Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang cukup besar di Indonesia pada saat ini. Hal ini ditandai
dengan adanya pergeseran pola penyakit secara epidemiologi dari penyakit
menular yang cenderung menurun ke penyakit tidak menular yang secara
global meningkat di dunia, dan secara nasional telah menduduki sepuluh
besar penyakit penyebab kematian dan kasus terbanyak, yang diantaranya
adalah penyakit diabetes melitus (DM) dan penyakit metabolik (PM)
(Depkes, 2008).
Diabetes melitus atau kencing manis adalah suatu gangguan
kesehatan berupa kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah akibat kekurangan
insulin ataupun resistensi insulin dan gangguan metabolik pada umumnya.
Pada perjalanannya, penyakit diabetes akan menimbulkan berbagai
komplikasi baik yang akut maupun yang kronis atau menahun apabila
tidak dikendalikan dengan baik. Diabetes merupakan salah satu penyakit
degeneratif yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan atau
dikelola, artinya apabila seseorang sudah didiagnosis DM, maka seumur
hidupnya akan bergaul dengannya (Isniati, 2007).
Diabetes melitus lebih dikenal sebagai penyakit yang membunuh
manusia secara diamdiam atau “Silent killer”. Diabetes juga dikenal
sebagai “Mother of Disease” karena merupakan induk dari penyakit -
penyakit lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah,
stroke, gagal ginjal, dan kebutaan. Penyakit DM dapat menyerang semua
lapisan umur dan sosial ekonomi (Anani, 2012; Depkes, 2008).
Peningkatan prevalensi DM di dunia lebih menonjol
perkembangannya di negara berkembang dibandingkan dengan negara
maju. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia World Health
Organitation (WHO), dunia didiami oleh 171 juta diabetisi pada tahun
2000 dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 366 juta diabetisi pada
tahun 2030.
WHO juga memprediksi Indonesia, bahwa akan ada kenaikan
prevalensi DM di Indonesia dari 8,4 juta diabetisi pada tahun 2000, 14 juta
diabetisi pada tahun 2006, dan akan meningkat menjadi sekitar 21,3 juta
diabetisi pada tahun 2030. Artinya akan terjadi kenaikan tiga kali lipat
dalam waktu 30 tahun. Hal ini akan menjadikan Indonesia menempati
urutan ke empat dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India dalam
masalah diabetes (Aprianti, dkk, 2009). Hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa secara nasional, prevalensi
DM berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah 1,1%.
Prevalensi nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada
penduduk umur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah
5,7%, dan provinsi Jawa Tengah mempunyai prevalensi DM di atas
prevalensi nasional.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Yang Dimaksud Dengan Diabetes Melitus ?
2. Bagaimanakah Klasifikasi Diabetes Melitus ?
3. Bagaimana Cara Pencegahan Diabetes Melitus ?
4. Bagaimanakah Penggolongan Obat Antidiabetik Oral ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Diabetes Melitus.
2. Mengetahui Klasifikasi Diabetes Melitus.
3. Mengetahui Cara Pencegahan Diabetes Melitus.
4. Mengetahui Penggolongan Obat Antidiabetik Oral.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diabetes
Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam
tubuh disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal dan dapat
menimbulkan berbagai kompilkasi kronik. Diabetes melitus juga merupakan
penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer et al., 2000).
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, seseorang dapat
didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus
seperti poliuria, polidipsi dan polifagi diserta dengan gula darah sewaktu ≥200
mg/dL dan gula darah puasa ≥126mg/dL (Perkeni, 2011).
Diabetes melitus (DM) merupakan sekumpulan gangguan metabolisme
yang ditandai oleh kondisi hiperglikemia yang berhubungan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM disebabkan
oleh gangguan sekresi insulin, sensitivitas reseptor insulin, atau keduanya.
Kondisi hiperglikemia pada pasien DM berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ penting, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012).
B. Klasifikasi Diabetes Melitus
American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes
melitus berdasarkan patogenesis sindrom diabetes melitus dan gangguan
toleransi glukosa. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes
melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes gestational dan diabetes melitus
tipe khusus (Price & Wilson, 2005).
1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes melitus atau IDDM)
merupakan diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T
(autoimmune T- Cell attack) yang menghancurkan sel- sel beta pankreas
yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin, sehingga
insulin tidak terbentuk dan mengakibatkan penumpukan glukosa dalam
darah. Pasien dengan diabetes tipe 1 membutuhkan penyuntikan insulin
untuk mengendalikan kadar glukosa darah. (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Diabetes Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang tidak
tergantung dengan insulin. Diabetes melitus ini terjadi karena pankreas
tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup atau tubuh tidak mampu
menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula dalam
darah. Diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi pada usia pertengahan dan
kebanyakan penderita memiliki kelebihan berat badan (Smeltzer & Bare,
2001).
3. Diabetes Gestastional (diabetes kehamilan )
Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa
kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes
gestastional disebabkan karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa. Diabetes
gastastional dapat hilang setelah proses persalinan selesai. (Price &
Wilson, 2005).
4. Diabetes melitus tipe khusus
Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi
karena adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan
mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas sehingga mengakibatkan
kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan
menghambat kerja insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan sindrom
genetik (Arisman, 2011).
C. Patogenesis Diabetes Melitus
1. DM tipe 1
DM tipe 1 ditandai oleh adanya defisiensi fungsi sel-β pankreas.
Sebagian besar destruksi sel-β pankreas pada DM tipe 1 disebabkan karena
faktor autoimun, namun tidak sedikit juga yang disebabkan karena proses
idiopatik. Proses autoimun diawali oleh makrofag dan limfosit-T yang
berada dalam sirkulasi ke berbagai macam antigen sel-β. Contohnya
seperti autoantibodi insulin, antibodi yang mempengaruhi dekarboksilasi
asam glutamat, antibodi insulin yang berlawanan dengan islet tirosin
fosfatase, dan lainnya. Data pre-klinik menyebutkan bahwa proses
autoimun pada sel-β pankreas akan tampak pada usia 9 hingga 13 tahun
(Triplitt, Reasner & Isley, 2011).
Destruksi fungsi sel-β pankreas menyebabkan hiperglikemi karena
adanya defisiensi absolut dari insulin. Insulin dapat menurunkan kadar
glukosa dalam darah dengan berbagai mekanisme, diantaranya
menstimulasi ambilan glukosa jaringan, menekan produksi glukosa oleh
hati, dan menekan pelepasan asam lemak bebas dari sel-sel lemak.
Peningkatan kadar asam lemak bebas dapat menghambat ambilan glukosa
oleh otot dan akan menstimulasi glukoneogenesis (Triplitt, Reasner &
Isley, 2011).
2. DM tipe 2
a. Kerja normal insulin.
Sebanyak 25% dari metabolisme glukosa akan ditempatkan dalam
otot dengan bantuan insulin. Saat adanya proses pencernaan
karbohidrat, konsentrasi glukosa plasma akan meningkat dan akan
menstimulasi pelepasan insulin dari sel-β pankreas. Tingginya insulin
akan menekan produksi glukosa hepar dan menstimulasi ambilan
glukosa oleh jaringan otot. DM tipe 2 ditandai oleh ketidak-sempurnaan
sekresi insulin dan adanya resistensi reseptor insulin (Triplitt, Reasner
& Isley, 2011).
b. Ketidak-sempurnaan sekresi insulin.
Pada pasien DM tipe 2, penurunan sekresi insulin post-prandial
disebabkan karena ketidaksempurnaan fungsi sel-β pankreas dan
menurunnya rangsangan sekresi insulin dari gut hormon akibat tidak
adanya efek incretin. Efek incretin merupakan efek gut hormon yang
dapat meningkatkan sekresi insulin sebagai respon terhadap rangsangan
glukosa oral. Peningkatan sekresi insulin sebagai respon adanya
masukan glukosa oral juga dipengaruhi oleh 2 hormon lainnya, yaitu
glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan glucose-dependent insulin-
releasing peptide (GIP). Pada pasien DM tipe 2, GLP-1 akan menurun
tetapi GIP akan meningkat. Insulin akan dirangsang sekresinya oleh
GLP-1 dengan cara menekan sekresi glukagon, memperlambat
pengosongan lambung sehingga mengurangi rasa lapar. Baik kinerja
GLP-1 atau GIP akan dihambat oleh enzim dipeptidil peptidase IV
(DPP-IV) (Triplitt, Reasner & Isley, 2011).
c. Tempat resistensi reseptor insulin pada DM tipe 2.
Sebagian besar resistensi reseptor insulin terjadi pada liver,
jaringan otot, dan jaringan lemak. Saat adanya pencernaan glukosa,
insulin dikeluarkan pada vena porta dan dibawa ke dalam liver dimana
insulin akan menekan pelepasan glukagon dan mengurangi sekresi
glukosa hepar. Pada pasien DM tipe 2 terdapat kegagalan untuk
mengurangi glukagon sebagai respon masukan glukosa. Ambilan
glukosa terbesar berasal dari otot rangka, yakni mencapai 80%.
Normalnya ambilan glukosa pada otot rangka sebesar 10 mg/kg per
menit dan akan meningkat secara linear terhadap kenaikan insulin
dalam plasma. Tetapi, pada pasien DM tipe 2 kinerja ini akan tertunda
selama 40 menit dan kemampuan ambilan glukosa dapat menurun 50%
atau lebih. Selain itu, adanya peningkatan jumlah asam lemak bebas
akan meningkatkan kadar trigliserida dalam otot, hati, dan sel-β.
Akibatnya terjadi resistensi reseptor insulin terhadap jaringan otot atau
hati dan ketidak-sempurnaan sekresi insulin (Triplitt, Reasner & Isley,
2011).
3. DM tipe spesifik karena penyakit lain
DM ini ditandai oleh adanya cacat genetik tertentu dalam sekresi
insulin atau sensitivitas kerja insulin, kelainan metabolik yang
mengganggu sekresi insulin, kelainan mitokondria, dan sejumlah kondisi
yang mengganggu toleransi glukosa. Pasien biasanya menunjukkan
hiperglikemia ringan pada usia dini (umumnya sebelum usia 25 tahun),
sering disebut pula sebagai maturity onset diabetes of the young (MODY)
(Powers, 2010).
4. DM Gestasional
DM gestasional (GDM = Gestational Diabetes Mellitus) adalah
keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa
kehamilan dan biasanya berlangsung hanya sementara, umumnya pada
trimester kedua. GDM mempersulit sekitar 7% dari semua kehamilan.
Deteksi klinis sangat penting sebagai terapi yang akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas perinatal. GDM dapat terjadi karena dipicu oleh
semakin tingginya tingkat hormon seperti somatomamotropin kronik,
progesteron, kortisol, dan prolaktin yang memiliki counter-regulatory
effect antiinsulin (Triplitt, Reasner & Isley, 2011).
D. Gejala Diabetes Melitus
Menurut Wicak (2009) gejala umum yang ditimbulkan oleh penyakit
diabetes melitus dianataranya :
1. Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala diabetes melitus
dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak
sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui
urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan
urin yang dikeluarkan mengandung glukosa.
2. Timbul rasa haus (Polidipsia)
Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa
terbawa oleh urinsehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan
cairan.
3. Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien diabetes melitus akan merasa cepat lapar,hal ini disebabkan karena
glukosa dalam tubuh semakin habis, sedangkan kadar glukosa dalam darah
cukup tinggi.
4. Berkeringan banyak
Glukosa yang tidak dapat terurai akan dikeluarkan oleh tubuh melalui
keringat sehingga pada pasien diabetes melitus akan mudah berkeringat
banyak.
5. Lesu
Pasien diabetes melitus akan mudah merasakan lesu. Hal ini disebabkan
karena pada gukosa dalam tubuh sudah banyak dibuang oleh tubuh melalui
keringat atau urin, sehinggu tubuh merasa lesu dan mudah lelah.
6. Penyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien diabetes melitus disebabkan karena
tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi.
E. Faktor Resiko
Menurut Erik Tapan (2005), ada 7 faktor risiko Diabetes Mellitus yaitu:
1. Faktor Usia
Usia bisa menjadi faktor risiko karena seiring bertambahnya umur terjadi
penurunan fungsi-fungsi organ tubuh, termasuk reseptor yang membantu
pengangkutan glukosa ke jaringan. Reseptor ini semakin lama akan
semakin tidak peka terhadap adanya glukosa dalam darah. Sehingga, yang
terjadi adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah.
2. Jenis Kelamin
Pada usia kurang dari 40 tahun, pria dan wanita memiliki risiko yang sama
mengalami diabetes. Sedangkan pada usia lebih dari 40 tahun, wanita lebih
berisiko mengalami diabetes. Pada wanita yang telah mengalami
menopause, gula darah lebih tidak terkontrol karena terjadi penurunan
produksi hormon esterogen dan progesteron. Hormon esterogen dan
progesteron ini mempengaruhi bagaimana sel-sel tubuh merespon insulin.
3. Pola Makan
Kebiasaan makan yang banyak meningkatkan risiko diabetes. Makan yang
sekaligus banyak memicu insulin dan reseptor untuk bekerja lebih keras,
sehingga reseptor glukosa lebih cepat mengalami kerusakan.
4. Keturunan
Kepekaan reseptor terhadap glukosa dapat diturunkan ke generasi
berikutnya. Sehingga, bila orang tua mengalami diabetes, kemungkinan
anaknya juga dapat mengalami diabetes.
5. Aktifitas Fisik
Masyarakat yang suka hidup dengan santai tanpa melakukan apapun
ternyata memiliki risiko lebih besar mengalami diabetes. Orang-orang yang
sering bersantai adalah orang yang membiasakan otot-otot luriknya tidak
bekerja, sehingga otot lurik tidak aktif. Bila otot lurik tidak aktif, maka
reseptor yang menerima glukosa tidak aktif. Akibatnya, glukosa akan tinggi
kadarya dalam darah.
6. Kehamilan Besar atau Kembar
Kehamilan yang besar atau kembar ternyata dapat meningkatkan produksi
hormon pertumbuhan lebih banyak. Hormon pertumbuhan ini melawan
kerja insulin. Akibat dari kerja insulin yang dihambat yaitu kadar glukosa
dalam darah tinggi.
7. Obesitas atau Kegemukan
Orang yang mengalami obesitas memiliki simpanan lemak yang lebih
banyak dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan ideal.
Banyaknya lemak dalam tubuh, meningkatkan jaringan adiposa. Padahal
reseptorglukosa daat ditemukan pada jaringan non-adiposa. Jaringan
adiposa yang banyak mendesak jaringan non-adiposa. Akibatnya, jumlah
reseptor glukosa juga semakin sedikit. Sehingga yang terjadi adalah
peningkatan kadar glukosa dalam darah.
F. Diagnosa Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2012b), kriteria lain pasien yang
didiagnosa DM diantaranya adalah:
1. A1C ≥ 6,5%. Tes dilakukan di laboratorium menggunakan metode yang
telah diakui oleh National Glycohemoglobin Standarization Program
(NGSP) dan telah distandarisasi oleh Diabetes Control and Complications
Trial (DCCT).
2. Glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa dalam hal
ini didefinisikan sebagai tidak adanya asupan glukosa selama kurang lebih
8 jam sebelum dilakukan pemeriksaan.
3. Nilai glukosa darah setelah 2 jam ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) pada tes
toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO dilakukan dengan cara memasukkan
asupan glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrat 2 jam sebelum tes
dilakukan.
4. Glukosa darah acak (GDA) ≥ 200 mg/dL. Pemeriksaan GDA dilakukan
sewaktu-waktu tanpa mempertimbangkan jangka waktu terakhir kali
masuknya asupan glukosa.
G. Komplikasi
1. Komplikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga
macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa
darah jangka pendek diantaranya : (Smeltzer & Bare, 2001)
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai
komplikasi diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang kurang
tepat. Pasien diabetes melitus pada umumnya mengalami hiperglikemia
(kelebihan glukosa dalam darah) namun karena kondisi tersebut pasien
diabetes melitus berusaha untuk menurunkan kelebihan glukosa dengan
memberikan suntik insulin secara berlebihan, konsumsi makanan yang
terlalu sedikit dan aktivitas fisik yang berat sehingga mengakibatkan
hipoglikemia (Smeltzer & Bare, 2001).
b. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi diabetes yang
disebabkan karena kelebihan kadar glukosa dalam darah sedangkan
kadar insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga mengakibatkan
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis
dan ketosis (Soewondo, 2006).
c. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai
dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari 600
mg/dl. Sindrom HHNK disebabkan karena kekurangan jumlah insulin
efektif. Hiperglikemia ini muncul tanpa ketosis dan menyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat. (Price & Wilson,
2005).
2. Komplikasi metabolik kronik Komplikasi metabolik kronik pada pasien
diabetes melitus menurut Price and Wilson (2005) dapat berupa kerusakan
pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuer) dan komplikas pada pembuluh
darah besar (makrovaskuer) diantaranya :
a. Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuer)
Komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes melitus
terhadap pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu:
1. Kerusakan retina mata (Retinopati)
Kerusakan retina mata (retinopati) adalah suatu
mikroangiopati ditandai dengan kerusakan dan sumbahan
pembuluh darah kecil. Retinopati belum diketahui penyebabnya
secara pasti, namun keadaan hiperglikemia diangap sebagai faktor
risiko yang paling utama. Pasien diabetes melitus memiliki risiko
25 kali lebih mudah mengalami retinopati dan meningkat dengan
lamanya diabetes. (Pandelaki, (2009).
2. Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal pada pasien diabetes melitus ditandai
dengan albuminuria menetap (>300mg/24jam atau >200ih/menit)
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai dengan
6 bulan. Nefropati diabetik merupakan penyebab utama terjadinya
gagal ginjal terminal. Pasien diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2
memiliki faktor risiko yang sama namun angka kejadian nefropati
diabetikum lebih tinggi pada pasien diabetes melitus tipe 2
dibandingkan pada pasien diabetes melitus tipe 1 (Hendromartono,
2006).
3. Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik)
Neuropati diabetik merupakan komplikasi yang paling
sering ditemukan pada pasien diabetes melitus. Neuropati pada
diabetes melitus mengacu pada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe saraf. Neuropati diabetik berawal dari
hiperglikemia yang berkepanjangan. Risiko yang dihadapi pasien
diabetes melitus dengan neuropati diabetik yaitu adanya ulkus yang
tidak sembuh- sembuh dan amputasi jari atau kaki (Subekti, 2006).
b. Komplikasi pembuluh darah besar ( makrovaskuer ) Komplikasi pada
pembuluh darah besar (efek makrovaskuler) pada pasien diabetes yaitu
stroke dan risiko jantung koroner.
1. Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien diabetes
melitus disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard
yang terkadang tidak disetai dengan nyeri dada atau disebut dengan
SMI (silent myocardial infarction). Risiko komplikasi penyakit
jantung koroner pada pasien diabetes mellitus dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti hipertensi, hiperglikemia, kadar
kolesterol total, kadar kolestrol LDL (low density lipoprotein),
kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein), kadar trigliserida,
merokok, dan adanya riwayat keluarga (Yanti, 2008).
2. Penyakit serebrovaskuler
Pasien diabetes melitus berisiko 2 kali lipat dibandingkan
dengan pasien nondiabetes untuk terkena penyakit serebrovaskuler.
Gejala yang ditimbulkan pada penyakit ini menyerupai gejala pada
komplikasi akut diabetes, seperti adanya keluhan pusing atau
vertigo, gangguan penglihatan, kelemahan dan bicara pelo.
(Smeltzer & Bare, 2001).
H. Pencegahan Diabetes Melitus
Ada 3 jenis pencegahan diabetes mellitus (H. M. Hembing, 2004) :
1. Pencegahan Primer
Tujuannya untuk mencegah terjadinya diabetes mellitus. Untuk itu,
faktor-faktor yang dapat menyebabkan diabetes mellitus perlu
diperhatikan, baik secara genetik maupun lingkungan. Berikut hal-hal
yang harus dilakukan dalam pencegahan primer: o Pola makan sehari-hari
harus seimbang dan tidak berlebihan o Olahraga secara teratur dan tidak
banyak berdiam diri o Usahakan berat badan dalam batas normal o Hindari
obat-obatan yang dapat menimbulkan diabetes mellitus (diabetogenik)
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder tujuannya adalah mencegah agar penyakit
diabetes mellitus yang sudah timbul tidak menimbulkan komplikasi
penyakit lain, menghilangkan gejala, dan keluhan penyakit diabetes
mellitus. Pencegahan sekunder meliputi deteksi dini penderita diabetes
mellitus, terutama bagi kelompok yang berisiko tinggi terkena diabetes
mellitus. Bagi yang dicurigai terkena diabetes mellitus, perlu diteliti lebih
lanjut untuk memperkuat dugaan adanya diabetes mellitus. Berikut hal-hal
yang harus dilakukan dalam pencegahan sekunder: o Diet sehari-hari harus
seimbang dan sehat o Menjaga berat badan dalam batas normal o Usaha
pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi diabetes mellitus o
Olahraga teratur sesuai dengan kemampuan fisik dan umur.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah kecacatan lebih
lanjut dari komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Berikut pencegahan
yang dimaksud: o Mencegah terjadinya kebutaan jika menyerang
pembuluh darah mata o Mencegah gagal ginjal kronik jika menyerang
pembulu darah ginjal o Mencegah stroke jika menyerang pembuluh darah
otak. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan secara rutin dan berkala
terhadap bagian organ tubuh yang rentan terhadap komplikasi dan
kecacatan.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah
Darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah vena,
serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan deproteinisasi
5% lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi.
2. Glukosa urin
95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-180% maka
sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam urin:  + nilai
ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang  populer: carik celup
memakai GOD.
3. Benda keton dalam urine
Bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat didekrboksilasi menjadi
aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-hidroksibutirat tidak terdeteksi.
4. Pemeriksan lain
Fungsi ginjal (Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol, HDL, LDL,
Trigleserid), fungsi hati, antibodi anti sel insula langerhans (islet
cellantibody).
J. Oral Antidiabetes (OAD)
Menurut PERKENI (2011), berdasarkan cara kerjanya OAD dibagi
menjadi 5 golongan, yaitu:
1. Pemicu sekresi insulin, yakni golongan sulfonilurea dan glinid
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin, yakni golongan biguanid dan
tiazolidindion
3. Inhibitor glukoneogenesis, yakni golongan biguanid.
4. Inhibitor absorpsi glukosa, yakni inhibitor α-glukosidase.
5. Inhibitor DPP-IV

Sedangkan menurut Kennedy (2012), terdapat 6 kategori OAD yang saat


ini beredar di Amerika untuk terapi pasien dengan DM tipe 2, yaitu: pemicu
sekresi insulin (sulfonilurea, meglitinid, turunan D-fenilalanin), biguanid,
tiazolidindion, inhibitor α-glukosidase, inhibitor DPP-IV, dan bile acid binding
sequestrant.
1. Golongan Sulfonilurea (SU)
Golongan sulfonilurea bekerja dengan meningkatkan kemampuan
sekresi insulin dari pankreas. Sulfonilurea yang berikatan dengan kanal K+
yang sensitif terhadap adanya adenosin trifosfat (ATP) akan menghambat
sekresi ion K+ dan menyebabkan depolarisasi. Adanya depolarisasi akan
membuka kanal ion Ca2+ sehingga terjadi pemasukan ion tersebut yang
memicu pembentukan insulin. Pemberian sulfonilurea pada pasien DM
tipe 2 dalam waktu jangka panjang dapat menurunkan kadar serum
glukagon, sehingga dapat menimbulkan efek hipoglikemi. Secara umum
golongan sulfonilurea terbagi menjadi dua generasi yaitu generasi pertama
dan kedua. Perbedaan antar generasi terletak pada potensi dan efek
samping (Kennedy, 2012). Sulfonilurea generasi pertama contohnya
tolbutamid, klorpropramid, dan tolazamid (Kennedy, 2012).
a. Tolbutamid
Dosis yang dapat diberikan 500 mg hingga 3 g per hari yang
terbagi dalam 2-3 dosis. Masa kerja 6-12 jam (Anderson, Knoben &
Troutmann, 2002). Dengan waktu paruh 4-5 jam tolbutamid memiliki
efek hipoglikemi yang diperpanjang, sehingga paling baik diberikan
pada pasien orang tua (Kennedy, 2012).
b. Klorpropramid
Waktu paruhnya 32 jam dan dimetabolisme sangat lambat di hati.
Dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal
karena klorpropramid akan berinteraksi dengan obat-obatan yang
mempengaruhi katabolisme oksidatif di hati. Pemberian dosis lebih dari
500 mg per hari dapat meningkatkan resiko jaundice. Dosis
pemeliharaan rerata 250 mg per hari, diberikan satu kali pada pagi hari
(Kennedy, 2012).
c. Tolazamid
Memiliki potensi yang sama dengan klorpropramid tetapi dengan durasi
kerja yang lebih singkat. Dibandingkan dengan obat-obatan golongan
sulfonilurealainnya, tolazamid termasuk obat yang diabsorbsi dengan
lambat, sehingga efeknya pada glukosa darah tidak akan terlihat pada
beberapa jam awal. Waktu paruhnya 7 jam. Bila dosis yang diberikan
lebih dari 500 mg per hari, maka harus dibagi dan diberikan dua kali
sehari (Kennedy, 2012).

Sedangkan untuk sulfonilurea generasi kedua antara lain gliburid,


glipizid, dan glimepirid (Kennedy, 2012) serta gliklazid dan glikuidon
(Triplitt, Reasner & Isley, 2011).

a. Gliburid atau Glibenklamid


Gliburid dimetabolisme di hati dan memiliki aktivitas hipoglikemi yang
rendah. Dosis awal pemberian 2,5 mg per hari atau kurang, dan dosis
pemeliharaan 5-10 mg per hari yang diberikan sekali pada pagi hari.
Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hari ginjal
(Kennedy, 2012).
b. Glipizid
Obat ini memiliki waktu paruh yang paling singkat yakni 2-4 jam.
Untuk menghasilkan efek maksimum dari obat ini, penggunaannya 30
menit sebelum sarapan karena absorbsinya akan terhambat dengan
adanya makanan. Dosis awalnya 5 mg per hari untuk pemberian satu
kali, hingga maksimal 15-20 mg per hari (Kennedy, 2012).
c. Glimepirid
Glimepirid disetujui sebagai monoterapi atau kombinasi bersama
insulin untuk obat dengan penggunaan sekali sehari. Glimepirid dapat
menurunkan glukosa darah hanya dengan pemberian dosis terkecilnya.
Dosis pemberian 1-8 mg per hari satu kali (Kennedy, 2012).
d. Gliklazid
Dosis awal 40-80 mg per hari, dapat ditingkatkan secara perlahan. Jika
diperlukan peningkatan dosis dapat dilakukan hingga 320 mg per hari.
Penggunaan obat dalam dosis tinggi disarankan diatur berdasarkan pola
makan sehari-hari (Triplitt, Reasner & Isley, 2011).
e. Glikuidon
Dosis awal 45-60 mg per hari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Dosis
tungga 60 mg dan 180 mg per hari tidak dianjurkan (Triplitt, Reasner &
Isley, 2011).
2. Golongan Meglitinid (ME)
Repaglinid adalah obat pertama dari golongan meglitinid.
Obatobatan golongan ini memicu sel-β pankreas untuk mengeluarkan
insulin dengan cara mengatur pengeluaran kalium melalui saluran-saluran
ion. Perbedaan dengan golongan sulfonilurea adalah golongan meglitinid
memiliki dua tempat ikatan reseptor yang sama dengan golongan
sulfonilurea dan ditambah dengan satu tempat ikatan reseptor spesifik
lainnya. Repaglinid memiliki mula kerja yang cepat dengan konsentrasi
puncak yang memberikan efek kurang lebih 1 jam setelah proses
pencernaan. Durasi kerja repaglinid adalah sekitar 4 hingga 7 jam dan
memiliki paruh waktu 1 jam. Karena mula kerjanya cepat, repaglinid
diindikasikan untuk mengontrol pengeluaran glukosa post-prandial.
Resiko hipoglikemi terjadi jika terdapat penundaan atau hilangnya asupan
makanan atau glukosa yang cukup. Karena tidak adanya gugus sulfur
dalam struktur, repaglinid dapat digunakan pada pasien DM tipe 2 yang
alergi terhadap sulfur atau sulfonilurea. Repaglinid disetujui sebagai
monoterapi atau penggunaan kombinasi dengan obat golongan biguanid
(Kennedy, 2012).
Dosis awal repaglinid untuk pasien yang sebelumnya tidak diterapi
atau nilai HbA1c < 8% adalah 0,5 mg. Untuk pasien yang sebelumnya
diterapi dengan obat penurun gula darah atau nilai HbA1c ≥ 8% dosis
awalnya 1-2 mg sebelum makan (Triplitt, Reasner & Isley, 2011).
3. Golongan Turunan d-fenilalanin (DF)
Nateglinid merangsang dengan cepat dan singkat pengeluaran
insulin dari sel-β melalui penutupan saluran ion kalium yang sensitif
terhadap ATP. Nateglinid mengembalikan kemampuan pengeluaran awal
insulin sebagai respon tes toleransi glukosa intravena. Kembalinya
kemampuan pengeluaran awal insulin normal dapat menekan pengeluaran
glukagon pada keadaan awal makan dan menghasilkan sedikit glukosa
endogen atau produksi glukosa hepatik. Nateglinid efektif diberikan
sebagai monoterapi atau kombinasi bersamaan dengan metformin.
Neteglinid diberikan sebelum makan dan nantinya akan diabsorbsi dalam
waktu 20 menit setelah pemberian secara oral (Kennedy, 2012).
Pemberian tunggal atau kombinasi dengan metformin secara oral
dosisnya 120 mg yang terbagi menjadi 3 dosis. Untuk pasien dengan nilai
HbA1c yang mendekati target terapi, dosis 60 mg dapat digunakan
(Anderson, Knoben & Troutmann, 2002).
4. Golongan Biguanid (BIG)
Biguanid direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk DM
tipe 2, salah satu contohnya metformin. Metformin dapat meningkatkan
sensitivitas terhadap insulin, tidak menyebabkan kenaikan berat badan,
dan tidak menyebabkan kondisi hipoglikemi. Metformin dapat
menurunkan resiko komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular
(Kennedy, 2012). Dosis inisiasi pemberian oral metformin pada pasien
DM tipe 2 adalah tablet 500 mg dengan pemberian 1 dosis dibagi dua
sebelum makan pagi dan sore hari. Dosis 500 mg per hari dapat
ditingkatkan setiap minggunya, hingga maksimal dosis yang diberikan
2,55 mg per hari (Anderson, Knoben & Troutmann, 2002).
Efek samping pemberian metformin utamanya adalah gangguan
pada saluran pencernaan, seperti anoreksia, mual, muntah, gangguan pada
bagian abdominal, dan diare. Obat golongan biguanid dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan ginjal, alkoholik, dan gangguan hati, karena
akan meningkatkan resiko induksi laktat asidosis (Kennedy, 2012).
5. Golongan Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor-γ (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena
dapat memperberat edema atau retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2011). Contoh golongan
tiazolidindion adalah pioglitazon dan rosiglitazon (Triplitt, Reasner &
Isley, 2011).
6. Golongan Inhibitor α-glukosidase (IG)
Golongan ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan (PERKENI, 2011). Obat golongan inhibitor enzim α-
glikosidase ini dapat memperlambat absorbsi polisakarida dekstrin dan
disakarida di intestin sehingga dapat mencegah peningkatan glukosa
plasma pada orang normal dan pasien DM. Contoh obat golongan ini
adalah acarbose dan miglitol (Kennedy, 2012).
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.
Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau
DM yang glukosa propandialnya sangat tinggi. Penggunaan di klinik
biasanya dikombinasi dengan antidiabetes oral lain atau insulin. Dosis
awal 25 mg diberikan secara oral tiga kali sehari digunakan pada setiap
makan (Triplitt, Reasner & Isley, 2011).
7. Golongan Bile Acid Sequestrants (BAS)
Pada awalnya, golongan ini berkembang sebagai bile acid
sequestrant dan obat penurun kadar kolesterol. Colesevelam hidroklorida
saat ini merupakan antihiperglikemi untuk pasien DM tipe 2 yang sedang
menjalani terapi lainnya atau pasien yang tidak dapat mencapai kontrol
yang cukup dengan hanya mengatur pola makan dan beraktifitas.
Mekanisme obat golongan ini belum diketahui secara pasti tetapi
diduga turut serta dalam sirkulasi enterohepatik dan menurunkan aktifasi
reseptor farnesoid X (FXR). FXR adalah sebuah inti reseptor dengan
berbagai efek pada kolesterol, glukosa, dan metabolisme asam pankreas.
Colesevelam diberikan secara oral dengan dosis 1875 mg dua kali sehari
atau 3750 mg sehari sekali. Efek samping yang terjadi yaitu gangguan
gastrointestinal seperti konstipasi, flatulensi, dan lainnya (Kennedy, 2012).
8. Golongan Inhibitor dipeptidil peptidase-IV (DPP-IV-i)
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus
sebagai inhibitor sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-IV (DPP-IV), menjadi metabolit
GLP-1(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM
tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk
aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-IV (DPP-IV inhibitor), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin = GLP-1 agonis) (PERKENI,
2011).
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pasien bernama Tn. X berusia 55 tahun datang ke apotek


membawa resep dokter yang berisi Glimepiride 4mg sebanyak 15. Pasien
mengaku didiagnosis oleh dokter Diabetes Melitus Tipe 2. Diabetes Mellitus Tipe
2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar
insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II
dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus (Slamet, 2008).
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Depker RI, 2005).
Glimepiride merupakan obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea
derivate sulfonamide. Obat ini digunkan sebagai terapi farmakologik pada
diabetes Melitus Tipe 2. Pada DM Tipe 2 terjadi efek sekresi insulin dari
pankreas, resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi prosuksi glukosa hati.
Terapi DM Tipe 2 meliputi modifikasi gaya hidup termasuk didalamnya diet dan
latihan jasmani serta terapi farmakologik berupa obat hipoglikemik oral (OHO)
dan insulin.
Glimepiride memiliki efek pankreatik dan ekstrapankreatik. Efek
pankreatik berupa sekresi insulin, terjadi setelah obat ini berikatan dengan
reseptornya di sel Beta dan menyebabkan penutupan K ATP chanel yang
menimbulkan depolarisasi membran sel dan pelepasan insulin. Meskipun bekerja
melalui mekanisme yang sama, glimepiride terikat pada reseptor yang berbeda
dengan obat golongan sulfonilurea lainnya. Glimepiride terikat pada protein
dengan berat molekul 65 kD sedangkan sulfonilurea berikatan dengan protein
berberat molekul 140 kD. Perbedaan ini menyebabkan glimepide lebih spesifik
terhadap sulfonilurea receptor (SUR1) pada sel Beta dibandingkan glibenclamide
(Paulus, 2004).
Glimepirid disetujui sebagai monoterapi atau kombinasi bersama insulin
untuk obat dengan penggunaan sekali sehari. Glimepirid dapat menurunkan
glukosa darah hanya dengan pemberian dosis terkecilnya. Dosis pemberian 1-8
mg per hari satu kali (Kennedy, 2012).
Pada pemeberian obat kepada pasien, diberikan konseling mengenai cara
pemberian obat, waktu penggunaan obat, dan juga hal-hal yang dapat dihindari
untuk mejaga kadar gula darah agar tetap stabil. Obat glimepiride tersebut
diminum 1x1 sehari sebelum makan pada pagi hari. Pasien juga diberikan edukasi
mengenai pola hidup sehat seperti pengaturan makan atau pola diet yang benar,
mengurangi asupan garam, mengurangi makanan-makanan manis, menghindari
memakan nasi yang panas, olahraga yang teratur serta selalu mamntau atau
mengontrol kadar gula darah.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan penyakit metabolisme yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang disebabkan
karena kegagalan sekresi insulin atau kerja insulin. Pasien didiagnosis
mengalami Diabetes Melitus Tipe 2 dan diberikan obat antidiabetik oral
Glimepiride.
B. Saran
1. Bagi penderita diabetes melitus atau kencing manis sebaiknya menjaga
pola makan dan diet agar kadar gula dalam darah bisa terkontrol dengan
baik. Selain menjaga pola makan dan diet penderita DM juga bisa
menggunakan kombinasi obat anti diabetes seperti metformin dengan
glibenclamid untuk mengetahui efek penurunannya terhadap kadar gula
darah.
2. Bagi seseorang yang belum terkena diabetes mellitus diharapkan tetap
waspada dan melakukan usaha-usaha pencegahan yang telah dijelaskan
dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA), 2012a. Standards of Medical Care in


Diabetes. Diabetes Care: Volume 35, Supplement I, p. S11-S63.
American Diabetes Association (ADA), 2012b. Diagnosis and Classification of
Diabetes Melitus. Diabetes Care: Volume 35, Supplement I, p. S64-S71.
Anderson, P. O., Knoben, J. E., Troutman, W. G., 2002. Handbook of
Clinical Drug Data, 10th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
Baviera, M., et al, 2011. Trends in drug prescriptions to diabetic patients from
2000 to 2008 in Italy‟s Lombardy Region: A large populationbased study.
Diabetes Research and Clinical Practice. 93. p. 123130.
Depkes RI,. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Food and Drug Administration (FDA), 2014. Approved Drug Products With
Therapeutic Equivalence Evaluations, 34th Edition. U.S.: Department of
Health and Human Services.
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), 2013. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia,
Volume 48, ISSN 854-4492. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
International Diabetes Federation (IDF), 2013. IDF Diabetes Atlas, Sixth Edition.
Kennedy, M. S. N., 2012. Pancreatic Hormones & Antidiabetic Drugs. In:
Bertram G. Katzung, Susan B. Masters, & Anthony J. Trevor. Basic &
Clinical Pharmacology, 12th Edition. New York: The McGrawHill
Companies. Section VII, Chapter 41.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di Indonesia. PB. PERKENI. Jakarta
Pramudianto, A., dan Evaria (Ed.), 2013. MIMS Indonesia, Petunjuk Konsultasi.
Edisi 12. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer.
Slamet S. Diet pada diabetes Dalam Noer dkk.Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi III.Jakarta: Balai Penerbit FK-ill;2008.
Triplitt, C. L., Reasner, C. A., & Isley, W. L., 2011. Diabetes Mellitus. In: Joseph
T. DiPiro, Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.
Wells, and L. Michael Posey. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, 8th Edition, New York: The McGrawHill Companies, Section
8, Chapter 77.
Wild S , Roglic G, GreenA, Sicree R, king H.Global prevalence of diabetes:
estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetic care.
2004;27(3);1047-53.

Anda mungkin juga menyukai