Anda di halaman 1dari 66

UNIVERSITAS INDONESIA

ZAT GIZI MAKRO


SINDROM METABOLIK

Dosen:
Prof. Dr. Dra. R.T. Ayu Dewi Sartika, Apt., M.Sc.

Disusun Oleh:
Agnia Nurul Hikmah 1906430112
Yania Febsi 1906430932

PEMINATAN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang
berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik. Faktor
risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah,
peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan proinflamasi.
Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah
tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika kondisi-
kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut memiliki
risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovasculer.
Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Pada tahun 1998 the World Health
Organization mengajukan nama ―metabolic sindrom‖ yang didefinisikan dengan adanya 2
atau lebih abnormalitas metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau
lebih faktor-faktor dibawah (Isomaa et al, 2001):
1) Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90 mmHg
2) Trigliserida ³150 mg/dL
3) HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada perempuan
4) Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada wanita
5) Mikroalbuminuria
Namun kebanyakan menggunakan defenisi yang telah ditetapkan oleh World Hearth
Organization (WHO) and the National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III (NCEP ATP III). Organisasi ini menganggap bahwa sindrom metabolik merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan kadar kolesterol low density
lipoprotein (LDL), dislipidemia aterogenik (protrombotik state), resistensi insulin, hipertensi,
obesitas abdominal dan peningkatan marker inflamasi dianggap sebagai karakteristik yang
menyolok dari sindrom metabolik.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui Definisi Sindrom metabolik
2. Mengetahui Patofisiologi sindrom metabolik
3. Mengetahui mekanisme penyebab terjadinya penyakit sindrom metabolik
4. Mengetahui mekanisme penyebab terjadinya penyakit sindrom metabolik dikaitkan
dengan asupan zat gizi makro serta faktor lainnya (kebiasaan merokok, olahraga,
stress oksidatif dll)
5. Mengetahui penggunaan bioteknologi terkini untuk mengidentifikasi penyakit
sindroma metabolik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Sindrom Metabolik


Sindrom metabolik (MetS) disebut juga sebagai sindrom X, sindrom Reaven, "kuartet
mematikan," dan sindrom resistensi insulin adalah konstelasi faktor risiko metabolik yang
saling terkait memicu pengembangan penyakit kardiovaskular aterosklerotik. Komponen
utama dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin, obesitas, dislipidemia, dan hipertensi.
Namun dengan terus munculnya fakta-fakta baru, daftar faktor risiko cenderung meningkat.
Komponen faktor risiko tersebut saat ini mencakup resistensi insulin, hiperinsulinemia,
obesitas sentral, hipertensi, dislipidemia (peningkatan trigliserida plasma (TG)), penurunan
kolesterol lipoprotein densitas tinggi (HDL-C), pola partikel LDL bergeser ke partikel padat
kecil (tipe B). pola)), keadaan prokoagulan (peningkatan fibrinogen plasma, peningkatan
inhibitor aktivator plasminogen-1 (PAI-1)), kelainan pembuluh darah (peningkatan ekskresi
albumin urin, disfungsi endotel), penanda inflamasi, dan hiperurisemia. 1,2
Sindrom metabolik berhubungan dengan indikator-indikator inflamasi seperti C-
Reactive Protein (CRP). Inflamasi yang muncul berhubungan dengan peningkatan risiko
terhadap penyakit jantung koroner dan dibetes, dimana risiko ini akan meningkat pada
individu yang memiliki sindrom metabolik.2,11 CRP merupakan penanda inflamasi sebagai
respon terhadap berbagai rangsangan inflamasi baik inflamasi akut (infeksi) maupun
inflamasi kronis. Kelebihan dari CRP adalah bersifat stabil, ketersediaan assay untuk
pemeriksaan laboratorium mudah, ada standarisasi dari WHO, dan dapat mendeteksi
inflamasi sampai tingkatan terendah (low grade inflammation).
Sindrom metabolik tidak hanya dialami pada usia dewasa saja, akan tetapi sudah
muncul pada usia anak-anak dan remaja. Peningkatan angka kejadian sindrom metabolik
sejalan dengan meningkatnya kasus obesitas sentral. Berdasarkan data dari National
Cholesterol Education Program / Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) menunjukkan
remaja dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) pada persentil > 95 mengalami sindrom metabolik
sebesar 32,1%.

2.2 Kriteria Sindrom Metabolik


Definisi dan kriteria MetS atau Sindrom Metabolik memiliki perkembangan, dimulai
pada tahun 1998 WHO mengusulkan definisi formal MetS. Setelah laporan WHO the
European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) menyarankan beberapa perubahan
terhadap definisi yang diusulkan pada tahun 1999. Tahun 2001 the National Cholesterol
Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) mengeluarkan kriteria baru
untuk diagnosis MetS, kemudian tahun 2003 the American Association of Clinical
Endocrinologists (AACE) bergabung dalam menyusun definisi dan kriteria diagnostic dari
MetS. Adanya perbedaan pendapat mengenai definisi The International Diabetes Federation
(IDF) ikut memodifikasi definisi MetS pada tahun 2006 dengan memasukkan obesitas sentral
sebagai faktor resiko utama MetS. Pendapat tersebut juga dibarengi oleh American Heart
Association yang bekerja sama dengan the National Heart, Lung, and Blood Institute
(AHA/NHLBI) memodifikasi kriteria MetS dari NCEP-ATP III. Pada Tahun 2009 IDF dan
AHA / NHLBI membahas semua perbedaan tersebut dan menetapkan kriteria baru untuk
diagnostic MetS. Definisi kesepakatan dikeluarkan pada tahun 2010.

Tabel 2.1 Komponen sindrom metabolik sesuai dengan definisi yang diusulkan oleh
organisasi yang berbeda

WHO (World Health Organization) 1998, EGIR (European Group for the study of Insulin
Resistance) 2001, N CEP - ATP (National Cholesterol Education Program-Adult Treatment
Panel) tahun 2003, IDF (International Diabetes Federation) Tahun 2006, AHA / NHLBI
(American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute) Tahun 2006, IDF
dan AHA/NHLBI tahun 2009. FPG (Fasting Plasma Glucose), WC (Waist Circumference.

Sumber: Marina Kurian, Bruce M. Wolfe, Sayeed Ikramuddin. 2016. Metabolic Syndrome
and Diabetes Medical and Surgical Management. USA: Springer Science+Business Media
New York.

2.3 Patofisiologi sindrom metabolik


MetS adalah keadaan peradangan tingkat rendah kronis sebagai konsekuensi dari
interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Obesitas perut dan resistensi insulin
dinilai sebagai penyebab utama yang mendasari patofisiologi sindrom metabolik. Kedua
faktor risiko ini terkait satu sama lain sehingga sulit untuk memastikan faktor risiko mana
yang memainkan peran lebih dominan dalam patogenesis sindrom metabolik dan
perkembangannya (Kaur J, 2014). Patofisiologi sindrom metabolik juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang berkontribusi seperti disregulasi sitokin yang berasal dari jaringan adiposa,
inflamasi, genetika, aktivitas fisik, asupan makanan yang salah, ketidakseimbangan hormon,
obat-obatan. Resistensi insulin, adipositas viseral, dislipidemia atherogenik, disfungsi
endotel, kerentanan genetik, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi, dan stres kronis
adalah beberapa faktor yang membentuk sindrom.
Gambar 2.1 Patofisiologi dari sindrom metabolik (Kaur J, 2014).
2.3.1 Obesitas

Beberapa ahli melihat sindrom metabolik sebagai komplikasi dari obesitas. ―Epidemi
obesitas‖ pada dasarnya didorong oleh peningkatan konsumsi makanan dan aktivitas fisik
yang berkurang. Jaringan adiposa adalah campuran heterogen adiposit, preadiposit stroma,
sel imun, dan endotelium, dan dapat merespon dengan cepat dan dinamis terhadap perubahan
kelebihan nutrisi melalui hipertrofi adiposit dan hiperplasia (Kaur J, 2014).

A. Mekanisme Obesitas dapat menyebabkan MetS atau Sindrom Metabolik

Gambar 2.2 Mekanisme Obesitas dalam Menyebabkan MetS atau sindrom metabolik.
(Cusi, 2010)

Ketika seseorang mengalami obesitas karena faktor genetic maupun akibat kelebihan intake
dalam jumlah besar dalam jangka yang lama namun aktivitas fisiknya kurang ditambah
dengan faktor lain seperti merokok, dan stress, jaringan adipose mengalami hipertrofi
(peningkatan ukuran adiposit), kemudian hipertrofi merekrut sel-sel baru yang memicu
hyperplasia (diferensiasi atau adipogenesis) dari adiposit yang sudah ada sebelumnya dan
tekanan pada sel. Hipertrofi tersebut memicu aktivasi peran makrofag sebagai M1 (pro
inflamasi), angiogenesis (pembentukan sistem pembuluh darah baru) menurun sehingga
menyebabkan meningkatnya fibrosis (pembentukkan jaringan parut di adiposit) dan hipoksia
5
(kurangnya suplai darah ke jaringan adiposit) sehingga mengakibatkan nekrosis. Adiposit
yang mengalami hipertrofik meningkatkan dan menyebabkan ketidakseimbangan adipokin
(protein dari jaringan adiposa dan makrofag). Adipokin tersebut melepaskan leptin,
adiponektin, visfatin, dan resistin sebagai mekanisme penyimpanan energi secara pasif, yang
dapat menyebabkan dan memperburuk peradangan sistemik kronis tingkat rendah (Gomez et
al., 2009).
Adipokin juga mengeluarkan chemoattractants seperti MCP-1, menarik sel-sel
kekebalan ke dalam jaringan, dan mensekresi mediator proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β,
CRP (C-Reactive Protein) dan IL-6 oleh adiposity kemudian mediator pro-inflamasi tersebut
menyusup kedalam sel imun menghasilkan polarisasi makrofag menjadi fenotip M1 pro-
inflamasi, dan menggerakkan kumpulan sel T inflamasi. Hipertrofi adiposa menyebabkan
meningkatnya Lipolisis yang menyebabkan peningkatan kadar FFA. Lipolisis yang
meningkatkan FFA mengakibatkan lipotoksik. Proses Lipotoksik dengan meningkatkan
tekanan pada retikulum endoplasma, menstimulasi respon inflamasi sel JNK dan NK,
menurunkan fungsi mitokondria, kemudian menyebabkan resistensi insulin. Lipotoksik
mengakibatkan meningkatnya HGP, NAFLD, dan NASH pada organ hati, menurunnya
serapan glukosa yang dimediasi insulin, meningkatnya apoptosis sell-β pancreas,
menurunnya fungsi jantung atau terjadinya gagal jantung, meningkatkan risiko iskemik
jantung, serta menyebabkan arterosklerosis. Meningkatnya risiko penyakit-penyakit tersebut
yang menyebabkan syndrome metabolic yang berkembang menjadi penyakit.

B. Adipose Tissue Macrophage (ATM)


Makrofag jaringan adiposa dapat diklasifikasikan berdasarkan ekspresi penanda
permukaannya atau sekresi kemokin dan sitokinnya. Nomor ATM (M1, M2) dan fenotipe
diubah dalam obesitas yang disebabkan oleh genetik dan pola makan. Dalam keadaan
obesitas makrofag M1 lebih aktif dibandingkan makrofag M2. Makrofag M1 mensekresi
sitokin pro-inflamasi TNF-α, IL-1β, dan IL-6; sedangkan makrofag M2 mensekresi sitokin
anti-inflamasi termasuk IL-10 dan IL-1 reseptor antagonist (RA) (Lumeng et al., 2007).
Tingkat infiltrasi ATM dikaitkan dengan resistansi insulin(Osborn dan Olefsky, 2012). ATM
M1 lebih banyak berasal dari monosit dalam sirkulasi daripada stroma-vascular fraction
(SVF) (Calder et al., 2011; Oh et al., 2012). SVF adalah bagian dari WAT terdiri dari
beberapa sel yang aktif secara metabolik dan inflamasi, termasuk pra-adiposit, fibroblas, sel
endotel, sel dendritik (DC), sel T, sel mast, granulosit, dan makrofag yang tertanam dalam
matriks ekstraseluler. SVF memainkan peran penting dalam mengembangkan bantalan lemak
pada tubuh. Untuk merespon diet tinggi lemak dan obesitas, sel SVF mengalami peningkatan
jumlah mengakibatkan adanya fenotip M1 yang berdampak buruk terhadap metabolisme
(Strissel et al., 2010).

Gambar 2.3 Peran makrofag dalam perkembangan obesitas (Roberts et.al, 2013).

Makrofag Imun-fenotip (M1/M2) sangat fleksibel dan sensitif dalam menanggapi lingkungan
sekitarnya (Mosser dan Edwards, 2008). Ketika obesitas berkembang, ATM fenotipe beralih
dari M2 anti-inflamasi ke tipe M1 pro-inflamasi, melalui proses dinamis yang mencakup
spektrum dari M1 ke M2. Cluster ATM di sekitar adiposit nekrotik dalam pengaturan crown-
like structure (CLS). Infiltrasi ATM M1 menurunkan sensitivitas insulin sebagai hasil dari
sekresi TNF-α, IL-1β, dan IL-6 yang lebih besar, yang menginduksi lingkungan yang resisten
terhadap insulin. FFA dapat mengaktifkan makrofag secara in vitro melalui Toll Like
Receptor (TLR) 2 dan TLR4 untuk menginduksi ekspresi MCP-1, IL-6, dan IL-1β. FFA juga
menginduksi sekresi PAI-1 dari makrofag in vitro; Namun induksi ini hanya terjadi di
hadapan adiposit 3T3-L1, kemudian sekresi FFA dan adiposit bertindak secara sinergis dalam
mempengaruhi sekresi makrofag. Infiltrasi ATM dapat dideteksi setelah 1 minggu setelah
diet tinggi lemak dan meningkat secara progresif sebanding dengan tingkat obesitas. Dengan
obesitas, ATM juga mengambil peran seperti sel busa yang menumpuk lemak berlebih.
Penurunan berat badan juga terkait dengan ATM yang lebih rendah disertai dengan infiltrasi
sementara makrofag. (Mc. Ardle, et all. 2013)
Makrofag dari sel dendritik, umpang tindih dalam hal fungsi dan karakterisasi
molekuler. Keduanya adalah fagosit antigen presenting cell (APC) dan sel tertentu seperti
CD11c, MHC II, dan F4 / 80. The Immunological Genome Project menghasilkan ekspresi
gen terperinci dan jalur pengaturan antara makrofag dan sel dendritik. Proyek ini
menunjukkan bahwa ada keragaman besar antara populasi makrofag yang berbeda tetapi
hanya mendeteksi transkripsi 39 mRNA untuk semua jenis makrofag tetapi tidak ke sel
dendritik.

C. Mekanisme interaksi makrofag dengan jaringan adiposa

Gambar 2.4 Mekanisme interaksi makrofag dengan jaringan adiposa (Chun-Xia Yi


et.al, 2012).

Secara umum, makrofag dikotomisasi menjadi fenotip M1 (pro-inflamasi) dan M2 (anti-


inflamasi) berdasarkan aktivitasnya selama proses perbaikan jaringan (Novak dan Koh,
2013). Makrofag berasal dari sel prekursor monosit. Jaringan memiliki komponen yang
bertanggung jawab untuk pemeliharaan jaringan umum. Makrofag-makrofag ini digambarkan
sebagai makrofag aktif atau M2 alternatif, dan diinduksi oleh TGF-β, IL-4, dan IL-13.
Makrofag M1 (makrofag yang diaktifkan secara klasik) adalah fagosit kunci dalam jaringan,
dan diinduksi melalui aktivasi IFN-and dan pensinyalan TLR yang diinduksi LPS atau dari
deteksi pola molekul terkait-patogen. Dengan obesitas, stres, pemuatan, atau mekanisme
kontrol spesifik jaringan dan niche, makrofag tipe M2 dapat mengalami perubahan fenotipik.
Pergeseran ini dapat dipengaruhi oleh paparan sitokin tertentu melalui mekanisme
pensinyalan umum atau dengan adanya kondisi lain, termasuk IL-6 (Braune et al., 2017) atau
TNF-α (Wu et al., 2015). AGEs juga dapat berperan dalam polarisasi M2 ke M1 (Jin et al.,
2015). Biasanya, ketidakseimbangan dalam rasio makrofag M1: M2 dianggap maladaptif,
menciptakan ketidakseimbangan terhadap degradasi jaringan dan tidak adanya perbaikan
yang memadai. MAPK (mitogen activated protein Kinase) adalah jalur utama dalam respons
inflamasi yang dimediasi makrofag dan memainkan peran penting dalam penyakit yang
dimediasi oleh makrofag (Yang et al., 2014).
Dalam 24 jam setelah kerusakan otot, ribuan makrofag telah menyusup ke jaringan
yang rusak (Tidball, 2005; Grounds, 2011). Makrofag M1 pro-inflamasi pertama kali
melakukan lisis sel, menghilangkan puing-puing jaringan otot nekrotik (Laumonier dan
Menetrey, 2016). M2-makrofag antiinflamasi menyusup ke situs yang rusak begitu makrofag
M1 telah menghilangkan puing-puing nekrotik (~ 48 jam setelah cedera), membantu
menyelesaikan respons inflamasi sambil mempromosikan miogenesis (Akhmedov dan
Berdeaux, 2013). Melalui sekresi sejumlah faktor pertumbuhan, makrofag mempromosikan
angiogenesis (FGF, TGF-β), sintesis protein ECM (TGF-β), dan aktivasi sel-sel satelit,
semuanya mempromosikan miogenesis (Grounds, 2011).
Obesitas memicu peningkatan kehadiran sel makrofag M1 dalam suatu jaringan yang
merupakan tanda awal gangguan homeostasis dan perbaikan jaringan. Dengan obesitas yang
disebabkan oleh diet, makrofag tipe-M1 terdapat pada otot paha depan tikus (Fink dkk.,
2014), tikus (Collins dkk., 2016c), dan manusia (Fink dkk., 2014; Khan dkk. ., 2015). Dalam
tulang, osteoklas dianggap makrofag tipe-M1. Dengan diet tinggi lemak, keropos tulang
dipercepat karena meningkatnya osteoklastogenesis (Shu et al., 2015), Sitokin proinflamasi
meningkatkan aktivitas osteoklas pada manusia dengan obesitas melalui aktivasi NF-κB /
Jalur RANKL (Cao, 2011) meningkatkan redundasi antara makrofag dan sel-sel inflamasi
lainnya. Makrofag dapat memodulasi homeostasis inflamasi dalam obesitas.
Inflamasi jaringan adiposa pada obesitas menyebabkan infiltrasi makrofag. Infiltrasi
makrofag jaringan adiposa atau adipose tissue macrophage (ATM) memainkan peran sentral.
Namun, infiltrasi makrofag tidak hanya terjadi pada adiposit tetapi juga pada hepar dan otot.
Makrofag akan memberikan respon terhadap kemoktaksis tertentu (sitokin dan kompleks
antigen-antibodi) dan mempunyai kemampuan fagositosis (Huang PL, 2009). Jaringan
adiposa pada obesitas akan mengalami infiltrasi makrofag. Makrofag akan berperan dalam
proses inflamasi yang diaktifkan oleh jaringan adiposa. Makrofag yang telah teraktivasi akan
menyekresi mediator pro-inflamasi yang maksimal termasuk TNF-α, PGE2, IL-1, IL-6,
spesies oksigen reaktif, dan nitrik oksida, yang akan mempertahankan kelanjutan proses
inflamasi yang telah ada.
Makrofag jaringan adiposa (ATMs) M1 aktif secara klasik. M1 ATMs menghasilkan
sitokin proinflamasi, seperti Tumor Necrosis Factor-α (TNF α), Interleukin-6 (IL-6), dan
Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1), dan berkontribusi menginduksi resistensi
insulin. Pemicu utama rekrutmen makrofag M1 adalah sekresi TNF dari adiposit yang
membesar. TNF dari adiposit diduga merangsang preadiposit dan sel endotel untuk
menghasilkan MCP-1, kemudian menarik monosit ke dalam jaringan adiposa dan
menstimulasi diferensiasi M1 ATM (di daerah jaringan adiposa). Berikut adalah gambar
infiltrasi makrofag adiposa pada perkembangan peradangan jaringan dan resistansi insulin.
Makrofag yang diaktifkan di jaringan adiposa untuk mensekresi resistensi insulin
menghasilkan sitokin proinflamasi dan kemokin.

D. Jaringan Adiposa
Ada dua jenis utama jaringan adiposa dalam tubuh kita, jaringan adiposa putih (WAT)
dan jaringan adiposa coklat (BAT) yang dapat hidup berdampingan di seluruh situs jaringan
adiposa. Selain peran penyimpanan lemaknya, WAT dianggap endokrin terbesar dalam tubuh
dan diberikan fungsi otokrin, parakrin, dan endokrin (mis. Otak, otot, hati, pembuluh darah,
ginjal, tulang, dll.). BAT sangat penting untuk pemanfaatan energi melalui regulasi
termogenesis sebagai respons terhadap asupan makanan dan dingin, aktivasi simpatis,
hormon seperti irisin, lemak yang dilepaskan oleh otot, dll.
Jaringan adiposa memiliki dua fitur penting: kapasitas untuk berkembang dan
plastisitas. Ekspansi jaringan adiposa digunakan untuk menyimpan lipid, baik dengan
peningkatan ukuran adiposit (hipertrofi) dan diferensiasi atau adipogenesis (hiperplasia) dari
adiposit yang sudah ada sebelumnya. Ketika obesitas berkembang, hipertrofi terjadi,
kemudian keberadaan adiposit besar dapat merekrut sel-sel baru yang memicu hiperplasia
adiposit. Salah satu karakteristik VAT (Visceral Adipose Tissue) adalah tingkat proliferasi
dan kapasitas diferensiasi lebih rendah yang mengarah pada pertumbuhan oleh hipertrofi,
yang menyebabkan gangguan fungsi adiposit. Di sisi lain, SAT (Subcutan Adipose Tissue)
(terutama tubuh bagian bawah) tumbuh terutama oleh hiperplasia; namun ketika adipogenesis
terbatas, adiposit disfungsional hipertrofik akan terjadi. Setiap kali kapasitas untuk
memperluas kedua kompartemen terlampaui, lipid tumpah ke situs ektopik (jaringan non-
adiposa).

E. White Adipose Tissue (WAT)


Kurang dari 50% WAT terdiri dari pre-adiposit dan adiposit yang diisi lipid. Jaringan
adiposa putih juga terdiri tidak hanya dari prekursor, tetapi juga sel stroma, sel endotel,
fibroblast, dan banyak sel imun termasuk makrofag, limfosit, sel pembunuh alami, dan sel
mast. Makrofag M1, diinduksi oleh sitokin pro inflamasi, ditemukan dalam jumlah yang
sama dengan makrofag M2, diinduksi oleh sitokin anti-inflamasi. Adiposit matang
bertanggung jawab untuk sintesis, penyimpanan (dalam bentuk tetesan lipid), dan mobilisasi
trigliserida. Adiposit diatur ke dalam lobulus yang dipisahkan dan dikelilingi oleh jaringan
ikat longgar yang diorganisasikan dalam matriks ekstraseluler yang terutama terdiri dari
kolagen.

Gambar 2.5 (a) Pengembangan WAT kondisi normal, (b) pada orang Obesitas. 5

White Adipose Tissue atau jaringan adipose putih pada kondisi berat badan normal
adiposity mengalami hyperplasia, peran makrofag sebagai M2 (anti inflamasi) dan sel T
meningkat, sehingga meningkatkan pembentukan satuan sistem pembuluh darah yang baru.
Pada orang yang obesitas mengakibatkan adiposit mengalami hipertrofi dan tekanan pada sel.
Hipertrofi tersebut memicu aktivasi peran makrofag sebagai M1 (pro inflamasi) dan sel NK
meningkat, angiogenesis (pembentukan sistem pembuluh darah baru) menurun sehingga
menyebabkan meningkatnya fibrosis (pembentukkan jaringan parut di adiposit) dan hipoksia
(kurangnya suplai darah ke jaringan adiposit).
Pada manusia, depot lemak utama adalah intra-abdominal termasuk omental dan mesenterika
(visceral), tubuh bagian bawah termasuk gluteal, intramuskuler, tubuh bagian bawah kulit,
dan lemak tubuh bagian bawah kulit. Distribusi (White Adipose Tissue) di dalam situs ini
bervariasi secara signifikan antara jenis kelamin dan individu, dengan obesitas sentral
menandakan risiko diabetes, dislipidemia, dan beberapa komorbiditas lain yang lebih tinggi,
bersama dengan mortalitas.

Gambar 2.6 Mekanisme pengaktifan Sitokin Pro-inflamasi ketika Obesitas (Mc. Ardle,
et.al 2013)

Perluasan jaringan adiposa obesitas - peradangan yang dihasilkan dan disregulasi metabolik.
Kelebihan energi menyebabkan ekspansi adiposa dengan adiposit hipertrofik yang
mengeluarkan chemoattractants seperti MCP-1, menarik sel-sel kekebalan ke dalam jaringan.
Sekresi mediator proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6 oleh adiposit, pre-adipocytes,
dan infiltrating sel imun menghasilkan polarisasi makrofag menjadi fenotip M1 pro-
inflamasi, dan menggerakkan sel T inflamasi populasi. Lipolisis augmented menyebabkan
peningkatan kadar FFA. Lingkungan ini berdampak negatif pada jalur pensinyalan insulin
dan keadaan hasil resistensi insulin. Selain itu, adiposit hipertrofik juga terkait dengan
hipoksia.
F. Adipokin
Obesitas dan pembesaran adiposit progresif otomatis membuat suplai darah ke
adiposit berkurang (hipoksia). Hipoksia menjadi penyebab etiologi nekrosis dan infiltrasi
makrofag ke dalam jaringan adiposa. Adipokin adalah protein yang berasal dari jaringan
adiposa (adipose tissue (AT)-derived proteins). Peran adipokin terlibat baik dalam proses
fisiologis maupun patologis. Ketidakseimbangan produksi adipokin pro dan anti-inflamasi di
jaringan adipose ditemukan pada obesitas yang memberikan kontribusi besar pada berbagai
aspek perkembangan penyakit-penyakit komorbid, antara lain sindroma metabolik (Kaur J,
2014). Adipokin tidak hanya diproduksi oleh adiposit, namun juga di makrofag dalam
jaringan adiposa. Adipokin mengintegrasikan sinyal endokrin, autokrin, dan parakrin untuk
memediasi berbagai proses termasuk sensitivitas insulin, stres oksidan, metabolisme energi,
koagulasi darah, dan respon inflamasi yang dianggap mempercepat aterosklerosis, ruptur
plak, dan atherothrombosis. Ini menunjukkan bahwa jaringan adiposa tidak hanya khusus
dalam penyimpanan dan mobilisasi lipid tetapi juga organ aktif endokrin metabolik yang
melepaskan banyak sitokin (Kaur J, 2014).
Adiposit melepaskan adipokin seperti leptin, adiponektin, visfatin, dan resistin
sebagai mekanisme penyimpanan energi secara pasif, yang dapat menyebabkan dan
memperburuk peradangan sistemik kronis tingkat rendah (Gomez et al., 2009). Adipokin
menginduksi mediator proinflamasi pada sel T CD4+ yang teraktivasi dari pasien dengan
osteoartritis, menunjukkan bahwa mediator sistemik dapat berperan dalam osteoartritis
(Scotece et al., 2017). Setelah interaksi dengan sel T CD4+ teraktivasi, kondrosit
menunjukkan peningkatan ekspresi MMP-13 dan penurunan ekspresi kolagen-2 dan
aggrekan.
Leptin adalah hormon yang meningkat secara linier terhadap lemak tubuh (Friedman
dan Halaas, 1998). Ini menghambat nafsu makan dan mengatur berat badan, pengeluaran
energi, dan mempertahankan homeostasis glukosa. Namun, dengan gangguan metabolisme,
individu menjadi resisten leptin. Leptin adalah sitokin kelas-1 yang dikeluarkan dari jaringan
adiposa, dan konsentrasi tinggi leptin dikaitkan dengan kerusakan jaringan muskuloskeletal
(Zabeau et al., 2003; Collins et al., 2015a, b, 2016b, c). Leptin mengaktifkan jalur pro-
inflamasi hilir (IL-2, IFNγ) dan menghambat jalur anti-inflamasi (IL-4) (Lechler et al., 1998).
Selain diproduksi oleh jaringan adiposa, kadar leptin dapat ditingkatkan dengan TNF-α, IL-1,
dan LPS, menciptakan loop umpan balik positif dengan peradangan kronis tingkat rendah
(Grunfeld et al., 1996)
Resistin adalah adipokin yang terlibat dalam resistensi insulin, peradangan, dan
homeostasis energi. Kadar serum resistin berasal dari jaringan adiposa visceral (Milan et al.,
2002). Resistin dan visfatin, menunjukkan hubungan dengan pemulihan dari gangguan
jaringan lunak ekstremitas atas seperti tendinopati, terkait dengan mekanisme respons
antiinflamasi (Rechardt et al., 2014). Adiponektin, adipokin lain, berasal dari lemak visceral,
memiliki peran protektif pada kesehatan kardiovaskular dan homeostasis glukosa (Milan et
al., 2002). Ketika lemak tubuh menurun, kadar adiponektin umumnya meningkat, dan
adiponektin dapat memodulasi regulasi jaringan adiposa melalui NF-κB (Ajuwon dan
Spurlock, 2005). Sebaliknya, jika lemak tubuh tinggi, kadar adinopektin menurun
homeostatis glukosa terganggu.
Progranulin adalah adipokin memiliki karakteristik anti-inflamasi. Tingkat mRNA
untuk progranulin meningkat pada tulang rawan, sinovium, dan bantalan lemak infrapatellar
dari pasien OA, dan kadar mRNA meningkat sebagai respons positif terhadap stimulasi
proinflamasi (Abella et al., 2016). Secara khusus, progranulin telah ditunjukkan untuk
menetralkan ekspresi molekul pro-inflamasi (yaitu, NOS, MMP-13) yang diinduksi oleh IL-
1β dan sumbu LPS-TLR-4 (Abella et al., 2016). Jika adipokin rusak, progranulin tidak
tersintesis mengakibatkan sensitivitas mRNA untuk menetralkan respon stimulasi
proinflamamsi berkurang, inflamasi terinduksi.

Tabel 2.2 Peran adipokin Pro-Inflamatori (Kaur, 2014, Huang PL, 2009)

Adipokin Fungsi, sifat, jaringan sasaran.

TNF-α terutama dihasilkan oleh sel inflamasi dan limfosit, tetapi juga oleh adiposit
dan sel stroma. Menginduksi RI dengan menghambat fosforilasi SRI-1 dan
ekspresi GLUT-4
IL-6 dihasilkan oleh sel inflamasi, limfosit dan adiposa, otot skletal, menghambat
transkripsi gen SRI-1, GLUT-4 dan PPAR. Kadar dalam darah berkorelasi
dengan BMI.IL-6 mampu menekan aktivitas lipoprotein lipase. IL-6 terbukti
berhubungan positif dengan BMI, insulin puasa, dan pengembangan T2DM.

Leptin Adipokin yang terlibat dalam pengaturan kenyang dan asupan energi.
Tingkat leptin dalam plasma meningkat selama obesitas dan menurun selama
penurunan berat badan. Reseptor leptin sebagian besar terletak di
hipotalamus dan batang otak, sinyal melalui reseptor ini mengontrol
kenyang, pengeluaran energi, dan fungsi neuroendokrin. Kebanyakan
individu yang kelebihan berat badan dan obesitas memiliki tingkat leptin
yang tinggi (tidak menekan nafsu makan), atau dengan kata lain, resistensi
leptin. Resistensi leptin dianggap sebagai patologi mendasar pada obesitas.
Selain efeknya pada nafsu makan dan metabolisme, leptin bertindak di
hipotalamus untuk meningkatkan tekanan darah melalui aktivasi sistem saraf
simpatik (SNS). Terjadinya obesitas pada dasarnya kelainan dalam
pensinyalan leptin, yang mengakibatkan hyperphagia (keinginan besar pada
makanan), nafsu makan yang tidak terkendali.
Resistin Menginduksi disfungsi endotel dan terlibat dalam genesis aterosklerosis.
MCP-1 Kemokin disekresi oleh adiposa. Konsentarsi serum meningkat pada obes.
Menginduksi Resistensi Insulin dan steatosis hepar. Ekspresi MCP-1
adiposit meningkat oleh TNF.

Tabel 2.3 Peran adipokin Anti-Inflamatori (Kaur, 2014, Huang PL, 2009)

Adipokin Fungsi, sifat, jaringan sasaran.

IL-10 Sitokin antiinflamasi, disekresi terutama oleh limfosit dan sel


inflamasi, disekresi dalam jaringan adiposa, dan melindungi dari RI
yang di induksi IL-6

Adiponektin. Adiponektin mengatur metabolisme lipid dan glukosa, meningkatkan


sensitivitas insulin, mengatur asupan makanan dan berat badan, dan
melindungi terhadap peradangan kronis. Adiponektin menghambat
enzim glukoneogenik hepatik dan kecepatan produksi glukosa endogen
di hati. Adiponektin meningkatkan transportasi glukosa di otot dan
meningkatkan oksidasi asam lemak. Adiponektin memiliki aksi
antiatherogenic multifaktorial yang termasuk penghambatan aktivasi
endotel, mengurangi konversi makrofag ke sel busa, dan penghambatan
proliferasi otot polos dan remodeling arteri yang mencirikan
perkembangan plak aterosklerotik matang.
Adiponektin berbanding terbalik dengan faktor risiko CVD seperti
tekanan darah, kolesterol low density lipoprotein (LDL-C), dan TG.
Hipoadiponektinemia dikaitkan dengan resistensi insulin,
hiperinsulinemia, dan kemungkinan mengembangkan T2DM, tidak
bergantung pada massa lemak (Kaur, 2014).

G. Free Fatty Acid (FFA)


Tubuh bagian atas adiposit subkutan menghasilkan sebagian besar FFA yang
bersirkulasi, sementara kandungan lemak intra-abdominal telah berkorelasi positif dengan
tingkat FFA splanchnic (organ di bagian perut) yang berkontribusi pada akumulasi lemak
hati, umumnya pada obesitas sentral. Paparan akut otot skeletal terhadap peningkatan kadar
FFA menginduksi resistensi insulin dengan menghambat ambilan glukosa yang diperantara
insulin. Paparan kronis pankreas ke FFA tinggi merusak fungsi 𝛽-sel pankreas. FFA
meningkatkan produksi fibrinogen dan PAI-1 (Kaur, 2014).
H. Sel T
ATM adalah sel-sel kekebalan utama yang terkait dengan resistensi insulin, namun
dalam hal infiltrasi WAT didahului oleh sel-sel imun lainnya termasuk sel T. Subset sel T
yang berbeda terlibat dalam obesitas dan infiltrasi WAT. Sel T regulator normalnya terdiri
atas 5-20% dari populasi Sel T CD4 + dan memainkan peran penting dalam mempertahankan
homeostasis imun. Regulatory T Cell (Treg) mengeluarkan sitokin anti-inflamasi, menghambat
migrasi makrofag, dan memicu fenotipe makrofag M2. Penurunan Regulatory T Cell (Treg)
menyertai peningkatan berat badan pada tikus dan manusia. Deplesi Regulatory T Cell (Treg)
rendah insulin distimulasi oleh reseptor insulin tirosin fosforilasi yang lebih rendah pada
lemak dan hati epididimis, disertai dengan penurunan fosforilasi AKT. Sel CD4+ T helper 2
bersifat anti-inflamasi mensekresi IL-4 dan IL-13. Interleukin-4 menginduksi makrofag M2
yang mengeluarkan IL-10, yang memicu insulin.
Sel T Helper 1 bersifat pro-inflamasi mengeluarkan IFN-γ yang mendorong polarisasi
makrofag pro-inflamasi, yang mensekresi IL-1, IL-6, dan TNF-α. Sel T Helper 1
mengaktifkan makrofag. Diet tinggi lemak meningkatkan jumlah sel T-Helper 1 sehingga
meniadakan sekresi anti-inflamasi dari sel Treg dan TH2. Interleukin-6 bersama dengan IL-23,
TGF-β, dan IL-1, mendorong proliferasi sel CD4 + T-Helper 17. Aktivasi ERK di sel
dendritik sangat penting dalam mendorong produksi IL-1β dan IL-23 yang mendorong
ekspansi sel TH17. Sel TH17 mensekresi sitokin proinflamasi IL-17A dan IL-17F serta TNF-
α, IL-6, GM-CSF, CXCL1, dan CCL20. Winer et al. (2009) melaporkan peningkatan sel
TH17 dalam limpa tikus yang diberi makan tinggi lemak. Tikus Rag1 - / - yang diberi makan
tinggi lemak dilarutkan dengan sel T CD4 + memiliki kenaikan berat badan yang lebih
rendah daripada yang dilarutkan dengan sel T CD8 +, keduanya memiliki asupan makanan
yang serupa. Tikus dengan sel T CD4 + memiliki adiposit yang lebih kecil di kedua bantalan
lemak subkutan dan epididimis.

I. Sel Invariant natural killer T (iNKT)


Sel iNKT adalah bagian sel T bawaan yang ada dalam WAT; obesitas disertai dengan
penurunan sel iNKT di WAT. Jenis sel ini dapat mengenali antigen lipid pada glikoprotein
CD1 mirip MHC. Sel dendritik mengekspresikan CD1 dan in vivo dapat mengaktifkan sel
iNKT. Sel iNKT ditemukan pada frekuensi yang lebih tinggi pada tikus daripada pada
manusia, namun mereka secara khusus hadir dalam omentum manusia, wilayah ini juga
mengandung konsentrasi tertinggi sel CD1d +. Sel iNKT terdiri hingga 50% dari sel T yang
tersimpan di hati dan dalam WAT, keduanya memproduksi sitokin tipe TH2. Tikus yang
kekurangan sel iNKT, meningkatkan jumlah makrofag di WAT. Keduanya menunjukkan
infiltrasi M1 yang lebih besar dari WAT setelah pemberian diet tinggi lemak.

J. Sel Dendritik (DC)


Sel dendritik dianggap sebagai antigen presenting cell (APC) utama dari sistem
kekebalan tubuh dan sangat penting untuk memulai respons sel T. Mereka memproses
partikel fagositosis dan menggunakan perantara peptida untuk diberikan kepada sel T melalui
molekul MHC kelas I dan kelas II. Sel dendritik adalah satu-satunya jenis sel yang dapat
menginduksi diferensiasi sel T. DC dewasa mengeluarkan sitokin yang memengaruhi respons
sel yang berbeda, mis., Sel T terhadap TH1, -2, - 17, Treg dan DC menghubungkan sel bawaan
dan bersifat adaptif dari sistem kekebalan tubuh. Induksi sel TH1 mengikuti sekresi IL-12p70
pro-inflamasi oleh DC, Sel TH1 kemudian menghasilkan IFN-γ dan dapat mencegah
perkembangan sel Treg. Selain itu IFN-γ mengumpan balik ke DC untuk memastikan produksi
IL-12p70 yang berkelanjutan. Penonaktifan MEK1 / 2 di jalur MAPK mengarah pada
pengurangan produksi IL-1β dan IL-23 tetapi tidak menghasilkan penurunan produksi IL-
12p70.
Jumlah DC adiposa dan sumsum tulang meningkat setelah pemberian makan diet
tinggi lemak pada tikus. Studi lebih lanjut telah menunjukkan pemberian makan diet tinggi
lemak juga menghasilkan infiltrasi DC pada hati sebagai tambahan WAT. DC yang ada
dalam hati tikus yang mengalami obesitas meningkatkan ekspresi CD86, menunjukkan
bahwa obesitas mendorong maturasi DC. Tikus dengan jumlah DC yang sedikit, mengurangi
infiltrasi makrofag hati dan WAT. DC dari tikus obesitas menginduksi diferensiasi sel TH17
yang menghasilkan tingkat IL-17 yang tinggi, sedangkan DC menginduksi sel TH1 dan TH17
yang menghasilkan sedikit sitokin masing-masing IFN--dan IL -17. Pada tikus kurus, DC
hanya menginduksi sel TH1 dan DC memulai ekspansi sel TH17.

K. Sel-sel Natural Killer (NK)


Sel-sel Natural Killer (NK) kekebalan utama menghasilkan IFN-γ dan dapat
mendorong ekspansi sel TH1 juga memproduksi IL-17. Subjek yang dianggap obesitas
namun secara metabolik sehat memiliki jumlah sel CD8 + dan NK yang lebih banyak, tetapi
kedua kelompok memiliki lebih sedikit sel NK yang bersirkulasi dibandingkan subjek kurus.
Sel NK berbeda dalam fenotipe antara dua kelompok pasien obesitas; ada peningkatan
ekspresi penanda penghambatan seperti NKB1 dan CD158b pada kelompok yang tidak sehat.
Adipokin dapat memengaruhi sel NK dan leptin yang memiliki efek penghambatan pada sel
NK pada subjek kurus sementara adiponektin meningkatkan aktivitas NK pada subjek
obesitas.

L. Eosinofil
Eosinofil secara klasik dikaitkan dengan alergi tetapi juga terkait dengan makrofag
M2. Eosinofil hadir dalam WAT dan menghasilkan IL-4 sehingga bertindak untuk mengisi
kembali makrofag M2; bertanggung jawab atas 4-5% sel SVF dalam WAT. Produksi sel IL-4
TH2 mensekresi IL-4 eosinofil. Penurunan jumlah eosinofil telah dilaporkan pada tikus yang
diberi makan tinggi lemak sehingga makrofag eosinofil M2 menjadi berkurang.

2.3.2 Resitensi Insulin


A. Persignalan Insulin
Insulin adalah hormon anabolik karena mengendalikan metabolisme karbohidrat,
protein, dan lipid. Secara umum, insulin meningkatkan penyerapan glukosa menjadi sel hati,
otot, dan adiposa serta stimulasi glikogen, trigliserida, dan sintesis protein. Sekresi insulin
dirangsang oleh peningkatan kadar glukosa darah dan oleh aksi hormon yang berlawanan
dengan pengaturan termasuk hormon pertumbuhan. Agar glukosa, fruktosa, atau galaktosa
dapat diserap ke dalam sel, diperlukan transportasi molekul — GLUT-1 hingga -5. GLUT-4
bergantung pada insulin, seperti dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Sebagian besar sel,
seperti enterosit dalam usus kecil, membutuhkan lebih dari satu jenis molekul transpor. Jenis
transporter yang tersedia di sel mencerminkan kebutuhan sel individu untuk bahan bakar.
Sebagian besar jaringan dalam tubuh bergantung pada insulin untuk transportasi glukosa dari
aliran darah ke sel yang akan digunakan untuk energi. Ada tiga pengecualian: sel-sel otak,
hati, dan otot yang bekerja mudah permeabel terhadap glukosa bahkan tanpa adanya insulin.
Transporter GLUT-4 (yang tidak tergantung) hadir dalam otot rangka dan jantung dan dalam
adiposit. Insulin memungkinkan translokasi GLUT-4 dari bagian dalam sel ke membran sel,
di mana ia mengangkut glukosa ke dalam sel.
Insulin dilepaskan dari sel beta pankreas setelah asupan makanan. Sejumlah nutrisi
dalam darah dapat merangsang pelepasannya. Namun, glukosa adalah yang paling penting.
Peran utama insulin adalah mengalihkan tubuh yang puasa ke tingkat penyerapan dalam
metabolisme. Insulin menurunkan stimulus hati melepas glukosa untuk energi, sehingga
energy diambil dari glikogen dan glukoneogenisis, dan menyiapkannya untuk mengambil
glukosa dan menyimpannya sebagai glikogen. Insulin juga merangsang hati untuk
mensintesis trigliserida dan mengemasnya dalam VLDL untuk transportasike adiposit untuk
menyimpannya sebagai lemak. Ini meningkatkan sintesis albumin dan protein lain oleh hati,
yang menghalangi jalur glukoneogenesis substrat asam amino. Diperkirakan sebanyak
setengah dari kemampuan insulin untuk mengurangi kadar glukosa postprandial disebabkan
oleh aksinya pada hati.

Gambar 2.7 Pensignalan Insulin


Akt (protein kinase B), eNOS (nitrat oksida sintase endotel), ET-1(endothelin-1),
GLUT4 (transporter glukosa 4), GSK (Glikogen sintase kinase), IRS (substrat reseptor
insulin), MAPK (Mitogen Activated Protein Kinase), mTOR (mamalia target … rapamycin),
PI3K (phosphatidylinositol 3′-kinase), PMN (neutrofil polimorfonuklear) dan ROS (Reactive
Oxygen Species).
PI3K – Akt – eNOS – yang diinisiasi insulin memiliki fungsi penting dalam fungsi
endotel, perlindungan system kardiovaskular, memicu sitokin anti inflamasi dengan
menghambat sitokin pro-inflamasi, serta melindungi dari stress osidatif. Insulin berikatan
dengan reseptor insulin di membran sel, mengaktifkan dua jalur pensinyalan: Ras-MAPK,
yang menghasilkan proliferasi sel; dan PI3K – Akt – eNOS, yang menghasilkan perlindungan
kardiovaskular, kelompok tersebut juga merupakan tautan khusus antara insulin dan sistem
kardiovaskular berkaitan dengan kesehatan dan patologi. Molekul aktif-akt (seperti GSK-3b,
mTOR dan p70S6 kinase), stimulus untuk perlindungan kardiovaskular, termasuk
vasodilatasi, anti-apoptosis, anti-inflamasi, dan stres anti-oksidatif / nitrative.
Aktivasi jalur PI3K pada endotel mengaktivasi eNOS yang akan menghasilkan NO
sebagai vasodilator serta mengaktivasi guanylate cyclase untuk meningkatkan kadar cGMP
yang memicu relaksasi otot polos vaskuler. Nitric Oxide (NO) berperan terhadap regulasi dan
pemeliharaan tekanan pembuluh darah. NO akan memicu terjadinya relaksasi otot polos
vaskular. Sedangkan, aktivasi jalur MAPK akan meningkatkan produksi endotelin-1 (ET-1)
suatu vasokonstriktor, aktivasi pompa kation serta peningkatan ekspresi VCAM-1 (vascular
cell adhesion molecule), ekspresi molekul adhesi sel vaskular, dan stimulus mitogenik pada
sel otot polos pembuluh darah (Yu, 2011 dan Huang PL, 2009).

B. Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan gangguan respon metabolik terhadap kerja insulin, atau
kondisi dimana konsentrasi insulin yang normal tidak cukup menghasilkan respon insulin
normal dalam jaringan perifer seperti adiposa, otot, dan hati (King, 2016). Akibatnya untuk
kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak dari normal untuk
mempertahankan keadaan normoglikemik (euglikemik). Resistensi insulin terjadi di
postreseptor sel target dijaringan otot rangka dan sel hati. Kerusakan reseptor ini
menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi insulin oleh sel beta untuk mengatasi
hiperglikemia, sehingga terjadi hiperinsulinemia pada keadaan puasa maupun postprandial
(King, 2016). Resistensi insulin bermanifestasi klinis sebagai gejala dari sindrom metabolik.
Resistensi insulin pada jaringan menyebabkan hiperglikemia atau Diabetes Melitus Tipe 2
(King, 2016).

Gambar 2.8 Mekanisme resistensi insulin (King, 2016)


Resistensi insulin selektif pada vaskular endotelial. Resistensi insulin terjadi ketika
adanya angiotensin II, peningkatan FFA dan kadar glukosa, serta sitokin proinflamasi yang
disebabkan oleh obesitas dan diabetes. Resistensi insulin menstimulasi isoform PKC dan
kinase stres lainnya untuk memfosforilasi IRS1/2 dan hanya menghambat jalur IRS / PI3K /
Akt, lalu terjadi penurunan signaling PI3K. Stimulasi terus menerus pada jalur MAPK
menyebabkan proliferasi pada sel otot halus vaskular, menstimulasi sitokin proinflamasi
yang berkontribusi terhadap percepatan aterosklerosis. Sedangkan, pada jalur PI3K-Akt
terjadi penghambatan pada insulin reseptor dan penghambatan jalur PI3K-Akt karena IL-6,
TNF α, yang menyebabkan pengurangan produksi NO di endotel. Penurunan NO dapat
terjadi akibat adanya penurunan aktivitas enzim Nitric Oxide Synthase (NOS) Penurunan
aktivitas eNOS menyebabkan vasokonstriksi, lalu disfungsi endotelium dan hipertensi,
inflamasi, dan hypercoagulability (penggumpalan darah) (King, 2016, Huang PL, 2009).
Disfungsi endothelium inilah yang akan berkembang menjadi penyakit kardiovaskular,
perkembangan penyakit dari Sindrom Metabolik atau MetS.

Gambar 2.9 Keterkaitan sindrom metabolik dan aksi insulin (Satish Mittal,
2008)
2.3.3 Hipertensi
Beberapa hasil penelitian menujukkan sekitar 50% pasien dengan hipertensi esensial
resisten terhadap insulin. Hipertensi terkait erat dengan obesitas dan resistansi insulin.
Obesitas pada jaringan adipose meningkatkan kadar leptin yang menstimulasi aktivasi sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS). Sedangkan insulin sebagai respons terhadap keadaan
obesitas merangsang sistem saraf simpatis (SNS) untuk mendorong termogenesis dan
meminimalkan penambahan berat badan. Peningkatan aktivitas SNS yang distimulasi insulin
dan RAAS yang distimulasi leptin menstimulasi penyerapan natrium (Na+) ginjal yang
mengarah ke vasodilatasi ginjal dan ekspansi volume cairan plasma. Selain menstimulasi
SNS, insulin juga menyebabkan peningkatan regulasi reseptor tipe I yaitu angiotensin II
dengan mekanisme setelah transkripsi yaitu stabilisasi reseptor mRNA. Peningkatan reseptor
angiotensin II memicu vasokonstriksi perifer dan ekspansi volume plasma. Meningkatnya
volume cairan plasma menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
(Giuseppe Mulè, et al. 2014)

Gambar 2.10 Patogenesis hipertensi di sindrom metabolik (Duvnjak, 2008)

2.3.4 Dislipidemia
Dislipidemia aterogenik merupakan empat kelainan lipoprotein yang ditandai dengan
(1) peningkatan apolipoprotein (apo B) serum, (2) kadar lipoprotein densitas sangat rendah
(VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) tinggi. (3) Kadar Trigliserida tinggi, (4) kadar
lipoprotein densitas tinggi (HDL) rendah. Dislipidemia aterogenik yang disertai dengan
tingginya tekanan darah dan glukosa menyebabkan stimulasi protrombotik dan pro-inflamasi
yang berakibat pada perkembangan penyakit kardiovaskular akut. Pada orang obesitas
mengalami peningkatan akumulasi lemak intra-abdominal, ditunjukkan oleh lingkar pinggang
yang besar, memiliki peran langsung dalam perkembangan sindrom metabolik. Massa lemak
intra-abdominal tinggi meningkatkan proses lipolysis yaitu melepaskan sejumlah besar asam
lemak bebas (FFA) dalam darah dan organ tubuh lainnya melalui system portal ke hati yang
dapat mengganggu fungsi pembersihan insulin hepatik.
Dislipidemia aterogenik dalam beberapa cara (Klop, 2013). Pertama, FFA menekan
lipolisis pada sel adipose menyebabkan meningkatnya fluks asam lemak bebas (FFA) ke liver
yang meningkatkan produksi kolesterol VLDL. Dalam kondisi normal, insulin menghambat
sekresi VLDL ke sirkulasi sistemik. Namun bila terjadi resistensi insulin, fluks FFA ke hati
meningkat, kemudian trigliserida hati tinggi disebut hipertrigliseridemia. Hipertrigliseridemia
adalah refleksi dari kondisi resisten insulin yang merupakan salah satu kriteria paling penting
untuk diagnosis Sindrom metabolik. Kedua, insulin secara normal menguraikan apoB melalui
jalur bebas PI3K, sehingga resistensi insulin secara langsung meningkatkan produksi VLDL.
Ketiga, insulin meregulasi aktivitas dari lipoprotein lipase, yang membatasi dan berperan
sebagai mediator pengurangan VLDL (Klop, 2013).

Gambar 2.11 Dislipidemia pada Obesitas (Klop, 2013).


(Catatan: warna kuning yang intens mewakili kolesterol, sedangkan warna kuning muda
mewakili kandungan TG dalam lipoprotein yang berbeda. Obesitas yang disebabkan
peningkatan proses metabolisme ditandai dengan panah hijau, sedangkan pengurangan
ditandai dengan panah merah).

2.3.5 Patofisiologi Obesitas dan Resistensi Insulin dalam MetS

Gambar 2.12 Mekanisme Obesitas Menyebabkan Resistensi Insulin

Obesitas menyebabkan ekspansi adiposa akibatnya jaringan adipose mengalami


hipertrofik (peningkatan ukuran adiposit), kemudian hipertrofik merekrut sel-sel baru yang
memicu hyperplasia (diferensiasi atau adipogenesis) dari adiposit yang sudah ada
sebelumnya, hipoksia (kurangnya suplai darah ke jaringan adiposit), meningkatkan produk
Ceramide dan tekanan pada sel. Hipertrofik tersebut memicu aktivasi sitokin pro-inflamasi
(Makrofag M1, sel mast, dan sel β meningkat, sedangkan sel Treg menurun), angiogenesis
(pembentukan sistem pembuluh darah baru) menurun sehingga menyebabkan meningkatnya
fibrosis (pembentukkan jaringan parut di adiposit) yang mengakibatkan nekrosis. Adiposit
hipertrofik aktif dengan peran makrofag M1 (pro-inflamasi) menyebabkan
ketidakseimbangan adipokin (Adiponektin, Sfrp5, dan adipsin menurun, sedangkan leptin,
resistin dan Rbp4 meningkat). Adipokin yang tidak seimbang mengeluarkan sitokin pro-
inflamasi level tinggi, seperti chemoattractants seperti MCP-1 (Monocyte Chemoattractant
Protein-1), TNF-α (Tumor Necrosis Factor-alpha) dan IL-6 (Interleukin-6) akibatnya terjadi
peradangan sistemik tigkat rendah. Ketidak seimbangan adipokin dan terekrutnya sitokin pro-
inflamasi memicu resistansi leptin, mengurangi respons metabolik sentral akibatnya respon
simpatik terganggu. Respon simpatik terganggu menyebabkan meningkatnya lipolisis
sehingga kadar FFA meningkat. FFA dengan metabolit dari proses re-esterifikasi FFA,
termasuk asil-Coa rantai panjang dan DAG (diasilgliserol), terakumulasi. Kelebihan FFA
berpartisipasi dalam relokasi beberapa protein Kinase tipe C (PKC). PKC inilah yang
berhubungan dengan membran akan memforforilasi bagian intraseluler dari reseptor insulin
yang akan menyebabkan penurunan interaksi reseptor insulin (IRS 1 dan IRS 2).
Protein kinase C, biasanya disingkat PKC adalah enzim protein kinase yang terlibat
dalam mengendalikan fungsi protein lain melalui fosforilasi gugus hidroksil dari serin dan
residu asam amino treonin pada protein ini. Enzim PKC pada gilirannya diaktifkan oleh
sinyal seperti peningkatan konsentrasi diasilgliserol (DAG) atau ion kalsium (Ca2 +). PKC
adalah enzim untuk mengaktifkan substrat asam amino membentuk aktin atau Protein Kinase
B. Protein Kinase B (PKB, Akt) adalah protein kinase yang menyebabkan inaktivasi glikogen
sintase kinase-3. Akt diaktivasi melalui lintasan receptor tyrosine kinase, seperti insulin dan
merupakan substrat utama bagi PI3K (Michael, 2017). Terjadinya kerusakan pensinyalan
pada Insulin reseptor substrate (IRS) maupun Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K), yang
menyebabkan gagalnya translokasi suatu molekul transmembran GLUT-4 ke membran sel
sehingga terjadi hambatan pengambilan glukosa ke dalam sel, dan aktivasi berikutnya
(Michael, 2017).
Gambar 2.13 Resistensi insulin dan peningkatan respon inflamasi yang diinduksi oleh
asam lemak (FFA’s) di sel otot rangka, jaringan adiposa, dan di hati (Michael, 2017).

Regulasi yang diinduksi FFA pada jalur sinyal insulin juga menghasilkan aktivasi
beberapa kinase yang terlibat dalam respon stress seperti Jun N-terminal kinase (JNK),
inhibitor of nuclear factor kappa B kinase beta (IKKβ), dan suppressors of cytokine
signaling-3 (SOCS-3). Aktivitas JNK merupakan pengatur penting resistansi insulin. Target
tindakan JNK adalah Ser307 IRS-1 dan fosforilasi ini memainkan peran penting dalam
perkembangan menjadi resistansi insulin hati. Aktivasi IKKβ (yang diperlukan untuk aktivasi
faktor nuklir kappa B, NFkB) mungkin memiliki efek yang paling jelas pada respon inflamasi
di hati dan jaringan adiposa. NFkB adalah faktor transkripsi paling penting yang mengaktivasi
ekspresi banyak gen-gen sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin 6 (IL-
6), dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), leptin, adiponectin, MCP-1 (Monocyte
Chemoattractant Protein-1), PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1), yang
bertanggungjawab pada kondisi inflamatorik subakut, masing-masing telah terbukti terlibat
dalam mempromosikan IR. Mediator inflamasi NFκB-dependent yang diproduksi dalam
hepatosit bertindak untuk mengurangi sensitivitas insulin dan untuk mempromosikan
kerusakan hati (Michael, 2017).
Kemampuan seramide untuk mengganggu pensinyalan reseptor insulin adalah hasil
pemblokiran kemampuan reseptor untuk mengaktifkan kinase efektor hilir, PKB/AKT
(Aktin). Percobaan dalam kultur sel, melibatkan baik adiposit dan sel otot rangka, telah
menunjukkan bahwa ceramide menghambat ambilan glukosa yang dirangsang insulin dengan
memblokir translokasi GLUT4 ke membran plasma serta mengganggu sintesis glikogen.
Aktivitas seramida telah ditunjukkan pada semua jenis sel yang diuji dalam memblokir
aktivasi PKB/AKT (Michael, 2017).
Asupan lemak berlebih terutama asam lemak jenuh, mengarah kepada stress
mitokondria dan retikulum endoplasma (RE). Mitokondria juga sebenarnya sudah
menghasilkan ROS. Namun, peningkatan oksidasi lemak di mitokondria mengarah pada
penambahan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) pada siklus asam sitrat. Tekanan
mitokondria dan RE dapat menyebabkan apopotosis. Jika Ros diproduksi berlebihan akan
menurunkan aktivitas sel β pankreas, dan sel yang lainnya, pada saat yang bersamaan
hiperglikemia akan menginduksi signal ROS yang akan menstimulasi sekresi insulin atau
glucosa induced insulin secretion (GIIS). Status inflamasi sistemik yang meningkat serta
stress selular dikaitkan dengan resistensi insulin (Michael, 2017).

2.3.6 Hubungan Obesitas yang menyebabkan Hipertensi

Gambar 2.14 Hubungan obesitas dengan hipertensi (Rocchini, dkk, 2004).

Tiga faktor sangat penting dalam meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal,


mengganggu tekanan natriuresis, dan menyebabkan kenaikan tekanan darah saat penambahan
berat: 1) meningkatkan aktivitas SNS, 2) aktivasi RAAS, dan 3) kompresi fisik ginjal dengan
lemak akumulasi di dalam dan di sekitar ginjal dan oleh peningkatan tekanan perut karena
akumulasi kelebihan lemak visceral. Aktivitas SNS dan kompresi fisik ginjal keduanya
menyebabkan aktivasi RAAS, dan blokade farmakologi baik RAAS atau SNS melemahkan
hipertensi yang diinduksi obesitas setidaknya 50-60% (Rocchini, dkk, 2004).
Asupan berkalori tinggi meningkatkan turnover norepinefrin dalam jaringan perifer,
meningkatkan konsentrasi norepinefrin plasma saat istirahat (pengukuran tidak langsung dari
aktivitas SNS) dan menguatkan peningkatan norepineprin plasma sebagai respons terhadap
stimulus. (Rocchini, dkk, 2004).

A. SNS (Sympathetic Nervous System) Sistem Saraf Simpatik Neuro dengan


hipertensi.
Hipertensi terkait obesitas menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatik
ginjal dan peningkatan yang menyertainya dalam reabsorpsi natrium ginjal merupakan faktor
kunci dalam kejadian hipertensi. Peningkatan tekanan darah pada diet tinggi garam secara
langsung terkait dengan tubulo-interstitial fibrosis dan penurunan laju filtrasi glomerulus,
yang menimbulkan hipertensi yang diinduksi katekolamin (catecholamine-induced
hypertension) yang menyebabkan cedera interstisial ginjal dan phenotype sensitif garam yang
terus menerus walaupun tidak ada aktivitas simpatik yang berlebihan. Selain itu, peningkatan
aktivitas SNS menghasilkan α-1 adrenergic reseptor-mediated disfungsi endotel,
vasokonstriksi, proliferasi otot polos pembuluh darah dan peningkatan kekakuan arteri, yang
berkontribusi pada pengembangan dan pemeliharaan hipertensi (Fujita, 2014).

Gambar 2.15 Sistem Saraf Simpatik dengan hipertensi (Fujita, 2014).


B. Renin–angiotensin–aldosterone system (RAAS)
Obesitas visceral memicu aktivitas RAAS. RAAS memiliki peran yang besar terhadap
tekanan darah, mediasi retensi natrium, pressure natriuresis (yaitu, mekanisme dimana
peningkatan perfunsi ginjal(gradien antara arteri ginjal dan vena) yang menyebaban
penurunan reabsorbsi natrium dan peningkatan eksresi natrium), sensitivitas garam,
vasokonstriksi, disfungsi endotel dan cedera vaskular selain itu jaga berperan penting dalam
patogenesis hipertensi. RAAS ada pada sel di banyak organ, tapi peran yang paling penting
adalah untuk membantu mengatur homeostatis tekanan volume di ginjal (Hall, M dan Hall, J,
2018).

Gambar 2.16 Renin–angiotensin–aldosterone system (Fujita, 2014).

Renin dan prekursornya disintesis dan disimpan di sel juxtaglomerular dalam ginjal
dan dilepaskan sebagai respon terhadap rangsangan (Gambar). Fungsi utama renin adalah
untuk memecah angiostenstinogen untuk membentuk angiostensin I. Angiostensin-
Converting-Enzime (ACE) memecah angiostenin I untuk membentuk angiostensin II, yang
merupakan pusat dari peran patogenetik RAAS dalam hipertensi. Angiotensin II juga
berhubungan dengan disfungsi endotel dan memiliki efek profibrotic dan proinflamasi,
dimediasi sebagian besar oleh peningkatan stres oksidatif, mengakibatkan cedera ginjal,
jantung dan vaskular. Angiotensin II terkait erat dengan kerusakan target-organ pada
hipertensi via mekanisme ini (Hall, M dan Hall, J, 2018). ACE2 sebagai modulator penting
dalam patofisiologi hipertensi, CVD dan penyakit ginjal, karena perannya dalam
memetabolisme angiotensin II menjadi angiotensin (1-7). Angiotensin (1–7) menginduksi
vasodilatasi sistemik dan regional, miosit jantung dan fibroblast serta pada sel tubular
glomerulus dan proksimal (Varagic, dkk, 2014)

Gambar 2.17 Renin–angiotensin–aldosterone system


Angiotensin II mengaktifkan reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1), memicu kontraksi
sel otot polos, vasokonstriksi sistemik, peningkatan resistensi renovaskular dan penurunan
aliran darah meduler ginjal, mediator sensitivitas garam. Stimulasi AT2 memiliki efek
berlawanan, menghasilkan vasodilatasi, natriuresis dan tindakan antiproliferatif. Angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor dan antagonis AT1 telah terbukti meningkatkan kadar
angiotensin (1-7) dalam plasma dan urine hewan normotensif dan untuk meningkatkan
aktivitas ACE2 ginjal (Varagic, dkk, 2014). Studi pada hewan pengerat dan manusia dengan
penyakit ginjal diabetes menunjukkan bahwa peningkatan regulasi ACE2 menunda
perkembangan penyakit ginjal (Reich, dkk, 2008).
2.3.7 Hubungan Resistensi Insulin dengan Hipertensi

Gambar 2.18 Pengaruh insulin pada pengangkut garam di tubulus proksimal, TALH,
tubulus distal, dan duktus pengumpul (Soleimani, 2015).

Resistensi insulin dan hipertensi adalah komponen sindrom metabolik dan sering
terjadi bersamaan (Zhou, dkk, 2012). Studi klinis menunjukkan bahwa sekitar 50% dari
individu hipertensi memiliki hiperinsulinemia atau intoleransi glukosa, sedangkan hingga
80% pasien dengan diabetes tipe 2 mengalami hipertensi (Zhou,dkk 2012 dan Lastra, dkk,
2010). Efek metaboliknya, insulin menginduksi vasorelaksasi dengan merangsang produksi
nitrat oksida (NO) di endotelium (Scherrer, dkk, 1994) dan mengatur homeostasis natrium
dengan meningkatkan reabsorpsi natrium di ginjal (Horita, dkk, 2011); dengan demikian,
berkontribusi pada pengaturan tekanan darah. Studi terbaru menunjukkan bahwa resistensi
insulin dapat berkembang tidak hanya pada jaringan responsif insulin klasik, tetapi juga pada
jaringan kardiovaskular di mana insulin berpartisipasi dalam perkembangan penyakit
kardiovaskular dan hipertensi (Horita, dkk, 2011).
Nakamura dkk (2015) menunjukkan pada hewan pengerat dan manusia dengan
resistensi insulin bahwa efek stimulasi insulin pada serapan glukosa dalam adiposit,
dimediasi melalui substrat reseptor insulin 1 (IRS1) sangat berkurang. Hal ini berefek pada
reabsorpsi garam di tubulus proksimal ginjal dimediasi melalui IRS2, dipertahankan.
Hiperinsulinemia kompensatori pada individu dengan resistensi insulin dapat meningkatkan
penyerapan garam di tubulus proksimal, mengakibatkan keadaan kelebihan garam dan
hipertensi.
Hiperinsulinemia dapat dilihat sebagai salah satu penyebab dalam terjadinya hipertensi
melalui beberapa mekanisme. Ini termasuk peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus ginjal,
aktivasi sistem saraf simpatetik, dan perubahan resistensi vaskular meskipun peningkatan
konsentrasi kalsium dalam sel otot polos (Landsber, dkk, 2013).
Kemampuan tubulus ginjal untuk mengatur reabsorpsi natrium sangat penting untuk
menjaga volume vaskular dan tekanan darah sistemik. Insulin bekerja pada beberapa segmen
nefron untuk menstimulasi reabsorpsi garam. Dalam tubulus proksimal, insulin dikenal untuk
menstimulasi Na+/H+ exchanger tipe 3 (NHE3) pada membran apikal, dan sodium-
bicarbonate cotransporter (NBCe1) pada membran basolateral untuk meningkatkan
reabsorpsi natrium dan bikarbonat. Efek stimulasi insulin pada NHE3 dimediasi melalui Akt,
karena jalur ini diketahui memainkan peran penting dalam translokasi PI3K-mediasi NHE3
ke dalam membran apikal sel proksimal tubular. Insulin juga menstimulasi Na-K-ATPase,
berkontribusi terhadap peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal (Landsber, dkk,
2013). Singkatnya, insulin mengaktifkan mesin natrium-menyerap di tubulus proksimal.
Insulin meningkatkan reabsorpsi garam di ascending limb of Henle (TALH) dan
nefron distal. Dalam TALH, insulin secara langsung merangsang reabsorpsi NaCl, melalui
aktivasi cotransporter Na-K-2Cl (NKCC2) dan Na-K-ATPase (Horita, dkk, 2011). Di nefron
distal dan tubulus penghubung, insulin mengaktifkan saluran natrium epitel (epithelial
sodium channel (ENaC)), melalui peningkatan densitas saluran ENaC pada membrane. Pada
tubulus proksimal dan TALH, insulin mengaktifkan Na-K-ATPase di nefron distal. Data
terbaru menunjukkan efek stimulasi insulin pada with-no-lysine (WNK) kinase, menunjukkan
peningkatan reabsorpsi natrium di nefron distal melalui natrium-klorida cotransporter NCC
(Landsber, dkk, 2013). Hiperinsulinemia tanpa adanya resistensi insulin, seperti yang diamati
pada pasien dengan insulinoma, tidak terkait dengan hipertensi. Namun, hiperinsulinemia
yang ada dalam pada orang diabetes mellitus tipe 2, obesitas, atau sindrom metabolik dapat
menyebabkan hipertensi.

2.3.8 Hubungan Obesitas dengan Dislipidemia


Ciri khas dislipidemia pada obesitas adalah hipertrigliseridemia, sebagian karena
peningkatan aliran asam lemak bebas (FFA) ke hati, yang mengarah ke akumulasi trigliserida
(TG) hati. Hal ini mengarah pada sintesis hati yang meningkat dari very low density
lipoproteins (VLDL) 1, yang menghambat lipolisis kilomikron karena persaingan terutama
pada tingkat lipoprotein lipase (LPL) dengan peningkatan sisa TG yang diangkut ke hati.
Lipolisis lebih lanjut terganggu pada obesitas dengan mengurangi tingkat ekspresi mRNA
dari LPL di jaringan adiposa dan mengurangi aktivitas LPL di otot rangka.
Hipertrigliseridemia lebih lanjut menginduksi peningkatan pertukaran cholesterolesters (CE)
dan TG antara VLDL dan HDL dan low density lipoproteins (LDL) oleh cholesterylester-
transfer-protein (CETP). Ini mengarah pada penurunan konsentrasi HDL-C dan pengurangan
konten TG dalam LDL. Selain itu, lipase hati (HL) menghilangkan TG dan fosfolipid dari
LDL untuk pembentukan akhir dari TG-depleted small dense LDL (Klop, 2013).

2.3.9 Hubungan Resistensi Insulin dengan Dislipidemia


Resistensi insulin juga menyebabkan dislipidemia, insulin secara normal menguraikan
apoB melalui jalur bebas PI3K, sehingga resistensi insulin secara langsung meningkatkan
produksi VLDL.

Gambar 2.19 Kaitan resisten insulin dengan sekresi ApoB (Haas, 2013).

Dalam keadaan normal, insulin reseptor mengaktivasi PI3K yang mengaktivasi Akt.
Akt mengaktivasi mTORC1 yang menstimulasi lipogenesis dan menghambat ApoB. Namun,
dalam keadaan reseptor resistensi insulin tidak bisa menerima insulin sehingga tidak bisa
mengaktivasi PI3K dan tidak bisa mengaktivasi Akt, sehingga terbentuk FoxO1 yang
akhirnya mengaktivasi MTTP dan ApoCIII dan akan mensekresi ApoB. Apo B merupakan
suatu parameter yang sangat menentukan terjadinya suatu endapan lemak, bila LDl
Kolesterol rendah dan Apo B tinggi maka akan terjadi endapak lemak ( aterosklerosis). Rasio
LDL-C Apo B dikenal sebagai small dense LDl (sd LDL). Oleh sebab itu WHO menetapkan
Apo-B sangat berperan pada resiko dini penyakit Jantung dan Pembuluh darah. Apo B-100
(disebut juga Apolipoprotein B/Apo B) merupakan protein yang terlibat dalam metabolisme
lipid dan merupakan unsur protein utama dari lipoprotein seperti LDL (very Low Density
Lipoprotein) dan LDl (Low Density Lipoprotein) (Haas, 2013).

Gambar 2.20 Kaitan resistensi insulin dengan VLDL (Haas, 2013).

Singkatan: FoxO1 (Forkhead box protein O1), MTTP (Microsomal Triglyceride Transfer
Protein), SREBP-1 (Sterol regulatory element-binding protein 1).

Insulin yang gagal menekan lipolisis di jaringan adipose dan FoxO1 (faktor
transkripsi yang ditandai oleh domain forkhead yang berbeda) di liver, teteapi tetap
mengaktivkan mTORC1. Pendorongan FoxO1 mengarah pada kenaikan MTTP dan ApocIII
yang mengsekresi ApoB. Dalam waktu yang sama mTORC1 pada liver mengaktivasi
SREBP-1c dan meningkatkan lipogenesis bersamaan dengan penekanan sortilin. Tugas
sortilin adalah menahan degradasi ApoB. Maka, penekanan atau penghambatan sortilin
menenkan sekrsi ApoB. Peningkatan lipolisis dibarengi dengan kenaikan FFA di liver akan
memperbesar pool TG. TG yang binding dengan ApoB akan menjadi lipid-rich VLDL (Haas,
2013).
2.3.10 Keterkaitan Obesitas, Hipertensi dan Resistensi Insulin Terhadap Sindrom
Metabolik

A. Mekanisme Obesitas dan Resistansi Insulin dengan CRP


Tingkat CRP terbukti sangat terkait dengan resistensi insulin, tekanan darah, HDL
rendah, trigliserida, dan ke tingkat sitokin proinflamasi, IL-6 dan tumor necrosis factor
(TNF). Indeks massa tubuh dan resistensi insulin adalah faktor utama inflamasi. Studi
Resistansi Insulin dan Aterosklerosis (IRAS) menunjukkan bahwa hsCRP (CRP sensitivitas
tinggi) berkorelasi positif dengan BMI, lingkar pinggang, tekanan darah, trigliserida,
kolesterol, kolesterol LDL, glukosa plasma, dan insulin puasa, dan berkorelasi terbalik
dengan kolesterol HDL dan sensitivitas insulin. Asosiasi terkuat diamati antara kadar CRP,
adipositas sentral, dan resistensi insulin. Pasien dengan MetS yang didefinisikan
menggunakan kriteria ATPIII memiliki peningkatan kadar penanda peradangan seperti CRP,
fibrinogen serta jumlah leukosit. Kadar CRP setara dengan rasio adiponektin. Sugiura et al
juga melaporkan bahwa leptin (positif) dan adiponektin (negatif) terkait dengan
CRP. Adiponektin menurunkan sintesis dan sekresi CRP, sedangkan leptin meningkatkan
sekresi CRP. MetS merupakan keadaan proinflamasi yang ditandai dengan peningkatan kadar
CRP.
Selain IMT terdapat hubungan faktor gen dengan kadar CRP. Sebuah studi asosiasi
wide-genom telah dilakukan di antara 6345 wanita yang tampaknya sehat 336.108
polimorfisme nukleotida tunggal (SNPs) dievaluasi sebagai penentu potensial konsentrasi
CRP di plasma. Secara keseluruhan, tujuh lokus yang berasosiasi dengan CRP plasma pada
level yang mencapai signifikansi statistik luas genome ditemukan. Dua dari lokus ini
regulator glukokinase hexokinase 4 (GCKR) dan faktor nuklir hati 1 homeobox A (HNF1A)]
berhubungan dengan onset diabetes pada usia muda, satu dia antaranya di daerah gen pada
12q23.2 , dan empat lokus yang tersisa berada di dekat gen protein reseptor leptin, gen
apolipoprotein E, gen protein reseptor IL-6, atau gen CRP itu sendiri. Produk protein dari
enam lokus ini secara langsung terlibat dalam MetS, resistensi insulin, fungsi sel β,
homeostasis berat badan, dan / atau atherothrombosis prematur. Variasi beberapa gen yang
terlibat dalam regulasi metabolik dan inflamasi memiliki efek signifikan pada tingkat CRP,
dengan identifikasi CRP sebagai biomarker risiko yang berguna untuk kejadian penyakit
pembuluh darah dan diabetes. Pasien dengan MetS, peningkatan CRP memberikan risiko
lebih besar pada gangguan endothelial kardiovaskular melalui mekanisme perusakan pada
sel-sel vaskular seperti aktivasi monosit dan induksi disfungsi sel endotel.
CRP dapat mengganggu pensinyalan insulin yang menunjukkan bahwa CRP
rekombinan melemahkan pensinyalan insulin melalui regulasi Spleen tyrosine Kynase (Syk)
pada βA protein-G, jun N-terminal kinase (JNK), mitogen-activated protein kinase (MAPK),
insulin receptor substrate-1 ( IRS-1), dan endothelial nitric oxide synthase (eNOS) atau nitrit
oksida sintase endotel dalam sel endotel vaskular. Rekombinan CRP menekan produksi
oksida nitrat yang diinduksi insulin, menghambat fosforilasi Akt dan eNOS, dan
menstimulasi fosforilasi IRS-1. Efek human recombinant CRP (hrCRP) pada pensinyalan
insulin terlibat dalam transpor glukosa dalam miotube L6. hrCRP dapat menyebabkan
resistensi insulin dengan meningkatkan fosforilasi IRS-1 di Ser307 dan Ser612 melalui JNK
dan kinase yang diatur sinyal ekstraseluler menyebabkan gangguan pada pengambilan
insulin, pengangkut glukosa 4 (GLUT4) translokasi, dan sintesis glikogen yang dimediasi
oleh jalur IRS-1 / phosphoinositide-3 (PI-3K) / Akt / glikogen synthase kinase 3 (GSK-3).

Kadar CRP ini dikaitkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Tingkat produksi CRP yang mencerminkan kadar CRP plasma terbukti secara signifikan
berkorelasi dengan fitur MetS seperti lingkar pinggang, trigliserida tinggi, HDL rendah, dan
juga untuk biomarker peradangan dan biologi jaringan adiposa seperti IL-6 tinggi dan
adiponektin rendah. CRP juga disintesis dalam jaringan adipose dan dapat hadir dalam
jumlah berlebihan pada pasien dengan obesitas perut, yang pada akhirnya menghasilkan
resistensi insulin dan diabetes.

B.Mekanisme Resistensi Insulin dan Hipertensi oleh CRP (Protein C-reaktif)

CRP memberikan efek proatherogenik pada sel-sel vaskular seperti sel endotel, sel
otot polos, dan makrofag monosit. CRP dalam sindrom metabolic terkait dengan disfungsi
endotel, perannya dalam monosit-makrofag inflamasi. Disfungsi endotel memainkan peran
penting dalam inisiasi dan perkembangan penyakit vaskular aterosklerotik dan resistansi
insulin. Dalam penelitian, individu dengan MetS juga mengalami disfungsi endotel dengan
penurunan vasodilatasi endothelium. Kadar CRP berkorelasi terbalik dengan vasoreaktivitas
endotel. CRP manusia mengurangi basal dan merangsang pelepasan nitrit oksida dari sel
endotel arteri dan vena. Penghambatan eNOS yang dimediasi oleh CRP dengan peningkatan
aktivasi NADPH oksidase dan penurunan guanosin trifosfat cyclohydrolase 1 (GTPCH1)
(HAECs) in vitro [HAECs] in vitro kemudian merusak vasoreaktivitas endotel. Peningkatan
CRP dikaitkan dengan tekanan arteri sistolik. CRP menghambat prostacyclin synthase yang
mengakibatkan penurunan prostacyclin, vasodilator yang kuat. CRP dengan menginduksi
disfungsi endotel, dapat menyebabkan pasien dengan MetS mengalami risiko untuk
hipertensi. Pasien dengan MetS mengalami prokoagulan dengan peningkatan plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan mengurangi aktivator plasminogen jaringan (tPA) dalam sel
endotel. CRP menginduksi antigen dan aktivitas PAI-1 melalui peningkatan regulasi faktor
nuklir kappa-light-enhancer aktivitas sel B teraktifasi (NF-κB).
Efek proinflamasi CRP dalam monosit-makrofag termasuk induksi faktor jaringan,
sitokin proinflamasi, reseptor chemokine 2 (CCR2), rilis matrix metalloproteinases (MMPs),
pengambilan CDP, ekspresi CD11b, dan menyerap LDL teroksidasi. Pro-inflamasi oleg CRP
juga dilakukan dengan pelepasan IL-10 yang diinduksi oleh efluks kolesterol dan
lipopolisakarida (LPS). Beberapa bukti eksperimental mendukung peran monocyte
chemotactic protein-1 (MCP-1) dalam atherogenesis, resistensi insulin, dan peradangan yang
dimediasi jaringan adiposa. CRP juga menginduksi MCP-1 dalam sel endotel dan
reseptornya, CCR2 pada monosit. Esposito et al telah melaporkan bahwa pada wanita
obesitas dan tidak obes yang tidak menderita MetS memiliki level IL-10 lebih rendah dari
wanita dengan MetS. Dalam hal ini, CRP menghambat pelepasan IL-10 yang diinduksi LPS
dari makrofag yang diturunkan sel monosit manusia.
Stres oksidatif, terutama superoksida, memainkan peran penting dalam patogenesis
parameter MetS. Stress oksidatif memainkan peran pada peningkatan aktivasi sel
mononuklear (MNC) pada individu dengan MetS dibandingkan dengan kelompok
kontrol. CRP menghasilkan peningkatan produksi superoksida sebagai hasil dari peningkatan
aktivitas NADPH oksidase dalam sel endotel serta dalam monosit darah perifer
manusia. Peningkatan LDL teroksidasi di dinding pembuluh dan sirkulasi telah ditunjukkan
pada pasien dengan sindrom koroner akut dan dikaitkan dengan disfungsi endotel dan
memprediksi penyakit kardiovaskular. Selain itu, pasien dengan MetS menunjukkan
peningkatan kadar LDL plasma teroksidasi, CRP memicu penyerapan LDL teroksidasi dan
akumulasi ester kolesterol.
Pasien dengan MetS berada dalam kondisi prokoagulan dimana CRP mendorong
aktivitas prokoagula melalui aktivasi ROS dan NF-κB. NF-κB adalah faktor transkripsi
penting yang terlibat dalam induksi gen proinflamasi spesifik. Studi dalam model hewan
telah menunjukkan pentingnya I-κ-B kinase b (IKKb) dalam patogenesis resistensi insulin
pada tikus pengidap obesitas dan diabetes. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan ikatan NF-
κB di dalam nukleus dan penurunan serta penghambatan κB di MNC, dengan peningkatan
mRNA untuk TNF, IL-6, inhibitor makrofag. faktor (MIF), dan MMP-9, konsisten dengan
keadaan proinflamasi. CRP menginduksi aktivitas NF-κB dalam makrofag tikus in vivo. CRP
adalah molekul efektor yang mampu menginduksi fenotip proatherogenik. Perubahan gaya
hidup terapeutik landasan terapi pada pasien dengan MetS. Penurunan berat badan dan
pembatasan kalori menurunkan kadar CRP dan beban inflamasi di MetS.

Gambar 2.21 Mekanisme Obesitas, Resistansi insulin, hipertensi, dan


dyslipidemia dengan Sindrom metaboli (MetS)

Mediator utama inervasi pada jaringan adipose putih (WAT) adalah SNS (SNS).
Youngstrom dan Bartness memberikan bukti ketika traktus neuron tunggal digunakan untuk
menunjukkan persarafan simpatis postganglionik secara dua arah, bersamaan dengan insulin,
SNS adalah mediator utama lipolisis pada jaringan adiposa.

1. Pada orang yang obesitas mengalami pengingkatan aktivitas SNS yang menyebabkan
tekanan darah tinggi atau hipertensi. Hipertensi menstimulasi otak menstimulasi TSH (Tyroid
Stimulating Hormone) untuk mengeluarkan hormone tiroid. Hormone tiroid yang meningkat
akan menyebabkan meningkatnya lipogenesis.

2. Resistansi insulin yang disebabkan akibat inflamasi terkait dengan menurunnya dan
meningkatnya hormone insulin, menyebabkan hormone insulin tidak stabil. Menurunnya
sinyal hormone insulin menstimulasi sekresi glucagon yang menstimulasi glukogenolisis
yang memecah glikogen. Glukogenolisis meningkat mengakibatkan intracellular pools of
glucose-β meningkat kemudian meningkatkan lipogenesis. Sedangkan pada ketidakstabilan
hormone insulin dengan meningkatnya sinyal pengeluaran insulin secara langsung
meningkatkan lipogenesis.

3. Obesitas berkaitan langsung dengan meningkakan hormone leptin dan menurunkan


adiponektin meningkatkan PIA-1 sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskular. Hipertrofi
pada sel lemak putih meningkatkan lipolysis yang mensekresi FFA, kemudian menyebabkan
abnormalitas fungsi mitokondria. Menurunnya fungsi mitokondria menyebabkan glikolisis
menurun dan intracellular pools of glucose-β meningkat kemudian meningkatkan lipogenesis

Hipertensi, resistansi insulin, dan obesitas berkaitan langsung dengan meningkatkan


lipogenesis dalam perkembangan sindrom metabolic. Lipogenesis yang meningkat
menyebabkan meningkat juga FFA. FFA tinggi menyebabkan trigliserida juga tinggi melalui
re-esterifikasi. Trigliserida kemudian diubah menjadi apoprotein, VLDL meningkat VLDL
yang meningkat mengakibatkan penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular merupakan
perkembangan dari sindrom metabolic.

2.4 Faktor Penyebab Sindrom Metabolik


Sejumlah studi asupan tinggi suatu zat gizi menjadi etiologi Sindrom Metabolik
karena mempengaruhi metabolisme seluruh tubuh melalui efek pada hormon, metabolisme
glukosa, dan jalur metabolisme lemak.

2.4.1. Asupan Tinggi Fruktosa


Fruktosa adalah gula sederhana yang memberikan rasa manis, terdapat pada makanan
alami seperti buah buahan, madu, sayuran dan biji-bijian. Sumber utama fruktosa adalah
sukrosa, yang merupakan derivat gula tebu dan gula bit. Fruktosa merupakan monosakarida,
terdiri atas 6 atom karbon (heksosa) yang merupakan isomer glukosa (C6H12O6) dan
mengandung gugus karbonil sebagai keton. Fruktosa dikonsumsi dalam bentuk sukrosa dan
jarang dalam bentuk bebas. Di dalam usus, sukrosa dihidrolisis oleh enzim sukrase menjadi
fruktosa dan glukosa. Setelah diabsorpsi oleh usus, fruktosa diangkut melalui vena porta
menuju hepar untuk dimetabolisme menjadi lipid.
Konsumsi fruktosa dalam jumlah sedikit mempunyai efek positif yaitu menurunkan
glukosa darah melalui peningkatan uptake glukosa oleh hepar, stimulasi enzim heksokinase
serta peningkatan konsentrasi insulin. Oleh karena itu, pada tahun 1986, HFCS digunakan
sebagai gula pemanis pada penderita diabetes. Pada awal observasi, pemanis tersebut
dianggap aman oleh Food and Drug Administration, akan tetapi hasil penelitian berikutnya
menunjukkan asupan fruktosa lebih dari 25% kebutuhan energi per hari (sekitar 85 g
fruktosa) menyebabkan hipertrigliseridemia dan resistensi insulin, sehingga HFCS tidak
digunakan lagi pada penderita diabetes. Fruktosa dan glukosa merupakan gula utama dalam
diet karbohidrat manusia. Fruktosa diabsorpsi oleh intestinum melalui mekanisme yang
berbeda dengan glukosa.

Gambar 2.22 Absorpsi Glukosa dan Fruktosa pada Sel Epitel Intetinal. (Herbert TJ,
20018)

Absorpsi glukosa dari lumen intestinal ke dalam sel epitel melalui SGLT1 yang
membutuhkan ion Na+, sedangkan absorpsi fruktosa melalui GLUT5 secara difusi.
Selanjutnya glukosa dan fruktosa di transpor oleh GLUT2 ke cairan ekstraseluler, dengan
energi yang disediakan oleh proses pompa Na+/K+
Gambar 2.23 Metabolisme Fruktosa Hepatik (Basciano H, 2005)

Penelitian terhadap hewan coba dan jangka pendek pada manusia menunjukkan
bahwa asupan tinggi fruktosa berkontribusi terhadap kegagalan toleransi glukosa, resistensi
insulin dan hiperinsulinemia. Fruktosa menginduksi resistensi insulin melalui dua mekanisme
yaitu melalui pembentukan asam urat dan DNL.1 Fruktosa mengalami fosforilasi oleh enzim
KHK yang menghabiskan ATP sehingga dibentuk asam urat menimbulkan efek sistemik
dengan menurunkan nitrik oksida (NO) sehingga terjadi vasokonstriksi dan penurunan
serapan glukosa oleh otot skeletal. Selain efek sistemik, asam urat juga menimbulkan efek
seluler terhadap sel adiposit melalui peningkatan stres oksidatif dan penurunan adinopektin
sehingga terjadi penurunan oksidasi lipid hepatik. Akibat efek sistemik dan efek seluler asam
urat tersebut memicu timbulnya resistensi insulin. Fruktosa juga menginduksi DNL dengan
menyediakan atom karbon (gliserol-3fosfat dan asil-KoA) yang diubah menjadi
monoasilgliserol dan diasilgliserol (DAG). Selanjutnya DAG diubah menjadi trigliserida dan
VLDL yang mengakibatkan resistensi insulin.
Gambar 2.24 Pembentukan Asam Urat dari Fruktosa (Nakagawa T, 2006)

Perubahan fruktosa menjadi fruktosa-1fosfat oleh enzim KHK, disertai perubahan ATP
menjadi ADP dan Pi. ADP diubah menjadi AMP kemudian menjadi IMP oleh enzim AMP
deaminase yang teraktivasi Pi, selanjutnya menjadi asam urat.

Gambar 2.25 Mekanisme Fruktosa Menginduksi Resistensi Insulin (Jhonshon RJ, 2009)

Fruktosa menginduksi resistensi insulin melalui pembentukan asam urat yang berefek
sistemik maupun efek seluler terhadap sel adiposit serta melalui de novo lipogenesis dengan
menyediakan atom karbon untuk pembentukan trigliserida, VLDL, aktivasi PKC.
Berbagai hasil penelitian mengenai efek HFCS dalam soft drink terhadap prevalensi
berbagai gejala sindrom metabolik antara lain sebagai berikut: penelitian antara tahun 1909
hingga 1997 di Amerika, peningkatan penggunaan HFCS dalam soft drink berkorelasi positif
dengan diabetes tipe II. Hasil penelitian lain menunjukkan terjadinya peningkatan obesitas
pada adolescent dan diabetes tipe II baik pada wanita usia muda maupun wanita paruh baya.
Sedangkan hasil survei oleh National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES-
III) di USA dari tahun 1988 hingga 1994 terhadap 14.761 partisipan usia di atas 20 tahun
yang mengonsumsi soft drink menunjukkan peningkatan asam urat.7,10 Hasil penelitian
pemberian fruktosa 17-20% diet (60-70 g fruktosa setiap hari) pada pria selama 4 minggu
menunjukkan peningkatan kadar trigliserida, sedangkan penelitian lain yang membandingkan
efek metabolik pemanis dalam minuman yang mengandung fruktosa dan glukosa (25% dari
kebutuhan energi per hari) selama 10 minggu pada pria dan wanita overweight maupun
obesitas usia 50-72 tahun. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian fruktosa memicu
timbulnya tiga gejala sindrom metabolik yaitu dislipidemia (peningkatan trigliserida, low
density lipoprotein /LDL dan kolesterol), resistensi insulin serta peningkatan lemak viseral.

Gambar 2.26 Efek Fruktosa terhadap Otak, Hepar, Pembuluh Darah, Ginjal dan Sel
Adiposit Memicu Timbulnya Berbagai Gejala Sindrom Metabolik.(Jhonshon RJ, 2009)

2.4.2 Asupan Tinggi Sukrosa

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai


malabsorbsi fruktosa masih rendah. Pada orang yang memiliki riwayat penyakit saluran
cerna, gangguan penyerapan fruktosa dapat menimbulkan gejala penyakit seperti penyakit
celiac dan radang usus. Sebaliknya, kelebihan konsumsi fruktosa diduga dapat meningkatkan
risiko seseorang terkena beberapa penyakit, yaitu obesitas, resistensi insulin, serta naiknya
tingkat kolesterol LDL, asam urat, dan trigliserida. Efek fruktosa juga dikaitkan dengan risiko
sindrom metabolik, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung. Jika dibandingkan dengan pemanis
lainnya, seperti sukrosa atau glukosa, fruktosa terbukti lebih berbahaya. Selain dapat
menyebabkan berbagai penyakit di atas, fruktosa juga mampu meningkatkan rasa lapar dan
keinginan untuk mengonsumsi makanan atau minuman manis

2.4.3 Asupan Tinggi Karbohidrat


Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi yang diperlukan oleh manusia yang
berfungsi untuk menghasilkan energi bagi tubuh manusia. Karbohidrat secara garis besar
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks.
Karbohidrat sederhana terdiri atas monosakarida, disakarida dan oligosakarida. Karbohidrat
kompleks terdiri atas polisakarida dan polisakarida non pati (serat).
Salah satu penyebab dari berkembangnya metabolik sindrom adalah konsumsi dari
diet tinggi karbohidrat dan diet tinggi lemak. Metabolik sindrom meningkatkan resiko dari
penyakit-penyakit seperti diabetes mellitus tipe 2, penyakit kardiovaskuler, dan berujung
pada kematian. Penelitian yang dilakukan pada hewan coba (tikus wistar jantan)
menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi karbohidrat (50% karbohidrat; 24% lemak) dan
diet tinggi lemak selama 8 atau 16 minggu menginduksi terjadinya obesitas, dislipidemia,
hipertensi, gangguan toleransi glukosa, dan disfungsi endotel.(Mira, et al. 2014)

2.4.4 Asupan Tinggi Lemak


Lemak adalah salah satu komponen makanan multifungsi yang sangat penting untuk
kehidupan. Selain memiliki sisi positif, lemak juga mempunyai sisi negatif terhadap
kesehatan.1 Fungsi lemak dalam tubuh antara lain sebagai sumber energi, bagian dari
membran sel, mediator aktivitas biologis antar sel, isolator dalam menjaga keseimbangan
suhu tubuh, pelindung organorgan tubuh serta pelarut vitamin A, D, E, dan K. (Fennema,
1996).
Komponen dasar lemak adalah asam lemak dan gliserol yang diperoleh dari hasil
hidrolisis lemak, minyak maupun senyawa lipid lainnya. Asam lemak pembentuk lemak
dapat dibedakan berdasarkan jumlah atom C (karbon), ada atau tidaknya ikatan rangkap,
jumlah ikatan rangkap serta letak ikatan rangkap. Berdasarkan struktur kimianya, asam lemak
dibedakan menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA) yaitu asam lemak yang tidak
memiliki ikatan rangkap. Sedangkan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap disebut
sebagai asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acids), dibedakan menjadi Mono
Unsaturated Fatty Acid (MUFA) memiliki 1 (satu) ikatan rangkap, dan Poly Unsaturated
Fatty Acid (PUFA) dengan 1 atau lebih ikatan rangkap. (Fennema, 1996)
Penelitian lain baru-baru ini menunjukkan bahwa tikus yang diberi diet tinggi lemak
mengalami peningkatan berat badan, lipid plasma, insulin plasma, dan resistensi insulin
dibandingkan dengan tikus yang diberi makan standar (Li Y, 2015). Jadi, peningkatan
pembentukan VLDL membantu untuk mendistribusikan trigliserida yang disintesis oleh hati
yang dihasilkan dari konsumsi berlebihan dari diet tinggi lemak. Tingkat kolesterol VLDL
yang tinggi dapat menyebabkan obesitas, dislipidemia dan penumpukan kolesterol dalam
arteri. Akumulasi trigliserida di hati dapat menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis
lipotoksisitas (kelebihan produksi dan akumulasi trigliserida dalam jaringan non-adiposa
seperti hati, otot, dan pankreas) adalah kriteria umum yang terlihat pada efek diet yang
berbeda dalam pengembangan MetS (Wong et.al., 2016).

2.4.5 Asam Lemak Jenuh


Asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA) adalah asam lemak yang tidak
memiliki ikatan rangkap pada atom karbon. Ini berarti asam lemak jenuh tidak peka terhadap
oksidasi dan pembentukan radikal bebas seperti halnya asam lemak tidak jenuh. Efek
dominan dari asam lemak jenuh adalah peningkatan kadar kolesterol total dan K-LDL
(kolesterol LDL). (Muller H. 2003)

Gambar 2.27 Asam Lemak Jenuh

Konsumsi tinggi lemak jenuh mengakibatkan hati memproduksi kolesterol LDL


dalam jumlah besar yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung dan meningkatkan
kadar kolesterol dalam darah sehingga dapat menyebabkan trombosis. (Mayes PA. 2003)

2.4.6 Asam Lemak Trans


Isomer geometris asam lemak tidak jenuh sering disebut isomer cis/trans, terbentuk
ketika asam lemak tidak jenuh dengan konfigurasi cis (struktur bengkok) terisomerisasi
(perubahan bentuk struktur kimia/isomer) menjadi konfigurasi trans (struktur lebih linier),
yang lebih menyerupai asam lemak jenuh dibandingkan asam lemak tidak jenuh. (Mayes PA.
2003).
Konsumsi asam lemak trans berdampak negatif sama seperti asam lemak jenuh yaitu
meningkatkan kadar KLDL. Yang berbeda adalah bahwa asam lemak jenuh tidak
mempengaruhi K-HDL, sehingga efek negatif yang ditimbulkan oleh asam lemak trans
terhadap rasio KLDL/K-HDL mendekati 2 kali lebih besar daripada asam lemak jenuh.
Konsumsi karbohidrat dan asam linoleat alam jumlah besar juga dapat menurunkan K-HDL,
tetapi penurunan tersebut disertai dengan penurunan KLDL. Efek yang ditimbulkan oleh
asam lemak trans terhadap rasio K-LDL/K-HDL mendekati 2 kali lebih besar daripada asam
lemak jenuh. Rasio K-LDL/K-HDL pada kelompok diet asam lemak trans adalah 2,2
sedangkan rasio pada diet asam lemak jenuh sebesar 1,8 (p < 0,0001). Perubahan pada rasio
kolesterol total/HDL-K atau K-LDL/K-HDL merupakan prediktor CHD (Coronary Heart
Disease) yang lebih baik daripada kolesterol LDL itu sendiri. (de Ros NM, et al. 2001)

Tabel 2.3 Perbandingan asupan tinggi lemak trans dan asupan moderat lemak
trans dengan diet kontrol.

Variable Control Modereate r- High r- iTFA


diet TFA TFA

Weight (kg) 74.2 ± 74.3 ± 8.7 74.6 ± 74.6 ± 9.3


8.8 8.6

Waist girth (cm) 81.1 ± 80.7 ± 8.7 81.3 ± 81.2 ± 8.9


9.0 8.6

VLDL-Chol 0.21 ± 0.22 ± 0.15 0.23 ± 0.24 ± 0.22


(mmol/L) 0.16 0.18

LDL-Chol 3.27 ± 3.22 ± 0.83 3.47 ± 3.42 ± 0.89


(mmol/L) 0.80 0.90
2.4.7 Perbandingan Asam lemak jenuh (Saturated Fat) dan Asam Lemak Trans (Trans
Fatty Acid)
Penelitian Ibrahim (2005) menunjukkan bahwa diet SFA atau TFA pada tikus
menunjukkan bahwa kedua asam lemak menurunkan sensitivitas insulin di jaringan adiposit
pada tikus, namun diet TFA menurunkan sensitivitas insulin jaringan adiposa ke tingkat yang
lebih besar daripada SFA. Efek yang lebih besar dari TFA pada sensitivitas insulin adipocyte
tikus dapat dikaitkan dengan penurunan fluiditas membran adiposit plasma.
Asam lemak trans (TFA) terbentuk selama hidrogenasi parsial dari minyak nabati dan
terbukti lebih aterogenik daripada asam lemak jenuh (SFA). TFA lebih merusak karena fakta
bahwa TFA meningkatkan rasio Low-Density Lipoprotein (LDL) ke High-Density
Lipoprotein (HDL) menuju atherogenesis (memicu penyempitan, penebalan, dan pengerasan
dinding pembuluh darah), sedangkan diet SFA hanya meningkatkan kadar LDL tanpa
mengubah tingkat HDL (Sartika, 2008; Ibrahim, 2005) sehingga efek negatif yang
ditimbulkan oleh asam lemak trans terhadap rasio KLDL/K-HDL mendekati 2 kali lebih
besar daripada asam lemak jenuh (Sartika, 2008)
Hipotesis selanjutnya adalah efek dari asam lemak memengaruhi sensitivitas insulin
dapat dimediasi melalui perubahan dalam ekspresi gen. Tikus Wistar dibagi ke dalam 4 grup
yang diberikan diet yang terdiri dari kontrol diet yaitu 3.7% asam linoleat (LA), 5% diet
asam lemak jenuh saturated fat, diet asam lemak trans-1 yaitu 1.5% TF+1% linoleat acid, dan
diet asam lemak trans-2 yaitu 1.5% Trans Fat+2% asam linoleat. Berikut di bawah ini adalah
gambar hasil penelitian dari diet yang berpengaruh langsung terhadap sensitivitas insulin
yang dimediasi melalui perubahan dalam ekspresi gen (Ibrahim 2005).

Gamar 2.28 Persentase ekspresi relatif dari gen yang memediasi sensitivitas insulin di
jaringan adiposa pada tikus yang diberi diet SFA (bar garis vertikal), diet TFA-1
(hitam / putih) dan diet TFA-2 (bar terbuka) (Natrajan et.a.l, 2005).
Data yang disajikan pada Gambar. menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan
diet CON, TFA diet (TFA diet 1) menurunkan (, 40%) level mRNA dari PPARg, sementara
diet SFA (diet SFA) tidak mengubahnya. Meningkat level LA dalam diet TFA (TFA diet 2)
tidak menunjukkan peran protektif terhadap efek TFA pada level mRNA dari PPARg. SFA
diet meningkatkan (, 40%) tingkat LPL mRNA jika dibandingkan dengan diet CON,
sedangkan TFA menurunkan (, 25%) ekspresi LPL pada epididimis lemak, terlepas dari
tingkat LA dalam diet. Adiponektin Tingkat mRNA menurun (, 35%) dalam diet SFA bila
dibandingkan dengan diet CON, sedangkan TFA diet 1 tidak mengubahnya. Peningkatan
kadar LA (TFA diet 2) menurun (, 30%) kadar mRNA adiponektin. Baik SFA diet dan TFA
meningkatkan (, 30%) kadar mRNA resistin di lemak epididimis. Efeknya diamati pada
pemberian TFA tikus terlepas dari tingkat LA dalam diet (TFA diet 2). SFA diet menurunkan
(, 40%) level GLUT4 mRNA, sedangkan TFA diet 1 tidak mengubahnya. Meningkat kadar
LA pada tikus yang diberi makan TFA (TFA diet 2) menurun (, 40%) kadar GLUT 4 mRNA
dalam lemak epididimis.
Berdasarkan Penelitian Zhao (2016) menunjukkan bahwa asupan high fat diet (HFD)
secara signifikan dapat mengganggu toleransi glukosa, namun diet high trans-fatty acid
(HTD) memiliki efek yang lebih parah dari HFD. Penelitian pada tikus yang diberikan diet
HTD menunjukkan steatosis hati yang jauh lebih parah dibanding tikus dengan diet HFD.
Kelompok tikus yang mengonsumsi HTD menunjukkan penurunan kadar IRS 1, fosfor-PKC,
dan fosdor-SKT. Hasil penelitian mendukung hipotesis awal bahwa diet HTD dapat lebih
berisiko terkena obesitas, resisten insulin, dan steatosis hari dan menekan jalur IRS1-
dependen (Zhao et.al, 2016).

Gambar 2.29 Ringkasan efek dari berbagai diet pada metabolisme seluruh tubuh
Asupan tinggi fruktosa mengganggu jalur glikolitik dengan mem-bypass langkah
pengontrol laju, konversi glukosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-bifosfat.
Phosphofructokinase bertindak sebagai regulator negatif untuk metabolisme glukosa dan
memungkinkan fruktosa untuk memasuki jalur glikolitik terus menerus untuk menghasilkan
piruvat, laktat, gliserol dan asil-gliserol.
Ketika banyak glukosa tersedia selama asupan karbohidrat tinggi, jalur pemanfaatan
glukosa dimulai: pemecahan glukosa oleh glikolisis, konversi glukosa menjadi glikogen
melalui glikogenesis, dan produksi insulin yang bekerja pada jaringan adiposa untuk
meningkatkan sintesis asam lemak. Konsumsi diet sukrosa tinggi: sukrosa terpisah menjadi
molekul fruktosa dan glukosa dan memasuki mekanisme spesifik mereka seperti yang
dinyatakan sebelumnya. d Lemak menjalani lipolisis, gliserol dan asam lemak dilepaskan ke
dalam darah. Namun, asam lemak yang dilepaskan selama lipolisis diesterifikasi ulang
membentuk trigliserida. Kelebihan trigliserida melalui berbagai asupan yang berlebihan

2.4.7 Merokok dan Minuman alkohol


Pilihan gaya hidup lain yang meningkatkan kemungkinan mengembangkan Sindrom
Metabolik adalah merokok. Merokok mengurangi sensitivitas insulin. Itu juga meningkatkan
trigliserida serum dan LDL, menurunkan serum HDL, dan mengurangi ukuran partikel LDL .
Partikel kecil LDL lebih cenderung berkontribusi terhadap aterosklerosis. Kadar fibrinogen
dalam serum, yang meningkatkan pembekuan darah, meningkat perokok, seperti juga kadar
protein C-reaktif dan homocysteine. Semua perubahannya terkait dengan Sindrom Metabolik
dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular . Meskipun orang yang berhenti merokok
sering menambah berat badan, mereka masih menunjukkan peningkatan kadar kolesterol
serum dan sensitivitas insulin. Sebagian besar penelitian telah menemukan bahwa alkohol
dalam jumlah sedang secara teratur dapat membantu mengurangi risiko untuk Sindrom
Metabolik.
Gambar 2.30 Hubungan antara merokok, resistensi insulin dan akumulasi lemak
viseral dengan sindrom metabolik dan resistensi insulin. Hubungan antara merokok
dan akumulasi lemak viseral dapat dijelaskan oleh masuknya aktivitas fisik yang
rendah dan makanan tidak sehat yang sering ditemuai pada perokok sebagai
pengganggu.

Dalam penelitian terbaru di Amerika Serikat, Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi
Nasional Ketiga, ditemukan bahwa orang yang minum 1 hingga 19 sebulan memiliki 50
persen pengurangan kemungkinan mengembangkan Sindrom Metabolik. Antara manfaat dari
konsumsi alkohol moderat adalah menurunkan kadar insulin puasa, peningkatan HDL,
trigliserida serum yang lebih rendah, dan lingkar pinggang yang lebih kecil, yang akan
menyarankan penurunan obesitas visceral. Minum alkohol lebih dari jumlah sedang mulai
mengurangi manfaat tersebut. Anggur merah khususnya telah disebut-sebut memiliki manfaat
kesehatan yang unik. Resveratrol dianggap salah satu komponen yang bermanfaat dari anggur
merah. Meskipun demikian, dalam penelitian tersebut dicatat, anggur dan bir memberi
perlindungan yang signifikan. Anehnya, wiski dan minuman beralkohol suling lainnya tidak
memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.

2.4.9 Stress Oksidatif


Stres oksidatif adalah suatu kondisi di mana produksi oksidan dan radikal bebas
melebihi kemampuan tubuh untuk menonaktifkannya. Itu ketidakseimbangan antara ROS dan
sistem pertahanan antioksidan seluler dapat terjadi akibat perubahan metabolisme glukosa
atau sekunder untuk aktivasi atau disregulasi beberapa enzim tidak secara langsung terlibat
dalam metabolisme glukosa. Stres oksidatif diduga berperan dalam kondisi peradangan
kronis seperti pengembangan atherosclerosis / CVD di mana invasi mediator inflamasi
(Monosit dan makrofag) dalam plak dan pelepasan spesies oksigen dan nitrogen reaktif
adalah yang paling memberatkan komponen. Oksidasi kolesterol LDL adalah langkah kunci
dalam pengembangan aterosklerosis.
Stres oksidatif vaskular dikaitkan dengan diabetes. Penderita diabetes juga memiliki
tingkat glutathione yang rendah tetapi mengalami peningkatan plasma ekstraseluler
superoksida dismutase, yang terkait dengan retinopati dan nefropati. Stres oksidatif ada di
organ yang terkena komplikasi diabetes. Pencegahan oksidatif stres mencegah kerusakan
organ pada model hewan. Stres oksidatif dapat menyebabkan disfungsi seluler dengan
mempromosikan pembentukan produk akhir glikasi canggih (AGEs), dengan menginduksi
DNA untai putus, dan dengan mengaktifkan poli (ADP-ribosa) polimerase (PARP) dengan
menyebabkan disfungsi eNOS, dan dengan mengaktifkan p38 dan jalur stres-diaktifkan
lainnya yang mengarah ke apoptosis. tela disarankan bahwa aktivasi stres-diaktifkan umum
jalur pensinyalan seperti terminal NF-κB, p38, MAPK, dan NH2 Juni kinase / kinase protein
yang diaktifkan oleh glukosa dan mungkin FFA mengarah pada resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Peningkatan stres oksidatif telah disarankan sebagai mekanisme
pemersatu di antara banyak nutrisi yang diaktifkan melalui jalurnya.

Gambar 2.31 Mekanisme disfungsi mitokondria terlibat dalam produksi stres oksidatif.

Peningkatan mitokondria aktivitas betaoksidasi, karena kelebihan lemak, dapat


menyebabkan kerusakan rantai transpor elektron, yang mengakibatkan ―kebocoran elektron.‖
Reaksi antara oksigen dan proton yang dikatalisis oleh sitokrom C oksidase (kompleks VI)
terganggu, dan elektron dapat berinteraksi langsung dengan oksigen yang membentuk ROS.
Selanjutnya, generasi potensial membran mitokondria berkurang setelah reduksi ekstrusi
proton dari matriks, melemahkan aktivitas ATP synthase. Produksi ROS dapat memperburuk
mitokondria disfungsi karena kebocoran elektron setelah generasi mutasi mtDNA dan
aldehida yang sangat reaktif (MDA, 4-HNE) dihasilkan melalui peroksidasi lipid.
Mitokondria CYP2E1 adalah sumber langsung ROS. Pengurangan mekanisme antioksidan
seperti GPx dan MnSOD juga diamati dalam model NASH. Akhirnya, oksidasi suboptimal
asil-karnitin yang tidak lengkap menyebabkan akumulasi lipotoksik intermediate (Cer,
DAGs), yang dapat bertindak sebagai perantara inflamasi yang mengubah pensinyalan
insulin. 4-HNE: 4-hydroxy-2-nonenal; Cer: ceramides; CYP2E1: sitokrom P450 2E1; DAGs:
diacylglycerols; FFA: asam lemak bebas; GPx: glutathione peroxidase; GSH: glutathione;
MDA: malondialdehyde; MnSOD: manganese superoxide dismutase; ROS: spesies oksigen
reaktif.

2.5 Diet untuk mengatasi Sindrom Metabolik


Salah satu prinsip pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama
untuk semua orang yang bersifat paripurna (comprehensive). Pencegahan yang dilakukan
dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan
primer adalah usaha untuk memodifikasi faktor risiko atau mencegah berkembangnya factor
risiko sebelum dimulainya proses patologis (proses pre-patogenesis). Pada fase pre-
patogenesis, seorang individu dapat berada pada fase rentan/susceptibility. Pencegahan
primer terdiri dari promosi kesehatan dan perlindungan spesifik (Kleinbaum DG, et all.
1982).
Pencegahan sekunder dilakukan pada fase presimtomatik, yaitu saat penyakit belum
menimbulkan gejala. Pencegahan sekunder terdiri dari deteksi dini dan pengobatan dini.
Sedangkan pencegahan tersier adalah pencegahan yang dilakukan pada saat penyakit sudah
menimbulkan gejala. Tujuan dari pencegahan tersier untuk mencegah perkembangan
penyakit ke arah yang lebih buruk (Kleinbaum DG, et all. 1982). Dalam menentukan
pencegahan yang akan dilakukan, seorang dokter harus memperhatikan riwayat perjalanan
penyakit pasien. Menurut ATP III, sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang
ditandai dengan 3 dari 5 gejala/tanda berikut (Daskalopoulou SS, et all. 2004). Obesitas
sentral (Lingkar pinggang >40 inci untuk laki-laki dan >35 inci untuk wanita), kadar
trigliserid darah >150mg/dl, kadar HDL <40mg/dl untuk laki-laki dan <50mg/dl untuk
wanita, tekanan darah sistolik >130mmHg dan atau diastolik >85mmHg, kadar gula darah
puasa >110mg/dl. Seorang individu dikatakan rentan mengalami sindrom metabolik apabila
memiliki faktor risiko seperti gaya hidup (makan berlebih (terutama karbohidrat dan lemak),
minum alkohol, merokok, kurang beraktivitas fisik), memiliki factor genetik, kondisi sosial
ekonomi dan stress (Kaur J, 2014). Apabila seorang masih dalam fase rentan dan belum
mengalami proses patogenesis, maka dapat dilakukan pencegahan primer berupa health
promotion dan specific protection (Kleinbaum DG, et all. 1982).
Perbaikan gaya hidup yang dianjurkan adalah diet rendah lemak jenuh,
memperbanyak konsumsi buah, gandum, aktivitas fisik teratur (>30 menit per hari) dan
menghindari sedentary life (Cornier MA, et al. 2008). Untuk mengetahui fase presimtomatik
sindrom metabolik, dapat dilakukan deteksi dini dengan pemeriksaan lingkar pinggang, kadar
trigliserid, kadar HDL, tekanan darah dan kadar gula puasa walaupun pasien belum
mengalami gejala (Kaur J, 2014). Apabila ditemukan tanda ke arah sindrom metabolik, maka
dapat dilakukan pencegahan sekunder lain berupa pengobatan dini (Grundy SM, et al. 2004).
Apabila pasien sudah mengeluhkan gejala, maka perjalanan penyakit sudah dalam fase
patogenesis lanjut/simtomatik dan perlu dilakukan pencegahan tersier berupa disability
limitation dan rehabilitation (Kleinbaum DG, et all. 1982).
Kejadian hipertensi meningkat pada anak yang obesitas, umumnya terdapat pada
remaja dengan kombinasi faktor risiko kardiovaskular, riwayat keluarga maupun etnik untuk
terjadinya hipertensi. Perjalanan klinis hipertensi dengan obesitas berawal dari karekteristik
tekanan darah sistolik yang meningkat. Hipertensi sistolik merupakan faktor risiko terjadinya
kesakitan dan kematian pada kardiovaskular seperti dilaporkan pada pasien dewasa (Mallare
JT, et all. 2005). Dalam tata laksana hipertensi, beberapa penelitian menganjurkan untuk
menurunkan berat badan. Penurunan berat badan diikuti dengan diet dan latihan merupakan
terapi primer pada hipertensi dengan obesitas (Matthews KA, Salomon K. 2003).

2.6 Penggunaan bioteknologi terkini untuk mengidentifikasi penyakit sindroma


etabolik
Modifikasi gaya hidup adalah intervensi dasar dalam pengobatan MetS. Program
Pencegahan Diabetes menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup mengurangi kejadian MetS
sebesar 41% dibandingkan dengan plasebo. Intervensi gaya hidup intensif melibatkan diet
rendah kalori, rendah lemak yang sehat dan aktivitas fisik sedang setidaknya 150 menit /
minggu, menghasilkan pengurangan berat 7% (124). Diet yang direkomendasikan harus
mencakup <200 mg / hari kolesterol, <7% lemak jenuh, dengan total lemak terdiri dari 25-
35% kalori, gula rendah sederhana dan peningkatan buah-buahan, sayuran dan biji-bijian
(12). Penghentian merokok harus dilakukan pada semua pasien dengan MetS. Selain itu,
aspirin dosis rendah direkomendasikan dalam kasus risiko kardiovaskular sedang hingga
tinggi di mana tidak ada kontraindikasi terhadap terapi aspirin (12). Untuk pasien yang
intervensi gaya hidupnya tidak cukup untuk mengobati MetS mereka, farmakoterapi untuk
pengobatan banyak komponen MetS tersedia.
Tidak ada agen farmakologis yang secara khusus disetujui untuk pradiabetes atau
pencegahan T2DM. Dalam Program Pencegahan Diabetes, metformin terbukti menyebabkan
penurunan berat badan dan penurunan 31% dalam insiden T2DM dibandingkan dengan
pasien yang menerima plasebo. Telah dikemukakan bahwa agonis reseptor GLP-1, agen yang
sekarang umum digunakan dalam pengobatan T2DM yang mapan, mungkin memiliki peran
dalam pencegahan T2DM, tetapi diperlukan lebih banyak penelitian. The American Diabetes
Association merekomendasikan modifikasi gaya hidup daripada obat-obatan untuk
pencegahan diabetes. Namun, mereka menyatakan bahwa terapi metformin dapat
dipertimbangkan untuk pencegahan T2DM pada individu dengan IGT, IFG atau HgA1c 5,7-
6,4%, terutama untuk orang-orang dengan BMI> 35 kg / m2, mereka yang berusia <60 tahun,
dan mereka yang memiliki diagnosis sebelum GDM
Tabel 2.4. Penatalaksanaan Sindrom Metabolik

Non Farmakologi Farmakologi

Latihan Diet Edukasi Obesitas Hiperten Intoleransi Dislipide


Fisik si Glukosa mia

Dengan Sasaran Dengan Sibutram ACE Tiazolidind Gemfibro


meningkat utama dari pengetahuan in dan inhibitor, ion dan zil dan
kan diet yang orlistat angiotens metformin kombinasi
aktivitas terhadap memadai in fenofibrat
fisik sindrom tentang receptor dan statin
terbukti metabolik bahaya dan blocker
dapat adalah penatalaksan (ARP)
menurunka dapat aan sindrom
n kadar menurunka metabolik,
lipid dan n risiko maka akan
resistensi penyakit membantu
insulin kardiovasku menurunkan
didalam lar dan risiko
otot diabetes penyulit dari
rangka. mellitus. sindrom
metabolik.

a. Obesitas
a) Sibutramin
Cara kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energy melalui efek
mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Setelah berat
badan turun dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan, namun
juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek
metabolik, sebagai efek dari penurunan berat badan pemberi ansibutramin setelah 24
minggu yang disertai dengan diet dan aktivitas fisik, memperbaiki konsentrasi
trigliserida dan kolesterol HDL (Soegondo, 2009).
b) Orlistat
Bekerja dengan cara menghambat absorpsi nutrisi lemak.
Dosis : 120 mg setiap setelah makan utama atau makan makanan yang berlemak

b. Hipertensi
Terapi medikamentosa terhadap komponen hipertensi dilakukan apabila modifikasi
gaya hidup tidak mampu mengendalikan tekanan darah. Terapi terhadap hipertensi
dapat dilakukan melalui Valsartan 80 mg 1x/hr s/d 160 mg/hr atau ditambah diuretic
jika tekanan darah belum dapat dikontrol secara adekuat.

a. Intoleransi Glukosa
b. Tiazolidindion : Menurunkan asam lemak bebas
c. Metformin : Menurunkan asam lemak bebas
Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi
progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas
(Soegondo, 2009). Dosis yang diberikan sebanyak tablet 500 mg 3x/hr atau kaplet
850 mg 2x/hr.

6. Dislipidemia
a) Gemfibrozil
Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara
bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular (Soegondo, 2009). Dosis yang
diberikan pada dewasa sebanyak 600 mg 2x/hr, maksimal 1500 mg/hr ½ jam sebelum
makan.
b) Fenofibrat
Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang sanga t efektif dan
mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan konsentrasi
fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida,
kolesterol HDL dan LDL (Soegondo, 2009). Dosis awal yang diberikan pada dewasa
sebanyak 100 mg 3x/hratau 300 mg/hr sebagai dosis tunggal. Jika sudah melakukan
diet kadar kolesterol tetap >4 g/L, dosis dapat ditingkatkan menjadi 100 mg 4x/hr.
Jika kolesterol telah normal, diberikan 10 mg 2x/hr disertai pemeriksaan kolesterol
tiap 3 bulan. Jika terjadi lagi peningkatan kadar lemak dalam darah, diberikan kembali
sebanyak dosis awal 100 mg 3x/hr.

Hipertensi persisten terindikasi mendapat terapi farmakologi karena berhubungan


dengan faktor risiko diabetes tipe 1 dan 2, hipertensi yang mengganggu organ target atau
organ lainnya. Pada keadaan seperti ini dipertimbangkan penggunaan obat antihipertensi
dosis tunggal dan diawali dengan dosis rendah. Pengobatan hipertensi pada anak
menggunakan ACE inhibitor, angiotensin receptor blockers, B-blockers, calcium chanel
blockers, dan diuretik. Terapi antihipertensi spesifik dapat dilakukan dengan melihat penyakit
yang mendasarinya atau kondisi medik yang terjadi bersamaan. Sebagai contoh, penggunaan
ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker pada diabetes dengan mikroalbuminuria atau
dengan proteinuria. Pada penelitian Douglas dkk, (dikutip dari Matthews dan Solomon) yang
memberikan obat anti hipertensi pada hipertensi primer dan sekunder berupa CCB (calcium-
channel blockers) yang terdiri dari amlodipin dan nifedipin serta ACE inhibitor yang terdiri
dari enalapril dan kaptopril yang pada akhirnya menyatakan pilihan obat anti hipertensi
tergantung pada etiologi hipertensi tersebut. Pada pasien hipertensi yang disertai penyakit
yang mendasarinya, dengan mempertimbangkan manfaat penurunan proteinuria pada pasien
dengan penyakit glomerular atau malformating renalis, sebaiknya dipertimbangkan
pemberian ACE inhibitor. Untuk anak yang tidak disertai komplikasi primer hipertensi dan
tidak mengganggu organ target, tekanan darah dapat dicapai kurang dari persentil ke-95
berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tinggi badan sedangkan pada anak dengan gagal ginjal
kronik, diabetes, atau dengan gangguan organ target, tekanan darah diharapkan mencapai
kurang dari persentil ke-90 berdasarkan jenis kelamin, umur dan tinggi badan (Mallare JT, et
all. 2005). Disimpulkan bahwa obesitas dan resistensi insulin merupakan komponen penting.
Terapi obat untuk dislipidemia umumnya didekati dengan penggunaan HMG Co-A
reduktase inhibitor (statin). Tujuan utama dalam pengurangan risiko CVD adalah untuk
menurunkan nilai LDL-C dan obat pilihan untuk tujuan ini adalah statin, yang telah terbukti
tidak hanya menurunkan LDL-C, tetapi juga untuk secara sederhana meningkatkan HDL-C
dan menurunkan trigliserida. Target kedua dalam peningkatan lipid untuk mengurangi risiko
CVD adalah HDL-C dan trigliserida. Niasin efektif dalam meningkatkan HDL-C serta
menurunkan trigliserida dan LDL-C. Fibrat efektif dalam menurunkan trigliserida tetapi tidak
memiliki efek menguntungkan pada HDL-C dan LDL-C. Asam lemak tak jenuh ganda
Omega-3 (n-3 PUFA) dalam minyak ikan juga dapat digunakan untuk menurunkan
trigliserida dengan data terbaru dari uji coba REDUCE-IT yang menunjukkan penurunan
risiko kejadian iskemik pada pasien dengan trigliserida tinggi walaupun terapi statin
menerima etil icosapent.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sindrom metabolik (SM) adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan

darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.

Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP III,

yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:

lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar

serum trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50

mg/dL untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah

puasa > 110 mg/dL.

2. Perbaikan gaya hidup yang dianjurkan adalah diet rendah lemak jenuh,

memperbanyak konsumsi buah, gandum, aktivitas fisik teratur (>30 menit per

hari) dan menghindari sedentary life. Untuk mengetahui fase presimtomatik

sindrom metabolik, dapat dilakukan deteksi dini dengan pemeriksaan lingkar

pinggang, kadar trigliserid, kadar HDL, tekanan darah dan kadar gula puasa

walaupun pasien belum mengalami gejala. Apabila ditemukan tanda ke arah

sindrom metabolik, maka dapat dilakukan pencegahan sekunder lain berupa

pengobatan dini.
DAFTAR PUSTAKA

Alberti, K.G., dkk. 2006. Metabolic syndrome–a new world-wide definition. A Consensus
Statement from the International Diabetes Federation. Diabetic medicine: a journal of
the British Diabetic Association. 23 (5):469–480.
Basciano H, Federico L, Adeli K. Fructose, insulin resistance, and metabolic dyslipidemia.
Nutr & Metab 2005;2:5-19.
Bessesen DH. 2001. The role of carbohydrates in insulin resistance. J Nutr. 131:2782s–6s.
Brown and Borutaite V. 2001. Nitric Oxide, Mitochondria, and Cell Death. IUBMB Life. Vol
52: 189–195.
Castro1 AVB, Cathryn M. Kolka, Stella P. Kim, Richard N. Bergman. 2014. Obesity, insulin
resistance and comorbidities – Mechanisms of association. Arq Bras Endocrinol Metab.
58/6. doi: 10.1590/0004-2730000003223
Chatgilialoglu C, Ferreri C, Lukakis IN, Wardman P. 2006. Trans Fatty Acids and radical
stress: What are the Real Culprits. BMC Journal, 5.
Chen Y. Metabolism: Carbohydrate. In: Mooren FC, editor. 2012 Encyclopedia of Exercise
Medicine in Health and Disease. Berlin: Springer Berlin Heidelberg. p. 570–3.
Chung et.al. 2015. Nanomedicines for Endothelial Disorders. Nano Today. 2015 December 1;
10(6): 759–776. doi:10.1016/j.nantod.2015.11.009
Chun-Xia Yi, Lori Zeltser, Matthias Tschöp, Randy S. Levinson, C. Ron Kahn,
Domenico Accili, Rohit Kulkarni, Raghu G. Mirmira, Hui-Young Lee and Gerald
I. Shulman, Philipp E. Scherer, Khoa D Nguyen, Ajay Chawla. 2012. Metabolic
Syndrome ePoster. Diakses pada
https://www.nature.com/nm/poster/index.html.
Cohen, J. F. W., Rifas-Shiman, S. L., Rimm, E. B. E. B., Oken, E. & Gillman, M. W. 2011.
Maternal trans fatty acid intake and fetal growth. Am J Clin Nutr, 94, 1241-1247.
Davy, K. P., dan Hall, J. E. 2004. Obesity and hypertension: two epidemics or one? Am. J.
Physiol. Regul. Integr. Comp. Physiol. 286(5):R803-13.
Desmawati. 2017. Pengaruh asupan tinggi fruktosa terhadap tekanan darah. Majalah
Kedokteran Andalas. Vol 40 (1):31-39
Duvnjak, L., Bulum, T. dan Metelko, Z. 2008. Hypertension and The Metabolic Syndrome.
37(4):83-89
Elliott SS, Keim NL, Stern JS, Teff K, Havel PJ. Fructose, weight gain, and insulin
resistance syndrome. Am J Clin Nutr. 2002;76:911–22.
Farisi S, Musfiroh I. 2017. Karakterstik Senyawa Inhbitor yang Berpotensi Selektif terhadap
reseptor inducible Nitrat Oksida Sintase (iNOS): Review Jurnal. Farmaka Vol 15 No.3.
Fujita, T. 2014. Mechanism of salt-sensitive hypertension: focus on adrenal and
sympathetic nervous systems. J. Am. Soc. Nephrol. 25(6):1148–1155.
Gadgil MD, Appel LJ, Yeung E, Anderson CA, Sacks FM, Miller 3rd ER. 2013. The effects
of carbohydrate, unsaturated fat, and protein intake on measures of insulin sensitivity:
results from the OmniHeart trial. Diabetes Care. Vol 36:1132–7.
Gill, H., dkk. 2005. The key role of insulin resistance in the cardiometabolic syndrome. The
American journal of the medical sciences. 330 (6):290–294.
Graham LS, Tintut Y, Parhami F, Kitchen CM, Ivanov Y, Tetradis S. 2010. Bone density and
hyperlipidemia: the T-lymphocyte connection. J Bone Miner Res. 25:2460–9.
Grundy, S.M., dkk. 2005. Diagnosis and management of the metabolic syndrome: an
American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific
Statement. Circulation 112 (17):2735 2752.
Haas, E., Attie, D., dan Biddinger,B. 2013. The regulation of ApoB metabolism by insulin.
Trends in Endocrinology and Metabolism. 24(8):391-397.
Hall, M. E dan Hall, J. E. 2018. Pathogenesis of Hypertension dalam Hypertension: A
Companion to Braunwald’s Heart Disease 3rd edn 33–51 Elsevier:PhiladelphiaFujita,
T. 2014. Mechanism of salt-sensitive hypertension: focus on adrenal and sympathetic
nervous systems. J. Am. Soc. Nephrol. 25(6):1148–1155.
Horita, S., dkk. 2011. Insulin Resistance, Obesity, Hypertension, and Renal Sodium
Transport. International Journal of Hypertension. 1–8. doi:10.4061/2011/391762
Hotamisligil GS., Shargill NS, Spiegelman BM. 1993. Adipose expression of tumor necrosis
factor-alpha: directrole in obesity-linked insulin resistance. Science 259, 87–91.
Huang Paul L. 2009. A comprehensive definition for metabolic syndrome. Disease Models &
Mechanisms . Vol 2(5-6):231-237. doi: [10.1242/dmm.001180]. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2675814/.
Ibrahim A, Natrajan S & Ghafoorunissa. 2005. Dietary trans-fatty acids alter adipocyte
plasma membrane fatty acid composition and insulin sensitivity in rats. Metabolism 54
240–246.
Jeppesen, J.2007. Insulin resistance, the metabolic syndrome, and risk of incident
cardiovascular disease: a population based study. Journal of the American College of
Cardiology. 49(21):2112–2119.
Jung, U.J., dan Choi,M.S. 2014. Obesity and Its Metabolic Complications: The Role of
Adipokines and the Relationship between Obesity, Inflammation, Insulin Resistance,
Dyslipidemia and Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Int. J. Mol. Sci15(4):6184-6223
Jurgens H, Haass W, Castaneda TR, Schurmann A, Koebnick C, Dombrowski F, et al. 2005.
Consuming fructose-sweetened beverages increases body adiposity in mice. Obes Res.
13:1146–56.
Kaur Jaspinder. 2014. A Comprehensive Review of Metabolic Syndrome. Cardiology
Research and Practice. Vol 14. http://dx.doi.org/10.1155/2014/943162.
King, George L, Kyoungmin Park, and Qian Li. 2016. Selective Insulin Resistance and the
Development of Cardiovascular Diseases in Diabetes: The 2015 Edwin Bierman Award
Lecture. Diabetes Vol 65:1462–1471. Doi 10.2337/db16-0152
Klop, B., dkk. 2013. Dyslipidemia in Obesity: Mechanisms and Potential Targets. Nutrients.
5(4): 1218–1240.
Konukoglu, D dan Uzun, H. 2016. Endothelial Dysfunction and Hypertension. Springer
International Publishing Switzerland. Adv Exp Med Biol.956:511-540
Landsberg, L., dkk. 2013. Obesity-related hypertension: pathogenesis, cardiovascular risk,
and treatment. A position paper of The Obesity Society and the American Society of
Hypertension. J Clin Hypertens (Greenwich).15(1): 14–33.
Lastra, G., dkk. 2010. Salt, aldosterone, and insulin resistance: impact on the cardiovascular
system. Nat Rev Cardiol 2010, 7(10):577-584
Li Y, Lu Z, Zhang X, Yu H, Kirkwood KL, Lopes-Virella MF, et al. 2015. Metabolic
syndrome exacerbates inflammation and bone loss in periodontitis. J Dent Res. 94:362–
70.
Li, S, dkk. 2003. Childhood cardiovascular risk factors and carotid vascular changes in
adulthood: the Bogalusa Heart Study. Jama 290(17):2271–2276.
Lichtenstein AH, Appel LJ, Brands M, Carnethon M, Daniels S, Franch HA, et al. 200. Diet
and lifestyle recommendations revision 2006: A scientific statement from the American
Heart Association Nutrition Committee. Circulation. 114(1):82-96.
Lim, S. dan Meigs, J.B. 2014. Links between ectopic fat and vascular disease in humans.
Arteriosclerosis, thrombosis, and vascular biology. 34 (9):1820–1826.
Litvinova et.al. 2015. Nitricoxide and mitochondria in metabolic syndrome. Frontiersin Vol
6(20). doi: 10.3389/fphys.2015.00020.
Litvinova, Atochin, Fattakhov, Vasilenko, Zatolokin and Kirienkova1. 2015. Nitricoxide and
mitochondria in metabolic syndrome. Vol.6(20). doi: 10.3389/fphys.2015.00020.
Lorenzo, C., dkk. 2006. Geographic variations of the International DiabetesFederation and
the National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III definitions of
the metabolic syndrome in nondiabetic subjects. Diabetes care 29 (3):685–691.
Lucove, J.C., dkk. 2007. Association between adult and childhood socioeconomic status and
prevalence of the metabolic syndrome in African Americans: the Pitt County Study.
American journal of public health. 97 (2):234–236.
Madge LA, Pober JS. 2001. TNF signaling in vasculer endothelial cells. Exp Mol Pathol. 70,
317-325.
Masaron, Rosato, Dallio, Gravina, Aglitti, Loguercio, Federico, Persico. 2018. Role of
Oxidative Stress in Pathophysiology of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Oxidative
Medicine and Cellular Longevity. https://doi.org/10.1155/2018/9547613.
McCracken, Monaghan, Sreenivasan S. 2018. Pathophysiology of the metabolic syndrome.
Clinics in Dermatology. Vol. 36, 14–20.
https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2017.09.004.
Michael MK. 2017. Insulin Resistance. pada https://themedicalbiochemistrypage.org/insulin-
8.php pada tanggal 8 November 2018.
Milanski. 2009. Saturated fatty acids produce an inflammatory response
predominantly through the activation of TLR4 signaling in hypothalamus:
implications for the pathogenesis of obesity. J NeuroSci. 29(2):359-70.
Motard-Bélanger, A., dkk. 2008. Study of the effect of trans fatty acids from ruminants on
blood lipids and other risk factors for cardiovascular disease. The American Journal of
Clinical Nutrition. 87(3):593–599.
Motard-Bélanger, A., dkk. 2008. Study of the effect of trans fatty acids from ruminants on
blood lipids and other risk factors for cardiovascular disease. The American Journal of
Clinical Nutrition. 87(3):593–599
Mozumdar, A. dan Liguori, G. 2011. Persistent increase of prevalence of metabolic syndrome
among US adults: NHANES III to NHANES 1999–2006. Diabetes care 34 (1):216–
219.
Nakamura, M., dkk. 2015. Preserved Na/HCO3 cotransporter sensitivity to insulin may
promote hypertension in metabolic syndrome. Kidney Int. 87(3):535-542
Natarajan Saravanan, Abdul Haseeb, Nasreen Z Ehtesham and Ghafoorunissa. 2005.
Differential effects of dietary saturated and trans-fatty acids on expression of genes
associated with insulin sensitivity in rat adipose tissue. European Journal of
Endocrinology (2005) 153 159–165.
Nielsen S, Karpe F. 2012. Determinants of VLDL-triglycerides production. Curr Opin
Lipidol. 23:321–6.
Nitta. 2011. Possible Link between Metabolic Syndrome and Chronic Kidney Disease in the
Development of Cardiovascular Disease. Cardiology Research and Practice.
doi:10.4061/2011/963517
Oparil, S, dkk. 2018. Hypertension.primer. 18014(4):1-21
Petersen, K.F. dan Shulman, G.I. 2006. Etiology of insulin resistance. The American journal
of medicine. 119 (5 Suppl 1):S10-16.
Poloz and Stambolic V. 2015. Obesity and cancer, a case for insulin signaling. Cell Death
and Disease. Vol (6) e2037. doi:10.1038/cddis.2015.381.
Poloz Y, Stambolic V. 2015. Obesity and cancer, a case for insulin signaling. Cell Death &
Disease. Vol 6.
Possible Link between Metabolic Syndrome and Chronic Kidney Disease in the Development
of Cardiovascular Disease
Raitakari, O.T., dkk. 2003. Cardiovascular risk factors in childhood and carotid artery intima-
media thickness in adulthood: the Cardiovascular Risk in Young Finns Study. Jama.
290 (17):2277–2283.
Rao, A.,dkk. 2015. Obesity and insulin resistance in resistant hypertension: implications for
the kidney. Adv Chronic Kidney Dis 22(3):211–217
Reich, H. N., dkk. 2008. Decreased glomerular and tubular expression of ACE2 in patients
with type 2 diabetes and kidney disease. Kidney Int. 77(1):57-64.
Rinella, MD. 2015. Nonalcoholic Fatty Liver Disease A Systematic Review Mary E.. JAMA.
313(22): 2263-2273. doi:10.1001/jama.2015.5370.
Rinella. 2015. Nonalcoholic Fatty Liver Disease A Systematic Review. American Medical
Association. JAMA. 2015;313(22):2263-2273. doi:10.1001/jama.2015.5370
Roberts CK, Hevener, dan Barnard. 2013. Metabolic Syndrome and Insulin Resistance:
Underlying Causes and Modification by Exercise Training. Compr Physiol. 2013
January ; 3(1): 1–58. doi:10.1002/cphy.c110062.
Rocchini, A.P., Yang, I.Q., dan Gokee, A. 2004. Hypertension and insulin resistance are not
directly related in obese dogs. Hypertension. 43(5):1011-6.
Sartika, R. A. D. (2008), Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak Jenuh dan Asam Lemak Trans
terhadap Kesehatan. Jurnal kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2 No. 4, Februari
2008.
Scherrer U, dkk. 1994. Nitric oxide release accounts for insulin's vascular effects in humans.
J Clin Invest. 94(6):2511-2515
Schulman, I.H. dan Zhou, M.S. 2009. Vascular insulin resistance: a potential link between
cardiovascular and metabolic diseases. Curr Hypertens Rep.11(1):48-55.
Serra, D.,Mera,P.,Malandrino,M.I.,Mir,J.F.,andHerrero,L.(2013). Mitochondrial fatty acid
oxidation in obesity. AntioxidRedoxSignal. 19, 269–284. doi:10.1089/ars.2012.4875.
Singh A dan Williams GH. 2017. Textbook of NephroEndocrinology 2nd edn Academic
Press.
Soleimani, M. 2015. Insulin resistance and hypertension: new insights. Kidney International.
87(3), 497–499. doi:10.1038/ki.2014.392
Thirunavukkarasu V, Anitha Nandhini AT, Anuradha CV. 2004. Lipoic acid attenuates
hypertension and improves insulin sensitivity, kallikrein activity and nitrite levels in
high fructose-fed rats. J Comp Physiol B. 174:587–92.
Varagic, J., dkk. 2014. ACE2: angiotensin II/angiotensin-(1–7) balance in cardiac and renal
injury. Curr. Hypertens. Rep. 6(3): 420.
Wolfgang MJ, Cha SH, Sidhaye A, Chohnan S, Cline G, Shulman GI, et al. 2007. Regulation
of hypothalamic malonyl-CoA by central glucose and leptin. Proc Natl Acad Sci USA.
104:19285–90.
Wong SK, Chin , Suhaimi F , Fairus A, Nirwana. 2016. Animal models of metabolic
syndrome: a review. Nutrition & Metabolism (2016) 13:65. DOI 10.1186/s12986-016-
0123-9.
Yu Q, Go F, Ma Xin. 2011. Insulin says NO to cardiovascular disease.
Cardiovascular research. Doi:10.1093/cvr/vvq349
Zhao, dkk. 2016. Trans-Fatty Acids Aggravate Obesity, Insulin Resistance and Hepatic
Steatosis in C57BL/6 Mice, Possibly by Suppressing the IRS1 Dependent Pathway.
Molecules.21(6):1-11.
Zhao, Y., dkk. 2014. Vascular nitric oxide: beyond eNOS. J Pharmacol Sci 129(2):83–94.

Anda mungkin juga menyukai