Dosen:
Prof. Dr. Dra. R.T. Ayu Dewi Sartika, Apt., M.Sc.
Disusun Oleh:
Agnia Nurul Hikmah 1906430112
Yania Febsi 1906430932
1.2 Tujuan
1. Mengetahui Definisi Sindrom metabolik
2. Mengetahui Patofisiologi sindrom metabolik
3. Mengetahui mekanisme penyebab terjadinya penyakit sindrom metabolik
4. Mengetahui mekanisme penyebab terjadinya penyakit sindrom metabolik dikaitkan
dengan asupan zat gizi makro serta faktor lainnya (kebiasaan merokok, olahraga,
stress oksidatif dll)
5. Mengetahui penggunaan bioteknologi terkini untuk mengidentifikasi penyakit
sindroma metabolik
BAB II
PEMBAHASAN
Tabel 2.1 Komponen sindrom metabolik sesuai dengan definisi yang diusulkan oleh
organisasi yang berbeda
WHO (World Health Organization) 1998, EGIR (European Group for the study of Insulin
Resistance) 2001, N CEP - ATP (National Cholesterol Education Program-Adult Treatment
Panel) tahun 2003, IDF (International Diabetes Federation) Tahun 2006, AHA / NHLBI
(American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute) Tahun 2006, IDF
dan AHA/NHLBI tahun 2009. FPG (Fasting Plasma Glucose), WC (Waist Circumference.
Sumber: Marina Kurian, Bruce M. Wolfe, Sayeed Ikramuddin. 2016. Metabolic Syndrome
and Diabetes Medical and Surgical Management. USA: Springer Science+Business Media
New York.
Beberapa ahli melihat sindrom metabolik sebagai komplikasi dari obesitas. ―Epidemi
obesitas‖ pada dasarnya didorong oleh peningkatan konsumsi makanan dan aktivitas fisik
yang berkurang. Jaringan adiposa adalah campuran heterogen adiposit, preadiposit stroma,
sel imun, dan endotelium, dan dapat merespon dengan cepat dan dinamis terhadap perubahan
kelebihan nutrisi melalui hipertrofi adiposit dan hiperplasia (Kaur J, 2014).
Gambar 2.2 Mekanisme Obesitas dalam Menyebabkan MetS atau sindrom metabolik.
(Cusi, 2010)
Ketika seseorang mengalami obesitas karena faktor genetic maupun akibat kelebihan intake
dalam jumlah besar dalam jangka yang lama namun aktivitas fisiknya kurang ditambah
dengan faktor lain seperti merokok, dan stress, jaringan adipose mengalami hipertrofi
(peningkatan ukuran adiposit), kemudian hipertrofi merekrut sel-sel baru yang memicu
hyperplasia (diferensiasi atau adipogenesis) dari adiposit yang sudah ada sebelumnya dan
tekanan pada sel. Hipertrofi tersebut memicu aktivasi peran makrofag sebagai M1 (pro
inflamasi), angiogenesis (pembentukan sistem pembuluh darah baru) menurun sehingga
menyebabkan meningkatnya fibrosis (pembentukkan jaringan parut di adiposit) dan hipoksia
5
(kurangnya suplai darah ke jaringan adiposit) sehingga mengakibatkan nekrosis. Adiposit
yang mengalami hipertrofik meningkatkan dan menyebabkan ketidakseimbangan adipokin
(protein dari jaringan adiposa dan makrofag). Adipokin tersebut melepaskan leptin,
adiponektin, visfatin, dan resistin sebagai mekanisme penyimpanan energi secara pasif, yang
dapat menyebabkan dan memperburuk peradangan sistemik kronis tingkat rendah (Gomez et
al., 2009).
Adipokin juga mengeluarkan chemoattractants seperti MCP-1, menarik sel-sel
kekebalan ke dalam jaringan, dan mensekresi mediator proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β,
CRP (C-Reactive Protein) dan IL-6 oleh adiposity kemudian mediator pro-inflamasi tersebut
menyusup kedalam sel imun menghasilkan polarisasi makrofag menjadi fenotip M1 pro-
inflamasi, dan menggerakkan kumpulan sel T inflamasi. Hipertrofi adiposa menyebabkan
meningkatnya Lipolisis yang menyebabkan peningkatan kadar FFA. Lipolisis yang
meningkatkan FFA mengakibatkan lipotoksik. Proses Lipotoksik dengan meningkatkan
tekanan pada retikulum endoplasma, menstimulasi respon inflamasi sel JNK dan NK,
menurunkan fungsi mitokondria, kemudian menyebabkan resistensi insulin. Lipotoksik
mengakibatkan meningkatnya HGP, NAFLD, dan NASH pada organ hati, menurunnya
serapan glukosa yang dimediasi insulin, meningkatnya apoptosis sell-β pancreas,
menurunnya fungsi jantung atau terjadinya gagal jantung, meningkatkan risiko iskemik
jantung, serta menyebabkan arterosklerosis. Meningkatnya risiko penyakit-penyakit tersebut
yang menyebabkan syndrome metabolic yang berkembang menjadi penyakit.
Gambar 2.3 Peran makrofag dalam perkembangan obesitas (Roberts et.al, 2013).
Makrofag Imun-fenotip (M1/M2) sangat fleksibel dan sensitif dalam menanggapi lingkungan
sekitarnya (Mosser dan Edwards, 2008). Ketika obesitas berkembang, ATM fenotipe beralih
dari M2 anti-inflamasi ke tipe M1 pro-inflamasi, melalui proses dinamis yang mencakup
spektrum dari M1 ke M2. Cluster ATM di sekitar adiposit nekrotik dalam pengaturan crown-
like structure (CLS). Infiltrasi ATM M1 menurunkan sensitivitas insulin sebagai hasil dari
sekresi TNF-α, IL-1β, dan IL-6 yang lebih besar, yang menginduksi lingkungan yang resisten
terhadap insulin. FFA dapat mengaktifkan makrofag secara in vitro melalui Toll Like
Receptor (TLR) 2 dan TLR4 untuk menginduksi ekspresi MCP-1, IL-6, dan IL-1β. FFA juga
menginduksi sekresi PAI-1 dari makrofag in vitro; Namun induksi ini hanya terjadi di
hadapan adiposit 3T3-L1, kemudian sekresi FFA dan adiposit bertindak secara sinergis dalam
mempengaruhi sekresi makrofag. Infiltrasi ATM dapat dideteksi setelah 1 minggu setelah
diet tinggi lemak dan meningkat secara progresif sebanding dengan tingkat obesitas. Dengan
obesitas, ATM juga mengambil peran seperti sel busa yang menumpuk lemak berlebih.
Penurunan berat badan juga terkait dengan ATM yang lebih rendah disertai dengan infiltrasi
sementara makrofag. (Mc. Ardle, et all. 2013)
Makrofag dari sel dendritik, umpang tindih dalam hal fungsi dan karakterisasi
molekuler. Keduanya adalah fagosit antigen presenting cell (APC) dan sel tertentu seperti
CD11c, MHC II, dan F4 / 80. The Immunological Genome Project menghasilkan ekspresi
gen terperinci dan jalur pengaturan antara makrofag dan sel dendritik. Proyek ini
menunjukkan bahwa ada keragaman besar antara populasi makrofag yang berbeda tetapi
hanya mendeteksi transkripsi 39 mRNA untuk semua jenis makrofag tetapi tidak ke sel
dendritik.
D. Jaringan Adiposa
Ada dua jenis utama jaringan adiposa dalam tubuh kita, jaringan adiposa putih (WAT)
dan jaringan adiposa coklat (BAT) yang dapat hidup berdampingan di seluruh situs jaringan
adiposa. Selain peran penyimpanan lemaknya, WAT dianggap endokrin terbesar dalam tubuh
dan diberikan fungsi otokrin, parakrin, dan endokrin (mis. Otak, otot, hati, pembuluh darah,
ginjal, tulang, dll.). BAT sangat penting untuk pemanfaatan energi melalui regulasi
termogenesis sebagai respons terhadap asupan makanan dan dingin, aktivasi simpatis,
hormon seperti irisin, lemak yang dilepaskan oleh otot, dll.
Jaringan adiposa memiliki dua fitur penting: kapasitas untuk berkembang dan
plastisitas. Ekspansi jaringan adiposa digunakan untuk menyimpan lipid, baik dengan
peningkatan ukuran adiposit (hipertrofi) dan diferensiasi atau adipogenesis (hiperplasia) dari
adiposit yang sudah ada sebelumnya. Ketika obesitas berkembang, hipertrofi terjadi,
kemudian keberadaan adiposit besar dapat merekrut sel-sel baru yang memicu hiperplasia
adiposit. Salah satu karakteristik VAT (Visceral Adipose Tissue) adalah tingkat proliferasi
dan kapasitas diferensiasi lebih rendah yang mengarah pada pertumbuhan oleh hipertrofi,
yang menyebabkan gangguan fungsi adiposit. Di sisi lain, SAT (Subcutan Adipose Tissue)
(terutama tubuh bagian bawah) tumbuh terutama oleh hiperplasia; namun ketika adipogenesis
terbatas, adiposit disfungsional hipertrofik akan terjadi. Setiap kali kapasitas untuk
memperluas kedua kompartemen terlampaui, lipid tumpah ke situs ektopik (jaringan non-
adiposa).
Gambar 2.5 (a) Pengembangan WAT kondisi normal, (b) pada orang Obesitas. 5
White Adipose Tissue atau jaringan adipose putih pada kondisi berat badan normal
adiposity mengalami hyperplasia, peran makrofag sebagai M2 (anti inflamasi) dan sel T
meningkat, sehingga meningkatkan pembentukan satuan sistem pembuluh darah yang baru.
Pada orang yang obesitas mengakibatkan adiposit mengalami hipertrofi dan tekanan pada sel.
Hipertrofi tersebut memicu aktivasi peran makrofag sebagai M1 (pro inflamasi) dan sel NK
meningkat, angiogenesis (pembentukan sistem pembuluh darah baru) menurun sehingga
menyebabkan meningkatnya fibrosis (pembentukkan jaringan parut di adiposit) dan hipoksia
(kurangnya suplai darah ke jaringan adiposit).
Pada manusia, depot lemak utama adalah intra-abdominal termasuk omental dan mesenterika
(visceral), tubuh bagian bawah termasuk gluteal, intramuskuler, tubuh bagian bawah kulit,
dan lemak tubuh bagian bawah kulit. Distribusi (White Adipose Tissue) di dalam situs ini
bervariasi secara signifikan antara jenis kelamin dan individu, dengan obesitas sentral
menandakan risiko diabetes, dislipidemia, dan beberapa komorbiditas lain yang lebih tinggi,
bersama dengan mortalitas.
Gambar 2.6 Mekanisme pengaktifan Sitokin Pro-inflamasi ketika Obesitas (Mc. Ardle,
et.al 2013)
Perluasan jaringan adiposa obesitas - peradangan yang dihasilkan dan disregulasi metabolik.
Kelebihan energi menyebabkan ekspansi adiposa dengan adiposit hipertrofik yang
mengeluarkan chemoattractants seperti MCP-1, menarik sel-sel kekebalan ke dalam jaringan.
Sekresi mediator proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6 oleh adiposit, pre-adipocytes,
dan infiltrating sel imun menghasilkan polarisasi makrofag menjadi fenotip M1 pro-
inflamasi, dan menggerakkan sel T inflamasi populasi. Lipolisis augmented menyebabkan
peningkatan kadar FFA. Lingkungan ini berdampak negatif pada jalur pensinyalan insulin
dan keadaan hasil resistensi insulin. Selain itu, adiposit hipertrofik juga terkait dengan
hipoksia.
F. Adipokin
Obesitas dan pembesaran adiposit progresif otomatis membuat suplai darah ke
adiposit berkurang (hipoksia). Hipoksia menjadi penyebab etiologi nekrosis dan infiltrasi
makrofag ke dalam jaringan adiposa. Adipokin adalah protein yang berasal dari jaringan
adiposa (adipose tissue (AT)-derived proteins). Peran adipokin terlibat baik dalam proses
fisiologis maupun patologis. Ketidakseimbangan produksi adipokin pro dan anti-inflamasi di
jaringan adipose ditemukan pada obesitas yang memberikan kontribusi besar pada berbagai
aspek perkembangan penyakit-penyakit komorbid, antara lain sindroma metabolik (Kaur J,
2014). Adipokin tidak hanya diproduksi oleh adiposit, namun juga di makrofag dalam
jaringan adiposa. Adipokin mengintegrasikan sinyal endokrin, autokrin, dan parakrin untuk
memediasi berbagai proses termasuk sensitivitas insulin, stres oksidan, metabolisme energi,
koagulasi darah, dan respon inflamasi yang dianggap mempercepat aterosklerosis, ruptur
plak, dan atherothrombosis. Ini menunjukkan bahwa jaringan adiposa tidak hanya khusus
dalam penyimpanan dan mobilisasi lipid tetapi juga organ aktif endokrin metabolik yang
melepaskan banyak sitokin (Kaur J, 2014).
Adiposit melepaskan adipokin seperti leptin, adiponektin, visfatin, dan resistin
sebagai mekanisme penyimpanan energi secara pasif, yang dapat menyebabkan dan
memperburuk peradangan sistemik kronis tingkat rendah (Gomez et al., 2009). Adipokin
menginduksi mediator proinflamasi pada sel T CD4+ yang teraktivasi dari pasien dengan
osteoartritis, menunjukkan bahwa mediator sistemik dapat berperan dalam osteoartritis
(Scotece et al., 2017). Setelah interaksi dengan sel T CD4+ teraktivasi, kondrosit
menunjukkan peningkatan ekspresi MMP-13 dan penurunan ekspresi kolagen-2 dan
aggrekan.
Leptin adalah hormon yang meningkat secara linier terhadap lemak tubuh (Friedman
dan Halaas, 1998). Ini menghambat nafsu makan dan mengatur berat badan, pengeluaran
energi, dan mempertahankan homeostasis glukosa. Namun, dengan gangguan metabolisme,
individu menjadi resisten leptin. Leptin adalah sitokin kelas-1 yang dikeluarkan dari jaringan
adiposa, dan konsentrasi tinggi leptin dikaitkan dengan kerusakan jaringan muskuloskeletal
(Zabeau et al., 2003; Collins et al., 2015a, b, 2016b, c). Leptin mengaktifkan jalur pro-
inflamasi hilir (IL-2, IFNγ) dan menghambat jalur anti-inflamasi (IL-4) (Lechler et al., 1998).
Selain diproduksi oleh jaringan adiposa, kadar leptin dapat ditingkatkan dengan TNF-α, IL-1,
dan LPS, menciptakan loop umpan balik positif dengan peradangan kronis tingkat rendah
(Grunfeld et al., 1996)
Resistin adalah adipokin yang terlibat dalam resistensi insulin, peradangan, dan
homeostasis energi. Kadar serum resistin berasal dari jaringan adiposa visceral (Milan et al.,
2002). Resistin dan visfatin, menunjukkan hubungan dengan pemulihan dari gangguan
jaringan lunak ekstremitas atas seperti tendinopati, terkait dengan mekanisme respons
antiinflamasi (Rechardt et al., 2014). Adiponektin, adipokin lain, berasal dari lemak visceral,
memiliki peran protektif pada kesehatan kardiovaskular dan homeostasis glukosa (Milan et
al., 2002). Ketika lemak tubuh menurun, kadar adiponektin umumnya meningkat, dan
adiponektin dapat memodulasi regulasi jaringan adiposa melalui NF-κB (Ajuwon dan
Spurlock, 2005). Sebaliknya, jika lemak tubuh tinggi, kadar adinopektin menurun
homeostatis glukosa terganggu.
Progranulin adalah adipokin memiliki karakteristik anti-inflamasi. Tingkat mRNA
untuk progranulin meningkat pada tulang rawan, sinovium, dan bantalan lemak infrapatellar
dari pasien OA, dan kadar mRNA meningkat sebagai respons positif terhadap stimulasi
proinflamasi (Abella et al., 2016). Secara khusus, progranulin telah ditunjukkan untuk
menetralkan ekspresi molekul pro-inflamasi (yaitu, NOS, MMP-13) yang diinduksi oleh IL-
1β dan sumbu LPS-TLR-4 (Abella et al., 2016). Jika adipokin rusak, progranulin tidak
tersintesis mengakibatkan sensitivitas mRNA untuk menetralkan respon stimulasi
proinflamamsi berkurang, inflamasi terinduksi.
Tabel 2.2 Peran adipokin Pro-Inflamatori (Kaur, 2014, Huang PL, 2009)
TNF-α terutama dihasilkan oleh sel inflamasi dan limfosit, tetapi juga oleh adiposit
dan sel stroma. Menginduksi RI dengan menghambat fosforilasi SRI-1 dan
ekspresi GLUT-4
IL-6 dihasilkan oleh sel inflamasi, limfosit dan adiposa, otot skletal, menghambat
transkripsi gen SRI-1, GLUT-4 dan PPAR. Kadar dalam darah berkorelasi
dengan BMI.IL-6 mampu menekan aktivitas lipoprotein lipase. IL-6 terbukti
berhubungan positif dengan BMI, insulin puasa, dan pengembangan T2DM.
Leptin Adipokin yang terlibat dalam pengaturan kenyang dan asupan energi.
Tingkat leptin dalam plasma meningkat selama obesitas dan menurun selama
penurunan berat badan. Reseptor leptin sebagian besar terletak di
hipotalamus dan batang otak, sinyal melalui reseptor ini mengontrol
kenyang, pengeluaran energi, dan fungsi neuroendokrin. Kebanyakan
individu yang kelebihan berat badan dan obesitas memiliki tingkat leptin
yang tinggi (tidak menekan nafsu makan), atau dengan kata lain, resistensi
leptin. Resistensi leptin dianggap sebagai patologi mendasar pada obesitas.
Selain efeknya pada nafsu makan dan metabolisme, leptin bertindak di
hipotalamus untuk meningkatkan tekanan darah melalui aktivasi sistem saraf
simpatik (SNS). Terjadinya obesitas pada dasarnya kelainan dalam
pensinyalan leptin, yang mengakibatkan hyperphagia (keinginan besar pada
makanan), nafsu makan yang tidak terkendali.
Resistin Menginduksi disfungsi endotel dan terlibat dalam genesis aterosklerosis.
MCP-1 Kemokin disekresi oleh adiposa. Konsentarsi serum meningkat pada obes.
Menginduksi Resistensi Insulin dan steatosis hepar. Ekspresi MCP-1
adiposit meningkat oleh TNF.
Tabel 2.3 Peran adipokin Anti-Inflamatori (Kaur, 2014, Huang PL, 2009)
L. Eosinofil
Eosinofil secara klasik dikaitkan dengan alergi tetapi juga terkait dengan makrofag
M2. Eosinofil hadir dalam WAT dan menghasilkan IL-4 sehingga bertindak untuk mengisi
kembali makrofag M2; bertanggung jawab atas 4-5% sel SVF dalam WAT. Produksi sel IL-4
TH2 mensekresi IL-4 eosinofil. Penurunan jumlah eosinofil telah dilaporkan pada tikus yang
diberi makan tinggi lemak sehingga makrofag eosinofil M2 menjadi berkurang.
B. Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan gangguan respon metabolik terhadap kerja insulin, atau
kondisi dimana konsentrasi insulin yang normal tidak cukup menghasilkan respon insulin
normal dalam jaringan perifer seperti adiposa, otot, dan hati (King, 2016). Akibatnya untuk
kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak dari normal untuk
mempertahankan keadaan normoglikemik (euglikemik). Resistensi insulin terjadi di
postreseptor sel target dijaringan otot rangka dan sel hati. Kerusakan reseptor ini
menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi insulin oleh sel beta untuk mengatasi
hiperglikemia, sehingga terjadi hiperinsulinemia pada keadaan puasa maupun postprandial
(King, 2016). Resistensi insulin bermanifestasi klinis sebagai gejala dari sindrom metabolik.
Resistensi insulin pada jaringan menyebabkan hiperglikemia atau Diabetes Melitus Tipe 2
(King, 2016).
Gambar 2.9 Keterkaitan sindrom metabolik dan aksi insulin (Satish Mittal,
2008)
2.3.3 Hipertensi
Beberapa hasil penelitian menujukkan sekitar 50% pasien dengan hipertensi esensial
resisten terhadap insulin. Hipertensi terkait erat dengan obesitas dan resistansi insulin.
Obesitas pada jaringan adipose meningkatkan kadar leptin yang menstimulasi aktivasi sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS). Sedangkan insulin sebagai respons terhadap keadaan
obesitas merangsang sistem saraf simpatis (SNS) untuk mendorong termogenesis dan
meminimalkan penambahan berat badan. Peningkatan aktivitas SNS yang distimulasi insulin
dan RAAS yang distimulasi leptin menstimulasi penyerapan natrium (Na+) ginjal yang
mengarah ke vasodilatasi ginjal dan ekspansi volume cairan plasma. Selain menstimulasi
SNS, insulin juga menyebabkan peningkatan regulasi reseptor tipe I yaitu angiotensin II
dengan mekanisme setelah transkripsi yaitu stabilisasi reseptor mRNA. Peningkatan reseptor
angiotensin II memicu vasokonstriksi perifer dan ekspansi volume plasma. Meningkatnya
volume cairan plasma menyebabkan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
(Giuseppe Mulè, et al. 2014)
2.3.4 Dislipidemia
Dislipidemia aterogenik merupakan empat kelainan lipoprotein yang ditandai dengan
(1) peningkatan apolipoprotein (apo B) serum, (2) kadar lipoprotein densitas sangat rendah
(VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) tinggi. (3) Kadar Trigliserida tinggi, (4) kadar
lipoprotein densitas tinggi (HDL) rendah. Dislipidemia aterogenik yang disertai dengan
tingginya tekanan darah dan glukosa menyebabkan stimulasi protrombotik dan pro-inflamasi
yang berakibat pada perkembangan penyakit kardiovaskular akut. Pada orang obesitas
mengalami peningkatan akumulasi lemak intra-abdominal, ditunjukkan oleh lingkar pinggang
yang besar, memiliki peran langsung dalam perkembangan sindrom metabolik. Massa lemak
intra-abdominal tinggi meningkatkan proses lipolysis yaitu melepaskan sejumlah besar asam
lemak bebas (FFA) dalam darah dan organ tubuh lainnya melalui system portal ke hati yang
dapat mengganggu fungsi pembersihan insulin hepatik.
Dislipidemia aterogenik dalam beberapa cara (Klop, 2013). Pertama, FFA menekan
lipolisis pada sel adipose menyebabkan meningkatnya fluks asam lemak bebas (FFA) ke liver
yang meningkatkan produksi kolesterol VLDL. Dalam kondisi normal, insulin menghambat
sekresi VLDL ke sirkulasi sistemik. Namun bila terjadi resistensi insulin, fluks FFA ke hati
meningkat, kemudian trigliserida hati tinggi disebut hipertrigliseridemia. Hipertrigliseridemia
adalah refleksi dari kondisi resisten insulin yang merupakan salah satu kriteria paling penting
untuk diagnosis Sindrom metabolik. Kedua, insulin secara normal menguraikan apoB melalui
jalur bebas PI3K, sehingga resistensi insulin secara langsung meningkatkan produksi VLDL.
Ketiga, insulin meregulasi aktivitas dari lipoprotein lipase, yang membatasi dan berperan
sebagai mediator pengurangan VLDL (Klop, 2013).
Regulasi yang diinduksi FFA pada jalur sinyal insulin juga menghasilkan aktivasi
beberapa kinase yang terlibat dalam respon stress seperti Jun N-terminal kinase (JNK),
inhibitor of nuclear factor kappa B kinase beta (IKKβ), dan suppressors of cytokine
signaling-3 (SOCS-3). Aktivitas JNK merupakan pengatur penting resistansi insulin. Target
tindakan JNK adalah Ser307 IRS-1 dan fosforilasi ini memainkan peran penting dalam
perkembangan menjadi resistansi insulin hati. Aktivasi IKKβ (yang diperlukan untuk aktivasi
faktor nuklir kappa B, NFkB) mungkin memiliki efek yang paling jelas pada respon inflamasi
di hati dan jaringan adiposa. NFkB adalah faktor transkripsi paling penting yang mengaktivasi
ekspresi banyak gen-gen sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin 6 (IL-
6), dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), leptin, adiponectin, MCP-1 (Monocyte
Chemoattractant Protein-1), PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1), yang
bertanggungjawab pada kondisi inflamatorik subakut, masing-masing telah terbukti terlibat
dalam mempromosikan IR. Mediator inflamasi NFκB-dependent yang diproduksi dalam
hepatosit bertindak untuk mengurangi sensitivitas insulin dan untuk mempromosikan
kerusakan hati (Michael, 2017).
Kemampuan seramide untuk mengganggu pensinyalan reseptor insulin adalah hasil
pemblokiran kemampuan reseptor untuk mengaktifkan kinase efektor hilir, PKB/AKT
(Aktin). Percobaan dalam kultur sel, melibatkan baik adiposit dan sel otot rangka, telah
menunjukkan bahwa ceramide menghambat ambilan glukosa yang dirangsang insulin dengan
memblokir translokasi GLUT4 ke membran plasma serta mengganggu sintesis glikogen.
Aktivitas seramida telah ditunjukkan pada semua jenis sel yang diuji dalam memblokir
aktivasi PKB/AKT (Michael, 2017).
Asupan lemak berlebih terutama asam lemak jenuh, mengarah kepada stress
mitokondria dan retikulum endoplasma (RE). Mitokondria juga sebenarnya sudah
menghasilkan ROS. Namun, peningkatan oksidasi lemak di mitokondria mengarah pada
penambahan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) pada siklus asam sitrat. Tekanan
mitokondria dan RE dapat menyebabkan apopotosis. Jika Ros diproduksi berlebihan akan
menurunkan aktivitas sel β pankreas, dan sel yang lainnya, pada saat yang bersamaan
hiperglikemia akan menginduksi signal ROS yang akan menstimulasi sekresi insulin atau
glucosa induced insulin secretion (GIIS). Status inflamasi sistemik yang meningkat serta
stress selular dikaitkan dengan resistensi insulin (Michael, 2017).
Renin dan prekursornya disintesis dan disimpan di sel juxtaglomerular dalam ginjal
dan dilepaskan sebagai respon terhadap rangsangan (Gambar). Fungsi utama renin adalah
untuk memecah angiostenstinogen untuk membentuk angiostensin I. Angiostensin-
Converting-Enzime (ACE) memecah angiostenin I untuk membentuk angiostensin II, yang
merupakan pusat dari peran patogenetik RAAS dalam hipertensi. Angiotensin II juga
berhubungan dengan disfungsi endotel dan memiliki efek profibrotic dan proinflamasi,
dimediasi sebagian besar oleh peningkatan stres oksidatif, mengakibatkan cedera ginjal,
jantung dan vaskular. Angiotensin II terkait erat dengan kerusakan target-organ pada
hipertensi via mekanisme ini (Hall, M dan Hall, J, 2018). ACE2 sebagai modulator penting
dalam patofisiologi hipertensi, CVD dan penyakit ginjal, karena perannya dalam
memetabolisme angiotensin II menjadi angiotensin (1-7). Angiotensin (1–7) menginduksi
vasodilatasi sistemik dan regional, miosit jantung dan fibroblast serta pada sel tubular
glomerulus dan proksimal (Varagic, dkk, 2014)
Gambar 2.18 Pengaruh insulin pada pengangkut garam di tubulus proksimal, TALH,
tubulus distal, dan duktus pengumpul (Soleimani, 2015).
Resistensi insulin dan hipertensi adalah komponen sindrom metabolik dan sering
terjadi bersamaan (Zhou, dkk, 2012). Studi klinis menunjukkan bahwa sekitar 50% dari
individu hipertensi memiliki hiperinsulinemia atau intoleransi glukosa, sedangkan hingga
80% pasien dengan diabetes tipe 2 mengalami hipertensi (Zhou,dkk 2012 dan Lastra, dkk,
2010). Efek metaboliknya, insulin menginduksi vasorelaksasi dengan merangsang produksi
nitrat oksida (NO) di endotelium (Scherrer, dkk, 1994) dan mengatur homeostasis natrium
dengan meningkatkan reabsorpsi natrium di ginjal (Horita, dkk, 2011); dengan demikian,
berkontribusi pada pengaturan tekanan darah. Studi terbaru menunjukkan bahwa resistensi
insulin dapat berkembang tidak hanya pada jaringan responsif insulin klasik, tetapi juga pada
jaringan kardiovaskular di mana insulin berpartisipasi dalam perkembangan penyakit
kardiovaskular dan hipertensi (Horita, dkk, 2011).
Nakamura dkk (2015) menunjukkan pada hewan pengerat dan manusia dengan
resistensi insulin bahwa efek stimulasi insulin pada serapan glukosa dalam adiposit,
dimediasi melalui substrat reseptor insulin 1 (IRS1) sangat berkurang. Hal ini berefek pada
reabsorpsi garam di tubulus proksimal ginjal dimediasi melalui IRS2, dipertahankan.
Hiperinsulinemia kompensatori pada individu dengan resistensi insulin dapat meningkatkan
penyerapan garam di tubulus proksimal, mengakibatkan keadaan kelebihan garam dan
hipertensi.
Hiperinsulinemia dapat dilihat sebagai salah satu penyebab dalam terjadinya hipertensi
melalui beberapa mekanisme. Ini termasuk peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus ginjal,
aktivasi sistem saraf simpatetik, dan perubahan resistensi vaskular meskipun peningkatan
konsentrasi kalsium dalam sel otot polos (Landsber, dkk, 2013).
Kemampuan tubulus ginjal untuk mengatur reabsorpsi natrium sangat penting untuk
menjaga volume vaskular dan tekanan darah sistemik. Insulin bekerja pada beberapa segmen
nefron untuk menstimulasi reabsorpsi garam. Dalam tubulus proksimal, insulin dikenal untuk
menstimulasi Na+/H+ exchanger tipe 3 (NHE3) pada membran apikal, dan sodium-
bicarbonate cotransporter (NBCe1) pada membran basolateral untuk meningkatkan
reabsorpsi natrium dan bikarbonat. Efek stimulasi insulin pada NHE3 dimediasi melalui Akt,
karena jalur ini diketahui memainkan peran penting dalam translokasi PI3K-mediasi NHE3
ke dalam membran apikal sel proksimal tubular. Insulin juga menstimulasi Na-K-ATPase,
berkontribusi terhadap peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal (Landsber, dkk,
2013). Singkatnya, insulin mengaktifkan mesin natrium-menyerap di tubulus proksimal.
Insulin meningkatkan reabsorpsi garam di ascending limb of Henle (TALH) dan
nefron distal. Dalam TALH, insulin secara langsung merangsang reabsorpsi NaCl, melalui
aktivasi cotransporter Na-K-2Cl (NKCC2) dan Na-K-ATPase (Horita, dkk, 2011). Di nefron
distal dan tubulus penghubung, insulin mengaktifkan saluran natrium epitel (epithelial
sodium channel (ENaC)), melalui peningkatan densitas saluran ENaC pada membrane. Pada
tubulus proksimal dan TALH, insulin mengaktifkan Na-K-ATPase di nefron distal. Data
terbaru menunjukkan efek stimulasi insulin pada with-no-lysine (WNK) kinase, menunjukkan
peningkatan reabsorpsi natrium di nefron distal melalui natrium-klorida cotransporter NCC
(Landsber, dkk, 2013). Hiperinsulinemia tanpa adanya resistensi insulin, seperti yang diamati
pada pasien dengan insulinoma, tidak terkait dengan hipertensi. Namun, hiperinsulinemia
yang ada dalam pada orang diabetes mellitus tipe 2, obesitas, atau sindrom metabolik dapat
menyebabkan hipertensi.
Gambar 2.19 Kaitan resisten insulin dengan sekresi ApoB (Haas, 2013).
Dalam keadaan normal, insulin reseptor mengaktivasi PI3K yang mengaktivasi Akt.
Akt mengaktivasi mTORC1 yang menstimulasi lipogenesis dan menghambat ApoB. Namun,
dalam keadaan reseptor resistensi insulin tidak bisa menerima insulin sehingga tidak bisa
mengaktivasi PI3K dan tidak bisa mengaktivasi Akt, sehingga terbentuk FoxO1 yang
akhirnya mengaktivasi MTTP dan ApoCIII dan akan mensekresi ApoB. Apo B merupakan
suatu parameter yang sangat menentukan terjadinya suatu endapan lemak, bila LDl
Kolesterol rendah dan Apo B tinggi maka akan terjadi endapak lemak ( aterosklerosis). Rasio
LDL-C Apo B dikenal sebagai small dense LDl (sd LDL). Oleh sebab itu WHO menetapkan
Apo-B sangat berperan pada resiko dini penyakit Jantung dan Pembuluh darah. Apo B-100
(disebut juga Apolipoprotein B/Apo B) merupakan protein yang terlibat dalam metabolisme
lipid dan merupakan unsur protein utama dari lipoprotein seperti LDL (very Low Density
Lipoprotein) dan LDl (Low Density Lipoprotein) (Haas, 2013).
Singkatan: FoxO1 (Forkhead box protein O1), MTTP (Microsomal Triglyceride Transfer
Protein), SREBP-1 (Sterol regulatory element-binding protein 1).
Insulin yang gagal menekan lipolisis di jaringan adipose dan FoxO1 (faktor
transkripsi yang ditandai oleh domain forkhead yang berbeda) di liver, teteapi tetap
mengaktivkan mTORC1. Pendorongan FoxO1 mengarah pada kenaikan MTTP dan ApocIII
yang mengsekresi ApoB. Dalam waktu yang sama mTORC1 pada liver mengaktivasi
SREBP-1c dan meningkatkan lipogenesis bersamaan dengan penekanan sortilin. Tugas
sortilin adalah menahan degradasi ApoB. Maka, penekanan atau penghambatan sortilin
menenkan sekrsi ApoB. Peningkatan lipolisis dibarengi dengan kenaikan FFA di liver akan
memperbesar pool TG. TG yang binding dengan ApoB akan menjadi lipid-rich VLDL (Haas,
2013).
2.3.10 Keterkaitan Obesitas, Hipertensi dan Resistensi Insulin Terhadap Sindrom
Metabolik
Kadar CRP ini dikaitkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Tingkat produksi CRP yang mencerminkan kadar CRP plasma terbukti secara signifikan
berkorelasi dengan fitur MetS seperti lingkar pinggang, trigliserida tinggi, HDL rendah, dan
juga untuk biomarker peradangan dan biologi jaringan adiposa seperti IL-6 tinggi dan
adiponektin rendah. CRP juga disintesis dalam jaringan adipose dan dapat hadir dalam
jumlah berlebihan pada pasien dengan obesitas perut, yang pada akhirnya menghasilkan
resistensi insulin dan diabetes.
CRP memberikan efek proatherogenik pada sel-sel vaskular seperti sel endotel, sel
otot polos, dan makrofag monosit. CRP dalam sindrom metabolic terkait dengan disfungsi
endotel, perannya dalam monosit-makrofag inflamasi. Disfungsi endotel memainkan peran
penting dalam inisiasi dan perkembangan penyakit vaskular aterosklerotik dan resistansi
insulin. Dalam penelitian, individu dengan MetS juga mengalami disfungsi endotel dengan
penurunan vasodilatasi endothelium. Kadar CRP berkorelasi terbalik dengan vasoreaktivitas
endotel. CRP manusia mengurangi basal dan merangsang pelepasan nitrit oksida dari sel
endotel arteri dan vena. Penghambatan eNOS yang dimediasi oleh CRP dengan peningkatan
aktivasi NADPH oksidase dan penurunan guanosin trifosfat cyclohydrolase 1 (GTPCH1)
(HAECs) in vitro [HAECs] in vitro kemudian merusak vasoreaktivitas endotel. Peningkatan
CRP dikaitkan dengan tekanan arteri sistolik. CRP menghambat prostacyclin synthase yang
mengakibatkan penurunan prostacyclin, vasodilator yang kuat. CRP dengan menginduksi
disfungsi endotel, dapat menyebabkan pasien dengan MetS mengalami risiko untuk
hipertensi. Pasien dengan MetS mengalami prokoagulan dengan peningkatan plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan mengurangi aktivator plasminogen jaringan (tPA) dalam sel
endotel. CRP menginduksi antigen dan aktivitas PAI-1 melalui peningkatan regulasi faktor
nuklir kappa-light-enhancer aktivitas sel B teraktifasi (NF-κB).
Efek proinflamasi CRP dalam monosit-makrofag termasuk induksi faktor jaringan,
sitokin proinflamasi, reseptor chemokine 2 (CCR2), rilis matrix metalloproteinases (MMPs),
pengambilan CDP, ekspresi CD11b, dan menyerap LDL teroksidasi. Pro-inflamasi oleg CRP
juga dilakukan dengan pelepasan IL-10 yang diinduksi oleh efluks kolesterol dan
lipopolisakarida (LPS). Beberapa bukti eksperimental mendukung peran monocyte
chemotactic protein-1 (MCP-1) dalam atherogenesis, resistensi insulin, dan peradangan yang
dimediasi jaringan adiposa. CRP juga menginduksi MCP-1 dalam sel endotel dan
reseptornya, CCR2 pada monosit. Esposito et al telah melaporkan bahwa pada wanita
obesitas dan tidak obes yang tidak menderita MetS memiliki level IL-10 lebih rendah dari
wanita dengan MetS. Dalam hal ini, CRP menghambat pelepasan IL-10 yang diinduksi LPS
dari makrofag yang diturunkan sel monosit manusia.
Stres oksidatif, terutama superoksida, memainkan peran penting dalam patogenesis
parameter MetS. Stress oksidatif memainkan peran pada peningkatan aktivasi sel
mononuklear (MNC) pada individu dengan MetS dibandingkan dengan kelompok
kontrol. CRP menghasilkan peningkatan produksi superoksida sebagai hasil dari peningkatan
aktivitas NADPH oksidase dalam sel endotel serta dalam monosit darah perifer
manusia. Peningkatan LDL teroksidasi di dinding pembuluh dan sirkulasi telah ditunjukkan
pada pasien dengan sindrom koroner akut dan dikaitkan dengan disfungsi endotel dan
memprediksi penyakit kardiovaskular. Selain itu, pasien dengan MetS menunjukkan
peningkatan kadar LDL plasma teroksidasi, CRP memicu penyerapan LDL teroksidasi dan
akumulasi ester kolesterol.
Pasien dengan MetS berada dalam kondisi prokoagulan dimana CRP mendorong
aktivitas prokoagula melalui aktivasi ROS dan NF-κB. NF-κB adalah faktor transkripsi
penting yang terlibat dalam induksi gen proinflamasi spesifik. Studi dalam model hewan
telah menunjukkan pentingnya I-κ-B kinase b (IKKb) dalam patogenesis resistensi insulin
pada tikus pengidap obesitas dan diabetes. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan ikatan NF-
κB di dalam nukleus dan penurunan serta penghambatan κB di MNC, dengan peningkatan
mRNA untuk TNF, IL-6, inhibitor makrofag. faktor (MIF), dan MMP-9, konsisten dengan
keadaan proinflamasi. CRP menginduksi aktivitas NF-κB dalam makrofag tikus in vivo. CRP
adalah molekul efektor yang mampu menginduksi fenotip proatherogenik. Perubahan gaya
hidup terapeutik landasan terapi pada pasien dengan MetS. Penurunan berat badan dan
pembatasan kalori menurunkan kadar CRP dan beban inflamasi di MetS.
Mediator utama inervasi pada jaringan adipose putih (WAT) adalah SNS (SNS).
Youngstrom dan Bartness memberikan bukti ketika traktus neuron tunggal digunakan untuk
menunjukkan persarafan simpatis postganglionik secara dua arah, bersamaan dengan insulin,
SNS adalah mediator utama lipolisis pada jaringan adiposa.
1. Pada orang yang obesitas mengalami pengingkatan aktivitas SNS yang menyebabkan
tekanan darah tinggi atau hipertensi. Hipertensi menstimulasi otak menstimulasi TSH (Tyroid
Stimulating Hormone) untuk mengeluarkan hormone tiroid. Hormone tiroid yang meningkat
akan menyebabkan meningkatnya lipogenesis.
2. Resistansi insulin yang disebabkan akibat inflamasi terkait dengan menurunnya dan
meningkatnya hormone insulin, menyebabkan hormone insulin tidak stabil. Menurunnya
sinyal hormone insulin menstimulasi sekresi glucagon yang menstimulasi glukogenolisis
yang memecah glikogen. Glukogenolisis meningkat mengakibatkan intracellular pools of
glucose-β meningkat kemudian meningkatkan lipogenesis. Sedangkan pada ketidakstabilan
hormone insulin dengan meningkatnya sinyal pengeluaran insulin secara langsung
meningkatkan lipogenesis.
Gambar 2.22 Absorpsi Glukosa dan Fruktosa pada Sel Epitel Intetinal. (Herbert TJ,
20018)
Absorpsi glukosa dari lumen intestinal ke dalam sel epitel melalui SGLT1 yang
membutuhkan ion Na+, sedangkan absorpsi fruktosa melalui GLUT5 secara difusi.
Selanjutnya glukosa dan fruktosa di transpor oleh GLUT2 ke cairan ekstraseluler, dengan
energi yang disediakan oleh proses pompa Na+/K+
Gambar 2.23 Metabolisme Fruktosa Hepatik (Basciano H, 2005)
Penelitian terhadap hewan coba dan jangka pendek pada manusia menunjukkan
bahwa asupan tinggi fruktosa berkontribusi terhadap kegagalan toleransi glukosa, resistensi
insulin dan hiperinsulinemia. Fruktosa menginduksi resistensi insulin melalui dua mekanisme
yaitu melalui pembentukan asam urat dan DNL.1 Fruktosa mengalami fosforilasi oleh enzim
KHK yang menghabiskan ATP sehingga dibentuk asam urat menimbulkan efek sistemik
dengan menurunkan nitrik oksida (NO) sehingga terjadi vasokonstriksi dan penurunan
serapan glukosa oleh otot skeletal. Selain efek sistemik, asam urat juga menimbulkan efek
seluler terhadap sel adiposit melalui peningkatan stres oksidatif dan penurunan adinopektin
sehingga terjadi penurunan oksidasi lipid hepatik. Akibat efek sistemik dan efek seluler asam
urat tersebut memicu timbulnya resistensi insulin. Fruktosa juga menginduksi DNL dengan
menyediakan atom karbon (gliserol-3fosfat dan asil-KoA) yang diubah menjadi
monoasilgliserol dan diasilgliserol (DAG). Selanjutnya DAG diubah menjadi trigliserida dan
VLDL yang mengakibatkan resistensi insulin.
Gambar 2.24 Pembentukan Asam Urat dari Fruktosa (Nakagawa T, 2006)
Perubahan fruktosa menjadi fruktosa-1fosfat oleh enzim KHK, disertai perubahan ATP
menjadi ADP dan Pi. ADP diubah menjadi AMP kemudian menjadi IMP oleh enzim AMP
deaminase yang teraktivasi Pi, selanjutnya menjadi asam urat.
Gambar 2.25 Mekanisme Fruktosa Menginduksi Resistensi Insulin (Jhonshon RJ, 2009)
Fruktosa menginduksi resistensi insulin melalui pembentukan asam urat yang berefek
sistemik maupun efek seluler terhadap sel adiposit serta melalui de novo lipogenesis dengan
menyediakan atom karbon untuk pembentukan trigliserida, VLDL, aktivasi PKC.
Berbagai hasil penelitian mengenai efek HFCS dalam soft drink terhadap prevalensi
berbagai gejala sindrom metabolik antara lain sebagai berikut: penelitian antara tahun 1909
hingga 1997 di Amerika, peningkatan penggunaan HFCS dalam soft drink berkorelasi positif
dengan diabetes tipe II. Hasil penelitian lain menunjukkan terjadinya peningkatan obesitas
pada adolescent dan diabetes tipe II baik pada wanita usia muda maupun wanita paruh baya.
Sedangkan hasil survei oleh National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES-
III) di USA dari tahun 1988 hingga 1994 terhadap 14.761 partisipan usia di atas 20 tahun
yang mengonsumsi soft drink menunjukkan peningkatan asam urat.7,10 Hasil penelitian
pemberian fruktosa 17-20% diet (60-70 g fruktosa setiap hari) pada pria selama 4 minggu
menunjukkan peningkatan kadar trigliserida, sedangkan penelitian lain yang membandingkan
efek metabolik pemanis dalam minuman yang mengandung fruktosa dan glukosa (25% dari
kebutuhan energi per hari) selama 10 minggu pada pria dan wanita overweight maupun
obesitas usia 50-72 tahun. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian fruktosa memicu
timbulnya tiga gejala sindrom metabolik yaitu dislipidemia (peningkatan trigliserida, low
density lipoprotein /LDL dan kolesterol), resistensi insulin serta peningkatan lemak viseral.
Gambar 2.26 Efek Fruktosa terhadap Otak, Hepar, Pembuluh Darah, Ginjal dan Sel
Adiposit Memicu Timbulnya Berbagai Gejala Sindrom Metabolik.(Jhonshon RJ, 2009)
Tabel 2.3 Perbandingan asupan tinggi lemak trans dan asupan moderat lemak
trans dengan diet kontrol.
Gamar 2.28 Persentase ekspresi relatif dari gen yang memediasi sensitivitas insulin di
jaringan adiposa pada tikus yang diberi diet SFA (bar garis vertikal), diet TFA-1
(hitam / putih) dan diet TFA-2 (bar terbuka) (Natrajan et.a.l, 2005).
Data yang disajikan pada Gambar. menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan
diet CON, TFA diet (TFA diet 1) menurunkan (, 40%) level mRNA dari PPARg, sementara
diet SFA (diet SFA) tidak mengubahnya. Meningkat level LA dalam diet TFA (TFA diet 2)
tidak menunjukkan peran protektif terhadap efek TFA pada level mRNA dari PPARg. SFA
diet meningkatkan (, 40%) tingkat LPL mRNA jika dibandingkan dengan diet CON,
sedangkan TFA menurunkan (, 25%) ekspresi LPL pada epididimis lemak, terlepas dari
tingkat LA dalam diet. Adiponektin Tingkat mRNA menurun (, 35%) dalam diet SFA bila
dibandingkan dengan diet CON, sedangkan TFA diet 1 tidak mengubahnya. Peningkatan
kadar LA (TFA diet 2) menurun (, 30%) kadar mRNA adiponektin. Baik SFA diet dan TFA
meningkatkan (, 30%) kadar mRNA resistin di lemak epididimis. Efeknya diamati pada
pemberian TFA tikus terlepas dari tingkat LA dalam diet (TFA diet 2). SFA diet menurunkan
(, 40%) level GLUT4 mRNA, sedangkan TFA diet 1 tidak mengubahnya. Meningkat kadar
LA pada tikus yang diberi makan TFA (TFA diet 2) menurun (, 40%) kadar GLUT 4 mRNA
dalam lemak epididimis.
Berdasarkan Penelitian Zhao (2016) menunjukkan bahwa asupan high fat diet (HFD)
secara signifikan dapat mengganggu toleransi glukosa, namun diet high trans-fatty acid
(HTD) memiliki efek yang lebih parah dari HFD. Penelitian pada tikus yang diberikan diet
HTD menunjukkan steatosis hati yang jauh lebih parah dibanding tikus dengan diet HFD.
Kelompok tikus yang mengonsumsi HTD menunjukkan penurunan kadar IRS 1, fosfor-PKC,
dan fosdor-SKT. Hasil penelitian mendukung hipotesis awal bahwa diet HTD dapat lebih
berisiko terkena obesitas, resisten insulin, dan steatosis hari dan menekan jalur IRS1-
dependen (Zhao et.al, 2016).
Gambar 2.29 Ringkasan efek dari berbagai diet pada metabolisme seluruh tubuh
Asupan tinggi fruktosa mengganggu jalur glikolitik dengan mem-bypass langkah
pengontrol laju, konversi glukosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-bifosfat.
Phosphofructokinase bertindak sebagai regulator negatif untuk metabolisme glukosa dan
memungkinkan fruktosa untuk memasuki jalur glikolitik terus menerus untuk menghasilkan
piruvat, laktat, gliserol dan asil-gliserol.
Ketika banyak glukosa tersedia selama asupan karbohidrat tinggi, jalur pemanfaatan
glukosa dimulai: pemecahan glukosa oleh glikolisis, konversi glukosa menjadi glikogen
melalui glikogenesis, dan produksi insulin yang bekerja pada jaringan adiposa untuk
meningkatkan sintesis asam lemak. Konsumsi diet sukrosa tinggi: sukrosa terpisah menjadi
molekul fruktosa dan glukosa dan memasuki mekanisme spesifik mereka seperti yang
dinyatakan sebelumnya. d Lemak menjalani lipolisis, gliserol dan asam lemak dilepaskan ke
dalam darah. Namun, asam lemak yang dilepaskan selama lipolisis diesterifikasi ulang
membentuk trigliserida. Kelebihan trigliserida melalui berbagai asupan yang berlebihan
Dalam penelitian terbaru di Amerika Serikat, Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi
Nasional Ketiga, ditemukan bahwa orang yang minum 1 hingga 19 sebulan memiliki 50
persen pengurangan kemungkinan mengembangkan Sindrom Metabolik. Antara manfaat dari
konsumsi alkohol moderat adalah menurunkan kadar insulin puasa, peningkatan HDL,
trigliserida serum yang lebih rendah, dan lingkar pinggang yang lebih kecil, yang akan
menyarankan penurunan obesitas visceral. Minum alkohol lebih dari jumlah sedang mulai
mengurangi manfaat tersebut. Anggur merah khususnya telah disebut-sebut memiliki manfaat
kesehatan yang unik. Resveratrol dianggap salah satu komponen yang bermanfaat dari anggur
merah. Meskipun demikian, dalam penelitian tersebut dicatat, anggur dan bir memberi
perlindungan yang signifikan. Anehnya, wiski dan minuman beralkohol suling lainnya tidak
memberikan manfaat kesehatan yang signifikan.
Gambar 2.31 Mekanisme disfungsi mitokondria terlibat dalam produksi stres oksidatif.
a. Obesitas
a) Sibutramin
Cara kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energy melalui efek
mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Setelah berat
badan turun dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan, namun
juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek
metabolik, sebagai efek dari penurunan berat badan pemberi ansibutramin setelah 24
minggu yang disertai dengan diet dan aktivitas fisik, memperbaiki konsentrasi
trigliserida dan kolesterol HDL (Soegondo, 2009).
b) Orlistat
Bekerja dengan cara menghambat absorpsi nutrisi lemak.
Dosis : 120 mg setiap setelah makan utama atau makan makanan yang berlemak
b. Hipertensi
Terapi medikamentosa terhadap komponen hipertensi dilakukan apabila modifikasi
gaya hidup tidak mampu mengendalikan tekanan darah. Terapi terhadap hipertensi
dapat dilakukan melalui Valsartan 80 mg 1x/hr s/d 160 mg/hr atau ditambah diuretic
jika tekanan darah belum dapat dikontrol secara adekuat.
a. Intoleransi Glukosa
b. Tiazolidindion : Menurunkan asam lemak bebas
c. Metformin : Menurunkan asam lemak bebas
Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi
progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas
(Soegondo, 2009). Dosis yang diberikan sebanyak tablet 500 mg 3x/hr atau kaplet
850 mg 2x/hr.
6. Dislipidemia
a) Gemfibrozil
Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara
bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular (Soegondo, 2009). Dosis yang
diberikan pada dewasa sebanyak 600 mg 2x/hr, maksimal 1500 mg/hr ½ jam sebelum
makan.
b) Fenofibrat
Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang sanga t efektif dan
mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan konsentrasi
fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida,
kolesterol HDL dan LDL (Soegondo, 2009). Dosis awal yang diberikan pada dewasa
sebanyak 100 mg 3x/hratau 300 mg/hr sebagai dosis tunggal. Jika sudah melakukan
diet kadar kolesterol tetap >4 g/L, dosis dapat ditingkatkan menjadi 100 mg 4x/hr.
Jika kolesterol telah normal, diberikan 10 mg 2x/hr disertai pemeriksaan kolesterol
tiap 3 bulan. Jika terjadi lagi peningkatan kadar lemak dalam darah, diberikan kembali
sebanyak dosis awal 100 mg 3x/hr.
Kesimpulan:
darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik.
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP III,
yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:
lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar
serum trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50
mg/dL untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah
2. Perbaikan gaya hidup yang dianjurkan adalah diet rendah lemak jenuh,
memperbanyak konsumsi buah, gandum, aktivitas fisik teratur (>30 menit per
pinggang, kadar trigliserid, kadar HDL, tekanan darah dan kadar gula puasa
pengobatan dini.
DAFTAR PUSTAKA
Alberti, K.G., dkk. 2006. Metabolic syndrome–a new world-wide definition. A Consensus
Statement from the International Diabetes Federation. Diabetic medicine: a journal of
the British Diabetic Association. 23 (5):469–480.
Basciano H, Federico L, Adeli K. Fructose, insulin resistance, and metabolic dyslipidemia.
Nutr & Metab 2005;2:5-19.
Bessesen DH. 2001. The role of carbohydrates in insulin resistance. J Nutr. 131:2782s–6s.
Brown and Borutaite V. 2001. Nitric Oxide, Mitochondria, and Cell Death. IUBMB Life. Vol
52: 189–195.
Castro1 AVB, Cathryn M. Kolka, Stella P. Kim, Richard N. Bergman. 2014. Obesity, insulin
resistance and comorbidities – Mechanisms of association. Arq Bras Endocrinol Metab.
58/6. doi: 10.1590/0004-2730000003223
Chatgilialoglu C, Ferreri C, Lukakis IN, Wardman P. 2006. Trans Fatty Acids and radical
stress: What are the Real Culprits. BMC Journal, 5.
Chen Y. Metabolism: Carbohydrate. In: Mooren FC, editor. 2012 Encyclopedia of Exercise
Medicine in Health and Disease. Berlin: Springer Berlin Heidelberg. p. 570–3.
Chung et.al. 2015. Nanomedicines for Endothelial Disorders. Nano Today. 2015 December 1;
10(6): 759–776. doi:10.1016/j.nantod.2015.11.009
Chun-Xia Yi, Lori Zeltser, Matthias Tschöp, Randy S. Levinson, C. Ron Kahn,
Domenico Accili, Rohit Kulkarni, Raghu G. Mirmira, Hui-Young Lee and Gerald
I. Shulman, Philipp E. Scherer, Khoa D Nguyen, Ajay Chawla. 2012. Metabolic
Syndrome ePoster. Diakses pada
https://www.nature.com/nm/poster/index.html.
Cohen, J. F. W., Rifas-Shiman, S. L., Rimm, E. B. E. B., Oken, E. & Gillman, M. W. 2011.
Maternal trans fatty acid intake and fetal growth. Am J Clin Nutr, 94, 1241-1247.
Davy, K. P., dan Hall, J. E. 2004. Obesity and hypertension: two epidemics or one? Am. J.
Physiol. Regul. Integr. Comp. Physiol. 286(5):R803-13.
Desmawati. 2017. Pengaruh asupan tinggi fruktosa terhadap tekanan darah. Majalah
Kedokteran Andalas. Vol 40 (1):31-39
Duvnjak, L., Bulum, T. dan Metelko, Z. 2008. Hypertension and The Metabolic Syndrome.
37(4):83-89
Elliott SS, Keim NL, Stern JS, Teff K, Havel PJ. Fructose, weight gain, and insulin
resistance syndrome. Am J Clin Nutr. 2002;76:911–22.
Farisi S, Musfiroh I. 2017. Karakterstik Senyawa Inhbitor yang Berpotensi Selektif terhadap
reseptor inducible Nitrat Oksida Sintase (iNOS): Review Jurnal. Farmaka Vol 15 No.3.
Fujita, T. 2014. Mechanism of salt-sensitive hypertension: focus on adrenal and
sympathetic nervous systems. J. Am. Soc. Nephrol. 25(6):1148–1155.
Gadgil MD, Appel LJ, Yeung E, Anderson CA, Sacks FM, Miller 3rd ER. 2013. The effects
of carbohydrate, unsaturated fat, and protein intake on measures of insulin sensitivity:
results from the OmniHeart trial. Diabetes Care. Vol 36:1132–7.
Gill, H., dkk. 2005. The key role of insulin resistance in the cardiometabolic syndrome. The
American journal of the medical sciences. 330 (6):290–294.
Graham LS, Tintut Y, Parhami F, Kitchen CM, Ivanov Y, Tetradis S. 2010. Bone density and
hyperlipidemia: the T-lymphocyte connection. J Bone Miner Res. 25:2460–9.
Grundy, S.M., dkk. 2005. Diagnosis and management of the metabolic syndrome: an
American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific
Statement. Circulation 112 (17):2735 2752.
Haas, E., Attie, D., dan Biddinger,B. 2013. The regulation of ApoB metabolism by insulin.
Trends in Endocrinology and Metabolism. 24(8):391-397.
Hall, M. E dan Hall, J. E. 2018. Pathogenesis of Hypertension dalam Hypertension: A
Companion to Braunwald’s Heart Disease 3rd edn 33–51 Elsevier:PhiladelphiaFujita,
T. 2014. Mechanism of salt-sensitive hypertension: focus on adrenal and sympathetic
nervous systems. J. Am. Soc. Nephrol. 25(6):1148–1155.
Horita, S., dkk. 2011. Insulin Resistance, Obesity, Hypertension, and Renal Sodium
Transport. International Journal of Hypertension. 1–8. doi:10.4061/2011/391762
Hotamisligil GS., Shargill NS, Spiegelman BM. 1993. Adipose expression of tumor necrosis
factor-alpha: directrole in obesity-linked insulin resistance. Science 259, 87–91.
Huang Paul L. 2009. A comprehensive definition for metabolic syndrome. Disease Models &
Mechanisms . Vol 2(5-6):231-237. doi: [10.1242/dmm.001180]. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2675814/.
Ibrahim A, Natrajan S & Ghafoorunissa. 2005. Dietary trans-fatty acids alter adipocyte
plasma membrane fatty acid composition and insulin sensitivity in rats. Metabolism 54
240–246.
Jeppesen, J.2007. Insulin resistance, the metabolic syndrome, and risk of incident
cardiovascular disease: a population based study. Journal of the American College of
Cardiology. 49(21):2112–2119.
Jung, U.J., dan Choi,M.S. 2014. Obesity and Its Metabolic Complications: The Role of
Adipokines and the Relationship between Obesity, Inflammation, Insulin Resistance,
Dyslipidemia and Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Int. J. Mol. Sci15(4):6184-6223
Jurgens H, Haass W, Castaneda TR, Schurmann A, Koebnick C, Dombrowski F, et al. 2005.
Consuming fructose-sweetened beverages increases body adiposity in mice. Obes Res.
13:1146–56.
Kaur Jaspinder. 2014. A Comprehensive Review of Metabolic Syndrome. Cardiology
Research and Practice. Vol 14. http://dx.doi.org/10.1155/2014/943162.
King, George L, Kyoungmin Park, and Qian Li. 2016. Selective Insulin Resistance and the
Development of Cardiovascular Diseases in Diabetes: The 2015 Edwin Bierman Award
Lecture. Diabetes Vol 65:1462–1471. Doi 10.2337/db16-0152
Klop, B., dkk. 2013. Dyslipidemia in Obesity: Mechanisms and Potential Targets. Nutrients.
5(4): 1218–1240.
Konukoglu, D dan Uzun, H. 2016. Endothelial Dysfunction and Hypertension. Springer
International Publishing Switzerland. Adv Exp Med Biol.956:511-540
Landsberg, L., dkk. 2013. Obesity-related hypertension: pathogenesis, cardiovascular risk,
and treatment. A position paper of The Obesity Society and the American Society of
Hypertension. J Clin Hypertens (Greenwich).15(1): 14–33.
Lastra, G., dkk. 2010. Salt, aldosterone, and insulin resistance: impact on the cardiovascular
system. Nat Rev Cardiol 2010, 7(10):577-584
Li Y, Lu Z, Zhang X, Yu H, Kirkwood KL, Lopes-Virella MF, et al. 2015. Metabolic
syndrome exacerbates inflammation and bone loss in periodontitis. J Dent Res. 94:362–
70.
Li, S, dkk. 2003. Childhood cardiovascular risk factors and carotid vascular changes in
adulthood: the Bogalusa Heart Study. Jama 290(17):2271–2276.
Lichtenstein AH, Appel LJ, Brands M, Carnethon M, Daniels S, Franch HA, et al. 200. Diet
and lifestyle recommendations revision 2006: A scientific statement from the American
Heart Association Nutrition Committee. Circulation. 114(1):82-96.
Lim, S. dan Meigs, J.B. 2014. Links between ectopic fat and vascular disease in humans.
Arteriosclerosis, thrombosis, and vascular biology. 34 (9):1820–1826.
Litvinova et.al. 2015. Nitricoxide and mitochondria in metabolic syndrome. Frontiersin Vol
6(20). doi: 10.3389/fphys.2015.00020.
Litvinova, Atochin, Fattakhov, Vasilenko, Zatolokin and Kirienkova1. 2015. Nitricoxide and
mitochondria in metabolic syndrome. Vol.6(20). doi: 10.3389/fphys.2015.00020.
Lorenzo, C., dkk. 2006. Geographic variations of the International DiabetesFederation and
the National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III definitions of
the metabolic syndrome in nondiabetic subjects. Diabetes care 29 (3):685–691.
Lucove, J.C., dkk. 2007. Association between adult and childhood socioeconomic status and
prevalence of the metabolic syndrome in African Americans: the Pitt County Study.
American journal of public health. 97 (2):234–236.
Madge LA, Pober JS. 2001. TNF signaling in vasculer endothelial cells. Exp Mol Pathol. 70,
317-325.
Masaron, Rosato, Dallio, Gravina, Aglitti, Loguercio, Federico, Persico. 2018. Role of
Oxidative Stress in Pathophysiology of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Oxidative
Medicine and Cellular Longevity. https://doi.org/10.1155/2018/9547613.
McCracken, Monaghan, Sreenivasan S. 2018. Pathophysiology of the metabolic syndrome.
Clinics in Dermatology. Vol. 36, 14–20.
https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2017.09.004.
Michael MK. 2017. Insulin Resistance. pada https://themedicalbiochemistrypage.org/insulin-
8.php pada tanggal 8 November 2018.
Milanski. 2009. Saturated fatty acids produce an inflammatory response
predominantly through the activation of TLR4 signaling in hypothalamus:
implications for the pathogenesis of obesity. J NeuroSci. 29(2):359-70.
Motard-Bélanger, A., dkk. 2008. Study of the effect of trans fatty acids from ruminants on
blood lipids and other risk factors for cardiovascular disease. The American Journal of
Clinical Nutrition. 87(3):593–599.
Motard-Bélanger, A., dkk. 2008. Study of the effect of trans fatty acids from ruminants on
blood lipids and other risk factors for cardiovascular disease. The American Journal of
Clinical Nutrition. 87(3):593–599
Mozumdar, A. dan Liguori, G. 2011. Persistent increase of prevalence of metabolic syndrome
among US adults: NHANES III to NHANES 1999–2006. Diabetes care 34 (1):216–
219.
Nakamura, M., dkk. 2015. Preserved Na/HCO3 cotransporter sensitivity to insulin may
promote hypertension in metabolic syndrome. Kidney Int. 87(3):535-542
Natarajan Saravanan, Abdul Haseeb, Nasreen Z Ehtesham and Ghafoorunissa. 2005.
Differential effects of dietary saturated and trans-fatty acids on expression of genes
associated with insulin sensitivity in rat adipose tissue. European Journal of
Endocrinology (2005) 153 159–165.
Nielsen S, Karpe F. 2012. Determinants of VLDL-triglycerides production. Curr Opin
Lipidol. 23:321–6.
Nitta. 2011. Possible Link between Metabolic Syndrome and Chronic Kidney Disease in the
Development of Cardiovascular Disease. Cardiology Research and Practice.
doi:10.4061/2011/963517
Oparil, S, dkk. 2018. Hypertension.primer. 18014(4):1-21
Petersen, K.F. dan Shulman, G.I. 2006. Etiology of insulin resistance. The American journal
of medicine. 119 (5 Suppl 1):S10-16.
Poloz and Stambolic V. 2015. Obesity and cancer, a case for insulin signaling. Cell Death
and Disease. Vol (6) e2037. doi:10.1038/cddis.2015.381.
Poloz Y, Stambolic V. 2015. Obesity and cancer, a case for insulin signaling. Cell Death &
Disease. Vol 6.
Possible Link between Metabolic Syndrome and Chronic Kidney Disease in the Development
of Cardiovascular Disease
Raitakari, O.T., dkk. 2003. Cardiovascular risk factors in childhood and carotid artery intima-
media thickness in adulthood: the Cardiovascular Risk in Young Finns Study. Jama.
290 (17):2277–2283.
Rao, A.,dkk. 2015. Obesity and insulin resistance in resistant hypertension: implications for
the kidney. Adv Chronic Kidney Dis 22(3):211–217
Reich, H. N., dkk. 2008. Decreased glomerular and tubular expression of ACE2 in patients
with type 2 diabetes and kidney disease. Kidney Int. 77(1):57-64.
Rinella, MD. 2015. Nonalcoholic Fatty Liver Disease A Systematic Review Mary E.. JAMA.
313(22): 2263-2273. doi:10.1001/jama.2015.5370.
Rinella. 2015. Nonalcoholic Fatty Liver Disease A Systematic Review. American Medical
Association. JAMA. 2015;313(22):2263-2273. doi:10.1001/jama.2015.5370
Roberts CK, Hevener, dan Barnard. 2013. Metabolic Syndrome and Insulin Resistance:
Underlying Causes and Modification by Exercise Training. Compr Physiol. 2013
January ; 3(1): 1–58. doi:10.1002/cphy.c110062.
Rocchini, A.P., Yang, I.Q., dan Gokee, A. 2004. Hypertension and insulin resistance are not
directly related in obese dogs. Hypertension. 43(5):1011-6.
Sartika, R. A. D. (2008), Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak Jenuh dan Asam Lemak Trans
terhadap Kesehatan. Jurnal kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2 No. 4, Februari
2008.
Scherrer U, dkk. 1994. Nitric oxide release accounts for insulin's vascular effects in humans.
J Clin Invest. 94(6):2511-2515
Schulman, I.H. dan Zhou, M.S. 2009. Vascular insulin resistance: a potential link between
cardiovascular and metabolic diseases. Curr Hypertens Rep.11(1):48-55.
Serra, D.,Mera,P.,Malandrino,M.I.,Mir,J.F.,andHerrero,L.(2013). Mitochondrial fatty acid
oxidation in obesity. AntioxidRedoxSignal. 19, 269–284. doi:10.1089/ars.2012.4875.
Singh A dan Williams GH. 2017. Textbook of NephroEndocrinology 2nd edn Academic
Press.
Soleimani, M. 2015. Insulin resistance and hypertension: new insights. Kidney International.
87(3), 497–499. doi:10.1038/ki.2014.392
Thirunavukkarasu V, Anitha Nandhini AT, Anuradha CV. 2004. Lipoic acid attenuates
hypertension and improves insulin sensitivity, kallikrein activity and nitrite levels in
high fructose-fed rats. J Comp Physiol B. 174:587–92.
Varagic, J., dkk. 2014. ACE2: angiotensin II/angiotensin-(1–7) balance in cardiac and renal
injury. Curr. Hypertens. Rep. 6(3): 420.
Wolfgang MJ, Cha SH, Sidhaye A, Chohnan S, Cline G, Shulman GI, et al. 2007. Regulation
of hypothalamic malonyl-CoA by central glucose and leptin. Proc Natl Acad Sci USA.
104:19285–90.
Wong SK, Chin , Suhaimi F , Fairus A, Nirwana. 2016. Animal models of metabolic
syndrome: a review. Nutrition & Metabolism (2016) 13:65. DOI 10.1186/s12986-016-
0123-9.
Yu Q, Go F, Ma Xin. 2011. Insulin says NO to cardiovascular disease.
Cardiovascular research. Doi:10.1093/cvr/vvq349
Zhao, dkk. 2016. Trans-Fatty Acids Aggravate Obesity, Insulin Resistance and Hepatic
Steatosis in C57BL/6 Mice, Possibly by Suppressing the IRS1 Dependent Pathway.
Molecules.21(6):1-11.
Zhao, Y., dkk. 2014. Vascular nitric oxide: beyond eNOS. J Pharmacol Sci 129(2):83–94.