Disusun oleh:
Kelompok 1
1. Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan suatu
Negara (Simatupang, 2007). Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sektor
pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena sektor ini menjadi penyedia
pangan utama (Sumastuti, 2010), lebih-lebih negara yang sedang berkembang, karena
memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama pembangunan dan salah satu
instrumen utama pembangunan ekonomi. Fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat
untuk terjaminnya akses pangan determinan utama dari inovasi ilmu pengetahuan,
teknologi dan tenaga kerja produktif serta fungsi ketahanan pangan sebagai salah satu
determinan lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan. Setiap
negara senantiasa berusaha membangun sistem ketahanan pangan yang mantap. Oleh
sebab itu sangat rasional dan wajar kalau Indonesia menjadikan program pemantapan
ketahanan pangan nasional sebagai prioritas utama pembangunannya.
2. Tujuan
1) Gambarkan pohon masalah
2) Pertanyaan:
a. Apa pengertian ketahanan pangan menurut UU pangan Nomor 18 tahun 2012?
b. Aspek apa saja yang penting dari pengertian ketahanan pangan tersebut, berikan
penjelasan ?
c. Apa yang dimaksud dengan konsep kedaulatan pangan dan kemandirian pangan,
berikan penjelasan ?
d. Bandingkan pengertian ketahanan pangan menurut UU No. 7 tahun 1996
(lama)dengan UU N0.18 tahun 2012 (baru), buatkan matriks.
e. Apa yang dimaksud dengan swasembada pangan ? Komoditi manakah yang saat
ini sudah mengalami swasembada di Indonesia?
f. Parameter apa saja yang digunakan untuk mengukur kinerja ketahanan pangan ?
g. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang
berkelanjutan?
h. Jelaskan alternatif- alternatif arah kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk
mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan ?
i. Strategi apa yang dapat digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara
optimal?
j. Jelaskan dampak yang terjadi bila ketahanan pangan tidak tercapai?
3) Apa pendapat saudara mengenai berita bahwa pemeliharaan ternak sapi dapat
merusak lingkungan karena setara dengan pemborosan bahan bakar?
4) a.Jelaskan bagaimana hubungan ketahanan pangan dengan kesehatan global ,
khususnya di Indonesia?
b. Siapa saja yang terlibat dan bagaimana peran masing-masing dalam mengatasinya?
BAB II
PEMBAHASAN
Ketahanan pangan dalam tatanan ekonomi global dan nasional yang berkelanjutan sangat
didambakan oleh setiap negara tidak terkecuali Indonesia. Ketahanan pangan bersifat
multidimensi dan mencakup aspek ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Berbagai masalah
dan tantangan dihadapi oleh berbagai negara guna mewujudkan ketahanan pangan yang
berkelanjutan . Identifikasi masalah dan tantangan tersebut dapat dilakukan melalui analisis
penawaran dan analisis permintaan pangan . Diperlukan terobosan kebijakan untuk
mengatasi tantangan kebijakan ketahanan pangan di masa mendatang.
2. Pertanyaan:
a. Pengertian ketahanan pangan menurut UU pangan Nomor 18 tahun 2012
- Ada beberapa aspek penting dalam ketahanan pangan. Aspek ketahanan pangan
dibagi menjadi 2:
a) Aspek Internal
- Aspek Ketersediaan Pangan: Ketersediaan pangan memiliki dua sisi, yaitu: sisi
pasokan pangan dan sisi kebutuhan pangan penduduk. Pada sisi pasokan,
ketersediaan pangan terkait dengan kapasitas produksi dan perdagangan
(impor/ekspor) pangan. Tergantung pada kapasitas produksi yang dimilikinya,
sumber pasokan pangan suatu negara dapat bersumber dari roduksi domestik,
impor atau kombinasi produksi domestik dan impor.
- Aspek Stabilitas Penyediaan Pangan: Sistim produksi pangan tersusun atas unit-
unit usahatani dimana para petani membudidayakan tanaman dan atau hewan
untuk memproduksi bahan pangan yang bersifat musiman dan spesifik lokasi.
Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang stabil memerlukan sistim manajemen
logistik dan distribusi pangan yang dapat secara efektif dan efisien menselaraskan
disparitas produksi dan konsumsi pangan antar waktu dan tempat.
- Aspek Aksesibilitas Penyediaan Pangan: Ketersediaan pangan yang cukup dan
stabil lintas waktu dan wilayah saja belumlah dapat menjamin bahwa setiap orang
akan memperoleh pangan yang dibutuhkannya. Pada masa sekarang, dimana
bahan pangan merupakan komoditas ekonomis dan kebanyakan orang tidak
memproduksi sendiri bahan pangan yang dibutuhkannya, seseorang yang tidak
memiliki daya beli umumnya akan menghadapi kesulitan untuk memproleh bahan
pangan yang dibutuhkannya.
- Aspek konsumsi: Untuk hidup sehat dan aktif seseorang perlu mengkonsumsi
pangan yang higenis, dan mengandung gizi memenuhi kebutuhan asupan gizi
tubuhnya. Standar kecukupan asupan gizi yang berlaku di Indonesia, misalnya,
adalah sebanyak 2.000 kilo kalori pet kapita per hari. Pangan dengan kandungan
gizi yang cukup diproleh dengan mengkonsumsi makanan yang berbahan
mengandung gizi dalam jumlah cukup, berimbang, dan tidak mengalami
penyusutan dalam proses pengolahannya. Oleh karena itu, pada tingkat mikro,
upaya penguatan ketahanan pangan juga perlu memperhatikan kecukupan asupan
gizi, pola konsumsi pangan, kualitas pengolahan pangan, kualitas air, dan sanitasi
lingkungan, disamping kecupan perolehan kebutuhan pangan penduduknya.
b) Aspek Eksternal
Menurut Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, untuk perbedaan UU No.
7 tahun 1996 (lama) dengan UU N0.18 tahun 2012 (baru) sebagai berikut
Berikut skema untuk perbedaan antara UU No 7 Tahun 1996 dengan UU No 18 Tahun 2012
Ketahanan pangan hanya didasarkan pada Ketahanan pangan didasarkan pada kondisi
konidisi rumah tangga pangan bagi siapa saja hingga perorangan
Tidak mengaitkan agama, keyakinan dan Makanan dikatakan aman, jika mengaitkan
budaya masyarakat untuk pangan yang dengan agama, keyakinan dan budaya
dikatakan aman masyarakat
Tidak menjelaskan tentang kedaulatan Sumber hayati dijelaskan lebih rinci yaitu
pangan dan kemandirian pangan meliputi produk pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan, perairan
dan air
Cadangan pangan hanya meliputi cadangan Cadangan pangan meliputi cadangan pangan
pangan pemerintah dan masyarakat nasional, pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, pemerintah
desa, dan masyarakat
Tidak menjelaskan tentang jenis pangan Menjelaskan jenis pangan seperti pangan
(hanya menjelaskan pengertian pangan local, pangan segar, pangan pokok dan
olahan) dan stakeholder terkait pangan pangan olahan serta menjelaskan tentang
petani, nelayan, pembudi daya ikan, pelaku
usaha pangan, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
Tidak menjelaskan terkait asas tentang Penjelasan tentang sanitasi pangan lebih
penyelenggaraan pangan singkat, padat dan jelas yaitu menghapus
poin tentang sarana prasarana pas UU no 7
tahun 1996 karena sarana prasarana sudah
termasuk pada poin 1 pasal 70 pada UU no
18 tahun 2012
e. Apa yang dimaksud dengan swasembada pangan ? Komoditi manakah yang saat ini
sudah mengalami swasembada di Indonesia?
Berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut terbukti telah memberikan dampak
yang sangat positif, antara lain: (1) produksi padi tahun 2016 sebesar 79,1 juta ton GKG
atau naik 4,97% dari tahun 2015 sebesar 75,4 juta ton, (2) produksi jagung tahun 2016
sebesar 23,2 juta ton atau naik 18,10% dari tahun 2015 sebesar 19,6 juta ton, (3) produksi
bawang merah sebesar 1,3 juta ton atau naik 5,74% dari tahun 2015 sebesar 1,2 juta ton,
(4) produksi aneka cabai sebesar 2,1 juta ton atau naik 9,95% dari tahun 2015 sebesar 1,9
juta ton, (5) impor jagung turun sebanyak 66,6% (3,22 juta ton tahun 2015 menjadi 1,07
juta ton tahun 2016), (6) impor bawang merah turun sebanyak 93,2% (17,43 juta ton
tahun 2015 menjadi 1,19 juta ton tahun 2016), dan (7) impor beras medium turun 100%
(1,15 juta ton tahun 2015 menjadi nol di tahun 2016), (8) Nilai Tukar Petani (NTP) naik
0,06% (101,59 tahun 2015 menjadi 101,66 tahun 2016), (8) Nilai Tukar Usaha Pertanian
naik 2,31% (107,45 tahun 2015 menjadi 109,93 tahun 2016), dan (9) jumlah penduduk
miskin turun 1,51% (17,94 juta jiwa tahun 2015 menjadi 17,67 juta jiwa tahun 2016).
Produksi padi pada tahun 2016 sebesar 79,14 juta ton GKG atau sebesar 103,83% dari
target sebesar 76,22 juta ton GKG, sehingga masuk kategori sangat berhasil. Capaian
kinerja ini merupakan capaian tertinggi selama 6 tahun terakhir.
Hingga bulan Agustus 2017 stok Bulog saat ini 1,74 juta ton aman untuk 8 bulan
ke depan atau hingga bulan April 2018. Rencana serap pada periode bulan Agustus-
Desember 2017 yaitu sebesar 1,15 juta ton dan diharapkan mampu menaham hingga 5
bulan berikutnya atau September 2018. Rata-rata Stock CBP pada kurun waktu tahun
2011–2017 adalah 252.240 ton/tahun, sedangkan pemanfaatannya sebesar 183.222
ton/tahun. Adapun stok CBP per 21 Agustus 2017 mencapai 292.087 ton. Stok CBP layak
adalah sebesar 225 ribu ton/tahun. Produksi padi 2017 lebih tinggi dari 2016, harga beras
di produsen 2017 lebih rendah, tetapi serap Bulog pada perionde bulan Januari - Juli 2017
turun 409 ribu ton (21%) dari tahun 2016. Pada saat panen puncak yaitu bulan Februari-
April 2017, Bulog hanya serap 28% beras dari 65% target setahun.
a. Mewujudkan kesejahteraan petani melalui peningkatan daya saing dan nilai tambah
produk pertanian pangan, menjaga nilai tukar petani, serta mengembangkan pertanian
korporasi.
b. Meningkatkan efisiensi produksi pangan melalui berbagai sistem dan model pertanian
maju dan modern.
c. Menjaga dan melestarikan lingkungan pertanian sehingga tidak berdampak merusak
proses produksi, kuantitas, dan kualitas produk pertanian.
d. Menekan risiko usaha tani dan mengupayakan jaminan risiko berusaha tani agar
mampu mempertahankan dan meningkatkan daya tarik usaha di bidang pertanian,
tidak hanya tanaman pangan.
e. Menjaga momentum peningkatan produksi pangan secara konsisten dengan mengatasi
kendala teknis di lapangan, dengan menjaga kesiapan dukungan infrastruktur serta
sarana dan prasarana serta permodalan dalam produksi pangan untuk mengatisipasi
dinamika lingkungan strategis (termasuk perubahan iklim) yang mempengaruhi
proses produksi pertanian.
f. Melanjutkan dan mendorong lebih kuat sinergi antarsektor dan subsektor dalam
mewujudkan swasembada pangan yang telah dicapai.
g. Mewariskan semangat kerja keras untuk swasembada pangan dan mewujudkan
kedaulatan pangan pada generasi selanjutnya secara berkesinambungan.
h. Menjaga political will pemerintah dalam swasembada pangan dan kedaulatan pangan
pada masa pemerintahan sekarang dan akan datang, melalui dukungan berbagai
kebijakan yang nyata dan positif.
i. Meningkatkan SDM pertanian secara nyata dan berkesinambungan.
j. Menciptakan, mengembangkan, dan memanfaatkan inovasi teknologi pertanian secara
konsisten untuk mengatasi kelemahan, menjawab tantangan, memanfaatkan peluang,
dan mengantisipasi ancaman dalam pembangunan pertanian.
f. Parameter apa saja yang digunakan untuk mengukur kinerja ketahanan pangan?
Secara periodik Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyusun neraca pangan, yang
menyajikan data produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi nasional.
Perkiraan volume konsumsi pangan nasional diperoleh dari perkalian antara total
penduduk Indonesia dengan konsumsi pangan per kapita.
Data konsumsi pangan per kapita dihitung dengan memanfaatkan data konsumsi per
kapita pada tingkat rumah tangga dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
yang dilakukan BPS dan berbagai variabel lain, seperti konsumsi pangan di luar
rumah tangga, pemanfaatan pangan oleh institusi khusus seperti lembaga
pemasyarakatan, rumah sakit, serta sarana transportasi penumpang, dan sebagai bahan
baku bagi industri pengolahan pangan, termasuk penggunaan oleh hotel, restoran, dan
katering. Selain itu, diperhitungkan pula keperluan untuk benih, susut, dan tercecer
(Badan Ketahanan Pangan, 2014).
Indonesia berhasil mencapai sasaran swasembada pangan untuk tiga komoditas, yaitu
beras (indeks swasembada >120 %), jagung (indeks >115 %), dan gula konsumsi
(indeks >120 %). Sementara itu, indeks swasembada untuk kedelai sekitar 40 persen
dan untuk daging sapi sekitar 75 persen
Komitmen Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan pangan saat ini difokuskan pada
pencapaian swasembada pangan, khususnya untuk swasembada tujuh komoditas yaitu
padi, jagung, kedelai, daging sapi/kerbau, tebu, cabai dan bawang merah. Salah satu
capaian indikator yang digunakan untuk mengukur tersedianya pangan komoditas
stratagis nasional adalah rasio ketersediaan terhadap kebutuhan komoditas pangan
strategis mencapai 100%.
Pangan yang tersedia dihitung dari produksi domestik ditambah impor dikurangi
ekspor pada tahun yang bersangkutan. Sebagai contoh minyak sawit dan terigu yang
digunakan oleh industri makanan di dalam negeri, dimana minyak goreng lebih dari
empat juta ton dan gandum/terigu sekitar tujuh juta ton yang seluruhnya diimpor.
Selama tahun 2010 sampai 2013 ratarata ketersediaan energi per kapita per hari
sekitar 3.800 kkal dan protein lebih dari 93 gram (Tabel 2). Angka ini jauh melebihi
rekomendasi para ahli gizi yang disepakati dalam Widya Karya Nasional Pangan dan
Gizi tahun 2012, yang kemudian dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 75 tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi bagi Bangsa Indonesia. Angka
rekomendasi ketersediaan per kapita per hari untuk energi 2.400 kkal dan protein 63
gram, sehingga ratarata ketersediaan energi dan protein selama tahun 2010-2013
masing-masing sekitar 155 persen dan 145 persen dari standar rekomendasi. Dengan
demikian, dari sisi ketersedian pangan dapat disimpulkan dalam lima tahun terakhir
Indonesia dalam kondisi tahan pangan.
3. Proporsi penduduk miskin (Keterjangkauan)
Capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan tahun 2018 dari koefisien variasi harga
pangan strategis mencapai di atas 100% (sangat berhasil). Hal ini mengindikasikan
bahwa harga komoditas pangan strategis nasional selama tahun 2018 stabil. Kondisi
tersebut didukung oleh pelaksanaan program/ kegiatan stabilisasi harga komoditas
pangan strategis melalui Gapoktan dan Toko Tani Indonesia (TTI) yang tersebar di
seluruh Indonesia. Peran TTI dan TTIC mampu mendukung stabilisasi harga pangan
strategis dengan menyediakan pangan murah berkualitas dan melakukan operasi pasar
dimana terjadi kenaikan harga.
6. Parameter gizi pada anak usia di bawah lima tahun atau balita (pemanfaatan)
Pada keragaman status gizi masyarakat, khususnya pada anak balita, selama sembilan
tahun terakhir tidak terlihat perkembangan positif yang signifikan dari status gizi
balita. Proporsi balita yang termasuk gizi kurang masih sekitar 12 persen dan gizi
buruk sekitar 5 persen. Balita yang lebih pendek dari ukuran normal (stunting)
sebanyak 36,6 persen tahun 2007, meningkat menjadi 37,2 persen tahun 2013.
Masalah lain adalah gizi lebih pada anak balita, yang persentasenya juga cukup tinggi
dan hampir tidak ada perbaikan sejak pengukuran tahun 2007 (12,2%) dibandingkan
dengan kondisi tahun 2013 (11,9%). Dari uraian di atas diketahui bahwa terjadi
kesenjangan yang cukup lebar antara rata-rata ketersediaan pangan yang lebih dari
cukup dan rata-rata pangan yang benar-benar dikonsumsi masyarakat yang ternyata
masih di bawah rekomendasi. Demikian juga dapat disimpulkan ketersediaan pangan
yang memadai pada tingkat makro tidak serta merta dapat meningkatkan kualitas
konsumsi dan status gizi masyarakat. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebabnya
adalah hambatan distribusi, belum tertatanya sistem logistik pangan, rendahnya daya
beli masyarakat, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pola pangan dan gizi
yang beragam bergizi seimbang dan aman, dan terjadinya pemborosan pangan.
(1) Koefisien variasi harga komoditas gabah di tingkat produsen dan beras di
tingkat konsumen (≤10%);
(2) Koefisien variasi harga komoditas jagung di tingkat produsen dan konsumen
(≤10%);
(3) Koefisien variasi harga komoditas kedelai di tingkat produsen dan konsumen
(≤10%);
(6) Koefisien variasi harga komoditas cabai di tingkat produsen dan konsumen
(≤30%);
(7) Koefisien variasi harga komoditas bawang merah di tingkat produsen dan
konsumen (≤25%);
(1) Skor Pola Pangan Harapan/PPH tahun 2018 (90,5); tahun 2019 (92,5);
g. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan yang
berkelanjutan?
Dari sisi penyediaan pasokan, paling tidak ada lima hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu:
● kendala sumber daya alam, kompetisi pemanfaatan lahan termasuk perairan dan air
akan semakin tajam karena adanya sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
peningkatan penduduk dalam persentase dan jumlah yang besar. Pada saat ini angka
konversi lahan pertanian yang sering dikemukakan kepada publik oleh para pejabat
atau akademisi berkisar antara 60.000 ha sampai 100.000 ha per tahun. Kualitas lahan
dan air juga makin terdegradasi karena dampak penggunaan pupuk kimia dan
pestisida yang terus menerus digunakan dalam kurun waktu panjang dan limbah
industri yang merembes ke lahan pertanian. Selain itu, prasarana pertanian yang sudah
ada juga sebagian rusak. Sebagai contoh, menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Air
Kementerian Pekerjaan Umum (2013) sekitar 36 persen atau 2,6 juta ha dari total 7,2
juta ha jaringan irigasi rusak. Kondisi ini saja sudah akan menurunkan kapasitas
produksi pangan nasional, karena produksi pangan Indonesia masih berbasis lahan
(land base).
● Dampak perubahan iklim global, dalam tiga tahun terakhir kejadian iklim ekstrem di
Indonesia terasa lebih nyata. Masyarakat mengalami kejadian fenomena iklim ekstrem
yang frekuensinya makin sering. Pola dan intensitas curah hujan yang berbeda dari
sebelumnya, kenaikan temperatur udara, banjir dan kekeringan yang semakin sering
terjadi, dan intensitas serangan hama serta penyakit yang semakin tinggi, merupakan
beberapa gejala perubahan iklim yang dapat berdampak pada penurunan produktivitas
tanaman pangan. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian dalam proses usahatani
pangan seperti penyesuaian waktu tanam, pola tanam, penggunaan varietas yang lebih
tahan terhadap cekaman iklim, dan pengelolaan air secara efisien.
● Pertanian Indonesia dicirikan atau didominasi oleh usahatani skala kecil. Berdasarkan
data Sensus Pertanian 2013 dari BPS, jumlah rumah tangga petani sebanyak 26,14
juta dengan rata-rata penguasaan lahan 0,98 ha dan sekitar 56 persen atau 14, 6 juta
rumah tangga rata-rata mengusahakan lahan di bawah 0,5 ha. Sementara itu, rata-rata
pengusahaan lahan petani padi sawah kurang dari 0,2 ha (Direktorat Pangan dan
Pertanian, Bappenas, 2013). Petani kecil ini dihadapkan pada persoalan klasik yang
belum berhasil diatasi dengan baik, seperti keterbatasan akses terhadap pasar,
permodalan, informasi, dan teknologi (Suswono, 2013). Bila tidak ada rekayasa sosial
untuk mengatasi permasalahan tersebut, akan sangat berat bagi Indonesia untuk
mencapai ketahanan pangan berkelanjutan.
● Adanya ketidakseimbangan produksi pangan antarwilayah. Hampir untuk semua
komoditas, proporsi produksi pangan di Jawa lebih dari 50 persen dari produksi
pangan nasional. Ketidakseimbangan ini akan meningkatkan permasalahan upaya
pemerataan pangan dan ongkos distribusi pangan, sehingga mempersulit penyediaan
pangan secara spasial merata ke seluruh daerah di Indonesia. Bila tidak dilakukan
pembangunan infrastuktur dan sistem logistik pangan antarwilayah, akan sulit untuk
mengatasi ketidakseimbangan produksi antarwilayah.
● Proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi.
Kehilangan pangan (food losses) karena ketidaktepatan penanganan pangan mulai
dari saat panen sampai dengan pengolahan dan berlanjut pada pemasaran, dipercayai
masih sekitar 10 persen sampai 20 persen, bergantung pada komoditas, musim, dan
teknologi yang digunakan. Sementara itu, pemborosan pangan (food waste) yang
terjadi mulai dari pasar konsumen akhir sampai dibawa dan disimpan di rumah, lalu
disajikan di meja makan namun tidak dimakan, diperkirakan mencapai lebih dari 30
persen. FAO melaporkan sepertiga dari bagian pangan yang dapat dikonsumsi
terbuang percuma atau diboroskan (FAO, 2011b). Demikian juga permasalahan
pemborosan pangan di Indonesia cukup besar, seperti banyaknya makanan yang
terbuang di restoran, resepsi pernikahan, atau acara rapat/pertemuan, bahan pangan
yang terbuang sebelum dimasak, dan makanan yang sudah disajikan di meja makan di
rumah namun tidak termakan seluruhnya.
Urbanisasi yang merupakan salah satu dinamika kependudukan masih akan terus
berlanjut dengan alasan dorongan keluar (push factor) dari sektor pertanian, karena
sektor ini tidak dapat menampung angkatan kerja baru atau tidak dapat memenuhi
harapan terkait upah yang diterima atau kondisi kerja yang dinilai tidak nyaman.
Selain urbanisasi, perubahan beberapa daerah yang sebelumnya berciri desa
bertransformasi menjadi tempat yang mempunyai karakter kota kecil atau kota sedang
akan terus berlangsung seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan otonomi daerah.
Kedua faktor ini akan mempercepat peningkatan penduduk kota atau daerah berciri
kota. Pada saat ini penduduk kota sebesar 49,5 persen dan diperkirakan akan terus
meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2025. Hal ini akan membawa konsekuensi
proporsi pola permintaan pangan berciri preferensi penduduk kota menjadi lebih
besar.
Partisipasi angkatan kerja wanita juga meningkat. Menurut data BPS, pada tahun
2010 sebesar 36,4 persen total angkatan kerja adalah wanita. Dari total wanita yang
bekerja, sekitar 57,6 persen bekerja di luar sektor pertanian. Dalam 10 tahun ke depan
diperkirakan akan semakin besar lagi proporsi wanita yang bekerja. Hal ini akan
memperkuat peningkatan permintaan untuk makanan jadi, baik yang dimakan di luar
rumah maupun di dalam rumah
Pertumbuhan ekonomi 10 tahun terakhir cukup tinggi rata-rata di atas 5 persen per
tahun. Dalam 10 tahun mendatang, sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut akan
terus dipertahankan karena memang negeri ini perlu mengejar ketertinggalan
pembangunan ekonomi dari negara-negara yang sudah maju. Pertumbuhan ekonomi
tinggi berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita atau daya beli masyarakat,
walaupun sebarannya tidak merata ke setiap individu. Situasi ini akan meningkatkan
permintaan pangan dari sisi kualitas, keragaman, mutu, dan keamanannya. Salah satu
upaya untuk menanganinya dan sekaligus memanfaatkan peluang bisnis pangan
olahan adalah melalui penguasaan dan penerapan teknologi pangan agar dapat
merespon perubahan permintaan pangan, sehingga mampu menyediakan pangan
sesuai dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen dengan baik.
● Perubahan selera karena akses terhadap informasi atau promosi pangan global yang
sangat tinggi
Pada saat ini sedang berlangsung perubahan selera konsumsi pangan yang mulai
meninggalkan pangan lokal dan makanan tradisional. Pola konsumsi pangan
dipengaruhi oleh sumber daya pangan di sekitarnya, daya beli masyarakat,
pengetahuan tentang pangan dan gizi, dan selera konsumen. Perubahan selera pangan
pada saat ini dibentuk dan dipengaruhi secara kuat oleh perkembangan pesat
teknologi informasi media yang dimanfaatkan oleh media promosi/periklanan,
termasuk pengiklan yang menjajakan makanan dan minuman yang mencitrakan
produknya berlabel tren masa kini, keren, dan global. Imanto (2012) lebih jauh
menilai iklan televisi cenderung menawarkan produk yang mencerminkan budaya
konsumerisme dan gaya hidup konsumtif.
● Persaingan pemanfaatan bahan pangan.
Persaingan permintaan atas komoditas pangan untuk konsumsi manusia (food), pakan
ternak (feed), bahan baku energi bio (biofuel), dan bahan baku industri nonpangan
akan terus berlangsung dan semakin ketat dalam 10 tahun ke depan. Persaingan
permintaan ini diturunkan dari peningkatan permintaan untuk produk ternak, semakin
tingginya harga energi berbahan baku fosil, dan peningkatan permintaan produk
industri yang memanfaatkan bahan pangan dalam proses produksinya. Permasalahan
ini harus dapat diantisipasi secara arif melalui peningkatan produksi komoditas
pangan yang tinggi dan pelibatan industri pangan
Alternatif Arah Kebijakan agar dapat mencapai ketahanan pangan berkelanjutan perlu
ada penyesuaian atau perubahan arah kebijakan yang saat ini diimplementasikan.
Perubahan pendekatan arah kebijakan yang disarankan meliputi tujuan, cara, dan sasaran
pembangunan ketahanan pangan.
1. Mengubah swasembada pangan menjadi kemandirian pangan
Seringkali untuk mencapai swasembada pangan dengan mengabaikan prinsip
efisiensi usaha dan kelayakan teknis, ekonomi, atau sosial, sehingga dapat
terjadi misalokasi sumber daya untuk pembangunan. Dengan pendekatan
kemandirian pangan, sesuai arahan UU Pangan, pencapaiannya dapat
dilakukan dengan meningkatkan kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dengan memanfaatkan potensi
sumber daya (alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal) secara
bermartabat. Praktik operasional pencapaiannya dapat dilakukan dengan
menerapkan prinsip keunggulan komparatif atau kompetitif, dan prinsip
efisiensi dan daya saing. Dengan pendekatan ini, dalam RPJMN harus sudah
ditetapkan rancangan pengembangan produksi pangan ke dalam tiga kelompok
komoditas, yaitu:
a. Jenis komoditas pangan yang dapat dikembangkan tidak hanya
mencapai swasembada tetapi juga mengisi pasar ekspor (promosi
ekspor).
b. Jenis pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga
dapat memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri dengan pemanfaatan
teknologi yang telah tersedia dan dapat diimplementasikan segera
(substitusi impor).
c. Beberapa jenis pangan yang memang sebagian atau seluruhnya
terpaksa harus diimpor karena ada permintaan untuk pangan tersebut di
dalam negeri, namun Indonesia belum memiliki daya saing untuk
memproduksinya.
2. Peningkatan Produksi Pangan Di ubah Menjadi Peningkatan Pendapatan
Petani dan Masyarakat Pedesaan
Untuk melaksanakan pendekatan ini, UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah memberikan tuntunan cara
memberdayakan petani untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan daya
saing (Suryana, 2013). Untuk para petani kecil yang mengusahakan lahan rata-
rata kurang dari 1,0 ha, dalam upaya meningkatkan efisiensi dan keuntungan
petani, rekayasa sosial-ekonomi seperti usaha tani korporasi (corporate
farming), usaha tani koperasi (cooperative farming), atau pendekatan sekolah
lapang (field school approach) dapat dipertimbangkan untuk diterapkan secara
luas.
3. Pemenuhan Konsumsi Pangan Secara Kuantitas Diubah Menjadi
Pemenuhan Konsumsi Pangan yang Beragam Bergizi Seimbang dan Aman
(B2SA)
Perlu dilakukan promosi penganekaragaman pangan dari sisi penyediaan dan
sisi pemanfaatannya. Pengembangan sumber pangan dan jenis makanan baru
yang mempunyai cita rasa, citra, dan harga yang bersaing perlu dilakukan. Tiga
pendekatan tersebut untuk menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan
2025, strategi umum pembangunan ketahanan pangan adalah untuk:
a. mengembangkan kapasitas nasional dalam peningkatan produksi
pangan secara mandiri dan berkelanjutan
b. mempromosikan diversifikasi pangan berbasis sumber daya pangan
lokal untuk mencapai pola konsumsi pangan B2SA
c. menyediakan pangan yang cukup dari sisi jumlah, keragaman,
kualitas, dan keamanan, dengan tingkat harga terjangkau daya beli
masyarakat luas, serta menjaga stabilitas harga pangan pokok
d. menyediakan pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan
pangan melalui pendistribusian bantuan pangan atau pangan
bersubsidi. (Suryana, 2013).
i. Strategi apa yang dapat digunakan untuk dapat memanfaatkan pangan secara
optimal?
Kualitas pemanfaatan pangan dipengaruhi oleh daya beli, selera, pengetahuan dan
kesadaran gizi masyarakat, dan ketersediaan pangan itu sendiri. Pemanfaatan pangan
merupakan muara dari suatu sistem ketahanan pangan karena akan menentukan kualitas
perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Karena itu, strategi
pemanfaatan pangan tidak kalah pentingnya dengan dua strategi sebelumnya dalam
sistem ketahanan pangan. Berikut strategi pemanfaatan pangan:
Melihat dari sisi kualitas dan kuantitasnya, pangan sebagai komoditas utama
harus menjadi perhatikan semua sektor. Bila ketahanan pangan tidak tercapai maka
akan berdampak pada sektor sosial, ekonomi dan kesehatan.
Pada sektor sosial, ketahanan pangan yang tidak tercapai dapat berdampak
pada kekurangan pangan, akibatnya akan banyak rumah tangga yang akan
mengurangi jumlah dan kualitas pangan yang dikonsumsi dan terjadi peningkatan
jumlah gizi buruk. Perubahan pola konsumsi seperti ini, menunjukkan adanya indikasi
kelaparan dan kemiskinan yang merupakan isu terpenting yang dihadapi oleh umat
manusia. FAO memperkirakan 1,2 milyar juta jiwa mengalami kelaparan di dunia,
meningkat dari perkiraan sebelumnya 854 juta jiwa. Kesenjangan sosial sebagai
akibat dari ketidaksetaraan ketahanan pangan. Hal ini ditunjukkan pada saat kondisi
masyarakat yang akan cenderung individualisme, yang memiliki kekuatan akan
menguasai lebih banyak sumber daya panganan. Hal ini juga berhubungan dengan
keadaan masyarakat yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Pada sektor ekonomi, ketahanan pangan yang tidak tercapai dapat
meningkatkan harga jual panganan di pasar, sehingga harga komoditas pangan akan
naik tinggi. Ditambah beban negara akan ketergantungan pada impor akan
melambung untuk komoditas yang ketersediaannya tidak dapat dipenuhi dari
domestik. Dengan terjadinya kelangkaan komoditas sehingga dapat menyebabkan
nilai tukar yang melemah yang ditandai dengan nilai rupiah yang semakin melemah
terhadap dolar.
3. Apa pendapat saudara mengenai berita bahwa pemeliharaan ternak sapi dapat
merusak lingkungan karena setara dengan pemborosan bahan bakar?
Ternak sapi dapat merusak lingkungan sebab dalam proses pertanian sapi
menghasilkan gas metana. Metana (CH4) adalah gas tidak berbau yang menimbulkan
efek rumah kaca. Komposisi metana di atmosfer bumi lebih rendah dibanding karbon
dioksida (CO2), tapi koesifien daya tangkap panas metana lebih tinggi, yakni 25 kali
karbon dioksida. Pemanasan global disebabkan oleh naiknya jumlah emisi gas rumah
kaca, termasuk metana. Metana mempertipis lapisan ozon yang melindungi bumi,
sehingga suhu naik.
Selain berasal dari penguraian sampah organik, metana muncul dari aktivitas
pertanian. Sekitar 5% metana diproduksi dari aktivitas manusia di sektor pertanian.
Dari jumlah itu, 60% berasal dari ternak, yang dihasilkan melalui proses
metanogenesis dalam sistem pencernaan ternak. Metana dikeluarkan lewat mulut
ternak ke atmosfer. Dalam riset D.P. Morgavi (2008), ditunjukkan sapi potong dapat
mengemisi metana 60-70 kilogram per tahun, sapi perah 110-145 kg per tahun, dan
domba 8 kg per tahun. Live Science melaporkan per tahun seokor sapi menghasilkan
gas metana 120 kg, domba 8 kg, babi 1,5 kg, dan manusia hanya 0,12 kg.
Sumber terbesar emisi gas rumah kaca di sektor pertanian adalah fermentasi
enterik (fermentasi di tubuh hewan ternak). Metana diproduksi ternak selama proses
mencerna makanan dan dilepas melalui sendawa ke atmosfer. Jumlah metana dari
ternak pada 2011 tercatat 39 persen dari sektor pertanian. Terdapat peningkatan emisi
dari fermentasi enterik sebesar 11 persen antara 2001 dan 2011. Menurut FAO pada
2011, gas rumah kaca yang terkait dengan pertanian sebanyak 44 persen terjadi di
Asia, 25 persen di Amerika, 15 persen di Afrika, 12 persen di Eropa, dan 4 persen di
Oseania. Pada 1990-an, Asia bahkan berkontribusi 38 persen—lebih kecil dibanding
pada saat ini—dan Eropa berkontribusi 21 persen.
Salah satu upaya mitigasi di sektor ternak yang bisa dilakukan adalah
memperbaiki manajemen pakan ternak dan kotoran. Caranya, antara lain
menggunakan suplemen pakan ternak, mengoptimalkan pakan lokal seperti sisa
tanaman, dan meningkatkan kualitas pakan. Langkah lainnya, memperbaiki gen untuk
meningkatkan produktivitas ternak, mengawasi kesehatan dan siklus ternak, serta
mengurangi sampah dalam rantai pasokan ternak.
Untuk Mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat nasional dan global ke depan
akan semakin sulit karena kecenderungan pergerakan penawaran dan permintaan
pangan menuju ke arah yang berlawanan.
a) Petani: para petani harus dapat menjamin jika hasil pangan yang mereka hasilkan
bukan hanya cukup secara kuantitas tetapi juga secara kualitas dan harus dapat
memastikan hasil pangan tersebut tidak tercemar bahan kimia yang berbahaya.
b) Produsen: produsen atau distributor juga harus menjamin bahwa setelah mendapatkan
bahan mentah dari petani mereka akan memproduksi bahan pangan yang mencapai
standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
d) Tenaga kesehatan:
e) Masyarakat: masyarakat juga mempunyai peran penting di mana peran ini dipegang
oleh kepala keluarga yang artinya kemandirian setiap kepala keluarga itu penting,karena
sangat sulit jika mengawasi setiap kepala keluarga. Oleh karena itu setiap kepala
keluarga harus sudah mandiri, mandiri dalam hal mengawasi pangan yang mereka
dapatkan, mandiri dalam mengatur kebutuhan pangan mereka, jadi masyarakat itu sendiri
dapat membantu pemerintah melakukan pengawasan pangan yang beredar.
f) Institusi pendidikan: karena diatas sudah disebutkan jika petani harus bisa membuat
hasil pangan yang baik, dan masyarakat pun harus bisa mengawasi hasil produksi
pangan. Untuk membuat dan mengawasi pangan itu memerlukan pendidikan yang
memadai dan berkompeten, jadi harus dipastikan kalau petani-petani itu mempunyai
pendidikan yang baik agar dapat lebih berkompeten untuk meningkatkan ketahanan
pangan, karena menurut data petani di Indonesia sendiri masih berpendidikan rendah.
BAB III
KESIMPULAN
Hapsari, N. I., & Rudiarto, I. (2017). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerawanan dan
Ketahanan Pangan dan Implikasi Kebijakannya di Kabupaten Rembang. Jurnal
Wilayah Dan Lingkungan, 5(2), 125. https://doi.org/10.14710/jwl.5.2.125-140
Suryana, A. (2014). Toward Sustainable Indonesian Food Security 2025: Challenges and Its
Responses. 123–135. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/56153-ID-menuju-ketahanan-pangan-
indonesia-berkel.pdf
Sulaiman, Andi Amran. dkk. 2018. KEBIJAKAN penyelamat swasembada pangan. Jakarta.
IAARD Press