Anda di halaman 1dari 48

UNIVERSITAS INDONESIA

Makalah Mata Kuliah Promosi Kesehatan


Health and Concepts of Health Promotion
Kesehatan dan Konsep Promosi Kesehatan

Oleh Kelompok 2:

Agnia Nurul Hikmah 1906430112


Andini Septiani 1906430150
Anggraeni Puspasari 1906335546
Chairunnisa Sasraswati Hakim 1906430200
Herawati 1906430371
Manda Hafni Permana 1906336050
Mia Ilmiawaty Saadah 1906336076
Rosiyana 1906336334
Yosi Duwita Arinda 1906430964

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
2019

0
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 1

BAB 1. SEJARAH PROMOSI KESEHATAN ..................................................................... 3

1.1 Pendahuluan ..................................................................................................................... 3

1.2 Fase 1. Abad ke-19. ......................................................................................................... 3

1.2 Fase 2. 1900-1970 ............................................................................................................ 4

1.3 Fase 3 : Tahun 1970 Sampai Sekarang ............................................................................ 5

1.4 Kesimpulan ...................................................................................................................... 8

BAB 2. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM KESEHATAN .................................................. 9

DAN PROMOSI KESEHATAN ............................................................................................. 9

2.1 Pendahuluan ..................................................................................................................... 9

2.2 Konstruksi Sosial Kesehatan dan Penyakit .................................................................... 10

2.3 Konstruksi Sosial, Wacana Medis, dan Entitas Penyakit .............................................. 13

2.4 Implikasi untuk Promosi Kesehatan .............................................................................. 14

2.5 Semiotika ....................................................................................................................... 15

2.6 Promosi Kesehatan sebagai Bentuk Kekuatan Disiplin ................................................. 16

2.7 Kesimpulan .................................................................................................................... 17

BAB 3. APA YANG MENGENDALIKAN PROMOSI KESEHATAN ........................... 19

3.1 Pendahuluan ................................................................................................................... 19

3.2 Proses Kebijakan ............................................................................................................ 20

3.3 Policy Agenda- Setting ................................................................................................... 22

3.4 Pentingnya Dukungan Publik ........................................................................................ 23

3.5 Peran Bukti Ilmiah ......................................................................................................... 24

3.6 Tipe-tipe Bukti Ilmiah (atau Hirarki dari Bukti Ilmiah) ................................................ 25

3.7 Penggunaan Bukti Ilmiah oleh Pembuat Kebijakan ...................................................... 26

3.8 Bagaimana dengan Teori?.............................................................................................. 29

3.9 Kerangka Kerja Kebijakan Promosi Kesehatan dan Praktik Pengambilan Keputusan . 30

1
3.10 Kesimpulan .................................................................................................................. 30

BAB 4. PERTIMBANGAN POLITIK DAN ETIK ............................................................ 31

4.1 Pendahuluan ................................................................................................................... 31

4.2 Definisi Masyarakat yang Sempurna Menurut Plato ..................................................... 32

4.3 Utilitarianisme atau teori berbasis konsekuensi ............................................................. 35

4.4 Liberalisme dan Kebebasan Individu............................................................................. 36

4.5 Kebebasan Individu atau Liberalisme dan Promosi Kesehatan ..................................... 38

4.6 The four principle approach - Pendekatan empat prinsip ............................................. 41

4.7 The market solution - Solusi Pasar................................................................................. 43

4.8 Menyelesaikan Pertimbangan Politik dan Etika dalam Praktik ..................................... 44

4.9 Promosi kesehatan sebagai eksperimen ......................................................................... 45

4.10 Kesimpulan .................................................................................................................. 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 47

2
BAB 1. SEJARAH PROMOSI KESEHATAN

Bab ini mengeksplorasi sejarah promosi kesehatan dalam konteks perkembangan


kesehatan masyarakat dari abad ke-19 sampai saat ini. Bab ini juga menjelaskan bahwa
„promosi kesehatan‟ sebagai konsep spesifik yang mulai digunakan pada tahun 1980an,
tetapi untuk mengerti apa dan signifikansinya kita harus dapat melihat promosi kesehatan
dalam konteks sejarah kesehatan masyarakat yang lebih luas.

1.1 Pendahuluan
Health promotion atau promosi kesehatan adalah sebuah konsep lama. Frase promosi
kesehatan sendiri pertama kali digunakan pada kebijakan-kebijakan nasional maupun
internasional pada tahun 1980-an, tetapi konsep promosi kesehatan sendiri sudah ada
semenjak dahulu sejak adanya usaha untuk meningkatkan kesehatan secara umum. Salah satu
penulisan konsep promosi kesehatan yang paling awal adalah yang tertulis pada buku
Hippocrates‟ On Airs, Waters, and Places (400 B.C.), yang ditulis sebagai panduan untuk
membentuk lingkungan baru yang bertujuan mencegah berbagai penyakit.

1.2 Fase 1. Abad ke-19.


Lingkungan Dan Sanitasi.
Pada akhir abad ke-19, di Inggris dan negara-negara barat lainnya mengalami
peningkatan populasi yang sangat hebat diiringi dengan berkembangnya sektor industri dan
urbanisasi. Populasi yang tinggal di kota besar, meningkat karena warga-warga memilih
untuk tinggal di tempat-tempat dengan kemampuan industri yang tinggi untuk mencari
pekerjaan. Kondisi tempat tinggal dan bekerja pada kondisi yang padat tidaklah baik karena
perumahan-perumahan dan tingkat kebersihan yang ada tidak dibarengi dengan pesatnya
perkembangan populasi di sana. Pada kondisi-kondisi seperti ini, penyakit infeksius pun
semakin berkembang.
Pada abad ke-19 banyak ditemukan epidemik penyakit seperti kolera dan typhus.
Sekitar 53.000 orang meninggal di Inggris dan Wales akibat kolera. Penyebab penyakit
kolera itu sendiri adalah lingkungan yang tidak bersih. Walaupun demikian, sebelum
diketahui penyebabnya, orang-orang berpendapat bahwa sumber penyakitnya adalah bau
yang busuk dan gas berbahaya yang disebut miasma. Namun, pemikiran tersebut hilang
seiringnya penemuan John Snow, pada tahun 1854, yang menyatakan bahwa kolera
disebabkan oleh air yang tercemar. Walaupun penemuan John Snow tersebut tidak serta
merta langsung diterima oleh publik, akan tetapi sedikit demi sedikit sanitasi mulai menjadi
perhatian dan mulai dibenahi.
3
Revolusi Bakteriologi.
Menuju akhir abad ke-19, pengetahuan mengenai promosi kesehatan mengalami
sedikit perubahan fokus. Pada 1880-an masyarakat menyadari bahwa mikroorganisme
(bakteri) mengambil peran penting dalam perkembangan penyakit-penyakit infeksius. Hal ini
tentu mengarah kepada fokus kesehatan yang lebih rinci pada material-material yang
menyebabkan penyakit, terlihat besarnya perkembangan laboratorium dan pusat riset yang
meneliti mikroorganisme dan kaitannya dengan penyebaran penyakit.

1.2 Fase 2. 1900-1970


“Kebersihan Sosial”
“Kebersihan Sosial” mengacu pada pengaruh kehidupan sosial masyarakat dengan
kesehatan pribadi dan kesehatan masyarakat yang digunakan sebagai tindakan pencegahan.
Para pendukung kesehatan sosial percaya bahwa kesehatan dan perilaku individu dipengaruhi
oleh sifat dan karakter yang diturunkan oleh generasi sebelumnya, seperti minum minuman
keras, penyakit-penyakit fisik maupun mental. Untuk mengatasi hal ini, pengaplikasian
eugenic dilakukan dengan cara mengontrol pembiakan. Contoh pengontrolan pembiakan
yang dilakukan adalah dengan melakukan sterilisasi pada masyarakat yang dinyatakan tidak
cocok untuk memiliki anak, seperti pada mereka yang memiliki kecanduan terhadap alkohol,
memiliki kesulitan untuk belajar atau memiliki keterbelakangan mental. Pada saat yang sama,
juga diberlakukan perbaikan pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan mengurangi angka
kematian bayi, seperti, mendorong pemberian ASI, serta pemberian makanan bernutrisi baik.

Perkembangan Pelayanan Kesehatan.


Pada pertengahan abad ke-20, pencegahan penyakit dan promosi mulai banyak
dikenalkan kepada publik bahwa kedua hal itu memiliki peran penting dalam pelayanan
kesehatan. Perang dunia kedua telah mendorong perkembangan pelayanan kesehatan yang
lebih tersentralisasi, seperti dibentuknya badan National Health Service (NHS) yang
bertujuan untuk mempromosikan kesehatan dan mengedukasi kesehatan. Namun, setelah
NHS terbentuk pada tahun 1948, fokus kesehatan lebih tertuju kepada menyembuhkan yang
sakit dibanding tindakan promosi kesehatan. Penemuan obat yang disebut sebagai „magic
bullets‟, yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, sangat tenar pada masa ini, juga
perkembangan obat-obatan lain seperti antibiotik dan vaksin.

4
“Pengobatan Sosial”
Pengobatan Sosial atau social medicine mulai dikenalkan di Inggris sekitar tahun
1930 dan 1940-an oleh tokoh bernama John Ryle. Ia menggambarkan “Whole economic,
nutritional, occupational, educational and psychological opportunity or experience of the
individual or community”. Ryle dan pendukung pengobatan sosial lainnya beranggapan
bahwa kesehatan seseorang atau kesehatan komunitas tertentu juga dipengaruhi oleh hal yang
lebih besar dari sekedar ketiadaan suatu penyakit. Hal ini memicu pekerja kesehatan untuk
meningkatkan kesehatan dengan tokoh-tokoh lokal. Pengobatan sosial juga membantu
mengubah fokus pemikiran masyarakat pada sektor kesehatan masyarakat.

1.3 Fase 3 : Tahun 1970 Sampai Sekarang


The New Public Health - Kesehatan Masyarakat yang Baru
Promosi kesehatan muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kesehatan
masyarakat pada tahun 1970-an. Hal ini diawali oleh adanya perspektif baru bahwa derajat
kesehatan tidak harus dengan memajukan teknologi di bidang biomedicine, namun perubahan
standar hidup dan intervensi pada kesehatan masyarakat juga memiliki peran yang sama
pentingnya untuk meningkatkan kesehatan.

Promosi Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Primer


Pada akhir 1970 dan 1980, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menginisiasi untuk
mempromosikan tentang paradigma sehat dan memerangi penyakit. Pada tahun 1978, lahir
Deklarasi Alma Ata (The Declaration of Alma Ata) yang menganjurkan pendekatan
multidimensi untuk kesehatan dan pembangunan sosial ekonomi, dan mendesak masyarakat
untuk berpartisipasi aktif dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan kesehatan di segala
tingkatan, terutama yang berfokus pada pelayanan kesehatan primer (Cueto, 2004). Pada
tahun 1986, Piagam Ottawa juga memperkenalkan Promosi Kesehatan. Hal ini mengalihkan
fokus dari pencegahan penyakit ke “peningkatan kapasitas untuk kesehatan”.
Deklarasi WHO Eropa dalam slogannya menyebutkan untuk mencapai kesehatan
untuk semua tahun 2000 (Health for All by the year 2000) harus dilakukan pelayanan
kesehatan dasar yang mencakup pendidikan kesehatan, peningkatan penyediaan makanan dan
gizi, penyediaan air bersih dan sanitasi dasar, pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk

5
keluarga berencana, pencegahan dan pemberantasan penyakit endemik, serta penyediaan obat
yang esensial.
Sementara itu, pada akhir tahun 1990 terdapat tanda-tanda bahwa lingkungan kembali
berperan dalam kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan. Di tingkat global dan nasional,
keprihatinan diungkapkan tentang penipisan sumber daya, polusi, dan penciptaan lingkungan
yang tidak sehat dan kondisi kehidupan, terutama di kota-kota besar. Dalam Piagam Ottawa
tentang promosi kesehatan, yang menyatakan bahwa kondisi mendasar dan sumber daya
untuk kesehatan adalah perdamaian, tempat tinggal, pendidikan, makanan, pendapatan,
ekosistem yang stabil, sumber daya berkelanjutan, dan keadilan sosial serta kesetaraan
(WHO, 1986).
Piagam Ottawa juga merupakan bagian dari upaya untuk mendorong pemerintah
bekerja sama dengan lintas sektoral, untuk mengambil tanggung jawab dalam menciptakan
lingkungan yang sehat, mengembangkan kebijakan publik berwawasan sehat, memperkuat
aksi atau gerakan masyarakat, mengembangkan keterampilan perorangan, serta reorientasi
sistem pelayanan kesehatan. Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa sejarah promosi
kesehatan mengilustrasikan beberapa kompleksitas dan masalah yang terus dihadapi promosi
kesehatan saat ini. Poin-poin penting meliputi:
a. Promosi kesehatan sebagai disiplin khusus yang muncul pada tahun 1970-an
b. Promosi kesehatan berakar pada banyak pergeseran sebelumnya dalam kesehatan
masyarakat yang merentang kembali ke abad ke-19 dan seterusnya
c. Ada kesinambungan dan perubahan dari waktu ke waktu dalam kesehatan masyarakat
dan promosi kesehatan
d. Beberapa masalah muncul, hilang, dan muncul kembali, seperti lingkungan.

Pencegahan dan Risiko


Perkembangan promosi kesehatan di tingkat global berdampak pada kebijakan
kesehatan masyarakat nasional dan lokal. Penekanan kuat pada pencegahan penyakit dapat
diidentifikasi dalam dokumen kebijakan kesehatan publik nasional yang bernama The UK‟s
Prevention and Health: Everybody‟s Business (Departemen Kesehatan, 1976). Pencegahan
penyakit tersebut ditopang oleh epidemiologi dan gagasan risiko, sebagai contoh merokok
dan kanker paru-paru. Doll dan Hill pada tahun 1954, 1956 mengidentifikasi merokok
sebagai faktor risiko untuk penyakit kanker paru-paru.
Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat pula gagasan risiko yang telah diperluas untuk
mencakup risiko yang ditimbulkan individu atau kelompok terhadap seluruh masyarakat.
6
Salah satu contohnya adalah perokok pasif, dengan risiko yang relatif kecil terhadap
kesehatan orang lain, hal ini digunakan untuk membenarkan kebijakan seperti melarang
merokok di tempat-tempat umum (Berridge, 2007).
Perubahan perilaku individu dan risiko yang memengaruhi kesehatan individu yang
terlibat dalam perilaku tersebut dapat diidentifikasi, apakah individu yang berisiko memberi
efek kepada perlindungan satety of community. Misalnya, kasus narkoba di Inggris, yang
lebih berfokus pada pengurangan kejahatan yang terkait dengan penggunaan narkoba
daripada memberikan pengobatan untuk individu tersebut.

Kritik Terhadap Promosi Kesehatan


Terdapat tiga kategori sanggahan atau kritik terhadap promosi kesehatan, yaitu
sebagai berikut:
Practical
Le Fanu berpendapat bahwa sumber daya yang digunakan dalam promosi kesehatan
akan lebih baik digunakan untuk mengobati orang sakit daripada mencegah orang jatuh sakit.
Dalam praktiknya, banyak sistem kesehatan nasional dirancang terutama untuk menangani
yang sakit dan cenderung kurang menekankan pada pencegahan penyakitnya. Selain itu,
ketika kita hanya memiliki sumber daya terbatas, yang paling baik adalah dialokasikan
kepada mereka yang sudah sakit. Dari sudut pandang politik, jika langkah-langkah promosi
kesehatan memiliki efek, sangat disayangkan hal tersebut akan dirasakan dalam jangka waktu
yang lama dan seringkali sulit untuk diukur.

Structural
Promosi kesehatan gagal untuk mengatasi masalah struktural yang mendukung
kesehatan. Perhatian dan kritikan diberikan pada kondisi kesehatan yang buruk seperti
kemiskinan, perumahan/lingkungan yang tidak memadai dan berbahaya. Masalah struktural
lain adalah dengan menargetkan perilaku individu dan menempatkan tanggung jawab untuk
kesehatan pada individu, hal itu menyalahkan penderita atas kondisi mereka (Crawford,
1977).

Surveilance
Promosi kesehatan sebagai proyek yang menempatkan sebagian besar populasi di
bawah surveillance (Armstrong, 2008). Pemantauan kesehatan masyarakat dapat menjadi

7
bentuk disiplin. Mendesak orang untuk berperilaku dengan cara mendukung lembaga dan
otonomi individu. Dengan demikian, promosi kesehatan dapat menjadi alat kontrol sosial.

1.4 Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian diatas bahwa sejarah promosi kesehatan mengilustrasikan
beberapa kompleksitas dan masalah yang terus dihadapi promosi kesehatan saat ini. Poin-
poin penting meliputi :
 Promosi kesehatan sebagai disiplin khusus yang muncul pada tahun 1970-an
 Promosi kesehatan berakar pada banyak pergeseran sebelumnya dalam kesehatan
masyarakat yang merentang kembali ke abad ke-19 dan seterusnya
 Ada kesinambungan dan perubahan dari waktu ke waktu dalam kesehatan masyarakat
dan promosi kesehatan
 Beberapa masalah muncul, hilang, dan muncul kembali, seperti lingkungan.

8
BAB 2. KONSTRUKSI SOSIAL DALAM KESEHATAN
DAN PROMOSI KESEHATAN

Bab ini memperkenalkan konstruksi sos ial sebagai kerangka kerja


konseptual tertentu dan menjelaskan bagaimana hal itu dapat digunakan untuk
membuat konsep eksplisit dan asumsi yang mendukung 'promosi kesehatan'.
Bab ini juga memungkinkan kita untuk melihat secara kritis keseluruhan upaya
promosi kesehatan dan mempertimbangkan apa peran yang dapat dilakukannya,
serta konsekuensi yang mungkin muncul di masyarakat secara umum.

2.1 Pendahuluan
Tujuan dari konstruksi sosial promosi kesehatan adalah untuk memperkenalkan
konstruksionisme sosial sebagai kerangka kerja konseptual tertentu dan bagaimana
penerapannya pada konsep-konsep kesehatan dan promosi kesehatan. Terdapat dua pendapat
intelektual yang berbeda dari sikap konstruksionis sosial terhadap kesehatan dan penyakit,
mengeksplorasi bagaimana, dengan cara yang sedikit berbeda, memberikan kontribusi besar
tentang dimensi yang bergantung pada konteks entitas penyakit dan penyakit, dan
mengeksplorasi apa implikasi kerangka kerja konseptual konstruksionis sosial terhadap
promosi kesehatan.
Konstruksionisme sosial adalah kerangka kerja konseptual yang memahami hal-hal -
umumnya dianggap alami - diproduksi secara sosial. Penekanannya adalah pada bagaimana
makna fenomena, tidak melekat dalam fenomena itu sendiri, tetapi diciptakan melalui
interaksi dan dialog dalam konteks sosial yang terletak secara historis (Gergen, 1999).
Perspektif seperti itu menolak saran bahwa ada 'kebenaran' yang objektif, tunggal, dan sudah
ada yang ada 'di luar sana', menunggu untuk ditemukan. Sebaliknya, konstruksionis sosial
berpendapat bahwa realitas sosial, dan pengetahuan tentang hal itu, beragam dan selalu
tergantung pada konteks, dan merupakan produk dari proses sosial, historis, politik, dan
budaya (Berger dan Luckmann, 1966).
Pemahaman fenomena dapat bervariasi dari waktu ke waktu, dan pengalaman dapat
diberikan makna yang berbeda di berbagai kelompok sosial dan pengaturan. Contoh
sederhananya, pekerja anak dianggap sangat normal di Inggris selama awal abad ke-19
sedangkan sekarang ini tunduk pada undang-undang yang ketat. Sebagai pendekatan khusus
untuk penyelidikan manusia, konstruksionisme sosial selalu memiliki agenda kritis (Burr,
2003), karena ia berusaha mempertanyakan pengetahuan yang diterima begitu saja tentang
dunia sosial dan bagaimana kita mengkategorikannya, yang menyatakan dirinya (kadang

9
secara halus dan kadang-kadang tidak secara halus) menjadi kebenaran yang terbukti dengan
sendirinya.
Jadi, misalnya, perspektif konstruksionis sosial berpendapat bahwa 'gender'
dikonstruksi secara sosial dan dengan demikian peran, kemampuan, dan temperamen yang
ditugaskan untuk gender tertentu dibentuk oleh norma-norma yang diterima secara umum
tentang seperti apa pria atau wanita itu seharusnya atau bagaimana mereka seharusnya
berperilaku, daripada mencerminkan kebenaran yang melekat yang ditemukan di alam.
Perspektif konstruktivis sosial mungkin juga menekankan bagaimana konstruksi
dominan feminitas dan maskulinitas sering berfungsi untuk melegalkan dan membenarkan
ketidaksetaraan gender. Sebagai contoh, telah dikemukakan bahwa konstruksi umum
kewanitaan sebagai perawatan dan pengasuhan pada dasarnya telah berkontribusi pada
konsentrasi perempuan dalam pekerjaan paruh waktu dan upah yang lebih rendah, dan
mengurangi peluang mereka untuk pelatihan dan promosi (Charles, 1993).
Demikian pula, konstruksionis sosial berpendapat bahwa kategori 'ras' lebih
merupakan gagasan yang diproduksi secara sosial daripada ekspresi dari setiap esensi
biologis utama. Mereka mengklaim bahwa taksonomi rasial yang 'alami' bertindak untuk
menegaskan kembali 'ras' sebagai realitas yang telah ditentukan sebelumnya dan untuk
mementingkan ras. Perbedaan yang pada akhirnya digunakan untuk mengeksploitasi dan
menindas kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, ada sejarah panjang dalam membangun
orang Afrika kulit hitam secara genetik berbeda dan primitif, yang telah digunakan untuk
mendukung proyek-proyek politik seperti perbudakan, imperialisme, kebijakan anti-imigrasi,
dan gerakan eugenika (Williams et al., 1994; Bhopal , 1997; Krieger, 2000).

2.2 Konstruksi Sosial Kesehatan dan Penyakit


Selama 50 tahun terakhir, konstruksi sosial kesehatan telah menjadi perspektif yang
signifikan dalam sosiologi kesehatan dan penyakit, dan telah memberikan kontribusi besar
pada pemahaman kita tentang dimensi penyakit yang bergantung pada konteks (Bury, 1986;
Lupton, 2000). Meskipun ada berbagai intellectual strands atau pemikiran intelektual dalam
pendekatan konstruksionis sosial untuk penyakit, dua benang merah dapat teridentifikasi
telah mengatasi topik ini dengan sedikit berbeda.

Konstruksi Sosial dari Pemahaman 'Awam' dan Pengalaman Kesehatan serta Penyakit
Pada awalnya, hal yang banyak mendasari perspektif sosiologis interpretif, khususnya
fenomenologi, mengambil makna subyektif dan pengalaman kesehatan serta penyakit serius.

10
Dalam hal ini, fokusnya adalah pada apa yang disebut sebagai 'orang awam' (sebagai lawan
dari 'eksper' yaitu orang yang memiliki pelatihan dalam praktik, keterampilan, dan disiplin
akademis tertentu) serta pemahaman pribadi mereka tentang diberlakukannya kesejahteraan.
Penelitian semacam itu telah menunjukkan bahwa konseptualisasi kesehatan tidak universal
atau tidak pula diberikan. Sebaliknya, mereka terikat pada konteks, juga dipengaruhi oleh
ideologi yang berlaku dan dimediasi oleh lingkungan yang lebih luas di mana orang itu
hidup, seperti konteks budaya mereka, lokasi struktural dan geografis, identitas sosial, dan
biografi pribadi.
Pemahaman tentang kesehatan terkadang bersifat individual, sosial, dan juga
bervariasi. Apa yang didefinisikan sebagai tidak sehat dalam satu budaya dapat diartikan
berbeda di dalam budaya lain. Sebagai contoh, beberapa kelompok budaya mungkin
menganggap menstruasi perempuan sebagai tanda penyakit, yang menghubungkan moral dan
spiritual kenajisan. Sebagai akibatnya, selama menstruasi berbagai tabu terjadi, seperti urusan
pakaian, mandi, makanan, interaksi sosial, dan hubungan seksual. Namun, kelompok lain
mungkin melihat menstruasi sebagai tanda kesehatan dan kesuburan bagi wanita. Kedua
rangkaian praktik ini dianggap sebagai „lumrah‟ dan 'benar' dalam masyarakat mereka sendiri
dan akan ada sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran. Dari perspektif konstruksionis
sosial, kita dapat mengatakan bahwa 'kebenaran' seperti itu merupakan pengetahuan yang
diproduksi secara sosial.
Dengan kata lain, konseptualisasi tentang kesehatan dan penyakit tidak stabil dari
waktu ke waktu, melainkan bergeser dan beradaptasi ketika ideologi sosial dan politik juga
berubah. Sebagai contoh, Crawford (1994, 2006) melacak perubahan radikal yang terjadi
dalam pemahaman kesehatan di masyarakat Barat selama 200 tahun terakhir. Dia menyoroti
bahwa sebelum abad kedelapan belas, kesehatan lebih dianggap sebagai bagian dari
'keberuntungan' inklusif dan hasil dari kehidupan yang baik, ketaatan ritual atau rahmat ilahi.
Ketika Eropa dan Amerika dimodernisasi dan diindustrialisasi, kesehatan muncul sebagai
sesuatu yang dapat dicapai dan dipandang sebagai fondasi penting karakter dan
kewarganegaraan yang baik. Dengan demikian, pemahaman tentang kesehatan mulai
mencerminkan nilai-nilai kapitalisme dan individualisme, yang diilhami oleh gagasan tentang
otonomi individu, pengendalian diri, disiplin diri, dan kemauan keras.
Penelitian dalam persoalan ini juga menunjukkan bagaimana perilaku dan pilihan
yang berhubungan dengan kesehatan tertanam dalam struktur sosial-ekonomi dan konteks
budaya. Sebagai contoh, penelitian di Kanada (Shoveller et al., 2004), Inggris (Thorogood,
1995), dan Afrika Selatan (Wood and Foster, 1995; Shefer and Foster, 2001) telah
11
mengungkapkan bahwa praktik seksual memiliki signifikansi sosial, personal , dan makna
budaya yang seringkali sangat sedikit hubungannya dengan kesehatan. Perilaku seksual dan
keputusan terkait dalam konteks kehidupan sehari-hari sering dipengaruhi oleh wacana
seperti yang berkaitan dengan keinginan, keintiman, kepercayaan, moralitas, dan bahaya.
Senada dengan hal itu, penelitian terhadap pilihan reproduksi di antara perempuan HIV-
positif di banyak negara Afrika, juga telah menunjukkan bagaimana keputusan seperti itu
sering dibentuk oleh norma dan harapan sosial dan budaya, daripada masalah kesehatan.
Norma sosial dan budaya yang kuat seputar kesuburan di banyak masyarakat Afrika, dapat
mengakibatkan perempuan yang tidak memiliki anak terpinggirkan dan bahkan menghadapi
kematian. Hal itu telah terbukti menjadi pengaruh utama dalam banyak keputusan perempuan
HIV-positif untuk memiliki anak (Aka- Dago- Akribi et al., 1997; Dyer et al., 2002; Myer
dan Morroni, 2005).
Penelitian terhadap wanita dan merokok juga menggambarkan hal yang sama.
Penelitian telah menemukan bahwa bagi banyak wanita kelas pekerja, merokok
meningkatkan perasaan emosional yang baik dan dapat meningkatkan modal sosial.
Sebagaimana Graham (1987: 55) menyimpulkan dari penelitiannya tentang wanita yang
mengasuh anak-anak pra-sekolah di keluarga berpenghasilan rendah di Inggris, „Merokok
bertindak sebagai kemewahan dan kebutuhan ketika bahan dan sumber daya manusia ditarik.
Dalam gaya hidup yang dilucuti pakaian baru, make-up, rias rambut, bepergian dengan bus
dan malam hari, merokok dapat menjadi simbol penting dari partisipasi seseorang
dalambudaya konsumen dewasa.
Garis besar terakhir penelitian dalam tradisi ini telah mengkaji makna pribadi dan
sosial suatu penyakit pada tingkat pengalaman atau experiential level, dan mengeksplorasi
bagaimana penyakit dikelola dalam konteks sosial yang didiami seseorang. Penelitian
semacam itu telah menyoroti bagaimana pengalaman penyakit dikonstruksi secara sosial,
yaitu tergantung pada bagaimana penyintas memahami apa penyakitnya, hidup dengan
penyakit mereka, sampai mendapatkan kembali rasa dirinya. Orang-orang dapat memberikan
makna yang berbeda untuk kesusahan dan penderitaan mereka, tergantung pada, misalnya,
hubungan pribadi dan sosial mereka, kelas sosial, jenis kelamin, agama dan kepercayaan serta
budaya. Dengan demikian, pemberlakuan dan pengalaman penyakit sehari-hari diikuti
dengan makna subyektif sehingga sangat bervariasi. Cara-cara di mana orang secara aktif
menentukan batas-batas penyakit mereka, serta identitas mereka dalam hubungannya dengan
parameter-parameter itu, telah ditunjukkan dalam kasus berbagai penyakit spesifik termasuk
depresi (Karp, 1996), epilepsi (Schneider dan Conrad, 1983), schizophrenia (Schulze dan
12
Angermeyer, 2003), rheumatoid arthritis (Fagerlind et al., 2010), diabetes (Peyrot et al.,
1987), asma (Adams et al., 1997), dan HIV / AIDS (Davies, 1997; Ezzy , 2000; Klitzman dan
Beyer, 2003).

2.3 Konstruksi Sosial, Wacana Medis, dan Entitas Penyakit


Pandangan intelektual kedua dalam pendekatan konstruktivisme terhadap penyakit
yang banyak mengacu pada tulisan-tulisan Michel Foucault (1977) telah berkontribusi pada
pemahaman kita tentang sifat kesehatan yang dibangun secara sosial, meskipun dalam nada
yang sedikit berbeda. Apa yang kita sebut tradisi Foucauldian adalah memandang secara
kritis pengetahuan medis dan entitas penyakit, terkait bagaimana dan mengapa tanda dan
gejala khusus itu muncul kemudian dilabel sebagai penyakit medis (Jordanova, 1995; Turner,
1995; Bunton dan Petersen, 1997; Lupton, 1997).
Menurut Foucault (1977), pengetahuan para ahli tentang 'kesehatan ' dan ' penyakit '
bukanlah „penemuan' objektif terhadap realitas biologis yang tersedia di alam. Sebaliknya,
kategori penyakit yang ditemukan atau entitas penyakit adalah produk dari wacana medis
yang dibentuk oleh praktik sosial, budaya, dan politik. Perilaku dan pengalaman tertentu
diberikan pada status kondisi medis atau penyakit dalam waktu dan tempat tertentu pula.
Untuk Foucault, konstruksi tersebut merupakan bentuk kekuatan utama dalam masyarakat
modern. Sebagai contoh, ketika sekelompok gejala dikategorikan dalam wacana medis
sebagai 'tuberkulosis', itu tidak berarti bahwa entitas ini ada secara independen 'di luar sana',
tetapi lebih telah didefinisikan atau diberi label seperti itu dalam sosial, sejarah, dan konteks
politik.
Sifat sosial yang dibangun dari entitas penyakit jelas diilustrasikan bahwa penyakit
dan kategori yang dinamis; batasan dan makna penyakit secara terus-menerus diperebutkan,
dinegosiasikan, dan didefinisikan ulang seiring berjalannya waktu. contoh diagnosis dan
kategori penyakit yang telah hilang dari buku teks klinis dan penyakit baru ditemukan.
International Statistical Classification (ICD) terhadap penyakit dan terkait masalah kesehatan
serta Diagnostic and Statistical Manual (DSM) pada gangguan mental adalah bukti ini.
Para cendekiawan dalam tradisi Foucauldian ini telah menunjukkan bahwa pergeseran
dalam klasifikasi entitas penyakit hasil dari bukti ilmiah dan prosedur diagnostik menjadi
lebih maju atau akurat, mengubah praktik sosial dan gagasan politik. Hal ini juga
menekankan bahwa penyakit dipengaruhi oleh nilai politik dan moral serta ideologi yang
berlaku dalam masyarakat. Karena itu, kategori penyakit memiliki agenda Evaluatif yang

13
kuat, seringkali mendukung kepentingan kelompok tersebut dalam kekuasaan, dan
memperkuat struktur sosial yang ada.
Sebagai contoh, sampai pertengahan 1980-an, homoseksualitas didefinisikan dan
dikategorikan dalam ICD sebagai kondisi medis yang membutuhkan pengobatan. Hal ini
tidak sulit untuk melihat bagaimana diagnosis medis resmi ini terjadi dalam konteks kekuatan
sosial politik yang kuat yang menentang variasi dari tradisi heteroseksual yang berlaku pada
abad kedua puluh (Hare-Mustin dan Marecek, 1997; Smith et al., 2004).
Ringkasan tentang konstruksi sosial Kesehatan, tidak seperti model penyakit medis
yang mengasumsikan bahwa penyakit yang universal dan tetap sepanjang waktu dan tempat,
pendekatan konstruksionis sosial menekankan bagaimana semua makna, pengalaman, dan
definisi yang dihasilkan oleh interaksi sosial, tradisi budaya, pergeseran kerangka kerja
pengetahuan, dan hubungan kekuasaan. Semua ini bukan untuk menyangkal realitas rasa
sakit dan penderitaan, atau untuk mengatakan bahwa orang tidak mengalami penderitaan
jasmani atau mental. Namun, perspektif konstruksionis sosial menekankan bahwa
pengalaman ini, dan bagaimana kita melabeli mereka, bukan hanya hasil dari prosedur ilmiah
medico-Scientific, tetapi juga produk dari proses sejarah, sosial, dan politik.

2.4 Implikasi untuk Promosi Kesehatan


Apa implikasi dari perspektif konstruksionis sosial, baik secara umum maupun khusus
dalam kaitannya dengan kesehatan, untuk promosi kesehatan? makna kesehatan dan perilaku
yang berhubungan dengan kesehatan terkait dengan perilaku sosial sangat penting untuk
membuat pendidikan kesehatan dan promosi kampanye yang relevant dan responsif terhadap
kelompok sasaran tertentu. Hal ini penting baik untuk membawa seseorang kembali ke
promosi kesehatan sebagai tujuan individu maupun program promosi kesehatan.
Menyarankan orang untuk memodifikasi lifestyle mereka dan mengikuti cara hidup sehat
dalam isolasi sosialnya maka terbukti tidak efektif. Misalnya, pesan promosi kesehatan yang
hanya menyarankan orang untuk berhenti merokok atau mempraktekkan seks yang lebih
aman akan tetap tidak efektif jika keputusan seputar perilaku ini membawa makna sosial,
budaya, dan simbolik selain dari yang berkaitan dengan kesehatan, yang mereka selalu
lakukan. Karya Holland et al. (1990a, 1990b), Wilton dan Aggleton (1990), Campbell (2003),
dan Bernays dan Rhodes (2009) telah dengan jelas menunjukkan hal ini dalam kasus
HIV/AIDS. Kampanye dan intervensi yang mengkonseptualisasikan perilaku kesehatan tanpa
makna sosial cenderung memunculkan stigma dan memiliki keberhasilan yang rendah.

14
Lebih jauh lagi, perspektif konstruksionis sosial dalam tradisi yang lebih Foucauldian
sangat penting untuk kepekaan promotor kesehatan untuk pentingnya berpikir kritis tentang
konsep dan kategori yang digunakan. Kritik konstruksionis sosial mengartikulasikan ideologi
yang sering tersembunyi dalam banyak kampanye promosi kesehatan. Misalnya pendidikan
kesehatan HIV/AIDS dan program promosi di Afrika bagaimana hal ini menghasilkan
stereotip rasis orang Afrika yang menghancurkan dan seksualitas mereka ( Sabatier, 1988;
Crewe dan Aggleton, 2003; Stillwaggon, 2003; Campbell, 2004). Demikian pula,
konstruksionis sosial telah menunjukkan bagaimana norma dan nilai yang dikaitkan dengan
kelompok sasaran dalam banyak pendidikan kesehatan HIV/AIDS dan strategi promosi di
Inggris telah mendukung stereotip gender (Holland et al., 1990c; Wilton, 1997) dan rein-
dipaksa homofobia dan praktek diskriminary (Treichler, 1989; Watney, 1989).
Kampanye pemerintah AS terkait bidang kesehatan yang disebut ' perang terhadap
obesitas ' bahwa penurunan berat badan hanya masalah pengendalian diri. Dalam konteks di
mana berat badan dan kesehatan telah terhubung ke patriotisme dan moralitas di Amerika
Serikat, kampanye tersebut terbukti meningkat secara signifikan stigma yang terkait dengan
kelebihan berat badan dan obesitas (Garcia, 2007). Contoh terakhir adalah dari Inggris, di
mana selama tahun 1980-an kampanye pendidikan kesehatan yang diarahkan pada ' etnis
minoritas ', seperti mereka yang berpihak pada rakhitis, SURMA, dan perawatan pada
antenatal, dipandang telah berkontribusi pada pembangunan stereotip rasis dan augmentasi
rasisme kelembagaan (Sheiham dan cepat, 1982; Pearson, 1986).

2.5 Semiotika
Seperti yang ditunjukkan di atas, perspektif konstruksionis sosial membantu kita
untuk berpikir kritis tentang makna yang tertanam dalam kegiatan promosi kesehatan.
Artinya, tidak hanya tertanam dalam bahasa tertulis atau lisan, tetapi juga disisipkan dalam
media lain seperti gambar, suara, gerak tubuh, dan objek. Di sini seuntai konstruksionis
sosial, dikenal sebagai semiotika, bisa sangat berguna, karena banyak promosi kesehatan
berinisiatif menggunakan gambar sebagai bentuk kunci komunikasi. Semiotika adalah studi
tentang tanda dan simbol, terutama sistem komunikasi, dalam upaya untuk mendekonstruksi
makna dikodekan mereka (Chandler, 2008). Ini termasuk tanda dan simbol dalam setiap
media atau sen-sory modalitas (misalnya kata, Gambar, suara, gerak tubuh, dan objek).
Semiotika didasarkan pada asumsi bahwa tanda tidak hanya menyampaikan makna,
tetapi juga merupakan media dimana makna dibangun. Oleh karena itu tujuannya adalah
untuk mengungkapkan bagaimana nilai, sikap, dan keyakinan tertentu didukung atau

15
dibungkam dalam tanda dan simbol tertentu. Artinya mungkin dibagi menjadi dua tingkatan
dalam semiotika: Denotasi dan konotasi. ' Denotasi ' mengacu pada yang lebih definitional, '
literal ' atau ' jelas ' makna dari sebuah tanda, sedangkan ' konotasi ' mengacu pada lebih
dalam sosial-budaya, politik, ekonomi, dan ' pribadi ' Asosiasi (ideologis, sosial-politik,
emosional, dll) dari tanda.

2.6 Promosi Kesehatan sebagai Bentuk Kekuatan Disiplin


Ini lapisan multi-tingkat analisis menunjukkan bagaimana perspektif konstruksionis
sosial untuk promosi kesehatan dapat membawa kita lebih jauh daripada hanya berpikir kritis
tentang konsep yang diterima, kategori, dan definisi yang digunakan, dan asumsi mereka
dalam program promosi kesehatan. Hal ini juga mendorong kita untuk melihat secara kritis di
seluruh usaha promosi kesehatan itu sendiri. Sebuah perspektif konstruktor sosial dari
promosi kesehatan berusaha untuk mengajukan pertanyaan tentang tujuan yang lebih luas.
Analisis pada tingkat ini telah menarik perhatian pada kecenderungan promosi kesehatan
promosi bertindak sebagai bentuk regulasi sosial (Armstrong, 1983; Thorogood, 1992;
Nettleton dan Bunton, 1995).
Di sini, kita dibawa kembali ke karya Foucault, dan ide-idenya mengenai bentuk
modern kekuasaan.Seperti yang menyentuh sebelumnya, Foucault melihat wacana medis
sebagai bentuk utama kekuasaan dalam masyarakat modern. Untuk memahami hal ini
sepenuhnya, dan bagaimana promosi kesehatan mungkin berfungsi sebagai jenis kontrol
sosial, kita perlu menghargai bagaimana pendekatan foucauldian menggambarkan operasi
kekuasaan dalam kontemporer, demokrasi liberal. Menurut Foucault (1980, 1984), bentuk
kekuatan modern beroperasi berbeda dengan bentuk kekuatan tradisional.
Dalam pandangan ini, kekuatan tradisional dikonseptualisasikan sebagai ' berdaulat '
dan dipandang sebagai kemunduran dan pemaksaan, sedangkan kekuataan modern
merupakan fungsi melalui sistem sosial pengetahuan dan praktek yang menciptakan standar
yang berkaitan dengan ' normalitas ' dan ' kelainan ', ' sehat ' dan ' tidak sehat '. Ini beroperasi
melalui menyediakan pedoman tentang bagaimana orang harus memahami, melakukan,
mengatur, dan mengalami tubuh mereka, pikiran, dan subjektivities. Dengan demikian, tujuan
dari bentuk kekuasaan modern tersebut adalah untuk menghasilkan subyek ' patuh ' atau '
objek yang disiplin ', yang secara konstan memeriksa dan menyesuaikan diri mereka dan
orang lain agar sesuai dengan norma dan idealisme yang mengatur.
Dari sudut pandang ini, melalui pembentukan norma mengenai pengalaman dan
perilaku yang tepat dan sehat, program dan teknologi promosi kesehatan dapat dipandang

16
sebagai bentuk kekuatan disiplin dan regulasi sosial. Sebagai Wilbraham (2004:460)
mengartikulasikan: Sekarang ada jaringan yang lebih luas dari otoritas kesehatan, teknik dan
praktek yang berusaha untuk membentuk perilaku individu dan populasi. Sebagai contoh
asuransi kesehatan, buku Self-Help, kolom nasihat, instruksi kebersihan di sekolah, yoga,
kelas aerobik, teknik seks yang lebih aman, ujian di ruang konsultasi dokter, Diet diabetes
dan sebagainya. Melalui program tersebut wacana promosi kesehatan dan praktek hasil dalam
jaringan semakin mencakup pengawasan dan pengamatan.
Hal tersebut telah menembus pikiran orang awam untuk menarik kosa kata promosi
kesehatan yang berlaku untuk menafsirkan pengalaman mereka sendiri, dan merenungkan,
memantau, dan berpikir tentang diri mereka sendiri. Orang yang sering membuat pilihan
tertentu dan mengikuti perilaku tertentu yang diharapkan oleh promosi kesehatan.
Tampaknya subjektif pilihan dan kegiatan makanan dan makan, tidur, waktu luang, aspek
perawatan tubuh, perilaku seksual untuk menyetujui menjadi pemantauan pribadi dan
peraturan.
Pada akhirnya, ketika orang menjadi semakin mengerti tentang promosi kesehatan,
mereka secara aktif dan mudah berusaha untuk mengembangkan gaya hidup mereka, tubuh,
pikiran, dan subjektivities sesuai dengan konfigurasi kebenaran yang berlaku. Memang, ini
adalah dasar komponen bentuk modern kekuasaan, yang berusaha untuk: Menetapkan praktik
sukarela dengan cara yang individu tidak hanya menciptakan aturan perilaku sendiri, tetapi
juga berusaha untuk mengubah dan memodifikasi diri mereka sendiri. Mengakui dirinya
sebagai gila, ketika ia menganggap dirinya sebagai sakit, ketika ia menganggap dirinya
sebagai makhluk hidup, bekerja dan berbicara, ketika ia menghakimi dan menghukum dirinya
sebagai penjahat.(Foucault, 2004:709). Promosi kesehatan bersifat memaksa dan represif.
Promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kehidupan kita dan membuat kita
menjadi sehat yang mampu memegang kekuatan besar.

2.7 Kesimpulan
Bab ini telah memperkenalkan pada konstruksionisme sosial sebagai suatu orientasi
teoretis yang kritis dan khusus, yang menekankan sifat realitas dan pengetahuan yang
dihasilkan secara sosial. Dalam bab ini telah diuraikan bagaimana kerangka kerja konseptual
seperti itu dapat diterapkan pada gagasan kesehatan dalam dua cara yang sedikit berbeda.
Pertama, terletak dalam perspektif sosiologis yang lebih interpretatif, oleh karena itu
konstruksionisme sosial menekankan bagaimana konseptualisasi dan pengalaman kesehatan
dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan secara intrinsik terikat konteks, sangat

17
dipengaruhi oleh ideologi yang ada dan dimediasi oleh yang sesuatu lebih luas seperti dimana
orang tersebut tinggal. Dari sudut pandang yang sedikit lebih kritis seperti prespektif
foucauldian, sebuah pendirian konstruksionis sosial menekankan bagaimana pengetahuan
medis dan wujud penyakit yang tidak hanya merefleksikan kenyataan biologis yang
diberikan, tetapi dihasilkan oleh wacana medis. Wacana ini dibentuk secara fundamental oleh
alasan sosial, budaya, dan politik dan praktik.
Kemudian dilihat dari implikasi perspektif tersebut untuk promosi kesehatan. Kami
menunjukkan bagaimana pendekatan konstruksionis sosial dapat membantu membawa 'orang'
kembali ke kegiatan promosi kesehatan, yang pada gilirannya dapat meningkat potensi
efektivitas intervensi. Perspektif seperti itu juga membantu kita berpikir kritis tentang konsep,
kategori, dan definisi yang digunakan dalam program promosi kesehatan. Ini penting untuk
meminimalkan potensi pengabdian dan penguatan bentuk-bentuk khusus seperti
ketidaksetaraan sosial dan struktural serta penindasan, melalui wacana dan praktik promosi
kesehatan.
Akhirnya, kami berusaha memperkenalkan gagasan bahwa jika dilihat melalui lensa
konstruksionis sosial, tujuan yang lebih luas dan tujuan dipertanyakannya promosi kesehatan.
Dalam hal ini, seseorang didesak untuk mempertimbangkan bagaimana wacana dan praktik
promosi kesehatan dapat bertindak sebagai bentuk regulasi social dan apakah itu mungkin
dianggap 'baik'. Pada akhirnya, bagaimanapun ini dapat membantu dan bermanfaat dalam
wacana dan praktik promosi kesehatan yang kita miliki. Semoga ini menunjukkan bahwa
prmosi kesehatan tetap merupakan bentuk kekuatan besar yang dapat membuat perubahan,
bagaimana cara kita berpikir, mengendalikan apa yang kita inginkan, dan memodifikasi cara
kita bersikap. Pertanyaannya yang perlu kita pertimbangkan adalah apakah ada cara lain
untuk menjadikan dan apakah ada pilihan alternatif yang pada akhirnya berpotensi untuk
dibungkam, oleh kecenderungan normalisasi wacana promosi kesehatan dan praktek itu
sendiri.

18
BAB 3. APA YANG MENGENDALIKAN PROMOSI KESEHATAN
Bab ini mendiskusikan apa yang memotivasi promosi kesehatan.
Khususnya, bab ini mengelaborasi bagaimana bukti ilmiah diolah dan digunakan
dalam promosi kesehatan

3.1 Pendahuluan
Dalam mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan, ada banyak masalah yang dapat
dilihat oleh pemerintah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa, dan bagaimana, beberapa
masalah ditindaklanjuti dan yang lainnya tidak, dan mengapa, juga bagaimana, beberapa
masalah diprioritaskan daripada yang lain? Cara sederhana untuk mengonseptualisasikan
pertanyaan-pertanyaan ini adalah dengan mempertimbangkan dua sumbu, satu dari kebutuhan
dan satu lagi dari tindakan (lihat Gambar 3.1). Semua hal lain dianggap sama, kita dapat
berharap bahwa pemerintah lebih mungkin untuk mengambil tindakan karena lebih banyak
kebutuhan yang diidentifikasi.
Kita mungkin juga berharap kebalikannya menjadi kenyataan - di mana ada sedikit
kebutuhan evidence (atau evidence sedikit dibutuhkan), kemungkinan tindakan pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan itu rendah. Dalam banyak kasus, memang demikianlah
masalahnya. Misalnya, pada tahun 2011 Departemen Kesehatan di Inggris menetapkan
komitmennya untuk mengatasi obesitas sebagai penyebab utama diabetes, penyakit jantung
koroner, dan kanker, yang berkontribusi signifikan terhadap beban keseluruhan penyakit dan
biaya perawatan kesehatan (Departemen Kesehatan, 2011). Namun, ada banyak situasi di
mana kelambanan pemerintah terjadi dalam menghadapi kebutuhan yang relatif tinggi dan di
mana tindakan pemerintah terjadi meskipun kebutuhan relatif rendah. Misalnya, selama tahun
1990-an dan awal 2000-an, Pemerintah Afrika Selatan banyak dikritik karena tidak bertindak
untuk mengatasi krisis HIV yang terus meningkat di negara ini.
Oleh karena itu, jelas bahwa bukti sederhana dari beban penyakit tidak secara
otomatis diterjemahkan ke dalam tindakan kesehatan masyarakat. Alasannya beragam dan
kompleks dan mencakup masalah yang berkaitan dengan: (1) bagaimana penyebab
'kebutuhan' dipahami; (2) bagaimana mereka yang 'membutuhkan' dipersepsikan; (3)
bagaimana menangani 'kebutuhan' dikonseptualisasikan; dan (4) interpretasi terhadap basis
evidence dan kekurangannya. Dalam mengeksplorasi masalah-masalah ini, definisi adalah
penting: Bagaimana kebutuhan didefinisikan? Apakah tingkat penyakit yang tinggi
merupakan bukti yang cukup akan perlunya tindakan? Kebutuhan siapa ini? Kebutuhan siapa
yang lebih penting? Siapa yang bisa memutuskan pertanyaan-pertanyaan ini? Ada dimensi

19
politis dan etis untuk semua pertanyaan ini. Yang juga penting adalah bagaimana kepentingan
yang sering bersaing dari berbagai aktor - yang mungkin juga memiliki nilai-nilai politik dan
etika yang kuat.

3.2 Proses Kebijakan


Untuk memahami mengapa beberapa masalah kesehatan diprioritaskan daripada yang
lain dan bagaimana tanggapan terhadap masalah tersebut dirumuskan, kita perlu memahami
bagaimana kebijakan dibuat, diadopsi dan diimplementasikan, serta keterlibatan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Proses pengembangan kebijakan, tidak selalu mulus dan rasional.
Bahkan, pembuatan kebijakan publik telah digambarkan dengan „sangat berantakan‟
(Kingdon, 2002: 97). Kingdon kemudian berpendapat bahwa ia memiliki semacam struktur,
tetapi ada banyak ruang untuk kompleksitas, ketidakpastian, fluiditas dan residu keacakan.
Sejumlah kerangka kerja dan model yang berbeda telah dikembangkan untuk
menganalisis dan/ atau menggambarkan pembuatan kebijakan. Walt (1994) misalnya, yang
memperkenalkan segitiga kebijakan kesehatan untuk membantu kita berpikir secara
sistematis tentang berbagai faktor yang dapat memengaruhi kebijakan. Hal ini berfokus pada
tiga dimensi konten (kebijakan), konteks (di mana pembuatan kebijakan terjadi), dan proses
(pembuatan kebijakan). Di dalam segitiga adalah ada tiga aktor yang terlibat yaitu individu,
kelompok, organisasi.

20
Stages in the policy process
Tahap 1: Identifikasi masalah dan pengenalan masalah. Bagaimana masalah masuk ke agenda
kebijakan? Mengapa beberapa masalah bahkan tidak dibahas?
Tahap 2: Pembentukan kebijakan. Siapa yang merumuskan kebijakan? Bagaimana ini
dirumuskan? Dari mana datangnya inisiatif?
Tahap 3: Implementasi kebijakan. Siapa yang harus bertindak berbeda? Sumber daya apa
yang tersedia? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana implementasi dapat ditegakkan?
Tahap 4: Evaluasi kebijakan. Apa yang terjadi setelah kebijakan diberlakukan? Apakah itu
dipantau? Apakah itu mencapai tujuannya? Apakah itu memiliki konsekuensi yang tidak
diinginkan? Apakah ini berkelanjutan atau ditinggalkan?

Kerangka kerja ini bisa bersifat deskriptif (inilah yang terjadi) dan preskriptif (itulah
yang harus terjadi). Dalam praktiknya, seberapa jauh tahapan ini diikuti dalam serangkaian
langkah logis dan berurutan adalah masalah perdebatan. Perlu juga dicatat bahwa model
biasanya menyajikan proses kebijakan sebagai linier, sementara dalam praktiknya kebijakan
mungkin terhambat pada satu tahap dalam proses atau mungkin dikesampingkan bahkan
ditinggalkan. Oleh karena itu, model proses kebijakan harus selalu dilihat sebagai revisi yang
diidealkan.
Terdapat tiga model utama yang membahas pembuatan kebijakan rasional, yaitu:
pemindaian rasional, inkremental, dan campuran. Model rasional, berarti, seperti namanya,
mengusulkan bahwa setelah mengidentifikasi masalah, pembuat kebijakan (melakukan atau
harus) secara sistematis mengumpulkan dan menilai berbagai opsi kebijakan dan hasil
potensial mereka. Setelah melakukannya, mereka pilih salah satu yang paling mungkin untuk
alamat tujuan mereka. Namun, ada banyak faktor yang menghambat pembuat kebijakan
untuk berperilaku rasional. Walt (1994) mengidentifikasi faktor penghambat itu menjadi
empat faktor utama: (1) tantangan mendefinisikan masalah karena mungkin tidak selalu jelas
apa masalah spesifiknya; (2) tantangan menimbang pilihan kebijakan alternatif dengan tidak
adanya informasi yang pasti; (3) fakta bahwa pembuat kebijakan sendiri tidak objektif,
karena nilai-nilai mereka sendiri akan mempengaruhi bagaimana mereka
mengonseptualisasikan masalah dan solusi potensial; dan (4) bahwa kebijakan sebelumnya
akan mempengaruhi dan berpotensi membatasi opsi kebijakan saat ini. Bersama-sama faktor-
faktor ini berarti bahwa beberapa bidang kebutuhan yang diketahui tidak ditindaklanjuti, dan
kadang-kadang tindakan diambil ketika ada sedikit atau tidak ada evidence yang dibutuhkan.

21
Alternatif dari model rasional proses kebijakan adalah inkrementalisme. Menurut
Lindblom (1959), kendala pembuat kebijakan menghalangi mereka menilai semua bukti
(ilmiah) dan mempertimbangkan berbagai pilihan kebijakan. Dalam praktiknya, mereka
hanya mempertimbangkan sejumlah alternatif yang tidak berbeda secara radikal. Dia
menggambarkan proses sebagai kekacauan dan dipengaruhi oleh penyesuaian bersama
partisan (penentuan posisi dan reposisi berbagai pihak yang berkepentingan). Dengan
demikian, Lindblom berpendapat bahwa apa yang mungkin secara politis paling umum hanya
secara bertahap berbeda dari apa yang terjadi sebelumnya. Agar kebijakan dapat maju,
pembuat kebijakan harus menyetujui arah perjalanan.
Ketika semua aktor tidak setuju, atau di mana ada dua sisi yang kuat tetapi
berlawanan, kebijakan menjadi 'macet' atau terhambat dan menjadi tidak mungkin untuk
bergerak maju lagi. Dari perspektif ini, ukuran keputusan yang baik berarti sejauh mana
pembuat keputusan setuju tentang hal itu. Model pembuatan kebijakan ini memiliki masalah
sendiri, yaitu ketika model rasional dikritik karena terlalu idealis, model inkremental dikritik
karena konservatismenya. Dikatakan bahwa dalam model ini tidak mungkin untuk membuat
langkah perubahan yang sering diperlukan untuk memperoleh kesehatan yang signifikan.
Mengakui idealisme pendekatan rasional dan konservativisme pendekatan
inkrementali atau posisi tengah, yaitu mixed scanning, telah diusulkan oleh Etzioni (1967).
Istilah pemindaian mengacu pada serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membantu
pengambilan keputusan, termasuk mencari, menyusun, dan mengevaluasi informasi. Dalam
mixed scanning, keputusan diklasifikasikan ke dalam dua tingkatan, yaitu keputusan
mendasar (makro) dan keputusan kecil (mikro). Model ini mengusulkan bahwa pengambilan
keputusan kebijakan yang baik menggunakan tingkat scanning yang berbeda untuk tingkat
yang berbeda, dan bahwa tidak semua keputusan memerlukan penilaian lengkap yang sama
dari bukti. Beberapa keputusan makro dapat diambil tanpa detail mikro dari semua implikasi
dari keputusan itu diketahui.

3.3 Policy Agenda- Setting


Kingdon (2002) mengusulkan bahwa ada tiga aliran untuk pembuatan kebijakan yang
terjadi secara bersamaa, yaitu masalah, proposal, dan politik. Hal ini adalah cara untuk
mengkonseptualisasikan proses yang berperan dalam membatasi daftar pada isu-isu yang
sebenarnya menjadi fokus perhatian, yang dikenal sebagai penetapan agenda kebijakan.
Beliau menjelaskan bagaimana ketiga aliran ini terjadi di sekitar pemerintah yang sebagian
besar independen satu sama lain (lihat Kotak 3.2). Ia juga berpendapat bahwa „proposal

22
dihasilkan apakah pembuat kebijakan memecahkan masalah, masalah diakui apakah ada
solusi dan peristiwa politik bergerak sesuai dengan dinamika mereka sendiri '(Kingdon, 2002:
98). Ia melanjutkan dengan berpendapat bahwa ada peluang saat-saat kritis ketika ketiga
aliran menyelaraskan untuk membuka 'jendela kebijakan'. Pengusaha kebijakan yang disebut
dapat memanfaatkan pembukaan jendela kebijakan dapat mendorong masalah mereka atau
solusi mereka.
Kingdon’s agenda- setting streams
Masalah: Dimana masalah diidentifikasi dan problematized. Memiliki elemen objektif
dan subyektif. Secara obyektif, perubahan indikator berbagai perilaku kesehatan dan hasil
kesehatan dapat menarik perhatian pada masalah tertentu. Seperti halnya „focussing event‟
tertentu, seperti terobosan ilmiah yang menarik perhatian media. Namun, ada juga proses
interpretasi yang lebih subyektif yang menjadikan sesuatu sebagai 'masalah' yang menurut
kami harus kami lakukan. Interpretasi ini dipengaruhi oleh bagaimana masalah dibingkai dan
apakah mereka bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku
Proposal: Dimana proposal kebijakan dibuat dan diasah. Banyak aktor, termasuk
pegawai negeri, politisi, peneliti, kelompok kepentingan, aktivis, dan analis kebijakan,
semuanya menyumbangkan gagasan yang memiliki potensi kebijakan. Dikatakan bahwa
bagaimana ide-ide yang dipilih adalah analog dengan masa lalu: „Gagasan, seperti molekul,
saling bertabrakan, menggabungkan dan menggabungkan kembali dengan berbagai cara.
Dalam proses evolusi kebijakan, beberapa ide hilang, yang lain bertahan dan makmur, dan
beberapa dipilih untuk menjadi pesaing serius untuk diadopsi.
Politik: Dimana fitur-fitur lingkungan politik mempengaruhi agenda kebijakan,
seperti perubahan dalam pemerintahan, perubahan dalam opini publik dan tekanan kelompok
kepentingan.

3.4 Pentingnya Dukungan Publik


Masalah yang sulit bagi pemerintah manapun yang berkaitan dengan kebijakan
promosi kesehatan, dan menjadi pusat pertanyaan tentang dukungan publik, adalah sejauh
mana dapat ia diterima untuk mengatur dalam kehidupan masyarakat agar dapat
meningkatkan kesehatan mereka sendiri, atau yang lain. Richard Reeves, dalam laporannya
tahun 2010 kepada Pemerintah Inggris berpendapat tentang peran negara dalam kesehatan
dan kesejahteraan bahwa: "Kesehatan yang baik adalah unsur penting dari kehidupan yang
baik - begitu juga dengan kebebasan" (Reeves, 2010: 4). Dia melakukan penelitian kualitatif
dengan anggota masyarakat dan menemukan bahwa orang lebih cenderung untuk mendukung

23
tindakan pada kebijakan di mana kebebasan memilih dilindungi dan di mana ada kasus yang
kuat untuk intervensi karena terlihat adanya evidence yang kuat untuk membenarkannya.
Penelitiannya juga melihat keinginan publik untuk pemerintah bertindak dalam membantu
membuat pilihan yang lebih sehat lebih mudah dengan peraturan industri.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Inggris lebih menyukai pemerintah untuk
mengatur industri daripada mengatur perilakunya sendiri. Ini juga dapat menunjukkan di
mana publik melihat tanggung jawab terletak pada beberapa masalah kesehatan dan
menyoroti peran industri sebagai pemain kunci dalam proses kebijakan.
Bahkan ketika kebijakan promosi kesehatan ditargetkan pada kelompok tertentu
daripada berusaha menjangkau seluruh populasi, dukungan publik tetap penting. Salah satu
faktor yang mempengaruhi dukungan publik untuk intervensi yang lebih bertarget, dan oleh
karena itu kemungkinan dari sifat intervensi, adalah bagaimana masyarakat memandang
mereka yang terkena dampak. Respons kebijakan terhadap HIV / AIDS adalah contohnya.
Watney (1997) dan yang lainnya berpendapat bahwa di Inggris pada 1980-an, respon
kesehatan masyarakat terbatas untuk kasus-kasus AIDS sementara itu tampaknya terpaku
pada kasus 'homoseksual dan pecandu'.
Reeves (2010) menyimpulkan bahwa pemerintah harus mengajukan tiga pertanyaan
kepada diri mereka sendiri sebelum melakukan intervensi. Yang pertama berkaitan dengan
legitimasi dan bertanya seberapa kuat kasus untuk diintervensi? Yang kedua berkaitan
dengan otonomi individu dan bertanya bagaimana negara dapat merespons dengan cara yang
melindungi (atau meningkatkan) otonomi? Yang ketiga berkaitan dengan keefektifan dan
bertanya apakah intervensi akan berhasil? Ringkasan ini mungkin terdengar masuk akal,
tetapi konsep legitimasi, otonomi, dan efektivitas semuanya diperdebatkan dan sarat dengan
nilai.

3.5 Peran Bukti Ilmiah


The evidence- based movement dimulai di bidang kedokteran pada awal 1990-an.
Pada intinya adalah prinsip bahwa keputusan klinis harus dibuat "berdasarkan data ilmiah
terbaik yang tersedia, bukan pada praktik adat atau keyakinan pribadi para penyedia layanan
kesehatan" (Des Jarlais et al., 2004: 361). Evidence- based medicine juga mengakui bahwa
banyak kebijakan pelayanan kesehatan dibuat hanya karena kenyamanan atau dalam beberapa
hal bermanfaat bagi provider (misalnya, mereka lebih murah).
Konsep evidence- based medicine telah mendapatkan nilai sejak awal dan sekarang
serupa dengan kesehatan masyarakat, promosi kesehatan, dan banyak dalam bidang kebijakan

24
publik lainnya. Perkembangan konsep ini berakar pada pandangan, seperti para profesional
kesehatan, mereka yang terlibat dalam inisiatif kebijakan atau manajemen program juga harus
mendasarkan keputusan mereka pada informasi ilmiah terbaik yang tersedia. Namun, hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang sifat evidence, termasuk: Apa yang dianggap sebagai
'evidence '? Apa evidence 'best'? Kemudian menimbulkan pertanyaan tentang penelitian yang
menopang evidence itu: Bagaimana penelitian ini didanai dan oleh siapa? Bagaimana
penelitian ini dihasilkan dan oleh siapa? Bagaimana penelitian ini ditafsirkan dan oleh siapa?
Bagaimana penelitian digunakan dan oleh siapa?.

3.6 Tipe-tipe Bukti Ilmiah (atau Hirarki dari Bukti Ilmiah)


Sejak berdirinya evidence- based medicine, telah ada perdebatan yang cukup besar
tentang apa yang dianggap sebagai 'evidence ' dan apa yang dimaksud 'best ' evidence itu.
Perdebatan telah terjadi sehubungan dengan kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan
berbasis evidence.Gambar 3.2 memberikan contoh hierarki yang disarankan berdasarkan
objektifitas relatif dari berbagai jenis evidence. Dalam evidence- based medicine, uji control
secara acak berada di puncak hirarki desain penelitian untuk menilai efektivitas, dengan
tinjauan sistematis menggunakan uji randomized controlled trials yang dianggap sebagai
bentuk bukti efektivitas terkuat.
Sejumlah perbedaan yang ada diantara evidence- based medicine dan evidence- based
public health and health promotion, dan salah satu pertanyaan yang telah diperdebatkan
adalah apakah 'model' evidence- based medicine - yang menggunakan uji coba terkontrol
secara acak dan sistematis review - dapat mengintervensi dunia sosial. Telah dikemukakan
bahwa keengganan untuk menerapkan prinsip evidence- based medicine pada kesehatan
masyarakat dan promosi kesehatan didasarkan pada sejumlah kesalahpahaman (Macintyre
dan Petticrew, 2000).
Tannahill (2008) mengidentifikasi tiga masalah yang khusus untuk evidence
efektivitas dalam promosi kesehatan.Yaitu permintaan, kecenderungan, dan ketidakcukupan.
Sehubungan dengan permintaan bukti efektivitas, Tannahill berpendapat bahwa ada begitu
banyak topik kesehatan (misalnya penyakit kardiovaskular, kanker, obesitas, kesehatan
seksual, dan kesehatan mental), topik perilaku (misalnya merokok, diet, konsumsi alkohol,
dan aktivitas fisik) , tahapan kehidupan (misalnya prakonsepsi, kehamilan, tahun-tahun awal,
remaja, usia paruh baya, dan usia lanjut), lingkungan (misalnya sekolah, tempat kerja,
perawatan sosial), dan tema lintas sektoral (misalnya faktor penentu sosial dan
ketidaksetaraan dalam kesehatan), digabungkan dengan tingkat tindakan yang berbeda

25
(misalnya individu, komunitas, dan lingkungan), bahwa tidak akan pernah ada bukti
(evidence) efektivitas pada semua potensi intervensi. Sehubungan dengan kecenderungan
bukti keefektifan, Tannahill menyarankan bahwa 'pendekatan konvensional [yang berasal dari
evidence based medicine] telah meninggalkan warisan untuk kecenderungan pencarian,
penyediaan, dan bukti keefektifan terhadap intervensi yang berkaitan dengan topik faktor
kesehatan atau risiko tertentu dalam perbaikan kesehatan '(Tannahill, 2008: 382).
Sehubungan dengan tidak memadainya bukti keefektifan, ia berpendapat bahwa
„tindakan dan jenis tindakan yang menjadi bukti paling kuat belum tentu yang paling penting
untuk mencapai peningkatan kesehatan populasi dan mengurangi kesenjangan kesehatan‟.
Singkatnya, bukti terbaik yang dimiliki adalah tentang intervensi yang paling sederhana.Kami
memiliki sedikit - atau lebih lemah - bukti tentang intervensi yang kompleks (seperti
kebijakan) tetapi pembuat kebijakan sering kali lebih tertarik dengan pertanyaan yang
kompleks.Ini juga disebut „inverse evidence law‟ (Nutbeam, 2004).
Selain pertanyaan tentang efektivitas, ada perkembang tentang perlunya
mempertimbangkan konteks.Pertanyaan-pertanyaan ini termasuk bagaimana intervensi
bekerja, mengapa diperlukan intervensi, dan untuk siapa intervensi tersebut.Pada 2011,
Waters dan rekannya merinci komponen penting dari ulasan public health dan health
promotion evidence. Para penulis berpendapat bahwa „jika meriview bukti intervensi akan
berguna untuk pengambilan keputusan, informasi kontekstual dan implementasi yang
merupakan komponen penting, tidak dapat dinegosiasikan dari proses peninjauan '(Waters et
al., 2011: 462).
Mereka selanjutnya membuat sejumlah rekomendasi untuk memastikan riview public
health dan health promotion evidence berguna bagi para pembuat kebijakan, termasuk:
melibatkan para pemangku kepentingan ketika melakukan review; memahami jalur dalam
proses dan dasar-dasar teoretis dari evidence; dan menangkap informasi tentang implementasi
program melalui proses peninjauan (Waters et al., 2011).

3.7 Penggunaan Bukti Ilmiah oleh Pembuat Kebijakan


Dalam praktiknya, bagaimana hasil riset digunakan sebagai informasi dasar
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan sebenarnya sangat bervariasi (Weiss,
1979).Berbagai model pemanfaatan riset mengakui bahwa interpretasi linear dari pelaksanaan
kegiatan yang berbasis pengetahuan (yang berasal dari riset dasar hingga riset terapan ke
pelaksanaan) pada faktanya jarang terpakai.Model yang umumnya dipakai adalah problem-
solving model atau knowledge-deficit model, dan pembentukan komitmen untuk „do

26
something‟, tetapi informasi mengenai pembuatan solusi masih amat kurang. Dua model
proses pembuatan kebijakan nonlinier yang sekiranya cocok dengan pembuatan kebijakan
adalah the interactive danenlightenment model.
The Interactive Model menjelaskan bahwa ada banyak potongan dalam policy
puzzledan riset itu adalah hanya satu dari banyak bagian tersebut. Sedangkan The
Enlightenment Model menjelaskan bahwa dalam menerapkan hasil riset pada proses
pembuatan kebijakan, maka harus 'berdifusi secara sirkuler melalui berbagai saluran' (Weiss,
1979: 429) dan seiring waktu memasuki ranah kebijakan. Akan tetapi, dikemukakan bahwa
mekanisme tidak langsung ini membuat temuan riset rentan terhadap penyederhanaan yang
berlebihan dan distorsi (Weiss, 1979).Evidence digunakan - dan sayangnya pula
disalahgunakan dengan cara lain. Evidence dapat digunakan untuk memenuhi tujuan politik,
di mana temuan riset hanya dipilih secara selektif dan digunakan untuk mendukung
keputusan yang sudah dibuat, seperti yang dijelaskan oleh Weiss (1979): 'riset sebagai
amunisi'. Oleh sebab hasil riset bisa digunakan untuk tujuan politik murni atau tidak, maka
penting untuk mengakui peran sentral politik dalam setiap pemahaman antara research dan
policy.
Contohnya, keputusan mengenai riset mana yang akan didanai dapat diputuskan untuk
alasan politis dan bukan untuk alasan ilmiah. Contoh lainnya, apakah hasil riset
ditindaklanjuti dan menghasilkan perubahan pada kebijakan dan praktik pada dasarnya adalah
domain politik.Seperti yang dikatakan Oliver (2006: 195), 'Sains dapat mengidentifikasi
solusi untuk menekan masalah kesehatan masyarakat, tetapi hanya politik yang dapat
mengubah sebagian besar solusi tersebut menjadi kenyataan.' Bukan berarti bahwa pada
proses pembuatan policy tidak dapat dipengaruhi oleh akademisi atau orang lain yang
menghasilkan riset atau oleh aktor lain dalam proses kebijakan, tetapi dapat dikatakan bahwa
sudah pada dasarnya hal tersebut adalah ranah politis.
Riset yang dipimpin oleh policy-maker yang dilaksanakan untuk mengeksplor
bagaimana evidence dapat memberikan informasi pada pembuatan kebijakan public-health,
menunjukan beberapa pola umum yang bertentangan dengan kebijakan informasi riset
(Petticrew et al., 2004; Rychetnick dan Wise, 2004), yaitu sebagai berikut:
Para peneliti kurang memahami kendala praktis dan politis pada policy makers.
Policy makers memiliki pandangan yang lebih pluralistik terhadap bukti daripada temuan
berbasis riset yang didefinisikan secara sempit
Para peneliti gagal untuk membuat implikasi praktis dan kebijakan dari temuan
mereka secara eksplisit
27
Rychetnick dan Wise (2004) mengemukakan bahwa akademisi mungkin enggan
mengungkapkan pandangan mereka tentang implikasi temuan mereka, apalagi terlibat dalam
advokasi publik untuk kebijakan tertentu karena sejumlah alasan. Mereka berspekulasi bahwa
hasil riset tersebut mungkin akan mempengaruhi prinsip-prinsip saintifik seperti berpegang
teguh pada fakta yang ditunjukan. Mereka mungkin khawatir tentang keharusan untuk tetap
tidak memihak. Mereka mungkin kurang memiliki pengetahuan tentang proses kebijakan dan
bagaimana memengaruhinya. Namun hal ini bisa menjadi contoh bahwa bukti yang diberikan
oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan sering dipandang lebih valid daripada yang
disajikan oleh seseorang yang jelas-jelas sudah berkomitmen pada tindakan tertentu. Nutley
dan rekan (2002) mengidentifikasi sejumlah key requirements untuk mengkategorikan
evidence seperti apa yang memiliki dampak lebih besar pada kebijakan dan pelaksanaannya,
yaitu sebagai berikut,
a. Kesepakatan mengenai hal apa dan dalam keadaan seperti apa suatu hal dianggap
sebagai evidence
b. Pendekatan strategis untuk menciptakan bukti pada area-area yang diprioritaskan,
dengan upaya sistematis yang bersamaan untuk mengumpulkan bukti dalam bentuk
badan pengetahuan yang kuat
c. Penyebaran bukti yang efektif ke tempat yang paling dibutuhkan dan pengembangan
cara yang efektif untuk menyediakan akses pengetahuan.
d. Inisiasi untuk memastikan integrasi bukti ke dalam kebijakan dan mendorong
pemanfaatan bukti tersebut pada saat penerapan kebijakan
Gagasan riset sosial juga masuk ke dalam kebijakan melalui penayangan pada media
publikasi populer dan media umum. Policy makers harus bisa berselaras dengan zeitgeist saat
ini dan merespons sesuai dengan tren yang sedang terjadi. Terdapat tren dan mode dalam
pembuatan kebijakan, sama halnya seperti mode pada fashion dan musik. Buku-buku populer
untuk pembaca awam jauh lebih mungkin menjadi sumber inspirasi baru dalam pembuatan
kebijakan kesehatan daripada makalah spesialis dalam jurnal akademik. Beberapa contoh
buku ide besar populer di area kesehatan meliputi: The Tipping Point: Bagaimana Hal-Hal
Kecil Dapat Membuat Perbedaan Besar oleh Malcolm Gladwell, pertama kali diterbitkan
pada tahun 2000; The Wisdom of Crowds: Mengapa Banyak Orang Lebih Cerdas dan
Bagaimana Kebijaksanaan Kolektif Membentuk Bisnis, Ekonomi, Masyarakat dan Bangsa
oleh James Surowiecki, diterbitkan pada 2004; Sindrom Status: Bagaimana Posisi Sosial
Anda Secara Langsung Memengaruhi Kesehatan dan Harapan Hidup Anda oleh Michael
Marmot, diterbitkan pada tahun 2004; dan Nudge: Meningkatkan Keputusan tentang
28
Kesehatan, Kekayaan, dan Kebahagiaan oleh Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein,
diterbitkan pada tahun 2008. Buku-buku ini merupakan tanda (namun memang kadang hanya
pada jangka pendek) perihal dampak pada health-policy makers, menggambarkan fakta
bahwa pengetahuan saja tidak cukup untuk mempengaruhi kebijakan.
Pengetahuan juga harus dikemas dan dipromosikan agar memiliki efek.Jadi untuk
memengaruhi kebijakan, temuan riset harus disajikan dengan jelas, tepat waktu, dan relevan
dengan isu yang menjadi perdebatan saat ini. Mereka harus tersedia dalam bahasa non-teknis
yang dapat dipahami oleh policy makers dan kemudian disebarkan melalui saluran yang
mereka inginkan, mereka temui, mereka yang mereka dapat akses. Meskipun kefektifitasan
bukti mungkin tidak berubah, atau mungkin berubah sangat lambat, bukti mengenai unmet
health harus terus diperbarui sesering mungkin agar digunakan untuk mendasari tindakan
promosi kesehatan. Sistem juga perlu tersedia agar informasi-informasi saintifik bisa
diidentifikasi, disintesis dan disebarluaskan.Di banyak bagian dunia, sistem ini tidak
berkembang dengan baik (Petticrew et al., 2004).Tannahill (2008) berpendapat bahwa kita
harus memikirkan promosi kesehatan yang bersifat evidence-informed (berdasarkan bukti)
daripada promosi kesehatan yang bersifat evidence-based (berbasis bukti). Hal ini berpadu
dengan Nutley dan rekannya (2002: 1) yang mempunyai pandangan bahwa „evidence based'
ketika disebut sebagai pengubah kebijakan atau praktik 'dapat mengaburkan peran bukti yang
sebuah dimana bukti bisa, dapat, bahkan mainkan‟.

3.8 Bagaimana dengan Teori?


Dalam banyak perdebatan tentang kebijakan dan penerapan yang berbasis bukti, peran
teori telah menerima perhatian yang relatif sedikit (Green, 2000).Pada awalnya tampak ada
kontradiksi dalam penggunaan bukti untuk menjadi basis pembuatan kebijakan dan
pelaksanaan kebijakan dengan penggunakan teori.Hal ini menjadi asumsi bahwa bukti dapat
menggantikan teori dalam mengembangkan dan mengimplementasikan promosi kesehatan.
Namun, teori sangat penting untuk bagaimana 'masalah' kesehatan dan penyebabnya
dipahami dan di seluruh proses pengembangan, penerapan, dan pengevaluasian solusi atas
'masalah' tersebut. Teori juga penting dalam menginformasikan kebijakan dan
pelaksanaannya di banyak bidang, terutama untuk bidang yang masih sedikit memiliki
evidence base.Pada dasarnya, evidence itu berasal dari pengujian teori, tinggal bagaimana
hasilnya, apakan dinyatakan secara eksplisit, atau tidak (Tannahill, 2008).

29
3.9 Kerangka Kerja Kebijakan Promosi Kesehatan dan Praktik Pengambilan
Keputusan
Framework yang ditunjukkan pada bagian ini merangkum dimensi penting dari
pengambilan keputusan promosi kesehatan yang telah diperkenalkan dalam bab ini. Model ini
mengacu pada Health Policy Triangle yang dicetuskan oleh Walt (1994) dan The Health
Policy Decision-Making Framework for Health Promotion yang dibuat oleh Tannahill
(2008).Hal ini mempertimbangkan peran Evidence dan Theory, Ethics dan Politics, dan
Process dan Power.Yang melekat pada semua dimensi ini adalah Values, yang merupakan
pusat dari framework ini. Semua elemen dalam model memengaruhi bagaimana kebutuhan
akan kesehatan dipahami, diprioritaskan, dan diterjemahkan ke dalam kebijakan promosi
kesehatan dan lalu kemudian dipraktikkan.

3.10 Kesimpulan
BAB ini telah mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana
kebutuhan kesehatan dipahami, diprioritaskan,dan diterjemahkan ke dalam kebijakan promosi
kesehatan dan kemudian dilaksanakan. Ditunjukan bahwa proses kebijakan itu kompleks dan
seringkali terkesan berantakan. Namun, teori bermanfaat dalam membantu memahami proses
tersebut, sebab teori mampu memberikan refleksi sebuah kenyataan dalam versi yang ideal.
BAB ini pun menggambarkan bagaimana konsep kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang
bersifat evidence-based telah menjadi alat yang efektif dalam promosi kesehatan dan bidang
kebijakan publik lainnya dalam beberapa tahun ini. Pelaksanaan kebijakan yang bersifat
evidence-based ini pun menghasikan idea (berupa key requirement) tentang apa yang
dianggap sebagai 'evidence' dan bukti seperti apakah yang disebut sebagai bukti 'terbaik'. Hal
ini telah menjelaskan banyak faktor yang memengaruhi carapolicy makers menggunakan
evidence. Akhirnya, BAB ini menyimpulkan bahwa Evidence, Theory, Ethics, Politics, dan
Values berinteraksi dengan cara yang rumit untuk menggerakan promosi kesehatan.

30
BAB 4. PERTIMBANGAN POLITIK DAN ETIK
Bab ini mengeksplorasi persoalan politik dan mas alah etik yang diangkat oleh
promosi kesehatan, termasuk hubungan antar individu dan masyarakat, siapa
yang memiliki hak untuk memutuskan, dan atas dasar apa promosi kesehatan itu
dibenarkan. Selanjutnya di dalam Bab ini juga membahas pendekatan teoritis
yang berbeda untuk menyelesaikannya masalah.

4.1 Pendahuluan
Political and Ethical Consideration
Ada banyak ruang perdebatan politik dan perbedaan pendapat tentang tujuan dan
sarana promosi kesehatan. Pertama, dari hasil yang ingin dicapai berawal dari apa itu definisi
kesehatan yang sebenarnya? Seseorang mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang
apa arti kesehatan dalam praktiknya. Contohnya terkait dengan citra diri (seperti obesitas dan
gizi), pilihan perilaku (seperti merokok, alkohol atau penggunaan narkoba), perilaku seksual
(terkait dengan penyakit menular seksual), atau kesehatan mental (sikap terhadap depresi atau
bunuh diri).Perbedaan tersebut mengarahkan kita pada pertanyaan siapa yang harus
diutamakan oleh profesional kesehatan, individu yang bersangkutan, atau masyarakat secara
keseluruhan?
Kedua, mungkin juga ada perbedaan cara yang digunakan untuk mempromosikan atau
mencapai kesehatan. Pertanyaan politis akan muncul khususnya untuk kasus-kasus terkait
perilaku kesehatan, kesehatan satu orang berdampak pada kesehatan orang lain, seperti
merokok, konsumsi alkohol (berpotensi terkait dengan kekerasan), dan vaksinasi (manfaatnya
juga untuk populasi sekitar). Ada juga masalah biaya perawatan kesehatan dan seberapa
banyak kontribusi komunitas dalam memberi masyarakat kemampuan untuk menilai individu
lainnya yang mengalami dampak kesehatan akibat perilaku kesehatannya, seperti membuat
perokok sadar bahwa mereka justru berkontribusi terhadap pengeluaran biaya atas dampak
kesehatan yang ditimbulkan mereka sendiri, mendorong masyarakat untuk bersikap peduli
atau tidak dalam hal mendanai intervensi medis tertentu seperti aborsi.
Ketiga, kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti statusnya sebagai
pengangguran, tempat tinggal, akses ke layanan-layanan penting, pendidikan, dan
lingkungan, yang dibahas secara lebih rinci dalam Bab 5. Tindakan untuk meningkatkan
kesehatan memerlukan keputusan politis di bidang-bidang ini dan keseimbangan berbagai
prioritas terhadap satu sama lain. Misalnya, biaya finansial dalam bertindak untuk
meningkatkan kesehatan.

31
Melihat area-area yang berpotensi munculnya konflik, harus ada mekanisme untuk
menyelesaikan perbedaan pandangan dalam masyarakat, seperti pengorganisasian masyarakat
secara keseluruhan dan membatasi perilaku individu di dalamnya. Hal ini membawa kita ke
filosofi politis dan organisasi masyarakat di mana seseorang tinggal dan bekerja, karena
mekanisme dan nilai-nilai politis inilah yang akan menentukan bagaimana masalah tersebut
diselesaikan dalam praktik penerapannya. Pertanyaan yang terkait dengan kesehatan dan
perilaku adalah salah satu pertanyaan paling sensitif dari kehidupan politik modern, dan oleh
karena itu penting bagi profesional kesehatan untuk menyadari konteks yang lebih luas ini
untuk pekerjaan mereka.
Mungkin ada sejumlah sumber masalah yang potensial. Namun, dimensi politik atau
etika potensi masalah tidak jelas sehingga tidak perlu dipertimbangkan melalui struktur
politik atau etika formal tetapi dapat disampaikan dalam berbagai cara yang berbeda,
tergantung pada konteks spesifiknya. Bagaimana masalah disajikan kemudian bagaimana
masalah tersebut diselesaikan dalam praktik. Masyarakat dapat membingkai masalah dengan
berbagai cara (misalnya, sebagai pilihan individu dan bukan sebagai masalah kesehatan)
tergantung pada hasil yang diinginkan. Banyak kerangka kerja politik dan etika disebutkan
dalam kehidupan sehari-hari.Ini tidak terbatas pada ideologi politik eksplisit.Sistem ekonomi
(sosialisme, kapitalisme) juga dapat dikaitkan dengan nilai-nilai politik tertentu (tanggung
jawab kolektif, kebebasan individu).Masyarakat yang berbeda mungkin telah menetapkan
nilai pada isu-isu tertentu.Satu contoh yang jelas adalah agama; keyakinan agama yang
berbeda melibatkan pendekatan etika yang berbeda yang mungkin berdampak pada tindakan
yang dipilih individu bersangkutan untuk menyelesaikan konflik.

4.2 Definisi Masyarakat yang Sempurna Menurut Plato


Pertanyaan tentang penyelesaian nilai-nilai dan prioritas yang berbeda dalam
masyarakat merupakan hal yang mendasar. Oleh karena itu, telah dipertimbangkan
sejak karya filosofi politik paling awal. Pendekatan pertama dalam menangani masalah ini
dapat kembali ke salah satu karya filsafat politik paling awal- Republik Plato, yang ditulis
lebih dari 3000 tahun yang lalu di Yunani (Plato, 1989). Ini adalah masa negara-kota, di mana
kota-kota yang berbeda dalam suatu wilayah geografis yang relatif kecil di sekitar Laut
Aegea mengorganisir diri secara individual, lebih banyak berdiskusi tentang cara apa yang
terbaik untuk suatu organisasi/komunitas.
Dalam Karyanya “Republik” menjabarkan jawaban Plato bahwa masyarakat yang
sempurna jika dalam suatu negara dipimpin oleh mereka yang memiliki kualifikasi terbaik

32
untuk bertindak sebagai „penjaga‟. Argumen Plato mengemukakan bahwa beberapa tindakan
atau kegiatan dapat dilakukan dengan lebih baik oleh seseorang dengan keahlian lebih juga,
pendekatan terbaik adalah memilih seseorang yang memiliki keahlian yang sesuai,
menugaskan mereka untuk melakukan apa yang mereka katakan. Oleh karena itu, cara terbaik
untuk memastikan bahwa masyarakat dipimpin oleh orang-orang yang terbaik dengan
memberi mereka „pemimpin‟ semua pelatihan yang sesuai, dan menempatkan mereka sebagai
penanggung jawab, mampu sebagai penjaga dan mengarahkan perilaku masyarakatnya. Visi
utamanya adalah masyarakat namun pengambilan keputusan berdasarkan keahlian dan bukti.
Pemerintahan dipandang sebagai kegiatan yang didasarkan pada pengetahuan yang
dapat dilakukan dengan baik atau buruk, seperti profesi lainnya.Karena itu Plato berpendapat
bahwa sebaiknya memilih dengan logis pemimpin/pemerintah yang baik sehingga dapat
memberi kekuatan kepada mereka yang memiliki kualifikasi terbaik dalam pengambilan
keputusan; masyarakat juga harus memiliki hubungan dengan pemimpin/pemerintahnya
seperti halnya pasien dengan dokter.
Plato Memberikan kekuatan kepada kelompok minoritas berdasarkan keahlian atau
kemampuan untuk ada dalam pemerintahan dianggap tidak memberikan banyak ruang bagi
demokrasi.Plato, yang tidak memandang pemerintahan demokratis sebagai hal yang baik
tetapi lebih mendorong faksionalisme dan mementingkan diri sendiri.'Masyarakat sempurna'
ini tampak asing saat ini, dengan mengabaikan kebebasan individu dan mengesampingkan
sebagian besar anggota masyarakat dari pemerintah.Meskipun demikian, meskipun
masyarakat yang digambarkan Plato sangat berbeda dari masyarakat modern, pertanyaan
yang diajukannya mengenai masyarakat sempurna masih relevan sampai sekarang.

Teori Plato dan Kaitannya dengan Promosi Kesehatan


Teori yang sangat relevan untuk promosi kesehatan adalah apabila dalam mengambil
keputusan harus berdasarkan keahlian tapi juga berdasarkan pandangan kelompok mayoritas
atau semua warga negara, terlepas dari pengetahuan atau keahlian mereka di bidang
tersebut.Pada masa Plato, ada kemajuan besar menuju pemahaman dunia yang lebih ilmiah
dan empiris.Hal ini merupakan bagian dari konteks di mana Plato menganggap bahwa
pemerintahan yang baik harus didasarkan pada keahlian, bukan hanya pandangan
mayoritas.Demikian pula saat ini, masyarakat mencari penjelasan dan solusi berbasis ilmiah
untuk masalah yang ada, dan menaruh kepercayaan besar pada mereka yang memiliki
keahlian untuk menganalisis dan merekomendasikan suatu kebijakan berdasarkan ilmiah.
Kekuatan gagasan „Guardian of Plato's Republic‟ mendorong pertanyaan 'siapa yang akan
33
menjaga seorang Penjaga?', Dan pertanyaan yang sama berlaku untuk otoritas profesional
kesehatan dan ahli lainnya saat ini, siapa yang menjaga otoritas professional kesehatan dan
ahli kesehatan?. Jika keahlian adalah dasar dari otoritas, menimbulkan pertanyaan terhadap
dasar keahlian yang dimiliki bagaimana dalam menganalisis masalah atau tindakan yang
benar.

Kelebihan dan Kekurangan Pemberian Kekuasaan kepada Ahli dalam Pengambilan


Keputusan
Keuntungan memberi kekuatan kepada para ahli untuk memutuskan sebagian besar
terfokus pada hasil; seseorang dengan pengetahuan ahli tentang bidang teknis harus
menghasilkan hasil yang lebih baik daripada seseorang tanpa keahlian itu. Namun, ada
batasan kapan hal ini akan terjadi, yang harus dicerminkan oleh kerugian. Secara khusus,
keahlian hanya berguna ketika masalah untuk pengambilan keputusan adalah tentang
pengetahuan teknis relevan bukan kasus untuk suatu konflik tentang nilai.Dan pengetahuan
teknis di daerah tersebut harus memadai untuk memberikan jawaban yang jelas; di mana ada
ketidaksepakatan antara para ahli atau akibat pengetahuan terbatas, pendekatan lain
diperlukan. Selain itu, keputusan oleh para ahli mungkin tidak tepat karena proses
pengambilan keputusan itu sendiri penting, misalnya, di mana untuk membuat masyarakat
berkomitmen dalam melaksanakan keputusan yang diambil.
Jika masyarakat dapat memilih untuk diri mereka sendiri atau setidaknya menjadi
bagian dari proses pengambilan keputusan yang mereka anggap adil, mereka akan cenderung
merasa berkomitmen untuk menerapkan keputusan tersebut dalam praktik. Sebagai contoh,
sebagian besar masyarakat modern mengambil persetujuan demokratis sebagai dukungan
politik tertinggi untuk keputusan, bukan pandangan ahli. Oleh karena itu, kesepakatakan
dalam pemerintah yang dilakukan oleh para ahli juga disertai oleh area pengambilan
keputusan dengan suara terbanyak. Namun, ada beberapa bidang di mana keputusan
diserahkan kepada para ahli.Menetapkan suku bunga yang oleh bank sentral independen
salah satu contohnya.

Pemantauan Otoritas atau Keahlian para ahli


Pada pemantauan otoritas atau keahlian para ahli, adanya pertimbangan mekanisme
seperti dalam membuat dasar untuk keputusan yang diambil oleh ahli harus terbuka, sehingga
orang lain dengan keahlian berbeda atau keahlian yang sama juga dapat menganalisisnya.
Otoritas seorang ahli dalam pengambilan keputusan yakni untuk mempertimbangkan standar
34
yang diperlukan, dan bagaimana standar ini dapat ditegakkan, misalnya melalui asosiasi
profesional.

4.3 Utilitarianisme atau teori berbasis konsekuensi


Utilitarianisme adalah kerangka teoritis yang disarankan untuk moralitas, hukum, dan
politik yang menerima prinsip utilitas sebagai dasar etika.Utilitarianisme adalah teori tentang
kebaikan dan kebenaran.Sebagai teori tentang kebaikan, utilitarianisme adalah „welfaris‟,
yaitu apa pun yang menghasilkan utilitas terbesar (kesenangan, kepuasan, atau mengacu pada
nilai yang objektif).Sebagai teori tentang kebenaran, utilitarianisme adalah konsekuensialis -
yaitu, tindakan benar yang menghasilkan utilitas terbesar.Asal-usul teori ini dapat ditemukan
dalam tulisan Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Utilitarian mengambil contoh dari
kehidupan sehari-hari yang menyatakan bahwa kita semua terlibat dalam metode utilitarian
untuk menghitung apa yang harus dilakukan dengan menyeimbangkan tujuan dan sumber
daya dalam mempertimbangkan kebutuhan setiap orang.
Utilitarian adalah aturan yang mempertimbangkan konsekuensi dalam penerapannya,
sedangkan tindakan utilitarian mengabaikan aturan dan membenarkan setiap tindakan dengan
merujuk langsung pada prinsip utilitas (kesenangan, kepuasan).Aturan utilitarian merupakan
kesesuaian tindakan dengan aturan yang dibenarkan menjadikannya benar dan aturan tersebut
dalam hal apapun tidak dapat dikeluarkan, bahkan ketika dalam situasi tertentu tidak
memaksimalkan utilitas. Dalam tindakan utilitarian, aturan moral berguna sebagai pedoman
kasar dapat diterapkan jika mereka tidak menggunakan utilitas.
Tindakan utilitarian menganggap banyak pertanyaan moral yang diajukan oleh
perkembangan teknologi yang tidak mungkin ditangani dengan aturan moral
tradisional.Tindakan utilitarian banyak memiliki kekuatan, karena popularitasnya di kalangan
ahli etika yang bekerja dalam kebijakan dan praktik kesehatan. Persyaratan penilaian obyektif
dari semua kepentingan dan pilihan yang tidak memihak untuk memaksimalkan hasil yang
baik adalah adanya norma pembuatan kebijakan. Utilitarianisme juga berbasis manfaat,
melihat moralitas dalam hal mempromosikan kesejahteraan.
Namun, pendekatan utilitarian dikritik oleh Beauchamp dan Childress (2009: 341-2)
dengan mengajukan tiga argumen khususnya.Pertama adalah tentang preferensi
(kecenderungan terhadap sesuatu) tidak bermoral; bagaimana jika ada hasil yang membawa
kepuasan besar bagi sebagian orang, tetapi dianggap tidak bermoral, mengeksploitasi
kesehatan pekerja pabrik yang buruk untuk kepuasan produk yang lebih murah, misalnya?
Kritik kedua yakni tampaknya kita harus bertindak melawan kepentingan sendiri jika hal itu

35
secara keseluruhan dapat membawa manfaat.Ketiga, mungkin yang paling mendasar,
pendekatan utilitarian tampaknya tidak melindungi minoritas dari mayoritas.Dalam istilah
promosi kesehatan, jika kesehatan secara keseluruhan dapat dipromosikan dengan
mengorbankan kesehatan yang buruk dari beberapa orang, pendekatan utilitarian memiliki
alasan untuk dilakukan, tetapi akankah dapat diterima sebagai etika?

4.4 Liberalisme dan Kebebasan Individu


Pendekatan alternatif untuk menyelesaikan nilai-nilai dan prioritas dalam masyarakat
adalah dengan fokus bukan pada hasil ideal keseluruhan yang harus dicapai, seperti dengan
Plato dan kaum utilitarian, tetapi pada hak-hak individu. Pendekatan 'liberal' tentang hak-hak
individu dan keseimbangan antara individu dan masyarakat pada umumnya diartikulasikan
secara khusus oleh John Stuart Mill (1806–1873), dan dimulai pada awal esainya di Liberty:
“Tujuan dari Esai ini adalah untuk menegaskan satu prinsip yang sangat sederhana, yang
berhak untuk mengatur secara mutlak hubungan masyarakat dengan individu dalam cara yang
memaksa dan kontrol, apakah sarana yang digunakan adalah kekuatan fisik dalam bentuk
hukuman hukum atau pemaksaan moral berbentuk opini publik.
Prinsip ini adalah satu-satunya tujuan yang dijamin bahwa secara individu atau
kolektif, bebas bertindak dan melindungi diri. Satu-satunya prinsip yang mengatur bahwa
kekuasaan dapat dilaksanakan secara sah atas anggota masyarakat yang beradab, namun
harus melawan kehendakya untuk mencegah kerusakan pada orang lain. Orang yang
menganut paham ini tidak dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu atau menahan diri karena
akan membuatnya lebih bahagia jika didukung oleh pendapat orang lain bahwa yang
dilakukan adalah bijaksana atau benar. Diperbolehkan untuk bekerjasama, bertukar pikiran,
membujuk, atau memohon tapi tidak untuk memaksanya.Jika ingin memaksa seseorang.
Mill berpendapat bahwa seseorang harus menghormati kebebasan individu untuk
mewujudkan potensi mereka dan dapat memperoleh manfaat dari potensi tersebut.Mill hanya
menganggap bahwa kebebasan individu atau liberal berlaku untuk orang dewasa.Untuk anak-
anak, Mill menganggap bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab khusus untuk
memastikan pendidikan yang layak dan membuat mereka bertindak secara rasional ketika
dewasa, jika gagal dalam mendidiknya maka masyarakat harus menanggung
akibatnya.Tradisi liberal ini diartikulasikan bersamaan dengan perkembangan revolusioner
dalam industrialisasi dan urbanisasi di Eropa Barat.Selain perubahan dalam struktur ekonomi,
masa-masa ini juga membawa perubahan besar dalam organisasi sosial, dengan kebebasan
individu yang lebih besar baik secara ekonomi maupun politik, serta mekanisme yang

36
ditetapkan untuk kontrol dan standar sosial.Tradisi liberal memberikan ekspresi filosofis
terhadap perubahan tersebut dan masih membentuk sebagian besar kerangka politik modern
masyarakat Barat.
Pendekatan filosofis menetapkan batas yang jelas peran masyarakat dalam upaya
membentuk perilaku individu dan memberi batasan terutama untuk masalah kesehatan.
Keahlian atau pengetahuan tentang konsekuensi dari perilaku tertentu tidak dapat dijadikan
alasan untuk mencampuri pilihan seseorang. Sebagai contoh, penyalahgunaan alkohol dan
obat terlarang adalah salah satu kasus spesifik yang dikutip oleh Mill sebagai sesuatu yang
bukan merupakan perilaku ideal tetapi masyarakat tidak boleh melakukan intervensi kecuali
yang dilakukan menimbulkan kerugian atau kerusakan yang merugikan orang lain: Tidak
seorang pun yang dihukum karena mabuk, tetapi seorang polisi yang mabuk saat bertugas
harus dihukum. Singkatnya, setiap kali ada kerusakan atau risiko kerusakan, baik untuk
individu atau masyarakat umum, hal tersebut bukan merupakan kebebasan tapi merupakan
tindakan yang harus diberikan hukum (Mill, 1990:213).
Dalam istilah praktis perilaku orang yang hidup bersama dalam suatu masyarakat,
memiliki perbedaan antara yang menyebabkan kerugian bagi orang lain dan yang murni
berdampak buruk bagi dirinya sendiri. Teorinya berpendapat, bahwa batas dari apa yang
tidak Mempengaruhi orang lain harus ditarik jauh lebih sempit daripada yang mempengaruhi
dirinya sendiri. Melanjutkan contoh overdosis alkohol, ketika seseorang minum terlalu
banyak dan membahayakan dirinya sendiri, mereka juga menyebabkan beban pada
masyarakat karena masyarakat lain diminta untuk merawatnya dan menyediakan biaya
perawatan kesehatan untuk orang tersebut. Apakah ini berarti bahwa mereka sebenarnya
menyebabkan kerusakan pada orang lain dan apakah karena itu arahan sosial perilaku mereka
dapat dibenarkan? Bagi Mill, jawabannya tampaknya jelas 'tidak'.
Cedera konstruktif yang ditimbulkan seseorang kepada masyarakat, dengan perilaku
yang tidak melanggar tugas khusus apa pun kepada publik, juga tidak menimbulkan dampak
buruk bagi individu lain. Ketidaknyamanan adalah sesuatu yang mampu ditanggung
masyarakat, demi kebaikan yang lebih besar dari kebebasan manusia (Mill, 1990: 213). Posisi
ini diperdebatkan, para pendukung intervensi sosial lebih kuat pada isu-isu seperti tembakau
dan alkohol dengan alasan bahwa biaya keseluruhan dari perilaku masyarakat ini
menimbulkan gangguan dengan kebebasan individu di bidang ini. Ini adalah bidang lain di
mana nilai-nilai yang berbeda datang ke dalam konflik ketika mempertimbangkan isu-isu
spesifik tentang politik dan etika promosi kesehatan.

37
4.5 Kebebasan Individu atau Liberalisme dan Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan juga menimbulkan kekhawatiran tentang legitimasi campur tangan
negara dalam mempengaruhi atau membentuk pilihan individu. Masyarakat liberal cenderung
berpikir bahwa pilihan perilaku gaya hidup harus diserahkan kepada individu. Tetapi juga
dipahami bahwa pemerintah terkadang dibenarkan untuk membatasi otonomi rakyat.
Menerima bahwa pemerintah memiliki peran yang sah untuk memainkan peran dalam
promosi kesehatan, yaitu 'membuat pilihan sehat lebih mudah' bagi orang-orang, strategi
promosi kesehatan atau upaya pemerintah untuk mengubah perilaku yang etis. Beberapa
strategi promosi kesehatan tidak cukup menghargai hak individu untuk otonomi (penentuan
nasib sendiri) dan kebebasan, yaitu hak untuk membuat keputusan tentang kehidupan
seseorang, dan tentang isu-isu spesifik mengenai kehidupan itu, yang lain tidak begitu
bermasalah dan dapat dipertahankan dengan alasan moral lainnya. Beberapa cara di mana
otonomi individu dapat dikompromikan dengan cara berbeda untuk mempengaruhi
perubahan perilaku.

Strategi pendekatan Kebebasan Individu atau Liberalisme untuk Promosi Kesehatan


a. Bujukan/Persuasi
Persuasi dapat didefinisikan sebagai upaya yang disengaja dan berhasil untuk
membujuk seseorang, melalui banding alasan, secara bebas menerima kepercayaan, sikap,
nilai, niat atau tindakan yang dianjurkan oleh agen yang berpengaruh. Fitur utama persuasi
adalah alasan yang mengkompromikan banding secara persuasif, ada pihak independen dari
persuader dan disampaikan dengan penggunaan argumen atau alasan terstruktur.Dalam kata-
kata Leroy Walters, mereka hanya 'menarik kapasitas rasional pendengar'.Dalam persuasi,
agen yang mempengaruhi harus membawa argument yang persuasif, apakah disampaikan
secara lisan, tertulis atau melalui media non-verbal, untuk penerimaan perspektif yang
diinginkan.Alistair Campbell berpendapat bahwa persuasi dapat menghormati otonomi orang
jika kita memperjelas bahwa kita hanya membujuk, jangan memutarbalikkan fakta, tidak
memilih untuk berdebat terang-terangan daripada mempengaruhi secara terselubung, dan
tetap independen dari kepentingan pribadi. Jika agen yang terpengaruh untuk menciptakan
atau mengendalikan kontinjensi yang ditawarkan oleh agen sebagai 'alasan', pengaruh
tersebut tidak sepenuhnya persuasif, tetapi lebih bersifat manipulatif atau bahkan paksaan.
Pendidikan kesehatan atau berbagi informasi biasanya tidak dianggap mengganggu
dan umumnya dianggap efektif. Menginformasikan tentang ancaman kesehatan atau manfaat
kesehatan tidak melibatkan masalah utama etika, karena jika strateginya berhasil, itu karena
38
individu atau kelompok menganggapnya berguna atau persuasif dan memilih untuk
menindaklanjutinya. Pemberian informasi dapat dipertahankan karena berupaya memfasilitasi
dalam pengambilan keputusan yang tepat. Namun, hal itu mungkin bermasalah karena
merupakan potensi pelanggaran hak orang atas otonomi jika mereka menerima informasi
tentang masalah gaya hidup mereka, atau jika mereka ditanya tentang gaya hidup mereka,
karena pertanyaan semacam itu dapat menyebabkan rasa malu, malu atau perasaan bersalah.
Bujukan dalam penggunaan otoritas adalah masalah yang mungkin muncul dalam pertemuan
tatap muka, terutama ketika agenda yang ditetapkan oleh seorang profesional dengan otoritas.
Persuasi otoritatif di sini berarti bahwa seseorang dengan status tinggi nyata atau yang
dipersepsikan, misalnya seorang dokter, mencoba membujuk seseorang untuk mengubah
perilaku. Ini menjadi pertanyaan etis ketika masalah tersebut harus ditangani, sepenuhnya
ditentukan oleh profesional tanpa memperhitungkan apa yang diinginkan individu (atau
kelompok), dan tekanan diberikan pada mereka untuk mematuhi saran yang diberikan .
Dalam situasi ini, ada campuran paternalisme, yaitu pengenaan batasan pada individu oleh
orang lain untuk kebaikan orang itu sendiri, dan otoritas yang menempatkan individu dalam
posisi lemah. Karena itu hal tersebut tidak menghormati hak individu atas otonomi, dan
berisiko membuat orang tersebut merasa tersinggung, rentan, dan tidak berdaya.
b. Manipulasi dan Penipuan
Manipulasi adalah tindakan yang disengaja untuk memengaruhi seseorang dengan
secara non-persuasif mengubah pemahaman mereka tentang suatu situasi, sehingga
mengubah persepsi terhadap opsi yang tersedia.Manipulasi informasi mengkompromikan
otonomi sejauh hal itu membuat orang tidak tahu, sehingga dengan demikian membatasi
aspek-aspek relevan dari keputusan mereka. Manipulasi informasi mempengaruhi apa yang
orang yakini. Agen yang memengaruhi tidak mengubah opsi aktual orang tersebut; persepsi
seseorang dimodifikasi sebagai hasil dari manipulasi. Penipuan mencakup strategi seperti
berbohong, menyembunyikan informasi, dan melebih-lebihkan informasi di mana orang
dituntun untuk percaya apa yang salah.
Cara lain di mana informasi dapat dimanipulasi dan orang tersebut tertipu:
• Melimpahi seseorang dengan informasi yang berlebihan untuk menimbulkan
kebingungan dan mengurangi pemahamannya
• Memprovokasi secara sengaja dengan mengambil keuntungan dari ketakutan,
kegelisahan, rasa sakit, keadaan afektif atau kognitif negatif lainnya untuk
mengkompromikan kemampuan seseorang dalammemproses informasi secara
efektif.
39
• Secara sengaja menyajikan informasi dengan cara yang mengarahkan para
pembuat kebijakan untuk menarik pengaruh yang dapat diprediksi dan tidak benar
c. Paksaan
Pemaksaan umumnya dipahami sebagai penggunaan kekuatan untuk
mendapatkan keuntungan di atas yang lain (termasuk perlindungan diri), menghukum
ketidakpatuhan terhadap tuntutan, dan memaksakan kehendak seseorang atas kehendak orang
lain. Beberapa jenis paksaan secara moral tidak bermasalah. Secara umum diterima bahwa
strategi kesehatan masyarakat harus menggunakan cara yang paling tidak memaksa. Semua
pemerintah bertindak secara paternalistik, seringkali dengan alasan yang baik.Banyak dari ini
dilakukan dengan memaksa orang melalui undang-undang, misal untuk memakai sabuk
pengaman dan helm pengaman.Namun, dalam masyarakat yang liberal ada kecurigaan
tentang terlalu banyak pembatasan. Misalnya, penggunaan gula atau merokok (kecuali di
tempat umum) tidak dilarang, terlepas dari kenyataan bahwa mereka tahu merokok buruk
untuk kesehatan orang lain. Ada ketegangan antara minat pemerintah dalam campur tangan
untuk melindungi populasi dari dirinya sendiri dan hak rakyat untuk melakukan apa yang
mereka sendiri temukan paling baik.
Menggunakan alat paksaan untuk mengubah perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan tidak selalu bermasalah. Alasan lain mengapa paksaan dan manipulasi tidak selalu
bermasalah berkaitan dengan gagasan bahwa orang secara sukarela menyetujui paksaan dan /
atau manipulasi. Terkadang individu, atau kelompok yang ditargetkan oleh promosi
kesehatan menerima dimanipulasi atau dipaksa, misalnya dalam beberapa jenis psikoterapi, di
mana terapis menggunakan teknik manipulatif yang (secara otonom) diterima oleh peserta,
seperti menerima pengobatan dengan hipnosis untuk berhenti merokok. Contoh lain adalah
ketika individu meminta untuk berkomitmen pada pengobatan, misalnya untuk
penyalahgunaan narkoba. Ini menunjukkan bahwa paksaan dan manipulasi adalah strategi
yang dapat diterima dalam kasus-kasus seperti itu.Strategi yang persuasif, manipulatif, atau
paksaan tidak menghormati hak individu untuk otonomi.
Namun, beberapa strategi dapat dipertahankan jika itu merupakan pelanggaran hak-
hak kecil dan bahaya yang dihindarkan sangat besar, misalnya mengharuskan orang untuk
mengenakan sabuk pengaman saat mengemudi. Tetapi bagaimana jika seseorang dirugikan
dengan cara lain? Adakah strategi perubahan perilaku yang mengarah pada situasi yang lebih
buruk daripada masalah yang dirancang untuk diatasi? Bisakah meningkatkan kesehatan
masa depan seseorang dengan mengurangi kualitas hidupnya? Promosi kesehatan dapat
membujuk, memanipulasi atau memaksa orang untuk mengadopsi perilaku yang mungkin
40
tidak mereka sukai, misalnya berolahraga lebih banyak atau berhenti merokok. Mungkinkah
kerugian yang lebih serius adalah mengurangi kemampuan seseorang dalam otonominya,
atau sama halnya bahwa campur tangan paksaan mungkin menggusur inisiatif individu?
Strategi pemasaran pada umumnya manipulatif, karena mereka mencoba mendorong
orang untuk melakukan, atau membeli hal-hal yang pada awalnya tidak mereka
inginkan, mereka tidak akan membeli atau melakukan, tetapi mereka memiliki lebih banyak
informasi atau waktu yang cukup untuk berunding untuk memutuskan. Mempekerjakan
teknik manipulatif dalam pemasaran sosial tampaknya kontraproduktif, karena risikonya
adalah semakin banyak orang yang dimanipulasi, semakin tidak memiliki hak otonom mereka
nantinya.Alasan untuk ini termasuk bahwa manipulasi mengurangi pengetahuan (prasyarat
untuk pilihan otonom) melalui informasi yang salah, miring atau parsial, dan itu membuat
individu cenderung kurang untuk merefleksikan secara kritis pada pilihan yang ada.
Pembela strategi ini mungkin mengklaim bahwa orang pada dasarnya tidak terlalu
otonom, karena banyak kekuatan dalam masyarakat memengaruhi untuk melakukan sesuatu,
dan dalam hal ini kita mungkin juga sebagai individu yang 'memanipulasi diri sendiri‟.
Kemampuan untuk otonomi (penentuan nasib sendiri) berbeda dalam populasi.Namun,
dengan asumsi bahwa kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh struktur material atau sosial,
jawaban untuk masalah ini tidak boleh lebih manipulasi paternalistik, tetapi lebih untuk
memperkuat atau meningkatkan otonomi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk
itu.

4.6 The four principle approach - Pendekatan empat prinsip


Beauchamp dan Childress (2009) mempertahankan apa yang disebut sebagai The four
principle approach atau pendekatan empat prinsip kepada etika perawatan kesehatan, juga
dikenal oleh lawan-lawannya sebagai principalism. Prinsip-prinsip yang mereka gambarkan
berasal dari 'pertimbangan keputusan‟ atau considered judgements‟' dalam moralitas umum
dan tradisi medis. Empat kelompok prinsip itu adalah:
a. Penghormatan terhadap otonomi
Hal ini berarti penghormatan terhadap kapasitas seseorang dalam pengambilan
keputusannya secara otonom. Banyak filsuf setuju bahwa moralitas mengiras orang mampu
bertindak secara otonom, tetapi menafsirkannya dengan cara yang berbeda. Beauchamp dan
Childress menggambarkan individu yang otonom bertindak bebas namun berkaitan dengan
yang dipilih sendiri. Analogi yang sama dengan cara pemerintah independen mengelola
wilayahnya dan menetapkan kebijakannya '(Beauchamp dan Childress, 2009: 99). Seseorang

41
tidak mampu memilih secara merdeka, atau bertindak berdasarkan keinginan dan rencananya
'(ibid.).
Diperlukannya persetujuan berdasarkan informasi untuk perawatan adalah contoh
yang baik menghormati perawatan kesehatan individu, tetapi prinsip ini juga dapat
memengaruhi persoalan promosi kesehatan. Misalnya, salah satu argumen yang mendukung
pendekatan „libertarian paternalism‟ baru-baru ini, bahwa pendekatan ini dapat digunakan
untuk meningkatkan kesehatan dengan cara mengubah opsi standar atau 'dorongan' lain untuk
meningkatkan kesehatan, tetapi ia tetap menghargai pilihan individu untuk melakukan
sebaliknya jika mereka menginginkannya (Thaler dan Sunstein, 2009).
b. Penghindaran terhadap bahaya atau Non-maleficence
Non-maleficence berarti menghindari penyebab bahaya. Hal ini dekat diasosiasikan
dengan etika medis Primum non nocere, yang berarti “above all, do no harm”, di atas
segalanya, jangan membahayakan. Dalam pelayanan kesehatan, kerangka pengambilan
keputusan untuk situasi yang mungkin melibatkan prosedur yang menopang kehidupan dan
bantuan dalam kematian, misalnya, amat diperlukan. Di dalam promosi kesehatan, hal ini
mungkin timbul dari konsekuensi yang tidak diharapkan dari praktik pormosi kesehatan
seperti efek sosial yang luas dari perubahan yang pada awalnya dimasudkan untuk
meningkatkan kesehatan, contohnya memberikan informasi kesehatan melalui saluran yang
dapat diakses oleh lebih banyak orang dan kelompok dari status sosial ekonomi tinggi,
sehingga melbarnya kesenjangan atau ketidaksetaraan dalam kesehatan.
c. Manfaat atau Beneficence
Manfaat berarti memberikan keuntungan dan dan mengukur manfaat terhadap risiko
dan biaya.Beauchamp dan Childress (2009: 197) berpendapat bahwa „asas-asas kemaslahatan
berpotensi menuntut lebih dari asas Non-maleficence. Agen (dalam hal ini tenaga kesehatan)
harus dapat mengambil langkah-langkah positif untuk membantu orang lain, tidak cukup
hanya menahan diri dari tindakan berbahaya. Beauchamp dan Childress menggambarkan dua
prinsip manfaat yaitu manfaat positif, yang berarti secara aktif membantu orang lain, dan
utilitas, yang berarti menyeimbangkan berbagai keuntungan, kerugian, dan biaya untuk
memastikan hasil keseluruhan terbaik.
d. Keadilan atau Justice
Keadilan berarti mendistribusikan manfaat, risiko, dan biaya secara berimbang.
Kesenjangan dalam kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan seringkali muncul
sebagai masalah yang diperdebatkan dalam keadilan sosial. Hal ini juga berkaitan dengan
pertanyaan yang lebih luas lagi tentang hak-hak masyarakat terhadap kesehatan, peran
42
pemerintah dan pengeluaran publik, kesenjangan sosial-ekonomi, dan efek semua itu
terhadap kesehatan, kebebasan individual, dan hak serta kewajiban bersama.
Terlepas dari perbedaan sumber daya dari berbagai negara, berbagai masyarakat telah
membuatpilihan yang sangat berbeda tentang apa arti keadilan bagi kesehatan, seperti yang
ditunjukkan dengan jelas, misalnya dengan pendekatan yang berbeda dari AS dan negara-
negara Eropa.

Selain itu, Beauchamp and Childress menggambarkan tiga jenis aturan berbeda yang
menentukan empat prinsip tersebut dapat berfungsi sebagai panduan untuk
bertindak. Pertama, aturan substantif meliputi aturan-aturan dari: mengatakan kebenaran,
konfidensial, privasi, alokasi yang adil, dan merasiokan pelayanan kesehatan, dan lain
sebagainya. Contoh dari aturan substantif tersebut adalah menentukan prinsip penghormatan
terhadap otonomi seperti "Ikuti keinginan pasien yang dinyatakan sebelumnya jika hal itu
jelas dan relevan. "Kedua, aturan autoritas, yang meliputi otoritas pengganti (siapa yang
harus membuat keputusan untuk orang yang tidak kompeten), otoritas profesional (siapa yang
harus memikul tanggung jawab untuk mengesampingkan atau menerima keputusan pasien
dalam kasus-kasus di mana hal-hal ini berpotensi merusak), dan otoritas distribusi (siapa
yang harus membuat keputusan tentang distribusi sumber daya). Ketiga, aturan prosedural,
yaitu aturan yang menetapkan prosedur yang harus diikuti ketika suatu hal terjadi, misalnya,
menentukan kelayakan untuk sumber daya medis atau melaporkan keluhan kepada otoritas
yang lebih tinggi.

4.7 The market solution - Solusi Pasar


Meskipun keempat prinsip di atas adalah panduan berharga untuk masalah spesifik
promosi kesehatan, prinsip-prinsip tersebut tidak menyelesaikan ketegangan yang lebih luas
antara berbagai pendekatan politik yang mungkin untuk menyelesaikan nilai-nilai yang saling
bertentangan. Apakah ada cara untuk menyetujui satu pendekatan umum untuk prinsip-
prinsip filosofis yang mendasari hubungan antara individu dan masyarakat luas? Dalam
beberapa dekade terakhir, jawabannya semakin tidak datang dari para filsuf, tetapi dari
disiplin lain - ekonomi, dan penggunaan pasar menyelesaikan berbagai sudut pandang.
Michael Sandel (2012) berpendapat bahwa telah hadir suatu tren dalam beberapa
dekade terakhir untuk menggantikan diskusi etika dengan penggunaan pasar sebagai filosofi
alternatif, yaitu suatu pendekatan yang kadang-kadang digambarkan sebagai 'neoliberalisme'.

43
Mengapa penggunaan pasar dapat menjadi masalah?Sandel berpendapat bahwa ada
dua masalah mendasar, yaitu ketimpangan dan korupsi.Dengan ketidaksetaraan dalam
masyarakat muncullah perbedaan daya beli.Akan tetapi perbedaan (daya beli) seperti itu bisa
menjadi penting atau justru kurang penting tergantung pada berapa banyak bidang kehidupan
yang dipengaruhi oleh perbedaan itu.Semakin banyak masyarakat yang menghubungkan kita
di semua bidang kehidupan sebagai pasar, semakin besar pula dampak ketidaksetaraan
tersebut.Untuk bidang kesehatan secara spesifik, dampak ketidaksetaraan sosial ekonomi
sudah jelas, seperti yang dijelaskan oleh Commission on Social Determinants of Health,
World Health Organization (CSDH, 2008).

4.8 Menyelesaikan Pertimbangan Politik dan Etika dalam Praktik


Seperti yang akan kita lihat, ada berbagai pendekatan yang memungkinkan untuk
melibatkan pertimbangan politik dan etika.Masing-masing dari pendekatan ini tercermin
sampai batas tertentu dalam diskusi politik modern, tanpa ada satupun yang disetujui secara
universal. Tetapi ada juga banyak pendekatan lain yang mungkin. Hal ini termasuk yang
didasarkan pada kepercayaan agama.Keyakinan agama dapat menyebabkan persepsi yang
berbeda dari suatu masalah daripada pendekatan ilmiah, yang dapat sangat relevan untuk
perawatan kesehatan dan disiplin ilmu lainnya.
Persoalan ini bukan hanya masalah diskusi filosofis. Hal ini justru menjadi pertanyaan
penting untuk promosi kesehatan, terutama ketika dilakukan dengan atau atas nama otoritas
publik atau dalam mengejar kesejahteraan publik. Promosi kesehatan oleh atau atas nama
otoritas publik dapat melibatkan beberapa unsur paksaan dan bahkan ketika tidak melibatkan
unsur tersebut, seringkali dianggap memiliki unsur koersif. Oleh karena itu penting untuk
tidak hanya memiliki persetujuan individu tetapi juga, jika relevan, kesepakatan masyarakat
secara keseluruhan. Tentu saja, akan ada kerangka umum untuk nilai-nilai politik dan etika
yang dinyatakan dalam kerangka hukum negara yang bersangkutan, yang dapat dianggap
menggambarkan aturan yang diterima oleh lingkungan itu. Namun, hal ini tidak mungkin
untuk mengatasi semua masalah yang mungkin muncul dalam promosi kesehatan.Sebagai
contoh, dampak kesehatan dari tindakan tertentu mungkin tidak jelas atau diperdebatkan.Dan
bahkan ketika bukti ilmiah tentang konsekuensi kesehatan dari tindakan tertentu sudah jelas,
individu mungkin masih lebih suka untuk membuat pilihan yang bertentangan dengan saran
yang diberikan. Keputusan yang berhubungan dengan kesehatan juga dapat bertentangan
dengan nilai-nilai lain (seperti nilai-nilai moral) atau kepentingan lain, yang memerlukan
beberapa cara untuk membuat keputusan.

44
Untuk mengilustrasikan masalah-masalah ini, pertimbangkan contoh-contoh diskusi
politik dan etika berikut tentang masalah terkini dalam promosi kesehatan:
1. Vaksin Measles, mumps, and rubella (MMR)
Kontroversil tentang vaksin ini muncul setelah hubungan dengan penyakit
radang usus dan infeksi autisme diusulkan pada tahun 1998.Meskipun ada konsensus
ilmiah yang luas bahwa tidak ada bukti hubungan antara MMR dan kondisi ini,
kepercayaan publik pada keamanan vaksin sudah terlanjut terjadi sangat parah.Di
Inggris angka penyerapan penggunaan vaksin ini menurun sebesar 8 persen dari
cakupan tertinggi 92 persen pada tahun 1995. Pemerintah Inggris kemudian
memutuskan untuk tidak memberikan vaksinasi untuk masing-masing kondisi ini
secara individual, dengan menyebutkan bahaya yang meningkat baik untuk anak-anak
yang bersangkutan maupun bagi orang lain melalui peningkatan risiko penularan
penyakit-penyakit ini, meskipun ada kekhawatiran dari banyak orang tua yang
divaksinasi untuk anak-anak mereka dengan MMR.
2. Larangan merokok di tempat umum
Beberapa negara berpenghasilan tinggi memiliki beberapa bentuk larangan
merokok di tempat kerja atau tempat-tempat umum, termasuk Irlandia, Norwegia,
Malta, dan beberapa negara bagian AS, dengan alasan perlunya melindungi orang
(khususnya pekerja) dari efek bahaya perokok pasif. Proposal untuk larangan
semacam itu seringkali kontroversial dan telah diperdebatkan dengan alasan hak
individu untuk memilih untuk merokok dan potensi bahaya bagi perusahaan komersial
dari penurunan pendapatan karena perokok memilih untuk menjauh. Terdapat pula
perselisihan di antara para ahli tentang seberapa besar kerugian yang diderita para
perokok pasif, meskipun keseimbangan pendapat tampaknya menunjukkan bahwa ada
bahaya yang signifikan.

4.9 Promosi kesehatan sebagai eksperimen


Sebagaimana dibahas dalam Bab 3, bukti-bukti ilmiah untuk berbagai intervensi
promosi kesehatan mungkin terkadang tidak jelas atau masih diperdebatkan.Sumber daya
untuk promosi kesehatan juga sering kali masih rendah.Tantangan-tantangan ini dapat
dikombinasikan dengan melakukan eksperimen dalam promosi kesehatan, untuk dapat
memberikan intervensi tertentu kepada beberapa anggota kelompok sasaran potensial tetapi
tidak yang lain, dan mengevaluasi hasilnya.Tim Harford memberikan contoh amal Belanda
yang mendanai uang untuk merawat anak-anak di sekolah-sekolah Kenya karena cacingan.

45
Dengan dana terbatas, badan amal memilih untuk fase intervensi dan menggunakan sekolah
tanpa intervensi untuk perbandingan (Harford, 2011). Di satu sisi, hal ini dapat diperdebatkan
untuk memberikan bukti yang lebih baik tentang bagaimana intervensi yang berhasil
sebenarnya. Di sisi lain, masalah etika dapat dimunculkan: Apakah boleh melakukan
eksperimen dengan cara ini? Haruskah sumber daya terbatas tidak ditargetkan pada mereka
yang paling membutuhkan, daripada digunakan untuk perbandingan?

4.10 Kesimpulan
Kita telah belajar tentang aspek politik dan etika dari promosi kesehatan, termasuk
mengidentifikasi beberapa masalah politik dan etika yang mungkin ditimbulkan oleh promosi
kesehatan. Kita juga telah belajar tentang lima pendekatan berbeda untuk
mempertimbangkan isu-isu politik dan keseimbangan yang harus dihadapi, yaitu a perfect
society masyarakat yang sempurna, sebagaimana dijelaskan oleh Plato; utilitarianisme;
liberalisme dan kebebasan individu; pendekatan empat prinsip; dan bagaimana batasan moral
untuk pasar. Semua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, di mana kerangka
kerja dilakukannya promosi kesehatan akan melibatkan unsur-unsur dari pendekatan ini dan
pendekatan lainnya.

***

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Cragg, Liza, et al. (2013). Understanding Public Helath; Health Promotion Theory
second edition. USA: Open University Press.
2. Dauson, Angus. (2012). Health Promotion: Conceptual and Ethical Issues. University
Sidney: Article in Public Health Ethics. Vol: 5, Num: 2 (101-103).
https://www.researchgate.net/publication/274409313
3. Radoilska, Lubomin. (2009). Public Health Ethics and Liberalism. Journal Public
Health Ethic. Cambridge University, Vol: 2, No: 2, (135-145)

47

Anda mungkin juga menyukai