Oleh :
KELOMPOK 1
Examinar 2006505524
Risma 2006506041
Roma Yuliana 2006506086
Silvia Sagita 2006506230
Yuli Puspita Devi 2006506451
Ghea Dwi Apriliana 2006559792
Putri Rahmadani 2006560176
Sukma Rahayu 2006560301
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
1 Halama
n
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2
2.1 Definisi Kerawanan..................................................................................................3
2.4 Cara Menanggapi Tahapan Kejadian yang Akan Berujung kepada Kerawanan...13
3.2 Saran......................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................24
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
atas pengetahuan yang lebih baik tentang karakteristik alam dan manusia
(masyarakat).
Berdasarkan UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang penaggulangan bencana,
risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat (Emi,2009). Masyarakat diharapkan memiliki kapasitas
yang memadai untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana serta tanggap
dan sadar bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana. Oleh karena itu perlunya
untuk melakukan penilaian terhadap kerentanan-kerentanan yang dapat berujung
kepada bencana.
2
BAB II PEMBAHASAN
3
Gambar 1. Faktor Terjadinya Bencana
Berdasarkan pengertian diatas, konsep vulnerability mengimplikasikan
beberapa risiko yang digabungkan dengan tingkat tanggung jawab sosial dan ekonomi,
dan kemampuan untuk mengatasi peristiwa yang diakibatkannya. Seseorang dikatakan
“rawan” apabila tidak dapat mengakses sumber daya. Orang yang paling rentan
terhadap kerawanan adalah orang miskin, karena selain sulitnya mengakses sumber
daya, orang miskin tidak punya banyak pilihan selain menempatkan diri mereka di
lingkungan yang tidak aman.
Vulnerability merupakan kondisi pra bencana yang berpotensi menjadi
bencana apabila bertemu dengan bahaya (hazard). Jadi apabila dalam suatu wilayah
rawan memiliki kerentanan tinggi maka akan mengakibatkan elemen risiko untuk
terpapar bahaya menjadi semakin besar kemudian akan meningkatkan risiko bencana.
Elemen risiko merupakan segala objek yang ada di dalam suatu wilayah bencana dapat
berupa pemukiman, lahan pertanian, prasarana umum (Sutikno, 2006). Namun, risiko
bencana dapat dikurangi apabila dalam suatu wilayah memiliki kapasitas yang baik.
Kapasitas dapat diartikan sebagai segala sumber daya yang dimiliki masyarakat baik
bersifat individu, kelompok, atau manajerial (leadership) (UN/ISDR, 2005). Jadi
untuk memahami suatu bencana terdapat tiga hal penting yang saling berkaitan yaitu
kerentanan, ancaman, dan kemampuan.
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Vulnerability (UNDP/UNDRO, 1992) :
1. Sifat alamiah dari wilayah yang bersangkutan
2. Kedekatannya dengan sumber bahaya bencana
3. Konstruksi bangunan yang ada di atas wilayah tersebut
4. Kemiskinan
5. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk
6. Urbanisasi
7. Perubahan praktik-praktik kebudayaan
4
8. Degradasi lingkungan
9. Kurangnya kesadaran dan minimnya informasi
10. Ketidakstabilan politik dan keamanan
5
mereka terkonsentrasi di daerah yang tidak aman (misalnya, wilayah banjir di El
savador pada tahun 1989). Pembangunan itu sendiri merupakan sumber kerentanan.
Kebijakan pertanian yang mendukung pertanian tanaman tunggal membuat petani
tidak memiliki apa-apa sebagai sandaran jika terjadi kecelakaan, baik itu iklim,
agronomi, atau ekonomi. Dalam kasus ini keluarga yang paling rentan adalah
mereka yang dengan kapasitas produksi yang rendah karena terbatasnya lahan yang
tersedia bagi mereka untuk bercocok tanam.
5) National Economic Vulnerability
Pembangunan ekonomi yang tidak konsistensi, korupsi, dan kurangnya minat
pejabat kota didaerah pedesaan adalah beberapa faktor yang membantu
meningkatkan kerentanan penduduk diakhir dari rantai ekonomi. Keterbelakangan
ekonomi berarti bahwa instalasi infrastruktur yang penting bagi perekonomian
tidak dapat dibiayai. Hal ini berperan besar dalam bencana, dimana jaringan jalan
raya, sarana komunikasi, dll sangat penting.
6) International Economic Vulnerability
Kerentanan ekonomi ini mengikuti indeks Dow Jones Resesi ekonomi internasional
tidak banyak berpengaruh pada volume bantuan internasional mengirim negara-
negara cengkeraman bencana. Namun jika tidak ada keadaan darurat yang akut,
program untuk mempersiapkan atau mencegah bencana. Akibatnya, semua
pekerjaan dasar yang dilakukan untuk mengurangi jenis kerentanan lokal dan
nasional tertentu akan terbongkar.
7) Social Vulnerability
Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam
menghadapi bahaya. Jika terjadi bencana, kondisi sosial yang rentan akan
menimbulkan dampak kerugian yang besar. Indikator kerentanan sosial,
diantaranya kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, serta persentase
penduduk usia balita dan tua. Jenis kerentanan sosial yang paling relevan dengan
situasi bencana adalah manusia dan kerentanan kelembagaan.
8) Human Vulnerability
a. Kerentanan individu
Mempengaruhi kelompok rentan yang ditemukan di situasi bencana sama seperti
dalam situasi normal.
6
b. Kerentanan keluarga
Konsep setiap orang untuk dirinya sendiri dalam bencana situasi harus dilihat dalam
konteks : “Tekanan dari ancaman atau dampak akan mengintensikan ikatan
antara anggota dan seringkali keluarga akan merespon sebagai satu kesatuan
sistem. Sistem ini “fleksibel batas, terbuka untuk interaksi dengan sistem
laindalam proses pemulihan, baik sistem kerabat atau organisasi yang
memberikan bantuan yang dipelrukan dan sumber daya”. Meskipun keluarga
merupakan faktor stabilitas, hal ini sebaliknya juga berlaku :keluarga
perpisahan adalah salah satu faktor kerentanan.
c. Kerentanan Komunitas
Tingkat organisasi dan sosial komunitas kohesi merupakan faktor kunci dalam
mekanisme tanggap bencana. Berdasarkan Wilches-Chaux, Tingkat trauma
sosial akibat bencana berbanding terbalik ke tingkat organisasi komunitas yang
terkena dampak. Masyarakat yang memiliki 4 jaringan lengkap organisasi sosial
formal atau infromal dapat menyerap konsekuensi bencana jauh lebih mudah.
Kohesi ini bergantung pada beberapa elemen, termasuk pendidikan, budaya,
dan lingkungan fisik.
9) Istititutional Vulnerability
Kerentanan sosial dalam konsep kerentanan sosial, perbedaan harus dibuat antara
bantuan organisasi dan layanan perawatan kesehatan.
a. Organisasi Bantuan
Di negara-negara berkembang, perkumpulan bantuan timbal balik lokal diatur dalam
berbagai tingkatan, tetapi mereka semua bergantung pada sumber daya ekonomi
negara, dan sumber daya manusia untuk mengelolanya mereka tidak memiliki
pengetahuan teknologi yang diperlukan untuk menghadapi situasi darurat, baik
dalam tahap persiapan atau implementasi.
b. Pelayanan Kesehatan
Kerentanan pelayanan kesehatan dapat dianalisa baik ditingkat fisik maupun tingkat
organisasi. Secara fisik, layanan ini mungkin rentan, misalnya karena
kedekatannya dengan daerah rawan bencana, atau karena fasilitasnya tidak
dibangun sesuai standar gempa . Pada tingkat administrasi kurangnya organisasi
7
difasilitas kesehatan besar (rumah sakit) hanya dapat bertambah buruk dalam
situasi yang melibatkan mausknya banyak pasien.
10) Political Vulnerability
Kerentanan politik ketidakstabilan politik membuat negara sangat rentan terhadap
bencana. Adanya konflik bersenjata di Etiopia memeprkuat dampak yang
menghnacurkan dari kekeringan 1984, dengan menunda dan kemudian membatasi
akses ke daerah yang terkena kekurangan air. Penduduk mungkin tidak memiliki
otonomi karena :
a. Oritarianisme rezim politik yang menyisakan sedikit ruang untuk inisiatif
individu dan komunitas, jenis budaya politik ini mungkin tetap kuat bahkan
selama situasi bencana;
b. Birokrasi, sering dikaitkan dengan otoritarianisme, yang cenderung
memperlambat dan Keputusan yang perlu dibuat dalam keadaan darurat;
c. Tidak adanya rencana kontinjensi bencana; “formula bencana” yang
didefinisikan sebelumnya menunjukan dengan baik pentingnya tindakan
pencegahan dan persiapan. Akan tetapi, agar dapat dilakukan langkah-langkah
tersebut pertama-tama harus diintegrasikan dalam program kontinjensi bencana
nasional, dan kedua dimotivasi oleh kemauan politik yang nyata untuk
melaksanakannya. Kondisi ini jarang terpenuhi, karena sarana ekonomi yang
tidak memadai dan prioritas sosial yang kontraindikatif.
11) Vulnerability of the Legal System
Undang-undang yang dianggap sebagai kekuatan tandingan, dapat mendorong
pihak berwenang untuk menemui mereka tanggung jawab dalam mencegah
bencana. Pencegahan jenis tertentu bencana memang merupakan fungsi dari
tindakan resmi: Mengevakuasi penduduk dari daerah yang dilanda, menempatkan
zona tertentu dibatas (misalnya melarang pertanian disisi gunung berapi). langkah-
langkah tersebut sulit untuk ditegakkan, namun jika pihak berwenang tidak
memiliki alternatif yang layak untuk meneawarkan populasi ini.
2.2.2 Interaksi Berbagai Jenis Kerentanan
Sejumlah jenis kerentanan yang berbeda, yang mencakup beberapa tingkat
masyarakat, memberikan gambaran tentang kompleksitas interaksi di antara mereka.
Contohnya adalah konsentrasi populasi di daerah dengan kemungkinan kuat terjadinya
8
fenomena geofisika utama (gempa bumi, letusan gunung berapi). Memindahkan
populasi ini ke tempat lain praktis tidak terpikirkan, tidak hanya karena alasan
sosiokultural semata, tetapi karena alasan ekonomi; ini terjadi terutama pada populasi
yang tinggal di dekat gunung berapi, sungai, dan delta.
Interaksi ini semakin kompleks ketika bencana menyebabkan perpindahan
penduduk secara massal; mereka memutuskan tatanan sosial, memotong orang dari
sumber makanan normal mereka, memaparkannya pada lingkungan mikrobiologi
baru, dll.
Faktor-faktor ini berinteraksi pada beberapa tingkatan dan dapat menciptakan
reaksi berantai yang nyata. Dengan demikian, malnutrisi laten (kerentanan individu)
dan keterbelakangan pertanian (kerentanan ekonomi) bergabung untuk menciptakan
bencana gizi (memberikan dampaknya pada kelompok yang sudah kekurangan gizi)
setelah kemarau panjang (fenomena).
2.3 Proses kerawanan-kerawanan saling berinteraksi pada cuaca kering yang
berkepanjangan
2.3.1 Definisi dan Penyebab Kekeringan
Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang berada di bawah
kebutuhannya baik untuk hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan
(Indriantoro, 2013 dalam [ CITATION Has20 \l 1033 ]). Menurut Wilhite dan
Glantz[CITATION Zar16 \l 1033 ], kekeringan diklasifikasikan menjadi berbagai jenis:
a) Kekeringan meteorologi
Kekeringan meteorologi didefinisikan sebagai penurunan yang signifikan curah hujan yang
diperkirakan secara klimatologis dan dihitung menggunakan Palmer Drought Severity
Index (PDSI)
b) Kekeringan hidrologi
Kekeringan hidrologi diartikan sebagai periode dimana persediaan permukaan tidak
mencukupi dan air tanah untuk menyirami tanaman dan dihitung menggunakan Indeks
Pasokan Air Permukaan (SWSI).
c) Kekeringan pertanian
Kekeringan pertanian terjadi ketika defisit air membatasi pertumbuhan vegetatif. Dengan
kata lain, saat tanah kelembaban menyebabkan stres tanaman yang ekstrim. Kekeringan
pertanian dihitung menggunakan Indeks Kelembaban Tanaman(CMI)
9
d) Kekeringan sosial ekonomi
Kekeringan sosial-ekonomi terkait dengan faktor manusia dan berhubungan dengan yang
sangat rumit elemen karena harapan manusia mungkin tidak realistis. Misalnya seorang
penggembala yang merumput pada kawanan ternak mungkin mengalami konsekuensi
kekeringan lebih cepat dan lebih sering dari pada penggembala unta yang
menggembala. Oleh karena itu, proses mengukur kekeringan sosial ekonomi adalah
beraneka segi dan bervariasi dari satu populasi ke populasi berikutnya.
10
Penyakit pernapasan dan pencernaan akut akan lebih mudah untuk menyebar ketika
perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS) terhambat akibat kurangnya air. E.Coli
dan Salmonella merupakan contoh bakteri yang lebih mudah mencemari makanan
ketika kekeringan. Makanan dapat menjadi wahana penularan penyakit saat musim
kemarau karena kelangkaan air dapat menyebabkan petani menggunakan air daur
ulang untuk mengairi sawah dan mengolah produk pangan mereka.
Perubahan kualitas udara akibat kekeringan juga dapat memicu kondisi kesehatan
kronik seperti asma dan penyakit imunitas.
11
Gambar 2. Penilaian Vulnerability dari Bencana Kekeringan (Bashir, 2013)
12
Kerentanan lingkungan diantaranya seperti produktivitas lahan dimana lahan
dengan produktivitas rendah dan kurangnya hutan di daerah tersebut menjadikan
daerah tersebut lebih rawan untuk mengalami kekeringan. Faktor institusional berupa
kapasitas pemerintah daerah setempat dalam memberikan bantuan dan dukungan
terhadap bencana kekeringan.
Coping capacity atau kapasitas dalam menghadapi kekeringan didefinisikan
dari respon individu, kelompok, atau masyarakat untuk menghadapi situasi yang
menantang agar dapat terus melanjutkan hidup. Beberapa bentuk coping capacity bagi
masyarakat yang pernah mengalami kekeringan adalah menghemat penggunaan air
dan makanan, migrasi, menjual aset, hewan ternak, tanah, dan menggali tanah untuk
menemukan air tanah. Petani di berbagai negara juga cenderung untuk beralih
pekerjaan seperti menjadi pedagang untuk mendapatkan sumber penghasilan lainnya
(Bashir, 2013)
2.3.4 Interaksi Antara Kerentanan Pada Situasi Kekeringan
Kekeringan dapat dianggap sebagai akibat (dampak pada wilayah pertanian)
dari suatu fenomena (penurunan curah hujan) di daerah yang secara ekologis sudah
rusak akibat erosi, penggundulan hutan, tidak adanya pekerjaan irigasi, dll (kerentanan
ekonomi). Kasus pertama, kekeringan dianggap sebagai fenomena, dan kasus kedua
sebagai bencana. Ini adalah cara menganalisis berbagai tahapan dalam evolusi situasi
bencana dan mengidentifikasi semua faktor penyebabnya. Konsekuensi akhirnya
adalah hilangnya nyawa manusia.
13
Gambar 3. Rantai Interaksi Kerentanan Pada Situasi Kekeringan
2.4 Cara Menanggapi Tahapan Kejadian yang Akan Berujung kepada Kerawanan
Hal yang dapat dilakukan untu mengurangi kerentanan seseorang atau kelompok
yaitu dengan melakukan Vulnerability Assessment. Vulnerability Assessment dapat
menjadi basis data yang digunakan untuk mengurangi kerentanan melalui metode
pencegahan/ mitigasi bencana dan kesiapsiagaan darurat. Vulnerability Assessment
memungkinkan pencegahan terhadap masalah yang mungkin akan dihadapi oleh
kelompok tertentu ketika terjadinya bencana dan juga selama proses recovery/
pemulihan. Proses Vulnerability Assessment dilakukan dengan pendekatan spasial dari
populasi sub kelompok terhadap potensi hazard yang mungkin terjadi (kerawanan),
dengan mempertimbangan pada karakteristik khusus dan socioekonomi yang mungkin
mempengaruhi dampak hazard secara langsung dan jangka panjang.
14
kesiapsiagaan yang terencana, dikelola dan juga prosesnya di monitoring dan evaluasi
berkala.
Develop
Policy
Assess
Vulnerability
Vulnerability Reduction
Figure 1. Vulnerability
Gambar 4. ReduksiReduction
Kerentanan
a) Pengembangan Kebijakan
Pengembangan kebijakan merupakan tahap awal yang perlu dilakukan dalam
rangkaian mekanisme mengurangi kerentanan. Pengembangan kebijakan pada level
terendah hingga tertinggi perlu dilakukan untuk mendorong upaya kesiapsiagaan
bencana yang komprehensif, terstruktur dan saling mendukung dari tingkat kota/
kabupaten, provinsi hingga nasional. Pengembangan kebijakan perlu dilakukan melalui
tahapan berkesinambungan dari analisa kebijakan, konsultasi dan negoisasi dari level
individu, kelompok masyarakat, institusi non pemerintah dan juga institusi pemerintah
khususnya yang terkait dengan institusi dimana kebijakan tersebut seharusnya
dikeluarkan. Kebijakan yang dibuat harus mencakup definisi yang jelas dari setiap
fungsi dan tanggungjawab setiap stakeholder terkait manajemen kesiapsiagaan
bencana.
b) Vulnerability and Capacity Assessment
Tujuan dari Vulnerability and Capacity Assessment yaitu untuk identifikasi hazard an efek
yang mungkin muncul pada masyarakat atau organisasi, termasuk juga
mengidentifikasi kapasitas masyarakat dan organisasi tersebut dalam tanggap bencana
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahapan VCA antara lain:
15
- Menetapkan tujuan, target, ruang lingkup dan konteks dari VCA, tugas-tugas yang
akan dilakukan dalam rangka VCA dan juga sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan VCA
- Pembentukan kelompok tim VCA. Pembentukan kelompok ini memudahkan untuk
pengumpulan informasi yang dibutuhkan, mengumpulkan komitmen individu untuk
terlibat dalam VCA, dan melibatkan komunitas dan organisasi untuk aktif
mengambil bagian
- Melakukan identifikasi dan deskripsi hazard yang ada di komunitas.
- Mengumpulkan informasi yang relevan terkait komunitas dan lingkungan, yaitu
masyarakat, property atau lingkungan yang mungkin terdampak dari hazard.
- Mendeskripsikan dampak dari hazard, yang juga dianggap sebagai kerentanan
komunitas. Mengidentifikasi hal-hal yang mungkin terjadi ketika insidens,
kedaruratan atau bencana yang melibatkan satu atau sejumlah hazard.
- Melakukan prioritas hazard yang harus ditangani terlebih dahulu, hazard yang
dapat ditangani selanjutnya atau mungkin dapat diabaikan berdasarkan
kemungkinan dampak terhadap kerentanan komunitas.
- Rekomendasi aksi. Menetapkan rekomendasi aksi sebagai hasil assessment untuk
aktivitas penanganan kedaruratan. Perencanaan, pelatihan dan edukasi, monitoring
dan evaluasi harus direncanakan dengan baik berdasarkan hasil VCA
- Dokumentasi seluruh proses VCA untuk memvalidasi rekomendasi dan juga
pencegahan dan perencanaan kedaruratan di masa mendatang.
c) Vulnerability Reduction
1. Prevent/ Mitigate Emergencies
Upaya pencegahan dan mitigasi kedaruratan dapat dilakukan dengan
mereduksi kerentanan komunitas melalui peningkatan kesehatan lingkungan dalam
jangka panjang, regulasi keamanan lingkungan, serta mereduksi kerentanan
infrastruktur kesehatan lingkungan.
Peningkatan kesehatan lingkungan dalam jangka panjang pada konteks
pedesaan dan perkotaan yaitu terkait peningkatan suplai air dan sistem sanitasi.
Upaya peningkatan kualitas suplai air dan sanitasi merupakan hal yang penting
karena air dan sanitasi yang baik dapat mereduksi resiko epidemic penyakit
(contohnya kolera), meningkatkan status kesehatan masyarakat secara umum
16
karena meningkatkan resiliensi/ ketahanan masyarakat ketika stress atau
menghadapi bencana. Selain itu, peningkatan kualitas suplai air dan sanitasi yang
terogranisir di masyarakat juga meningkatkan kerjasama antar masyarakat yang
juga dapat menjadi dasar aktivitas pengurangan kerentanan di masyarakat
(kelompok masyarakat yang tergabung dalam komite air di desa yang dapat
bersinergi untuk menjamin suplai air untuk resiliensi masyarakat itu sendiri).
Regulasi terhadap kesehatan lingkungan mengambil peran penting untuk
mereduksi risiko kesehatan lingkungan dalam kondisi kedaruratan. Contohnya
regulasi yang spesifik terkait kondisi-kondisi terkait hazard tertentu harus dikelola
dapat dimasukkan dalam kebijakan sebagai ketentuan yang mengatur perlindungan
terhadap bencana. Kualitas lingkungan dan aturan keselamatan industri sangat
penting dalam hal ini. Oleh karena itu, regulasi ini harus diikuti dengan inspeksi
dan penegakan hukum yang kuat untuk memastikan efektivitasnya.
Upaya mereduksi kerentanan infrastruktur kesehatan lingkungan penting
untuk dilakukan dengan memperhatikan lokasi, desain dan perawatan insfrastruktur
kesehatan lingkungan. Melakukan identifikasi hazard dapat membantu memetakan
risiko dengan mudah, contohnya instalasi pengelolaan air di dataran yang banjir
atau berisiko terhadap tanah longsor akibat gempa bumi. Hal-hal tersebut kemudian
direspon dengan identifikasi lokasi yang tepat untuk pengelolaan air sehingga tidak
terganggu jika terjadi banjir atau gempa bumi, misalnya dengan membuat tanggul.
2. Prepare for Emergencies
Sebelum menghadapi bencana, setiap organisasi yang akan melakukan respon
terhadap kedaruratan khususnya kedaruratan kesehatan lingkungan perlu
memahami dan memiliki preparedness plan/ rencana persiapan untuk merespon jika
terjadi kedaruratan. Hal-hal yang perlu dipahami dan direncanakan sebelum
terjadinya kedaruratan kesehatan lingkungan antara lain sebagai berikut.
- Penghubung atau kontak terhadap departemen kesehatan atau organisasi lain
yang terkait dan juga terhadap badan respons kedaruratan, dalam hal ini di
Indonesia yaitu BNPB
- Evaluasi segera terhadap kondisi dan risiko kesehatan masyarakat
- Evaluasi dampak kerusakan terhadap instalasi sanitasi umum dan penyediaan
untuk perbaikan instalasi sanitasi
17
- Evaluasi terhadap kebutuhan tempat penampungan dan ketersediaan makanan
- Mobilisasi tim dan alat-alat yang dibutuhkan
- Langkah-langkah kedaruratan untuk menanggulangi atau mengurangi bahaya
kesehatan lingkungan maupun hazard yang mungkin muncul berikutnya.
- Pemulihan darurat terhadap suplai air dan sistem pengolahan limbah
- Pelaporan terhadap kondisi dan tindakan yang diambil
18
ekonomi, dan budaya serta ekosistem suatu kawasan. Kegiatannya mencakup
lingkungan kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan usaha, dan kawasan
bangunan gedung.
b. Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum
Merupakan kegiatan perbaikan prasarana dan saran umum untuk memenuhi
kebutuhan transportasi, kelancaran kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya
masyarakat. Kegiatannya mencakup perbaikan infrastruktur (jaringan
jalan/perhubungan; jaringan air bersih; jaringan listrik; jaringan komunikasi; jaringan
sanitasi dan limbah; dan jaringan irigasi/pertanian); dan fasilitas sosial dan fasilitas
umum (fasilitas kesehatan; fasilitas perekonomian; fasilitas pendidikan; fasilitas
perkantoran pemerintahan; dan fasilitas peribadatan).
Kegiatan perbaikan prasaran dan sarana umum harus memenuhi ketentuan
mengenai: persyaratan keselamatan; persyaratan sistem sanitasi; persyaratan
penggunaan bahan bangunan; persyaratan standar teknis konstruksi jalan, jembatan,
bangunan gedung dan bangunan air. Proses pembangunan diharapkan harus membantu
meningkatkan standar hidup masyarakat.
Setelah terjadinya bencana Tsunami Aceh pada tahun 2006, hadir bantuan JICA
(Japan Internasional Cooperation Agency) dalam membangun gedung-gedung
evakuasi vertikal yang dapat memuat setidaknya 500 hingga 1000 orang dan
diikutisertakan juga inisiatif dari UNDP sebagai sebuah badan yang menangani bidang
pembangunan di bawah Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) (Rafliana, 2014).
c. Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat
Merupakan bantuan pemerintah sebagai stimulan untuk membantu masyarakat
memperbaiki rumahnya yang mengalami kerusakan akibat bencana untuk dapat dihuni
kembali. Bantuan tersebut dapat berupa bahan material, komponen rumah atau uang
yang besarnya ditetapkan berdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi tingkat kerusakan
rumah yang dialami. Bantuan pemerintah untuk perbaikan rumah masyarakat diberikan
dengan pola pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan karakter daerah dan
budaya masyarakat, yang mekanisme pelaksanaannya ditetapkan melalui koordinasi
BPBD. Tujuan pemberian bantuan dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi rumah
masyarakat agar dapat mendukung kehidupan masyarakat, seperti komponen rumah,
prasarana, dan sarana lingkungan perumahan yang memungkinkan berlangsungnya
19
kehidupan sosial dan ekonomi yang memdai sesuai dengan standar pembangunan
perumahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Masyarakat
tidak berada dalam posisi berkuasa untuk melibatkan diri dalam membangun kembali
rumah dan daerahnya. Berbagai bantuan dari pihak luarlah yang akan membantu
mereka untuk membangun Kembali (Rafliana, 2014).
d. Pemulihan Sosial Psikologis
Ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana,
memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi psikologis pada keadaan normal
seperti kondisi sebelum bencana. Kegiatan ini dilakukan melalui upaya pelayanan
sosial psikologi berupa: bantuan konseling dan konsultasi (pemberian pertolongan
kepada individu atau keluarga untuk melepaskan ketegangan dan beban psikologis
secara terstruktur); pendampingan pemulihan trauma (pendampingan terstruktur
dengan berbagai metode terapi psikologis yang tepat kepada individu yang mengalami
trauma psikologis agar dapat berfungsi secara normal kembali); pelatihan pemulihan
kondisi psikologis (pelatihan untuk pemuka komunitas, relawan dan pihak-pihak yang
ditokohkan/mampu dalam masyarakt untuk memberikan dukungan psikologis kepada
masyarakat); dan kegiatan psikososial (bertujuan agar masyarakat mampu
melaksanakan tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari
mengalami dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan
mental).
e. Pelayanan Kesehatan
Merupakan aktivitas memulihkan kembali segala bentuk pelayanan kesehatan
sehinggal minimal tercapai kondisi seperti sebelum terjadi bencana. Pemulihan sistem
pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang dilakukan untuk memulihkan kembali
fungsi sistem pelayanan kesehatan yang meliputi: SDM kesehatan; sarana/prasarana
kesehatan; dan kepercayaan masyarakat. Kegiatan ini ditujukan untuk membantu
masyarakat yang terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi
kesehatan masyarakat melalui pemulihan sistem pelayanan kesehatan masyarakat.
Kegiatan ini dilakukan melalui: membantu perawatan lanjut korban bencara yang sakit
dan mengalami luka; menyediakan obat-obatan; menyediakan peralatan kesehatan;
menyediakan tenaga medis dan paramedis; dan memfungsikan kembali sistem
pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan.
20
f. Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Rekonsiliasai adalah merukunkan atau mendamaikan kembali pihak-pihak yang
terlibat dalam perselisihan, pertengkaran dan konflik. Resolusi adalah memposisikan
perbedaan pendapat, perselisihan, pertengkaran atau konflik dan menyelesaikan
masalah atas perselisihan, pertengkatan atau konflik tersebut. Rekonsiliasi dan resolusi
konflik ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah bencana dan rawan konflik
sosial untuk menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta memulihkan
kondisi sosial kehidupan masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui upaya-upaya
mediasi persuasif dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat terkait dengan tetap
memperhatikan situasi, kondisi, dan karakter serta budaya masyarakat setempat dan
menjunjung rasa keadilan.
g. Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya
Merupakan upaya untuk memfungsikan kembali kegiatan dan/atau lembaga sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat di daerah bencana. pemulihan sosial ekonomi budaya
ditujukan untuk membantu masyarakat terkena dampak bencana dalam rangka
memulihkan kondisi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya seperti pada kondisi
sebelum terjadi bencana. Kegiatan ini dilakukan dengan membantu masyarakat
menghidupkan dan mengaktifkan kembali kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya
melalui: layanan advokasi dan konseling; bantuan stimulan aktivitas; dan pelatihan.
h. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Merupakan kegiatan mengembalikan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat
sebagaimana sebelum terjadi bencana dan menghilangkan gangguan keamanan dan
ketertiban di daerah bencana. Pemulihan keamanan dan ketertiban ditujukan untuk
membantu masyarakat dalam memulihkan kondisi keamanan dan keterlibatan
masyarakat di daerah terkena dampak bencana agar kembali seperti kondisi sebelum
terjadi bencana. Kegiatan ini dilakukan melalui upaya: mengaktifkan kembali fungsi
lembaga keamanan dan ketertiban di daerah bencana; meningkatkan peran serta
masyarakat dalam kegiatan pengamanan dan ketertiban; mengkoordinasi
instansi/lembaga yang berwenang di bidang keamanan dan ketertiban.
i. Pemulihan Fungsi Pemerintahan
21
Ditujukan untuk memulihkan fungsi pemerintahan kembali seperti kondisi sebelum
terjadi bencana. Kegiatan ini dilakukan melalui upaya: mengaktifkan kembali
pelaksanaan kegiatan tugas-tugas pemerintahan secepatnya; penyelamatan dan
pengamanan dokumen-dokumen negara dan pemerintahan; konsolidasi para petugas
pemerintahan; pemulihan fungsi-fungsi dan peralatan pendukung tugas-tugas
pemerintahan; dan pengaturan kembali tugas-tugas pemerintahan pada
instansi/lembaga terkait.
j. Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik
Merupakan berlangsungnya kembali berbagai pelayanan publik yang mendukung
kegiatan/kehidupan sosial dan perekonomian wilayah yang terkena bencana.
Pemulihan fungsi pelayanan publik ditujukan untuk memulihkan kembali fungsi
pelayanan kepada masyarakat pada kondisi seperti sebelum terjadi bencana. Pelayanan
publik meliputi: pelayanan kesehatan; pelayanan pendidikan; pelayanan perekonomian;
pelayanan perkantoran umum/pemerintah; dan pelayanan peribadatan. Kegiatan ini
dilakukan melalui upaya-upaya: rehabilitasi dan pemulihan fungsi prasarana dan sarana
pelayanan publik; mengaktifkan kembali fungsi pelayanan publik pada
intstansi/lembaga terkait; dan pengaturan kembali fungsi pelayanan publik.
2.5.2 Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah
nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali
secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Pelaksanaan rekonstruksi harus dapat
mendorong dikembangkannya atau direvisinya peraturan-perundangan dan standar-
standar keselamatan yang lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan, baik pada
tingkat nasional maupun lokal, dan mengadaptasi pengetahuan terbaru mengenai
bahaya dan kerentanan setelah kejadian bencana.
Rekonstruksi tidak dapat dilakukan tanpa identifikasi awal dari area-area
kerentanan yang mengalami guncangan akibat fenomena awal. pengurangan
22
kerentanan adalah hubungan yang memungkinkan transisi dari program darurat itu
sendiri (bantuan, rehabilitasi) ke program pembangunan yang akan melakukan
perubahan yang diperlukan untuk mengurangi kerentanan. Penyelenggaraan
rekonstruksi dilakukan dibawah koordinasi BNPB dan/atau BPBD (untuk tingkat
daerah). Lingkup pelaksanan rekonstruksi meliputi:
a. Program Rekonstruksi Fisik
Merupakan tindakan untuk memulihkan kondisi fisik melalui pembangunan
kembali secara permanen prasarana dan sarana permukiman, pemerintahan dan
pelayanan masyarakt (kesehatan, pendidikan dll), prasarana dan sarana ekonomi
(jaringan perhubungan, air bersih, sanitas dan drainase, irigasi, listrik dan
telekomunikasi dll), prasarana dan sarana sosial (ibadah, budaya, dll) yang rusak akibat
bencana, agar kembali ke kondisi semula atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelum
bencana. Pelaksanaan rekonstruksi fisik dilakukan dibawah koordinasi BNPB dengan
bekerjasana dengan instansi-instansi yang terkait.
b. Program Rekonstruksi Non Fisik
Merupakan tindakan untuk memperbaiki atau memulihkan kegiatan pelayanan
publik dan kegiatan sosial, ekonomi serta kehidupan masyarakat, antara lain sektor
kesehatan, pendidikan, perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan
kondisi mental/sosial masyarakat yang terganggu oleh bencana, kembali pada kondisi
pelayanan dan kegiatan semula atau bahkan lebihbaik dari kondisi sebelumnya.
Pelaksanaan rekonstruksi non-fisik dilakukan dibawah koordinasi BNPB dengan
bekerjasama dengan instansi-instansi yang terkait.
Cakupan kegiatan rekonstruksi non-fisik di antaranya adalah:
a. Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan
budaya masyarakat.
b. Partisipasi dan peran serta lembaga/organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan
masyarakat.
c. Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat.
d. Fungsi pelayanan publik dan pelayanan utama dalam masyarakat.
e. Kesehatan mental masyarakat.
23
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bencana merupakan hasil rangkaian kejadian. Bencana terbentuk setelah ada
keadaan darurat (emergency) dan korban manusia (victims). Keadaan darurat terbentuk
jika ancaman bahaya (hazards) bergabung dengan kerawanan/kerentanan
(vulnerabilty).
Vulnerability adalah faktor-faktor yang memungkinkan bahaya yang
menyebabkan bencana, dan ketahanan, yakni kemampuan untuk bertahan dari
kerusakan yang disebabkan oleh keadaan darurat dan bencana, serta merupakan fungsi
dari berbagai faktor yang memungkinkan untuk pulih dari keadaan darurat.
Vulnerability sebagai kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-
proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, yang bisa meningkatkan rawannya
sebuah komunitas terhadap dampak bahaya.
Kerentanan-kerentanan berinteraksi pada beberapa tingkatan dan dapat
menciptakan reaksi berantai yang nyata. Dengan demikian, malnutrisi laten
(kerentanan individu) dan keterbelakangan pertanian (kerentanan ekonomi) bergabung
untuk menciptakan bencana gizi (memberikan dampaknya pada kelompok yang sudah
kekurangan gizi) setelah kemarau panjang (fenomena).
Vulnerability Assessment dapat menjadi basis data yang digunakan untuk
mengurangi kerentanan melalui metode pencegahan/ mitigasi bencana dan
kesiapsiagaan darurat. Vulnerability Assessment memungkinkan pencegahan terhadap
masalah yang mungkin akan dihadapi oleh kelompok tertentu ketika terjadinya
24
bencana dan juga selama proses recovery/ pemulihan. Strategi intervensi setelah
terjadi bencana yaitu rekknstruksi dan rehabilitasi.
3.2 Saran
Diharapkan kepada Pemerintah, stakeholders dan keterlibatan masyarakat
secara bersama dalam menerapkan strategi pengurangan risiko terjadinya bencana.
Salah satunya yaitu mereduksi kerentanan-kerentanan yang dapat beujung kepada
bencana. Oleh karena itu perlu adanya assesment vulnerability setiap daerah secara
berkala .
25
DAFTAR PUSTAKA
Barry, R. G. (2005). War and Public Health. Roteech Healthcare INC (Vol. 15).
Hastanti, B. W., & Purwanto. (2020). Analisis Keterpaparan, Sensitivitas, dan Kapasitas
Adaptasi Masyarakat terhadap Kekeringan di Dusun Pamor, Kradenan, Grobogan.
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 1-19.
Jaswadi, dkk. (2012). Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi
Risiko Banjir di Kecamatan Pasar Kliwon di Kota Surabaya. Majalah Geografi
Indonesia Vol. 26 No. 1. Yogyakarta.
Perrin, Pierre. (2001). War and Public Health. A Handbook. Switzerland: ICRC
Virendra. (2014). The concept of vulnerability and resilience. Procedia Economics and
Finance 18, p. 369 – 376.
26
WHO. (2002). Environmental health in emergencies and disasters. Switzerland.
Widyawati, L. (2016). The Risk Level And Distribution Of Drought In Kokap District
Kulonprogo Regency. Yogyakarta
Zarafshani, K., Sharafi, L., Azadi, H., & Van Passel, S. (2016). Vulnerability assessment
models to drought: Toward a conceptual framework. Sustainability (Switzerland),
8(6), 1–21. https://doi.org/10.3390/su8060588
27