Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi sangat terkait dengan ketersediaan dan aksesibilitas
pangan penduduk. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2009 jumlah
penduduk sangat rawan pangan (asupan kalori <1.400 Kkal/orang/hari)
mencapai 14,47 persen, meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun
2008, yaitu 11,07 persen. Jumlah ini masih sangat jauh dari target MDGs
2015 yaitu 8,5 persen. Sehingga masih diperlukan kerja yang lebih keras
untuk menurunkan jumlah penduduk rawan pangan tersebut (RAN-PG,
2011-2015).
Penanganan masalah pangan dan gizi ini merupakan salah satu agenda
penting dalam pembangunan nasional. Karena pangan dan gizi adalah salah
satu hal yang terkait langsung dengan kesehatan masyarakat. Pembangunan
perlu diarahkan kepada pemanfaatan potensi sumberdaya alam lokal,
peningkatan

produktivitas

tenaga

kerja

pedesaan

terutama

dalam

memperkuat ketahanan pangan berkelanjutan dan pemberdayaan ekonomi


masyarakat. Peningkatan ketahanan pangan haruslah didasarkan pada
penggalangan kekuatan sumberdaya lokal dan sekecil mungkin tergantung
input dari luar (impor).
Ketersediaan pangan per kapita di suatu daerah mungkin bisa
tercukupi secara statistik, namun hal itu tidak menjamin seluruh rumah
tangga tercukupi kebutuhan gizinya. Karena belum tentu pangan
terdistribusi secara merata ke seluruh rumah tangga, sehingga tidak
menjamin seluruh rumah tangga terpenuhi secara cukup baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya, aman, merata, terjangkau, serta sesuai dengan
selera (preferensi) individu-individu dalam rumah tangga.
Pengembangan diversifikasi pengolahan pangan lokal dipandang
strategis dalam menunjang ketahanan pangan, terutama berkaitan dengan
aspek promosi ketersediaan pangan yang beragam, penanggulangan masalah
gizi

dan

pemberdayaan

ekonomi

masyarakat

(penciptaan

dan

pengembangan usaha ekonomi produktif). Jika disisi hilir (pengolahan dan


pemasaran) produktif, maka secara otomatis akan mendorong pula
1|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

produktivitas di sektor hulu, sehingga ketahanan pangan yang tercermin dari


terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan
terjangkau dapat terwujud.
Diversifikasi pangan

atau

penganekaragaman

pangan

bukan

merupakan isu baru, tetapi sudah dikumandangkan sejak dikeluarkannya


Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu
Makanan Rakyat (PMMR). Maksud dari instruksi ini adalah untuk
menganekaragamkan jenis dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat,
baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya sebagai usaha penting bagi
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat,
material, dan spiritual.
Pelaksanaan Inpres No. 14 Tahun 1974 tersebut sampai akhir Pelita II
nampaknya belum memberikan hasil seperti yang diharapkan, sehingga lima
tahun setelah itu pemerintah mengeluarkan lagi Inpres No. 20 tahun 1979
juga tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat sebagai penyempurnaan
Inpres Tahun 1974 yang disesuaikan dengan struktur kabinet pada waktu itu.
Dalam tahap pembangunan nasional berikutnya, upaya diversifikasi pangan
selalu tercantum di dalamnya (Suhardjo, 1998).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

2.1 Diversifikasi Pangan


Diversifikasi pangan dapat mendukung stabilitas ketahan pangan
sehingga dapat dipandang sebagai salah satu pilar pemantapan ketahanan
pangan. Oleh karena itu akselerasi diversivikasi pangan sebagaimana
diamanatkan dalam Perpres No. 22 Tahun 2009 harus dapat diwujudkan.
Terdapat

berbagai

pengertian

tentang

diversifikasi

pangan.

Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68


Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai
upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi
seimbang (BBKP 2002). Hasil penelitian Martianto et al. (2009) mengenai
percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa
perspektif diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan
dan diversifikasi pangan pokok. Salah satu kendala pada diversifikasi
pangan adalah tingginya konsumsi beras.
Pakpahan dan Suhartini (1989) menyatakan dalam konteks Indonesia
diversifikasi/keanekaragaman konsumsi pangan sering diartikan sebagai
pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan
konsumsi bahan pangan non beras. Menurut Suhardjo dan Martianto (1992)
semakin beragam konsumsi pangan maka kualitas pangan yang dikonsumsi
semakin baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi pangan tidak hanya
terbatas pada pada diversifikasi konsumsi makanan pokok saja, tetapi juga
makanan pendamping.
Suhardjo (1998) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi
pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu (1)
diversifikasi konsumsi pangan, (2) diversifikasi ketersediaan pangan, dan
(3)

diversifikasi

produksi

pangan.

Sementara,

Soetrisno

(1998)

mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit (dalam konteks konsumsi


pangan) yaitu sebagai upaya menganekaragamkan jenis pangan yang
dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga
memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik
ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya.
2.2 Pentingnya Diversifikasi Pangan
3|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

Hipocrates, seorang filosof Yunani menyatakan bahwa makanan


mempunyai

manfaat

penting

untuk

pemeliharaan

kesehatan

dan

penyembuhan penyakit. Dalam pernyartaannya tersirat bahwa ada zat-zat


tertentu dalam makanan yang apabila dikonsumsi akan membantu
membangun kesehatan seseorang. Sebaliknya, apabila zat tersebut tidak
diperoleh dari makanan yang dikonsumsi, maka dapat menimbulkan
penyakit. Kemudian hasil analisis kandungan gizi pada berbagai jenis
pangan menunjukan tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung zat
gizi yang lengkap yang mampu memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan
oleh manusia, kecuali ASI. Itupun hanya untuk bayi yang berusia 4-6 bulan
lebih dari usia itu memerlukan makanan tambahan (Forum Kerja
Penganekaragaman pangan, 2003). Oleh karena itu penting sekali upaya
diversifikasikan pangan di dunia terutama di negara Indonesia yang
memiliki masalah yamg sangat kompeks di bidang pangan ini.
Bila orang sadar bahwa makanan beragam itu penting untuk
kesehatan, maka semestinya setiap orang akan makan makanan beragam
setiap harinya. Kenyataan tidaklah demikian. Meskipun mengerti banyak
orang yang tidak dapat melakukannya. Keterbatasan daya beli umumnya
merupakan alasan utama mengapa orang tidak bisa makan makanan secara
beragam. Karena tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama dalam
mengakses pangan secara beragam, maka diperlukan upaya-upaya yang
mendorong dan memfasilitasi agar setiap orang memperoleh pangan dalam
jumlah dan keragaman yang cukup (Forum Kerja Penganekaragaman
Pangan, 2003). Sesuai dengan prinsip penganekaragaman menu makanan
maka ada dua tujuan yang ingin dicapai:
a. agar ketergantungan masayarakat kepada salah satu jenis makanan
pokok, terutama beras dapat dikurangi,
b. agar mutu gizi susunan makanan masyarakat dapat ditingkatkan (Badan
Penelitian dan Pengembangan kesehatan, 1991).
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan
pasal 9 menyebutkan:

4|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

1) penganekaragaman

pangan

diselenggarakan

untuk

meningkatkan

ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan,


dan budaya lokal,
2) penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat1
dilakukan dengan cara:
a) Meningkatkan keragaman pangan,
b) Mengembangkan teknologi pengolahan dan produk pertanian dan
c) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
anekaragam pangan dengan prrinsip gizi berimbang.
2.3 Pangan
Pangan adalah sesuatu yang hakiki dan menjadi hak setiap warga
Negara untuk memperolehnya. Ketersediaan pangan sebaiknya cukup
jumlahnya, bermutu baik, dan harganya terjangkau. Salah satu komponen
pangan adalah karbohidrat yang merupakan sumber utama energi bagi
tubuh. Kelompok tanaman yang menghasilkan karbohidrat disebut tanaman
pangan. Di Indonesia tanaman pangan yang digunakan oleh masyarakat
masih terbatas pada beberapa jenis, yaitu padi, jagung, ubi kayu, dan ubi
jalar. Selain sebagai sumber karbohidrat, ada tanaman pangan yang
merupakan sumber protein. Jenis tanaman penghasil protein yang masuk ke
dalam tanaman pangan, antara lain kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau.
Karena alasannya banyak dikenal dan digunakan sebagai bahan pangan,
tanaman tersebut disebut sebagai kelompok tanaman pangan utama. Jadi,
istilah tanaman pangan utama muncul lebih karena alasan kultur daripada
fungsinya (Purwono dan Purnawati, 2008).
Pangan merupakan sumberdaya kemanusiaan yang unik. Pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi
setiap rakyat Indonesia, hal ini sesuai dengan UU No. 7 tahun 2006. Pangan
memiliki dimensi yang sangat kompleks, tidak saja dari sisi kehidupan dan
kesehatan, tetapi juga dari sisi sosial, budaya, dan politik.
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia
untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat
gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air) menjadi
landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan
sepanjang siklus kehidupan. Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak,
5|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan yang sesuai


dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang,
serta mencapai prestasi kerja (Karsin, 2004).
Menurut UU RI No. 7 tahun 1996, pangan didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.
2.4 Pangan Olahan
Pangan olahan merupakan hasil dari pengolahan produk primer
ataupun produk setengah jadi menjadi produk jadi pada komoditas pertanian
yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk dikonsumsi manusia. Pangan
olahan merupakan produk olahan berasal dari komoditas pertanian
(pertanian dalam artian luas) pada umumnya mempunyai karakteristik yang
khas, antara lain :
1)
2)
3)
4)

Mudah rusak dan tidak tahan lama.


Diproduksi berdasarkan ketersediaan bahan baku (raw material).
Volumenya besar tetapi nilai nominalnya relatif kecil.
Lokalita yang spesifik (tidak dapat diproduksi disemua tempat).
Sedangkan menurut UU no. 18 tahun 2012 tentang pangan

menyatakan pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses


dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
Menurut Saparinto dan Hidayati pangan olahan yaitu makanan hasil proses
pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan
tambahan. Pangan olahan bisa dibedakan menjadi pangan olahan siap saji
dan tidak siap saji.
6|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

a. Pangan olahan siap saji adalah makanan yang sudah diolah dan siap
disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan,
contoh: pisang goreng dan lain-lain.
b. Pangan olahan tidak siap saji adalah makanan yang sudah mengalami
proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan
lanjutan untuk dapat dimakan atau diminum, contoh: makanan kaleng
dan lain-lain.
c. Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi
kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatan, contoh: susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet
lemak dan lain-lain.
2.5 Ketahanan Pangan
Pangan merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh setiap
manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Pangan yang dimaksud dalam
hal ini adalah pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, yaitu beras, sumber
karbohidrat bagi tubuh. Tercukupinya asupan gizi yang terkandung dalam
pangan dan diserap oleh tubuh dapat menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan,
maka setiap negara akan mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya
sebagai fondasi bagi pembangunan sektor-sektor lainnya (Arumsari dan
Rini, 2007).
Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan
ketahanan pangan dan hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor

tahun

1996

tentang

pangan.

Undang-Undang

tersebut

mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya


pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan yang dimaksud tidak hanya
di tingkat global, nasional, dan regional tapi juga sampai pada tingkat rumah
tangga.
Ketersediaan pangan nasional dan regional tidak menjamin adanya
ketahanan pangan rumahtangga atau individu karena ketersediaan pangan

7|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

dan ketahanan pangan ditentukan oleh akses untuk mendapatkan pangan


(Saliem et al., 2005).
Ketahanan pangan merupakan komitmen Indonesia pada sektor
pembangunan pangan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7
tahun 1996 tentang pangan dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 tahun
2002 tentang ketahanan pangan. Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun
1996 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 tahun 2002 tentang pangan,
ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup
dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Rahayu,
2007). Terdapat beberapa definisi lain tentang ketahanan pangan yang
dikemukakan baik oleh lembaga perbankan maupun hasil konferensi
internasional. Menurut World Bank dalam Indaryanti (2003) mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai akses semua orang pada setiap saat terhadap
pangan yang mencukupi untuk menjamin kehidupan yang aktif dan sehat.
Berdasarkan hasil konferensi internasional World Conference on Human
Right (1993) dalam Saliem (2005), ketahanan pangan didefinisikan sebagai
kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu baik dalam jumlah
maupun mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan
sesuai dengan budaya setempat.
FAO/WHO, 1992 mendefenisikan ketahanan pangan sebagai akses
setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap
waktu untuk keperluan hidup sehat. Ketahanan pangan pada tataran nasional
merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya
memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan
juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis
pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk
mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan
nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).
Ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan (sufficiency),
akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time) (Baliwaty , 2004).
Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan dipandang menjadi
suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu
8|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability dan stability),


kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan pemanfaatan
pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu
sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu
subsistem

ketersediaan

mencakup

pengaturan

kestabilan

dan

kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut


masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian
rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman,
terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga
harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.
Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar proses
peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga
pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses masyarakat
terhadap pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah, belum
menjamin kecukupan pangan bagi individu/masyarakat.
Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat
agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat
mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat
kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang
cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat,
daya tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000).
Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan
pangan tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan
pangan (Suryana, 2003).
BAB III
PEMBAHASAN
Wuri Marsigit (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Pengembangan
Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal Bengkulu untuk Menunjang
Ketahanan

Pangan

Berkelanjutan

menjelaskan

bahwa

kurang

adanya

pemanfaatan potensi sumberdaya alam lokal dan dari hal itu sebisa mungkin
9|Analisis Jurnal Diversifikasi Pangan

masyarakat di daerah tesebut tidak terlalu tergantung pada input dari luar (impor)
untuk memperkuat ketahanan pangan berkelanjutan dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Dengan adanya pengembangan diversifikasi pengolahan pangan lokal
diharapkan mampu menunjang ketahanan pangan yang berkaitan dengan aspek
promosi ketersediaan pangan yang beragam, penanggulangan masalah gizi seperti
adanya kekurangan energi dan protein yang dialami oleh sebagian besar
masyarakat Bengkulu, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat.
Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah penelitian yang
dilaksanakan selama kurang lebih 8 bulan di seluruh kabupaten dan kota yang ada
di provinsi Bengkulu serta responden yang memenuhi kriteria dipilih secara
purposif. Subjeknya adalah sebanyak 107 responden yang diambil di wilayah
pesisir, dataran sedang, dan dataran tinggi. Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan metode survey, wawancara, observasi, dan
dokumentasi obyek- obyek penelitian. Data yang dikumpulkan yakni berupa data
primer dan data sekunder. Untuk data primer yang berupa data bahan baku dan
bahan tambahan pembuatan dianalisa kandungan gizinya dengan menggunakan
Software Computer System Online on Dietry Analysis (SODA), untuk tingkat
higienitas pengolahan dianalisa dengan tingkat penerapan good manufacturing
practice/Cara produksi makanan yang baik dipahami dan dilaksanakan (Anonim,
2008). Sedangkan data sekunder nilai tambah produk pangan olahan dihitung
dengan menggunakan rumus perhitungan nilai tambah menurut Hayami and
Masao (1981).
Hasil penelitian jurnal menyatakan bahwa potensi diversifikasi produk
pangan olahan lokal sangat besar dengan adanya potensi sumber bahan pangan
yang dimiliki oleh setiap wilayah mudah didapat. Hal ini juga dipengaruhi letak
topografi suatu wilayah di Provinsi Bengkulu yang meliputi dataran tinggi,
dataran rendah, dan perairan. Sumber pangan juga dapat dikembangkan sebagai
komoditas di setiap wilayah sehingga sangat potensial dalam upaya mengurangi
hidup

konsumtif

dengan

kecenderungan

hidup

produktif

dengan

cara

memberdayakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi dan kemandirian pangan.


Sebab masyarakat mudah mendapatkan bahan pangan tersebut, mudah diolah, dan
dikonsumsi untuk kebutuhan pangan sehari-hari yang berarti memenuhi empat
aspek ketahanan pangan. Untuk mengenalkan produk pangan olahan ke daerah
10 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

lain diperlukan pengenalan dan promosi yang dilakukan secara terus menerus,
baik melalui penyuluhan, pelatihan, maupun pendampingan. Hal ini akan
membuat masyarakat sadar secara pelahan-lahan akan potensi pangan lokal yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan gizi agar dapat hidup sehat tanpa harus
mengeluarkan dana yang terlalu tinggi, sehingga kesadaran pangan dan gizi akan
berdampak kepada kemandirian pangan, dan pada akhirnya akan menunjang
ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food security). Kandungan gizi dari
dalam sumber bahan pangan lokal dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Jumlah Sampel
No

Sumber Bahan Baku Utama

1
2
3
4
5

Karbohidrat
Protein
Lemak
Vitamin
Mineral
Total

Produk
(n)
(persen)
45
42.06
23
21.50
10
9.35
14
13.08
15
14.02
107
100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kandungan karbohidrat dan


protein tinggi yang dimiliki oleh setiap sumber bahan pangan produk lokal dapat
mengurangi masalah gizi di Provinsi Bengkulu yang secara umum mengalami
kekurangan energi dan protein (KEP) yang dapat menyebabkan anemia gizi besi
dan defisiensi vitamin A. Produk pangan olahan yang dapat mencegah dan
menanggulangi KEP yakni nasi singkong, nasi tiwul, nasi jawawut, bubur ayam
jagung, juada perenggi, otak-otak ikan nila, sala udang, buntil daun talas, rendang
lokan, sate kijing, cendol lidah buaya, urap bunga turi, jus pinang, cumi pare
kelapa muda, telur asin (itik), dan lain-lain. Apabila makanan-makanan tersebut
ditambah atau dipromosikan sebagai pangan olahan lokal Bengkulu dalam menu
makanan maka akan berpotensi besar sebagai produk diversfikasi pangan dan juga
akan menambah citra usaha catering, rumah/warung makan, dan restoran yang ada
di Provinsi Bengkulu.
Penerapan cara produksi makanan yang baik (CPMB) masih memerlukan
upaya-upaya untuk mensosialisasikan dan mengadakan pelatihan-pelatihan agar
produk pangan olahan yang dihasilkan bermutu baik dan terjamin keamanannya.
Dalam pengembangan diversifikasi produk pangan olahan di Bengkulu diperlukan
11 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

pelatihan CPMB yang bertujuan untuk mengetahui apakah produk pangan olahan
tersebut aman dan dapat diterima baik secara fisik, kimia, mikrobiologi, maupun
organoleptik serta baik dikonsumsi untuk rumah tangga atau akan dikomersilkan.
Nilai tambah produk pangan olahan lokal bisa saja meningkat sebab bahan
baku yang tersedia di daerah tersebut sangat besar. Dengan adanya pengembangan
diversifikasi produk pangan olahan lokal maka diharapkan dapat meningkatkan
kegiatan perekonomian. Sehingga pilihan diversifikasi pangan juga meningkat
secara otomatis dalam mempengaruhi ketahanan pangan, dapat dipertahankan dan
atau ditingkatkan secara terus-menerus (berkelanjutan).
Untuk potensi pengembangan produk yang berhubungan dengan ketahanan
pangan, pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian Provinsi Bengkulu fokus pada
ketahanan pangan yang masih berada dalam aspek ketersediaan. Aspek distribusi,
pengolahan hasil dan peningkatan nilai tambah, diversifikasi konsumsi pangan,
serta upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat Bengkulu khususnya dalam
bidang pangan masih belum banyak mendapat perhatian. Di masa mendatang,
fokus pangan dan strategi pengembangannya perlu pengarahan pada implementasi
paradigma baru ketahanan pangan berkelanjutan (Sustainable Food Security
Paradigm). Paradigma ketahahan pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan
empat indikator utama (Sudaryanto dan Rusastra, 2002):
1. Ketersediaan pangan (food availability). Kecukupan kersediaan pangan adalah
penting, tetapi belum cukup menjamin ketahanan pangan bagi masyarakat.
Walaupun pagu (ketersediaan) pangan tersedia cukup, tetapi bila masyarakat
tidak memiliki daya beli yang memadai maka akan terjadi krisis pangan
(hunger paradox), misalnya gizi buruk.
2. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama yang mayoritas tinggal di
pedesaan dan masyarakat miskin kota untuk dapat meningkatkan daya beli
(accessibility).
3. Ketahanan terhadap risiko (vulnerability). Sistem pangan juga harus memiliki
ketahanan yang cukup terhadap risiko penurunan produksi pangan sebagai
akibat faktor alam, krisis keuangan, sosial dan politik. Karena itu jaringan
pengaman sosial (social safety net) adalah komponen penting dari sistem
ketahanan pangan berkelanjutan.

12 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

4. Aspek keberlanjutan (sustainability). Aspek keberlanjutan mensyaratkan tidak


adanya perkembangan negatif dalam jangka panjang (non-negative long term
trend) untuk ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan.
Dalam mengembangkan ketahanan pangan di Provinsi Bengkulu hal yang
perlu diarahkan pada pertanian yakni kegiatan pasca panen, pengolahan dan
pemasaran dengan kegiatan pendukungnya berupa budidaya dan produksi tinggi
yang menjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitas pengembangan ketahanan
pangan. Hal ini akan mampu meningkatkan nilai tambah dalam peningkatan
pendapatan serta peningkatan dan penciptaan lapangan kerja baru. Di dalam
pembangunan

pertanian

Provinsi

Bengkulu

ke

depannya

tidak

hanya

menghasilkan produk segar saja namun juga akan menjual ataupun mengkonsumsi
produk pangan olahan yang apabila dijual akan meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan.
Untuk memenuhi ketersediaan pangan secara kualitas, kuantitas dan
kontinuitas sekaligus dalam penunjang pemberdayaan ekonomi masyarakat,
perbaikan gizi, produktivitas pertanian, dan penciptaan lapangan kerja desa-desa
di Provinsi Bengkulu yang berbasis pertanian perlu dikembangkan sebagai sentra
industri pengolahan pangan agroindustri beserta produk sampingannya yang
mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sehari-hari tanpa harus
konsumtif. Selain itu upaya kemandirian pangan juga harus dikembangkan agar
desa terus menjadi sentra agroindustri dan sentra produksi pangan segar dan
olahan tetapi hal ini juga tidak dapat lepas dari campur tangan Perguruan Tinggi
yang berada di Provinsi Bengkulu yang melakukan pengembangan desa melalui
Tri Dharma.
Pengembangan

diversifikasi

pangan

olahan

lokal

Bengkulu

dapat

memanfaatkan kelompok-kelompok yang sudah terbentuk di pedesaan sebab


penggunaan sarana/media yang sudah ada akan lebih efektif dalam pengembangan
produk olahan. Apabila produk olahan banyak dijumpai di desa berarti banyak
pilihan-pilihan untuk dikonsumsi keluarga dan berperan sebagai diversifikasi
pangan. Selain upaya di atas dapat juga pengembangan produk dilakukan melalui
program aksi desa mandiri pangan yang dicanangkan oleh Badan Ketahanan
Pangan

Provinsi

Bengkulu.

Desa

Mandiri

Pangan

adalah

desa

yang

masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan


13 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan


subsistem konsumsi dengan memanfaatkan sumberdaya setempat secara
berkelanjutan. Di Provinsi Bengkulu Program Desa Mandiri Pangan telah
mencapai 14 Desa Mandiri Pangan yang terbentuk berarti untuk mencapai
program yang dicanangkan akan terwujud. Di dalam pengembangan desa mandiri
pangan harus selalu diarahkan untuk mengembangkan produk olahan wilayah
setempat.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan adanya potensi sumber bahan pangan yang mudah didapat dan
faktor topografi di setiap wilayah di provinsi Bengkulu, potensi diversifikasi
produk pangan olahan lokal menjadi sangat besar. Sehingga sumber pangan
dapat dikembangkan sebagai komoditas di setiap wilayah yang nantinya
akan sangat membantu dalam mengurangi hidup konsumtif masyarakat di
daerah tersebut dengan cara memberdayakan masyarakat dalam kegiatan

14 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

ekonomi dan kemandirian pangan. Hal ini akan menunjang ketahanan


pangan berkelanjutan (sustainable food security).
Dalam pengembangan diversifikasi produk pangan olahan di
Bengkulu diperlukan pelatihan Cara Pengolahan Makanan yang Baik
(CPMB) yang bertujuan untuk mengetahui apakah produk pangan olahan
tersebut aman dan dapat diterima baik secara fisik, kimia, mikrobiologi,
maupun organoleptik serta baik dikonsumsi untuk rumah tangga dan/atau
untuk dikomersilkan. Dengan adanya pengembangan diversifikasi produk
pangan olahan lokal maka diharapkan dapat meningkatkan kegiatan
perekonomian masyarakat di provinsi Bengkulu.
4.2 Saran
Dengan pemanfaatan sumber daya yang sudah tersedia di pedesaan di
provinsi Bengkulu seperti adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
sudah terbentuk, pengembangan diversifikasi pangan olahan lokal akan
lebih efektif. Selain itu, pengoptimalan program aksi Desa Mandiri Pangan
yang dicanangkan oleh Badan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu juga
akan mampu membantu untuk mengembangkan produk pangan olahan lokal
di provinsi Bengkulu.

Daftar Pustaka
Anonim. (2008). Cara Pengolahan/Produksi Yang Baik/Good Manufacturing
Practice (GMP) Pada Produk Pengolahan Hasil Pertanian. Permentan
No.35/Permentan/ OT.140.17./2008. Departemen Pertanian
Anonim. (2008). Laporan Tahunan. Subdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bengkulu
(2008)
Arumsari, Vini dan Wulandari Dwi Etika Rini. 2007. Peran Wanita Tani dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan pada Tingkat Rumahtangga di Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.
13 No.1, April 2008 Hal: 71-82. (Situs Universitas Islam Indonesia
http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/52/150)
II
Tinjauan
Pustaka.______.
Bogor
Agricultural
University
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57975/BAB%20II.

15 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf?sequence=3 (diakses pada tanggal 25


April 2013)
Bab II Tinjauan Pustaka. _______. Bogor Agricultural University
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53146/BAB%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=2 (diakses pada tanggal 25 April
2013)
Bab II Tinjauan Pustaka Chapter II._______. Universitas Sumatera Utara
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20884/3/Chapter%20II.pdf
(diakses pada tanggal 26 April 2013)
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Rencana Aksi Nasional Pangan dan
Gizi 2011-2015
Hayami, Y. dan Masao, K. (1981). Asian Village Economy at the Crossroads.
Tokyo University Press. Tokyo
Indaryanti, Yoyoh. 2003. Analisis Strategi Ketahanan Pangan Komunitas Petani
(Studi Kasus di Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten
Subang, Jawa Barat). Tesis pada Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor. (Tidak diterbitkan). Bogor
Karsin, E. S., 2004. Peranan Pangan dan Gizi Dalam Pembangunan. Dalam Y. F.
Baliwati, A. Khomsan dan M. Dwiriani (Eds), Pengantar Pangan dan Gizi,
Penebar Swadaya, Jakarta
Nuraripin, Adi Purnama. _______. Diversifikasi Pangan Untuk Mengatasi Krisis
Pangan
Di
Indonesia.
Bogor
Agricultural
University
http://www.ipb.ac.id/lombaartikel/pendaftaran/uploads/tpb/pertanian-danpangan/Diversifikasi.pdf (diakses pada tanggal 26 April 2013)
Prasetyo, Edi, Mukson. 2003. Kajian Pemasaran Produk Pangan Olahan di
Beberapa Kabupaten di Jawa Tengah. Universitas Diponegoro
http://eprints.undip.ac.id/967/1/laporan_penelitian_edy_pras.pdf (diakses pada
tanggal 26 April 2013)
Rahayu, Dewi. 2007. Analisis Program Pemberdayaan Masyarakat PT Riau
Andalan Pulp And Paper Dalam Kaitannya dengan Upaya Peningkatan
Ketahanan Pangan Rumahtangga. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor. (Tidak diterbitkan). Bogor
Saliem, Handewi Purwanti, Adreng Purwoto, Gatoet Sroe Hardono, Tri Bastuti
Purwantini, Yana Supriyatna, Yuni Marisa, dan Waluyo. 2005. Manajemen
Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah dan Perum BULOG. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Marsigit, Wuri. 2010. Pengembangan Diversifikasi Produk Pangan Olahan Lokal
Bengkulu untuk Menunjang Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Jurusan
Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
http://repository.unib.ac.id/225/1/Paper%20Pak%20Wuri.pdf. (diakses pada
tanggal 26 April 2013)
16 | A n a l i s i s J u r n a l D i v e r s i f i k a s i P a n g a n

Anda mungkin juga menyukai