A. Diabtes Melitus
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Hiperglikemia
kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan, gangguan fungsi beberapa
organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada
diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita,
kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat. Oleh
karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam
plasma darah. DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar
glukosa darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM
dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Hestiana, 2017).
2. Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin
secara relatif maupun absolut (Restyana, 2015). Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3
jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer
3. Patofisologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu :
1) Resistensi insulin
2) Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena
sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan
ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari
obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe
2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan
tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya
akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi
secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Restyana, 2015)
4. Etiologi
Dm tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resisten insulin. Resisten insulin
adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak ampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa,
maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti
sel beta pankreas mengalami desentitisasi terhadap glukosa (Hestiana, 2017).
5. Faktor Resiko
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan
beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang dapat
diubah dan faktor lain. Menurut American DiabetesAssociation (ADA) bahwa DM
berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan
DM (first degree relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat
badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat
lahir dengan beratbadan rendah (<2,5 kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi
obesitas berdasarkan IMT ≥25kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm
pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic ovarysindrome
(PCOS), penderita sindrom metabolikmemiliki riwatyat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat
penyakit kardiovaskuler seperti stroke, PJK, atau peripheral rrterial Diseases (PAD),
konsumsi alkohol,faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin,konsumsi kopi dan
kafein (Restyana, 2015).
6. Gejala klinis
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus
yaitu : Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyak
kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun
dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk
tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai
kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada
pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg (Restyana, 2015).
B. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif
sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan, WHO
menyatakan hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama
dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg. Hipertensi
merupakan salah satu penyebab kerusakan berbagai organ baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah hipertropi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, gagal jantung, stroke,
penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer dan retinopati. Untuk itulah pentingnya
diagnosis dini serta penatalaksanaan yang tepat untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang akan terjadi atau mencegah kerusakan lebih lanjut yang sedang terjadi
(Nuraini, 2015).
2. Patogenesis
Sejumlah mekanisme fisiologis terlibat dalam pengaturan tekanan darah, dan gangguan
mekanisme ini mungkin memainkan peran kunci terjadinya hipertensi. Di antara faktor-
faktor lain, seperti faktor genetik, aktivasi sistem saraf simpatik/sympathetic nervous
system (SNS) dan sistem reninangiotensinaldosteron, asupan garam berlebih serta
gangguan antara vasokonstriktor dan vasodilator telah terlibat dalam patofisiologi
hipertensi. Walaupun peran faktor di atas dalam patogenesis hipertensi telah diketahui,
keterlibatan faktor-faktor ini dalam menyebabkan HR belum begitu diketahui secara
menyeluruh.
Faktor prediktor terkuat kurangnya kontrol tekanan darah adalah usia tua, tekanan darah
awal yang tinggi, obesitas, konsumsi garam berlebihan dan PGK. Telah diketahui
hubungan antara penuaan dan aktivasi SNS, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
seluruh aktivitas saraf simpatik tubuh meningkat dengan penuaan dan indeks aktivitas
simpatis terutama muscle sympathetic nerve activity lebih terkait dengan tekanan darah
pada orang tua. Selain penuaan, obesitas, hiperaldosteronisme dan OSA merupakan
karakteristik HR. Studi kohort pasien dengan HR, indeks massa tubuh rata-rata lebih dari
32 kg/m2 dan prevalensi hiperaldosteronisme sekitar 20%, sedangkan HR memiliki
prevalensi yang sangat tinggi pada pasien-pasien dengan OSA Selain itu, diantara subyek
HR, hiperaldosteronisme lebih sering terjadi pada pasien yang didiagnosis dengan OSA
dibandingkan pasien yang berisiko rendah untuk OSA (Rampengan, 2015).
3. Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance. Apabila
terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat
menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah
perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan
mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian
tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti
reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan
saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan sistem
pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan
rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian
dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh
sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ. Mekanisme
terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh
angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam
mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.
Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin
I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah
melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin
yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan
dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat
yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang
memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari
tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah (Nuraini, 2015).
4. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi
primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini tidak diketahui
penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder akibat adanya suatu penyakit
atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,
feokromositoma, hiperaldosteronism, dan sebagainya (Krisnanda, 2017)
5. Faktor Resiko
Faktor risiko hipertensi adalah umur, pria, pendidikan rendah, kebiasaan merokok,
konsumsi minuman berkafein >1 kali per hari, konsumsi alkohol, kurang aktivitas fisik,
obesitas dan obesitas abdominal (Fitri, 2015).
Faktor risiko yang relevan terhadap mekanisme terjadinya hipertensi:
1) Faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi.
a. Usia dan jenis kelamin : Wanita cenderung memiliki tekanan darah sistolik yang
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tetapi setelah 65 tahun, perempuan
cenderung lebih tinggi.
b. Etnis : Berkaitan dengan perbedaan yang diwariskan dalam tubuh bereaksi
terhadap garam dan perbedaan dalam berbagai hormon yang mengontrol tekanan
darah di darah.
c. Riwayat keluarga : Penelitian menunjukkan bahwa hingga 40% dari variabilitas
tekanan darah dapat dipengaruhi oleh faktor genetik.
2) Faktor yang dapat di modifikasi
a. Kelebihan diet garam : Studi epidemiologis menunjukkan tingkat optimal untuk
kesehatan konsumsi garam adalah tiga gram per hari.
b. Rendah diet kalium : Rendahnya tingkat kalium berhubungan dengan
meningkatnya tekanan darah.
c. Kegemukan dan obesitas : Ada hubungan yang kuat dan langsung antara kelebihan
berat badan dan obesitas.
d. Aktivitas fisik : Orang-orang yang tidak latihan aerobik cukup lebih mungkin
untuk terjadi hipertensi.
e. Alkohol berlebih : Penggunaan alkohol berat merupakan faktor risiko untuk
hipertensi dan stroke.
f. Merokok : Resiko penyakit kardiovaskular lebih tinggi pada perokok.
g. Diabetes : Orang yang memiliki kedua hipertensi dan diabetes tipe dua memiliki
dua kali lipat risiko kardiovaskular.
6. Gejala Klinis
Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang
disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial. Penglihatan
kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan langkah yang tidak mantap
karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka
merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan
lain-lain (Krisnanda, 2017).
Kasus
Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 tahun
Diagnosis : DMT2, HT
BB : 80 kg
TB : 168 cm
Os SMRS mengeluh lemas, pusing, mual, nafsu makan kurang, makan dirumah bubur habis 1/2
porsi, ayam goreng 1/2 porsi, bubur sum-sum 1 porsi, Os lebih suka makan roti isi dan keripik
tempe. Olahraga jarang, Os tidak ada alergi makanan. Os suka konsumsi gorengan dan nasi uduk
setiap hari (setiap pagi). OS jarang kontrol, Os pernah dirawat inap tahun 2017 dengan
ketoasidosis, dan Os sudah pernah konsul gizi
Parameter
1; Skor IMT
- IMT > 20 (obesitas > 30 ) =0 ( 0 )
- IMT 18,5 – 20 =1 ( )
( )
- BB hilang 5 – 10 % =1
( )
- BB hilang > 10% =2
3; Skor efek penyakit akut
- Ada asupan nutrisi > 5 hari =0 ( 0 )
( )
- Tidak ada asupan nutrisi > 5 hari = 1
Tanggal : 23-06-2021
Diagnosis Medis : DMT2, HT
ASSESMENT GIZI
BB :80 kg Tinggi lutut : cm
TB : 168 cm LLA : cm
2
IMT :29,05 kg/m (Obesitas, populasi Asia)
BBI : 54 kg
Biokimia
GDP = 245 mg/dl (Tinggi) (Normal : 70-100 mg/dl)
2JPP = 401 mg/dl (Tinggi) (Normal : <140 mg/dl)
HBA1C = 16 % (Tinggi) (Normal : <5,7%)
HB = 12 gr/dl (Rendah) (Normal : 14-18 gr/dl)
Leukosit = 10.000 /µl (Normal) (Normal : 10.000 /µl )
HT = 28 % (Rendah) (Normal : 40%)
Klinik/Fisik
N = 80 x/menit (Normal) (Normal : 60-100 x/menit)
TD = 150/100 mmHg (Tinggi) (Normal : 120/80 mmHg)
R = 20 x/menit (Normal) (Normal : 14-20 x/menit)
S = 36ᵒC (Normal) (Normal : 35-37ᵒC)
Pola makan
Os lebih suka makan roti isi dan keripik tempe. Os suka konsumsi gorengan dan
nasi uduk setiap hari (setiap pagi). Os minum kopi instans 3 x/m dan mie + nasi.
Riwayat personal
Riwayat penyakit : Ketoasidosis
Lainnya : Os tidak pernah olahraga, jarang kontrol dan sudah pernah konsul
gizi, Os bekerja sebagai supir angkot dan pernah dirawat pada tahun 2017.
DIAGNOSIS GIZI
Domain Intake
NI-2.11 Penerimaan makanan terbatas berkaitan dengan adanya pembatasan diri
terhadap makanan/kelompok makanan karena preferensi makanan yang ditandai
dengan asupan makan/minuman terbatas tidak sesuai dengan standar refrensi nutrisi
untuk jenis, ragam, dan kualitas.
NI-2.1 Asupan oral tidak memadai berkaitan dengan adanya penurunan nafsu
makan, mual, dan pusing yang ditandai dengan asupan Energi 10,24%, Protein
10,30%, Lemak 19,54%, dan Karbohidrat 6,86%.
Domain Clinical
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium terkait gizi berkaitan dengan adanya
DMT2 dan Hipertensi yang ditandai dengan adanya hasil lab GDP 245 mg/dl, 2JPP
401 mg/dl, HBA1C 16%, TD 150/100 mmHg melebihi batas normal dan hasil lab
HB 12 gr/dl, HT 28% kurang dari batas normal.
Domain Behavior
NB-1.3 Tidak siap untuk diet/perubahan gaya hidup berkaitan dengan ketidak
inginan atau ketidak tertarikan dalam mempelajari/menerapkan informasi yang
sudah diberikan yang ditandai dengan pola hidup tidak sehat.
INTERVENSI GIZI
Preskripsi Diet
Bentuk makanan : MB (Makanan biasa)
Jenis Diet : Diet DM 3
Frekuensi : 3x makanan utama, 2x makanan selingan
Rute : Oral
Tujuan Diet
1. Membantu meperbaiki kebiasaan makan Os.
2. Membantu meningkatkan asupan makanan sesuai dengan kebutuhan harian.
3. Mencapai dan mempertahankan nilai laboratorium sesuai dengan nilai rujukan.
4. Menurunkan berat badan untuk mencapai berat badan ideal.
5. Membantu memperbaiki sikap terhadap gizi.
Terapi Diet
Pemberian Diet DM 3 dengan kebutuhan asupan meliputi Energi 2349 kkal, Protein
117,45 gr, Lemak 52,2 gr, Karbohidrat 352,35 gr.
Mempertahankan pola makan yang baik dan memenuhi kebutuhan serta aktivitas
fisiknya.
MONITORING EVALUASI
1. Monitoring
a. Memantau asupan makan Os
b. Memantau hasil laboratorium Os sebelum dan sesudah intervensi
c. Memantau kepatuhan diet setelah diberikan edukasi terkait diet DM.
2. Evaluasi
a. Membandingkan kebiasaan sehari-hari asupan energi dan zat gizi dari
makanan yang dikonsumsi dengan rekomendasi kebutuhan.
b. Membandingkan hasil laboratorium Os sebelum dan sesudah intervensi
c. Membandingkan tingkat pengetahuan Os dan kepatuhan diet yang telah
diberikan.
Waktu : setiap hari
Hasil Recall
BMR = 30 x BBI
= 30 x 54
= 1620 kkal
KH = 60% x 2349 / 4
= 352,35 gr
Nutrisurvey 2007
Fitri, & Rianti Dina. (2015). Diagnose Enforcement And Treatment Of High Blood
Pressure. Jurnal Kedokteran, 4(3), 47–51.
juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/549. Diakses pada 29
Maret 2021.
Nuraini, B. (2015). Risk Factors of Hypertension. J Majority, 4(5), 10–19.
Rampengan, S. H. (2015). Hipertensi Resisten. Jurnal Kedokteran YARSI, 23(2), 114–
127. http://academicjournal.yarsi.ac.id/ojs-2.4.6/index.php/jurnal-fk-
yarsi/article/view/116
Restyana Noor F. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority, 4(5).
Hestiana, D. W. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Dalam
Pengelolaan Diet Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Kota
Semarang. Journal of Health, 2(2).
Krisnanda, M. Y. (2017). Universitas Udayana. Laporan Penelitian Hipertensi,
1102005092, 18.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/3f252a705ddbef7abf69a
6a9ec69b2fd.pdf
Suharyati,SKM., MKM., RD et.all (2019). Penuntun Diet dan Terapi Gizi. Persatuan
Ahli Gizi Indonesia (Asosiasi Dietisien Indonesia). Jakarta