hasil uji SPSS 16 yang dilampirkan pada lampiran 24 sebesar 124.664

dengan nilai probabilitas (sig) = 0,000. Karena nilai sig < 0,05 maka

keputusannya adalah H0 ditolak H1 diterima dan oleh sebab itu, pengujian secara

individual dapat dilakukan atau dilanjutkan.

Angka R Square yang didapat sebesar 0,808 yang setelah dikalikan 100%

menjadi 80,8 persen. Hal ini berarti bahwa sebesar 80,8 persen konsumsi protein

bisa dijelaskan dengan variabel jumlah anggota keluarga, pendidikan dan

pendapatan. Sedang sisanya sebesar 19,2 persen harus dijelaskan oleh faktor-

faktor lain, masih banyak variabel lain yang berkontribusi dan perlu

dipertimbangkan dalam komsumsi protein masyarakat petani karet.

IV.6.1. Pengaruh Jumlah Anggota Rumah Tangga Terhadap Konsumsi

Protein

Jumlah anggota rumah tangga berkontribusi secara signifikan terhadap

konsumsi protein. Uji secara individual seperti yang ditunjukan oleh lampiran

didapat nilai sig 0,000. Nilai sig 0,000 lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau

nilai 0,05 > 0,000 maka keputusannya H0 ditolak dan H1 diterima artinya koefisien

signifikan. Jadi, jumlah anggota rumah tangga berkontribusi secara signifikan

terhadap konsumsi protein.


60

Besar hubungan antara variabel konsumsi protein dengan jumlah anggota

keluarga adalah -0,045. Artinya hubungan kedua variabel ini kuat. Hubungan

antara variabel jumlah anggota keluarga dan konsumsi protein signifikan jika

dilihat dari angka signifikasi sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 artinya ada

hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut.

Nilai koefisien dari variabel ini adalah -0,105. Yang berarti bahwa tiap

penambahan 1 anggota keluarga akan menurunkan konsumsi protein sebesar

0,105 satuan. Hal ini berarti bahwa penambahan jumlah anggota rumah tangga

dengan kondisi tingkat variabel yang lain tetap akan dapat menurunkan jumlah

konsumsi protein rumah tangga.

IV.6.2. Pengaruh Pendidikan Terhadap Konsumsi Protein

Tingkat pendidikan tidak berkontribusi secara signifikan terhadap

konsumsi protein. Uji secara individual seperti yang dianjurkan oleh lampiran 24

didapat nilai sig 0,298. Nilai sig 0,298 lebih besar dari nilai probabilitas 0,05

maka keputusannya H0 diterima artinya koefisien tidak signifikan. Jadi pendidikan

tidak berkontribusi secara signifikan terhadap konsumsi protein.

Ternyata dari hasil penelitian ini tingkat pendidikan secara formal tidak

memepengaruhi tingkat konsumsi protein padahal menurut teori yang berlaku

tingkat pendidikan berpengaruh karna biasanya semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka pengetahuannya terhadap kandungan gizi suatu makanan akan

semakin tinggi akan tetapi semua itu tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

saya lakukan. Banyak jenis pendidikan yang dapat dijalani dan dalam hal ini
61

berarti pendidikan yang dapat ditempuh tidak mesti secara formal melainkan bisa

melalui tingkat pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan dan penyuluhan

mengenai kandungan gizi pada tiap jenis makanan yang akan dikonsumsi. Salah

satu tingkat pendidikan informal yang bisa diikuti oleh ibu rumah tangga adalah

seperti mengikuti penyuluhan mengenai pangan yang bergizi, yang mana seorang

ibu lebih dapat memahami mengenai pangan yang beragam, bergizi, dan

berimbang. Dimana tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik akan dapat

mempermudah pelaksanaan tanggung jawab seorang ibu yaitu tanggung jawab

berupa pemilihan jenis pangan yang mengandung zat gizi bagi keluarganya.

Nilai koefisien dari variabel ini adalah 0,033 yang berarti adalah tiap

penambahan 1 tingkat pendidikan akan menaikkan konsumsi sebesar 0,033

satuan. Hal ini berarti bahwa peningkatan tingkat pendidikan dengan kondisi

tingkat variabel lain yang tetap akan dapat menaikkan jumlah konsumsi protein

rumah tangga.

Protein selain sebagai cadangan energi juga diperlukan untuk membentuk

sel dan erat kaitannya dengan kualitas manusia seperti tingkat kecerdasan. Dengan

pendidikan tinggi, maka diharapkan pengetahuan akan gizi khususnya protein

akan lebih baik sehingga akan meningkatkan konsumsi protein seseorang.

IV.6.3. Pengaruh Pendapatan Terhadap Konsumsi Protein

pendapatan berkontribusi secara signifikan terhadap konsumsi protein. Uji

secara individual seperti yang dilampirkan pada lampiran didapat nilai sig 0,000.

Nilai sig 0.000 lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau nilai 0,05 > 0,000 maka

keputusanya H0 ditolak dan H1 diterima artinya signifikan. Jadi, pendapatan

berkontribusi secara signifikan terhadap konsumsi protein.


62

Besar hubungan antara variabel konsumsi protein dengan pendapatan

adalah 0,897. Artinya hubungan kedua variabel ini kuat. Hubungan antara variabel

Pendapatan dan konsumsi protein signifikan jika dilihat dari nilai signifikasi

sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan

antara kedua variabel tersebut.

Keragaman makanan menjadi kunci utama untuk memenuhi kecukupan

protein. Penganekaragaman makanan berkaitan erat dengan pengeluaran rumah

tangga untuk pangan. Untuk bisa mengakses pangan agar lebih beragam, maka

dibutuhkan alokasi pendapatan untuk kebutuhan pangan yang lebih besar. Tingkat

pendapatan akan berpengaruh terhadap kemampuan daya beli. Kemampuan daya

beli yang tinggi akan memberikan pilihan lebih banyak dalam menentukan ragam

pangan dan gizi yang akan dikonsumsi. Oleh karena itu tingkat pendapatan yang

tinggi dan disertai dengan sikap dan pengetahuan yang baik terhadap keragaman

pangan yang dikonsumsi (Cahyani, 2008).

IV.7. Implikasi Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat dilihat bahwa pola konsumsi

petani karet yang dilihat dari kecukupan konsumsi energi dan protein rumah

tangga petani karet yang dilihat dari kecukupan konsumsi energi dan protein

rumah tangga petani karet di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun

sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga dan pendapatan tapi tidak

untuk pendidikan. Rumah tangga petani karet dengan jumlah anggota lebih besar

ternyata belum mampu mencukupi konsumsi energi dan protein mereka. Rumah

tangga petani karet yang pendapatannya lebih rendah dari rumah tangga lainnya

ternyata juga perlu meningkatkan konsumsi energi dan protein mereka dengan
63

melakukan penganekaragaman konsumsi pangan agar dapat memenuhi kebutuhan

energi dan protein yang dianjurkan.

Rumah tangga petani karet di Kecamatan Mandiangin Kabupaten

Sarolangun memiliki pendapatan rata-rata cukup tinggi. oleh karena itu,

sebenarnya dalam mencukupi kebutuhan akan pangan bukan menjadi masalah

yang serius. Pendapatan yang rata-rata cukup tinggi memungkinkan mereka untuk

mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat

dari kemampuan mereka dalam memenuhi konsumsi akan energi. Tapi jika dilihat

dari konsumsi akan protein, mereka belum cukup mampu untuk memenuhinya

sekalipun memiliki pendapatan yang cukup tinggi.

Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat rata-rata petani karet didaerah

penelitian memiliki latrar pendidikan formal yang cukup baik. Namun, ternyata

pendidikan formal yang baik belum tentu membuat seseorang mampu untuk

menentukan konsumsi pangan dan gizi dengan cukup baik. Masalahnya adalah

pengetahuan mereka tentang bagaimana cara hidup sehat melalui konsumsi

pangan dan gizi. Melalui pendidikan formal yang tinggi belum tentu mendapatkan

pengetahuan tentang cara hidup yang baik pula. Dalam pendidikan formal

biasanya sedikit sekali informasi tentang pola hidup sehat ini. Karena itu bagi

masyarakat hendaknya meningkatkan pengetahuan mereka tentang gizi dan pola

hidup sehat dari berbagai sumber.

Pemerintah memiliki peranan penting dalam mendorong pembangunan

disegala bidang terutama dibidang pangan, pertanian, kesehatan dan sosial

ekonomi. Terpenuhinya kecukupan konsumsi energi dan protein masyarakat dapat

dijadikan indikator untuk melihat status gizi dan konsumsi gizi masyarakat yang
64

dilihat dari pola konsumsi pangan dan gizi yang sesuai dengan standar yang

diharapkan serta tingkat keberagaman dari sumber pangan energi dan protein

tersebut.

Dengan terpenuhinya konsumsi energi dan protein petani karet akan

mampu meningkatkan produktivitas mereka sehingga bermuara pada

meningkatnya kesejahteraan mereka. Lebih jauh lagi dengan terpenuhinya

konsumsi energi dan protein keluarga petani karet yang adalah bagian dari

masyarakat akan menciptakan bangsa dengan kualitas yang baik sehingga dapat

menjadi agent of development dalam pembangunan bangsa di masa yang akan

datang.

V. KESIMPULAN

V.1.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat diambil beberapa

kesimpulan yaitu :

1. Bahan makanan pokok sumber energi yang paling sering dikonsumsi oleh

responden adalah dari kelompok padi-padian beras dengan frekuensi 3 kali

perhari, pangan yang bersumber dari jenis pangan nabati yang paling sering

dikonsumsi adalah dari jenis bahan makanan kedele dengan dalam bentuk

tahu dan tempe dengan frekuensi makan 4 - 6 kali perminggu, pangan yang

bersumber dari jenis pangan hewani yang sering dikonsumsi adalah dari jenis

bahan makanan ikan asin/teri dengan frekuensi 4 - 6 kali perminggu. Rata-


65

rata konsumsi energi dan protein rumah tangga petani karet di Kecamatan

Mandiangin Kabupaten Sarolangun adalah 2.908,43 kkal/kapita/hari dan

50.96 gram/kapita/hari.

2. Pendapatan dan jumlah anggota rumah tangga berpengaruh secara signifikan

terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga petani karet di Kecamatan

Mandiangin Kabupaten Sarolangun, dimana semakin tinggi pendapatan

konsumsi energi dan protein semakin terpenuhi sebaliknya semakin banyak

jumlah anggota kaluarga konsumsi energi dan protein semakin berekurang.

Sedangkan pendidikan tidak mempengaruhi konsumsi energi dan protein

rumah tangga petani keret di Kecamatan Mandiangin Kabupaten Sarolangun.

V.2.Saran

Adapun saran yang penulis berikan adalah:

1. Setiap rumah tangga petani karet di Kecamatan Mandiangin Kabupaten

Sarolangun harus lebih banyak menganekaragakan konsumsi pangan mereka

terutama pangan sumber protein sehingga mampu untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi pangan mereka sesuai dengan standar yang telah

dianjurkan.

2. Perlu adanya peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai pangan yang

beragam, bergizi, dan berimbang, baik dengan menambah porsi pendidikan

tentang pola hidup sehat di jenjang pendidikan formal maupun melalui

pendidikan informal seperti penyuluhan-penyuluhan tentang pola hidup sehat

dengan mengkonsumsi makanan beragam, bergizi dan berimbang.


66

Anda mungkin juga menyukai