Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA”

Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Ketahanan Pangan
Semester Genap / Tahun 2022

Dosen Pengampu :

Yeni Widyastuti, S.Sos.,M.Si

Disusun Oleh :
Farhan Difa Chairullah
6661210151
2C

ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2022
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketahanan pangan di Indonesia dapat dikatakan masih rentan, salah satunya
ditandai dengan masih adanya angka kelaparan. Kondisi ini disebabkan oleh upaya
pemenuhan kebutuhan dan permintaan pangan di Indonesia yang masih terkendala
berbagai faktor salah satunya faktor alam yaitu perubahan iklim. Dampak dari
perubahan iklim mempengaruhi sistem pangan termasuk produksi, penyimpanan,
akses dan stabilitas harga pangan. Indonesia termasuk negara yang memiliki
ketahanan pangan paling rawan terkena dampak perubahan iklim di wilayah Asia
Tenggara.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan?
2. Apa dampak perubahan iklim terhadap ketahan pangan?
3. Apa metode yang dilakukan pemerintah untuk menghadapi perubahan iklim
terhadap ketahan pangan?

1.3 Tujuan
1. Memahami apa itu ketahanan pangan.
2. Mengetahui dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan.
3. Mengetahui metode pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan karena faktor
perubahan iklim.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pangan


Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus selalu dipenuhi. Hak
atas pangan adalah hak asasi manusia, yang termaksut dalam Pasal 27 UUD 1945 dan
Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan-pertimbangan inilah yang mendasari
diterbitkannya Undang-Undang Nomor. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar
dan bagian dari hak asasi manusia, pangan memiliki arti dan peran yang sangat penting
dalam kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan di bawah permintaan dapat
menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik juga mungkin
terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Situasi pangan yang vital ini bahkan dapat
membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Bagi Indonesia, makanan sering diidentikkan dengan nasi karena merupakan
makanan pokok. Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa gangguan ketahanan
pangan seperti lonjakan harga beras pada masa krisis ekonomi 1997/1998, yang berubah
menjadi krisis multidimensi, menyebabkan kerawanan sosial hingga merugikan
kesehatan manusia, stabilitas ekonomi, dan stabilitas nasional. Nilai strategis beras juga
karena beras merupakan makanan pokok terpenting. Industri beras memiliki pengaruh
besar pada sektor ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan
dinamika ekonomi pedesaan, seperti gaji yang baik), lingkungan (menjaga penggunaan
air dan membersihkan udara) dan nilai-nilai sosial politik (seperti perekat bangsa,
menciptakan keamanan dan ketertiban). Beras juga merupakan sumber utama nutrisi
termasuk kalori, protein, lemak, dan vitamin. Mengingat pentingnya beras, Pemerintah
selalu berupaya meningkatkan ketahanan pangan, terutama dengan meningkatkan
produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia
karena jumlah penduduk yang lebih besar dengan sebaran penduduk yang luas dan
cakupan geografis yang tersebar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat,
Indonesia membutuhkan pasokan dan distribusi pangan yang cukup, konsumsi yang
cukup, serta cadangan nasional yang cukup untuk memenuhi kebutuhan logistik yang luas
dan tersebar. Indonesia harus menjaga ketahanan pangannya.
2.2 Ketahanan Pangan.
Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai
mengemuka saat terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia pada 1971.
Sebagai kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pertama kali digunakan oleh PBB
untuk membebaskan dunia, terutama negara-negara sedang berkembang dari krisis
produksi dan suplai makanan pokok. Fokus ketahanan pangan pada masa itu, sesuai
dengan definisi PBB adalah menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan
membebaskan dunia dari krisis pangan. Definisi tersebut kemudian disempurnakan pada
International Conference of Nutrition pada 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara
anggota PBB, yakni tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang, baik
dalam jumlah maupun mutu pada setiap individu untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
Maknanya adalah tiap orang setiap saat memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap
pangan yang cukup agar hidup sehat dan produktif (Hakim 2014).
World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan terjadi
apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi
mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi
kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat (Safa’at, S
2013).
Beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur
pokok , yaitu ketersediaan pangan dan aksesesabilitas masyarakat terhadap pangan
tersebut. Ketersediaan dan kecukupan pangan mencakup kuantitas dan kualitas bahan
pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk
menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Penyediaan pangan dapat
ditempuh melalui produksi sendiri dan impor dari negara lain. Komponen kedua yaitu
aksesbilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui
pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang
dapat disempurnakan melalui kebijakan niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra
produksi sampai ke tangan konsumen (Arifin 2001).
Di Indonesia konsep ketahanan pangan dituangkan dalam Undang-undang No.7
Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam definisi tersebut ditegaskan lima bagian dalam
konsep tentang ketahanan pangan tersebut, yaitu:
a. Terpenuhinya pangan yang cukup dari segi jumlah (aspek ketersediaan/ availabelity),
yaitu bahwasanya pangan ada dan jumlahnya mencukupi bagi masyarakat, baik yang
bersifat nabati maupun hewani.
b. Terpenuhinya mutu pangan (aspek kesehatan/ healthy), yaitu bahwasanaya pangan
yang ada atau diadakan memenuhi standar mutu yang baik dan layak untuk dikonsumsi
manusia. Kaitannya dalam pemenuhan kebutuhan gizi mencukupi kebutuhan akan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
c. Aman (aspek kesehatan/ healthy), yaitu bahwasanya pangan yang dikonsumsi
memenuhi standar kesehatan bagi tubuh dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat
membahayakan kesehatan manusia.
d. Merata (aspek distribusi/distribution), yaitu bahwasanya pangan terjamin untuk
distribusi secara merata ke setiap daerah sehingga pangan mudah diperoleh masyarakat.
e. Terjangkau (aspek akses), yaitu bahwasanya pangan memungkinkan untuk diperoleh
masyarakat dengan mudah dan harga wajar.
Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) mengemukakan tiga pilar
ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan
pangan (utilitas). Ketersediaan pangan menyangkut kemampuan individu memiliki
sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasarnya. Sementara itu, aksesibilitas
pangan berkaitan dengan cara seseorang mendapatkan bahan pangan. Sedangkan utilitas
pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan berkualitas (Hakim
2014). Ketahanan pangan didefinisikan sebagai: “Ketahanan pangan terjadi apabila
semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai
akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan
pangan mereka dan pilihan untuk hidup aktif dan sehat”. Pemerintah Indonesia melalui
Dewan Ketahanan Pangan bekerja sama dengan World Food Programme (WFP)
membuat Food Insecurity Atlas (FIA) tingkat kabupaten. Pertama diluncurkan Food
Insecurity Atlas pada tahun 2005, lalu diperbaharui lagi dengan membuat Food Security
and Vulnerability Atlas (FSVA) tahun 2009 yang dibuat berdasarkan pendekatan:
ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan (Dewan Ketahanan Pangan
2009).
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Ketahanan Pangan


Ketahanan pangan menjadi salah satu isu global yang tercantum dalam agenda
Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yaitu untuk mengakhiri kelaparan,
mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik serta mendukung pertanian
berkelanjutan. Menurut Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2018, ketahanan pangan
merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan. Ketahanan pangan di Indonesia diukur menggunakan Indeks
Ketahanan Pangan (IKP) yang merupakan indeks komposit. Indeks ini menilai situasi
ketahanan pangan dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan
pangan. Hasil laporan dari Indeks Ketahanan Pangan tahun 2018 yaitu nilai Indeks
Ketahanan Pangan (IKP) sebanyak 81 dari 416 kabupaten serta sebanyak 7 kota masih
memiliki skor IKP yang rendah menunjukkan bahwa kondisi ketahanan pangan di
Indonesia masih rentan. Upaya mencapai ketahanan pangan yang diinginkan masih
menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Kondisi ketahanan pangan yang kuat salah
satunya ditandai dengan angka kelaparan yang rendah atau bahkan tidak ada lagi
kelaparan, hal ini dapat dilihat dari Global Hunger Index (GHI). Hasil perhitungan Global
Hunger Index (GHI) tahun 2018 menunjukkan bahwa kelaparan di Indonesia saat ini
berada pada kondisi serius dengan nilai indeks sebesar 21.9 dan berada pada peringkat
ke-72 dari 119 negara. Selain itu, dibandingkan dengan ketujuh negara ASEAN lainnya
yaitu Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Filipina, Kamboja, dan Laos, kondisi
kelaparan di Indonesia berada pada peringkat kedua tertinggi setelah Laos. Kondisi buruk
dalam ketahanan pangan ini disebabkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan dan
permintaan pangan di Indonesia yang masih terkendala oleh berbagai faktor salah satunya
adalah faktor alam yaitu perubahan iklim.
3.2 Dampak Perubahan Iklim.
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang didukung oleh kondisi geografis
berupa dataran rendah dan tinggi, sinar matahari yang melimpah, curah hujan yang
hampir merata sepanjang tahun di sebagian wilayah, dan keanekaragaman jenis tanah
yang memungkinkan pengembangan budidaya aneka jenis tanaman asli daerah tropis,
serta komoditas introduksi dari daerah subtropis yang telah beradaptasi dengan kondisi
iklim tropis (Hadi dan Susilowati 2010). Swasembada beras amat penting mengingat
komoditas ini menjadi makanan pokok dan cenderung tunggal di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan
beras (Lantarsih et al. 2011). Namun upaya untuk berswasembada beras dihadapkan
kepada berbagai kendala, diantaranya perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim ekstrim berupa kekeringan menempati urutan pertama


penyebab gagal panen. Kondisi ini berimplikasi terhadap penurunan produksi dan
kesejahteraan petani (Hadi et al. 2000). Selain berpengaruh langsung terhadap tingkat
produksi tanaman pangan, perubahan iklim juga memiliki pengaruh tidak langsung yang
dapat menurunkan produktivitas tanaman pangan dengan meningkatnya serangan hama
dan penyakit. Pada musim hujan, berkembang penyakit tanaman seperti kresek dan blas
pada tanaman padi, antraknosa pada cabai, dan sebagainya. Pada musim kemarau
berkembang hama penggerek batang padi, hama belalang kembara, dan thrips pada cabai
(Wiyono 2007). Terdapat hubungan erat antara perubahan iklim dan produksi pertanian
(Winarto et al. 2013). Pengaruh perubahan iklim terhadap pertanian bersifat
multidimensional, mulai dari sumber daya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi,
hingga ketahanan pangan, kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.

Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Iklim :

1. Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca atau ‘Greenhouse effect’ adalah keadaan ketika panas (radiasi
matahari) terperangkap di atmosfer (lapisan troposfer). Hal tersebut membuat suhu
permukaan bumi menjadi lebih hangat. Fenomena tersebut disebabkan oleh gas rumah
kaca yang dihasilkan oleh alam atau aktivitas manusia. Sayangnya, kegiatan manusia
yang tidak ramah lingkungan justru menghasilkan gas rumah kaca yang berlebihan.
Akibatnya, semakin banyak panas yang terperangkap dan membuat bumi menjadi lebih
hangat. Inilah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. gas rumah kaca adalah
gas di atmosfer yang dapat menyerap dan memantulkan radiasi matahari. Gas rumah kaca
dihasilkan dari aktivitas manusia, antara lain CO2, CFC, CH4, dan sebagainya. Tetapi
ada juga gas rumah kaca yang dihasilkan oleh proses alami. Aktivitas manusia yang
menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar antara lain; Pembakaran bahan bakar
fosil, seperti mengendarai kendaraan bermotor, Deforestasi, Pertanian dan peternakan,
Penggunaan chlorofluorocarbon (CFC) untuk lemari es dan aerosol, Limbah gas industri,
dan lain-lain.

2. Pemanasan Global

Fenomena perubahan iklim berawal dari pemanasan global. Pemanasan global


merupakan keadaan dimana suhu bumi mengalami kenaikan dibandingkan sebelumnya.
Kenaikan suhu tersebut disebabkan oleh peningkatan emisi gas karbon dioksida dan gas
rumah kaca lainnya. Akibatnya, gas rumah kaca akan memerangkap panas di bumi
sehingga terjadi kenaikan suhu. Hal tersebut akhirnya mempengaruhi keadaan iklim yang
berdampak kepada perubahan pola cuaca.

3. Kerusakan Lapisan Ozon

Lapisan ozon (O3) terletak di stratosfer dan berfungsi untuk menghalau radiasi
ultraviolet B (UV-B) dari matahari. Jika terjadi kerusakan pada lapisan ozon, maka bumi
akan mudah terpapar radiasi sinar UVB. Radiasi UVB berbahaya karena dapat merusak
susunan DNA. Pada manusia, UVB menyebabkan timbulnya penyakit kanker kulit dan
katarak. Tidak hanya manusia, UVB juga berbahaya bagi makhluk hidup lain sehingga
berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Gas rumah kaca yang menyebabkan
kerusakan lapisan ozon adalah CFC.

Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan


iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini karena
tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap
cekaman, terutama kelebihan dan kekurangan air. Secara teknis, kerentanan sangat
berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi
pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las et al. 2008). Tiga faktor
utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor
pertanian adalah: 1) perubahan pola hujan, 2) meningkatnya kejadian iklim ekstrim
(banjir dan kekeringan), dan 3) peningkatan suhu udara dan permukaan air laut (Salinger
2005).
Perubahan pola hujan telah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia sejak
beberapa dekade terakhir, seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi,
dan maju di lokasi lain. Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan, jumlah bulan
dengan curah hujan ekstrim cenderung meningkat dalam 50 tahun terakhir, terutama di
kawasan pantai. Hasil analisis pada 26 stasiun hujan di Jawa Timur dengan periode data
25-40 tahun mengindikasikan telah terjadi tren penurunan curah hujan musiman dan
tahunan (Boer dan Buono 2008). Runtunuwu dan Syahbuddin (2007) menyatakan bahwa
pada periode 1879- 2006, telah terjadi penurunan jumlah curah hujan dan perubahan pola
hujan di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mengakibatkan pergeseran awal musim dan masa
tanam dan menurunkan potensi satu periode masa tanam padi Perubahan pola curah hujan
juga menurunkan ketersediaan air pada waduk, terutama di Jawa. Sebagai contoh, selama
10 tahun rata-rata volume aliran air dari DAS Citarum yang masuk ke waduk menurun
dari 5,70 miliar m3 /tahun menjadi 4,90 miliar m3 /tahun (PJT 2 2009). Kondisi tersebut
berimplikasi terhadap turunnya kemampuan waduk Jatiluhur mengairi sawah di Pantura
Jawa. Kondisi yang sama ditemui pada waduk lain di Jawa Tengah, seperti Gajah
Mungkur dan Kedung Ombo. Dengan kondisi perubahan curah hujan tersebut, jika petani
tetap menerapkan pola tanam seperti kondisi normal maka kegagalan panen akan semakin
sering terjadi. Dengan penurunan curah hujan dan ketersediaan air waduk, petani juga
perlu mengubah pola tanam padi-padi menjadi padi-non padi.

3.3 Upaya Pemerintah mengatasi perubahan iklim


Dampak perubahan iklim yang begitu besar merupakan tantangan bagi sektor
pertanian. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan
iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukan untuk menyiapkan
strategi mitigasi dan adaptasi. Pengkajian dampak perubahan iklim telah dilakukan antara
lain terhadap :
1) sumber daya pertanian, seperti pola curah hujan dan musim (aspek
klimatologis), sistem hidrologi dan sumber daya air (aspek
hidrologis), serta keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di
sekitar pantai,
2) infrastruktur/sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem
irigasi dan waduk
3) sistem produksi pertanian, terutama sistem usaha tani dan
agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas
dominan, produksi.
4) aspek sosial-ekonomi dan budaya.
Berdasarkan kajian dampak tersebut telah dihasilkan berbagai teknologi mitigasi
untuk mengurangi emisi GRK, perbaikan aktivitas/praktek dan teknologi pertanian, serta
teknologi adaptasi dengan melakukan penyesuaian dalam kegiatan dan teknologi
pertanian. Teknologi mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dari lahan pertanian antara
lain adalah penggunaan varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan.
Teknologi adaptasi bertujuan melakukan penyesuaian terhadap dampak dari perubahan
iklim untuk mengurangi risiko kegagalan produksi pertanian. Teknologi adaptasi meliputi
penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan
salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air.

1. Penggunaan pupuk ZA sebagai sumber pupuk N.


Sumber pupuk N seperti ZA dapat menurunkan emisi gas metana 6%
dibandingkan dengan urea bila pupuk disebar di permukaan tanah, dan menurunkan emisi
metana hingga 62% jika pupuk ZA dibenamkan ke dalam tanah (Lindau et al. 1993).
Namun, cara ini tidak dapat dipraktekkan pada semua lokasi, dan sebaiknya diterapkan
pada tanah kahat S dan atau pH tinggi. Emisi gas metana dengan menggunakan pupuk
ZA mencapai 157 kg CH4 /ha/musim (Mulyadi et al. 2001), lebih rendah 12%
dibandingkan bila menggunakan pupuk urea yang mengemisikan metana 179 kg CH4 /
ha/musim (Setyanto et al. 1999).
2. Aplikasi teknologi tanpa olah tanah.
Pengolahan tanah secara kering dapat menekan emisi gas metana dari tanah
dibandingkan dengan pengolahan tanah basah atau pelumpuran. Hal ini karena
perombakan bahan organik berlangsung secara aerobik sehingga C terlepas dalam bentuk
CO2 yang lebih rendah tingkat pemanasannya dibanding CH4 .

3. Teknologi irigasi berselang.


Selain menghemat air, teknologi irigasi berselang (intermittent) dapat mengurangi
emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan air irigasi dapat dilakukan dengan cara
pengairan berselang (mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik dalam
jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering,
lalu diairi lagi).

4. Teknologi Adaptasi Penyesuaian waktu dan pola tanam.


Penyesuaian waktu dan pola tanam merupakan upaya yang sangat strategis guna
mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim dan
perubahan pola curah hujan.
Penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas. Dalam
mengantisipasi iklim kering, Kementerian Pertanian telah melepas beberapa
varietas/galur tanaman yang toleran terhadap iklim kering, yaitu padi sawah varietas
Dodokan dan Silugonggo, dan galur harapan S3382 dan BP23; kedelai varietas
Argomulyo dan Burangrang serta galur harapan GH SHR/WIL-60 dan GH 9837/W-D-5-
211; kacang tanah varietas Singa dan Jerapah; kacang hijau varietas Kutilang dan galur
harapan GH 157D-KP-1; serta jagung varietas Bima 3 Bantimurung, Lamuru,
Sukmaraga, dan Anoman. Salah satu dampak dari naiknya permukaan air laut adalah
meningkatnya salinitas, terutama di daerah pesisir pantai. Salinitas pada padi sangat erat
kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan Al. Sejak tahun 2000 telah
dilepas beberapa varietas padi yang tahan terhadap salinitas, yaitu varietas Way Apo
Buru, Margasari, dan Lambur, dan diperoleh beberapa galur harapan GH TS-1 dan GH
TS-2. Lahan rawa memiliki potensi dan prospek yang besar untuk pengembangan
pertanian, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Lahan tersebut
sepanjang tahun atau selama waktu tertentu selalu jenuh air (saturated) atau tergenang
(waterlogged) air dangkal.

5. Teknologi irigasi.
Teknologi irigasi yang sudah dikembangkan untuk mengatasi cekaman air pada
tanaman adalah sumur renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes, irigasi macak-macak, irigasi
bergilir, dan irigasi berselang. Penerapan teknik irigasi tersebut bertujuan memenuhi
kebutuhan air tanaman pada kondisi ketersediaan air yang sangat terbatas dan
meningkatkan nilai daya guna air.
BAB 4
PENUTUP
Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu, tetapi telah menjadi kenyataan yang
memerlukan tindakan nyata secara bersama pada tingkat global, regional maupun
nasional. Dalam menyikapi perubahan iklim, Kementerian Pertanian telah menyusun
suatu strategi yang meliputi tiga aspek, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Strategi
antisipasi dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk
meminimalkan dampak negatifnya terhadap sektor pertanian. Adaptasi merupakan
tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif
perubahan iklim. Upaya tersebut akan bermanfaat dan lebih efektif bila laju perubahan
iklim tidak melebihi kemampuan upaya adaptasi. Oleh karena itu, perlu diimbangi dengan
upaya mitigasi, yaitu mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas
rumah kaca.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian. Peta Ketahanan Dan Kerentanan Pangan
(Food Security And Vulnerability Atlas) 2019. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan
Surmaini, E., Runtunuwu, E., & Las, I. (2015). Upaya sektor pertanian dalam menghadapi
perubahan iklim. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 30(1), 1-7.
Upaya menjaga Ketahanan Pangan Indonesia. (2020, January 15). Ditjen SDA.
https://sda.pu.go.id/balai/bwssumatera1/article/upaya-menjaga-ketahanan-pangan-
indonesia
Suryana, A. (2019). Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional Berkelanjutan : Kebijakan dan
Capaian.PT Penerbit IPB Press.
Petuguran, R. (n.d.). Strategi mewujudkan Ketahanan Pangan. Unnes. Retrieved June 6, 2022,
from https://unnes.ac.id/pakar/strategi-mewujudkan-ketahanan-pangan
https://www.ruangguru.com/blog/apa-saja-faktor-penyebab-perubahan-iklim diakses pada, 7 juni
2022 jam 14.21 WIB.

Anda mungkin juga menyukai