Anda di halaman 1dari 34

UNIVERSITAS INDONESIA

KERAWANAN DAN BENCANA

Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah:


Dr. drg. Ririn Arminsih Wulandari M.Kes

Penyusun:
Kelompok 2
Agnia Nurul Hikmah 1906430112
Defi Selvianita 1906430245
Pantri Widyaastuti 1906336233
Riri Amanda Pratiwi 1906430724
Rohana Uly 1906430781
Shabrina Getenia 1906430812
Weny Wulandary 1906430913

MATA KULIAH LINGKUNGAN DAN KESEHATAN GLOBAL


PROGRAM PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kerawanan dan
Bencana”. Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas dalam mata
kuliah Lingkungan dan Kesehatan Global.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan belum seluruhnya
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
untuk perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Depok, 30 Oktober 2019


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii
BAB I ............................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II ........................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
I. Definisi Kerawanan ............................................................................................ 3
II. Jenis-jenis Kerawanan dan Proses Terbentuknya Kerawanan ....................... 9
Terbentuknya Kerawanan .................................................................................... 11
Jenis-jenis Kerawanan ......................................................................................... 12
III. Interaksi Kerawanan dalam Cuaca Kering Berkepanjangan ........................ 14
IV. Menanggapi Tahapan Kejadian yang akan Berujung pada Kerawanan ....... 21
V. Strategi Intervensi Setelah Terjadi Bencana .................................................... 24
BAB III ....................................................................................................................... 29
PENUTUP ................................................................................................................... 29
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerentanan merupakan karakteristik beragam yang dikondisikan oleh faktor


individu, sosial, dan struktural, dan oleh karena itu analisis apa pun harus mencakup
seluruh rantai kerentanan, membentuk individu ke sistem ekonomi makro. Kerentanan
kadang-kadang atau sering dikaitkan dengan proses pembangunan itu sendiri, yang
dapat menciptakan kondisi untuk suatu bencana (misalnya kecelakaan kimia dan
nuklir). Kerentanan terhadap perubahan lingkungan lebih luas dari penggunaan sumber
daya.
Kerentanan didorong oleh tindakan manusia yang tidak disengaja atau
disengaja yang memperkuat kepentingan diri sendiri dan distribusi kekuatan yang
berinteraksi dengan sistem fisik dan ekologis. Kedua, ada istilah umum di seluruh
pendekatan teoritis: kerentanan paling sering dikonseptualisasikan sebagai komponen
dasar yang mencakup paparan dan sensitivitas terhadap gangguan atau tekanan
eksternal, dan kapasitas untuk beradaptasi. Paparan adalah sifat dan tingkat dimana
sistem mengalami tekanan lingkungan atau kondisi sosial-politik. Karakteristik dari
tekanan-tekanan ini termasuk besarnya, frekuensi, durasi dan luas areal dari bahaya
(Burton et al., 1993). Sensitivitas adalah tingkat di mana suatu sistem dimodifikasi atau
dipengaruhi oleh gangguan. Kapasitas adaptif adalah kemampuan suatu sistem untuk
berkembang guna mengakomodasi bahaya lingkungan atau perubahan kebijakan dan
untuk memperluas jangkauan variabilitas yang dapat diatasi.
Terjadinya gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, banjir,
kebakaran hutan merupakan bencana alam yang masih terjadi di Indonesia. Kekeringan
merupakan bencana alam yang hampir setiap tahun dialami Indonesia sebagai negara
tropis. Kekeringan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air untuk kebutuhan
hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan ligkungan. Sebuah bencana seringkali sangat
terbatas secara geografis. Faktor-faktor lokal yang memperkuat dampak fenomena

1
awal terhadap kelompok rentan harus dicari. Faktor-faktor ini, bagaimanapun, sering
dikaitkan dengan cacat struktural nasional dan internasional. Oleh karena itu, penting
untuk memahami karakteristik kerawanan serta strategi dalam mengatasi dan
mengintervensi setelah terjadinya bencana.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kerawanan?
2. Apa saja jenis-jenis kerawanan? Mengapa kerawanan-kerawanan itu bisa
terbentuk?
3. Dalam cuaca kering yang berkepanjangan, bagaimana kerawanan-kerawanan
itu saling berinteraksi?
4. Bagaimana menanggapi tahapan kejadian yang akan berujung pada
kerawanan?
5. Bagaimana strategi intervensi setelah terjadi bencana?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi kerawanan.
2. Mengetahui dan memahami jenis-jenis kerawanan dan proses terbentuknya
kerawanan.
3. Mengetahui dan memahami interaksi kerawanan-kerawanan dalam cuaca
kering yang berkepanjangan.
4. Mengetahui dan memahami cara menanggapi tahapan kejadian yang akan
berujung pada kerawanan.
5. Mengetahui dan memahami strategi intervensi setelah terjadi bencana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

I. Definisi Kerawanan
Kerentanan adalah karakteristik beragam yang dikondisikan oleh faktor
individu, sosial, dan struktural, dan oleh karena itu analisis apa pun harus mencakup
seluruh rantai kerentanan, membentuk individu ke sistem ekonomi makro. Kerentanan
secara keseluruhan terkait dengan tingkat perkembangan komunitas. Kerentanan
adalah karakteristik strata sosial yang paling tidak beruntung (yang tidak memiliki
informasi tentang ancaman banjir, hidup dalam kondisi genting, kekurangan sumber
daya untuk mengatasi kerugian. Kerentanan kadang-kadang atau sering dikaitkan
dengan proses pembangunan itu sendiri, yang dapat menciptakan kondisi untuk suatu
bencana (misalnya kecelakaan kimia dan nuklir). Sebuah bencana seringkali sangat
terbatas secara geografis. Oleh karena itu, faktor-faktor lokal yang memperkuat
dampak fenomena awal terhadap kelompok rentan harus dicari. Faktor-faktor ini,
bagaimanapun, sering dikaitkan dengan cacat struktural nasional dan internasional.
Meskipun tidak ada upaya yang dilakukan di sini untuk menghubungkan hal-hal kecil
dari gangguan lokal dengan tatanan dunia baru, setidaknya harus dipahami bahwa
mereka adalah bagian dari keseluruhan yang luas dan kompleks.
Kerentanan yang dimanifestasikan di tingkat mikro harus ditempatkan di dalam
struktur dan sistem yang lebih besar ini, yang melampaui batas untuk nasional, untuk
bertindak di beberapa tingkat - tingkat lokal, masyarakat dan rumah tangga di
dalamnya, tingkat nasional (di ketentuan kebijakan sektoral dan makroekonomi), dan
tingkat global (dalam hal kebijakan dan program internasional yang berkaitan dengan
bantuan, bantuan teknis, dan hubungan ekonomi antar negara).
Secara luas dicatat bahwa kerentanan terhadap perubahan lingkungan lebih luas
dari penggunaan sumber daya. Kerentanan didorong oleh tindakan manusia yang tidak
disengaja atau disengaja yang memperkuat kepentingan diri sendiri dan distribusi

3
kekuatan yang berinteraksi dengan sistem fisik dan ekologis. Kedua, ada istilah umum
di seluruh pendekatan teoritis: kerentanan paling sering dikonseptualisasikan sebagai
komponen dasar yang mencakup paparan dan sensitivitas terhadap gangguan atau
tekanan eksternal, dan kapasitas untuk beradaptasi. Paparan adalah sifat dan tingkat
dimana sistem mengalami tekanan lingkungan atau kondisi sosial-politik. Karakteristik
dari tekanan-tekanan ini termasuk besarnya, frekuensi, durasi dan luas areal dari
bahaya (Burton et al., 1993). Sensitivitas adalah tingkat di mana suatu sistem
dimodifikasi atau dipengaruhi oleh gangguan. Kapasitas adaptif adalah kemampuan
suatu sistem untuk berkembang guna mengakomodasi bahaya lingkungan atau
perubahan kebijakan dan untuk memperluas jangkauan variabilitas yang dapat diatasi.
Ada dua teori relevan yang ada yang berhubungan dengan penggunaan sumber
daya lingkungan oleh manusia dan risiko lingkungan: penelitian kerentanan dan
ketahanan terkait sistem sosial-ekologis dan literatur terpisah tentang kerentanan mata
pencaharian terhadap kemiskinan. Gambar. 1 adalah upaya untuk menggambarkan
tumpang tindih dalam ide dan ide-ide yang berbeda satu sama lain. Dua tradisi
penelitian utama dalam kerentanan bertindak sebagai seedbeds untuk ide-ide yang
akhirnya diterjemahkan ke dalam penelitian saat ini tentang kerentanan sistem sosial
dan fisik secara terpadu. Dua hal ini ini adalah analisis kerentanan karena kurangnya
hak dan analisis kerentanan terhadap bahaya alam. Digambarkan pada bagian atas
Gambar. 1, dengan tradisi bahaya digambarkan menjadi tiga bidang ekologi manusia
yang tumpang tindih (atau ekologi politik), bahaya alam, dan apa yang disebut model
'Tekanan dan Pelepasan' mencakup ruang antara bahaya dan pendekatan ekologi
politik.
Cutter (1996) dan Cutter et al. (2003), pertama mengklasifikasikan kerentanan
sebagai paparan (kondisi yang membuat orang atau tempat rentan terhadap bahaya),
kedua, kerentanan sebagai kondisi sosial (ukuran ketahanan terhadap bahaya), dan
ketiga, 'integrasi potensi paparan dan ketahanan sosial dengan fokus spesifik pada
tempat atau wilayah (Cutter et al., 2003, hal. 243). O'Brien et al. (2005)
mengidentifikasi tren serupa dalam 'kerentanan sebagai hasil' dan 'kerentanan
kontekstual' sebagai dua fokus penelitian yang berlawanan berkaitan dengan debat

4
dalam bidang perubahan iklim (lihat juga Kelly dan Adger, 2000). Perbedaan antara
hasil dan proses kerentanan ini juga penting, meskipun tidak ditemukan pada Gambar.
1, yang menggambarkan lebih banyak pembagian disiplin antara upaya-upaya yang
sebagian besar mengabaikan sistem fisik dan biologis (hak dan mata pencaharian) dan
yang mencoba mengintegrasikan sosial dan sosial. Sistem ekologi mendorong
penelitian tentang hak dalam mata pencaharian adalah kebutuhan untuk menjelaskan
kerawanan pangan, perselisihan sipil dan pergolakan sosial. Penelitian tentang dampak
sosial dari bahaya alam berasal dari penjelasan kesamaan antara berbagai jenis bencana
alam dan dampaknya terhadap masyarakat.
Fenomena-fenomena (kegagalan hak yang mengarah pada kelaparan dan
bahaya alam) tidak terpisahkan. Sementara beberapa kelaparan dapat dipicu oleh
peristiwa iklim ekstrem, seperti kekeringan atau banjir, misalnya, peneliti kerentanan
semakin menunjukkan bahwa kelaparan dan kerawanan pangan lebih sering
disebabkan oleh penyakit, perang atau faktor lainnya (Sen, 1981; Swift, 1989 ; Bohle
et al., 1994; Blaikie et al., 1994). Penjelasan kerentanan berdasarkan hak terfokus
hampir secara eksklusif pada ranah sosial lembaga, kesejahteraan dan kelas, status
sosial dan gender sebagai variabel penting, sementara penelitian kerentanan tentang
bahaya alam mengembangkan pengetahuan integral risiko lingkungan dengan respons
manusia yang mengacu pada geografis dan perspektif psikologis selain parameter
sosial risiko. Kerentanan terhadap kerawanan pangan dijelaskan, melalui apa yang
disebut teori hak, sebagai seperangkat faktor ekonomi dan kelembagaan terkait. Hak
adalah sumber daya aktual atau potensial yang tersedia untuk individu berdasarkan
produksi, aset, atau pengaturan timbal balik mereka sendiri. Karena itu, kerawanan
pangan merupakan konsekuensi dari aktivitas manusia, yang dapat dicegah dengan
perilaku yang dimodifikasi dan dengan intervensi politik.
Kerentanan adalah hasil dari proses di mana manusia terlibat secara aktif dan
yang hampir selalu dapat mereka cegah. Teori hak sebagai penjelasan untuk penyebab
kelaparan dikembangkan pada awal 1980-an (Sen, 1981, 1984) dan menggusur
gagasan sebelumnya bahwa kekurangan dalam produksi makanan melalui kekeringan,
banjir, atau hama, adalah penyebab utama kelaparan. Sebaliknya ia berfokus pada

5
permintaan efektif untuk makanan, dan sarana sosial dan ekonomi untuk
mendapatkannya. Hak adalah sumber kesejahteraan atau pendapatan yang
direalisasikan atau laten. keduanya adalah kumpulan komoditas alternatif yang dapat
diperintah seseorang dalam masyarakat menggunakan totalitas hak dan peluang yang
dihadapi '(Sen, 1984, hlm. 497). Pada dasarnya, kerentanan mata pencaharian terhadap
guncangan terjadi ketika orang tidak memiliki cukup penghasilan dan kekayaan nyata,
dan ketika ada gangguan dalam dana abadi lain yang sebelumnya dimiliki.

Gambar 1 Analisis Tradisi pada Kerawanan dan Evolusi


Keuntungan dari pendekatan hak seseorang terhadap kelaparan adalah bahwa
hal itu dapat digunakan untuk menjelaskan situasi di mana populasi rentan terhadap
kelaparan bahkan di mana tidak ada kekurangan absolut dari makanan atau pendorong
lingkungan yang jelas sedang bekerja. Kelaparan dan krisis lainnya terjadi ketika hak
gagal. Sementara pendekatan pemberian hak untuk menganalisis kerentanan terhadap
kelaparan sering kali tidak memperhitungkan risiko ekologis atau fisik, pendekatan ini
berhasil menyoroti perbedaan sosial dalam penyebab dan hasil kerentanan. Tradisi
penelitian kedua (kanan atas pada Gambar. 1) tentang bahaya alam, sebaliknya sejak

6
awal berusaha menggabungkan ilmu fisik, teknik dan ilmu sosial untuk menjelaskan
hubungan antara elemen sistem.
Tradisi ekologi manusia (kadang-kadang diberi label aliran ekologi politik-
Cutter, 1996) dalam analisis kerentanan terhadap bahaya (kanan atas pada Gambar. 1)
berpendapat bahwa wacana manajemen bahaya, karena dominasi yang dirasakan dari
pendekatan teknik, gagal untuk melibatkan dengan penyebab politis dan struktural
kerentanan dalam masyarakat. Ahli ekologi manusia berusaha menjelaskan mengapa
orang miskin dan terpinggirkan paling berisiko dari bahaya alam (Hewitt, 1983; Watts,
1983), apa yang oleh Hewitt (1997) disebut "ekologi manusia dari bahaya". Rumah
tangga yang lebih miskin cenderung tinggal di daerah yang berisiko di permukiman
perkotaan, menempatkan mereka pada risiko banjir, penyakit, dan tekanan kronis
lainnya. Banjir di daerah dataran rendah yang berhubungan dengan iklim monsun atau
dampak badai, misalnya, bersifat musiman dan biasanya berumur pendek, namun dapat
memiliki dampak signifikan untuk masyarakat yang rentan. Burton et al. (1993), dari
tradisi bahaya berpendapat bahwa bahaya pada dasarnya dimediasi oleh struktur
kelembagaan, dan peningkatan kegiatan ekonomi yang tidak mengurangi kerentanan
terhadap dampak bahaya pada umumnya. Seperti halnya kerawanan pangan,
kerentanan terhadap bahaya alam seringkali dijelaskan oleh faktor teknis dan
kelembagaan. Sebaliknya, pendekatan ekologi manusia menekankan peran
pembangunan ekonomi dalam beradaptasi dengan perubahan risiko eksogen dan
karenanya perbedaan dalam struktur kelas, tata kelola, dan ketergantungan ekonomi
dalam berbagai dampak bahaya (Hewitt, 1983).
Pada Gambar. 1 tergambarkan dua tradisi penelitian yang berhasil dijembatani
oleh Blaikie dan rekan (1994) dalam model bahaya dan tekanan. Mereka mengusulkan
bahwa bahaya fisik atau biologis mewakili satu tekanan dan karakteristik kerentanan,
bahwa tekanan lebih lanjut berasal dari perkembangan kumulatif kerentanan, dari akar
penyebab hingga geografi lokal dan diferensiasi sosial. Kedua tekanan ini berujung
pada bencana yang diakibatkan oleh tekanan tambahan bahaya dan kerentanan (Blaikie
et al., 1994). Esensi kerentanan dari bahaya fisik mengidentifikasi penyebab
kerentanan yang mendasar dalam kerangka kerja ekologi manusia. Analisis ini juga

7
komprehensif menjelaskan bahaya fisik dan biologis (meskipun sengaja
menghilangkan bahaya teknologi). Dampak yang terkait dengan bahaya geologis
sering terjadi tanpa peringatan yang efektif. Sebaliknya, epidemi HIV / AIDS adalah
bencana gelombang panjang dengan onset lambat tetapi dampak bencana (Barnett dan
Blaikie, 1994; Stabinski et al., 2003).
Blaikie et al. (1994) juga menetapkan tindakan dan prinsip untuk pemulihan
dan mitigasi bencana yang difokuskan secara eksplisit pada pengurangan kerentanan.
Model tekanan dan rilis digambarkan pada Gambar 1 sebagai berhasil mensintesis
kerentanan sosial dan fisik. Dalam menjadi komprehensif dan dalam memberikan
bobot yang sama dengan 'bahaya' dan 'kerentanan' sebagai tekanan, analisis gagal
memberikan pandangan sistematis tentang mekanisme dan proses kerentanan.
Operasionalisasi model tekanan dan pelepasan harus melibatkan tipologi penyebab dan
data kategorikal pada jenis bahaya, membatasi analisis dalam hal hubungan kuantitatif
atau prediktif.
Pada Gambar 1, pada mata pencaharian berkelanjutan dan kerentanan terhadap
kemiskinan ditampilkan sebagai penerus kerentanan atas kegagalan hak. Dalam
penelitian ini, sebagian besar dalam ekonomi pembangunan, cenderung tidak
mempertimbangkan sistem sosial-ekologis integratif tetapi tetap melengkapi
pendekatan berbasis bahaya melalui konseptualisasi dan pengukuran hubungan antara
risiko dan kesejahteraan pada tingkat individu. (Alwang et al., 2001; Adger dan
Winkels, 2006). Mata pencaharian yang berkelanjutan mengacu pada kesejahteraan
seseorang atau rumah tangga (Ellis, 2000) yang terdiri dari kemampuan, aset, dan
kegiatan yang mengarah pada kesejahteraan (Chambers and Conway, 1992; Allison
dan Ellis, 2001). Kerentanan dalam konteks ini mengacu pada kerentanan terhadap
keadaan tidak mampu mempertahankan mata pencaharian: konsep-konsep tersebut
paling sering diterapkan dalam konteks bantuan pembangunan dan pengentasan
kemiskinan. Sementara mata pencaharian dikonseptualisasikan sebagai aliran aset
modal yang mencakup jasa ekosistem (modal alam), dinamika fisik dan risiko ekologis
sebagian besar tidak diperhitungkan dalam bidang penelitian ini. Fokus utama adalah
pada konsumsi rumah tangga miskin sebagai manifestasi dari kerentanan (Dercon,

8
2004). Mengingat pentingnya hal ini dan kontribusi yang peneliti lakukan di bidang ini
terhadap metode (lihat bagian di bawah), tampaknya fertilisasi silang ekonomi
pembangunan dengan kerentanan, adaptasi, dan penelitian ketahanan menghasilkan
wawasan baru.

II. Jenis-jenis Kerawanan dan Proses Terbentuknya Kerawanan


Kerentanan/vulnerability adalah dimensi dari bencana dan merupakan hasil dari
berbagai faktor ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan, politik dan psikologis yang
membentuk kehidupan manusia dan lingkungan tempat mereka tinggal (Twigg, 2004).
Kerentanan dapat menjadi konsep yang sulit untuk dipahami karena cenderung berarti
hal yang berbeda untuk orang yang berbeda dan karena sering digambarkan
menggunakan berbagai istilah termasuk 'kecenderungan', 'kerapuhan', 'kelemahan',
'kekurangan', 'kekurangan' atau 'kurangnya kapasitas’.

Gambar 2 Hubungan Risiko terhadap Bahaya, Tekanan, dan Kerawanan


Meskipun ada beberapa perbedaan tentang arti kerentanan, sebagian besar ahli
sepakat bahwa memahami kerentanan membutuhkan lebih dari menganalisis dampak
langsung bahaya. Kerentanan juga menyangkut kondisi lingkungan dan sosial yang
lebih luas yang membatasi orang dan masyarakat untuk mengatasi dampak bahaya
(Birkmann, 2006).
Kerentanan bukan hanya tentang kemiskinan, tetapi penelitian ekstensif selama
30 tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa umumnya orang miskin yang
cenderung lebih menderita dari bencana (Twigg, 2004; Wisner et al., 2004; UNISDR,
2009b). Kemiskinan adalah pendorong sekaligus konsekuensi dari risiko bencana
(terutama di negara-negara dengan tata kelola risiko yang lemah) karena tekanan
ekonomi memaksa orang untuk hidup di lokasi yang tidak aman (Wisner et al., 2004).

9
Kemiskinan dan faktor-faktor multi-dimensi lainnya menciptakan kerentanan
menunjukkan bahwa kerentanan seringkali, tetapi tidak selalu, terkait dengan
kelompok-kelompok tertentu, termasuk perempuan, anak-anak, orang tua, orang cacat,
migran dan populasi minoritas.
Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah
bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat
menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa
kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam
melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak
bahaya. Kerentan terkait dengan sejumlah faktor, termasuk:
1. Faktor fisik
Dapat ditentukan oleh aspek-aspek seperti tingkat kepadatan penduduk,
keterpencilan pemukiman, lokasi, desain dan bahan yang digunakan untuk
infrastruktur kritis dan untuk perumahan (UNISDR). Contohnya Bangunan,
Infrastruktur, Konstruksi yang lemah.
2. Faktor sosial
Mengacu pada ketidakmampuan orang, organisasi dan masyarakat untuk
menahan dampak buruk terhadap bahaya karena karakteristik yang melekat dalam
interaksi sosial, lembaga dan sistem nilai budaya. Ini terkait dengan tingkat
kesejahteraan individu, komunitas, dan masyarakat. Juga mencakup aspek-aspek
yang terkait dengan tingkat melek huruf dan pendidikan, perdamaian dan
keamanan, akses ke hak asasi manusia dasar, sistem pemerintahan yang baik,
keadilan sosial, nilai-nilai tradisional yang positif, adat istiadat dan kepercayaan
ideologis dan keseluruhan sistem organisasi kolektif (UNISDR). Misalnya
Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat pertumbuhan yang tinggi, anak-anak
dan wanita, lansia.
3. Faktor ekonomi
Tingkat kerentanan sangat tergantung pada status ekonomi individu,
komunitas dan negara. Orang miskin biasanya lebih rentan terhadap bencana
karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk membangun struktur yang

10
kokoh dan menerapkan langkah-langkah teknis lainnya untuk melindungi diri
mereka dari dampak negatif dari bencana. Misalnya sektor informal yang tidak
diasuransikan, mata pencaharian yang rentan, ketergantungan pada industri
tunggal, globalisasi bisnis dan supply chain, dll.
4. Faktor lingkungan
Penipisan sumber daya alam dan degradasi sumber daya adalah aspek
kunci dari kerentanan lingkungan. Misalnya manajemen lingkungan yang buruk,
konsumsi sumber daya alam yang berlebihan, penurunan risiko yang mengatur jasa
ekosistem, perubahan iklim, dll.
5. Faktor Mental
Misalnya, ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya diri, dan
lainnya.

Terbentuknya Kerawanan
Contoh bencana gempa bumi di Indonesia, alasan mengapa Indonesia menjadi
rawan untuk terjadinya gempa bumi menurut Daryono, kepala bidang informasi gempa
bumi dan peringatan dini tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) yang dikutip dari Kompas.com adalah sebagai berikut:
1. Posisinya yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Eurasia,
Indoaustralia dan Pasifik.
2. Indonesia juga sangat kaya dengan sebaran patahan aktif atau sesar aktif. Ada
lebih dari 200 yang sudah terpetakan dengan baik dan masih banyak yang belum
terpetakan sehingga tidak heran jika wilayah Indonesia itu dalam sehari itu lebih
dari 10 gempa yang terjadi
3. Posisi Indonesia dikenal berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yaitu daerah
"tapal kuda" sepanjang 40.000 km yang sering mengalami gempa bumi dan
letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Sekitar 81%
dari gempa bumi yang ada di Indonesia terjadi di sepanjang Cincin Api ini.
Selain gempa bumi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Stasiun Klimatologi Yogyakarta menyebut wilayah Sleman paling berpotensi

11
terjadinya bencana hidrometeorologi atau bencana yang disebabkan oleh cuaca
ekstrem.
Kepala Unit Analisa dan Prakiraan Cuaca, Badan Meteorologi, BMKG Stasiun
Klimatologi Yogyakarta, Sigit Hadi Prakosa mengatakan bahwa berdasarkan data
historis di DIY, 81 persen bencana di wilayah Sleman merupakan bencana
hidrometeorologi. Cuaca ekstrem ini kata Sigit selain dipengaruhi oleh fenomena alam
El Nino juga dipengaruhi oleh adanya peningkatan aktivitas Gunung Merapi yang
mendukung terbentuknya uap air.

Jenis-jenis Kerawanan
1. Ecological vulnerability
Kerentanan ekologis biasanya merupakan efek sekunder dari kombinasi
fenomena geofisika primer dan perilaku sosial tertentu. Hujan deras di zona
pedesaan padat penduduk dengan tingkat penggundulan hutan yang tinggi akan
menimbulkan bencana yang berkembang yang berkembang secara lambat (erosi)
atau tiba-tiba (tanah longsor).
2. Economic vulnerability
Sistem ekonomi sangat rentan di negara-negara berkembang. Kerentanan ini
muncul dalam banyak bentuk, yang saling berinteraksi satu sama lain dan dengan
jenis kerentanan lainnya. Mereka dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Individual and family economic vulnerability
Karena pendapatan yang tidak mencukupi, beberapa populasi pedesaan tidak
dapat bertahan hidup selama setahun dari panen yang buruk. Tidak adanya
cadangan makanan dan sarana finansial untuk membeli kebutuhan makanan
membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Secara umum, kematian
yang terkait dengan bencana berbanding terbalik dengan pendapatan.
b. Local economic vulnerability
Kerentanan ekonomi lokal adalah masalah di wilayah geografis yang tidak
menguntungkan bagi pembangunan ekonomi. Dalam domain pertanian, misalnya,
ini dapat berarti area dengan tanah yang buruk, atau tanah yang terkena deforestasi

12
dan erosi. Selain itu, kesulitan ekonomi telah mendorong populasi pedesaan ke
kota-kota, di mana mereka terkonsentrasi di daerah yang tidak aman.
Pembangunan itu sendiri adalah sumber kerentanan.
c. Natural economic vulnerability
Kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak konsisten, korupsi, dan
kurangnya perhatian pejabat kota terhadap daerah pedesaan adalah beberapa faktor
yang membantu meningkatkan kerentanan populasi. Keterbelakangan ekonomi
berarti bahwa pemasangan infrastruktur yang penting bagi perekonomian tidak
dapat dibiayai. Ini memainkan peran utama dalam bencana, di mana jaringan jalan,
sarana komunikasi, dll, sangat penting.
d. International economic vulnerability
Kerentanan ekonomi mengikuti indeks Dow Jones. Resesi ekonomi
internasional tidak berpengaruh banyak pada volume bantuan internasional yang
dikirim ke negara-negara yang mengalami bencana. Namun, jika tidak ada
keadaan darurat akut, program untuk mempersiapkan atau mencegah bencana
dipotong sampai habis. Akibatnya, semua upaya yang dilakukan untuk
mengurangi jenis kerentanan lokal dan nasional tertentu akan terganggu. Ekonomi
internasional secara langsung memengaruhi pendapatan sebagian besar penduduk
di negara-negara berkembang.
3. Social vulnerability
Jenis-jenis kerentanan sosial yang paling relevan dengan situasi bencana
adalah human vulnerability dan kerentanan kelembagaan.
a. Human vulnerability
Kerentanan individu mempengaruhi kelompok, yang sering ditemukan
dalam situasi bencana.
b. Kerentanan keluarga
Konsep setiap orang untuk dirinya sendiri dalam situasi bencana harus
dilihat dalam konteks: tekanan dari ancaman akan mengintensifkan ikatan antara
anggota dan seringkali keluarga akan merespons sebagai satu unit atau suatu
sistem.

13
c. Kerentanan komunitas
Tingkat organisasi dan kohesi sosial masyarakat adalah faktor kunci dalam
mekanisme respons terhadap bencana.
d. Kerentanan kelembagaan
Ketidakstabilan politik membuat negara-negara sangat rentan terhadap
bencana. Kehadiran konflik bersenjata di Ethiopia memparah dampak buruk dari
kekeringan tahun 1984, dengan menunda dan kemudian membatasi akses ke
daerah-daerah yang terkena dampak kekurangan air.

III. Interaksi Kerawanan dalam Cuaca Kering Berkepanjangan


Kekeringan merupakan bencana alam yang hampir setiap tahun dialami
Indonesia sebagai negara tropis. Kekeringan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan
air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan ligkungan. Menurut
Jayaseela (2001) dalam Daruati (2012), kekeringan dibagi menjadi kekeringan
metorologi, kekeringan hidrologis, dan kekeringan pertanian. Indonesia secara umum
dikatakan memiliki iklim tropis basah, namu jika mengaju kepada klasifikasi yang
dikembangkan oleh koppen, di Indonesia dapat dijumpai empat golongan iklim, yaitu
: iklim tropis (iklim A), iklim Stepa (Iklim BS) seperti daerah Nusa Tenggara Timur,
iklim sejuk atau iklim maritime (iklim C) seperti daerhah penggunungan dan iklim
polar (Iklim E) seperti dijumpai di puncak pengunungan Jayawijara Papua.
Kondisi iklim di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh fenomena atmosfer
global, seperti gejala El Nino/ La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD), denomena
atmosfe regional seperti inter tropical convergence zoe (ITCZ) dan pergerakan angina
monsoon yang mendatangkan hujan, dan fenomena atmosfer local sebagai dampak dari
kondisi bentuk medan, arah hadapan lereng, perjalanan angina diatas wiayah dataran
maupun arah angin yang sejajar dengan garis pantai.
El Nino pada dasarnya merupakan gejala penyimpangan massa udara yang
bersifat panas dan kering, baik menyangkut waktu dan arah gerakannya dalam skala
global, yang pada gilirannya menyebbaakan curah huajn yang sangat sedikit (jauh di
bawah normal) dan kemarau berkepanjangan. El Nino terjadi akibat adanay arus hangat

14
(panas) di lautan pasifik yang biasanya bergerak secara periodic pada bulan Desember
kea rah selatan sepanjang pantai barat Amerika Selatan (Honduras – Peru) dan
berpengaruh kuat terhadap kondisi ikli di wilayah tersebut. Selain itu El Nino juga
merupaka fenomena global akibat adayan interaksi laut dan atmosfer yang ditandai
denga memanasnya suhu muka laut (Sea Surface Temperature).
Indian Ocean Dipole Mode (IODM) merupaan fenomena interaksi antara laud
an atmosfer di samudera hindia yang ditetapka berdasarka selisih suhu muka laut di
peraian di samudera Hindia yang ditetapkan berddasarkan selisih suhu muka lau
perairan sebelah timur afrika dengan samdera hindia sebelah barat sumatera. Selisih
suhi muka laut antara kedua tempat tersebut disebut dengan Indeks Dipole Mode
(Dipole Mode Index/ DMI). Jika Indeks Dipole Mode positif, makan intensitas curah
hujan diwilayah Indonesia bagian barat umumnya rendah, sedangkan jika indeks
Dipole Mode negative intensitas curah hujan di wilayah Indoensia bagian barat
umumnya akan tinggi.
Faktor regional yang mempengauhi kondisi cuaca dan iklim di Indonesia antara
lain adalah Daerah Konvegensi Antar Tropik (DKAT) ATAU Inter Tropicla
Convergence Zone (ITCZ). Daerah kovergen si antara tropic merupakan suatu “zone”
atau bentanga daerah yang lebar dimana suhu udara disekitarnya sanagt tinggi. Oleh
karena itu DKAT disebut juga dengan Equator Thermal. Suhu udara yang tinggi
tersebut meyebabkan tekanan udara disekitarnya rendah disertai dengan gerakan udara
naik (convection) sebagai akibat terjadnya pemanasan. Factor regional lain yang
mempengaruhi antara lain bentuk medan dan arah hadapan lereng. Bentuk medan yang
berbukut atau bergunung akan memaksa udara turun dan kemampuan massa udara
untuk mengiat uap air juga menurun, sehingga massa udara tidak banyak kandungan
uang airnya ( precipitable water ). Setiap kenaikan ketinggian 100 m suhu udara akan
turun sebesar 0,5 derajat celcius dan sebagai uap air akan jatuh sebagai huja yang
dikenal denga hujan orografi. Lereng medan yang menghadap arah angina akan
mendapat hujan lebih banyak dari pada lereng medan yang membelakangi arah angina
(daerah bayangan hujan).

15
a. Interaksi kekeringan terhadap hasil pangan
Salah satu hambatan dalam mencapai kedaulatan pangan di Indonesia adalah
perubahan iklim antara lain cuaca ekstrim seperti kekeringan, banjir, tanah longsor,
serangan hama/penyakit dengan konsekuensi serius pada penurunan produksi pertanian
khususnya tanaman pangan.
Kekeringan pertania merupakan salah satu masalah yang mengancam
ketahanan pangan di Indonesia yang merupaka negara tropis. Disampig itu, letak
Indonesia yang berada diantara dua samudera meyebabkan iklim incondeia
dipengaruhi oleh gejala iklim yang diakibatkan oleh pergerakkan suhu permukaan laut
samudrera Hindia dan samudera pasifik. Kedua akifitas pergerakkan suhu permukaan
laut tersebut mengakibatkan terjadinya duagejala iklim yaitu Indian Ocean Dipole
positif dan EL Nino. El nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panaas di pasifik
tengah dan timur meningkat suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada
diatasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan
meningkatkan curah hujan disekitar kawasan tersebut. Bagian barat samudera pasifik
tekana udara meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan
diatas lautan bagian timur Indonesia, sehingga dibeberapa wilayah indoensia terjadi
penurunan curah hujan yang jauh dari normal, sedangkan La Nina merupakan
kebalikan dari El Nino yang meyebabkan tekanan udara di kawasan equator pasifik
barat menurun, lebih e barat dari keadaan normal, menyebabkan pembentukkan awan
yang lebih dan huja lebai di daerha sekitarnya. Menurut BMKG pada tahun 2009
sampai 2010, sekitar 80 ribu sampai 150 ribu hektar lahan pertanian di Indonesia
mengalami kekeringa. Hal ini terjadi karena fenomea El Nino yang terjadi pada kahir
tahun 2009 sampai menjelang awal tahun 2010.
Dampak perubahan iklim adalah pemanasan global yang ditandai oleh
meningkatnya suhu udara yang berpengaruh langsung terhadap fisiologis tanaman.
pemanasan global menyebabkan peningkatan suhu minimum malam hari 10 derajat
celcius dan menurunkan hasil padi sebesar 10 persen. Secara kasat mata dampak
perubahan iklim yang terjadi di beberapa sentra produksi tanaman padi adalah
terjadinya kekeringan dan banjir secara tidak beraturan, dan serangan hama penyakit.

16
Kajian kekeringan pertanian sangat erat kaitannya dengan keseimbngan air pada siklus
tanaman. Indeks kekeringan yang menerangkan tentang variasi temporal dan spasial
penggunaan air sangat cocok untuk monitoring kekeringan.
Pemanasan global menyebabkan musim hujan yang lebih pendek, sehingga
pada daerah yang menerapkan IP-200 atau dua kali panen akan mengalami resiko
kekeringan yang sangat tinggi. Infrastruktur pertanian seperti irigasi mungkin tidak
banyak membantu karena sebagian besar sumber daya air untuk 7,6 juta hektar sawah
di Indonesia berasal dari sumber non-bendungan air. Sementara sumber daya air yang
berasal dari sistem bendungan irigasi hanya 11 persen dari sistem irigasi keseluruhan.
Akibatnya, pada saat musim hujan, air tidak dapat disimpan untuk mengairi sawah pada
musim kemarau, sedangkan pada musim kemarau sebagian besar sawah akan
mengalami kekeringan yang serius. Intensitas tanam untuk sawah yang menggunakan
sumber daya bendungan irigasi air bisa mencapai 2,4.
Peningkatkan suhu akan menyebabkan meningkatnya penggunaan air oleh
tanaman pangan melalui evapo-transpirasi sehingga secara kumulatif jumlah sawah
yang diairi akan menurun. Akibatnya, luas panen akan menurun karena pasokan air
untuk irigasi menurun dan tidak dapat memenuhi kebutuhan air ke sawah. Pada daerah
yang mengalami kenaikan suhu udara, produksi pangan akan menurun lebih besar
daripada daerah yang mengalami penurunan suhu udara. Berdasarkan konsep thermal
unit yang menentukan koleksi biomassa dan hasil panen, perubahan iklim akan
menurunkan produksi semua tanaman pangan utama. Jika tidak ada tindakan kebijakan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, diperkirakan produksi padi sawah akan
menurun sebesar 20,3 persen, produksi padi gogo akan menurun 27,1 persen, produksi
jagung akan menurun sebesar 13,6 persen, produksi kedelai akan menurun 12,4 persen,
dan produksi tebu akan menurun 7,6 persen.
Data produksi pangan menunjukkan penurunan produksi yang signifikan pada
awal 1990-an, hampir sebagian sebagian besar disebabkan kekeringan pada tahun
1987-1988 dan serangan hama pada sentra produksi padi pada tahun 1992-1993
(Arifin, 2009). Lebih penting lagi, kerusakan infrastruktur seperti irigasi, jalan,
jembatan, pelabuhan, dll, di beberapa tempat menyebabkan kontribusi terhadap

17
penurunan pertumbuhan sektor pertanian. Perlambatan pertumbuhan atau leveling-off
dalam produksi pertanian masih berlangsung hingga Krisis Ekonomi Asean hingga
jatuhnya Presiden Soeharto, membuat masalah lebih kompleks terutama masa transisi
reformasi ekonomi dan politik. Selama masa sulit, ketahanan pangan benar-benar
menjadi fokus perhatian karena Indonesia mengalami penurunan produksi yang sangat
serius karena musim kemarau panjang akibat El Nino.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya
menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia, dan merupakan komoditi dagang yang
sangat berperan dalam kehidupan dan ekonomi. Tanaman pangan terutama padi, paling
rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yakni biofisik, genetic dan
manajemen. Hal tersebut disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan
tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman kelebihan dan kekurangan air.
Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan erat dengan sistem penggunaan lahan
dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air dan tanaman, serta varietas
tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Hidayati & Suryanto ( 2015),
petani juga memiliki peranan penting dalam produktifitas hasil pangan dimana petani
yang berada di daerah kering, jenis kelamin, keanggotaan sebagai kelompok tani, dan
penggunaan pupuk memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang kegagalan
panen. Sedangkan petani yang mengalami penurunan hasil, dan petani yang berada di
daerah kering memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peluang keputusan petani
dalam mengubah pola tanam dan menggeser waktu tanam sebagai bentuk adaptasi
terhadap perubahan iklim.
Tingkat produksi pangan di Indonesia saat ini terancam dalam memenuhi
permintaan konsumsi pangan. Dalam lima tahun terakhir, produksi beras tumbuh di
bawah 3 persen per tahun, sementara permintaan untuk makanan diperkirakan akan
tumbuh pada 4,88 persen per tahun. Sistem produksi tanaman pangan juga menghadapi
masalah struktural yang tidak merata seperti struktur penggunaan dan distribusi lahan,
baik di dalam provinsi dan antar provinsi terutama antara Jawa dan luar Jawa. Kinerja
produksi pangan Indonesia yang tergantung pada risiko lingkungan terutama

18
perubahan iklim, volatilitas alam dan ekonomi, dan tingkat konsumsi beras yang tinggi
berimplikasi terhadap jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia.

b. Interaksi kekeringan terhadap sosio ekonomis


Berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi
dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekeringan meteorologis,
pertanian dan hidrologis. Mengacu pada situasi yang terjadi ketika kekurangan air
mulai memberi dampak terhadap manusia dan kehidupan.
Kemiskinan multi-dimensi adalah faktor penting yang menentukan kerentanan
masyarakat terhadap perubahan iklim dan kejadian ekstrem. risiko akibat kekeringan,
khususnya di Afrika sub-Sahara, adalah terkait erat dengan kemiskinan dan kerentanan
pedesaan Dalam menafsirkan estimasi berikut ini, harus ditanggung dalam pikiran
bahwa konsep kemiskinan yang beragam mengarah pada perkiraan yang berbeda. Ada
risiko terkait iklim yang meningkat di beberapa daerah yang terkait dengan kemiskinan
kronis. Sebagai contoh, pada tahun 2010, sekitar 48,5% dari populasi wilayah sub-
Sahara Afrika yang sangat terancam kekeringan masih hidup dalam kemiskinan (rasio
jumlah penduduk miskin $ 1,25 per hari; lihat Bank Dunia, 2012) dan area ini telah
didefinisikan sebagai global hotspot risiko. Menilai kerentanan (dan risiko) dalam hal
ini negara membutuhkan analisis mendalam tentang tren dan pola distribusi
kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan paparan orang terhadap perubahan bahaya
iklim.

c. Interaksi kekeringan terhadap kesehatan global


Risiko kesehatan publik global utama yang muncul adalah malnutrisi sekunder
perubahan ekologis dan gangguan dalam produksi makanan sebagai hasilnya
perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu ekstrem dan meningkat atmosfer CO2.
Bagian Pemodelan besarnya dampak perubahan iklim terhadap kekurangan gizi di
masa depan di lima wilayah di Asia Selatan dan sub-Sahara Afrika pada tahun 2050
menunjukkan peningkatan kasus gizi sedang stunting, indikator yang dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian dan kesehatan yang buruk dari 1 hingga 29%, tergantung

19
dari wilayah yang dinilai, dibandingkan dengan masa depan tanpa perubahan iklim,
dan jauh lebih besar berdampak pada pengerdilan parah. Dampak kekeringan yang
disebabkan oleh perubahan iklim dan curah hujan di Mali termasuk pergerakan ke
selatan daerah rawan kekeringan yang akan mengakibatkan hilangnya lahan kritis
pertanian produktif pada tahun 2025 dan meningkatkan kerawanan pangan.
Di kota-kota besar yang berpenduduk padat, terutama perkotaan yang minim
penghijauan dan tingginya penggunaan kendaraa, hasil risiko kesehatan utama yang
muncul dari interaksi sinergis antara peningkatan paparan ekstrim panas dan kualitas
udara terdegradasi dengan konvergensi meningkat kerentanan populasi mempercepat
proses menua dan pergeseran global ke urbanisasi. Ini tren akan meningkatkan risiko
kematian yang relatif lebih tinggi dari paparan terlalu panas. Risiko kesehatan dari
interaksi tersebut termasuk peningkatan cedera dan kematian sebagai akibat dari
peristiwa cuaca buruk termasuk gelombang panas peningkatan aeroallergen produksi
di daerah perkotaan yang menyebabkan peningkatan penyakit saluran napas dan
menmbulkan alergi.
Kekeringan mungkin bukan penyebab langsung kenapa angka morbiditas
meninkat, namun dia menjadi kofaktor yang memperparah permasalah kesehatan.
sebagai percontohan permasalahan kesehatan pada system pernapasan di perkotaan,
dengan adanya lonjakan suhu memungkinkan adanya integrasi udara dengan polutan
dan mempengaruhi kadar air pada tubuh manusia sehingga memicu dehidrasi dan pada
implementasi akhirnya mengakibatkan imunitas tubuh berkurang. Berdasarkan laporan
di Ner York City tahun 2009 diketahui adanya peningkatan rawat inap sebanyak 2,7 –
3,1 % pada musim panas kaena penyakit terkait pernapasan dan 1,4 – 3,6% karena
penyakit kardiovaskuler. Hasil kesehatan pernapasan akan diperburuk oleh perubahan
iklim melalui peningkatan produksi dan paparan ozon di permukaan tanah (khususnya
di daerah perkotaan), kebakaran hutan asap, dan peningkatan produksi serbuk sari.

20
IV. Menanggapi Tahapan Kejadian yang akan Berujung pada Kerawanan
Menanggapi tahapan kejadian bencana merupakan suatu upaya yang terencana
yang dilakukan untuk mengelola kerawanan dan risiko dengan baik dan aman melalui
3 (tiga) tahapan yakni: 1) pra bencana, 2) saat bencana, dan 3) pasca bencana.
1. Pra Bencana
a) Kesiagaan
Kesiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna. Membangun kesiagaan adalah unsur penting, namun tidak
mudah dilakukan karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah
masyarakat. Kesiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat
menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu
bencana.
b) Peringatan Dini
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya
mereka yang berpotensi terkena bencana di tempat masing- masing. Peringatan
didasarkan berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah atau diterima
dari pihak berwenang mengenai kemungkinan akan datangnya suatu bencana.
c) Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat suatu bencana. Mitigasi bersifat pencegahan sebelum kejadian.
Mitigasi bencana harus dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui
berbagai upaya dan pendekatan antara lain:
i. Pendekatan Teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak suatu
bencana misalnya:
• Membuat rancangan atau desain yang kokoh dari bangunan sehingga tahan
terhadap gempa.
• Membuat material yang tahan terhadap bencana, misalnya material tahan
api.

21
• Membuat rancangan teknis pengaman, misalnya tanggul banjir, tanggul
lumpur, tanggul tangki untuk mengendalikan tumpahan bahan berbahaya.
ii. Pendekatan Manusia
Pendekatan secara manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang paham
dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan cara hidup manusia
harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan potensi
bencana yang dihadapinya.
iii. Pendekatan Administratif
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi sebagai
contoh:
• Penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek risiko
bencana.
• Sistem perijinan dengan memasukkan aspek analisa risiko bencana.
• Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dari pembangunan industri
berisiko tinggi.
• Mengembangkan program pembinaan dan pelatihan bencana di seluruh
tingkat masyarakat dan lembaga pendidikan.
• Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi tanggap darurat di
setiap organisasi baik pemerintahan maupun industri berisiko tinggi.
iv. Pendekatan Kultural
Masih ada anggapan dikalangan masyarakat bahwa bencana itu adalah takdir
sehingga harus diterima apa adanya Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
dengan kemampuan berpikir dan berbuat, manusia dapat berupaya menjauhkan
diri dari bencana dan sekaligus mengurangi keparahannya.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kultural untuk meningkatkan kesadaran
mengenai bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana
disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang telah membudaya sejak
larna.

22
2. Saat Bencana
a) Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Tanggap darurat yang dilakukan untuk mengatasi kejadian bencana misalnya
dalam suatu proses kebakaran atau peledakan di lingkungan industri:
• Memadamkan kebakaran atau ledakan.
• Menyelamatkan manusia dan korban (resque).
• Menyelamatkan harta benda dan dokumen penting (salvage).
• Perlindungan masyarakat umum
b) Penanggulangan Bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya.
Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan khusus menurut
kondisi dan skala kejadian. Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani
segala bentuk bencana. Oleh karena itu tim tanggap darurat harus diorganisir dan
dirancang untuk dapat menangani berbagai jenis bencana.
3. Pasca Bencana
a) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Di tingkat
industri atau perusahaan, fase rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan jalannya
operasi perusahaan seperti sebelum bencana terjadi. Upaya rehabilitasi misalnya
memperbaiki peralatan yang rusak dan memulihkan jalannya perusahaan seperti
semula.

23
b) Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pasca bencana.

V. Strategi Intervensi Setelah Terjadi Bencana


Strategi yang digunakan setelah bencana terjadi adalah melaksanakan
rehabilitasi pasca bencana dengan cara :
1. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam tahapan pelaksanaan
rehabilitasi.
2. Memperhatikan karakter bencana, daerah dan budaya masyarakat setempat.
3. Mendasarkan pada kondisi aktual di lapangan (tingkat kerugian/ kerusakan
serta kendala medan).
4. Menjadikan kegiatan rehabilitasi sebagai gerakan dalam masyarakat dengan
menghimpun masyarakat sebagai korban maupun pelaku aktif kegiatan
rehabilitasi dalam kelompok swadaya.
5. Menyalurkan bantuan pada saat, bentuk, dan besaran yang tepat sehingga dapat
memicu/membangkitkan gerakan rehabilitasi dan penanganan bencana yang
menyeluruh.
Sasaran kegiatan rehabilitasi adalah :
1. Kelompok manusia dan segenap kehidupan dan penghidupan yang terganggu
oleh bencana
2. Sumberdaya buatan yang mengalami kerusakan akibat bencana sehingga
berkurang nilai gunanya.
3. Ekosistem atau lingkungan alam untuk mengembalikan fungsi ekologisnya.
Untuk menjamin efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan, kegiatan rehabilitasi
mengikuti prosedur umum sebagai berikut :

24
A. Sosialisasi dan Koordinasi Program
1. Koordinasi jajaran pemerintahan hingga tingkat Desa/Kelurahan.
2. Sosialisasi kepada masyarakat umum dan korban.
3. Membangun kebersamaan, solidaritas, dan kerelawanan.
B. Inventarisasi dan Identifikasi Kerusakan/Kerugian
1. Inventarisasi dan identifikasi tingkat kerusakan/kerugian bencana dilakukan
oleh BNPB dan/atau BPBD dan/atau unsur-unsur lain yang dikoordinasikan
oleh BNPB dan/atau BPBD.
2. Verifikasi atas hasil inventarisasi dan identifikasi kerusakan/ kerugian dapat
dilakukan oleh BNPB dan/atau BPBD oleh karena adanya usulan, masukan,
sanggahan dari masyarakat maupun karena timbulnya bencana susulan dan hal
lain yang relevan.
3. Inventarisasi, identifikasi kerusakan/kerugian atau verifikasi atas hasilnya
dilakukan pada pelaksanaan “ rapid assessment ” tahap tanggap darurat dan atau
rehabilitasi.
C. Perencanaan dan Penetapan Prioritas
1. Perencanaan dan penetapan prioritas di tingkat masyarakat yang dilakukan
secara partisipatif oleh kelompok masyarakat merupakan masukan penting bagi
program rehabilitasi.
2. Sinkronisasi rencana dan program meliputi : sinkronisasi program tahapan
rehabilitasi, prabencana, tanggap darurat dan rekonstruksi, sinkronisasi lintas-
pelaku, sinkronisasi lintas-sektor, sinkronisasi lintas-wilayah.
3. Perencanaan, penetapan prioritas dan sinkronisasi program dilakukan oleh
BPBD dan/atau BNPB.
D. Mobilisasi Sumberdaya
Mobilisasi sumberdaya yang meliputi sumberdaya manusia, peralatan, material dan
dana dilakukan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya
manusia yang memahami dan mempunyai ketrampilan secara profesional sangat
diperlukan dalam semua proses dan kegiatan rehabilitasi pascabencana.

25
Sumberdaya yang berupa peralatan, material dan dana disediakan dan siap
dialokasikan untuk menunjang proses rehabilitasi.
E. Pelaksanaan Rehabilitasi
Pelaksanaan rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan fisik dan pemulihan fungsi
non-fisik. Kegiatan rehabilitasi dilaksanakan di wilayah yang terkena bencana
maupun wilayah lain yang dimungkinkan untuk dijadikan wilayah sasaran kegiatan
rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh BNPB jika status bencana adalah
tingkat nasional atau atas inisiatif sendiri BNPB dan atau BPBD untuk status
bencana daerah. Kegiatan rehabilitasi juga dimungkinkan untuk melibatkan banyak
pemangku kepentingan dan masyarakat.
F. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan
Pemantauan penyelenggaraan rehabilitasi pascabencana diperlukan sebagai upaya
untuk memantau secara terus-menerus terhadap proses dan kegiatan rehabilitasi.
Pelaksanaan pemantauan kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh unsur pengarah
beserta unsur pelaksana BNPB dan atau BPBD dan dapat melibatkan
lembaga/institusi perencanaan di tingkat nasional dan/atau daerah, sebagai bahan
menyeluruh dalam penyelenggaraan rehabilitasi. Penyusunan laporan
penyelenggaraan rehabilitasi pascabencana dilakukan oleh unsur pengarah dan/atau
unsur pelaksana BNPB dan/atau BPBD. Laporan penyelenggaraan rehabilitasi
selanjutnya digunakan untuk memverifikasi perencanaan program rehabilitasi.
Pada tahapan pelaksanaan rehabilitasi pascabencana dilakukan melalui kegiatan-
kegiatan :
a. perbaikan lingkungan daerah bencana,
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan fisik untuk
kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan kawasan gedung
b. perbaikan prasarana dan sarana umum,
Perbaikan jaringan infrastruktur dan fasilitas fisik yang menunjang kegiatan
kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat yaitu 1) jaringan
jalan/perhubungan; 2) jaringan air bersih; 3) jaringan listrik; 4) jaringan
komunikasi; 5) jaringan sanitasi dan limbah; dan 6) jaringan irigasi/ 7) fasilitas

26
kesehatan; 8) fasilitas perekonomian; 9) fasilitas pendidikan; 10) fasilitas
perkantoran pemerintah; dan 11) fasilitas peribadatan.
c. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
Pemberian bantuan perbaikan dalam hal segala sumberdaya yang diperlukan
untuk pelaksanaan rehabilitasi rumah masyarakat yang menjadi korban
bencana, meliputi: dana, peralatan, material, sumberdaya manusia (tenaga
ahli, tenaga pendamping, tenaga kerja).
d. pemulihan sosial psikologis,
dilaksanakan pemulihan sosial psikologis, yaitu kegiatan mengaktifkan elemen-
elemen masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara
normal. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih dengan
cara :
 intervensi psikologis yaitu pemberian pertolongan kepada masyarakat
untuk meringankan beban psikologis akibat bencana dan mencegah
terjadinya dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah kepada gangguan
mental. Intervensi diberikan oleh profesional.
 Bantuan konseling dan konsultasi keluarga yaitu dengan pemberian
pertolongan kepada individu atau keluarga untuk melepaskan ketegangan
dan beban psikologis secara terstruktur.
 Pendampingan pemulihan trauma yaitu pendampingan terstruktur dengan
berbabagai metode terapi psikologis yang tepat kepada individu yang
mengalami trauma psikologis agar dapat berfungsi secara normal kembali.
 Pelatihan pemulihan kondisi psikologis yaitu pelatihan untuk pemuka
komunitas, relawan dan pihak-pihak yang ditokohkan/mampu dalam
masyarakat untuk memberikan dukungan psikologis kepada
masyarakatnya.
e. Pemulihan pelayanan kesehatan,
pemulihan pelayanan kesehatan yaitu memulihkan kembali segala bentuk
pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti sebelum terjadi

27
bencana yang meliputi: 1) SDM Kesehatan; 2) sarana/prasarana kesehatan; 3)
kepercayaan masyarakat.
f. rekonsiliasi dan resolusi konflik,
Rekonsiliasi dan resolusi ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah
bencana untuk menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta
memulihkan kondisi sosial kehidupan masyarakat.
g. pemulihan sosial, ekonomi dan budaya,
Kegiatan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan untuk
menghidupkan kembali kegiatan dan lembaga sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat di daerah bencana seperti sebelum terjadi bencana.
h. pemulihan keamanan dan ketertiban,
Pemulihan keamanan dan ketertiban ditujukan untuk membantu memulihkan
kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah bencana agar kembali
seperti kondisi sebelum terjadi bencana dan terbebas dari rasa tidak aman dan
tidak tertib.
i. pemulihan fungsi pemerintahan,
pemulihan seluruh fungsi pemerintahan yaitu fungsi administrasi pengelolaan
pembangunan wilayah.
j. pemulihan fungsi pelayanan publik
yaitu berlangsungnya kembali berbagai pelayanan publik yang mendukung
kegiatan/kehidupan sosial dan perekonomian wilayah yang terkena bencana.

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan apakah
bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat
menimbulkan bencana atau tidak. Jenis-jenis kerawanan di antaranya adalah
kerawanan lingkungan, kerawanan ekonomi, dan kerawanan sosial. Interaksi
kerawanan terhadap bencana kekeringan berkepanjangan dibedakan menjadi interaksi
kekeringan terhadap hasil pangan, interaksi kekeringan terhadap sosio ekonomis, dan
interaksi kekeringan terhadap kesehatan global. Menanggapi tahapan kejadian
bencana dapat dilakukan melalui tiga tahapan yakni: 1) pra bencana, 2) saat bencana,
dan 3) pasca bencana. Strategi yang dilakukan setelah terjadi bencana adalah dengan
melakukan tindakan rehabilitasi.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adger, W. Neil. (2006). Vulnerability. Tyndall Centre for Climate Change Research,
School of Environmental Sciences, University of East Anglia. Global
Environmental Change 16 hal. 268-281.
Asnawi, Robet. 2015. Perubahan Iklim dan Kedaulatan Pangan di Indonesia Tinjauan
Produksi dan Kemiskinan. Sosio Informa Volume 1 Nomor 3. Open access on
http://www.ejourna.kemsos.go.id.
Daruati,Dini. 2012. Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi Jawa
Barat. [Tesis}. Universitas Indonesia.
Hidayati, Ida Nurul & Suryanto. 2015. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi
Pertanian dan Strategi Adaptasi pada Lahan Rawan Kekeringan. Jurnal Ekonomi
dan Studi Pembangunan. Volume 16 Nomor 1.
https://www.preventionweb.net/risk/vulnerability diakses tanggal 30 Oktober
2019
Oppenheimer, Michael et al. 2014. Topic 9 : Emergent Risks and Key Vulnerabilities.
Camridge University Press : United Kingdom and New York. Page 1039 – 1099.
Open access on https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/02/WGIIAR5-
Chap19_FINAL.pdf
Pemerintah Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 42. Sekretariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia. 2010. Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca
Bencana. Jakarta
Perrin, Pierre. War and Public Health. Geneva: ICRC. 2001.

30
Tirto.id BMKG: Sleman Rawan Bencana yang Disebabkan Cuaca Ektream
https://tirto.id/bmkg-sleman-rawan-bencana-yang-disebabkan-cuaca-ektream-
dfvv
Wiken.grid.id https://wiken.grid.id/read/391696174/indonesia-rawan-bencana-inilah-
penjelasan-terjadinya-gempa-bumi?page=all

31

Anda mungkin juga menyukai