Anda di halaman 1dari 6

REVIEW ARTICLE

Metabolic Syndrome and Cardiovascular Disease

Iin Fatimatus Z (202011101049)


Pembimbing: dr.Aditha Satria M., Sp.JP.FIHA
LAB/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI
2021

Abstract

Metabolic Syndrome is a syndrome that contributes to an increasing of


cardiovascular disease (CVD) because of its metabolic abnormality. The cause of
metabolic syndrome is not absolutely known but the risk factor such as sedentary
lifestyle and high calories intake play an important role in metabolic syndrome.
The prevalence of metabolic syndrome in the world is between 20-25%, whereas
in Indonesia 23.34%, is higher in men (26.2%) than in women (21.4%). Metabolic
syndrome is predicted to cause a two-fold increase in the risk of heart disease and
five-fold in type 2 diabetes mellitus. The components of metabolic syndrome
contain of hypertension, dyslipidemia, insulin resistance, and central obesity.

Keyword: metabolic syndrome, CVD

Pendahuluan

Sindrom Metabolik (SM) merupakan sebuah sindrom dimana seseorang


memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi), obesitas sentral, dislipidemia
(peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL), dengan atau tanpa
adanya resistensi insulin. Kondisi-kondisi tersebut dihubungkan dengan
peningkatan kejadian aterosklerosis akibat respon inflamasi kronis dan disfungsi
endotel vaskular, serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular lain secara
signifikan. Di Indonesia, kejadian Sindrom Metabolik sebesar 23,34% dari total
populasi dengan 26,2% terjadi pada laki-laki dan 21,4% terjadi pada perempuan.
Sindrom Metabolik menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia
akibat perubahan gaya hidup dan pola makan, asupan energy yang berlebihan,
serta peningkatan kejadian obesitas. Setiap komponen sindrom metabolik
berperan sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular. Diperkirakan dalam kurun
waktu lima sampai sepuluh tahun kedepan akan terjadi peningkatan kasus DM
tipe 2 lima kali lipat dan peningkatan penyakit kardiovaskular dua kali lipat.
Pasien dengan Sindrom Metabolik beresiko terjadi strok dua hingga empat kali
lipat, dan beresiko terjadi infark miokard tiga hingga empat kali lipat.

Kriteria Sindrom Metabolik

Belum ada kriteria tetap dalam menentukan sindrom metabolik. Sehingga,


berbagai organisasi di dunia berusaha untuk membuat kriteria sindrom metabolik
agar dapat diterapkan oleh klinisi sehari-hari. Sampai saat ini ada beberapa
pendapat tentang kriteria Sindrom Metabolik yang diajukan oleh WHO tahun
1998, European Group for the study of Insulin Resistance (EGIR) tahun 1999,
National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP
III) tahun 2001, American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) tahun
2003, dan International Diabetes Federation (IDF) tahun 2005. Pendapat dari
berbagai macam organisasi tersebut memiliki komponen yang sama namun
dengan parameter yang berbeda. Penentuan kriteria sindrom metabolik yang
paling banyak digunakan saat ini adalah menggunakan kriteria dari WHO, NCEP-
ATP III, dan IDF. Namun kriteria diagnosis NCEP-ATP III lebih banyak
dijadikan parameter oleh klinisi karena lebih mudah untuk diterapkan dalam
mendeteksi sindrom metabolik. Hal yang menjadi masalah dalam penerapan
kriteria diagnosis NCEP-ATP III, adalah adanya perbedaan nilai normal lingkar
pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu, pada tahun 2000, WHO

mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia ≥90 cm pada pria dan wanita
≥80 cm sebagai batasan obesitas sentral.
Tabel 1. Kriteria sindrom metabolik

Patofisiologi
Penyebab utama sindrom metabolik belum diketahui secara pasti. Namun,
resistensi insulin diduga menjadi penyebab berkembangnya sindrom metabolik
dan berperan pada pathogenesis masing-masing komponen sindrom metabolik.
Meskipun resistensi insulin tampak berperan penting dalam mekanisme terjadinya
sindrom metabolik, namun tidak semua orang dengan resistensi insulin dapat
berkembang menjadi sindrom metabolik. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa
faktor lain yang berperan dalam pathogenesis sindrom metabolik seperti obesitas.
Obesitas sentral, mediator inflamasi, adipositokin, kortisol, stress oksidatif,
predisposisi genetik, dan karakteristik gaya hidup diduga terlibat dalam
pathogenesis sindrom metabolik. Meningkatnya stress oksidatif akan
menyebabkan disregulasi jaringan adiposa yang akan berperan aktif dalam
mensekresi berbagai faktor pro inflamasi seperti leptin, adiponectin, Tumor
Necrosis Factor α (TNF α), Interleukin-6 (IL6) dan resistin yang akan
menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Obesitas dan perluasan sel adiposit
yang progresif dapat menyebabkan suplai darah ke adiposit menurun dan
menimbulkan hipoksia. Hipoksia dapat menyebabkan nekrosis dan infiltrasi
makrofag ke jaringan adiposa yang akan menyebabkan overproduksi dari
adipositokin yang meliputi glycerol, free fatty acid (FFA), pro inflammatory
mediators (TNF α, IL-6), plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan C-
Reactive Protein (CRP). Adipositokin tersebut akan memediasi berbagai proses
seperti sensitifitas insulin, stress oksidatif, metabolisme energi, koagulasi darah,
dan respon inflamasi yang akan mempercepat terjadinya aterosklerosis, ruptur
plak, dan atherotrombosis.

Managemen
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang telah memiliki
sindrom metabolik, diperlukan pemantauan dengan modifikasi komponen sindrom
metabolik. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih sesuai dengan masing-
masing komponennya dan bertujuan untuk menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular, aterosklerosis dan diabetes mellitus tipe 2 pada pasien yang belum
diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas dua pilar, yaitu
tatalaksana penyebab (obesitas, sedentary lifestyle, dan intake kalori berlebih)
serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non-lipid.

Mempertahankan berat badan ideal, pengurangan asupan kalori, dan peningkatan


aktivitas fisik merupakan prioritas utama pada orang dengan sindrom metabolik.
Target penurunan berat badan 5-10% selama 6-12 bulan dengan cara mengurangi
asupan kalori per hari sebesar 500-1000 kalori per hari dan diikuti dengan
aktivitas fisik yang sesuai. Aktivitas fisik yang disarankan selama 30 menit atau
lebih sehari. Pada orang dengan komorbid penyakit jantung koroner, perlu
dilakukan evaluasi kebugaran terlebih dahulu sebelum memberikan anjuran
olahraga yang sesuai. Tatalaksana hipertensi dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu
secara non-farmakologis dan farmakologis. Pada pasien hipertensi derajat 1 tanpa
faktor risiko kardiovaskular yang lain maka strategi pola hidup meliputi
pengurangan asupan garam (<100 mmol/hr), memperbanyak konsumsi sayur dan
buah serta low fat diary products selama 4-6 bulan adalah tatalaksana tahap awal.
Anjuran pola hidup sehat ini mampu menurunkan tekanan sistolik sebesar 7
mmHg dan tekanan darah diastolic sebesar 5 mmHg. Bila setelah jangka waktu
tersebut belum didapatkan penurunan maka dapat melakukan terapi
farmakologis.Target tekanan darah sistolik pada pada pasien hipertensi dengan
DM dipertahankan < 130 mmHg, pada usia >65 th tekanan darah sistolik
dipertahankan 130-139 mmHg sedangkan untuk tekanan darah diastolik
dipertahankan < 80 mmHg untuk mencegah komplikasi makrovaskular.
Pilihan farmakologi utama pada dislipidemia dengan penurunan kadar HDL-C
dapat menggunakan statin. Statin direkomendasikan untuk menurunkan kadar
LDL-C pada pasien DM maupun non DM. Apabila target LDL-C belum tercapai
maka dapat dikombinasi dengan menggunakan ezetimibe. Pada pasien risiko CVD
yang tinggi dengan statin intoleran atau telah mendapatkan kombinasi statin dan
ezetimibe namun tidak mencapai target LDL-C dapat direkomendasikan
penggunaan PCSK-9 inhibitor. Penggunaan statin tidak direkomendasikan pada
wanita hamil atau wanita muda yang berencana hamil. Pada pasien dengan DM
harus mengontrol kadar Hba1c <7% untuk mencegah komplikasi dari
mikrovaskular. Pengontrolan ketat pada pasien DM usia muda akan
meminimalkan risiko CVD pada beberapa tahun kedepan. Pada DM usia muda
diharapkan Hba1c dapat dipertahankan pada kisaran 6-6,5%.
Kesimpulan
Sindrom metabolik dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular akibat
adanya abnormalitas metabolisme dalam tubuh. Penyebab utama dari sindrom
metabolik belum dapat dipastikan namun sedentary lifestyle, intake kalori
berlebih dan adanya obesitas dapat berperan terhadap kejadian sindrom metabolik.
Pencetus kejadian kardiovaskular pada sindrom metabolik diakibatkan oleh
masing masing komponen dari sindrom metabolik yang tidak teratasi. Tatalaksana
sindrom metabolik disesuaikan dengan masing-masing komponennya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jafar, Nurhaedar. Sindroma metabolic dan epidemiologi. Repository


Universitas Hasanuddin Makassar. 2012; 2(1):71-78.
2. Cosentino, F., Grant, P.J., Aboyans, V., Bailey, C. J., Ceriello, A.,
Delgado, V., federici., M., Filippatos, G., Grobbe, D.E., Hansen, T.B.,
Huikuri, H.V., Johansson, I., Juni., P., Lettino, M., Marx, N., Mellbin,
L.G., Ostgren, C.J., Rocca, B., Roffi, M., Sattar, R., Seferovic, P.M.,
Sousa-Uva, M., Valensi, P., Wheeler, D.C. 2019 ESC Guidelines on
diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in
collaboration with the EASD. European Heart Journal. 2019; 1-69.
3. Soleha, T.U., dan Bimandama, M.A. Hubungan Sindrom Metabolik
dengan Penyakit Kardiovaskular. Majority.2016; 5(2): 49-55
4. Driyah, S., Oemiati, R., Rustika, dan Hartati, N.S. Prediktor Sindrom
Metabolik : Studi Kohor Prospektif Selama Enam Tahun di Bogor,
Indonesia. Media Litbangkes.2019;29(3): 215-244.
5. Rochlani, Y., Pothineni, N.V, Kovelamudi, S., dan Mehta, J.L. Metabolic
syndrome: pathophysiology, management, and modulation by natural
compounds. Therapeutic Advances in Cardiovascular Disease. 2017; 11(8):215-
225.
6. Soenarta, A.A., Erwinanto, Mumpuni, A.S.S., Lukito, A.A., Hersunarti, N.,
Pratikto, R.S. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskular.
2015.

Anda mungkin juga menyukai