Oleh Kelompok 2:
0
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 1
3.6 Tipe-tipe Bukti Ilmiah (atau Hirarki dari Bukti Ilmiah) ................................................ 25
3.9 Kerangka Kerja Kebijakan Promosi Kesehatan dan Praktik Pengambilan Keputusan . 30
1
3.10 Kesimpulan .................................................................................................................. 30
2
BAB 1. SEJARAH PROMOSI KESEHATAN
1.1 Pendahuluan
Health promotion atau promosi kesehatan adalah sebuah konsep lama. Frase promosi
kesehatan sendiri pertama kali digunakan pada kebijakan-kebijakan nasional maupun
internasional pada tahun 1980-an, tetapi konsep promosi kesehatan sendiri sudah ada
semenjak dahulu sejak adanya usaha untuk meningkatkan kesehatan secara umum. Salah satu
penulisan konsep promosi kesehatan yang paling awal adalah yang tertulis pada buku
Hippocrates‟ On Airs, Waters, and Places (400 B.C.), yang ditulis sebagai panduan untuk
membentuk lingkungan baru yang bertujuan mencegah berbagai penyakit.
4
“Pengobatan Sosial”
Pengobatan Sosial atau social medicine mulai dikenalkan di Inggris sekitar tahun
1930 dan 1940-an oleh tokoh bernama John Ryle. Ia menggambarkan “Whole economic,
nutritional, occupational, educational and psychological opportunity or experience of the
individual or community”. Ryle dan pendukung pengobatan sosial lainnya beranggapan
bahwa kesehatan seseorang atau kesehatan komunitas tertentu juga dipengaruhi oleh hal yang
lebih besar dari sekedar ketiadaan suatu penyakit. Hal ini memicu pekerja kesehatan untuk
meningkatkan kesehatan dengan tokoh-tokoh lokal. Pengobatan sosial juga membantu
mengubah fokus pemikiran masyarakat pada sektor kesehatan masyarakat.
5
keluarga berencana, pencegahan dan pemberantasan penyakit endemik, serta penyediaan obat
yang esensial.
Sementara itu, pada akhir tahun 1990 terdapat tanda-tanda bahwa lingkungan kembali
berperan dalam kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan. Di tingkat global dan nasional,
keprihatinan diungkapkan tentang penipisan sumber daya, polusi, dan penciptaan lingkungan
yang tidak sehat dan kondisi kehidupan, terutama di kota-kota besar. Dalam Piagam Ottawa
tentang promosi kesehatan, yang menyatakan bahwa kondisi mendasar dan sumber daya
untuk kesehatan adalah perdamaian, tempat tinggal, pendidikan, makanan, pendapatan,
ekosistem yang stabil, sumber daya berkelanjutan, dan keadilan sosial serta kesetaraan
(WHO, 1986).
Piagam Ottawa juga merupakan bagian dari upaya untuk mendorong pemerintah
bekerja sama dengan lintas sektoral, untuk mengambil tanggung jawab dalam menciptakan
lingkungan yang sehat, mengembangkan kebijakan publik berwawasan sehat, memperkuat
aksi atau gerakan masyarakat, mengembangkan keterampilan perorangan, serta reorientasi
sistem pelayanan kesehatan. Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa sejarah promosi
kesehatan mengilustrasikan beberapa kompleksitas dan masalah yang terus dihadapi promosi
kesehatan saat ini. Poin-poin penting meliputi:
a. Promosi kesehatan sebagai disiplin khusus yang muncul pada tahun 1970-an
b. Promosi kesehatan berakar pada banyak pergeseran sebelumnya dalam kesehatan
masyarakat yang merentang kembali ke abad ke-19 dan seterusnya
c. Ada kesinambungan dan perubahan dari waktu ke waktu dalam kesehatan masyarakat
dan promosi kesehatan
d. Beberapa masalah muncul, hilang, dan muncul kembali, seperti lingkungan.
Structural
Promosi kesehatan gagal untuk mengatasi masalah struktural yang mendukung
kesehatan. Perhatian dan kritikan diberikan pada kondisi kesehatan yang buruk seperti
kemiskinan, perumahan/lingkungan yang tidak memadai dan berbahaya. Masalah struktural
lain adalah dengan menargetkan perilaku individu dan menempatkan tanggung jawab untuk
kesehatan pada individu, hal itu menyalahkan penderita atas kondisi mereka (Crawford,
1977).
Surveilance
Promosi kesehatan sebagai proyek yang menempatkan sebagian besar populasi di
bawah surveillance (Armstrong, 2008). Pemantauan kesehatan masyarakat dapat menjadi
7
bentuk disiplin. Mendesak orang untuk berperilaku dengan cara mendukung lembaga dan
otonomi individu. Dengan demikian, promosi kesehatan dapat menjadi alat kontrol sosial.
1.4 Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian diatas bahwa sejarah promosi kesehatan mengilustrasikan
beberapa kompleksitas dan masalah yang terus dihadapi promosi kesehatan saat ini. Poin-
poin penting meliputi :
Promosi kesehatan sebagai disiplin khusus yang muncul pada tahun 1970-an
Promosi kesehatan berakar pada banyak pergeseran sebelumnya dalam kesehatan
masyarakat yang merentang kembali ke abad ke-19 dan seterusnya
Ada kesinambungan dan perubahan dari waktu ke waktu dalam kesehatan masyarakat
dan promosi kesehatan
Beberapa masalah muncul, hilang, dan muncul kembali, seperti lingkungan.
8
BAB 2. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM KESEHATAN
DAN PROMOSI KESEHATAN
2.1 Pendahuluan
Tujuan dari konstruksi sosial promosi kesehatan adalah untuk memperkenalkan
konstruksionisme sosial sebagai kerangka kerja konseptual tertentu dan bagaimana
penerapannya pada konsep-konsep kesehatan dan promosi kesehatan. Terdapat dua pendapat
intelektual yang berbeda dari sikap konstruksionis sosial terhadap kesehatan dan penyakit,
mengeksplorasi bagaimana, dengan cara yang sedikit berbeda, memberikan kontribusi besar
tentang dimensi yang bergantung pada konteks entitas penyakit dan penyakit, dan
mengeksplorasi apa implikasi kerangka kerja konseptual konstruksionis sosial terhadap
promosi kesehatan.
Konstruksionisme sosial adalah kerangka kerja konseptual yang memahami hal-hal -
umumnya dianggap alami - diproduksi secara sosial. Penekanannya adalah pada bagaimana
makna fenomena, tidak melekat dalam fenomena itu sendiri, tetapi diciptakan melalui
interaksi dan dialog dalam konteks sosial yang terletak secara historis (Gergen, 1999).
Perspektif seperti itu menolak saran bahwa ada 'kebenaran' yang objektif, tunggal, dan sudah
ada yang ada 'di luar sana', menunggu untuk ditemukan. Sebaliknya, konstruksionis sosial
berpendapat bahwa realitas sosial, dan pengetahuan tentang hal itu, beragam dan selalu
tergantung pada konteks, dan merupakan produk dari proses sosial, historis, politik, dan
budaya (Berger dan Luckmann, 1966).
Pemahaman fenomena dapat bervariasi dari waktu ke waktu, dan pengalaman dapat
diberikan makna yang berbeda di berbagai kelompok sosial dan pengaturan. Contoh
sederhananya, pekerja anak dianggap sangat normal di Inggris selama awal abad ke-19
sedangkan sekarang ini tunduk pada undang-undang yang ketat. Sebagai pendekatan khusus
untuk penyelidikan manusia, konstruksionisme sosial selalu memiliki agenda kritis (Burr,
2003), karena ia berusaha mempertanyakan pengetahuan yang diterima begitu saja tentang
dunia sosial dan bagaimana kita mengkategorikannya, yang menyatakan dirinya (kadang
9
secara halus dan kadang-kadang tidak secara halus) menjadi kebenaran yang terbukti dengan
sendirinya.
Jadi, misalnya, perspektif konstruksionis sosial berpendapat bahwa 'gender'
dikonstruksi secara sosial dan dengan demikian peran, kemampuan, dan temperamen yang
ditugaskan untuk gender tertentu dibentuk oleh norma-norma yang diterima secara umum
tentang seperti apa pria atau wanita itu seharusnya atau bagaimana mereka seharusnya
berperilaku, daripada mencerminkan kebenaran yang melekat yang ditemukan di alam.
Perspektif konstruktivis sosial mungkin juga menekankan bagaimana konstruksi
dominan feminitas dan maskulinitas sering berfungsi untuk melegalkan dan membenarkan
ketidaksetaraan gender. Sebagai contoh, telah dikemukakan bahwa konstruksi umum
kewanitaan sebagai perawatan dan pengasuhan pada dasarnya telah berkontribusi pada
konsentrasi perempuan dalam pekerjaan paruh waktu dan upah yang lebih rendah, dan
mengurangi peluang mereka untuk pelatihan dan promosi (Charles, 1993).
Demikian pula, konstruksionis sosial berpendapat bahwa kategori 'ras' lebih
merupakan gagasan yang diproduksi secara sosial daripada ekspresi dari setiap esensi
biologis utama. Mereka mengklaim bahwa taksonomi rasial yang 'alami' bertindak untuk
menegaskan kembali 'ras' sebagai realitas yang telah ditentukan sebelumnya dan untuk
mementingkan ras. Perbedaan yang pada akhirnya digunakan untuk mengeksploitasi dan
menindas kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, ada sejarah panjang dalam membangun
orang Afrika kulit hitam secara genetik berbeda dan primitif, yang telah digunakan untuk
mendukung proyek-proyek politik seperti perbudakan, imperialisme, kebijakan anti-imigrasi,
dan gerakan eugenika (Williams et al., 1994; Bhopal , 1997; Krieger, 2000).
Konstruksi Sosial dari Pemahaman 'Awam' dan Pengalaman Kesehatan serta Penyakit
Pada awalnya, hal yang banyak mendasari perspektif sosiologis interpretif, khususnya
fenomenologi, mengambil makna subyektif dan pengalaman kesehatan serta penyakit serius.
10
Dalam hal ini, fokusnya adalah pada apa yang disebut sebagai 'orang awam' (sebagai lawan
dari 'eksper' yaitu orang yang memiliki pelatihan dalam praktik, keterampilan, dan disiplin
akademis tertentu) serta pemahaman pribadi mereka tentang diberlakukannya kesejahteraan.
Penelitian semacam itu telah menunjukkan bahwa konseptualisasi kesehatan tidak universal
atau tidak pula diberikan. Sebaliknya, mereka terikat pada konteks, juga dipengaruhi oleh
ideologi yang berlaku dan dimediasi oleh lingkungan yang lebih luas di mana orang itu
hidup, seperti konteks budaya mereka, lokasi struktural dan geografis, identitas sosial, dan
biografi pribadi.
Pemahaman tentang kesehatan terkadang bersifat individual, sosial, dan juga
bervariasi. Apa yang didefinisikan sebagai tidak sehat dalam satu budaya dapat diartikan
berbeda di dalam budaya lain. Sebagai contoh, beberapa kelompok budaya mungkin
menganggap menstruasi perempuan sebagai tanda penyakit, yang menghubungkan moral dan
spiritual kenajisan. Sebagai akibatnya, selama menstruasi berbagai tabu terjadi, seperti urusan
pakaian, mandi, makanan, interaksi sosial, dan hubungan seksual. Namun, kelompok lain
mungkin melihat menstruasi sebagai tanda kesehatan dan kesuburan bagi wanita. Kedua
rangkaian praktik ini dianggap sebagai „lumrah‟ dan 'benar' dalam masyarakat mereka sendiri
dan akan ada sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran. Dari perspektif konstruksionis
sosial, kita dapat mengatakan bahwa 'kebenaran' seperti itu merupakan pengetahuan yang
diproduksi secara sosial.
Dengan kata lain, konseptualisasi tentang kesehatan dan penyakit tidak stabil dari
waktu ke waktu, melainkan bergeser dan beradaptasi ketika ideologi sosial dan politik juga
berubah. Sebagai contoh, Crawford (1994, 2006) melacak perubahan radikal yang terjadi
dalam pemahaman kesehatan di masyarakat Barat selama 200 tahun terakhir. Dia menyoroti
bahwa sebelum abad kedelapan belas, kesehatan lebih dianggap sebagai bagian dari
'keberuntungan' inklusif dan hasil dari kehidupan yang baik, ketaatan ritual atau rahmat ilahi.
Ketika Eropa dan Amerika dimodernisasi dan diindustrialisasi, kesehatan muncul sebagai
sesuatu yang dapat dicapai dan dipandang sebagai fondasi penting karakter dan
kewarganegaraan yang baik. Dengan demikian, pemahaman tentang kesehatan mulai
mencerminkan nilai-nilai kapitalisme dan individualisme, yang diilhami oleh gagasan tentang
otonomi individu, pengendalian diri, disiplin diri, dan kemauan keras.
Penelitian dalam persoalan ini juga menunjukkan bagaimana perilaku dan pilihan
yang berhubungan dengan kesehatan tertanam dalam struktur sosial-ekonomi dan konteks
budaya. Sebagai contoh, penelitian di Kanada (Shoveller et al., 2004), Inggris (Thorogood,
1995), dan Afrika Selatan (Wood and Foster, 1995; Shefer and Foster, 2001) telah
11
mengungkapkan bahwa praktik seksual memiliki signifikansi sosial, personal , dan makna
budaya yang seringkali sangat sedikit hubungannya dengan kesehatan. Perilaku seksual dan
keputusan terkait dalam konteks kehidupan sehari-hari sering dipengaruhi oleh wacana
seperti yang berkaitan dengan keinginan, keintiman, kepercayaan, moralitas, dan bahaya.
Senada dengan hal itu, penelitian terhadap pilihan reproduksi di antara perempuan HIV-
positif di banyak negara Afrika, juga telah menunjukkan bagaimana keputusan seperti itu
sering dibentuk oleh norma dan harapan sosial dan budaya, daripada masalah kesehatan.
Norma sosial dan budaya yang kuat seputar kesuburan di banyak masyarakat Afrika, dapat
mengakibatkan perempuan yang tidak memiliki anak terpinggirkan dan bahkan menghadapi
kematian. Hal itu telah terbukti menjadi pengaruh utama dalam banyak keputusan perempuan
HIV-positif untuk memiliki anak (Aka- Dago- Akribi et al., 1997; Dyer et al., 2002; Myer
dan Morroni, 2005).
Penelitian terhadap wanita dan merokok juga menggambarkan hal yang sama.
Penelitian telah menemukan bahwa bagi banyak wanita kelas pekerja, merokok
meningkatkan perasaan emosional yang baik dan dapat meningkatkan modal sosial.
Sebagaimana Graham (1987: 55) menyimpulkan dari penelitiannya tentang wanita yang
mengasuh anak-anak pra-sekolah di keluarga berpenghasilan rendah di Inggris, „Merokok
bertindak sebagai kemewahan dan kebutuhan ketika bahan dan sumber daya manusia ditarik.
Dalam gaya hidup yang dilucuti pakaian baru, make-up, rias rambut, bepergian dengan bus
dan malam hari, merokok dapat menjadi simbol penting dari partisipasi seseorang
dalambudaya konsumen dewasa.
Garis besar terakhir penelitian dalam tradisi ini telah mengkaji makna pribadi dan
sosial suatu penyakit pada tingkat pengalaman atau experiential level, dan mengeksplorasi
bagaimana penyakit dikelola dalam konteks sosial yang didiami seseorang. Penelitian
semacam itu telah menyoroti bagaimana pengalaman penyakit dikonstruksi secara sosial,
yaitu tergantung pada bagaimana penyintas memahami apa penyakitnya, hidup dengan
penyakit mereka, sampai mendapatkan kembali rasa dirinya. Orang-orang dapat memberikan
makna yang berbeda untuk kesusahan dan penderitaan mereka, tergantung pada, misalnya,
hubungan pribadi dan sosial mereka, kelas sosial, jenis kelamin, agama dan kepercayaan serta
budaya. Dengan demikian, pemberlakuan dan pengalaman penyakit sehari-hari diikuti
dengan makna subyektif sehingga sangat bervariasi. Cara-cara di mana orang secara aktif
menentukan batas-batas penyakit mereka, serta identitas mereka dalam hubungannya dengan
parameter-parameter itu, telah ditunjukkan dalam kasus berbagai penyakit spesifik termasuk
depresi (Karp, 1996), epilepsi (Schneider dan Conrad, 1983), schizophrenia (Schulze dan
12
Angermeyer, 2003), rheumatoid arthritis (Fagerlind et al., 2010), diabetes (Peyrot et al.,
1987), asma (Adams et al., 1997), dan HIV / AIDS (Davies, 1997; Ezzy , 2000; Klitzman dan
Beyer, 2003).
13
kuat, seringkali mendukung kepentingan kelompok tersebut dalam kekuasaan, dan
memperkuat struktur sosial yang ada.
Sebagai contoh, sampai pertengahan 1980-an, homoseksualitas didefinisikan dan
dikategorikan dalam ICD sebagai kondisi medis yang membutuhkan pengobatan. Hal ini
tidak sulit untuk melihat bagaimana diagnosis medis resmi ini terjadi dalam konteks kekuatan
sosial politik yang kuat yang menentang variasi dari tradisi heteroseksual yang berlaku pada
abad kedua puluh (Hare-Mustin dan Marecek, 1997; Smith et al., 2004).
Ringkasan tentang konstruksi sosial Kesehatan, tidak seperti model penyakit medis
yang mengasumsikan bahwa penyakit yang universal dan tetap sepanjang waktu dan tempat,
pendekatan konstruksionis sosial menekankan bagaimana semua makna, pengalaman, dan
definisi yang dihasilkan oleh interaksi sosial, tradisi budaya, pergeseran kerangka kerja
pengetahuan, dan hubungan kekuasaan. Semua ini bukan untuk menyangkal realitas rasa
sakit dan penderitaan, atau untuk mengatakan bahwa orang tidak mengalami penderitaan
jasmani atau mental. Namun, perspektif konstruksionis sosial menekankan bahwa
pengalaman ini, dan bagaimana kita melabeli mereka, bukan hanya hasil dari prosedur ilmiah
medico-Scientific, tetapi juga produk dari proses sejarah, sosial, dan politik.
14
Lebih jauh lagi, perspektif konstruksionis sosial dalam tradisi yang lebih Foucauldian
sangat penting untuk kepekaan promotor kesehatan untuk pentingnya berpikir kritis tentang
konsep dan kategori yang digunakan. Kritik konstruksionis sosial mengartikulasikan ideologi
yang sering tersembunyi dalam banyak kampanye promosi kesehatan. Misalnya pendidikan
kesehatan HIV/AIDS dan program promosi di Afrika bagaimana hal ini menghasilkan
stereotip rasis orang Afrika yang menghancurkan dan seksualitas mereka ( Sabatier, 1988;
Crewe dan Aggleton, 2003; Stillwaggon, 2003; Campbell, 2004). Demikian pula,
konstruksionis sosial telah menunjukkan bagaimana norma dan nilai yang dikaitkan dengan
kelompok sasaran dalam banyak pendidikan kesehatan HIV/AIDS dan strategi promosi di
Inggris telah mendukung stereotip gender (Holland et al., 1990c; Wilton, 1997) dan rein-
dipaksa homofobia dan praktek diskriminary (Treichler, 1989; Watney, 1989).
Kampanye pemerintah AS terkait bidang kesehatan yang disebut ' perang terhadap
obesitas ' bahwa penurunan berat badan hanya masalah pengendalian diri. Dalam konteks di
mana berat badan dan kesehatan telah terhubung ke patriotisme dan moralitas di Amerika
Serikat, kampanye tersebut terbukti meningkat secara signifikan stigma yang terkait dengan
kelebihan berat badan dan obesitas (Garcia, 2007). Contoh terakhir adalah dari Inggris, di
mana selama tahun 1980-an kampanye pendidikan kesehatan yang diarahkan pada ' etnis
minoritas ', seperti mereka yang berpihak pada rakhitis, SURMA, dan perawatan pada
antenatal, dipandang telah berkontribusi pada pembangunan stereotip rasis dan augmentasi
rasisme kelembagaan (Sheiham dan cepat, 1982; Pearson, 1986).
2.5 Semiotika
Seperti yang ditunjukkan di atas, perspektif konstruksionis sosial membantu kita
untuk berpikir kritis tentang makna yang tertanam dalam kegiatan promosi kesehatan.
Artinya, tidak hanya tertanam dalam bahasa tertulis atau lisan, tetapi juga disisipkan dalam
media lain seperti gambar, suara, gerak tubuh, dan objek. Di sini seuntai konstruksionis
sosial, dikenal sebagai semiotika, bisa sangat berguna, karena banyak promosi kesehatan
berinisiatif menggunakan gambar sebagai bentuk kunci komunikasi. Semiotika adalah studi
tentang tanda dan simbol, terutama sistem komunikasi, dalam upaya untuk mendekonstruksi
makna dikodekan mereka (Chandler, 2008). Ini termasuk tanda dan simbol dalam setiap
media atau sen-sory modalitas (misalnya kata, Gambar, suara, gerak tubuh, dan objek).
Semiotika didasarkan pada asumsi bahwa tanda tidak hanya menyampaikan makna,
tetapi juga merupakan media dimana makna dibangun. Oleh karena itu tujuannya adalah
untuk mengungkapkan bagaimana nilai, sikap, dan keyakinan tertentu didukung atau
15
dibungkam dalam tanda dan simbol tertentu. Artinya mungkin dibagi menjadi dua tingkatan
dalam semiotika: Denotasi dan konotasi. ' Denotasi ' mengacu pada yang lebih definitional, '
literal ' atau ' jelas ' makna dari sebuah tanda, sedangkan ' konotasi ' mengacu pada lebih
dalam sosial-budaya, politik, ekonomi, dan ' pribadi ' Asosiasi (ideologis, sosial-politik,
emosional, dll) dari tanda.
16
sebagai bentuk kekuatan disiplin dan regulasi sosial. Sebagai Wilbraham (2004:460)
mengartikulasikan: Sekarang ada jaringan yang lebih luas dari otoritas kesehatan, teknik dan
praktek yang berusaha untuk membentuk perilaku individu dan populasi. Sebagai contoh
asuransi kesehatan, buku Self-Help, kolom nasihat, instruksi kebersihan di sekolah, yoga,
kelas aerobik, teknik seks yang lebih aman, ujian di ruang konsultasi dokter, Diet diabetes
dan sebagainya. Melalui program tersebut wacana promosi kesehatan dan praktek hasil dalam
jaringan semakin mencakup pengawasan dan pengamatan.
Hal tersebut telah menembus pikiran orang awam untuk menarik kosa kata promosi
kesehatan yang berlaku untuk menafsirkan pengalaman mereka sendiri, dan merenungkan,
memantau, dan berpikir tentang diri mereka sendiri. Orang yang sering membuat pilihan
tertentu dan mengikuti perilaku tertentu yang diharapkan oleh promosi kesehatan.
Tampaknya subjektif pilihan dan kegiatan makanan dan makan, tidur, waktu luang, aspek
perawatan tubuh, perilaku seksual untuk menyetujui menjadi pemantauan pribadi dan
peraturan.
Pada akhirnya, ketika orang menjadi semakin mengerti tentang promosi kesehatan,
mereka secara aktif dan mudah berusaha untuk mengembangkan gaya hidup mereka, tubuh,
pikiran, dan subjektivities sesuai dengan konfigurasi kebenaran yang berlaku. Memang, ini
adalah dasar komponen bentuk modern kekuasaan, yang berusaha untuk: Menetapkan praktik
sukarela dengan cara yang individu tidak hanya menciptakan aturan perilaku sendiri, tetapi
juga berusaha untuk mengubah dan memodifikasi diri mereka sendiri. Mengakui dirinya
sebagai gila, ketika ia menganggap dirinya sebagai sakit, ketika ia menganggap dirinya
sebagai makhluk hidup, bekerja dan berbicara, ketika ia menghakimi dan menghukum dirinya
sebagai penjahat.(Foucault, 2004:709). Promosi kesehatan bersifat memaksa dan represif.
Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kehidupan kita dan membuat kita
menjadi sehat yang mampu memegang kekuatan besar.
2.7 Kesimpulan
Bab ini telah memperkenalkan pada konstruksionisme sosial sebagai suatu orientasi
teoretis yang kritis dan khusus, yang menekankan sifat realitas dan pengetahuan yang
dihasilkan secara sosial. Dalam bab ini telah diuraikan bagaimana kerangka kerja konseptual
seperti itu dapat diterapkan pada gagasan kesehatan dalam dua cara yang sedikit berbeda.
Pertama, terletak dalam perspektif sosiologis yang lebih interpretatif, oleh karena itu
konstruksionisme sosial menekankan bagaimana konseptualisasi dan pengalaman kesehatan
dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan secara intrinsik terikat konteks, sangat
17
dipengaruhi oleh ideologi yang ada dan dimediasi oleh yang sesuatu lebih luas seperti dimana
orang tersebut tinggal. Dari sudut pandang yang sedikit lebih kritis seperti prespektif
foucauldian, sebuah pendirian konstruksionis sosial menekankan bagaimana pengetahuan
medis dan wujud penyakit yang tidak hanya merefleksikan kenyataan biologis yang
diberikan, tetapi dihasilkan oleh wacana medis. Wacana ini dibentuk secara fundamental oleh
alasan sosial, budaya, dan politik dan praktik.
Kemudian dilihat dari implikasi perspektif tersebut untuk promosi kesehatan. Kami
menunjukkan bagaimana pendekatan konstruksionis sosial dapat membantu membawa 'orang'
kembali ke kegiatan promosi kesehatan, yang pada gilirannya dapat meningkat potensi
efektivitas intervensi. Perspektif seperti itu juga membantu kita berpikir kritis tentang konsep,
kategori, dan definisi yang digunakan dalam program promosi kesehatan. Ini penting untuk
meminimalkan potensi pengabdian dan penguatan bentuk-bentuk khusus seperti
ketidaksetaraan sosial dan struktural serta penindasan, melalui wacana dan praktik promosi
kesehatan.
Akhirnya, kami berusaha memperkenalkan gagasan bahwa jika dilihat melalui lensa
konstruksionis sosial, tujuan yang lebih luas dan tujuan dipertanyakannya promosi kesehatan.
Dalam hal ini, seseorang didesak untuk mempertimbangkan bagaimana wacana dan praktik
promosi kesehatan dapat bertindak sebagai bentuk regulasi social dan apakah itu mungkin
dianggap 'baik'. Pada akhirnya, bagaimanapun ini dapat membantu dan bermanfaat dalam
wacana dan praktik promosi kesehatan yang kita miliki. Semoga ini menunjukkan bahwa
prmosi kesehatan tetap merupakan bentuk kekuatan besar yang dapat membuat perubahan,
bagaimana cara kita berpikir, mengendalikan apa yang kita inginkan, dan memodifikasi cara
kita bersikap. Pertanyaannya yang perlu kita pertimbangkan adalah apakah ada cara lain
untuk menjadikan dan apakah ada pilihan alternatif yang pada akhirnya berpotensi untuk
dibungkam, oleh kecenderungan normalisasi wacana promosi kesehatan dan praktek itu
sendiri.
18
BAB 3. APA YANG MENGENDALIKAN PROMOSI KESEHATAN
Bab ini mendiskusikan apa yang memotivasi promosi kesehatan.
Khususnya, bab ini mengelaborasi bagaimana bukti ilmiah diolah dan digunakan
dalam promosi kesehatan
3.1 Pendahuluan
Dalam mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan, ada banyak masalah yang dapat
dilihat oleh pemerintah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa, dan bagaimana, beberapa
masalah ditindaklanjuti dan yang lainnya tidak, dan mengapa, juga bagaimana, beberapa
masalah diprioritaskan daripada yang lain? Cara sederhana untuk mengonseptualisasikan
pertanyaan-pertanyaan ini adalah dengan mempertimbangkan dua sumbu, satu dari kebutuhan
dan satu lagi dari tindakan (lihat Gambar 3.1). Semua hal lain dianggap sama, kita dapat
berharap bahwa pemerintah lebih mungkin untuk mengambil tindakan karena lebih banyak
kebutuhan yang diidentifikasi.
Kita mungkin juga berharap kebalikannya menjadi kenyataan - di mana ada sedikit
kebutuhan evidence (atau evidence sedikit dibutuhkan), kemungkinan tindakan pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan itu rendah. Dalam banyak kasus, memang demikianlah
masalahnya. Misalnya, pada tahun 2011 Departemen Kesehatan di Inggris menetapkan
komitmennya untuk mengatasi obesitas sebagai penyebab utama diabetes, penyakit jantung
koroner, dan kanker, yang berkontribusi signifikan terhadap beban keseluruhan penyakit dan
biaya perawatan kesehatan (Departemen Kesehatan, 2011). Namun, ada banyak situasi di
mana kelambanan pemerintah terjadi dalam menghadapi kebutuhan yang relatif tinggi dan di
mana tindakan pemerintah terjadi meskipun kebutuhan relatif rendah. Misalnya, selama tahun
1990-an dan awal 2000-an, Pemerintah Afrika Selatan banyak dikritik karena tidak bertindak
untuk mengatasi krisis HIV yang terus meningkat di negara ini.
Oleh karena itu, jelas bahwa bukti sederhana dari beban penyakit tidak secara
otomatis diterjemahkan ke dalam tindakan kesehatan masyarakat. Alasannya beragam dan
kompleks dan mencakup masalah yang berkaitan dengan: (1) bagaimana penyebab
'kebutuhan' dipahami; (2) bagaimana mereka yang 'membutuhkan' dipersepsikan; (3)
bagaimana menangani 'kebutuhan' dikonseptualisasikan; dan (4) interpretasi terhadap basis
evidence dan kekurangannya. Dalam mengeksplorasi masalah-masalah ini, definisi adalah
penting: Bagaimana kebutuhan didefinisikan? Apakah tingkat penyakit yang tinggi
merupakan bukti yang cukup akan perlunya tindakan? Kebutuhan siapa ini? Kebutuhan siapa
yang lebih penting? Siapa yang bisa memutuskan pertanyaan-pertanyaan ini? Ada dimensi
19
politis dan etis untuk semua pertanyaan ini. Yang juga penting adalah bagaimana kepentingan
yang sering bersaing dari berbagai aktor - yang mungkin juga memiliki nilai-nilai politik dan
etika yang kuat.
20
Stages in the policy process
Tahap 1: Identifikasi masalah dan pengenalan masalah. Bagaimana masalah masuk ke agenda
kebijakan? Mengapa beberapa masalah bahkan tidak dibahas?
Tahap 2: Pembentukan kebijakan. Siapa yang merumuskan kebijakan? Bagaimana ini
dirumuskan? Dari mana datangnya inisiatif?
Tahap 3: Implementasi kebijakan. Siapa yang harus bertindak berbeda? Sumber daya apa
yang tersedia? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana implementasi dapat ditegakkan?
Tahap 4: Evaluasi kebijakan. Apa yang terjadi setelah kebijakan diberlakukan? Apakah itu
dipantau? Apakah itu mencapai tujuannya? Apakah itu memiliki konsekuensi yang tidak
diinginkan? Apakah ini berkelanjutan atau ditinggalkan?
Kerangka kerja ini bisa bersifat deskriptif (inilah yang terjadi) dan preskriptif (itulah
yang harus terjadi). Dalam praktiknya, seberapa jauh tahapan ini diikuti dalam serangkaian
langkah logis dan berurutan adalah masalah perdebatan. Perlu juga dicatat bahwa model
biasanya menyajikan proses kebijakan sebagai linier, sementara dalam praktiknya kebijakan
mungkin terhambat pada satu tahap dalam proses atau mungkin dikesampingkan bahkan
ditinggalkan. Oleh karena itu, model proses kebijakan harus selalu dilihat sebagai revisi yang
diidealkan.
Terdapat tiga model utama yang membahas pembuatan kebijakan rasional, yaitu:
pemindaian rasional, inkremental, dan campuran. Model rasional, berarti, seperti namanya,
mengusulkan bahwa setelah mengidentifikasi masalah, pembuat kebijakan (melakukan atau
harus) secara sistematis mengumpulkan dan menilai berbagai opsi kebijakan dan hasil
potensial mereka. Setelah melakukannya, mereka pilih salah satu yang paling mungkin untuk
alamat tujuan mereka. Namun, ada banyak faktor yang menghambat pembuat kebijakan
untuk berperilaku rasional. Walt (1994) mengidentifikasi faktor penghambat itu menjadi
empat faktor utama: (1) tantangan mendefinisikan masalah karena mungkin tidak selalu jelas
apa masalah spesifiknya; (2) tantangan menimbang pilihan kebijakan alternatif dengan tidak
adanya informasi yang pasti; (3) fakta bahwa pembuat kebijakan sendiri tidak objektif,
karena nilai-nilai mereka sendiri akan mempengaruhi bagaimana mereka
mengonseptualisasikan masalah dan solusi potensial; dan (4) bahwa kebijakan sebelumnya
akan mempengaruhi dan berpotensi membatasi opsi kebijakan saat ini. Bersama-sama faktor-
faktor ini berarti bahwa beberapa bidang kebutuhan yang diketahui tidak ditindaklanjuti, dan
kadang-kadang tindakan diambil ketika ada sedikit atau tidak ada evidence yang dibutuhkan.
21
Alternatif dari model rasional proses kebijakan adalah inkrementalisme. Menurut
Lindblom (1959), kendala pembuat kebijakan menghalangi mereka menilai semua bukti
(ilmiah) dan mempertimbangkan berbagai pilihan kebijakan. Dalam praktiknya, mereka
hanya mempertimbangkan sejumlah alternatif yang tidak berbeda secara radikal. Dia
menggambarkan proses sebagai kekacauan dan dipengaruhi oleh penyesuaian bersama
partisan (penentuan posisi dan reposisi berbagai pihak yang berkepentingan). Dengan
demikian, Lindblom berpendapat bahwa apa yang mungkin secara politis paling umum hanya
secara bertahap berbeda dari apa yang terjadi sebelumnya. Agar kebijakan dapat maju,
pembuat kebijakan harus menyetujui arah perjalanan.
Ketika semua aktor tidak setuju, atau di mana ada dua sisi yang kuat tetapi
berlawanan, kebijakan menjadi 'macet' atau terhambat dan menjadi tidak mungkin untuk
bergerak maju lagi. Dari perspektif ini, ukuran keputusan yang baik berarti sejauh mana
pembuat keputusan setuju tentang hal itu. Model pembuatan kebijakan ini memiliki masalah
sendiri, yaitu ketika model rasional dikritik karena terlalu idealis, model inkremental dikritik
karena konservatismenya. Dikatakan bahwa dalam model ini tidak mungkin untuk membuat
langkah perubahan yang sering diperlukan untuk memperoleh kesehatan yang signifikan.
Mengakui idealisme pendekatan rasional dan konservativisme pendekatan
inkrementali atau posisi tengah, yaitu mixed scanning, telah diusulkan oleh Etzioni (1967).
Istilah pemindaian mengacu pada serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membantu
pengambilan keputusan, termasuk mencari, menyusun, dan mengevaluasi informasi. Dalam
mixed scanning, keputusan diklasifikasikan ke dalam dua tingkatan, yaitu keputusan
mendasar (makro) dan keputusan kecil (mikro). Model ini mengusulkan bahwa pengambilan
keputusan kebijakan yang baik menggunakan tingkat scanning yang berbeda untuk tingkat
yang berbeda, dan bahwa tidak semua keputusan memerlukan penilaian lengkap yang sama
dari bukti. Beberapa keputusan makro dapat diambil tanpa detail mikro dari semua implikasi
dari keputusan itu diketahui.
22
dihasilkan apakah pembuat kebijakan memecahkan masalah, masalah diakui apakah ada
solusi dan peristiwa politik bergerak sesuai dengan dinamika mereka sendiri '(Kingdon, 2002:
98). Ia melanjutkan dengan berpendapat bahwa ada peluang saat-saat kritis ketika ketiga
aliran menyelaraskan untuk membuka 'jendela kebijakan'. Pengusaha kebijakan yang disebut
dapat memanfaatkan pembukaan jendela kebijakan dapat mendorong masalah mereka atau
solusi mereka.
Kingdon’s agenda- setting streams
Masalah: Dimana masalah diidentifikasi dan problematized. Memiliki elemen objektif
dan subyektif. Secara obyektif, perubahan indikator berbagai perilaku kesehatan dan hasil
kesehatan dapat menarik perhatian pada masalah tertentu. Seperti halnya „focussing event‟
tertentu, seperti terobosan ilmiah yang menarik perhatian media. Namun, ada juga proses
interpretasi yang lebih subyektif yang menjadikan sesuatu sebagai 'masalah' yang menurut
kami harus kami lakukan. Interpretasi ini dipengaruhi oleh bagaimana masalah dibingkai dan
apakah mereka bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku
Proposal: Dimana proposal kebijakan dibuat dan diasah. Banyak aktor, termasuk
pegawai negeri, politisi, peneliti, kelompok kepentingan, aktivis, dan analis kebijakan,
semuanya menyumbangkan gagasan yang memiliki potensi kebijakan. Dikatakan bahwa
bagaimana ide-ide yang dipilih adalah analog dengan masa lalu: „Gagasan, seperti molekul,
saling bertabrakan, menggabungkan dan menggabungkan kembali dengan berbagai cara.
Dalam proses evolusi kebijakan, beberapa ide hilang, yang lain bertahan dan makmur, dan
beberapa dipilih untuk menjadi pesaing serius untuk diadopsi.
Politik: Dimana fitur-fitur lingkungan politik mempengaruhi agenda kebijakan,
seperti perubahan dalam pemerintahan, perubahan dalam opini publik dan tekanan kelompok
kepentingan.
23
tindakan pada kebijakan di mana kebebasan memilih dilindungi dan di mana ada kasus yang
kuat untuk intervensi karena terlihat adanya evidence yang kuat untuk membenarkannya.
Penelitiannya juga melihat keinginan publik untuk pemerintah bertindak dalam membantu
membuat pilihan yang lebih sehat lebih mudah dengan peraturan industri.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Inggris lebih menyukai pemerintah untuk
mengatur industri daripada mengatur perilakunya sendiri. Ini juga dapat menunjukkan di
mana publik melihat tanggung jawab terletak pada beberapa masalah kesehatan dan
menyoroti peran industri sebagai pemain kunci dalam proses kebijakan.
Bahkan ketika kebijakan promosi kesehatan ditargetkan pada kelompok tertentu
daripada berusaha menjangkau seluruh populasi, dukungan publik tetap penting. Salah satu
faktor yang mempengaruhi dukungan publik untuk intervensi yang lebih bertarget, dan oleh
karena itu kemungkinan dari sifat intervensi, adalah bagaimana masyarakat memandang
mereka yang terkena dampak. Respons kebijakan terhadap HIV / AIDS adalah contohnya.
Watney (1997) dan yang lainnya berpendapat bahwa di Inggris pada 1980-an, respon
kesehatan masyarakat terbatas untuk kasus-kasus AIDS sementara itu tampaknya terpaku
pada kasus 'homoseksual dan pecandu'.
Reeves (2010) menyimpulkan bahwa pemerintah harus mengajukan tiga pertanyaan
kepada diri mereka sendiri sebelum melakukan intervensi. Yang pertama berkaitan dengan
legitimasi dan bertanya seberapa kuat kasus untuk diintervensi? Yang kedua berkaitan
dengan otonomi individu dan bertanya bagaimana negara dapat merespons dengan cara yang
melindungi (atau meningkatkan) otonomi? Yang ketiga berkaitan dengan keefektifan dan
bertanya apakah intervensi akan berhasil? Ringkasan ini mungkin terdengar masuk akal,
tetapi konsep legitimasi, otonomi, dan efektivitas semuanya diperdebatkan dan sarat dengan
nilai.
24
publik lainnya. Perkembangan konsep ini berakar pada pandangan, seperti para profesional
kesehatan, mereka yang terlibat dalam inisiatif kebijakan atau manajemen program juga harus
mendasarkan keputusan mereka pada informasi ilmiah terbaik yang tersedia. Namun, hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang sifat evidence, termasuk: Apa yang dianggap sebagai
'evidence '? Apa evidence 'best'? Kemudian menimbulkan pertanyaan tentang penelitian yang
menopang evidence itu: Bagaimana penelitian ini didanai dan oleh siapa? Bagaimana
penelitian ini dihasilkan dan oleh siapa? Bagaimana penelitian ini ditafsirkan dan oleh siapa?
Bagaimana penelitian digunakan dan oleh siapa?.
25
(misalnya individu, komunitas, dan lingkungan), bahwa tidak akan pernah ada bukti
(evidence) efektivitas pada semua potensi intervensi. Sehubungan dengan kecenderungan
bukti keefektifan, Tannahill menyarankan bahwa 'pendekatan konvensional [yang berasal dari
evidence based medicine] telah meninggalkan warisan untuk kecenderungan pencarian,
penyediaan, dan bukti keefektifan terhadap intervensi yang berkaitan dengan topik faktor
kesehatan atau risiko tertentu dalam perbaikan kesehatan '(Tannahill, 2008: 382).
Sehubungan dengan tidak memadainya bukti keefektifan, ia berpendapat bahwa
„tindakan dan jenis tindakan yang menjadi bukti paling kuat belum tentu yang paling penting
untuk mencapai peningkatan kesehatan populasi dan mengurangi kesenjangan kesehatan‟.
Singkatnya, bukti terbaik yang dimiliki adalah tentang intervensi yang paling sederhana.Kami
memiliki sedikit - atau lebih lemah - bukti tentang intervensi yang kompleks (seperti
kebijakan) tetapi pembuat kebijakan sering kali lebih tertarik dengan pertanyaan yang
kompleks.Ini juga disebut „inverse evidence law‟ (Nutbeam, 2004).
Selain pertanyaan tentang efektivitas, ada perkembang tentang perlunya
mempertimbangkan konteks.Pertanyaan-pertanyaan ini termasuk bagaimana intervensi
bekerja, mengapa diperlukan intervensi, dan untuk siapa intervensi tersebut.Pada 2011,
Waters dan rekannya merinci komponen penting dari ulasan public health dan health
promotion evidence. Para penulis berpendapat bahwa „jika meriview bukti intervensi akan
berguna untuk pengambilan keputusan, informasi kontekstual dan implementasi yang
merupakan komponen penting, tidak dapat dinegosiasikan dari proses peninjauan '(Waters et
al., 2011: 462).
Mereka selanjutnya membuat sejumlah rekomendasi untuk memastikan riview public
health dan health promotion evidence berguna bagi para pembuat kebijakan, termasuk:
melibatkan para pemangku kepentingan ketika melakukan review; memahami jalur dalam
proses dan dasar-dasar teoretis dari evidence; dan menangkap informasi tentang implementasi
program melalui proses peninjauan (Waters et al., 2011).
26
something‟, tetapi informasi mengenai pembuatan solusi masih amat kurang. Dua model
proses pembuatan kebijakan nonlinier yang sekiranya cocok dengan pembuatan kebijakan
adalah the interactive danenlightenment model.
The Interactive Model menjelaskan bahwa ada banyak potongan dalam policy
puzzledan riset itu adalah hanya satu dari banyak bagian tersebut. Sedangkan The
Enlightenment Model menjelaskan bahwa dalam menerapkan hasil riset pada proses
pembuatan kebijakan, maka harus 'berdifusi secara sirkuler melalui berbagai saluran' (Weiss,
1979: 429) dan seiring waktu memasuki ranah kebijakan. Akan tetapi, dikemukakan bahwa
mekanisme tidak langsung ini membuat temuan riset rentan terhadap penyederhanaan yang
berlebihan dan distorsi (Weiss, 1979).Evidence digunakan - dan sayangnya pula
disalahgunakan dengan cara lain. Evidence dapat digunakan untuk memenuhi tujuan politik,
di mana temuan riset hanya dipilih secara selektif dan digunakan untuk mendukung
keputusan yang sudah dibuat, seperti yang dijelaskan oleh Weiss (1979): 'riset sebagai
amunisi'. Oleh sebab hasil riset bisa digunakan untuk tujuan politik murni atau tidak, maka
penting untuk mengakui peran sentral politik dalam setiap pemahaman antara research dan
policy.
Contohnya, keputusan mengenai riset mana yang akan didanai dapat diputuskan untuk
alasan politis dan bukan untuk alasan ilmiah. Contoh lainnya, apakah hasil riset
ditindaklanjuti dan menghasilkan perubahan pada kebijakan dan praktik pada dasarnya adalah
domain politik.Seperti yang dikatakan Oliver (2006: 195), 'Sains dapat mengidentifikasi
solusi untuk menekan masalah kesehatan masyarakat, tetapi hanya politik yang dapat
mengubah sebagian besar solusi tersebut menjadi kenyataan.' Bukan berarti bahwa pada
proses pembuatan policy tidak dapat dipengaruhi oleh akademisi atau orang lain yang
menghasilkan riset atau oleh aktor lain dalam proses kebijakan, tetapi dapat dikatakan bahwa
sudah pada dasarnya hal tersebut adalah ranah politis.
Riset yang dipimpin oleh policy-maker yang dilaksanakan untuk mengeksplor
bagaimana evidence dapat memberikan informasi pada pembuatan kebijakan public-health,
menunjukan beberapa pola umum yang bertentangan dengan kebijakan informasi riset
(Petticrew et al., 2004; Rychetnick dan Wise, 2004), yaitu sebagai berikut:
Para peneliti kurang memahami kendala praktis dan politis pada policy makers.
Policy makers memiliki pandangan yang lebih pluralistik terhadap bukti daripada temuan
berbasis riset yang didefinisikan secara sempit
Para peneliti gagal untuk membuat implikasi praktis dan kebijakan dari temuan
mereka secara eksplisit
27
Rychetnick dan Wise (2004) mengemukakan bahwa akademisi mungkin enggan
mengungkapkan pandangan mereka tentang implikasi temuan mereka, apalagi terlibat dalam
advokasi publik untuk kebijakan tertentu karena sejumlah alasan. Mereka berspekulasi bahwa
hasil riset tersebut mungkin akan mempengaruhi prinsip-prinsip saintifik seperti berpegang
teguh pada fakta yang ditunjukan. Mereka mungkin khawatir tentang keharusan untuk tetap
tidak memihak. Mereka mungkin kurang memiliki pengetahuan tentang proses kebijakan dan
bagaimana memengaruhinya. Namun hal ini bisa menjadi contoh bahwa bukti yang diberikan
oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan sering dipandang lebih valid daripada yang
disajikan oleh seseorang yang jelas-jelas sudah berkomitmen pada tindakan tertentu. Nutley
dan rekan (2002) mengidentifikasi sejumlah key requirements untuk mengkategorikan
evidence seperti apa yang memiliki dampak lebih besar pada kebijakan dan pelaksanaannya,
yaitu sebagai berikut,
a. Kesepakatan mengenai hal apa dan dalam keadaan seperti apa suatu hal dianggap
sebagai evidence
b. Pendekatan strategis untuk menciptakan bukti pada area-area yang diprioritaskan,
dengan upaya sistematis yang bersamaan untuk mengumpulkan bukti dalam bentuk
badan pengetahuan yang kuat
c. Penyebaran bukti yang efektif ke tempat yang paling dibutuhkan dan pengembangan
cara yang efektif untuk menyediakan akses pengetahuan.
d. Inisiasi untuk memastikan integrasi bukti ke dalam kebijakan dan mendorong
pemanfaatan bukti tersebut pada saat penerapan kebijakan
Gagasan riset sosial juga masuk ke dalam kebijakan melalui penayangan pada media
publikasi populer dan media umum. Policy makers harus bisa berselaras dengan zeitgeist saat
ini dan merespons sesuai dengan tren yang sedang terjadi. Terdapat tren dan mode dalam
pembuatan kebijakan, sama halnya seperti mode pada fashion dan musik. Buku-buku populer
untuk pembaca awam jauh lebih mungkin menjadi sumber inspirasi baru dalam pembuatan
kebijakan kesehatan daripada makalah spesialis dalam jurnal akademik. Beberapa contoh
buku ide besar populer di area kesehatan meliputi: The Tipping Point: Bagaimana Hal-Hal
Kecil Dapat Membuat Perbedaan Besar oleh Malcolm Gladwell, pertama kali diterbitkan
pada tahun 2000; The Wisdom of Crowds: Mengapa Banyak Orang Lebih Cerdas dan
Bagaimana Kebijaksanaan Kolektif Membentuk Bisnis, Ekonomi, Masyarakat dan Bangsa
oleh James Surowiecki, diterbitkan pada 2004; Sindrom Status: Bagaimana Posisi Sosial
Anda Secara Langsung Memengaruhi Kesehatan dan Harapan Hidup Anda oleh Michael
Marmot, diterbitkan pada tahun 2004; dan Nudge: Meningkatkan Keputusan tentang
28
Kesehatan, Kekayaan, dan Kebahagiaan oleh Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein,
diterbitkan pada tahun 2008. Buku-buku ini merupakan tanda (namun memang kadang hanya
pada jangka pendek) perihal dampak pada health-policy makers, menggambarkan fakta
bahwa pengetahuan saja tidak cukup untuk mempengaruhi kebijakan.
Pengetahuan juga harus dikemas dan dipromosikan agar memiliki efek.Jadi untuk
memengaruhi kebijakan, temuan riset harus disajikan dengan jelas, tepat waktu, dan relevan
dengan isu yang menjadi perdebatan saat ini. Mereka harus tersedia dalam bahasa non-teknis
yang dapat dipahami oleh policy makers dan kemudian disebarkan melalui saluran yang
mereka inginkan, mereka temui, mereka yang mereka dapat akses. Meskipun kefektifitasan
bukti mungkin tidak berubah, atau mungkin berubah sangat lambat, bukti mengenai unmet
health harus terus diperbarui sesering mungkin agar digunakan untuk mendasari tindakan
promosi kesehatan. Sistem juga perlu tersedia agar informasi-informasi saintifik bisa
diidentifikasi, disintesis dan disebarluaskan.Di banyak bagian dunia, sistem ini tidak
berkembang dengan baik (Petticrew et al., 2004).Tannahill (2008) berpendapat bahwa kita
harus memikirkan promosi kesehatan yang bersifat evidence-informed (berdasarkan bukti)
daripada promosi kesehatan yang bersifat evidence-based (berbasis bukti). Hal ini berpadu
dengan Nutley dan rekannya (2002: 1) yang mempunyai pandangan bahwa „evidence based'
ketika disebut sebagai pengubah kebijakan atau praktik 'dapat mengaburkan peran bukti yang
sebuah dimana bukti bisa, dapat, bahkan mainkan‟.
29
3.9 Kerangka Kerja Kebijakan Promosi Kesehatan dan Praktik Pengambilan
Keputusan
Framework yang ditunjukkan pada bagian ini merangkum dimensi penting dari
pengambilan keputusan promosi kesehatan yang telah diperkenalkan dalam bab ini. Model ini
mengacu pada Health Policy Triangle yang dicetuskan oleh Walt (1994) dan The Health
Policy Decision-Making Framework for Health Promotion yang dibuat oleh Tannahill
(2008).Hal ini mempertimbangkan peran Evidence dan Theory, Ethics dan Politics, dan
Process dan Power.Yang melekat pada semua dimensi ini adalah Values, yang merupakan
pusat dari framework ini. Semua elemen dalam model memengaruhi bagaimana kebutuhan
akan kesehatan dipahami, diprioritaskan, dan diterjemahkan ke dalam kebijakan promosi
kesehatan dan lalu kemudian dipraktikkan.
3.10 Kesimpulan
BAB ini telah mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana
kebutuhan kesehatan dipahami, diprioritaskan,dan diterjemahkan ke dalam kebijakan promosi
kesehatan dan kemudian dilaksanakan. Ditunjukan bahwa proses kebijakan itu kompleks dan
seringkali terkesan berantakan. Namun, teori bermanfaat dalam membantu memahami proses
tersebut, sebab teori mampu memberikan refleksi sebuah kenyataan dalam versi yang ideal.
BAB ini pun menggambarkan bagaimana konsep kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang
bersifat evidence-based telah menjadi alat yang efektif dalam promosi kesehatan dan bidang
kebijakan publik lainnya dalam beberapa tahun ini. Pelaksanaan kebijakan yang bersifat
evidence-based ini pun menghasikan idea (berupa key requirement) tentang apa yang
dianggap sebagai 'evidence' dan bukti seperti apakah yang disebut sebagai bukti 'terbaik'. Hal
ini telah menjelaskan banyak faktor yang memengaruhi carapolicy makers menggunakan
evidence. Akhirnya, BAB ini menyimpulkan bahwa Evidence, Theory, Ethics, Politics, dan
Values berinteraksi dengan cara yang rumit untuk menggerakan promosi kesehatan.
30
BAB 4. PERTIMBANGAN POLITIK DAN ETIK
Bab ini mengeksplorasi persoalan politik dan mas alah etik yang diangkat oleh
promosi kesehatan, termasuk hubungan antar individu dan masyarakat, siapa
yang memiliki hak untuk memutuskan, dan atas dasar apa promosi kesehatan itu
dibenarkan. Selanjutnya di dalam Bab ini juga membahas pendekatan teoritis
yang berbeda untuk menyelesaikannya masalah.
4.1 Pendahuluan
Political and Ethical Consideration
Ada banyak ruang perdebatan politik dan perbedaan pendapat tentang tujuan dan
sarana promosi kesehatan. Pertama, dari hasil yang ingin dicapai berawal dari apa itu definisi
kesehatan yang sebenarnya? Seseorang mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang
apa arti kesehatan dalam praktiknya. Contohnya terkait dengan citra diri (seperti obesitas dan
gizi), pilihan perilaku (seperti merokok, alkohol atau penggunaan narkoba), perilaku seksual
(terkait dengan penyakit menular seksual), atau kesehatan mental (sikap terhadap depresi atau
bunuh diri).Perbedaan tersebut mengarahkan kita pada pertanyaan siapa yang harus
diutamakan oleh profesional kesehatan, individu yang bersangkutan, atau masyarakat secara
keseluruhan?
Kedua, mungkin juga ada perbedaan cara yang digunakan untuk mempromosikan atau
mencapai kesehatan. Pertanyaan politis akan muncul khususnya untuk kasus-kasus terkait
perilaku kesehatan, kesehatan satu orang berdampak pada kesehatan orang lain, seperti
merokok, konsumsi alkohol (berpotensi terkait dengan kekerasan), dan vaksinasi (manfaatnya
juga untuk populasi sekitar). Ada juga masalah biaya perawatan kesehatan dan seberapa
banyak kontribusi komunitas dalam memberi masyarakat kemampuan untuk menilai individu
lainnya yang mengalami dampak kesehatan akibat perilaku kesehatannya, seperti membuat
perokok sadar bahwa mereka justru berkontribusi terhadap pengeluaran biaya atas dampak
kesehatan yang ditimbulkan mereka sendiri, mendorong masyarakat untuk bersikap peduli
atau tidak dalam hal mendanai intervensi medis tertentu seperti aborsi.
Ketiga, kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti statusnya sebagai
pengangguran, tempat tinggal, akses ke layanan-layanan penting, pendidikan, dan
lingkungan, yang dibahas secara lebih rinci dalam Bab 5. Tindakan untuk meningkatkan
kesehatan memerlukan keputusan politis di bidang-bidang ini dan keseimbangan berbagai
prioritas terhadap satu sama lain. Misalnya, biaya finansial dalam bertindak untuk
meningkatkan kesehatan.
31
Melihat area-area yang berpotensi munculnya konflik, harus ada mekanisme untuk
menyelesaikan perbedaan pandangan dalam masyarakat, seperti pengorganisasian masyarakat
secara keseluruhan dan membatasi perilaku individu di dalamnya. Hal ini membawa kita ke
filosofi politis dan organisasi masyarakat di mana seseorang tinggal dan bekerja, karena
mekanisme dan nilai-nilai politis inilah yang akan menentukan bagaimana masalah tersebut
diselesaikan dalam praktik penerapannya. Pertanyaan yang terkait dengan kesehatan dan
perilaku adalah salah satu pertanyaan paling sensitif dari kehidupan politik modern, dan oleh
karena itu penting bagi profesional kesehatan untuk menyadari konteks yang lebih luas ini
untuk pekerjaan mereka.
Mungkin ada sejumlah sumber masalah yang potensial. Namun, dimensi politik atau
etika potensi masalah tidak jelas sehingga tidak perlu dipertimbangkan melalui struktur
politik atau etika formal tetapi dapat disampaikan dalam berbagai cara yang berbeda,
tergantung pada konteks spesifiknya. Bagaimana masalah disajikan kemudian bagaimana
masalah tersebut diselesaikan dalam praktik. Masyarakat dapat membingkai masalah dengan
berbagai cara (misalnya, sebagai pilihan individu dan bukan sebagai masalah kesehatan)
tergantung pada hasil yang diinginkan. Banyak kerangka kerja politik dan etika disebutkan
dalam kehidupan sehari-hari.Ini tidak terbatas pada ideologi politik eksplisit.Sistem ekonomi
(sosialisme, kapitalisme) juga dapat dikaitkan dengan nilai-nilai politik tertentu (tanggung
jawab kolektif, kebebasan individu).Masyarakat yang berbeda mungkin telah menetapkan
nilai pada isu-isu tertentu.Satu contoh yang jelas adalah agama; keyakinan agama yang
berbeda melibatkan pendekatan etika yang berbeda yang mungkin berdampak pada tindakan
yang dipilih individu bersangkutan untuk menyelesaikan konflik.
32
untuk bertindak sebagai „penjaga‟. Argumen Plato mengemukakan bahwa beberapa tindakan
atau kegiatan dapat dilakukan dengan lebih baik oleh seseorang dengan keahlian lebih juga,
pendekatan terbaik adalah memilih seseorang yang memiliki keahlian yang sesuai,
menugaskan mereka untuk melakukan apa yang mereka katakan. Oleh karena itu, cara terbaik
untuk memastikan bahwa masyarakat dipimpin oleh orang-orang yang terbaik dengan
memberi mereka „pemimpin‟ semua pelatihan yang sesuai, dan menempatkan mereka sebagai
penanggung jawab, mampu sebagai penjaga dan mengarahkan perilaku masyarakatnya. Visi
utamanya adalah masyarakat namun pengambilan keputusan berdasarkan keahlian dan bukti.
Pemerintahan dipandang sebagai kegiatan yang didasarkan pada pengetahuan yang
dapat dilakukan dengan baik atau buruk, seperti profesi lainnya.Karena itu Plato berpendapat
bahwa sebaiknya memilih dengan logis pemimpin/pemerintah yang baik sehingga dapat
memberi kekuatan kepada mereka yang memiliki kualifikasi terbaik dalam pengambilan
keputusan; masyarakat juga harus memiliki hubungan dengan pemimpin/pemerintahnya
seperti halnya pasien dengan dokter.
Plato Memberikan kekuatan kepada kelompok minoritas berdasarkan keahlian atau
kemampuan untuk ada dalam pemerintahan dianggap tidak memberikan banyak ruang bagi
demokrasi.Plato, yang tidak memandang pemerintahan demokratis sebagai hal yang baik
tetapi lebih mendorong faksionalisme dan mementingkan diri sendiri.'Masyarakat sempurna'
ini tampak asing saat ini, dengan mengabaikan kebebasan individu dan mengesampingkan
sebagian besar anggota masyarakat dari pemerintah.Meskipun demikian, meskipun
masyarakat yang digambarkan Plato sangat berbeda dari masyarakat modern, pertanyaan
yang diajukannya mengenai masyarakat sempurna masih relevan sampai sekarang.
35
secara keseluruhan dapat membawa manfaat.Ketiga, mungkin yang paling mendasar,
pendekatan utilitarian tampaknya tidak melindungi minoritas dari mayoritas.Dalam istilah
promosi kesehatan, jika kesehatan secara keseluruhan dapat dipromosikan dengan
mengorbankan kesehatan yang buruk dari beberapa orang, pendekatan utilitarian memiliki
alasan untuk dilakukan, tetapi akankah dapat diterima sebagai etika?
36
ditetapkan untuk kontrol dan standar sosial.Tradisi liberal memberikan ekspresi filosofis
terhadap perubahan tersebut dan masih membentuk sebagian besar kerangka politik modern
masyarakat Barat.
Pendekatan filosofis menetapkan batas yang jelas peran masyarakat dalam upaya
membentuk perilaku individu dan memberi batasan terutama untuk masalah kesehatan.
Keahlian atau pengetahuan tentang konsekuensi dari perilaku tertentu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencampuri pilihan seseorang. Sebagai contoh, penyalahgunaan alkohol dan
obat terlarang adalah salah satu kasus spesifik yang dikutip oleh Mill sebagai sesuatu yang
bukan merupakan perilaku ideal tetapi masyarakat tidak boleh melakukan intervensi kecuali
yang dilakukan menimbulkan kerugian atau kerusakan yang merugikan orang lain: Tidak
seorang pun yang dihukum karena mabuk, tetapi seorang polisi yang mabuk saat bertugas
harus dihukum. Singkatnya, setiap kali ada kerusakan atau risiko kerusakan, baik untuk
individu atau masyarakat umum, hal tersebut bukan merupakan kebebasan tapi merupakan
tindakan yang harus diberikan hukum (Mill, 1990:213).
Dalam istilah praktis perilaku orang yang hidup bersama dalam suatu masyarakat,
memiliki perbedaan antara yang menyebabkan kerugian bagi orang lain dan yang murni
berdampak buruk bagi dirinya sendiri. Teorinya berpendapat, bahwa batas dari apa yang
tidak Mempengaruhi orang lain harus ditarik jauh lebih sempit daripada yang mempengaruhi
dirinya sendiri. Melanjutkan contoh overdosis alkohol, ketika seseorang minum terlalu
banyak dan membahayakan dirinya sendiri, mereka juga menyebabkan beban pada
masyarakat karena masyarakat lain diminta untuk merawatnya dan menyediakan biaya
perawatan kesehatan untuk orang tersebut. Apakah ini berarti bahwa mereka sebenarnya
menyebabkan kerusakan pada orang lain dan apakah karena itu arahan sosial perilaku mereka
dapat dibenarkan? Bagi Mill, jawabannya tampaknya jelas 'tidak'.
Cedera konstruktif yang ditimbulkan seseorang kepada masyarakat, dengan perilaku
yang tidak melanggar tugas khusus apa pun kepada publik, juga tidak menimbulkan dampak
buruk bagi individu lain. Ketidaknyamanan adalah sesuatu yang mampu ditanggung
masyarakat, demi kebaikan yang lebih besar dari kebebasan manusia (Mill, 1990: 213). Posisi
ini diperdebatkan, para pendukung intervensi sosial lebih kuat pada isu-isu seperti tembakau
dan alkohol dengan alasan bahwa biaya keseluruhan dari perilaku masyarakat ini
menimbulkan gangguan dengan kebebasan individu di bidang ini. Ini adalah bidang lain di
mana nilai-nilai yang berbeda datang ke dalam konflik ketika mempertimbangkan isu-isu
spesifik tentang politik dan etika promosi kesehatan.
37
4.5 Kebebasan Individu atau Liberalisme dan Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan juga menimbulkan kekhawatiran tentang legitimasi campur tangan
negara dalam mempengaruhi atau membentuk pilihan individu. Masyarakat liberal cenderung
berpikir bahwa pilihan perilaku gaya hidup harus diserahkan kepada individu. Tetapi juga
dipahami bahwa pemerintah terkadang dibenarkan untuk membatasi otonomi rakyat.
Menerima bahwa pemerintah memiliki peran yang sah untuk memainkan peran dalam
promosi kesehatan, yaitu 'membuat pilihan sehat lebih mudah' bagi orang-orang, strategi
promosi kesehatan atau upaya pemerintah untuk mengubah perilaku yang etis. Beberapa
strategi promosi kesehatan tidak cukup menghargai hak individu untuk otonomi (penentuan
nasib sendiri) dan kebebasan, yaitu hak untuk membuat keputusan tentang kehidupan
seseorang, dan tentang isu-isu spesifik mengenai kehidupan itu, yang lain tidak begitu
bermasalah dan dapat dipertahankan dengan alasan moral lainnya. Beberapa cara di mana
otonomi individu dapat dikompromikan dengan cara berbeda untuk mempengaruhi
perubahan perilaku.
41
tidak mampu memilih secara merdeka, atau bertindak berdasarkan keinginan dan rencananya
'(ibid.).
Diperlukannya persetujuan berdasarkan informasi untuk perawatan adalah contoh
yang baik menghormati perawatan kesehatan individu, tetapi prinsip ini juga dapat
memengaruhi persoalan promosi kesehatan. Misalnya, salah satu argumen yang mendukung
pendekatan „libertarian paternalism‟ baru-baru ini, bahwa pendekatan ini dapat digunakan
untuk meningkatkan kesehatan dengan cara mengubah opsi standar atau 'dorongan' lain untuk
meningkatkan kesehatan, tetapi ia tetap menghargai pilihan individu untuk melakukan
sebaliknya jika mereka menginginkannya (Thaler dan Sunstein, 2009).
b. Penghindaran terhadap bahaya atau Non-maleficence
Non-maleficence berarti menghindari penyebab bahaya. Hal ini dekat diasosiasikan
dengan etika medis Primum non nocere, yang berarti “above all, do no harm”, di atas
segalanya, jangan membahayakan. Dalam pelayanan kesehatan, kerangka pengambilan
keputusan untuk situasi yang mungkin melibatkan prosedur yang menopang kehidupan dan
bantuan dalam kematian, misalnya, amat diperlukan. Di dalam promosi kesehatan, hal ini
mungkin timbul dari konsekuensi yang tidak diharapkan dari praktik pormosi kesehatan
seperti efek sosial yang luas dari perubahan yang pada awalnya dimasudkan untuk
meningkatkan kesehatan, contohnya memberikan informasi kesehatan melalui saluran yang
dapat diakses oleh lebih banyak orang dan kelompok dari status sosial ekonomi tinggi,
sehingga melbarnya kesenjangan atau ketidaksetaraan dalam kesehatan.
c. Manfaat atau Beneficence
Manfaat berarti memberikan keuntungan dan dan mengukur manfaat terhadap risiko
dan biaya.Beauchamp dan Childress (2009: 197) berpendapat bahwa „asas-asas kemaslahatan
berpotensi menuntut lebih dari asas Non-maleficence. Agen (dalam hal ini tenaga kesehatan)
harus dapat mengambil langkah-langkah positif untuk membantu orang lain, tidak cukup
hanya menahan diri dari tindakan berbahaya. Beauchamp dan Childress menggambarkan dua
prinsip manfaat yaitu manfaat positif, yang berarti secara aktif membantu orang lain, dan
utilitas, yang berarti menyeimbangkan berbagai keuntungan, kerugian, dan biaya untuk
memastikan hasil keseluruhan terbaik.
d. Keadilan atau Justice
Keadilan berarti mendistribusikan manfaat, risiko, dan biaya secara berimbang.
Kesenjangan dalam kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan seringkali muncul
sebagai masalah yang diperdebatkan dalam keadilan sosial. Hal ini juga berkaitan dengan
pertanyaan yang lebih luas lagi tentang hak-hak masyarakat terhadap kesehatan, peran
42
pemerintah dan pengeluaran publik, kesenjangan sosial-ekonomi, dan efek semua itu
terhadap kesehatan, kebebasan individual, dan hak serta kewajiban bersama.
Terlepas dari perbedaan sumber daya dari berbagai negara, berbagai masyarakat telah
membuatpilihan yang sangat berbeda tentang apa arti keadilan bagi kesehatan, seperti yang
ditunjukkan dengan jelas, misalnya dengan pendekatan yang berbeda dari AS dan negara-
negara Eropa.
Selain itu, Beauchamp and Childress menggambarkan tiga jenis aturan berbeda yang
menentukan empat prinsip tersebut dapat berfungsi sebagai panduan untuk
bertindak. Pertama, aturan substantif meliputi aturan-aturan dari: mengatakan kebenaran,
konfidensial, privasi, alokasi yang adil, dan merasiokan pelayanan kesehatan, dan lain
sebagainya. Contoh dari aturan substantif tersebut adalah menentukan prinsip penghormatan
terhadap otonomi seperti "Ikuti keinginan pasien yang dinyatakan sebelumnya jika hal itu
jelas dan relevan. "Kedua, aturan autoritas, yang meliputi otoritas pengganti (siapa yang
harus membuat keputusan untuk orang yang tidak kompeten), otoritas profesional (siapa yang
harus memikul tanggung jawab untuk mengesampingkan atau menerima keputusan pasien
dalam kasus-kasus di mana hal-hal ini berpotensi merusak), dan otoritas distribusi (siapa
yang harus membuat keputusan tentang distribusi sumber daya). Ketiga, aturan prosedural,
yaitu aturan yang menetapkan prosedur yang harus diikuti ketika suatu hal terjadi, misalnya,
menentukan kelayakan untuk sumber daya medis atau melaporkan keluhan kepada otoritas
yang lebih tinggi.
43
Mengapa penggunaan pasar dapat menjadi masalah?Sandel berpendapat bahwa ada
dua masalah mendasar, yaitu ketimpangan dan korupsi.Dengan ketidaksetaraan dalam
masyarakat muncullah perbedaan daya beli.Akan tetapi perbedaan (daya beli) seperti itu bisa
menjadi penting atau justru kurang penting tergantung pada berapa banyak bidang kehidupan
yang dipengaruhi oleh perbedaan itu.Semakin banyak masyarakat yang menghubungkan kita
di semua bidang kehidupan sebagai pasar, semakin besar pula dampak ketidaksetaraan
tersebut.Untuk bidang kesehatan secara spesifik, dampak ketidaksetaraan sosial ekonomi
sudah jelas, seperti yang dijelaskan oleh Commission on Social Determinants of Health,
World Health Organization (CSDH, 2008).
44
Untuk mengilustrasikan masalah-masalah ini, pertimbangkan contoh-contoh diskusi
politik dan etika berikut tentang masalah terkini dalam promosi kesehatan:
1. Vaksin Measles, mumps, and rubella (MMR)
Kontroversil tentang vaksin ini muncul setelah hubungan dengan penyakit
radang usus dan infeksi autisme diusulkan pada tahun 1998.Meskipun ada konsensus
ilmiah yang luas bahwa tidak ada bukti hubungan antara MMR dan kondisi ini,
kepercayaan publik pada keamanan vaksin sudah terlanjut terjadi sangat parah.Di
Inggris angka penyerapan penggunaan vaksin ini menurun sebesar 8 persen dari
cakupan tertinggi 92 persen pada tahun 1995. Pemerintah Inggris kemudian
memutuskan untuk tidak memberikan vaksinasi untuk masing-masing kondisi ini
secara individual, dengan menyebutkan bahaya yang meningkat baik untuk anak-anak
yang bersangkutan maupun bagi orang lain melalui peningkatan risiko penularan
penyakit-penyakit ini, meskipun ada kekhawatiran dari banyak orang tua yang
divaksinasi untuk anak-anak mereka dengan MMR.
2. Larangan merokok di tempat umum
Beberapa negara berpenghasilan tinggi memiliki beberapa bentuk larangan
merokok di tempat kerja atau tempat-tempat umum, termasuk Irlandia, Norwegia,
Malta, dan beberapa negara bagian AS, dengan alasan perlunya melindungi orang
(khususnya pekerja) dari efek bahaya perokok pasif. Proposal untuk larangan
semacam itu seringkali kontroversial dan telah diperdebatkan dengan alasan hak
individu untuk memilih untuk merokok dan potensi bahaya bagi perusahaan komersial
dari penurunan pendapatan karena perokok memilih untuk menjauh. Terdapat pula
perselisihan di antara para ahli tentang seberapa besar kerugian yang diderita para
perokok pasif, meskipun keseimbangan pendapat tampaknya menunjukkan bahwa ada
bahaya yang signifikan.
45
Dengan dana terbatas, badan amal memilih untuk fase intervensi dan menggunakan sekolah
tanpa intervensi untuk perbandingan (Harford, 2011). Di satu sisi, hal ini dapat diperdebatkan
untuk memberikan bukti yang lebih baik tentang bagaimana intervensi yang berhasil
sebenarnya. Di sisi lain, masalah etika dapat dimunculkan: Apakah boleh melakukan
eksperimen dengan cara ini? Haruskah sumber daya terbatas tidak ditargetkan pada mereka
yang paling membutuhkan, daripada digunakan untuk perbandingan?
4.10 Kesimpulan
Kita telah belajar tentang aspek politik dan etika dari promosi kesehatan, termasuk
mengidentifikasi beberapa masalah politik dan etika yang mungkin ditimbulkan oleh promosi
kesehatan. Kita juga telah belajar tentang lima pendekatan berbeda untuk
mempertimbangkan isu-isu politik dan keseimbangan yang harus dihadapi, yaitu a perfect
society masyarakat yang sempurna, sebagaimana dijelaskan oleh Plato; utilitarianisme;
liberalisme dan kebebasan individu; pendekatan empat prinsip; dan bagaimana batasan moral
untuk pasar. Semua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, di mana kerangka
kerja dilakukannya promosi kesehatan akan melibatkan unsur-unsur dari pendekatan ini dan
pendekatan lainnya.
***
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Cragg, Liza, et al. (2013). Understanding Public Helath; Health Promotion Theory
second edition. USA: Open University Press.
2. Dauson, Angus. (2012). Health Promotion: Conceptual and Ethical Issues. University
Sidney: Article in Public Health Ethics. Vol: 5, Num: 2 (101-103).
https://www.researchgate.net/publication/274409313
3. Radoilska, Lubomin. (2009). Public Health Ethics and Liberalism. Journal Public
Health Ethic. Cambridge University, Vol: 2, No: 2, (135-145)
47