Anda di halaman 1dari 448

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DIABETES MELITUS

DISUSUN OLEH:

Veny Anriany Marbun

NIM. 1710053209

TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN PRODI

D3 KEPERAWATAN

TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai


dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan
pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Smeltzer & Bare, 2015).
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme kronis yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin
oleh sel beta langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang
responsifnya sel tubuh terhadap insulin (Sunaryati dalam Masriadi, 2016).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa definisi dan penyebab dari diabetes melitus?
2. Bagaimana patofisiologi diabetes melitus?
3. Bagaimana tanda dan gejala diabetes melitus?
4. Bagaimana penatalaksanaan diabetes melitus?
5. Bagaimanakah Asuhan keperawatan Diabetes Mellitus?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuannya yaitu :
1. Mengetahui definisi dan penyebab dari diabetes melitus.
2. Mengetahui patofisiologi diabetes melitus.
3. Mengetahui tanda dan gejala diabetes melitus.
4. Mengetahui penatalaksanaan diabetes melitus.
5. Mengetahui Asuhan keperawatan Diabetes Mellitus
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Diabetes Melitus


1. Definisi
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat
kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Smeltzer dan
Bare, 2015). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau
gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes melitus berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (PERKENI,
2015 dan ADA, 2017).

Diabetes melitus adalah sindroma gangguan metabolisme dengan


hiperglikemi kronik akibat defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya
efektifitas biologis dari insulin yang disertai berbagai kelainan metabolik
lain akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah ( Rendy dan
Margareth, 2012). Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme
kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel beta langerhans kelenjar pankreas
atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel tubuh terhadap insulin
(Sunaryati dalam Masriadi, 2016).

2. Etiologi
Umumnya diabetes mellitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel beta dari pulau-pulau langerhans pada pankreas
yang berfungsi menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan
insulin. Disamping itu diabetes mellitus juga dapat terjadi karena
gangguan terhadap fungsi insulin dalam memasukan glukosa kedalam sel.
Gangguan itu dapat terjadi karena kegemukan atau sebab lain yang belum
diketahui. (Smeltzer dan Bare, 2015)
Diabetes mellitus atau lebih dikenal dengan istilah penyakit kencing
manis mempunyai beberapa penyebab, antara lain :

a. Pola makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes mellitus.
Konsumsi makanan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan
sekresi insulin dalam jumlah yang memadai dapat menyebabkan kadar
gula dalam darah meningkat dan pastinya akan menyebabkan diabetes
mellitus.

b. Obesitas (kegemukan)
Orang gemuk dengan berat badan lebih dari 90kg cenderung memiliki
peluang lebih besar untuk terkena penyakit diabetes mellitus.
Sembilan dari sepuluh orang gemuk berpotensi untuk terserang
diabetes mellitus.

c. Faktor genetis
Diabetes mellitus dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Gen
penyebab diabetes mellitus akan dibawa oleh anak jika orang tuanya
menderita diabetes mellitus. Pewarisan gen ini dapat sampai ke
cucunya bahkan cicit walaupun resikonya sangat kecil.

d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan


Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas, radang pada pankreas akan mengakibatkan fungsi
pancreas menurun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon untuk
proses metabolisme tubuh termasuk insulin. Segala jenis residu obat
yang terakumulasi dalam waktu yang lama dapat mengiritasi
pankreas.

e. Penyakit dan infeksi pada pankreas


Infeksi mikroorganisme dan virus pada pankreas juga dapat
menyebabkan radang pankreas yang otomatis akan menyebabkan
fungsi pankreas turun sehingga tidak ada sekresi hormon-hormon
untuk proses metabolisme tubuh termasuk insulin. Penyakit seperti
kolesterol tinggi dan dislipedemia dapat meningkatkan risiko terkena
diabetes mellitus.

f. Pola hidup
Pola hidup juga sangat mempengaruhi faktor penyebab diabetes
mellitus. Jika orang malas berolahraga memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena penyakit diabetes mellitus karena olahraga berfungsi
untuk membakar kalori yang tertimbun didalam tubuh, kalori yang
tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes
mellitus selain disfungsi pankreas.

g. Kadar kortikosteroid yang tinggi. Kehamilan diabetes gestasional.


h. Obat-obatan yang dapat merusak pankreas.
i. Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.

3. Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori klinis (Smeltzer dan Bare,
2015), yaitu :
a. DM tipe 1
DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), dapat
terjadi disebabkan karena adanya kerusakan sel-β, biasanya
menyebabkan kekurangan insulin absolut yang disebabkan oleh proses
autoimun atau idiopatik. Umumnya penyakit ini berkembang ke arah
ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. DM tipe 1 terjadi
sebanyak 5-10% dari semua DM. DM tipe 1 dicirikan dengan onset
yang akut dan biasanya terjadi pada usia 30 tahun (Smeltzer dan Bare,
2015).

b. DM tipe 2
DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus),
dapat terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin akibat
resistensi insulin. DM tipe 2 juga merupakan salah satu gangguan
metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak
cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak
berespon terhadap insulin tersebut. DM tipe 2 mengenai 90-95%
pasien dengan DM. Insidensi terjadi lebih umum pada usia 30 tahun,
obesitas, herediter, dan faktor lingkungan. DM tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi (Smeltzer dan Bare, 2015).

c. DM tipe tertentu
DM tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya, defek
genetik pada fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), penyakit
metabolik endokrin, infeksi, sindrom genetik lain dan karena
disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ) (Smeltzer dan Bare, 2015).

d. DM gestasional
DM ini merupakan DM yang didiagnosis selama masa kehamilan,
dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa
kehamilan. Terjadi pada 2-5% semua wanita hamil tetapi hilang saat
melahirkan (Smeltzer dan Bare, 2015).

4. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia prosprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya
glukosa tersebut muncul dalam urin (glikosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di eksresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia). (Smeltzer dan Bare, 2015).

Difisiensi insulin juga akan menganggu metabolisme protein dan lemak


yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan
kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam
keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glikosa
yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari
asam-asam amino dan substansi lain). Namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini kan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut
menimbilkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis yang disebabkannya dapat menyebabkan tanda-
tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi,
nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perunahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat
kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang
sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer dan Bare,
2015).

DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik


utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola
pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan
yang sangat penting dalam munculnya DM tipe 2. Faktor genetik ini akan
berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas,
rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya kadar asam lemak bebas
(Smeltzer dan Bare, 2015). Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya
disebabkan karena resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer dan Bare,
2015). Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan
ciri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada
DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol akan
menimbulkan masalah akut lainnya seperti sindrom Hiperglikemik
Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK) (Smeltzer dan Bare, 2015).

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-


tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat
ringan, seperti: kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit
yang lama-lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika
kadar glukosanya sangat tinggi). Salah satu konsekuensi tidak
terdeteksinya penyakit DM selama bertahun-tahun adalah terjadinya
komplikasi DM jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati
perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum
diagnosis ditegakkan (Smeltzer dan Bare, 2015)
5. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes
Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka
timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik
yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang
ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus
(polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).

Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang


eksplosif dengan polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia,
lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa
minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta
dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi
insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya
penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2
mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis
hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat
pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan
somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien
ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah
insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk mnenghambat ketoasidosis
(Price dan Wilson, 2012).

Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala


akut dan gejala kronik (PERKENI, 2015) :
a. Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan mungkin
tidakmenunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan
gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak
makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing
(poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul
gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang
atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa
mual (PERKENI, 2015).

b. Gejala kronik penyakit DM


Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa
tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering
ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi
mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan
para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg
(PERKENI, 2015).

6. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzer dan Bare, 2015 ; PERKENI, 2015).
a. Komplikasi akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).

2) Hiperosmolar non ketotik (HNK)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).

3) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan
mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari
berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing,
gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).

b. Komplikasi kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien
DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih
lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama
akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.

Kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri dari :


1) Komplikasi makrovaskular
Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis
dari pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat
timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM
namun dapat timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih
serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka
kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita DM
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi
makroangiopati umumnya tidak ada hubungan dengan kontrol
kadar gula darah yang baik. Tetapitelah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor
resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar insulin
dapat menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular menjadi
semakin tinggi. Kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akanmeningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar antara lain
adalah pembuluh darah jantung atau penyakit jantung koroner,
pembuluh darah otak atau stroke, dan penyakit pembuluh darah.
Hiperinsulinemia juga dikenal sebagai faktor aterogenik dan
diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Smeltzer dan Bare, 2015)

2) Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada
pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari
retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan
retinopati proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan
pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal
akibat kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik
ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam),
terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik
pada DM mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga
molekul-molekul besar seperti protein dapat masuk ke dalam
kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat
menyebabkan kegagalan ginjal progresif dan upaya preventif pada
nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah
(Smeltzer dan Bare, 2015)

3) Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi
serius akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan
biasanya mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan.
Neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa terbakar
dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal. Apabila
ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi. Semua penyandang
DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki (PERKENI,
2015).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Menurut Doenges, (2000) pengkajian keperawatan pada Diabetes Mellitus
dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Aktivitas/Istrahat
Gejala: lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot
menurun, gangguan tidur/istrahat.
Tanda: takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau dengan
aktivitas, letargi/disorientasi, koma dan penurunan kekuatan otot.
2) Sirkulasi
Gejala: Adanya riwayat hipertensi, IMA dan kesemutan pada
extremitas, Ulkus pada kaki dengan penyembuhan yang lama.
Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah postural, hipertensi,
nadi menurun, disritmia, krekels, GJK, kulit panas, kering, dan
kemerahan, bola mata cekung.
3) Integritas Ego
Gejala: Stress, tergantung pada orang lain,
Tanda: Ansietas, peka rangsang.
4) Eliminasi
Gejala: Perubahan pola berkemih (polyuria), Rasa nyeri atau
terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK, nyeri tekan abdomen,
diare
Tanda: Urine encer, pucat, kuning, polyuria (dapat berubah menjadi
oliguria/anuria jika terjadi hipovolemia berat), urine berkabut, bau
busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah
dan menurun, hiperaktif (diare).
5) Makanan dan Cairan
Gejala: Hilang nafsu makan, mual/muntah , penurunan berat badan,
sering kehausan.
Tanda: Kulit kering, turgor jelek, distensi abdomen, muntah, napas
berbau aseton.
6) Neurosensori
Gejala: Pusing, sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot,
gangguan penglihatan.
Tanda: Disorientasi; mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut).
Gangguan memori.
7) Nyeri dan Kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen
Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati.
8) Pernapasan
Gejala: Merasa kekurangan oksigen.
Tanda: Lapar udara/ sesak.
9) Keamanan
Gejala: Ulkus kulit, kulit kering dan gatal.
Tanda: Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya
kekuatan umum, rentang gerak.
10) Seksualitas
Gejala: Rabas vagina (cenderung infeksi), masalah impoten pada
pria, kesulitan orgasme pada wanita.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada
Diabetes Mellitus meliputi :
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik,
kehilangan gastrik yang berlebihan (muntah, diare)
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak
cukupan insulin
c. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi,
penurunan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi.
d. Risiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan
dengan perubahan kimia endogen: ketidak seimbangan glukosa/insulin
atau elektrolit.
3. Intervensi Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik,
kehilangan gastrik yang berlebihan (muntah, diare).
yang diharapkan: Mendemonstrasikan hidrasi adekuat.
Kriteria evaluasi klien akan:
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan:
1) Tanda-tanda vital stabil.
2) Nadi perifer dapat diraba.
3) Turgor kulit baik.
4) Pengisian kapiler baik.
5) Haluaran urine normal secara individu
6) Kadar elektrolit dalam batas normal.

Tabel 2.1 Intervensi untuk Diagnosa Keperawatan Pertama


Intervensi Rasional
Mandiri:
1) Dapatkan riwayat pasien/orang 1) membantu dalam memperbaiki ke-
terdekat sehubungan lamanya/ kurangan volume total. Tanda dan
intensitas seperti muntah, penge- gejala mungkin sudah lama ada pada
luaran urine yang sangat berlebi-han. beberapa waktu sebelumnya ( bebe-
rapa jam sampai beberapa hari ) adanya
proses infeksi meng-akibatkan demam
dan keadaan Hipermetabolik yang
meningkat-kan kehilangan air tidak
kasat mata.
2) Pantau tanda-tanda vital, catat 2) Hipovolemia dapat dimanivestasi-kan
adanya TD Artostatik oleh hipotensi dan Takikardia.
Perkiraan berat ringannya Hipo-
volemia dapat dibuat ketika tekan-an
darah sistolik pasien turun lebih dari 10
mm Hg dari posisi ber-baring ke posisi
duduk atau ber-diri. Catatan :
Neuropati jantung dapat memutuskan
refleks-refleks yang secara normal
meningkatkan denyut jantung.
3) Paru-paru mengeluarkan asam kar-bonat
melalui pernapasan yang menghasilkan
3) Pola nafas seperti adanya per-napasan kompensasi alkalo-sis respiratoris
Kusmaul atau napas yang berbau terhadap keadaan ketoasidosis.
keton. Pernapasan yang berbau aseton
berhubungan peme-cahan asam aseto-
asetat dan harus berkurang bila ketosis
harus terkoreksi.
4) Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan
menyebabkan pola dan frek-uensi
pernapasan mendekati normal. Tetapi
4) Frekwensi dan kualitas perna-pasan, peningkatan kerja pernapasan;
Intervensi Rasional
penggunaan otot bantu napas dan pernapasan dangkal, pernapasan cepat;
adanya periode apnea dan munculnya dan munculnya sianosis mungkin
sianosis. merupakan indikasi dari kelelahan
pernapasan atau mungkin pasien itu
kehi-langan kemampuannya untuk
melakukan kompensasi pada asidosis.
5) Meskipun demam, menggigil dan
diaforesis merupakan hal umum terjadi
pada proses infeksi, demam dengan
kulit yang keme-rahan, kering mungkin
sebagai cerminan dari dehidrasi.
5) Suhu, warna kulit atau kelem-
babannya. 6) Merupakan indikator dari tingkat
dehidrasi atau volume sirkulasi yang
adekuat.
7) Memberikan perkiraan kebutuhan akan
cairan pengganti, fungsi ginjal dan
keefektifan dari terapi yang diberikan.
6) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler,
8) Memberikan hasil pengkajian yang
turgor kulit dan membran mukosa. terbaik dari status cairan yang sedang
7) Pantau masukan dan pengeluaran, berlangsung dan selanjut-nya dalam
catat berat jenis urine. memberikan cairan pengganti.
9) Mempertahankan hidrasi/volume
sirkulasi.
Ukur berat badan setiap hari.

10) Menghindari pemanasan yang ber-


9) Pertahankan untuk memberikan lebihan terhadap pasien lebih lanjut
cairan paling sedikit 2500 ml/hari akan dapat menimbulkan kehilangan
dalam batas yang dapat ditoleran-si cairan.
jantung jika pemasukan cairan melalui
11) Perubahan mental dapat berhubu-ngan
oral sudah dapat diberikan. dengan glukosa yang tinggi atau
10) Tingkatkan lingkungan yang dapat rendah (Hiperglikemia atau
menimbulkan rasa nyaman. Selimuti hipoglikemia) elektrolit yang abnormal,
pasien dengan selimut tipis. asidosis, penurunan perfusi serebral
11) Kaji adanya perubahan mental/ dan berkembang-nya hipoksia.
sensori. Penyebab yang tidak tertangani,
gangguan kesadaran dapat menjadi
predisposisi (pencetus) aspirasi pada
pasien.
12) Kekurangan cairan dan elektrolit
mengubah motilitas lambung, yang
sering kali akan menimbul-kan muntah
dan secara potensial akan menimbulkan
kekurangan cairan atau eletrolit.
13) Pemberian cairan untuk perbaikan yang
12) Catat hal-hal yang dilaporkan seperti cepat mugkin sangat ber-potensi
mual, nyeri abdomen, muntah dan menimbulkan kelebihan beban cairan
distensi lambung. dan GJK.
Intervensi Rasional

13) Observasi adanya perasaan kelelahan


yang meningkat, edema, peningkatan
berat badan, nadi tidak teratur, dan
adanya distensi pada vaskuler.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan
insulin
Hasil yang diharapkan: Jumlah kalori/Nutrisi normal
Tabel 2.2 Intervensi untuk Diagnosa Keperawatan Kedua
Intervensi Rasional
Mandiri:
1) Timbang berat badan setiap hari se-suai1) Mengkaji pemasukan makanan yang
indikasi. adekuat (termasuk absorbsi dan
utilisasinya).
2) Tentukan program diet dan pola ma-kan 2) Mengidentifikasi kekurangan dan
pasien dan bandingkan dengan makanan penyimpangan dari kebutuhan ter-
yang dapat dihabiskan oleh pasien. apeutik.
3) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri
abdomen/perut kembung, mual,3) Hiperglikemia dan gangguan kese-
muntahan makanan yang tidak dicerna imbangan cairan dan elektrolit dapat
dan pertahankan keadaan puasa sesuai menurunkan motilitas/fungsi lambung
dengan indikasi. (distensi atau ileus paralitik) yang akan
4) Berikan makanan cair yang meng-andung mempengaruhi pilihan intervensi.
zat makanan (Nutrien) dan eletrolit dan4) Pemberian makanan melalui oral le-bih
segera jika pasien sudah dapat baik jika pasien sadar dan fungsi
mentoleransinya melalui pem-berian gastrointestinal baik.
cairan lewat oral. Selanjutnya terus
upayakan pemberian makanan yang
lebih padat sesuai dengan yang dapat
ditoleransinya.
5) Identifikasi makanan yang disukai
/dikehendaki termasuk kebutuhan sesuai
dengan etnik. 5) Jika makanan yang disukai pasien dapat
dimasukkan dalam perencanaan makan,
6) Libatkan keluarga pasien pada kerja sama ini dapat diupayakan setelah
perencanaan makanan sesuai indi-kasi. pulang.
6) Meningkatkan rasa keterlibatanya;
7) Observasi tanda-tanda hipoglikemia . memberikan informasi pada keluarga
seperti perubahan tingkat kesadaran, untuk memahami kebutuhan nutrisi
kulit lembab (dingin), denyut nadi cepat, pasien.
lapar, peka rangsang, cemas, sakit7) Karena metabolisme karbohidrat mu-lai
kepala, pusing, dan sempoyo-ngan. terjadi (gula darah akan berkurang, dan
sementara tetap diberikan insulin maka
hipoglikemia dapat terjadi). Jika pasien
dalam keadaan koma, hipoglikemia
mungkin terjadi tanpa memperlihatkan
Intervensi Rasional
perubahan tingkat kesadaran. Ini secara
potensial dapat mengancam kehidupan
yang harus dikaji dan ditangani secara
cepat melalui tindakan yang
direncanakan.

c. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
leukosit, perubahan pada sirkulasi.
Hasil yang diharapkan: Resiko infeksi berkurang.
Kriteria evaluasi klien akan:
1) Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Tabel 2.3 Intervensi untuk Diagnosa Keperawtan Ketiga
Intervensi Rasional
Mandiri:
1) Observasi tanda-tanda infeksi dan 1) Pasien mungkin masuk dengan infeksi
peradangan seperti demam, kemerahan, yang biasanya telah men-cetuskan
adanya fus pada luka, sputum purulen, keadaan ketoasidosis atau dapat
urine warna keruh, atau berkabut. mengalami infeksi noso-komial.
2) Tingkatkan upaya pencegahan dengan 2) Mencegah timbulnya infeksi.
melakukan cuci tangan yang baik pada
semua orang yang berhubungan dengan
pasien termasuk pasiennya sendiri.
3) Pertahankan teknik aseptik pada pro-
sedur invasif (seperti pemasangan infus,
3) Kadar glukosa yang tinggi dalam darah
pemasangan kateter dan sebagainya), akan menjadi media terbaik untuk
pemberian perawatan, dan pertumbuhan kuman.
pemeliharaan.

4) Lakukan perawatan perineal dengan baik.


Ajarkan pasien wanita untuk
4) Mengurangi resiko terjadinya infeksi
membersihkan daerah perinealnya dari saluran kemih. Pasien koma mungkin
depan ke belakang setelah eliminasi. memiliki resiko yang khusus jika terjadi
retensi urine pada saat awal dirawat.
Catatan: pasien DM wanita lansia
merupakan kelompok utama yang paling
be-resiko terjadi infeksi saluran kemih.
5) Berikan perawatan kulit dengan teratur 5) Sirkulasi perifer yang terganggu bisa
dan sungguh-sungguh, masase daerah menempatkan pasien pada peningkatan
tulang yang tertekan, jaga kulit tetap resiko terjadinya ke-rusakan pada
kering dan tetap kencang. kulit/iritasi kulit dan infeksi.

6) Auskultasi bunyi napas. 6) Ronchi mengidentifikasikan adanya


akumulasi sekret yang mungkin
Intervensi Rasional
berhubungan dengan pneumonia/
bronchitis. Edema paru (bunyi kre-kels)
mungkin sebagai akibat dari pemberian
cairan yang terlalu cepat/berlebihan atau
GJK.
7) Posisikan pasien pada posisi semi-fowler.7) Memberikan kemudahan bagi paru
untuk mengembang; menurunkan resiko
8) Lakukan perubahan posisi dan an-jurkan terjadinya aspirasi.
pasien untuk batuk efektif /napas dalam
8) Membantu dalam memventilasi-kan
jika pasien sadar dan kooperatif. semua daerah paru dan me-mobilisasi
Lakukan penghisapan lendir pada jalan sekret. Mencegah agar sekret tidak statis
napas dengan menggunakan tehnik steril sehingga terjadi peningkatan resiko
sesuai ke-perluannya. infeksi.
9) Berikan tissu dan tempat sputum pada
tempat yang mudah dijangkau untuk
penampungan sputum atau sekret yangMengurangi penyebab infeksi
lainnya.
10) Bantu pasien untuk melakukan higi-ene
oral.
11) Anjurkan untuk makan dan minum yang 10) Menurunkan resiko terjadinya pe-
adekuat. (kira-kira 3000 ml/hari jika nyakit mulut dan gusi.
tidak ada kontraindikasi). 11) Menurunkan kemungkinan terjadi-nya
infeksi. Meningkatkan aliran urine untuk
mencegah urine yang statis dan
membantu dalam mem-pertahankan
pH/keasaman urine, yang menurunkan
pertumbu-han bakteri dan pengeluaran
organisme dari sistem organ tersebut.

d. Risiko tinggi terhadp perubahan sensori-persepsi berhubungan dengan pe-rubahan kimia


endogen, ketidak seimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit.
Hasil yang diharapkan: Mempertahankan tingkat mental biasanya.
Tabel 2.4 Intervensi untuk Diagnosa Keperawatan Keempat
Intervensi Rasional
Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
1) Sebagai dasar untuk membandingkan
temuan abnormal seperti suhu yang
meningkat dapat mempengaruhi fungsi
2) Panggil pasien dengan nama, orientasikan mental.
kembali sesuai dengan kebutuhannya,2) Menurunkan kebingungan dan mem-
misalnya terhadap tempat, orang dan bantu untuk mempertahankan kontak
waktu. Berikan penjelasan yang singkat dengan realitas.
dengan bicara perlahan dan jelas.
3) Jadwalkan intervensi keperawatan agar
tidak mengganggu waktu istrahat
pasien. 3) Meningkatkan tidur, menurunkan rasa
4) Pelihara aktivitas rutin pasie sekonsisten letih, dan dapat memperbaiki daya pikir.
mungkin, dorong untuk melakukan4) Membantu memelihara pasien tetap
kegiatan sehari-hari sesuai berhubungan dengan realitas dan
kemampuangnya. mempertahankan orientasi pada ling-
Lindungi pasien dari cedera ketika kungannya.
Intervensi Rasional
tingkat kesadaran pasien terganggu.5) Pasien mengalami disorientasi me-
Berikan bantalan lunak pada pagar rupakan awal kemungkinan timbul-nya
tempat tidur dan berikan jalan napas cedera. Terutama malam hari dan perlu
buatan yang lunak jika pasien pencegahan sesuai indikasi. Munculnya
kemungkinan kejang. kejang perlu diantisipasi untuk
mencegah trauma fisik, aspirasi dan
Evaluasi lapang pandang pengli-hatan sebagainya.
sesuai dengan indikasi.
6) Edema/lepasnya retina, hemoragis,
katarak, atau paralisis otot ekstra-okuler
sementara mengganggu pe-nglihatan
yang memerlukan terapi korektif atau
7) Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri, perawatan penyo-kong.
atau kehilangan sensori pada paha atau Neuropati perifer dapat mengakibat-kan
kaki. Lihat adanya ulkus, daerah rasa tidak nyaman yang berat,
kemerahan, tempat-tampat tertekan. kehilangan sensasi sentuhan/distor-si
Kehilangan denyut nadi perifer. yang mempunyai resiko tinggi terhadap
8) Berikan tempat tidur yang lembut. kerusakan kulit dan gang-guan
Pelihara kehangatan kaki/tangan, keseimbangan.
hindari terpajan terhadap air panas atau
8) Meningkatkan rasa nyaman dan
dingin atau penggunaan menurunkan kemungkinan kerusa-kan
bantalan/pemanas. kulit karena panas. Catatan: munculnya
dingin yang tiba-tiba pada tangan atau
kaki dapat men-cerminkan adanya
hipoglikemia , yang perlu melakukan
pe-meriksaan terhadap kadar gula darah.
9) Bantu pasien dalam ambulasi atau 9) Meningkatkan keamanan pasien terutama
perubahan posisi. ketika rasa ketidakse-imbangan
dipengaruhi.

4. Implementasi Keperawatan
Dilaksanakan sesuai dengan intervensi atau perencanaan dan prioritas
masalah.

5. Evaluasi Keperawatan
Mengacu pada kriteria tujuan yaitu sebagai berikut:
a. Dx 1:
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat
b. Dx 2:
1) Menunjukkan energi seperti biasanya
2) Mendemonstrasikan berat badan stabil atau penambahan kearah
rentang biasanya.
3) Nilai laboratorium normal
c. Dx 3:
Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya
infeksi.
d. Dx 4:
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah yang saya buat, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyakit
Diabetes Militus (DM) ini sangat brrbahaya dan menakutkan. Banyak sekali faktor
yang menyebabkan seseorang menderita penyakit Diabetes Militus. Seperti
conohnya, Obesitas(berat badan berlebih),faktor genetis, pola hidup yang tidak
sehat (jarang berolah raga), kurang tidur, dan masih banyak yang lainnya.

B. Saran
Adapun saran bagi pembaca dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Selalu berhati-hatilah dalam menjaga pola hidup. Sering berolah raga dan
istirahat yang cukup.
2. Jaga pola makan anda. Jangan terlalu sering mengkonsumsi makanan atau
minuman yang terlalu manis. Karena itu dapat menyebabkan kadar gula
melonjak tinggi.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
GAGAL GINJAL AKUT DAN KRONIS

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN


PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS
MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat
penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal
mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan
cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi selektif air, elektrolit
dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai kemih.
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi
cairan ekstra sel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan
ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi tubulus.
Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah per menit, suatu volume yang sama
dengan 20 sampai 25 persen curah jantung (5.000 ml per menit). Lebih 90%
darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya dialirkan
ke medulla.
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit
menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat
utama.
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler
sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum
pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit
jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang
memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit
ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit
kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di
tulang dan otot serta anemia.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan
diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan
penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika
sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi
penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau
dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang
harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif
terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai
faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari makalah ini kami bedakan menjadi tujuan umum
dan tujuan khusus. Untuk tujuan umum dari penyusunan makalah ini yaitu
untuk memberikan pemahaman mengenai gangguan system perkemihan
akibat gagal ginjal kronis, dan untuk mengetahui bagaimana penerapan
asuhan keperawatan terhadap klien dengan gangguan system perkemihan
akibat gagal ginjal kronis. Sedangkan tujuan khususnya yaitu:
1. Mengetahui mengenai pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, pemeriksaan diagnostic dan penatalaksanaan medis yang terjadi
pada penyakit gagal ginjal kronis.
2. Mengetahui pengkajian pada pasien dengan gangguan sitem perkemihan
akibat gagal ginjal kronis, mengetahui cara menegakkan diagnosa
keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan akibat
gagal ginjal kronis, dapat mengetahui cara membuat rencana tindakan
keperawatan yang akan dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal kronis,
dan dapat mengetahui intervensi keperawatan dan mengevaluasi pasien
dengan gangguan sistem perkemihan akibat gagal ginjal kronis.

1.3 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan dari makalah yang kami susun adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat pengetahuan
Menambah keragaman ilmu pengetahuan bagi dunia keperawatan
umumnya, khususnya adalah keperawatan medical bedah.

2. Manfaat pendidikan
Memberikan referensi mengenai pembahasan yang menyeluruh
meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan gangguan pada system
perkemihan yang dibahas.
3. Manfaat praktis
a. Bagi profesi
Sebagai salah satu sumber literature dalam pengembangan
bidang profesi keperawatan khususnya keperawatan medical bedah
tentang penyakit gagal ginjal kronis.
b. Bagi peneliti
Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pembahasan
dan proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan gangguan
system perkemihan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat
ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu
beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit ( toksik uremik ) di dalam darah. (Arif Muttaqin,2011; 166)
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung
progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerulus
kurang dari 50 ml/menit. (Arjatmo Tjokonegoro,2001;427)

2.2 Etiologi
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal
ginjal kronis. Akan tetapi apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah
penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan
dapat mengakibatkan GGK bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar
ginjal.
1. Penyakit dari ginjal
a. penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis
b. infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis
c. batu ginjal : nefrolitiasis
d. kista di ginjal : polcystis kidney
e. trauma langsung pada ginjal
f. keganasan pada ginjal
g. sumbatan : tumor, batu, penyempitan/striktur
2. Penyakit umum di luar ginjal
a. penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi
b. dyslipidemia
c. infeksi di badan : tbc paru, sifilis, malaria, hepatitis
d. preeklamsi
e. obat-obatan
f. kehilangan banyak cairan yang mendadak ( luka bakar )

2.3 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak
oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-
gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai
15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga
stadium yaitu:
 Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum
Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik.
 Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo
filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum
Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai
meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan
poliuri.
 Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia).
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo
filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau
kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen
meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)

2.4 Manifestasi Klinis


Karena pada gagal ginjal kronis setiap sisem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperhatikan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan
ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjsl kronis mencakup
hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi system rennin-
angiotenin-aldosteron), gagal jantung kongestif, dan edema pulmoner (akibat
cairan berlebihan), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh
toksin uremik).
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang
parah (pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat
ini jarang terjadi akibat penanganan dini dan agresif terhadap penyakit ginjal
tahap akhir. Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup
anoreksia, mual, muantah dan cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup
perubahan tingkat kesadaran, ketidak mampuan berkonsentrasi, kedutan otot
dan kejang.
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem
yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga
sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain :
hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -
angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat
cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial
oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler
o Hipertensi
o Pitting edema
o Edema periorbital
o Pembesaran vena leher
o Friction sub pericardial
b. Sistem Pulmoner
o Krekel
o Nafas dangkal
o Kusmaull
o Sputum kental dan liat
c. Sistem gastrointestinal
o Anoreksia, mual dan muntah
o Perdarahan saluran GI
o Ulserasi dan pardarahan mulut
o Nafas berbau ammonia
d. Sistem musculoskeletal
o Kram otot
o Kehilangan kekuatan otot
o Fraktur tulang
e. Sistem Integumen
o Warna kulit abu-abu mengkilat
o Pruritis
o Kulit kering bersisik
o Ekimosis
o Kuku tipis dan rapuh
o Rambut tipis dan kasar
f. Sistem Reproduksi
o Amenore
o Atrofi testis

Mekanisme yang pasti untuk setiap manifestasi tersebut belum dapat


diidentifikasi. Namun demikian produk sampah uremik sangat dimungkinkan
sebagai penyebabnya.

2.5 Pemeriksaan Diagnostic


1. Laboratorium :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia,
dan hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah
retikulosit yang rendah.
b. Ureum dan kreatini : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat
pendarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan
steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini
berkurang ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah
protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
c. Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia :
biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya
dieresis
d. Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada GGK.
e. Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang,
terutama isoenzim fosfatase lindi tulang.
f. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein.
g. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada
gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan
perifer).
h. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
i. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang
menurun, semuanya disebabkan retensi asam-asam organic pada gagal
ginjal.
2. Radiology
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal
(adanya batu atau adanya suatu obstruksi). Dehidrasi karena proses
diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
3. IIntra Vena Pielografi (IVP)
Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.
4. USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.

5. EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)

2.6 Penatalaksanaan Medis


Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua
factor yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronik dicari dan diatasi.
Adapun penatalaksanaannya yaitu : Penatalaksanaan konservatif,
Meliputi pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa, mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis,
pengobatan neuropati, deteksi dan mengatasi komplikasi. Dan
penatalaksanaan pengganti diantaranya dialysis (hemodialisis, peritoneal
dialysis) transplantasi ginjal.
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut :
1. Dialisis
Dialysis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan
natrium dapat dikonsumsi sevara bebas, menghilangkan kecenderungan
pendarahan, dan membantu menyembuhkan luka.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi
dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat
adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila
terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
3. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi
yang kuat, missal pada adanya insufisiensi koroner.
4. Koreksi asidosis.
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus
dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral.
Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis
5. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator
dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi
harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka
seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN GAGAL GINJAL KRONIS (GGK)

3.1 Pengumpulan data


a. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi pasien dengan cara
wawancara atau interview. Mengetahui kondisi pasien untuk saat ini dan
masa yang lalu.
Anamnesa mencakup identitas pasien, keluhan utama, riwayat
kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan
keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan lingkungan dan tempat
tinggal.
1. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu : nama lengkap, tempat tanggal
lahir, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
suku/bangsa, golongan darah, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian,
No. RM, diagnose medis, dan alamat.
Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, dan alamat.
2. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya,
apakah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur, apa tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa yang digunakan.

Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari


urine output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai
penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah,
mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau ( ureum ), dan gatal pada
kulit.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang ( PQRST )


Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat
di anamnesa meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region,
radiaton, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onet penurunan urine
output, penurunan kesadaran, perubahan pola nafas, kelemahan fisik,
adanya perubahan kulit, adanya nafas berbau ammonia, dan perubahan
pemenuhan nutrisi. Kaji pula sudah kemana saja klien meminta
pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapat pengobatn
apa.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign prostatic
hyperplasia, dan prostektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu
saluran kemih, infeksi system prkemihan yang berulang, penyakit
diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang
menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat
pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap
jenis obat kemudian dokumentasikan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Bagaimana pola hidup yang biasa di terapkan
dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat infeksi system perkemihan
yang berulang dan riwayat alergi, penyakit hereditas dan penyakit
menular pada keluarga.
6. Riwayat Psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan
dialysis akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada
gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan
pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan, gangguan
konsep diri (gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga.

7. Lingkungan dan tempat tinggal


Mengkaji lingkungan tempat tinggal klien, mengenai
kebersihan lingkungan tempat tinggal, area lingkungan rumah, dll.

b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dan TTV
 Keadaan umum : Klien lemah dan terlihat sakit berat
 Tingkat Kesadaran : Menurun sesuai dengan tingkat uremia
dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat
 TTV : Sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat,
tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai
berat
2. Sistem Pernafasan
Klien bernafas dengan bau urine (fetor uremik), respon uremia
didapatkan adanya pernafasan kussmaul. Pola nafas cepat dan dalam
merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida
yang menumpuk di sirkulasi
3. Sistem Hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung kongestif, TD
meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan
sesak nafas, gangguan irama jantung, edema penurunan perfusiperifer
sekunder dari penurunan curah jantungakibat hiperkalemi, dan
gangguan kondisi elektrikal otot ventikel.
Pada system hematologi sering didapatkan adanya anemia.
Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi
gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan
kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan
mengalami perdarahan sekunder dari trombositopenia.

4. System Neuromuskular
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral,
seperti perubahan proses berfikir dan disorientasi. Klien sering
didapatkan adanya kejang, adanya neuropati perifer, burning feet
syndrome, restless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
5. Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas system rennin- angiostensin- aldosteron. Nyeri
dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
6. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada
laki-laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang
menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu.
Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai
amenorea.
Angguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15
ml/menit) terjadi penuruna klirens metabolic insulin menyebabkan
waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini dapat
menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan
berkurang. Gangguan metabolic lemak, dan gangguan metabolism
vitamin D.
7. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi
penurunan libido berat
8. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare
sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut, dan
ulkus saluran cerna sehingga sering di dapatkan penurunan intake
nutrisi dari kebutuhan.
9. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot,
nyeri kaki (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya
infeksi, pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis
pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit jaringan
lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi.
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder
dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine,
diet berlebih dan retensi cairan dan natrium
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa mulut.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolic,
sirkulasi,sensasi, penurunan turgor kulit, penurunan aktivitas, akumulasi
ureum dalam kulit.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur
5. Gangguan konsep diri (gambaran diri) berhubungan dengan penurunan
fungsi tubuh, tindakan dialysis, koping maladaptif
6. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi , prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

3.3 Perencanaan Keperawatan


1. Diagnosa Keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan keluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
Kriteria Hasil : Klien tidak sesak nafas, edema ekstermitas berkurang, piting
edema (-), produksi urine > 600ml/hr

Intervensi Rasional
 Kaji status cairan :  Pengkajian merupakan dasar dan
a. Timbang berat badan
data dasar berkelanjutan untuk
harian
memantau perubahan dan
b. Keseimbangan masukan
mengevaluasi intervensi
dan pengeluaran
c. Turgor kulit dan adanya
edema
d. Distensi vena leher
e. Tekanan darah, denyut
dan irama nadi

 Batasi masukan cairan


Identifikasi sumber potensial
 Pembatasan cairan akan menentukan
cairan :
a. Medikasi dan cairan berat tubuh ideal, keluaran urine, dan
yang digunakan untuk respon terhadap terapi
pengobatan : oral dan
intravena
b. Makanan

 Jelaskan pada pasien dan


keluarga rasional
 Sumber kelebihan cairan yang tidak
pembatasan
diketahui dapat diidentifikasi

 Bantu pasien dalam


menghadapi ketidak
 Pemahaman meningkatkan
nyamanan dalam
kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
pembatasan cairan

 Tingkatkan dan dorong


hygiene oral dengan sering
 Kenyamanan pasien meningkatkan
kepatuhan terhadap pembatasan diet.
Kolaborasi :
 Berikan diuretic, contoh :
 Higiene oral mengurangi kekeringan
furosemide, spironolakton,
membrane mukosa mulut
hidronolakton

 Diuretic bertujuan untuk


 Adenokortikosteroid,
menurunkan volume plasma dan
golongan prednisone
menurunkan retensi cairan di
jaringan sehingga menurunkan
resikoterjadinya edema paru

 Adenokortikosteroid, golongan
 Lakukan dialysis predison digunakan untuk
menurunkan proteinuri
 Dialysis akan menurunkan volume
cairan yang berlebih.

2. Diagnosa Keperawatan : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan
perubahan membrane mukosa mulut.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Kriteria Hasil : Mempertahankan / meningkatkan berat badan seperti yang
diindikasikan oleh situasi individu, bebas edema.

Intervensi Rasional
 Kaji status nutrisi :  Menyediakan data dasar untuk
a. Perubahan berat badan
memantau perubahan dan
b. Pengukuran
mengevaluasi intervensi
antopometrik
c. Nilai laboratorium
(elektrolit seru, BUN,
kreatinin,
protein,transferin, dan
kadar besi)

 Kaji pola diet nutrisi pasien:


a. Riwayat diet  Pola diet dahulu dan sekarang dapat
b. Makanan kesukaan
dipertimbangkan dalam menyusun
c. Hitung kalori
menu

 Kaji faktor yang berperan


dalam merubah masukan
 Menyediakan informasi mengenai
nutrisi :
a. Anoreksia, mual, atau faktor lain yang dapat diubah atau
muntah dihilangkan untuk meningkatkan
b. Diet yang tidak
masukan diet
menyenangkan bagi
pasien
c. Depresi
d. Kuran memahami
pembatasan diet
e. Stomatitis

 Menyediakan makanan
kesukaan pasien dalam
batas-batas diet

 Tingkatkan masukan protein  Mendorong peningkatan masukan


yang mengandung nilai diet

biologis tinggi seperti :


telur, produk susu, dan
 Protein lengkap diberikan untuk
daging
mencapai keseimbangan nitrogen
 Anjurkan camilan tinggi
yang diperlukan untuk pertumbuhan
kalori, rendah protein,
dan penyembuhan
rendah natrium,
diantara waktu makan
 Mengurangi makanan dan protein
yang dibatasi dan menyediakan
kalori untuk energy, membagi
 Ciptakan lingkungan yang
protein untuk pertumbuhan dan
menyenangkan selama
waktu makan pertumbuhan jaringan

 Timbang berat badan harian  Faktor yang tidak menyenangkan


yang berperan menimbulkan
anoreksia dihilangkan.
 Kaji bukti adanya masukan
protein yang tidak adekuat  Untuk memantau status cairan dan
a. Pembentukan edema
nutris
b. Penyembuhan yang
lambat
c. Penurunan kadar  Masukan protein yang tidak adekuat
albumin serum dapat menyebabkan penurunan
albumin dan protein lain,
pembentukan edema, dan
perlambatan penyembuhan

3. Diagnosa Keperawatan :. Gangguan integritas kulit berhubungan


dengan gangguan status metabolic, sirkulasi,sensasi, penurunan turgor
kulit, penurunan aktivitas, akumulasi ureum dalam kulit.
Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
Kriteria Hasil : Kulit tidak kering, hiperpigmentasi berkurang, memar pada
kulit berkurang

Intervensi Rasional
 Kaji terhadap kekeringan  Perubahan mungkin disebabkan oleh
kulit, pruritis, ekskoriasi, dan penurunan aktivitas kelenjar keringat
infeksi atau pengumpulan kalsium dan posfat
pada lapisan kutaneus.
 Kaji terhadap adanya petekie  Perdarahan yang abnormal sering
dan purpura dihubungkan dengan penurunan jumlah
dan fungsi platelet akibat uremia

 Area-area ini sangat mudah terjadinya


 Monitor lipatan kulit dan area injuri
yang edema
 Penurunan curah jantung
 Gunting kuku dan pertahankan mengakibatkan gangguan perfusi
kuku terpotong pendek dan ginjal, retensi natrium / air, dan
bersih penurunan urine output.

Kolaborasi :  Mengurangi stimulus gatal pada kulit


 Berikan pengobatan
antipruritis sesuai pesanan.

4. Diagnosa Keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan


keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
Tujuan : Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi
Kriteria Hasil : Meningkatkan rasa sejahtera, dan dapat berpartisipasi dalam
aktivitas perawatan mandiri yang dipilih

Intervensi Rasional
 Kaji faktor yang menimbulkan Menyediakan informasi tentang
keletihan : indikasi tingkat keletihan
a. Anemia
b. Ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit
c. Retensi produk sampah
d. Depresi
 Tingkatkan kemandirian
dalam aktivitas perawatan diri  Meningkatkan aktivitas ringan/sedang
yang dapat ditoleransi, bantu dan memperbaiki harga diri
jika keletihan terjadi

 Anjurkan aktivitas alternative  Mendorong latihan dan aktivitas dalam


sambil istirahat batas-batas yang dapat ditoleransi dan
istirahat yang adekuat

 Anjurkan untuk beristirahat  Istirahat yang adekuat dianjurkan


setelah dialysis setelah dialysis yang bagi banyak
pasien sangat melelahkan.

5. Diagnosa Keperawatan :. Gangguan konsep diri ( gambaran diri )


berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh, tindakan dialysis, koping
maladaptive
Tujuan : Pasien mampu mengembangkan koping yang positif
Kriteria Hasil : -Pasien kooperatif pada setiap intervensi keperawatan,
- Mampu menyatakan atau mengomunikaasikan dengan orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi
- Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap komunikasi
- Mengakui dan menggabungkan perubahan kedalam konsep diri dengan
cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif

Intervensi Rasional
 Kaji perubahan dari gangguan  Menentukan bantuan individual dalam
persepsi dan hubungan dengan menyusun rencana perawatan atau
derajat ketidak mampuan pemilihan intervensi

 Identifikasi arti dari  Mekanisme koping pada beberapa


kehilangan atau disfungsi pada pasien dapat menerima dan mengatur
pasi perubahan fungsi secara efektif dengan
sedikit penyesuaian diri, sedangkan
yang lain mengalami koping
maladaptive dan mempunyai kesulitan
dalam membandingkan, mengenal, dan
mengatur, kekurangan yang terdapat
pada dirinya

 Menunjukan penerimaan, dan


membantu pasien untuk mengenal dan
 Anjurkan klien untuk
mulai menyesuaikan dengan perasaan
mengekspresikan perasaan
tersebut

 Membantu meningkatkan perasaan


harga diri dan mengontrol lebih dari
 Bantu dan anjurkan perawatan
satu area kehidupan
yang baik dan memperbaiki
kebiasaan
 Menghidupkan kembali perasaan
kemandirian dan membantu
 Anjurkan orang yang terdekat
erkembangan harga diri, serta
untuk mengijinkan pasien
memengaruhi proses rehabilitasi
melakukan sebanyak-
banyaknya hal-hal untuk
dirinya  Pasien dapat beradaptasi terhadap
perubahan dan pengertian tentang peran
 Dukung perilaku atau usaha
seperti peningkatan minat atau individu masa mendatang
partisipasi dalam aktivitas
rehabilitasi

6. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya pengetahuan tentang kondisi ,


prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan
Kriteria Hasil : Meningkatkan pengetahuan pasien mengenai penyakit yang
dideritanya.
Intervensi Rasional
 Kaji pemahaman mengenai  Merupakan instruksi dasar untuk
penyebab gagal ginjal, penjelasan dan penyuluhan lebih lanjut
konsekuensinya dan
penanganannya :
a. Penyebab gagal ginjal
pasien
b. Pengertian gagal ginjal
c. Pemahaman mengenai
fungsi renal
d. Hubungan antara cairan,
pembatasan diet dengan
gagal ginjal
e. Rasional penanganan
(hemodialisis, dialysis
peritoneal, transplantasi)

 Jelaskan fungsi renal dan


 Pasien dapat belajar tentang gagal
konsekuensi gagal ginjal
ginjal dan penanganan setelah mereka
sesuai dengan tingkat
siap untuk memahami dan menerima
pemahaman dan kesiapan diagnosis dan konsekuensinya
pasien untuk belajar
 Pasien dapat melihat bahwa
 Bantu pasien untuk kehidupannya tidak harus berubah
mengidentifikasi cara-cara akibat penyakit
untuk memahami berbagai
perubahan akibat penyakit dan
penanganan yang
mempengaruhi hidupnya
 Pasien memiliki informasi yang dapat
 Sediakan informasi baik digunakan untuk klarifikasi selanjutnya
tertulis maupun secara oral di rumah
dengan tepat tentang :
a. Fungsi dan kegagalan renal
b. Pembatasan cairan dan diet
c. Medikasi
d. Melaporkan masalah, tanda
dan gejala
e. Jadwal tindak lanjut
f. Sumber di komunitas
g. Pilihan terapi
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan
irreversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang paling baik,
akan tetapi mempunyai beberapa kendala seperti keterbatasan donor, biaya
mahal, efek samping obat-obatan imunosupresi dan rejeksi kronik yang
belum bisa diatasi. Keuntungan transplantasi ginjal ialah menghasilkan
rehabilitas paling baik dibandingkan dialysis.

4.2 Saran
Diharapkan makalah ini bisa memerikan masukan bagi rekan- rekan
mahasiswa calon perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami mengenai
penyakit gagal ginjal kronis menjadi bekalkan dalam pengaplikasian dan
praktik bila menghadapi kasus yang kami bahas ini.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN


PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS
MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN PRODI
D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertrofi prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat(secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun)menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembesaran aliran urinarius.
Hipertrofi prostat benigna tidak diketahui secara jelas penyebabnya namun
kemungkinan disebabkan pengaruh hormon androgen dan estrogen serta
perubahan endokron pada usia lanjut dengan manisfestasi klinik susah untuk
berkemih,nyeri saat mengawali dan mengakhiri aliran urine dan ketidak
mampuan untuk mengosongkan isi kandung kemih.
Mengingat kita manusia tidak akan pernah terlepas dari hukum alam dan
banyaknya kasus hipertrofi prostat benigna yang ada diindonesia khusunya
dipontianak yang menyerang pria tua umur lebih dari 50 tahun,maka kami
tertarik untuk membahas makalah ini yang dikumpulkan dari beberapa
literature yang berupa teori-teori mengenai hipertrofi prostat yang kiranya
nanti dapat dijadikan pegangan untuk penanganan asuhan keperawatan kasus
tersebut.

B. Tujuan Penulisan
1. Memberikan gambaran yang jelas terhadap penerapan asuhan keperawatan
pada pasien dengan hipertrofi prostat benigna
2. Memenuhi salah satu syarat pembuatan makalah pada MA:KMB III

C. Metode Penulisan

1. Kepustakaan
Yaitu membaca referensi-referensi yang memepunyai hubungan dengan
gangguan sistem perkemihan:hipertrofi prostat benigna
2. Diskusi kelompok bersama mahasiswa membahas mengenai gangguan
sistem perkemihan

BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi

Hipertrofi prostat benigna adalah pembesaran granula dan jaringan seluler


kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan
dengan proses penuaan;kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan
uretra;sehingga hipertrofi prostat seringkali menghalangi pengosongan
kandung kemih(standar perawatan pasien edisi V volume 3,penerbit EGC)
Pembesaran progresif dari kelenjar prostat(secara umum pada pria lebih
tua dari 50 tahun)menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Doenges M.E.rencana asuhan keperawatan,hal
671)

2. Anatomi Fisiologi

Traktus urinari pada laki-laki tidak terpisah.uretra laki-laki panjangnya 17


sampai 23 sentimeter.uretra meninggalkan kandung kencing dan melalui
kelenjar prostat yang bagian itu dikenal sebagai uretra pars prostatika,berjalan
ke uretra membranosa,kemudian menjadi uretra penis;membelok dengan sudut
90 derajat,dan melalui perineum ke penis
Testis adalah organ kelamin laki-laki,testosteron dihasilkan.testis
berkembang didalam rongga abdomen sewaktu janin dan turun melalui
saluran inguinal kanan dan kiri masuk kedalam skrotum menjelang akhir
kehamilan.testis ini terletak oblik menggantung pada urat spermatik didalam
skrotum
Testosteron,hormon kelamin laki-laki disekresikan oleh sel interstisial
yaitu sel-sel yang terletak didalam ruang antara tubula-tubula seminiferus
testis dibawah rangsangan hormon perangsang sel intertisiil(ICSH) arti
hipofisi yang sebenarnya adalah bahan yang sama dengan hormon
luteinizing(LH).pengeluaran testosteron bertambah dengan nyata pada masa
pubertas yang bertanggung jawab atas pengembangan sifat-sifat kelamin
sekunder:yaitu pertumbuhan jenggot,suara lebih berat;pembesaran genitalia.
Vesikula seminalis atau kandung mani adalah dua buah kelenjar tubuler
yang terletak kanan dan kiri dibelakang leher kandung kemih.salurannya
bergabung dengan vasa deferentia,untuk membentuk saluran ejakulator(ductus
ejaculatorius communis).sekret vesika seminalis adalah komponen pokok dari
air mani
Epididimis adalah organ kecil yang terletak dibelakang testis serta terkait
padanya.terdiri atas sebuah tabung sempit yang sangat panjang dan berliku
dibelakang testis.melalui tabung ini sperma berjalan dari testis masuk kedalam
vas deferens,vas deferens adalah sebuah saluran yang berjalan dari bagian
bawah epididimis naik dibelakang testis,masuk ketali mani(funikulus
spermatikus)dan mencapai rongga abdomen melalui saluran inguinal,dan
akhirnya berjalan masuk kedalam pervis
Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah walkut atau buah kemari
besar,letaknya dibawah kandung kemih mengelilingi uretra dan terdiri atas
kelenjar majemuk.saluran dan otot polos.prosta mengeluarkan sekret cairan
yang bercampur dengan sekret dari testis.pembesaran prostat akan
membendung uretra dan menyebabkan retensio urine
Skorotum(kandung buah pelir) adalah sebuah struktur berupa kantong yang
terdiri atas kulit tanpa lemak subkutan,berisi sedikit jaringan otot.testis berada
didalamnya setiap testis berada dalam pembungkus yang disebut tunika
vaginalis,yang dibentuk dari peritoneum
Penis(zakar) terdiri atas jaringan seperti busa dan memanjang dari glans
penis(kepala zakar),tempat muara uretra.kulit pembungkus glans penis adalah
preputum atau kulup.isi pelvis laki-laki kandung kemih dengan vas deferens
dan kelenjar prostat rektum dan peritoneum pelvis.kelenjar limfe dan banyak
pembuluh limfe,serabut saraf sakralis,arteri dan vena.

3. Etiologi

Belum diketahui secara jelas tetapi kemungkinan disebabkan oleh:


1. Pengaruh hormon androgen dan estrogen
2. Perubahan endokrin pada usia lanjut

4. Patofisiologi
Pada umumnya nodul berasal dari sekitar uretra dalam lobus medialis dan
gangguan lebih tengah lagi dari lobus lateralis.duktus kelenjar yang membesar
hampir selalu bermuara proksimal velumontanum.
Walaupun nodul tadi tidak berkapsul murni tetapi pada irisan tampak jelas
diakibatkan tekanan oleh parenkum disekitarnya uretra dapat terjepit sehingga
merupakan celah yang disebabkan oleh nodul kanan dan kiri.kelenjar yang
baru terbentuk mempunyai ukuran bervariasi dan ditutupi sel-sel kalumnar
yang hipertrofi,memberi gambaran khusus penonjolan papil dan lipatan-
lipatan,bentuk grandula maupun yang fibromuskular.dapat tampak dalam
nodul sekitar jaringan prostat adalah kecil berupa nekrosis iskemi yang
dikelilingi sel-sel yang mengalami metaplasia skuamosa,hal trsebut tampak
jelas dari kesukaran mengawali ,mempertahankan dan menghentikan
pengeluaran urine.kadang-kadang didapati juga nokturia yang sering dan
disebabkan karena menonjolnya dasar uretra yang berakibat retensi urine
residu yang banyak dalam kandungan kencing setelah miksi.

5. Tanda dan Gejala


1. Sering berkemih tetapi sedikit
2. Sakit saat mengawali dan mengakhiri aliran urine
3. Tidak mampu mengosongkan seluruh isi kandung kemih
4. Terlalu lancar pancaran urine

6. Pemerikasaan laboratorium
 Urinalisis
 Pemeriksaan kultur dan sensititubs urine
 Kreatinin serum
 BUN serum
 Asam fosfat
 SDP
 Sistoskopi
 Urografi ekskretori/IVP
 Pemeriksaan retrograd

7. Penatalaksanaan medis
 Kateterisasi
 Antibiotik
 Masukan dan haluaran
 Pembedahan
 Reseksi transuretral prostat(TURP)
 Prostatektomi suprapubis
 Prostatektomi retropubis
 Prostatektomi retropubis radikal
 Sistostomi drainase kandung kemih

8. Komplikasi
 Pielonefritis
 Hidronefrosis
 Azotemia
 Uremia

B. Konsep Dasar Keperawatan


Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio,psiko,sosio dan
ditujukan kepada individu,keluarga dan masyarakat yang sehat maupun sakit
dalam mencapai siklus hidup manusia.
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien menurut pola Gordon
1. Pola persepsi kesehatan
- Riwayat pasien pernah megalami sakit
- Bagaimana awal mulanya penyakit dan pengobatan yang dilakukan
- Pekerjaan yang dilakukan klien
- Mengkonsumsi suplemen dan vitamin untuk menjaga kesehatan
tubuh

2. Pola nutrisi metabolik


- Kaji makan ada atau tidak
- Banyaknya minum dalam sehari
- Adanya anoreksia,mual,dan muntah
- Penurunan berat badan

3. Pola eliminasi
- Adanya penurunan kekuatan/dorongan aliran urine
- Keragu-raguan pada perkemihan awal
- Adanya ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
dengan lengkap
- Adanya nokturia,disuria,hematuria
- Duduk untuk berkemih

4. Pola aktivitas dan latihan


- Nyeri pada kandung kemih saat beraktivitas
- Aktivitas rutin yang pasien lakukan sehari-hari?
- Adakah hambatan dalam ambulasi

5. Pola tidur dan istirahat


- Adakah sering terbangun karena nyeri disuprapubis?
- Perassan malas setelah bangun
- Adakah pengunaan alat bantu tidur
- Lama tidur dalam 24 jam

6. Pola persepsi kognitif


- Adakah mengkonsumsi analgetik saat nyeri timbul
- Adakah nyeri kuat suprapubis,panggul atau punggung(skala 7-9)
- Adanya cemas dan meringis

7. Pola persepsi dan konsep diri


- Perasaan tidak berdaya
- Malu terhadap keadaannya
- Bagaimana klien memandang dirinya

8. Pola peran dan hubungan dengan sesama


- Perhatiaan keluarga terhadap keadaan pasien saat ini
- Bantuan keluarga dan orang terdekat untuk pasien
- Bagaimana klien beradaptasi dengan lingkungan

9. Pola reproduksi dan seksualitas


- Penurunan libido
- Adakah efek terapi pada kemampuan seksualitas
- Impoten

10. Pola mekanisme koping dan stress


- Membicarakan masalah dengan orang terdekat
- Adanya perasaan cemas dan takut
- Selalu mencari bantuan orang lain

11. Pola sistem kepercayaan


- Percaya bahwa tuhan akan memberikan penyembuhan
- Percaya bahwa tuhan adalah penuntun hidupnya
- Percaya bahwa ini adalah cobaan dari tuhan

2. Masalah keperawatan

1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi kandung kemih yang ditandai


oleh adanya ungkapan nyeri(skala 7-9),gelisah dan meringis.
2. Retensi urine yang berhubungan dengan:pembesaran prostat dan
ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat yang
ditandai oleh adanya ungkapan penurunan kekuatan/dorongan aliran
urine,keragu-raguan saat berkemih, dan ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan pengobatan
yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi yang ditandai
oleh pertanyaan meminta informasi dan tidak akurat mengikuti instruksi
4. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan penurunan
kemampuan seksualitas yang ditandai oleh penurunan libido dan impoten.
5. Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan
kemungkinan prosedur bedah yang ditandai oleh kecemasan dan ketakutan
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
pascaobstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronis

3. Rencana keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan distensi kandung kemih yang
ditandai oleh adanya ungkapan nyeri(skala 7-9),gelisah dan meringis.
Tujuan :Nyeri berkurang sampai dengan teratasi dalam waktu 1x24 jam

Sasaran:
1. Melaporkan nyeri berkurang/hilang
2. Skala nyeri 1-2(dapat ditoleransi)
3. Pasien tampak rileks
4. Klien dapat tidur/istirahat dengan tenang

Intervensi
1. Kaji nyeri,perhatikan lokasi,karakteristik,intensitas(skala 0-10)lamanya
Rasional:memberikan informasi untuk membantu dalam menetukan
pilihan/ keefektifan intervensi
2. Berikan posisi yang nyaman(semifowler)dan ajarkan teknik relaksasi
Rasional:meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian,dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional:tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi
akut.namun,ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan
menghilangkan nyeri kolik
4. Dorong menggunakan rendam duduk,sabun hangat untuk perineum.
Rasional:meningkatkan relasasi otot
5. Masukan kateter dan dekatkan untuk kelancaran drainase
Rasional:pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan
kelenjar
6. Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi
Rasional:diberikan untuk menghilangkan nyeri berat,memberikan
relaksasi mental dan fisik.

2. Retensi urine yang berhubungan dengan:pembesaran prostat dan


ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat yang ditandai oleh adanya ungkapan penurunan
kekuatan/dorongan aliran urine,keragu-raguan saat berkemih, dan
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap.
Tujuan :Kemampuan berkemih kembali normal
Sasaran:
1. Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih
2. Menunjukan residu paska berkemih kurang dari 50 ml;dengan tidak
adanya tetesan
3. Peningkatan dorongan aliran urine

Intervensi
1. Kaji ketidakmampuan pasien berkemih
Rasional:memberikan informasi mengenai ketidakmampuan sehingga
dapat dilakukan intervesi yang tepat
2. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional:meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pad kandung
kemih
3. Observasi aliran urine,perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional:bergina untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih,perhatikan penurunan
haluaran urine dan perubahan berat jenis
Rasional:retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
atas,yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal adanya defisit aliran darah
keginjal menganggu kemampuannya untuk memfilter dan
mengkonsentrasi substansi
5. Palpasi/perkusi area suprapubik
Rasional:Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapublik
6. Awasi tanda-tanda vital dengan tepat
Rasional:mengontrol faal ginjal
7. Berikan rendaman duduk sesuai indikasi
Rasional:meningkatkan relaksasi otot,penurunan edema,dan dapat
meningkatkan upaya berkemih
8. Berikan obat sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan
iritasi oleh kateter

3. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan


pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi yang ditandai oleh pertanyaan meminta informasi dan
tidak akurat mengikuti instruksi.
Tujuan:informasi tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan pengobatan
dipahami
Sasaran:
1. Pasien menyatakan pemahaman tentang informasi yang diberikan
2. Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
3. Klien menyatakan kesadaran dan merencanakan/melakukan perubahan
pola hidup tertentu
4. Mengidentifikasikan hubungan tanda/gejala proses penyakit

Intervensi:
1. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
Rasional:memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan informasi terapi
2. Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian
Rasional:membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan
rehabilitasi vital
3. Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual
Rasional:Mungkin merupakan ketakutan yang tidak dibicarakan
4. Berikan informasi tentang anatomi dasar seksual,dorong prtanyaan dan
tingkatkan dialog tentang masalah
Rasional:memilih informasi tentang anatomi mambantu pasien memahami
implikasi tindakan lanjut,sesuai dengan afek penampilan seksual
5. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik,contoh urine
keruh, berbau:penurunan haluan urine,ketidakmampuan untuk berkeih
Rasional:Intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius

4. Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan penurunan


kemampuan seksualitas yang ditandai oleh penurunan libido dan
impoten.
Tujuan :Pola seksualitas kembali normal
Sasaran:
1. Klien menceritakan kepedulian/masalah mengenai fungsi seksual
2. Mengekspresikan peningkatan kepuasan dengan pola seksual
3. Mengidentifikasi stresor dalam kehidupan
4. Melanjutkan aktivitas seksual sebelumnya
5. Melaporkan suatu keinginan untuk melanjutkan aktivitas seksual

Intervensi
1. Kaji riwayat seksual
Rasional:mengidentifikasi informasi mengenai seksual masa lalu klien
sehinga mudah dalam pemberian intervensi
2. Berikan dorongan untuk bertanya tentang seksualitas atau fungsi seksual
yang mungkin menganggu pasien
Rasional:memberikan banyak informasi tentang seksualitas membantu
dalam perbaikan pola seksual
3. Gali hubungan pasien dengan pasangannya
Rasional:mengidentifikasi masalah lebih spesifik lagi
4. Identifiasi penghambat untuk memuaskan fungsi seksual
Rasional:Mencari penyebab lebih baik untuk perbaikan
5. Ajarkan tehnik istirahat sebelum melakukan aktivitas seksual
Rasional:menyimpan energi untuk aktivitas seksual
6. Anjurkan klien untuk berolah raga secara teratur dan menjaga kesehatan
Rasional:agar tubuh tetap fit dan mampu melakukan aktivitas seksual
dengan baik
5. Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan
kemungkinan prosedur bedah yang ditandai oleh kecemasan dan
ketakutan.
Tujuan :Ansietas dapat diminimalkan sampai dengan diatasi setelah 1 X 24
jam
Sasaran:
1. Pasien tampak rileks
2. Pasien melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi
3. Pasien mendemonstrasikan/menunjukan kemampuan mengatasi masalah
dan menggunakan sumber-sumber secara efektif
4. Pasien mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi:
1. Kaji tingkat ansietas dan diskusikan penyebabnya bila mungkin
Rasional:Identifikasi masalah spesifik akan meningkatkan kemampuan
individu untuk menghadapinya dengan lebih realitis
2. Selalu ada untuk pasien,buat hubungan saling percaya dengan
pasien/orang terdekat
Rasional:menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu dalam
diskusi tentang subjek sensitif
3. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:peningkatan tanda-tanda vital merupakan salah satu tanda awal
terjadinya peningkatan ansietas
4. Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan
terjadi
Rasional:membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan.dan
mengurangi masalah karena ketidaktahuan,termasuk ketakutan akan
kanker
5. Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur/menerima
pasien.lindungi privasi pasien
Rasional:menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien
6. Dorong pasien untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional:mendefinisikan masalah,memberikan kesempatan untuk
menjawab pertanyaan,memperjelas kesalahan konsep,dan solusi
pemecahan masalah
7. Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya
Rasional:memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberi informasi
8. Kolaborasi:pemberian obat antiansietas(contoh:sedatif) sesuai program
Rasional:diberikan hanya dengan kolaborsi dokter bila intervensi lain
tidak menolong karena efek samping menekan susunan saraf pusat
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hipertrofi prostat benigna adalah pembesaran granula dan jaringan seluler
kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan
dengan proses penuaan;kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan
uretra;sehingga hipertrofi prostat seringkali menghalangi pengosongan
kandung kemih(standar perawatan pasien edisi V volume 3,penerbit
EGC).penyebab hipertrofi prostat ini tidak diketahui secara jelas namun
diduga karena pengaruh hormon androgen dan estrogen dan perubahan
endokrin pada usia lanjut
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien adalah sakit saat mengawali
dan mengakhiri aliran urine,tidak mampu mengosongkan seluruh isi kandung
kemih sekaligus,sering berkemih tetapi sedikit,dan terlalu lancar pancaran
urine.
Perangkat diagnostik yang dilakukan adalah Urinalisis,Pemeriksaan kultur dan
sensititubs urine,Kreatinin serum,BUN serum,Asam
fosfat,SDP,Sistoskopi,Urografi ekskretori/IVP,dan Pemeriksaan retrograd
Terapi yang dilakukan adalah Kateterisasi,Antibiotik,Masukan dan
haluaran, Pembeda han,Reseksi transuretral prostat(TURP),Prostatektomi
suprapubis, Prostatektomi retropubis,Prostatektomi retropubis radikal,dan
Sistostomi drainase kandung kemih.Komplikasi yang dapat terjadi adalah
Pielonefritis, Hidronefrosis, Azotemia, dan Uremia
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah Nyeri yang berhubungan
dengan distensi kandung kemih yang ditandai oleh adanya ungkapan
nyeri(skala 7-9),gelisah dan meringis,Retensi urine yang berhubungan
dengan:pembesaran prostat dan ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat yang ditandai oleh adanya ungkapan penurunan
kekuatan/dorongan aliran urine,keragu-raguan saat berkemih, dan
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap,Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis,dan kebutuhan
pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi yang
ditandai oleh pertanyaan meminta informasi dan tidak akurat mengikuti
instruksi,Perubahan pola seksualitas yang berhubungan dengan penurunan
kemampuan seksualitas yang ditandai oleh penurunan libido dan
impoten,Ansietas yang berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan
kemungkinan prosedur bedah yang ditandai oleh kecemasan dan
ketakutan,Resiko tinggi kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
pascaobstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronis.

B. Saran

1. Asuhan keperawatan hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan


komprehensif mencakup bio,psiko,sosial dan spiritual sehingga tujuan
dapat dicapai dengan baik
2. Perawat perlu mengikut sertakan keluarga dalam pemberian asuhan
3. Perlu adanya kerjasama antara perawat dan tim medis lainnya dalam
proses penyembuhan pasien
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
HIV-AIDS

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS
KEDOKTERAN PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Masalah HIV/ AIDS adalah maslah besar yang mengancam Indonesia


dan banyak Negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi
masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember
2004 adalah 35,9 – 44,3 juta orang. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas
dari HIV/ AIDS. HIV/ AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan,
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi,
pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/ AIDS
menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS
memerlukan respon dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan
dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. Individu yang terjangkit
HIV ini biasanya adalah individu yang mendapat darah atau produk darah
yang terkontaminasi dengan HIV dan anak-anak yang dilahirkan dari ibu
yang menderita infeksi HIV.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan
Amman pada tahun 1983 di Amerika serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS
pada anak di Amerika makin lama makin meningkat. Kasus infeksi HIV
terbanyak pada orang dewasa maupun pada anak-anak tertinggi didunia
adalah di Afrika.
Dengan demikian , pada makalah ini akan dibahas mengenai infeksi HIV
yang terjadi pada anak-anak. Hal ini perlu dibahas agar dapat melakukan
tindakan yang tepat pada anak-anak yang terkena HIV, khususnya bagi
pemberi perawatan agar laju pertumbuhan anak yang terkena HIV/AIDS
dapat dikurangi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari HIV/AIDS?
2. Apa penyebab dari timbulnya penyakit HIV/AIDS?
3. Bagaimana patofisiologi HIV/AIDS?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari HIV/AIDS?
5. Apa komplikasi yang akan terjadi pada HIV/AIDS?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis pada HIV/AIDS?
7. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada penderita HIV/AIDS khususnya
pada anak?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan


makalah ini adalah sebagai penambah pengetahuan tentang HIV/AIDS. Selain
itu juga, tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian dari HIV/AIDS.
2. Mengetahui penyebab dari timbulnya penyakit HIV/AIDS.
3. Mengetahui patofisiologi HIV/AIDS.
4. Mengetahui manifestasi klinis dari HIV/AIDS.
5. Mengetahui komplikasi yang akan terjadi pada HIV/AIDS.
6. Mengetahui penatalaksanaan medis pada HIV/AIDS.
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada penderita HIV/AIDS khususnya
pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yakni virus
yang menyerang sistem imun sehingga kekebalan menjadi lemah bahkan
sampai hilang. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired
Immunodeficiency Disease Syndrome, yakni suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus yaitu virus HIV (Sujana, 2007).
HIV secara umum adalah virus yang hanya dapat menginfeksi manusia,
memperbanyak diri didalam sel manusia, sehingga menurunkan kekebalan
manusia terhadap penyakit infeksi. AIDS adalah sekumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh
seseorang yang didapat karena terinfeksi HIV.
AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok resiko tertentu,
termasuk pria homoseksual, atau biseksual, penyalahgunaan obat intra vena,
penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual
dan individu yang terinfeksi virus tersebut. (DORLAN, 2002)
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan
kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga
keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat
membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi.
(Centre for Disease Control and Prevention)

2.2 Etiologi
Etiologi atau penyebab dari HIV/AIDS karena terganggunya system
imun dalam tubuh ODHA. Partikel virus bergabung dengan sel DNA pasien
sehingga orang yang terinfeksi HIV akan seumur hidup tetap terinfeksi.
Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam dan lain sebagainya
pada 3-6 minggu setelah infeksi (Sudoyo, 2006).
Selain karena terganggunya system imun, HIV juga disebabkan oleh
penyebarluasan melalui berbagai jalur penularan diantaranya:

 Ibu pada bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah 0’01% sampai 0,07%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum
ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi 20% sampai 30%,
sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas maka kemungkinannya mencapai
50% (PELKESI, 1995).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui kontak antara
membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan (Lily V, 2004).
Penularan dari ibu ke anak yang biasa terjadi adalah sebagai berikut:

 Selama dalam kandungannya (antepartum)


 Selama persalinan (intrapartum)
 Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (post
partum)
 Bayi tertular melalui pemberian ASI
 Darah dan produk darah yang tercemar HIV/ AIDS

Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh


darah dan menyebar luas.
 Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum dan alat-alat lain


yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV,
dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa
menularkan HIV (PELKESI, 1995).
 Penularan melalui hubungan seks
 Pelecehan seksual pada anak.
 Pelacuran anak
Sedangkan menurut Hudak dan Gallo (1996), penyebab dari AIDS adalah
suatu agen viral (HIV) dari kelompok virus yang dikenal dengan retrovirus
yang ditularkan oleh darah melalui hubungan seksual dan mempunyai
aktivitas yang kuat terhadap limfosit T yang berperan dalam mekanisme
pertahanan tubuh manusia. HIV merupakan Retrovirus yang menggunakan
RNA sebagai genom. HIV mempunyai kemampuan mengcopy cetakan materi
genetic dirinya ke dalam materi genetic sel-sel yang ditumpanginya.
Sedangkan menurut Long (1996), penyebab AIDS adalah Retrovirus yang
telah terisolasi cairan tubuh orang yang sudah terinfeksi yaitu darah, semen,
sekresi vagina, ludah, air mata, air susu ibu (ASI), cairan otak (cerebrospinal
fluid), cairan amnion, dan urin. Darah, semen, sekresi vagina dan ASI
merupakan sarana transmisi HIV yang menimbulkan AIDS. Cairan transmisi
HIV yaitu melalui hubungan darah (transfusi darah/komponen darah, jarum
suntik yang dipakai bersama-sama), seksual (homo bisek/heteroseksual),
perinatal (intra plasenta dan dari ASI). Empat populasi utama pada kelompok
usia pediatrik yang terkena HIV yaitu :
1. Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi
(disebut juga transmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85%
kasus AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
2. Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan
hemofilia).
3. Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku risiko tinggi.
4. Bayi yang mendapat ASI (terutama di negara-negara berkembang).

2.3 Patofisiologi
Penyebab acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah human
immunodeficiencyvirus (HIV), yang melekat dan memasuki limfosit T helper
CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4 + dan sel-sel imunologis
lainnya, dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap. Sel-sel
yang memperkuat dan mengulang respons imunologis diperlukan untuk
mempertahankan kesehatan yang baik dan bila sel-sel tersebut berkurang dan
rusak maka fungsi imun lain akan terganggu.
HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus untuk
melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi limfosit B juga
terpengaruh dengan peningkatan produksi immunoglobulin total yang
berhubungan dengan penurunan produksi antibody spesifik. Dengan
memburuknya sistem imun secara progresif, tubuh menjadi semakin rentan
terhadap infeksi oportunistik dan juga berkurang kemampuannya dalam
memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikan sebagai penyakit
multisystem yang dapat bersifat dolman bertahun-tahun karena menyebabkan
imunodefisiensi secara bertahap. Kecepatan perkembangan dan manifestasi
klinis penyakit ini bervariasi orang ke orang (Bezt, Cecily Lynn. 2009).

PEMBAGIAN STADIUM PADA HIV/AIDS


Secara umum kronologis perjalanan infeksi HIV dan AIDS terbagi
menjadi 4 stadium, antara lain (Nursalam, 2007) :
1. Stadium HIV
Dimulai dengan masuknya HIV yang diikuti terjadinya perubahan serologik
ketika hadap virus tersebut dan negatif menjadi positif. Waktu masuknya
HIV kedalam tubuh hingga HIV positif selama 1-3 bulan atau bisa sampai
6 bulan (window period).
2. Stadium Asimptomatis (tanpa gejala)
Menunjukkan didalam organ tubuh terdapat HIV tetapi belum menunjukan
gejala dan adaptasi berlangsung 5 - 10 tahun.
3. Stadium Pembesaran Kelenjar Limfe
Menunjukan adanya pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata
(persistent generalized lymphadenophaty) dan berlangsung kurang lebih 1
bulan.
4. Stadium AIDS
Merupakan tahap akhir infeksi HIV. Keadaan ini disertai bermacam - macam
penyakit infeksi sekunder.
PATHWAY

(HIV
RETROVIRUS)

(STADIUM HIV (1-3 atau 6 bulan) Sindrom mononukleosida, yaitu


MENYERANG LIMFOSIT T CD4+ demam 38-40o c, pembesaran
Ditularkan melalui darah, semen, kelenjar getah bening dan di ketiak,
sekresi vagina, ludah, air mata, ASI disertai timbulnya bercak
kemerahan pada kulit.

(STADIUM ASIMPTOMATIK (5-


10 tahun)
Masuk ke dalam organ tubuh tapi
tidak mengalami gejala Manifestasi Pembesaran kelenjar getah bening di
klinis leher, ketiak, paha. Keluar keringat
malam hari. Lemas, BB turun
5kg/bulan batuk kering, diare, bercak
di kulit,ulserasi, perdarahan, sesak
nafas, kelumpuhan, gangguan
penglihatan, kejiwaan terganggu.
(STADIUM PEMBESARAN
KELENJAR LIMFE 1 bulan set.
Std, Asimptomatik)
Tidak ada gejala

Kelainan otak, meningitis, kanker


kulit, luka ulserasi, infeksi yang
menyebar, TBC, diare kolik,
(STADIUM AIDS) candidiasis mulut dan pneumonia.
Tahap akhir infeksi, menyerang limfosit
B akan antibody spesifik dan system
saraf pusat, meliputi selaputnya yang
sifatnya toksik terhadap sel
2.4 Manifestasi Klinis
Masa antara terinfeksi HIV dan timbul gejala-gejala penyakit adalah 6
bulan-10 tahun. Rata-rata masa inkubasi 21 bulan pada anak-anak dan 60
bulan/5tahun pada orang dewasa. Tanda-tanda yang ditemui pada penderita
AIDS antara lain :
1. Gejala yang muncul setelah 2 sampai 6 minggu sesudah virus masuk ke
dalam tubuh: sindrom mononukleosida yaitu demam dengan suhu badan
380 C sampai 400 C dengan pembesaran kelenjar getah benih di leher dan di
ketiak, disertai dengan timbulnya bercak kemerahan pada kulit.
2. Gejala dan tanda yang muncul setelah 6 bulan sampai 5 tahun setelah
infeksi, dapat muncul gejala-gejala kronis : sindrom limfodenopati kronis
yaitu pembesaran getah bening yang terus membesar lebih luas misalnya
di leher, ketiak dan lipat paha. Kemudian sering keluar keringat malam
tanpa penyebab yang jelas. Selanjutnya timbul rasa lemas, penurunan berat
badan sampai kurang 5 kg setiap bulan, batuk kering, diare, bercak-bercak
di kulit, timbul tukak (ulceration), perdarahan, sesak nafas, kelumpuhan,
gangguan penglihatan, kejiwaan terganggu. Gejala ini diindikasikan
dengan adanya kerusakan sistem kekebalan tubuh.

3. Pada tahap akhir, orang-orang yang sistem kekebalan tubuhnya rusak akan
menderita AIDS. Pada tahap ini penderita sering diserang penyakit
berbahaya seperti kelainan otak, meningitis, kanker kulit, luka bertukak,
infeksi yang menyebar, tuberkulosis paru (TBC), diare kronik, candidiasis
mulut dan pneumonia.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada
masa perinatal tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2
tahun pertama kehidupan. Manifestasi klinisnya antara lain:
1) Berat badan lahir rendah.
2) Gagal tumbuh.
3) Limfadenopati umum.
4) Hepatosplenomegali.
5) Sinusitis.
6) Infeksi saluran pernapasan atas berulang.
7) Parotitis.
8) Diare kronik atau kambuhan.
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan.
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten.
11) Sariawan orofaring.
12) Trombositopenia.
13) Infeksi bakteri seperti meningitis.
14) Pneumonia interstisial kronik.
Selain itu ada tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis
HIV menurut klasifikasi WHO, antara lain:
Gejala mayor:
 Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
 Diare kronis
 Demam memanjang tanpa sebab
 Tuberkolosis
Gejala minor
 Limfadenopati generalisa
 Kandidiasis oral
 Batuk menetap
 Distress pernapasan / pneumonia
 Infeksi berulang
 Infeksi kulit generalisata

2.5 Komplikasi
1. Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC).
2. Pneumonia interstitial limfoid.

3. Tuberkulosis (TB).

4. Virus sinsitial pernapasan.

5. Candidiasis esophagus.

6. Limfadenopati

7. Diare kronik

2.6 Penatalaksanaan Medis


Belum ada penyembuhan untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah
pencegahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tapi apabila terinfeksi
HIV maka terapinya yaitu :
1. Pengendalian infeksi oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
oportuniti, nosokomial, atau sepsis, tindakan ini harus dipertahankan bagi
pasien di lingkungan perawatan yang kritis.
2. Terapi AZT (Azitomidin)
Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat enzim
pembalik transcriptase.
3. Terapi antiviral baru
Untuk meningkatkan aktivitas sistem immun dengan menghambat
replikasi virus atau memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obatan ini adalah: didanosina, ribavirin, diedoxycytidine,
recombinant CD4+ dapat larut.
4. Vaksin dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah interveron
5. Menghindari infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat replikasi HIV.
6. Rehabilitasi bertujuan untuk memberi dukungan mental-psikologis,
membantu megubah perilaku resiko tinggi menjadi perilaku kurang
berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara hidup sehat dan
mempertahankan kondisi hidup sehat.
7. Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan
yang sehat, hindari sters, gizi yang kurang, obat-obatan yang mengganggu
fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan untuk mendidik keluarga pasien
bagaimana menghadapi kenyataan ketika anak mengidap AIDS dan
kemungkinan isolasi dari masyarakat.

2.7 Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan tantangan
yang besar bagi perawat karena setiap system organ berpotensi untuk menjadi
sasaran infeksi atau kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh
komplikasi masalah emosional, sosial, dan etika. Rencana keperawatan bagi
penderita penyakit AIDS harus disusun secara individual untuk memenuhi
kebutuhan masing-masing pasien.

2.7.1 Pengkajian

Pengkajian keperawatan pada anak dengan HIV/ AIDS mencakup


hal-hal sebagai berikut:

 Kaji riwayat imunisasi


 Kaji riwayat yang berhubungan dengan faktor risiko terhadap AIDS
pada anak-anak (mis., penularan HIV dari ibu kepada anak pada saat
kehamilan, pemajanan terhadap produk darah)
 Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang HIV/AIDS
 Observasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak seperti gagal
tumbuh, limfadenopati, hepatosplenomegali

Selain faktor di atas, hal yang perlu dikaji adalah semua faktor yang
mempengaruhi sistem imun antara lain:

 Pengkajian Kardiovaskuler

Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal


jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.

 Pengkajian Respiratori

Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.

 Pengkajian Neurologik

Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri


otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan
kesadaran, delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.

 Pengkajian Gastrointestinal

Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan,


bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis
esophagus, candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran
hati, mual, muntah, colitis akibat diare kronis, pembesaran limfa.

 Pengkajain Renal
 Pengkajaian Muskuloskeletal

Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)

 Pengkajian Hematologik
 Pengkajian Endokrin

Untuk menegakkan diagnosis, maka pemeriksaan penunjang


perlu dilakukan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:

 TB (PPD): untuk menentukan pemajanan dan atau penyakit aktif


(harus diberikan dengan panel anergi untuk menentukan hasil
negative-palsu pada respons defisiensi imun). Pada pasien AIDS,
100% akan memiliki mikobakterium TB positif pada kehidupan
mereka bila terjadi kontak.
 Serologis:
 Tes antibody serum: skrining HIV dengan ELISA. Hasil tes
positif mungkin akan mengindikasikan adanya HIV tetapi bukan
merupakan diagnosa.
 Tes blot western: mengkonfirmasikan diagnosa HIV.
 Sel T limfosit: penurunan jumlah total.
 Sel T4 helper (indikator system imun yang menjadi media banyak
proses system imun dan menandai sel-B untuk menghasilkan
antibody terhadap bakteri asing): jumlah yang kurang dari 200
mengindikasikan respons defisiensi imun hebat.
 Tes PHS: pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif.
 Pemeriksaan neurologis, mis. EEG, MRI, skan CT otak,
EMG/pemeriksaan konduksi saraf: diindikasikan untuk perubahan
mental, demam yang tidak diketahui asalnya dan/atau perubahan
fungsi sensori/motor (Doenges, 2001:836).

2.7.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada anak dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebagai berikut:

 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan


tubuh, adanya organisme infeksius.
 Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis
oral.
 Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV.

2.7.3 Perencanaan
Sasaran bagi pasien HIV/ AIDS dengan diagnosa di atas mencakup
pasien mengalami risiko infeksi minimal, pasien tidak menyebarkan
penyakit pada orang lain, pasien mendapatkan nutrisi yang optimal, dan
pasien berpartisipasi dalam kelompok sebaya dan aktivitas keluarga.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Anak dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil Yang
Diharapkan
DIAGNOSA KEPERAWATAN: Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan
kerusakan pertahanan tubuh, adanya organisme infeksius.

SASARAN: Pasien mengalami risiko infeksi minimal.


1. Gunakan teknik 1. Meminimalkan  Anak tidak kontak
mencuci tangan yang pemajanan pada dengan individu
cermat. organisme infeksius. terinfeksi.
2. Beri tahu pengunjung 2. Meminimalkan  Anak dan keluarga
untuk menggunakan pemajanan pada menjalankan
teknik mencuci tangan organisme infeksius. praktik kesehatan
3. Mendorong kerja sama
yang baik. yang baik.
3. Batasi kontak dengan dan pemahaman  Anak tidak
4. Menurunkan risiko
individu yang menunjukkan bukti-
infeksi.
mengalami infeksi, bukti infeksi.
5. Meningkatkan
termasuk keluarga,
pertahanan alamiah
anak lain, teman dan
tubuh yang masih ada.
anggota staf. Jelaskan 6. Agar dapat diberikan
bahwa anak sangat imunisasi yang tepat.
7. Mencegah infeksi
rentan terhadap
khusus.
infeksi.
4. Observasi asepsis
medis dengan tepat.
5. Dorong nutrisi yang
baik dan istirahat yang
cukup.
6. Jelaskan pada
keluarga dan anak
yang lebih besar
tentang pentingnya
menghubungi
profesional kesehatan
bila terpajan penyakit
masa kecil (mis., cacar
air, gondongan).
7. Berikan imunisasi
yang tepat sesuai
ketentuan.
8. Berikan antibiotik
sesuai ketentuan.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Anak dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil Yang
Diharapkan
DIAGNOSA KEPERAWATAN: Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan
kerusakan pertahanan tubuh, adanya organisme infeksius.
SASARAN: Pasien tidak menyebarkan penyakit pada orang lain.

1. Implementasikan dan 1. Mencegah  Orang lain tidak


lakukan Kewaspadaan penyebaran virus. mendapatkan
2. Hal ini merupakan
Universal, khususnya penyakit tersebut.
masalah yang sering
isolasi bahan tubuh.
2. Instruksikan orang lain terjadi dan dapat
(mis., keluarga, anggota mempengaruhi
staf) untuk penggunaan
menggunakan kewaspadaan yang
kewaspadaan yang tepat. tepat.
3. Mencegah
Jelaskan adanya
penyebaran infeksi.
kesalahan konsep
tentang penularan virus.
3. Ajarkan metode
perlindungan anak yang
sakit.
4. Usahakan untuk
mencegah bayi dan
semua anak kecil agar
tidak menempatkan
tangan dan objek pada
area terkontaminasi.
5. Kaji situasi rumah dan
implementasikan
tindakan perlindungan
yang mungkin dilakukan
pada situasi individu.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Anak dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil Yang Diharapkan
DIAGNOSA KEPERAWATAN: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis
oral.
SASARAN: Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal.
1. Beri makanan dan kudapan 1. Memenuhi kebutuhan tubuh  Anak
tinggi-kalori dan tinggi- untuk metabolisme dan mengkonsumsi
protein. pertumbuhan. jumlah nutrien yang
2. Beri makanan yang disukai 2. Mendorong agar anak mau
cukup (uraikan).
anak makan.
3. Perkaya makanan dengan 3. Memaksimalkan kualitas
suplemen nutrisi (mis., susu asupan makanan.
4. Intervensi nutrisi tambahan
bubuk atau suplemen yang
dapat diimplementasikan
dijual bebas).
4. Pantau berat badan dan bila pertumbuhan mulai
pertumbuhan. melambat atau berat badan
turun.
5. Mengobati kandidiasis oral.
5. Kolaborasi dalam
pemberian obat anti jamur
sesuai instruksi.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Anak dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil Yang
Diharapkan
DIAGNOSA KEPERAWATAN: Kerusakan interaksi sosial berhubungan
dengan pembatasan fisik, hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV.
SASARAN: Pasien berpartisipasi dalam kelompok sebaya dan aktivitas
keluarga.
1. Bantu anak dalam 1. Memfasilitasi koping.  Anak dapat
2. Anak tidak perlu
mengidentifikasi berinteraksi
diisolasi.
kekuatan pribadi. dengan orang
2. Didik petugas sekolah
lain.
dan teman sekelas
tentang HIV.
3. Dorong anak untuk
berpartisipasi dalam
aktivitas bersama anak-
anak dan keluarga yang
lain.

2.7.4 Evaluasi

Evaluasi hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan adalah


sebagai berikut:

 Anak tidak kontak dengan individu terinfeksi.


 Anak dan keluarga menjalankan praktik kesehatan yang baik.
 Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi.
 Orang lain tidak mendapatkan penyakit tersebut.
 Anak mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup.
 Anak dapat berinteraksi dengan orang lain.
2.7.5 Perencanaan Pemulangan
1. Ajarkan kepada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan
bila terdapat tanda-tanda atau gejala infeksi.
2. Ajarkan kepada anak dan keluarga untuk mengamati respon terhadap
pengobatan dan memberi tahu dokter tentang adanya reaksi yang
merugikan.
3. Ajarkan kepada anak dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan
tindak lanjut.
Hasil yang diharapkan
1. Anak tidak menunjukan tanda-tanda atau gejala infeksi.
2. Anak dan keluarga menunjukan pemahaman tentang perawatan
dirumah dan perlunya pemeriksaan tindak lanjut.
3. Anak akan berpartisipasi dalam aktivitas bersama keluarga dan teman
sebaya (Bezt, Cecily Lynn. 2009).

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

HIV secara umum adalah virus yang hanya dapat menginfeksi manusia,
memperbanyak diri didalam sel manusia, sehingga menurunkan kekebalan
manusia terhadap penyakit infeksi. AIDS adalah sekumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh
seseorang yang didapat karena terinfeksi HIV. Penularan HIV dari ibu ke
anak yang biasa terjadi selama dalam kandungannya (antepartum),selama
persalinan (intrapartum),pada bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu
yang terinfeksi (post partum) dan pada bayi tertular melalui pemberian ASI.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada
masa perinatal tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2
tahun pertama kehidupan.
Sasaran bagi pasien HIV/ AIDS dengan mencakup pasien mengalami risiko
infeksi minimal, pasien tidak menyebarkan penyakit pada orang lain, pasien
mendapatkan nutrisi yang optimal, dan pasien berpartisipasi dalam kelompok
sebaya dan aktivitas keluarga.

3.2 Saran

Karena sampai saat ini belum diketahui vaksin atau obat yang efektif
untuk pencegahan atau penyembuhan AIDS, maka untuk menghindari infeksi
HIV dan menekan penyebarannya, cara yang utama adalah melakukan
tindakan pencegahan melalui perubahan perilaku.

Kepada para pembaca khususnya perawat, diharapkan dengan adanya makalah


ini dapat melaksanakan tindakan yang tepat dan benar dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada penderita HIV/ AIDS.

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2


MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
MENINGITIS
DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS
KEDOKTERAN PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningitis adalah radang membran pelindung sistem syaraf pusat. Penyakit
ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme, luka fisik, kanker, atau obat-obatan
tertentu. Meningitis adalah penyakit serius karena letaknya dekat otak dan tulang
belakang, sehingga dapat menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan
kematian. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti
virus, bakteri, jamur atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak.
Daerah "sabukmeningitis" di Afrika terbentang dari Senegal di barat ke Ethiopia
di timur. Daerah ini ditinggali kurang lebih 300 juta manusia. Pada 1996 terjadi
wabah meningitis di mana 250.000 orang menderita penyakit ini dengan 25.000
korban jiwa. Oleh karena itu dalam Makalah ini kami akan membahas secara
detail tentang Meningitis. Tujuannya agar pembaca Mengerti dan Waspada
terhadap penyakit meningitis.
B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan meningitis.?

C. Tujuan

Untuk mengetahui konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan


keperawatan pada pasien dengan meningitis.

D. Manfaat

Sebagai bahan acuan dan pemahaman konsep mengenai konsep dasar teori
dan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien dengan meningitis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi/Pengertian

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang melapisi otak


dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau organ-organ jamur
(Smeltzer).

Meningitis merupakan infeksi akut dari meningens, biasanya ditimbulkan


oleh salah satu dari mikroorganisme Pneumokokus, Meningokokus, Stafilokokus,
Streptokokus, Hemophilus influenza, dan bahan aseptis (virus) (Long).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan


serebrospinal, dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem
saraf pusat (Suriadi & Rita).

Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan arahnoid dan


piamater di otak serta spinal cord. Inflamasi ini lebih sering disebabkan oleh
bakteri dan virus meskipun penyebab lainnya seperti jamur dan protozoa juga
terjadi. (Donna D).

Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan


piamater dan ruang subarachnoid maupun arachnoid, dan termasuk cairan
serebrospinal (CCS) (Hickey).

Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran


atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan berbagai
organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam
darah dan berpindah kedalam cairan otak (Black & Hawk).

2. Etiologi
a. Bakteri:

Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae


(pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus),
Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa. Penyebab lainnya lues,
Virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia.
b. Faktor predisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan
dengan wanita.
c. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan.
d. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
e. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan.
3. Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi


pada cairan otak, yaitu:
a. Meningitis serosa

Adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai


cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium
tuberculosa. Penyebab lainnya adalah lues, Virus, Toxoplasma gondhii,
dan Ricketsia.
b. Meningitis purulenta

Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi


otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus
pneumonia (pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus),
Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa.
Meningitis berdasarkan mikroorganisme penyebab :
a. Meningitis bakterial

Meningitis bakterial merupakan karakteristik inflamasi pada


seluruh meningen, dimana organisme masuk kedalam ruang arachnoid dan
subarachnoid. Meningitis bakterial merupakan kondisi emergensi
neurologi dengan angka kematian sekitar 25% (Ignatavicius & Wrokman,
2006).
Meningitis bakterial jika cepat dideteksi dan mendapatkan
penanganan yang tepat akan mendapatkan hasil yang baik. Meningitis
bakterial sering disebut juga sebagai meningitis purulen atau meningitis
septik. Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis adalah;
Streptococcus pneuemonia (pneumococcus), Neisseria meningitides,
Haemophilus influenza, (meningococcus), Staphylococcus aureus dan
Mycobakterium tuberculosis (Ginsberg, 2008).
b. Meningitis Virus

Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi


akibat lanjutan dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi;
measles, mumps, herpes simplek, dan herpes zoster (Wilkinson, 1999).
Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus
RNA (ribonuclear acid) dan virus DNA (deoxyribo nucleid acid). Contoh
virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella), flavivirus
(dengue), mixovirus (influenza, parotitis, morbili). Sedangkan contoh
virus DNA antaa lain virus herpes, dan retrovirus (AIDS) (PERDOSSI,
2005).
Meningitis virus biasanya dapat sembuh sendiri dan kembali
seperti semula (penyembuhan secara komplit) (Ignatavicius & Wrokman,
2006). Pada kasus infeksi virus akut, gambaran klinik seperti meningitis
akut, meningo-ensepalitis akut atau ensepalitis akut. Derajat ringan akut
meningo-ensepalitis mungkin terjadi pada banyak infeksi virus akut,
biasanya terjadi pada anak-anak, sedangkan pada pasien dewasa tidak
teridentifikasi.
c. Meningitis Jamur

Infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat merupakan


penyakit oportunistik yang pada beberapa keadaan tidak terdiagnosa
sehingga penanganannya juga sulit. Manifestasi infeksi jamur dan parasit
pada susunan saraf pusat dapat berupa meningitis (paling sering) dan
proses desak ruang (abses atau kista).
Angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi yaitu 30%-40%
dan insidensinya meningkat seiring dengan pemakaian obat imunosupresif
dan penurunan daya tahan tubuh (Martz, 1990 dalam Depkes RI, 1998).
Meningitis kriptokokus neoformans biasa disebut meningitis jamur,
disebabkan oleh infeksi jamur pada sistem saraf pusat yang sering terjadi
pada pasien acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) (Ignatavicius
& Wrokman, 2006; Wilkinson, 1999). Jamur cenderung menimbulkan
meningitis kronis atau abses otak.
4. Patofisiologi

Otak dilapisi oleh tiga lapisan,yaitu:durameter, arachnoid,dan


piameter.cairan otak dihasilkan didalam pleksus choroid ventrikel
bergerak/mengalir melalui sub arachnoid dalam system ventrikuler seluruh otak
dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang
berstruktur seperti jari jari didalam lapisan subarchnoid.
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian
atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf
baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui
nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan
dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong
perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang
di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga
menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan
dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan
permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan
peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps
sirkulasi, dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindrom
Waterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan
nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.
5. Pathway mikrooganisme
(bakteri, virus, jamur, Protozoa)

Masuk melalui darah (hematogen), trauma, pasca


Ketidakseimb bedah atau ruptur serebri
angan
potensial
membran
Masuk ke Sistem Saraf Pusat

Terjadi katup
ledak/PA yang inflamasi pada piamater, arachroid, CSS
Hipertermi
berlebihan

Meningitis
Kejang

eksudat
risiko
cedera

menghambat absorbsi CSS menyebar keseluruh


S. cranial dan spinal

edema serebral
kerusakan neurologis

tek. intakranial
meningkat yang mensarafi otot

tonus otot menurun


Penurunan
aliran darah Tekanan pada
ke serebral pusat reflex Menekan saraf-
muntah di medulla saraf di cranial
Hambatan
meningkat reflex Mobilitas Fisik
muntah di medulla
meningkat
O2 ke otak tdk ual, muntah
Mual, Sakit kepala
adekuat muntah

Gangguan Gangguan rasa


perfusi jaringan Gangguan rasa nyaman : nyeri
serebral nyaman : mual
6. Manifestasi Klinis

Walaupun banyak jenis organisme penyebab meningitis, secara umum tanda dan gejalanya
hampir sama semua, antara lain:
a. Secara umum gejala meningitis adalah sakit kepala, demam, mual, muntah, photopobia,
adanya tanda rangsang meningeal/iritasi meningen seperti; kaku kuduk positif, tanda
Kernig positif, dan tanda Brudzinski positif, perubahan tingkat kesadaraan, kejang,
peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi saraf kranial, dan penurunan status mental
(Ignatavicius & Wrokman, 2006; Hickey, 1997).
b. Salah satu komplikasi lanjut dari meningitis adalah koma, hal ini merupakan prognosis
yang buruk, dan dapat terjadi pada 5%-10% pasien meningitis bakterial.
c. Tanda dan gejala lain yang tidak khas pada pasien meningitis adalah; terjadi
hipersensitivitas kulit, hiperanalgesia, dan hipotonus otot, walaupun fungsi motorik masih
dapat dipertahankan. Efek toksin pada otak atau trombus pada suplai vaskular ke area
serebral menyebabkan ketidakmampuan permanen fungsi serebral, jika terjadi perubahan
patologi, maka dapat terjadi hemiparesis, demensia, dan paralisis (Hickey, 1997).
Obstruksi jalan napas atau disritmia jantung dapat terjadi.
d. Gejala meningitis yang diakibatkan dari infeksi dan peningkatan tekanan intracranial
(TIK):
1) Sakit kepala dan demam
Sakit kepala dan demam adalah gejala awal meningitis. Sakit kepala dihubungkan
dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam
umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.
2) Perubahan pada tingkat kesadaran
Perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan meningitis bakteri.
Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya penyakit.
Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respons
individu terhadap proses fisiologi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargi, tidak responsif, dan koma.
3) Iritasi meningen
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali, yang umumnya
terlihat pada semua tipe meningitis.
a) Rigiditas nukal (kaku leher)
Rigiditas nukal merupakan tanda awal dan rigiditas nukal adalah upaya untuk
fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi
paksaan menyebabkan nyeri berat.
b) Tanda Kernig positif
Ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen,
kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
c) Tanda Brudzinski
Bila leher pasien difleksikan maka hasilnya adalah fleksi lutut dan pinggul; bila
dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah di salah satu sisi, maka gerakan
yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.
d) Fotofobia
Pada beberapa pasien, tanpa alasan yang diketahui pasien meningitis mengalami
fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Kejang dan peningkatan TIK
Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka. Tanda-tanda
peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebral.
5) Adanya ruam
Ruam merupakan salah satu cirri yang mencolok pada meningitis meningokokal
(Neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua pasien meningitis, terdapat ruam
petekie dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang luas.
6) Infeksi fulminating
Terjadi pada sekitar 10 % penderita meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda
septicemia : demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar
wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda kuagulopati intravascular diseminata
(KID).
Manifestasi klinis pada anak:
a. Sakitnya tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, kejang-kejang.
b. Anak menjadi irritable dan agitasi dan dapat berkembang photopobia, delirium,
halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk stupor dan koma
c. Gejala pada respiratory atau gastrointestinal
d. Adanya tahanan pada kepala jika difleksikan
e. Kekakuan pada leher (Nuchal Rigidity)
f. Tanda kernig dan brudzinki (+)
g. Kulit dingin dan sianosis
h. Peteki/adannya purpura pada kulit  infeksi meningococcus (meningo cocsemia)
i. Keluarnya cairan dari telinga  meningitis peneumococal
j. Congenital dermal sinus  infeksi E. Colli
k. Manifestasi klinisnya biasanya tampak pada anak umur 3 bulan sampai 2 tahun
l. Nafsu makan menurun dan menangis meraung-raung.
m. Fontanel menonjol
n. Nuchal Rigidity  tanda-tanda brudzinki dan kernig dapat terjadi namun lambat

Pada Neonatus:
a. Sukar untuk diketahui  manifestasinya tidak jelas dan tidak spesifik  ada kemiripan
dengan anak yang lebih tua, seperti:
1) Menolak untuk makan
2) Kemampuan menelan buruk
3) Muntah dan kadang-kadang ada diare
4) Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah
5) Hypothermia/demam, joundice, iritabel, mengantuk, kejang-kejang
6) RR yang tidak teratur/apnoe, sianosis dan kehilangan BB.
7) Ketegangan , fontanel menonjol mungkin ada atau tidak
8) Leher fleksibel
9) Kolaps kardiovaskuler, kejang-kejang dan apnoe terjadi bila tidak diobati/ditangani.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis CSS dari fungsi lumbal.
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jenis sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
a) Meningitis bakterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah
putih dan protein meningkat, glukosa meningkat, kultur positif terhadap beberapa
jenis bakteri.
b) Meningitis virus: tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur
virus biasanya dengan prosedur khusus.
2) Glukosa serum: meningkat
3) LDH serum: meningkat (meningitis bakteri)
4) Sel darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
5) Elektrolit darah: dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit
terutama hiponatremi.
6) Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya
kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
7) ESR/LED: meningkat pada meningitis
8) Kultur darah/hidung/tenggorokan/urine: dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi
atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
9) Uji tuberkulin positif dari kurasan lambung untuk meningitis tuberkulosis.
b. Radiologi
1) MRI/CT scan: CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau
penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah
sangat parah. CT scan dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel, hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
2) Rontgen dada/kepala/sinus: mengindikasikan adanya infeksi intrakranial.
3) Elektroensefalografi (EEG), akan menunjukkan perlambatan yang menyeluruh di
kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan radang.

8. Diagnosis

Untuk menentukan diagnosis meningitis dilakukan tes laboratorium. Tes ini memakai
darah atau cairan sumsum tulang belakang. Cairan sumsum tulang belakang diambil dengan
proses yang disebut pungsi lumbal (lumbar puncture atau spinal tap). Sebuah jarum ditusukkan
pada pertengahan tulang belakang, tepat di atas pinggul. Jarum menyedot contoh cairan sumsum
tulang belakang. Tekanan cairan sumsum tulang belakang juga dapat diukur. Bila tekanan terlalu
tinggi, sebagian cairan tersebut dapat disedot. Tes ini aman dan biasanya tidak terlalu
menyakitkan. Namun setelah pungsi lumbal beberapa orang mengalami sakit kepala, yang dapat
berlangsung beberapa hari (Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken, et al., 2006). Diagnosis meningitis
lebih spesifik berdasarkan penyebabnya sebagai berikut :
a. Diagnosis meningitis bakteri akut:

Pemeriksaan CSS menunjukkan tekanan meningkat dengan warna keruh sampai purulen,
dan peningkatan jumlah lekosit (500 - 35000/cmm) yang terutama terdiri sel PMN (stadium
awal). Kadar protein meningkat dan kadar glukosa menurun. Hendaknya dilakukan
pengecatan CSS (Gram) disamping pembiakkan kuman. Pemeriksaan lain seperti X-foto
tengkorak, sinus paranasalis mastoid, toraks, dan EEG.
b. Diagnosis meningitis tuberkulosis:

1) Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig, dan
Brudzinski.
2) Pemeriksaan CSS menunjukkan :
a) Peningkatan sel darah putih terutama limfosit
b) Peningkatan kadar protein
c) Penurunan kadar glukosa
3) Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
a) Ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
b) Kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
c) Pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif

9. Pengobatan

Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suportif untuk
membantu pasien melaluimasa kritis :
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Pemberian cairan intravena.
c. Bila gelisah berikan sedatif/penenang.
d. Jika panas berikan kompres hangat, kolaborasi antipiretik.
e. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan:
1) Kombinasi amphisilin 12-18 gram, klorampenikol 4 gram, intravena 4x sehari.
2) Dapat dicampurkan trimetropan 80 mg, sulfa 400 mg.
3) Dapat pula ditambahkan ceftriaxon 4-6 gram intra vena.
f. Pada waktu kejang:
1) Melonggarkan pakaian.
2) Menghisap lendir.
3) Puasa untuk menghindari aspirasi dan muntah.
4) Menghindarkan pasien jatuh.
g. Jika penderita tidak sadar lama:
1) Diit TKTP melalui sonde.
2) Mencegah dekubitus dan pneumonia ostostatikdengna merubah posisi setiap dua jam.
3) Mencegah kekeringan kornea dengan borwater atau salep antibiotic.
h. Jika terjadi inkontinensia, pasang kateter.
i. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda vital.
j. Kolaborasi fisioterapi dan terapi bicara.
k. Konsultasi THT (jika ada kelainan telinga, seperti tuli).
l. Konsultasi mata (kalau ada kelainan mata, seperti buta).
m. Konsultasi bedah (jika ada hidrosefalus).

Terapi Farmakologis

a. Obat anti inflamasi :


1) Meningitis tuberkulosa :
a) Isoniazid 10 – 20 mg/kg/24 jam oral, 2 kali sehari maksimal 500 gr selama 1 ½
tahun.
b) Rifamfisin 10 – 15 mg/kg/ 24 jam oral, 1 kali sehari selama 1 tahun.
c) Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/kg/24 jam sampai 1 minggu, 1 – 2 kali sehari,
selama 3 bulan.
2) Meningitis bacterial, umur < 2 bulan :
a) Sefalosporin generasi ke 3
b) Ampisilin 150 – 200 mg (400 gr)/kg/24 jam IV, 4 – 6 kali sehari.
c) Koloramfenikol 50 mg/kg/24 jam IV 4 kali sehari.
3) Meningitis bacterial, umur > 2 bulan :
a) Ampisilin 150-200 mg (400 mg)/kg/24 jam IV 4-6 kali sehari.
b) Sefalosforin generasi ke 3.

b. Pengobatan simtomatis :
1) Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 – 0.6/mg/kg/dosis kemudian
klien dilanjutkan dengan.
2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.

Penurun panas :
1) Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.
2) Kompres air PAM atau es.
c. Pengobatan suportif :
1) Cairan intravena.
2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50%.

10. Komplikasi
a. Hidrosefalus obstruktif
b. Meningococcus Septicemia ( mengingocemia )
c. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
d. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
e. Efusi subdural
f. Kejang
g. Edema dan herniasi serebral
h. Cerebral palsy
i. Gangguan mental
j. Gangguan belajar
k. Attention deficit disorder
l. Ketidaksesuaian sekresi ADH
m. Pengumpulan cairan subdural
n. Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian badan
o. Retardasi mental, tuli, kebutaan karena atrofi nervus II ( optikus )
p. Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau luka di mulut,
konjungtivitis.
q. Epilepsi
r. Pneumonia karena aspirasi
s. Emfisema subdural
t. Keterlambatan bicara
u. Kelumpuhan otot yang disarafi nervus III (okulomotor), nervus IV (toklearis ), nervus VI
(abdusen). Ketiga saraf tersebut mengatur gerakan bola mata.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit saat ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman
penyebab. Disni harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien meningitis,
biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi dan
peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit kepala
dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen.
Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang
diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal adanya
penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula
respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatan di
RS, pernahkah menjalani tindakan invasif yang mungkin masuknya kuman ke meningen
terutama melalui pembuluh darah.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengakajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit, dan
hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh
imunologis pada masa sebelmunya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada klien
terutama apabila adan keluhan batuk produktif dan pernah menjalani pengobatan obat
antituberkulosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis tuberkulosa.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, sperti pemakaian obat
kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi
pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat
ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan perupakan data dasar
untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
d. Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajia psikologis klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang


memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif dan perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini dapat diselesaikan melalui
interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan memberi
pertanyaan dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan
kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan atau
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai
mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi
kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui
dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan
dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup indivudu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang
diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan
rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam
sistem dukungan individu.
Pada pengkajian klien anak, perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak
dan family center. Anak dengan meningitis sangat rentan terhadap tindakan invasif yang
sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini stres anak dan menyebabkan anak
stres dan kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian
psikososial yang terbaik dilaksanakan saat mengobservasi anak-anak bermain atau selama
berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk
mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung untuk memperlihtakan masalah mereka
melalui tingkah laku.
e. Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,


pemeriksaan fisik sngat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pada
pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital. Pada klien
meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal, yaitu 38-40oC,
dimulai dari fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini
biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah
menggangu pusat pengaturan suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan
dengan tanda-randa penigkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan
sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistem pernapasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau
meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK.
1) B1 (breathing)

Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peninngkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernafasan. Palpasi thoraks
hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
pleura masif (jarang terjadi pada klien meningitis). Auskultasi bunyi nafas tambahan
seperti ronchi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer
dari paru.
2) B2 (blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien meningitis


pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi
fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus, dengan
tanda-tanda septikemia:demam tinggi, yang tiba-tiba mucul, lesi, purpura yang
menyebar (sekitar wajah dan ekstremitas) syok dan tand-tanda koagulasi intravaskuler
diseminata. Kematian mungkin terjadi dalam beberapa jam stelah serangan infeksi.
3) B3 (brain)

Pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan


pengkajian pada sistem lainnya.
f. Tingkat kesadaran

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningtis biasanya berkisar pada
tingkat tinggi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi
memantau pemberian asuhan keperawatan.
g. Fungsi serebi

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, lain gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien meningitis tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
h. Pemeriksaan saraf kranial
1) Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan.
2) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema
mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses serebri dan
efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
3) Saraf III,IV,VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pu[il pada klien meningitis yang tidak
disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis
yang mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan
didapatkan. Dengan alasan yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah
dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7) Saraf IX dan X. Kemampuan menalan baik.
8) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha
dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (ringiditan nukal).
9) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi
Indra pengecap normal.
Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada meningitis tahap
lanjut mengalami perubahan.
i. Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periasteum


derajat refleks pada respon normal. Refleks patologis akan didapatkan pada klien
meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks Babisnkis (+) merupakan
tanda adanya lesi UMN
j. Gerakan Involunter

Tidak menemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan
tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan meningitis
disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga
berhubungan dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
k. Sistem sensorik

Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, dan suhu
normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Sensai propriopseptif dan
deskriminatif normal
l. Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan TIK. Tanda-
tanda peningktakan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas
perubahan karakteristik tanda-tanda vital ( melebarnya tekan pulsa dan bradikardia ),
pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.

Adanya ruam merupakan salah satu cirri yang menyolok pada meningitis
meningokokal (Neisseria meningitis ). Sekitar setengah dari semua klien dengan tipe
meningitis mengalami lesi-lesi pada kulit di antaranya ruam petekia dengan lesi purpura
sampai ekimiosis pada daerah yang luas.
Iritasi meninge mengakibat sejumlah tanda yang mudah dikenali yang
umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas
nukal, tanda kernig (+) dan adanya tanda Brudzinski, Kaku kuduk adalah tanda
awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya
spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.
Pemeriksaa untuk melihat adanya tanda kaku kuduk ( ringditas nukal). Bila leher
ditekuk secara pasif akan terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada
dada. Pemeriksaan untuk melihat adanya tanda kering. Cara pemeriksaan dengan fleksi
tungkai atas tegak lurus kemudian dicoba untuk diluruskan tungkai bawah pada sendi
lutut. Hasil normal didapatkan apabila tungkai bawah membentuk sudut 135o terhadap
tungkai atas. Hasil kering (+) bila didapatkan ekstensi lutut pasif terdapat hambatan
karena ada nyeri.
Tanda Kerning positif : ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan
fleksi kea rah abdomen, kaki tidak akan dapat diekstensikan sempurna.
Tanda Brudzinski : Tanda ini didapatkan apabila leher klien difleksikan,
maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul; bila dilakukan fleksi pasif pada
ektremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada
sisi ektremitas yang berlawanan.
2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Analisis CSS dari fungsi lumbal.

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jenis sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.

a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah


putih dan protein meningkat, glukosa meningkat, kultur positif terhadap beberapa
jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur
virus biasanya dengan prosedur khusus.
2) Glukosa serum : meningkat
3) LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)
4) Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
5) Elektrolit darah: dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit
terutama hiponatremi.
6) Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya
kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
7) ESR/LED : meningkat pada meningitis.
8) Kultur darah/hidung/tenggorokan/urine: dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi
atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
9) Uji tuberkulin positif dari kurasan lambung untuk meningitis tuberkulosis.
c. Radiologi
1) MRI/CT scan: CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau
penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah
sangat parah. CT scan dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel, hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
2) Rontgen dada/kepala/sinus: mengindikasikan adanya infeksi intrakranial.
3) Elektroensefalografi (EEG), akan menunjukkan perlambatan yang menyeluruh di
kedua hemisfer dan derajatnya sebanding dengan radang
3. Diagnosa Keperawatan

a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan
penurunan kesadaran, sakit kepala, kaku kuduk, kejang, TD meningkat, gelisah.
b. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan suhu tubuh > 37,5°C,
sakit kepala, kelemahan.
c. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat meningitis.
d. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dngan sakit
kepala, nyeri sendi, RR meningkat, TD meningkat, nadi meningkat, wajah meringis
kesakitan, skala nyeri >0.
e. Gangguan rasa nyaman (mual) berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan
mual, muntah, nafsu makan menurun.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan tahanan sekunder akibat
gangguan neuromuskular ditandai dengan tonus otot menurun, kekuatan menangis
melemah.
3. Rencana Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan


No Intervensi Rasional
keperawatan Kreteria Hasil
1. Gangguan perfusi Setelah diberikan Mandiri Mandiri
jaringan serebral askep selama (… - Pertahankan tirah baring dengan - Perubahan tekanan CSS
berhubungan x…) jam posisi kepala datar dan pantau mungkin merupakan potensi adanya
dengan diharapkan perfusi tanda vital sesuai indikasi setelah risiko herniasi batang otak yang
peningkatan TIK jaringan serebral dlakukan pungsi lumbal. memerlukan tindakan medis segera.
ditandai dengan adekuat, dengan out
penurunan come : - Pantau/catat status neurologis, - Pengkajian kecenderungan
kesadaran sakit  Tingkat kesadaran seperti GCS. adanya perubahan tingkat kesadaran
kepala, kaku membaik (GCS: dan potensial peningkatan TIK adalah
kuduk, kejang, E4 M6 V5). sangat berguna dalam menentukan
TD meningkat,  Klien tidak sakit lokasi, penyebaran/luasnya dan
gelisah. kepala. perkembangan dari kerusakan serebral.
 Klien tidak kaku
kuduk. - Pantau tanda vital, seperti tekanan - Normalnya autoregulasi

 Tidak terjadi darah. mampu mempertahankan aliran darah

kejang. serebral dengan konstan sebagai

 TD dalam batas dampak adanya fluktuasi pada tekanan

normal (bayi darah sistemik.

85/54 mmHg, - Pantau frekuensi/irama jantung. - Perubahan pada frekuensi


toddler 95/65 dan disritmia dapat terjadi, yang
mmHg, sekolah mencerminkan trauma batang otak
105-165 mmHg, pada tidak adanya penyakit jantung
remaja 110/65 yang mendasari.
mmHg).
 Klien tidak - Pantau pernapasan, catat pola dan - Tipe dari pola pernapasan
gelisah. irama pernapasan. merupakan tanda yang berat dari
adanya peningkatan TIK/daerah
serebral yang terkena.
- Pantau suhu dan juga atur suhu - Peningkatan kebutuhan
lingkungan sesuai kebutuhan. metabolisme dan konsumsi oksigen
(terutama dengan menggigil), dapat
meningkatkan TIK.
- Berikan waktu istiahat antara - Mencegah kelelahan
aktivitas perawatan dan batasi berlebihan. Aktivitas yang dilakukan
lamanya tindakan tersebut. secara terus menerus dapat
meningkatkan TIK.
Kolaborasi :
- Tinggikan kepala tempat tidur Kolaborasi

sekitar 15-45 derajat sesuai - Peningkatan aliran vena

indikasi. Jaga kepala pasien tetap dari kepala akan menurunkan TIK.

berada pada posisi netral.


- Berikan cairan IV dengan alat
control khusus. - Meminimalkan fluktuasi
- Pantau GDA. Berikan terapi dalam aliran vaskuler dan TIK.
oksigen sesuai kebutuhan. - Terjadinya asidosis dapat
menghambat masuknya oksigen pada
tingkat sel yang memperburuk iskemia
serebral.
- Berikan obat sesuai indikasi seperti:
 Steroid; deksametason,
metilprednison (medrol).
 Dapat menurunkan permeabilitas
kapiler untuk membatasi pembentukan
edema serebral, dapat juga
menurunkan risiko terjadinya

 Klorpomasin (thorazine). “fenomena rebound” ketika


menggunakan manitol.
 Obat pilihan dalam mengatasi kelainan

 Asetaminofen (Tylenol) postur tubuh atau menggigil yang


dapat meningkatkan TIK.
 Menurunkan metabolism selular/
menurunkan konsumsi oksigen dan
risiko kejang.
2 Hipertermi Setelah diberikan Mandiri Mandiri
berhubungan askep selama (...x…) - Monitor temperatur - Peningkatan temperatur
dengan proses jam diharapkan suhu anak setiap 1 sampai 2 jam bila secara tiba-tiba akan mengakibatkan
inflamasi ditandai tubuh kembali terjadi peningkatan secara tiba-tiba. kejang-kejang.
dengan suhu normal dengan out - Berikan kompres - Kompres air efektif
tubuh > 37,5°C, come : hangat. menyebabkan tubuh menjadi dingin
sakit kepala,  Suhu tubuh 36- melalui peristiwa konduksi.
kelemahan. 37,5°C - Haluaran cairan yang
 Klien tidak sakit - Pantau asupan dan berlebihan akibat penguapan dapat
kepala haluaran cairan. menyebabkan dehidrasi.
 Klien merasa lebih - Peningkatan suhu tubuh
bertenaga mengakibatkan penguapan tubuh
- Anjurkan orang tua meningkat sehingga perlu diimbangi
untuk memberikan anak banyak dengan asupan cairan.
minum. Kolaborasi
- Membantu menurunkan suhu tubuh.

Kolaborasi - Antibiotik sesuai dengan petunjuk


- Berikan obat penurun guna mengobati organisme penyebab.
panas sesuai indikasi.
- Berikan antibiotik, jika
disarankan.
3 Risiko cedera Setelah diberikan Mandiri Mandiri
berhubungan askep selama (...x…) - Gunakan tempat tidur - Untuk menghindari cedera
dengan perubahan jam diharapkan tidak yang rendah, dengan pagar tempat saat jatuh dari tempat tidur.
fungsi serebral terjadi cedera. tidur terpasang.
sekunder akibat - Longgarkan pakaian - Untuk menghindari sesak
meningitis. bila ketat. saat kejang.
- Gunakan matras pada - Penggunaan matras pada
lantai. lantai dapat meminimalisasi cedera
bila terjatuh, misalnya dari tempat
tidur.
- Diskusikan dengan - Pemantauan yang konstan
orang tua perlunya pemantauan dibutuhkan untuk menghindari anak
konstan terhadap anak kecil. dari kecelakaan yang dapat
menyebabkan anak cedera.
Kolaborasi Kolaborasi
- Berikan terapi - Untuk mengatasi kejang.
antikonvulsan.
4 Gangguan rasa Setelah diberikan Mandiri Mandiri
nyaman (nyeri) askep selama 3x24 - Pantau TTV terutama - Peningkatan TTV
berhubungan jam diharapkan Nadi, RR, dan TD. mengindikasikan nyeri.
dengan nyeri teratasi dengan - Beri posisi yang - Posisi yang nyaman
peningkatan TIK out come : nyaman. membantu mengurangi nyeri.
ditandai dengan  Klien tidak sakit - Menurunkan gerakan yang
sakit kepala, nyeri kepala - Tingkatkan tirah dapat meningkatkan nyeri.
sendi RR  Nadi, RR, dan TD baring, bantu kebutuhan perawatan
meningkat, TD dalam batas diri yang penting. - Dapat membantu
meningkat, nadi normal - Berikan latihan rentang merelaksasikan ketegangan otot yang
meningkat, wajah (Nadi: bayi 120- gerak secara tepat dan masase otot. meningkatkan reduksi nyeri atau rasa
meringis 160x/mnt, toddler tidak nyaman tersebut.
kesakitan, skala 90-140x/mnt, - Membantu mengurangi
nyeri >0 prasekolah 80-110 - Ajarkan teknik nyeri.
x/mnt, sekolah 75- manajemen nyeri (distraksi).
100x/mnt, remaja Kolaborasi Kolaborasi
60-90x/mnt; RR: - Berikan analgetik - Membantu mengurangi nyeri.
bayi 35-40 x/mnt, sesuai indikasi.
toddler 25-
32x/mnt, anak-
anak 20-30 x/mnt,
remaja 16-19
x/mnt; TD: bayi
85/54 mmHg,
toddler 95/65
mmHg, sekolah
105-165 mmHg,
remaja 110/65
mmHg).
 Wajah tidak
meringis
kesakitan
 Skala nyeri 0
5 Gangguan rasa Setelah diberikan Mandiri Mandiri
nyaman (mual) askep selama (...x…) - Tawarkan makanan - Untuk mengurangi rasa penuh pada
berhubungan jam diharapkan mual porsi kecil tapi sering. perut setelah makan, sehingga
dengan teratasi, dengan mengurangi mual.
peningkatan TIK outcome: - Sajikan makanan dalam - Untuk menghindari mual.

ditandai dengan  Tidak ada keadaan hangat.


mual, muntah, mual - Beri dorongan untuk - Makan dengan ditemani

nafsu makan makan dengan orang lain (keluarga, orang lain (keluarga, saudara, orang
 Tidak ada
menurun. saudara, atau orang tua). tua) apat membantu meningkatkan
muntah
keinginan untuk makan.
 Nafsu makan
meningkat - Gunakan alat makan - Penggunaan alat makan

yang menarik (misal: piring yang menarik dapat meningkatkan

bergambar, berwarna-warni). ketertarikan anak untuk makan.

- Pertahankan kebersihan - Kebersihan mulut yang baik dapat

mulut yang baik. meminimalisasi rasa tidak enak saat


makan.
- Suasana makan yang nyaman dan
- Singkirkan pemandangan dan bau bersih dapat mengurangi rasa mual
yang tidak sedap dari area makan. klien ketika makan.

- Intruksikan orang tua untuk


menghindari : - Cairan panas atau dingin, makanan
1. Cairan panas atau dingin. yang mengandung lemak atau
2. Makanan yang mengandung
serat,makanan berbumbu, dan kafein
lemak dan serat.
3. Makanan berbumbu. dapat meningkatkan kerja lambung
4. Kafein sehingga akan timbul rasa mual
dengan intensitas yang lebih besar.
- Dorong klien untuk istirahat pada - Posisi semifowler membantu
posisi semi fowler setelah makan makanan masuk ke lambung dengan
dan mengganti posisi dengan baik dan membantu klien dalam
perlahan. bersendawa.
- Ajarkan teknik untuk mengurangi - Teknik mengurangi rasa mual akan
mual : sangat membantu klien dalam
1. Batasi minum beserta makan. memanajemen rasa mualnya.
2. Hindari bau makanan dan
stimuli yang tidak
mengenakan.
3. Kendurkan pakaian sebelum
makan.
4. Duduk di udara segar.
- Hindari berbaring terlentang
sedikitnya 2 jam seteleh makan. - Untuk mengurangi rasa penuh pada
perut setelah makan, sehingga
mengurangi mual

6 Hambatan Setelah diberikan Mandiri Mandiri


mobilitas fisik askep selama 3x24 - Hindari berbaring atau - Berbaring atau duduk
berhubungan jam diharapkan klien duduk dalam posisi yang sama dalam posisi yang sama dalam waktu
dengan kekuatan dapat melakukan dalam waktu lama. lama dapat meningkatkan kekakuan
dan tahanan mobilitas secara otot dan menimbulkan risiko
sekunder akibat mandiri dengan out - Ajarkan latihan rentang dekubitus.
gangguan come : gerak aktif pada anggota gerak yang - Untuk merelaksasikan otot
neuromuskular  Tonus otot sehat sedikitnya 4x sehari. agar imobilitas fisik perlahan-lahan
ditandai dengan meningkat - Anjurkan untuk dapat teratasi
tonus otot 555 555 ambulasi, dengan atau tanpa alat - Untuk melatih otot agar
menurun, 555 555 bantu. terbiasa untuk mobilisasi
kekuatan  Kekuatan - Lakukan mandi air - Mandi air hangat dapat
menangis menangis hangat. mengurangi kekakuan tubuh pada pagi
melemah. meningkat hari dan memperbaiki mobilitas
4. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi

5. Evaluasi

No.
Diagnosa Keperawatan Evaluasi
Dx
1. Gangguan perfusi jaringan serebral Tercapainya perfusi jaringan serebral adekuat :
berhubungan dengan peningkatan  Tingkat kesadaran membaik (GCS: E4 M6
TIK. V5).
 Klien tidak sakit kepala.
 Klien tidak kaku kuduk.
 Tidak terjadi kejang.
 TD dalam batas normal (bayi 85/54 mmHg,
toddler 95/65 mmHg, sekolah 105-165 mmHg,
remaja 110/65 mmHg).
 Klien tidak gelisah.
2. Hipertermi berhubungan dengan Tercapainya suhu tubuh normal:
proses inflamasi.  Suhu tubuh 36-37,5°C
 Klien tidak sakit kepala
 Klien merasa lebih bertenaga
3. Risiko cedera berhubungan dengan Tidak terjadi cedera.
perubahan fungsi serebral sekunder
akibat meningitis.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) Nyeri teratasi:
berhubungan dengan peningkatan  Klien tidak sakit kepala
TIK.  Nadi, RR, dan TD dalam batas normal
(Nadi: bayi 120-160x/mnt, toddler 90-
140x/mnt, prasekolah 80-110 x/mnt, sekolah
75-100x/mnt, remaja 60-90x/mnt; RR: bayi
35-40 x/mnt, toddler 25-32x/mnt, anak-anak
20-30 x/mnt, remaja 16-19 x/mnt; TD: bayi
85/54 mmHg, toddler 95/65 mmHg, sekolah
105-165 mmHg, remaja 110/65 mmHg)
 Wajah tidak meringis kesakitan
 Skala nyeri 0
5. Gangguan rasa nyaman (mual) Gangguan rasa nyaman mual teratasi:
berhubungan dengan peningkatan  Tidak ada mual
TIK.  Tidak ada muntah
 Nafsu makan meningkat
6. Hambatan mobilitas fisik Tercapainya mobilitas secara mandiri:
berhubungan dengan kekuatan dan  Tonus otot meningkat
tahanan sekunder akibat gangguan 555 555
neuromuskular. 555 555
 Kekuatan menangis meningkat

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang melapisi otak dan medula spinalis)
dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau organ-organ jamur
Meningitis merupakan salah satu penyakit infeksi SSP yang akut dan memiliki angka
kematian dan kecacatan yang tinggi. Diagnosis meningitis sering mengalami kelambatan karena
gejala dan tanda klinis meningitis tidak spesifik terutama pada bayi.
Penyebab-penyebab dari meningitis meliputi:
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur.

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2


MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN BLADDER

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN PRODI D3
KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara
terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat
dan perifer. Neurogenic bladder adalah keadaan malfungsi kandung kemih karena
disfungsi neurologis atau disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau
cedera.
Disfungsi kandung kemih neurogenik dapat menyulitkan berbagai kondisi neorologis.
Di Amerika Serikat, kandung kemih neurogenik mempengaruhi 40–90% dari orang-orang
dengan multiple sclerosis, 37–72% dari mereka dengan Parkinsonisme, dan 15% dari orang-
orang dengan stroke. Detrusor hyperreflexia terlihat di 50–90% dari orang-orang dengan
multiple sclerosis, sementara yang lain 20-30 % memiliki detrusor areflexia. Ada lebih dari
200.000 orang dengan cedera tulang, dan 70–84% dari orang-orang ini memiliki setidaknya
beberapa derajat disfungsi kandung kemih .
Pada pengamatan terhadap asuransi dan farmasi,bahwa ada klaim dari hampir 60.000
pasien dengan kandung kemih neurogenik selama 4 tahun dan menemukan tingkat 29–36%
lebih rendah infeksi saluran kemih, 9–14% tingkat retensi urin dan 6–11% tingkat penghalang
saluran kemih. Infeksi saluran kemih atas dicatat dalam 1.4–2.2% dari kandung kemih
neurogenik kohort, dan penyakit sistemik yang serius juga didiagnosis dalam kelompok ini
termasuk septikemia di 2.6–4.7% dan gagal ginjal akut 0.8–2.2%. Kandung kemih
neurogenik pasien rata-rata 16 kantor dan 0.5 ruang gawat darurat kunjungan per tahun,
sekitar sepertiga dari mereka menuju rawat inap
Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun
menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi urologi
akibat kelainan neurologis. Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang
terintegrasi antara sistem saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai
refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis
bagiansakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan vesica urinaria dapat diakibatkan
olehlesi pada berbagai derajat. Banyak penyebab yang mendasari timbulnya Neurogenic
bladder sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.

B. TUJUAN

Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan yang terdiri dari tujuan
umum dan tujuan khusus sebagai berikut:
1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan makalah ilmiah ini adalah memberikan gambaran mengenai
penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder
2. Tujuan khusus penulisan makalah ilmiah ini adalah agar dapat menggambarkan
tentang:
a. Konsep dasar Neurogenic Bladder
b. pada pasien Neurogenic Bladder
c. Perumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder
d. Rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan

Neurogenic Bladder

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI

Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem
saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa
berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi
(underactivebladder ) maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan
kandung kemih berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder ) (Rackley, 2009;
Waxman, 2010).
B. ETIOLOGI

(Ropper and Brown)


a. Kelainan pada sistem saraf pusat :
1. Alzheimer’s disease
2. Meningomielocele
3. Tumor otak atau medulla spinalis
4. Multiple sclerosis
5. Parkinson disease
6. Cedera medulla spinalis
7. Pemulihan stroke
b. Kelainan pada sistem saraf tepi :
1. Neuropati alkoholik
2. Diabetes neuropati
3. Kerusakan saraf akibat operasi pelvis
4. Kerusakan saraf dari herniasi diskus
5. Defisiensi vitamin B12

C. PATOFISIOLOGI
(Snell, 2006; Waxman, 2010)
Gangguan vesica urinaria dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang
terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :
a. Lesi supra pons.

Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian
medial,ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat
hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus depan,
tumor,demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada
hidrosefalusatau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih
yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat
kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunteer.
b. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis.

Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian
sacralmedula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi spingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara lain
adalah:
1. Vesica urinaria yang hiperrefleksi.

Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal


akanmenimbulkan suatu keadaan vesica urinaria yang hiperrefleksi yang
akanmenyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume
vesicaurinaria.
2. Disinergia detrusor-sfingter (DDS).
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi
detrusor.Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara
bersamaan.Kegagalan spingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi sehingga
dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang menyebabkan
dilatasi salurankencing bagian atas.Urine dapat keluar dari vesica urinaria hanya bila
kontraksidetrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi spingter sehingga aliran urine
terputus-putus.
3. Kontraksi detrusor yang lemah.
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga
pengosonganvesica urinaria yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila
dikombinasikan dengandisinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu
pasca miksi.
4. Peningkatan volume residu paska miksi.

Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan vesica urinaria
yanghiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinyakontraksi vesica urinaria. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi
dalam jumlah yang sedikit.
c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)

Kerusakan pada radiks S2-S4 baik dalam canalis spinalis maupun ekstradural akan
menimbulkan gangguan LMN dari fungsi vesica urinaria dan hilangnya sensibilitas
vesicaurinaria. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan karena mekanisme
untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, vesica urinaria menjadi atonik atau
hipotonik bilakerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance vesica urinaria juga
hilang karena halini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya
persyarafan. Sensibilitasdari peregangan vesica urinaria terganggu namun sensasi nyeri
masih didapatkan karenainformasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui
n.hipogastrikus ke daerahthorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu mekanisme
penutupan namun jaringanelastik dari leher vesica urinaria memungkinkan terjadinya
miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi selama kenaikan tekanan intra
abdominal yang mendadak hilang,sehingga stress inkontinens sering timbul pada batuk
atau bersin.
D. MANIFESTASI KLINIK
Gejalanya bervariasi berdasarkan apakah kandung kemih menjadi kurang aktif atau
overaktif.Suatu kandung kemih yang kurang aktif biasanya tidak kosong dan meregang
sampai menjadi sangat besar.
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan
inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi,urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising
value )karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons
maupun suprasakral.
Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis.Pada pria adalah
penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis sepertihipertrofi prostat atau
striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan medullaspinalis bagian sakral,
DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia
detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibatgangguan kontraksi
detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai
refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanyasedikit kasus dari lesi
frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa.
Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons
dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jarassensorik masih utuh,
akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahansfingter yang dapat
bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang
mengakibatkan retensi kronik dengan overflow
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Kandung kemih yang membesar bisa diketahui pada pemeriksaan perut bagian bawah.
Urografi intravena, sistografi maupun uretrografi dilakukan untuk memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan tersebut bisa menunjukkan ukuran ureter dan kandung kemih, batu ginjal,
kerusakan ginjal dan fungsi ginjal. Bisa juga dilakukan pemeriksaan USG atau
sistoskopi.Dengan memasukkan kateter melalui uretra bisa diketahui jumlah air kemih yang
tersisa. Untuk mengukur tekanan di dalam kandung kemih dan uretra bisa dilakukan dengan
cara menghubungkan katetera dengan suatu alat pengukur (sistometografi).
F. PENATALAKSANAAN
a. Kateterisasi
b. Meningkatkan intake cairan
c. Pembedahan merupakan cara terakhir

Pada kandung kemih yang kurang aktif, jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka
dipasang kateter melalui uretra untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara
berkesinambungan maupun untuk sementara waktu.Kateter dipasang sesegera mungkin agar
otot kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan
untuk mencegah infeksi kandung kemih.
Pemasangan kateter secara permanen lebih sedikit menimbulkan masalah pada wanita
dibandingkan dengan pria.Pada pria, kateter bisa menyebabkan peradangan uretra dan
jaringan di sekitarnya.
Pada kandung kemih overaktif, jika kejang pada saluran keluar kandung kemih
menyebabkan pengosongan yang tidak sempurna, maka bisa dipasang kateter. Pada pria
lumpuh yang tidak dapat memasang kateternya sendiri, dilakukan pemotongan sfingter (otot
seperti cincin yang melingkari lubang) di saluran keluar kandung kemih sehingga proses
pengosongan bisa terus berlangsung dan dipasang penampung air kemih. Bisa diberikan
rangsangan listrik pada kandung kemih, saraf yang mengendalikan kandung kemih atau
medula spinalis; supaya kandung kemih berkontraksi.Tetapi hal ini masih dalam taraf
percobaan.
Pemberian obat-obatan bisa memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh
kandung kemih.Pengendalian kandung kemih overaktif biasanya bisa diperbaiki dengan
obat yang mengendurkan kandung kemih, seperti obat anticholinergik.Tetapi obat ini bisa
menimbulkan efek samping berupa mulut kering dan sembelit.Kadang dilakukan
pembedahan untuk mengalirkan air kemih ke suatu lubang eksternal (ostomi) yang dibuat di
dinding perut atau untuk menambah ukuran kandung kemih.Air kemih dari ginjal dialirkan
ke permukaan tubuh dengan mengambil sebagian kecil usus halus, yang dihubungkan
dengan ureter dan disambungkan ke ostomi; air kemih dikumpulkan dalam suatu
kantung.Prosedur ini disebut ileal loop.
Penambahan ukuran kandung kemih dilakukan dengan menggunakan sebagian usus
dalam suatu prosedur yang disebut sistoplasti augmentasi disertai pemasangan kateter oleh
penderita sendiri.Sebagai contoh, sautau hubungan dibuat diantara kandung kemih dan
lubang di kulit (verikostomi) sebagai tindakan sementara sampai anak cukup dewasa untuk
menjalani pembedahan definitif.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya batu
ginjal.Dilakukan pengawasan ketat terhadap fungsi ginjal.Jika terjadi infeksi, segera
diberikan antibiotik.Dianjurkan untuk minum air putih sebanyak 6-8 gelas/hari.
(Brunicardi,2006;Ropper and Brown,2005;Rackley,2009;Waxman,2010)
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi kandung kemih adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan mengurangi gejala.
1. Penatalaksanaan gangguan pengosongan kandung kemih dapat dilakukan dengan cara :
a. Stimulasi kontraksi detrusor, suprapubic tapping atau stimulasi perianal
b. Kompresi eksternal dan penekanan abdomen,crede's manoeuvre
c. Clean intermittent self-catheterisation
d. Indwelling urethral catheter
2. Penatalaksanaan hiperrefleksia detrusor :
a. Bladder training (bladder drill)
b. Pengobatan oral, Propantheline, imipramine, oxybutinin
3. Penatalaksanaan operatif .
Tindakan operatif berguna pada penderita usia muda dengan kelainan
neurologiskongenital atau cedera medula spinalis.

G. KOMPLIKASI
1. Kebocoran urin
2. Retensio urin
3. Rusaknya pembuluh darah ginjal
4. Infeksi kandung kemih dan ureter.

H. PROGNOSIS
Prognosis baik jika kelainan terdiagnosis dan diobati sebelum terjadi kerusakan ginjal
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
Untuk mengidentifikasi masalah eliminasi urine dan mengumpulkan data guna
menyusun suatu rencana kepe-rawatan, perawat melakukan pengkajian riwayat kepe-rawatan,
melakukan pengkajian fisik, mengkaji urine klien, dan meninjau kembali informasi yang
telah diperoleh dari tes dan pemeriksaan diagnostik.
a. Riwayat Keperawatan
Riwayat keperawatan mencakup tinjauan ulang pola eliminasi dan gejala-gejala
perubahan urinarius, serta mengkaji faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan
klien untuk berkemih secara normal.
a) Pola Perkemihan
Perawat menanyakan pada klien mengenai pola berkemih hariannya, termasuk
frekuensi dan waktunya, volume normal urine yang dikeluarkan setiap kali berkemih, dan
adanya perubahan yang terjadi baru-baru ini. Frekuensi berkemih bervariasi pada setiap
individu dan sesuai dengan asupan serta jenis-jenis haluaran cairan dari jalur yang lain.
Waktu berkemih yang umum saat bangun tidur, setelah makan, dan sebelum tidur.
Kebanyakan orang berkemih rata-rata sebanyak lima kali atau lebih dalam satu hari.
Klien yang sering berkemih pada malam hari kemungkinan mengalami penyakit ginjal
atau pembesaran prostat.Informasi tentang pola berkemih merupakan dasar yang tidak
dapat dipungkiri untuk membuat suatu perbandingan.

Faktor yang Mempengaruhi Perkemihan


Perawat merangkum faktor-faktor dalam riwayat klien, yang dalam kondisi
normal mempengaruhi perkemihannya, seperti usia, faktor-faktor lingkungan, dan
riwayat pengobatan. Pengkajian pada lansia perlu dilakukan dengan teliti.
Perubahan normal dalam proses penuaan memprediposisi timbulnya masalah
eliminasi pada lansia. Nama, jumlah, dan frekuensi obat-obatan yang diresepkan harus
dicatat.Obat-obatan yang dijual bebas dan terpapar dengan larutan pembersih,
pestisida, atau obat-obatan lain yang bersifat nefrotoksik juga merupakan aspek
penting pada riwayat klien.Barier lingkungan di rumah atau di unit perawatan
kesehatan juga dievaluasi.Klien mungkin membutuhkan sebuah tempat duduk toilet
yang tinggi, tempat pegangan tangan, atau wadah berkemih yang portabel (mudah
dibawa).Perawat mengobservasi adanya keterbatasan sensorik, misalnya pada klien
yang memiliki masalah penglihatan dan mungkin memiliki kesulitan untuk
mencapai toilet.Apabila klien mengalami kesulitan dalam mengkoordi-nasikan
tangannya, perawat perlu mengkaji jenis pakaian yang dapat klien kenakan dan
kemudahan klien dalam mengancingkan pakaiannya.
b. Pengkajian fisik
1. B1 breathing
Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem pernapasan
tidak ditemukan kelainan.
2. B2 blood
Perawat perlu mengkaji apakah klien merasakan nyeri dada, pusing, kram kaki, sakit
kepala, palpitasi, clubing finger, suara jantung, edema, dan CRT(capillary refill time).
3. B3 brain
Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS.
GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15

4. B4 blader
 Ginjal
Apabila ginjal terinfeksi atau mengalami peradangan, biasanya akan timbul nyeri
di daerah pinggul. Adanya nyeri tekan di daerah pinggul pada awal penyakit pada saat
memperkusi sudut kostovertebra (sudut yang dibentuk oleh tulang belakang dan tulang
rusuk ke-12).Peradangan ginjal menimbulkan nyeri selama perkusi dilakukan.
Auskultasi juga dilakukan untuk mendeteksi adanya bunyi bruit di arteri ginjal (bunyi
dihasilkan dari perputaran aliran darah yang melalui arteri yang sempit).
Perawat yang memiliki keterampilan tinggi belajar mempalpasi ginjal selama proses
pemeriksaan abdomen. Posisi, bentuk, dan ukuran ginjal dapat mengungkapkan adanya
masalah seperti tumor.
 Kandung Kemih
Pada orang dewasa, kandung kemih terletak di bawah simfisis pubis dan tidak
dapat diperiksa oleh perawat.Saat kandung kemih berdistensi, kandung kemih terangkat
sampai ke atas simfisis pubis pada garis tengah abdomen dan dapat membentang sampai
tepat di bawah umbilikus.Pada inspeksi, perawat dapat melihat adanya pembeng-kakan
atau lekukan konveks pada abdomen bagian bawah.Perawat dengan perlahan mempalpasi
abdomen bagian bawah.Kandung kemih dalam keadaan normal teraba lunak dan bundar.
Saat perawat memberi tekanan ringan pada kandung kemih, klien mungkin akan
merasakan suatu nyeri tekan atau bahkan sakit. Walaupun kandung kemih tidak terlihat,
palpasi dapat menyebabkan klien merasa ingin berkemih.Perkusi pada kandung kemih
yang penuh menimbulkan bunyi perkusi tumpul.

5. B5 bowel
Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.Perubahan pada pola defekasi
misal terdapat darah pada feses, nyeri pada defekasi.
6. B6 bone
Perawat mengkaji kondisi kulit klien.Masalah eliminasi urine sering dikaitkan
dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Perawat mengkaji status hidrasi klien
dengan mengkaji turgor kulit dan mukosa mulut.kelemahan/ keletihan, keterbatasan
partisipasi pada latihan.

c. Pemeriksaan laboratorium
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan pada kasus
urologi. Pemeriksaannya meliputi :
a) Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urine.
b) Kimiawi, meliputi : pemeriksaan derajat keasaman (Ph), protein, dan gula
dalam urine.
c) Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder) atau
bentukan lain dalam urin.
Urine mempunyai Ph yang bersifat asam yaitu rata-rata 5,5 – 6,5. Jika
didapatkan Ph yang relatif basa kemungkinan terdapat infeksi oleh bakteri pemecah
urea,sedangkan jika pH yang terlalu asam kemungkinan terdapat asidosis pada
tubulus ginjal atau ada batu asam urat.
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL
& HASIL YANG DIHARAPKAN
1 Nyeri berhubungan dengan a. Kaji tingkat Nyeri a. Memberikan informasi tentang efektivitas
distensikandung kemih intervensi

Tujuan : pasien tidak


merasa nyeri
b. Plestert selang drainase di paha dan perut b. Untuk mencegah penarikan kandung
Kriteria Hasil : kemih dan erosi skrotal penis
a. RR 12x/ menit
b. Skala nyeri : 0
c. Tidak ada distensi kandung kemih c. Pertahankan Tirah Baring c. Meningkatkan pola berkemih normal
d. Ajarkan tekhnik relaksasi. d. Mencegah nyeri bertambah dengan cara
menarik nafas dalam
e. Berikan analgesik sesuai dengan program terapi e. Analgesik memblokir jalan nyeri.
( rencana tindakan kolaborasi )

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


NO DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL
& HASIL YANG DIHARAPKAN
2. Gangguan eliminasi urine (retensi) berhubungan a. Anjurkan klien untuk banyak minum air putih. a. Agar tidak sempat terbentuk bekuan
dengan tumor darah.
Tujuan:
- Retensi urine berkurang dalam waktu 1x24 jam. b. Kembangkan kembali program latihan Buli-buli
Kriteria Hasil: b. Agar kandung ke-mih dapat berfungsi
- Klien berkemih volunteer atau pengkondisian kembali. kembali secara nor-mal.
- Residu urine kurang dari 50 cc. c. Ajarkan klien meregangkan abdomen &
c. c, d, dan e.
- Urine tidak lagi berwarna merah & menetes. melakukan manuver varsava jika diindika-sikan.
d. Ajarkan klien manuver crede jika diindikasikan. Untuk melatih mengosongkan kandung
kemih secara bertahap/sesuai teknik-teknik
e. Ajarkan klien manuver regangan anal jika tertentu.
diindikasikan.
f. Untuk mengetahui efektifitas latihan Buli-
f. Ukur residu pasca berkemih setelah usaha buli, bila gagal dapat segera diambil tindakan
dengan kateterisasi.
mengosongkan Buli-buli jika volume urine lebihdari
100 cc. Jadwalkan program kateterisasiintermitten.

g. Observasi intake dan output untuk


g. Observasi pemberian cairan irigasi pada
mengkaji konsistensi, warna dan obstruksi
dalam kandung kencing.
kandung kencing lewat kateter three way
h. Intake dan output untuk menentukan
h. Observasi intake dan output cairan balance cairan.

i. Mencegah infeksi
i. Lakukan perawatan kateter setiap hari

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL


& HASIL YANG DIHARAPKAN
3. Cemas berhubungan dengan situasi krisis a.Tentukan pengalaman klien sebelumnya terhadap penyakit a. Data-data mengenai pengalaman klien
(kanker) & sosio ekonomi. yang dideritanya sebelumnya akan memberikan dasar
untuk penyuluhan dan menghindari
Tujuan: adanya duplikasi..
a. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya. b.Berikan informasi tentang prognosis secara akurat. b. Pemberian informasi dapat membantu
b. Klien rileks & dapat melihat dirinya secara klien dalam memahami proses penyakitnya.
objektif. c.Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu klien
c. Menunjukkan koping yang efektif. mempersiapkan diri dalam pengobatan. c. Membantu klien dalam memahami ke-
butuhan untuk pengobatan dan efek
Kriteria Hasil: d.Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sampingnya.
a.Klien melaporkan perasaan cemasnya sosial. d.Mengetahui dan menggali pola koping
berkurang. klien serta mengatasinya/memberikan solusi
b.Klien menyatakan pemahamannya tentang e.Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support dalam upaya meningkatkan kekuatan dalam
penyakit. sistem. mengatasi kecemasan.
e.Agar klien memperoleh dukungan dari
f.Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman. orang yang terdekat/keluarga.

f. Memberikan kesempatan pada klien


untuk istirahat.
NO DIAGNOSA RENCANA TINDAKAN RASIONAL
KEPERAWATAN
& HASIL YANG
DIHARAPKAN
4. Gangguan Pola tidur
berhubungan dengan adanya a. Tentukan kebiasaan tidur biasanya a. Mengkaji perlunya dan mengidentifikasi intervensi yang tepat.
frekuensi,urgensi,nokturia dan perubahan yang terjadi
dan inkontinensia urine b. Berikan tempat tidur yang nyaman b. Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisilogis/psikologis.
Tujuan: dan beberapa milik pribadi
- Perbaikan dalam pola c. Bila rutinitas baru mengandung aspek sebnayak kebiasaan lama, stress dan
tidur/istirahat c. Buat ruitinitas tidur baru yang ansietas yang berhubungan dapat berkurang.
Kriteria Hasil: dimasukkan dalam pola lama dan
- Melaporkan lingkungan baru d. Memberikan suasana kondusif untuk tidur.
peningkatan rasa d. Kurangi kebisingan dan lampu
sehat dan merasa e. Mengurangi eliminasi urine pada malam hari
e. Batasi pemasukan cairan pada
dapat istirahat
sore hari jika masih terdapat masalah f.Mungkin diberikan untuk membantu pasien tidur/istirahat
nokturia
f. Kolaborasi dalam pemberian
sedative,hipnitik sesuai indikasi
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Neurogenic Bladder atau Kandung Kemih Neurogenik adalah suatu
kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengontrol kandung
kemih dengan baik karena kerusakan pada saraf yang mengontrol kemampuan
berkemih, menyebabkan kandung kemih menjadi lebih aktif atau kurang aktif.
Orang-orang yang menderita kandung kemih neurogenik yang lebih aktif mampu
berkemih, tetapi mereka memiliki kesulitan untuk mengosongkan kandung kemih
secara keseluruhan. Mereka juga dapat mengalami gejala, seperti keinginan yang
kuat untuk sering berkemih tetapi hanya dapat mengeluarkan sejumlah kecil urin
dan kebocoran urin/mengompol. Karena mereka cenderung untuk menahan
sejumlah kecil urin pada kandung kemih, hal ini meningkatkan resiko mereka
untuk terinfeksi pada saluran kemih. Namun, penderita kandung kemih
neurogenik kurang aktif mampu menahan sejumlah besar urin tetapi tidak mampu
merasakan kandung kemih penuh atau tidak. Mereka juga memiliki kesulitan
dalam mengendalikan otot-otot kandung kemih secara baik. Oleh karena itu,
mereka akan sering mengompol ketika kandung kemih terisi melewati batas.
Kondisi ini umumnya ditemukan pada orang-orang dengan penyakit neurogenik,
seperti Alzheimer, penyakit Parkinson, sklerosis multipel dan cedera medula
spinalis. Perawatan biasanya termasuk kateterisasi, dengan memasukan pipa tipis
kedalam kandung kemih untuk mempermudah pengosongan kandung kemih.
Apabila tidak dirawat secara tepat, kandung kemih neurogenik dapat
menyebabkan gagal ginjal karena tekanan yang dihasilkan sebagai akibat ekspansi
kandung kemih yang berlebihan dan infeksi saluran kemih.

B. SARAN
1. Bagi Mahasiswa

Meningkatkan kualitas belajar dan memperbanyak literatur dalam


pembuatan makalah agar dapat membuat makalah yang baik dan benar
2. Bagi Pendidikan

Bagi dosen pembimbing agar dapat memberikan bimbingan yang lebih


baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.
3. Bagi Kesehatan

Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa kesehatan khususnya untuk


mahasiswa keperawatan agar mengetahui bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan neurogenic bladder
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN MASALAH FRAKTUR

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
A. DEFINISI
Fraktur adalah pemisahan atau robekan pada kontinuitas tulang yang terjadi
karena adanya tekanan yang berlebihan pada tulang dan tulang tidak mampu untuk
menahannya.
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari).
Fraktur atau umumnya patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan dari tulang itu sendiri dan jaringan lunak di
sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap, tidak
lengkap. (Arice)
Patah tulang adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang
rawan yang disebabkan oleh kekerasan.(Oswari)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. (Mansjoer).
B. ETIOLOGI
Penyebab fraktur / patah tulang menurut (Long) adalah :
a. Benturan dan cedera (jatuh pada kecelakaan)
b. Fraktur patologik (kelemahan hilang akibat penyakit kanker, osteophorosis)
c. Patah karena letih
d. Patah karena tulang tidak dapat mengabsorbsi energi karena berjalan terlalu jauh.
Menurut Sachdeva, penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi
pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
Etiologi Fraktur ada dua jenis, yaitu :
1. Trauma langsung, yaitu : fraktur yang terjadi karena mendapat rudapaksa,
misalnya benturan atau pukulan yang mengakibatkan patah tulang.
2. Trauma tidak langsung, yaitu : bila fraktur terjadi, bagian tulang mendapat
rudapaksa dan mengakibatkan fraktur lain disekitar bagian yang mendapat
rudapaksa tersebut dan juga karena penyakit primer seperti osteoporosis dan
osteosarkoma.
Dari etiologi yang dapat menyebabkan fraktur dibagi menjadi dua yaitu
fraktur tertutup dan frkatur terbuka. Pada fraktur tertutup akan terjadi kerusakan pada
kanalis havers dan jaringan lunak diarea fraktur, akibat kerusakan jaringan tersebut
akan terbentuk bekuan darah dan benang-benang fibrin serta hematoma yang akan
membentuk jaringan nekrosis. Maka terjadilah respon informasi informasi fibroblast
dan kapiler-kapiler baru tumbuh dan membentuk jaringan granulasi. Pada bagian
ujung periosteum-periosteum, endeosteum dan sumsum tulang akan mensuplai
osteoblast, kemudian osteoblast berproliferasi membentuk fibrokartilago, kartilago
hialin dan jaringan penunjang fibrosa. Selanjutnya akan dibentuk fiber-fiber kartilago
dan matriks tulang yang menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak,
sehingga terjadi osteogenesis dengan cepat sampai terbentuknya jaringan granulasi.
Sedangkan pada fraktur terbuka terjadi robekan pada kulit dan pembuluh
darah, maka terjadilah perdarahan, darah akan banyak keluar dari ekstra vaskuler dan
terjadilah syok hipovolemik, yang ditandai dengan penurunan tekanan darah atau
hipotensi syok hipovolemik juga dapt menyebabkan cardiac output menurun dan
terjadilah hipoksia. Karena hipoksia inilah respon tubuh akan membentuk
metabolisme an aerob adalah asam laktat, maka bila terjadi metabolisme an aerob
maka asam laktat dalam tubuh akan meningkat.

C. PATOFISIOLOGI
Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma (long).
Baik itu karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil,
karena trauma tidak langsung , misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa oleh karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella
dan dekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. (Oswari).
Fraktur dibagi menjadi fraktur tuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur
terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena
perlukaan di kulit. (Mansjoer).
Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan
ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat
patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk
melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Corwin).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total
dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen. (Brunner & Suddarth, 2002 :
2287).
Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy
konservatif meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi dengan
pemasangan gips dan dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari reposisi terbuka,
fiksasi internal dan reposisi tertutup dengan kontrol radio logis diikuti fraksasi
internal. (Mansjoer).
Pada pemasangan bidai / gips / traksi maka dilakukan imobilisasi pada bagian
yang patah, imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas
tulang agak cepat (Price & Willsen).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi
dari imobilisasi antara lain : adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka yang
disebabkan oleh penekanan, hilangnya otot (Long).
Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh diimobilisasi,
mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito). Pada reduksi
terbuka dan fiksasi interna (OKIF) fragme-fragmen tulang dipertahankan dengan pen,
sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami
kerusakan selama tindakan operasi (Price & Willson). Pembedahan yang dilakukan
pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri yang hebat (Brunner &
Suddarth).

Penyimpangan KDM
D. KLASIFIKASI FRAKTUR
Fraktur di klasifikasikan sebagai berikut :
1) Fraktur tertutup
Merupakan fraktur tanpa komplikasi dengan kulit tetap utuh
disekitar fraktur tidak menonjol keluar dari kulit.
2) Fraktur terbuka
Pada tipe ini, terdapat kerusakan kulit sekitar fraktur, luka
tersebut menghubungkan bagian luar kulit. Pada fraktur terbuka
biasanya potensial untuk terjadinya infeksi, luka terbuka ini dibagi
menurut gradenya.
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 Cm.
Grade II : luka lebih luas disertai luka memar pada kulit dan otot.
Grade III : paling parah dengan perluasan kerusakan jaringan lunak terjadi
pula kerusakan pada pembuluh darah dan syaraf.
3) Fraktur komplit
Pada fraktur ini garis fraktur menonjol atau melingkari tulang periosteum
terganggu sepenuhnya.
4) Fraktur inkomplit
Garis fraktur memanjang ditengah tulang, pada keadaan ini
tulang tidak terganggu sepenuhnya.
5) Fraktur displaced
Fragmen tulang terpisah dari garis fraktur.
6) Fraktur Comminuted
Fraktur yang terjadi lebih dari satu garis fraktur, dan fragmen
tulang hancur menjadi beberapa bagian (remuk).
7) Fraktur impacted atau fraktur compressi
Tulang saling tindih satu dengan yang lainnya.
8) Fraktur Patologis
Fraktur yang terjadi karena gangguan pada tulang serta osteoporosis atau
tumor.
9) Fraktur greenstick
Pada fraktur ini sisi tulang fraktur dan sisi tulang lain bengkak.
E. TANDA DAN GEJALA
1. Nyeri tekan : karena adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah.
2. Bengkak dikarenakan tidak lancarnya aliran darah ke jaringan.
3. Krepitus yaitu rasa gemetar ketika ujung tulang bergeser.
4. Deformitas yaitu perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena
kuatnya tarikan otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
5. Gerakan abnormal, disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal
disebabkan tidak tetapnya tulang karena fraktur.
6. Fungsiolaesa/paralysis karena rusaknya syaraf serta pembuluh darah.
7. Memar karena perdarahan subkutan.
8. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otot-otot
involunter.
9. Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau tertekan
oleh cedera, perdarahan atau fragmen tulang.
10. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
11. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
12. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
F. KOMPLIKASI
- Malunion : Fraktur sembuh dengan deformitas (angulasi, perpendekan/rotasi)
- Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari normal.
- Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung yang juga disebut pseudoarthritis,
nonunion yaitu terjadi karena penyambungan yang tidak tepat, tulang gagal
bersambung kembali.
G. PENATALAKSANAAN
a. Medis
1) Traksi
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali
pada ekstreminasi klien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu tarikan tulang yang patah. Kegunaan traksi
adalah antara lain mengurangi patah tulang, mempertahankan fragmen tulang
pada posisi yang sebenarnya selama penyembuhan, memobilisasikan tubuh
bagian jaringan lunak, memperbaiki deformitas.
Jenis traksi ada dua macam yaitu : Traksi kulit, biasanya menggunakan
plester perekat sepanjang ekstremitas yang kemudian dibalut, ujung plester
dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya menggunakan
katrol dan beban. Traksi skelet, biasanya dengan menggunakan pin
Steinman/kawat kirshner yang lebih halus, biasanya disebut kawat k yang
ditusukan pada tulang kemudian pin tersebut ditarik dengan tali, katrol dan
beban.
2) Reduksi
Reduksi merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk
memperbaiki kesejajaran dan mengurangi penekanan serta merenggangkan
saraf dan pembuluh darah.
Jenis reduksi ada dua macam, yaitu : Reduksi tertutup, merupakan
metode untuk mensejajarkan fraktur atau meluruskan fraktur, dan Reduksi
terbuka, pada reduksi ini insisi dilakukan dan fraktur diluruskan selama
pembedahan dibawah pengawasan langsung. Pada saat pembedahan, berbagai
alat fiksasi internal digunakan pada tulang yang fraktur.
b. Fisiotherapi
Alat untuk reimobilisasi mencakup exercise terapeutik, ROM
aktif dan pasif. ROM pasif mencegah kontraktur pada sendi dan
mempertahankan ROM normal pada sendi. ROM dapat dilakukan oleh
therapist, perawat atau mesin CPM (continous pasive motion). ROM
aktif untuk meningkatkan kekuatan otot.
c. Proses Penyembuhan Tulang
1) Fase formasi hematon (sampai hari ke-5)
Pada fase ini area fraktur akan mengalami kerusakan pada kanalis
havers dan jaringan lunak, pada 24 jam pertama akan membentuk bekuan
darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area
fraktur meningkat, kemudian akan membentuk hematoma sampai berkembang
menjadi jaringan granulasi.
2) Fase proliferasi (hari ke-12)
Akibat dari hematoma pada respon inflamasi fibioflast dan kapiler-
kapiler baru tumbuh membentuk jaringan granulasi dan osteoblast
berproliferasi membentuk fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan
penunjang fibrosa, akan selanjutnya terbentuk fiber-fiber kartilago dan matriks
tulang yang menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak sehingga
terjadi osteogenesis dengan cepat.
3) Fase formasi kalius (6-10 hari, setelah cidera)
Pada fase ini akan membentuk pra prakulius dimana jumlah prakalius
nakan membesar tetapi masih bersifat lemah, prakulius akan mencapai ukuran
maksimal pada hari ke-14 sampai dengan hari ke-21 setelah cidera.
4) Fase formasi kalius (sampai dengan minggu ke-12)
Pada fase ini prakalius mengalami pemadatan (ossificasi) sehingga
terbentuk kalius-kalius eksterna, interna dan intermedialis selain itu osteoblast
terus diproduksi untuk pembentukan kalius ossificasi ini berlangsung selama
2-3 minggu. Pada minggu ke-3 sampai ke-10 kalius akan menutupi tulang.
5) Fase konsolidasi (6-8 Bulan) dan remoding (6-12 bulan)
Pengkokohan atau persatuan tulang proporsional tulang ini akan
menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih
terorganisasi. Kalius tulang akan mengalami remodering dimanaosteoblast
akan membentuk tulang baru, sementara osteoklast akan menyingkirkan
bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyeruapai
keadaan tulang yang aslinya.
H. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri, hilangnya sungsi deformitas,
pemendekan ekstremitas krepitus, pembekakan lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang diimobilisasi
spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan
defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera. ( Brunner dan Suddarth, 2001 : 2358 )
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
- Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
- Mengetahui tempat dan type fraktur
- Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodic
2. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun
( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma
5. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple
atau cedera hati (Doenges, 1999 : 76 ).

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian primer
- Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk
- Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi
- Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
Data demografi : identitas klien
Riwayat kesehatan sekarang : kejadian yang mengalami cedera.
Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat penyakit DM, TB, arthritis,
osteomielitis, dan lain-lain.
Riwayat imunisasi : Polio, Tetanus.
a. Aktivitas/istirahat
kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
Tachikardi
Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
Cailary refil melambat
Pucat pada bagian yang terkena
Masa hematoma pada sisi cedera

c. Neurosensori
Kesemutan
Deformitas, krepitasi, pemendekan
kelemahan
d. Kenyamanan
nyeri tiba-tiba saat cidera
spasme/ kram otot
e. Keamanan
laserasi kulit
perdarahan
perubahan warna, pembengkakan local
f. Integumen, laserasi, perdarahan edema, perubahan warna kulit.
g. Sistem otot : kekuatan gerak koordinasi.
h. Pemeriksaan diagnostic.
Pemeriksaan ronthgen menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Scan tulang, tomogram, scan ct, MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
Hitung darah lengkap : HT, mungkin meningkat (hemoton sentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan leukosit adalah respon stress normal setelah trauma
Diagnosa Keperawatan
a. tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan trauma jalan nafas.
Tujuan yang ingin dicapai adalah bersihan jalan nafas efektif.
Intervensi : yang akan dilakukan adlah,
- tinggikan tempat tidur30 derajat,
- observasi frekuensi/irama pernafasan,
- observasi adanya batuk, wheezing dan edema,
- observasi tanda-tanda vital.
- Auskultasi bunyi nafas, ajarkan tekhnik nafas dalam,
- ubah posisi secara periodic,
- berikan minum2-3 liter/hari
- kolaborasi dalam pemberian oksigen.
b. resiko tinggi trauma berhubungan dengan hilangnya integritas tulang/fraktur).
Tujuan yang akan dicapai adalah klien terhindar dari trauma.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- pertahanan traksi baring sesuai indikasi letakan papan dibawah tempat
tidurortopedik,
- pertahanan posisi netral pada bagian, fraktur dengan bantal,
- anjurkan klien menghindari untuk beban yang berat,
- kolaborasi dengan tim medis lain, rinthgen.
c. resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pemasangan kawat di rahang).
Tujuan yang akan dicapai adalah gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
teratasi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah,
- timbang berat badan setiap hari,
- berikan air minum hangat bila mual,
- anjurkan klien bersandar bila makan atau minum,
- anjurkan makan dengan sedotan berikan makan sedikit tapi sering dengan
konsistensi yang sesuai,
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
d. gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot
Tujuan yang akan dicapai adalah nyeri berkurang.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji karakteritik nyeri, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
- Perrtahankan mobilisasi tirah baring, tinggikan bagian ekstremitas yang nyeri,
beri kompres dingin, observasi tanda-tanda vital (TD,N,S,RR).
- Ajarkan tekhnik relaksasi,
- kolaborasi dengan dokter dalampemberian therapy analgetik.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan kerangka
neuromuskuler).
Tujuan yang akan dicapai adalah klien mampu bermobilisasi secara bertahap.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji tingkat mobilitas klien,
- bantu klien dalam mobilisasi,
- ukur TD setelah aktivitas,
- bantu klien dalam gerakan pada ekstremitas yang sakit dan tidak sakit, anjurkan
klien untuk gerakan pada ekstremitas yang tidak nyeri,
- kolaborasi dengan tim medis lain : fisiotherapy.
f. resiko tinggi integritas kulit berhubungan dengan cidera tusuk fraktur terbuka,
bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat dan sekrup
Tujuan yang akan dicapai adalah gangguan integritas kulit teratasi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji keadaan luka (adanya tanda-tanda infeksi).
- Pertahankan tempat tidur kering dan bebas dari kerutan, rubah posisi akan setiap
2 jam sekali,
- lakukan perawatan luka, observasi daerah yang terpasang balutan, libatkan
keluarga dalam perawatan luka.
g. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan kawat pada
rahang.
Tujuan yang akan dicapai adalah klien dapat berkomunikasi, dengan baik.
Intervensi yang akan dilakukan adalah :
tentukan luasnya ketidak mampuan berkomunikasi,
berikan pilihan cara berkomunikasi, validasi upaya arti komunikasi, antisipasi
kebutuhan, tempatkan catatan didekat klien.
h. resiko tiggi infeksi berhubungan dengan tidak ada kuatnya pertahan primer.
Tujuan yang akan dicapai adalah infeksi tidak terjadi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
- kaji kulit apakah terdapat iritasi atau robekan kontinuitas jaringan observasi
tanda-tanda vital, terutama suhu,
- observasi tanda-tanda infeksi, lakukan perawatan luka secara septic dan
antiseptic, kaji balutan luka
- kolaborasi dengan tim medis lain : laboratorium dalam pemeriksaan darah (LED
dan leukosit), kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotic.
i. Anxietas berhubungan dengan krisis situasi.
Tujuan yang akan dicapai adalah klien tidak cemas lagi.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
diskusikan tindakan keamanan, bantu mengekspresikan ketakutan, bantu untuk
mengakui kenyataan, termasuk marah, beri penjelasan tentang peubahan wajah,
berikan cermin bila pasien menghendaki, ajarkan tekhnik manajemen stress.
j. Kurang pegetahuan tentang kondisi prognosis dan pengobatan berhubungan dengan
kurang informasi
Tujuan yang akan dicapai adalah pengetahuan klien akan bertambah.
Intervensi yang akan dilakukan adalah
kaji sejauh mana tingkat pengetahuan klien tentang penyakitnya, beri pendidikan
kesehatan tentang penyakitnya, beri reinfoercement positif jika klien menjawab
dengan cepat, pilih berbagai strategi belajar seperti : tekhnik ceramah, tanya jawab
dan demonstrasikan dan tanyakan apa yang tidak diketahui klien.
MANAJEMEN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN POST OP
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh
(Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Post op frakture Olecranon (Doenges, 1999) meliputi :
a. Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau
stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya
financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.
c. Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ;
malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan
pemasukkan / periode puasa pra operasi).
d. Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.
e. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi
immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ;
Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia
malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-
obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.
f. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik
glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic,
antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau
obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang
mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri
pasca operasi).

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur
(Wilkinson, 2006) meliputi :
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post
op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan
meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan
dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas
ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan
durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang
nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi
untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup
mempunyai energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi
kebutuhan atau aktivitas sehari-hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
- perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
- pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
- Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat
digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara
perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat,
mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai
akibat dari latihan.
3. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan
secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. R/ mengetahui sejauh
mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya
proses peradangan.
d. d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering
dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada
area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/
tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada
daerah yang berisiko terjadi infeksi.
4. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan
fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
- penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan
sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
- tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital. R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama
bila suhu tubuh meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka,
dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb
dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi
akibat terjadinya proses infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses
pengobatan.
Kriteria Hasil :
- melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen
perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan
keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan
keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah
diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai
keberhasilan dari tindakan yang dilakukan

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2


MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN HIPERTIROID DAN HIPOTIROID
DISUSUN OLEH:
Venyy Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

1. HIPERTIROID
A. Definisi Hipertiroid

Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical


Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi berupa peningkatan kadar
hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid melebihi normal.
Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon
tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran darah.
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang beredar
secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya. Subklinis hipertiroidisme
mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH yang tidak terdeteksi dan konsentrasi
serum T3, T4 normal, terlepas dari ada atau tidak adanya tanda-tanda gejala klinis

B. Epidemiologi

Hipertiroidisme menyerang wanita 5 kali lebih sering dibanding laki-laki dan


insidennya akan memuncak pada usia ketiga serta keempat. Penderita penyakit tyroid saat
ini 2% sampai dengan 5 % adalah kebanyakan wanita, wanita tersebut 1% sampai dengan
2% adalah wanita reproduktif.
Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria,
dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60 tahun. Prevalensi adalah orang
Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun multi-nodular gondok lebih sering terjadi
di Eropa dan daerah lain di dunia di mana penduduk cenderung mengalami defisiensi
yodium, prevalensi mereka juga lebih tinggi pada wanita dan pada pasien yang lebih tua
dari 60 tahun (Pauline, 2007).

C. Etiologi

Penyebab Hipertiroidisme adalah adanya Imuoglobulin perangsang tiroid (Penyakit


Grave), sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau hipofisis anterior,
hipersekresi tumor tiroid. Penyebab tersering hipertiroidisme adalah penyakit Grave,
suatu penyakit autoimun, yakni tubuh secara serampangan membentuk thyroid-
stymulating immunoglobulin (TSI), suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH
di sel tiroid (Sherwood, 2002).
1. Tiroid :
a. Grave’s disease 80% karena ini
Terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan adanya
penyakit autoimun lainnya misalnya DM tipe I
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut
f. Tiroiditis limfositik kronik
2. Hipofisis :
a. Adenoma hipofisis
b. Hipofisis resisten terhadap T4
3. Lain :
a. Eksogen
b. Iodine induced hyperthyroidism
c. hCG

D. Patofisiologi

Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)

Kurang Lebih Pengeluaran TIH ReseptorTSH/TIH


(tiroid inhibiting merangsang kelenjar tiroid
hormon)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tiroid
dihentikan (T3& T4)

Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu peningkatan kadar
hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi feedback negative menuju hipotalamus.
Ketika feedback negative diterima oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran
hormone inhibiting yang akan menurunkan sekresi/pembuatan hormone tiroid. Proses ini
terjadi ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila terjadi suatu kelainan pada
tiroid maka proses yang akan terjadi adalah sebagai berikut .

Hipotalamus Hipofisis Tiroid


(menerima
TRH/TIH)

Lebih Pengeluaran Reseptor TSH/TIH


TIH ditutupi oleh TSI
(Tiroid (Tiroid Stimulating
Inhibiting Imunoglobulin)
Hormone)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tidak tiroid
makin meningkat dihentikan (T3& T4)

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan hormone tiroid.
Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan TIH oleh Tiroid
Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi
hormone tiroid secara terus menerus. Ketika produksi hormone tiroid telah
dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan memberikan umpan balik negative
kepada hipotalamus untuk mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang
akan menurunkan produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan
memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh TSI
sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone tiroid, maka akan
didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T3 dan T4 tanpa adanya peningkatan
hormone TSH. Kejadian ini didapatkan pada kasus penderita hipertiroidisme, yang akan
menyebabkan peningkatan kadar metabolism di dalam tubuh dan peningkatan tmbuh
kembang dari penderita tersebut.
Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang merangsang
aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat. Akibat peningkatan
ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan emosi, palpitasi,
meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan. Kulit lebih hangat dan
berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat, tekanan nadi yang kecil,
pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal jantung. Peningkatan cardiac
output dan kerja jantung selama ketidakstabilan atrial menyebabkan
ketidakteraturan irama jantung, terutama pada pasien dengan penyakit
jantung.Ancaman bagi kehidupan di kombinasi dengan delirium atau koma,
temperatur tubuh naik sampai 41o C, detak jantung meningkat, hipotensi, muntah
dan diare.
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri khas atau
tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai penyakit Graves,
yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik yang
bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor yang ditemukan di
orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid. Sitokin yang berasal dari
limfosit yang disintesis menyebabkan inflamasi di orbital fibroblast dan otot
ekstraokular, dan hasilnya adalah pembengkakan pada otot orbital.
Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan terjadi akibat
peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air mata
yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia juga terjadi. Penyebabnya terletak
pada reaksi imun terhadap antigen retrobulbar yang tampaknya sama dengan
reseptor TSH. Akibatnya terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit,
akumulasi asam mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar
(Silbernagl, et al., 2006).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode yang
dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan, dan
kadang-kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak berurutan seperti
yang tertera di daftar NO SPECS untuk menilai derajat keparahan yang
diderita pasien tersebut. Sehingga ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi antara iris
bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk Graves Disease
biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah palpebra, padahal
normalnya tidak.
2) Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat exopthalmometer
(Harrison, 2005).
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson, tremor
pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor kasar. Tremor
halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap sebagai efek dari
bertambahnya kepekaan sinaps saraf pengatur tonus otot di daerah medulla
(Guyton, 2007).Gejala lain yang mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya peningkatan
metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan asupan makanan
yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon tiroid
membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di
dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis.
Karena diambil dari otot, maka pemakaian senyawa glukogenik secara
terus-menerus dapat mengurangi massa otot sehingga berat badan pun bisa
mengalami penurunan (Guyton, 2007).
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon tiroid dapat
merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan hormon-hormon yang
dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin dan norepinephrin. Kedua
hormon tersebut dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara
menstimulasi α dan β reseptor, terutama β reseptor yang berada di
membran plasma otot jantung (Guyton, 2007).
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi
getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga
hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare.

E. Manifestasi Klinis
Gejala dan Tanda : Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk
palpitasi, kegelisahan, mudah capai, hiperkinesia dan diare, keringat banyak, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan
nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksik pada mata , dan takikardia ringan
umumnya terjadi pada umumnya terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya masa otot
dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada
anak-anak terdapat pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada
pasien-pasien di atas 60 tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih
menonjol; keluhan yang paling menonjol adalah palpitasi, dispnea pada latihan, tremor,
nervous, dan penurunan berat badan.
F. Diagnosis
 Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal dapat berupa
goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akhibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan. Gejala hipertiroidisme dapat berupa
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang meningkat seperti pasien mengeluh
lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat berlebih, berat badan menurun
sementara nafsu makan. meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan
atau atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya.
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu
juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit yang
sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun

 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal yang berupa
oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang ditandai dengan mata
melotot, fissura paplebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Pada
manifestasi tiroidal dapat ditemukan goiter difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu
badan meningkat, dan tremor.
 PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free thyroxine index),
pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom,
penguruan kadar TSH serum, test penampungan yodium radiokatif (radioactive
iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).
 Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4.
G. Penatalaksanaan
 Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid. Terdapat 2 kelas obat
golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan dengan nama propiltiourasil
(PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol.
Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja dengan dua efek, yaitu efek intra dan
ekstratiroid. Berikut merupakan mekanisme masing-masing efek.
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah struktur molekul
tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin sehingga mencegah atau
mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi T3 di
jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi ekstratiroid
adalah propiltiourasil (PTU).

Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol 20-40


mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah itu dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respon klinis dan biokimia. Jika ditemukan
dosis awal belum memberikan perbaikan klinis, dosis dapat dinaikan bertahap
hingga dosis maksimal, sementara jika dosis awal sudah memberi perbaikan
klinis maupun biokimia, dosis diturunkan hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari
dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan
keadaan eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Pemilihan PTU dan
metimazol dapat disesuaikan dengan kondisi klinis karena berdasarkan
kemampuan menghambat penurunan segera hormon tiroid di perifer, PTU lebih
direkomendasikan.
 Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi untuk diet tinggi
kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik dari makanan
main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari
untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur, olah
raga teratur, serta mengurangi rokok, alkohol, dan kafein yang dapat
meningkatkan kadar metabolisme.

2. HIPOTIROID
A. Definisi Hipotiroid

Hipotiroidisme merupakan suatu penyakit akibat kekurangan produksi hormon


tiroid atau adanya defek pada reseptornya. Kelainan tersebut dapat ditemukan sejak lahir
yang sering dikenal sebagai hipotiroid kongenital, namun bila tampak gejala-gejala
setelah periode fungsi tiroid yang tampaknya normal maka kelainan ini merupakan
kelainan yang “didapat” yang biasanya akibat defek kongenital karena manifestasi
defisiensinya terlambat.
B. Epidemiologi

Hipotiroid merupakan penyakit yang ditemukan dengan perbandingan 1 : 5000


dari kelahiran hidup dan biasanya ditemukan 80 – 90 % pada bayi dengan usia < 3 bulan,
lebih sering mengenai perempuan dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki
2 : 1.
C. Etiologi

 Disgenesis Tiroid
Defek perkembangan (disgenesis tiroid) merupakan 90% dari bayi yang terdeteksi
hipotiroidisme. Pada sekitar sepertiga bayi tidak ditemukan adanya sisa jaringan tiroid
(aplasia), sedangkan duapertiga lainnya jaringan tiroid yang tidak sempurna ditemukan
pada lokasi ektopik, dari dasar lidah (tiroid lidah) sampai posisi normalnya di leher.
Kebanyakan bayi dengan hipotiroidisme kongenital pada saat lahir tidak bergejala
walaupun ada agenesis total kelenjar tiroid. Situasi ini dianggap berasal dari perpindahan
transplasenta sejumlah sedang tiroksin ibu (T4) yang memberikan kadar janin 25-50%
normal pada saat lahir. Kadar T4 serum yang rendah ini dan secara bersamaan kadar TSH
meningkat memungkinkan pendeteksian neonatus dengan hipotiroid.
Jaringan tiroid ektopik (lidah, bawah lidah, subhioid)dapat memberikan jumlah hormon
tiroid yang cukup selama bertahun-tahun atau dapat gagal pada masa anak-anak. Anak
yang terkena biasanya datang karena tumbuh massa pada dasar lidah atau pada linea
mediana leher, biasanya setinggi hioid. Kadang-kadang disertai dengan kista duktus
tiroglossus. Pengambilan secara bedah jaringan tiroid ektopik dari individu eutiroid dapat
mengakibatkan hipotiroidisme karena tidak memiliki jaringan tiroid yang lain.
 Antibodi Penyekat-Reseptor Tirotropin (TRBAb)
TRBAb dahulu disebut penghambat imunoglobulin pengikat tiroid (TBII). Penyebab
hipotiroidisme kongenital sementara yang tidak biasa adalah antibodi ibu yang lewat
secara transplasenta yang menghambat pengikatan TSH pada reseptornya pada neonatus.
Frekuensinya adalah 1 dalam 50.000-100.000 bayi. Harus dicurigai adanya riwayat
penyakit tiroid autoimun ibu termasuk tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves,
hipotiroidisme pada terapi penggantian, ng hipotiroidisme kongenital berulang yang
bersifat sementara pada saudara kandung berikutnya. Diagnosis yang benar dalam kasus
ini adalah mencegah pengobatan berkepanjangan yang tidak perlu, waspada klinis
terhadap kemungkinan berulang pada kehamilan berikutnya, dan menawarkan prognosis
yang baik pada orang tua.

 Sintesis Tiroksin yang Kurang Sempurna


Berbagai defek pada biosintesis hormon tiroid dapat mengakibatkan hipotiroidisme
kongenital, dan bila defeknya tidak sempurna akan terjadi kompensasi dan mulainya
hipotiroidisme dapat terlambat selama beberapa tahun. Defek ini ditentukan secara
genetik dan dipindahkan dengan cara autosom resesif.
 Radioyodium
Hipotiroidisme telah dilaporkan akibat dari pemberian radioyodium secara tidak sengaja
selama kehamilan untuk pengobatan kanker tiroid atau hipertiroidism. Pemberian yodium
radioaktif pada wanita yang sedang menyusui juga terkontraindikasi karena dengan
mudah dieksresikan dalam susu.
 Defisiensi Tirotropin
Defisiensi TSH dan hipotiroidisme dapat terjadi pada keadaan apapun yang terkait
dengan defek perkembangan kelenjar pituitaria atau hipotalamus. Lebih sering pada
keadaan ini, defisiensi TSH akibat defisiensi hormon pelepas tiroropin (TRH). Mayoritas
bayi yang terkena memiliki defisiensi kelenjar pituitaria multipel dan datang dengan
hipoglikemi, ikterus persisten, dan mikropenis bersama dengan displasia septo-optik,
celah bibir linea mediana, hipoplasia wajah tengah, dan anomali wajah linea mediana
yang lain.
 Ketidaktanggapan Hormon Tirotropin
Hipotiroidisme kongenital ringan telah dideteksi pada bayi baru lahir yang selanjutnya
terbukti menderita pseudohipoparatiroidisme tipe Ia. Penyebab molekular resistensi
terhadap TSH pada penderita ini adalah gangguan menyeluruh aktivasi cAMP yang
disebabkan oleh defisiensi genetik subunit α guanin nukleotid pengatur protein. Keadaan
ketidaktanggapan TSH murni yang telah dideteksi, yaitu kadar T4 serum rendah, kadar
TSH serum dengan radioimmunoassay dan bioassay meningkat, dan tidak ada respon
terhadap pemberian TSH eksogen.
 Ketidaktanggapan Hormon Tiroid
Semakin bertambah jumlah penderita yang ditemukan yang menderita resistensi terhadap
kerja endogen dan eksogen T4 dan T3. Kebanyakan penderita menderita gondok, dan kadar
T4, T3, T4 bebas, dan T3 bebas meningkat. Ketidaktanggapan ini dapat bervariasi di antara
jaringan. Mungkin ada tanda klinis hipotiroidisme yang tidak terlihat, termasuk retardasi
mental, retardasi pertumbuhan, dan maturasi skeleton terlambat ringan serta satu
manifestasi neurologis yaitu peningkatan hubungan gangguan hiperaktivitas defisit
perhatian.
 Penyebab Lain Hipotiroid (Obat)
Hipotiroidisme kongenital dapat merupakan akibat dari paparan janin terhadap yodium
atau obat antitiroid yang berlebihan. Keadaan ini bersifat sementara dan tidak boleh
keliru dengan bentuk-bentuk hipotiroidisme lain. Pada neonatus, penggunaan antiseptik
mengandung yodium topikal pada kamar perawatan anak dan oleh ahli bedah juga dapat
menyebabkan hipotiroidisme kongenital sementara, terutama pada bayi dengan BBLR.
Sedangkan pada anak yang lebih besar, sumber yodium biasanya dalam sediaan paten
yang digunakan untuk mengobati asthma.

D. Patofisiologi

Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau


gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid.
Sintesis hormon tiroid diatur sebagai berikut :
 Hipotalamus membuat “thyrotropin releasing hormone (TRH)” yang
merangsang hipofisis anterior.
 Hipofisis anterior mensintesis thyrotropin (thyroid stimulating hormone =
TSH) yang merangsang kelenjar tiroid.
 Kelenjar tiroid mensintesis hormone tiroid (triiodothyronin = T3 dan
tetraiodothyronin = T4 = thyroxin) yang merangsang metabolisme jaringan
yang meliputi : konsumsi oksigen, produksi panas tubuh, fungsi syaraf,
metabolisme protrein, karbohidrat, lemak, dan vitamin-vitamin, serta kerja
daripada hormon-hormon lain.

E. Manifestasi Klinis

Hipertiroid mempunyai tanda dan gejala yang bervariasi yaitu :


- Banyak keringat - Denyut nadi cepat, seringkali
- Tidak tahan panas >100x/menit
- Sering BAB, kadang diare - Berat badan turun, meskipun
- Jari tangan gementar (tremor) banyak makan rasa capai
- Nervus, tegang, gelisah, - Otot lemas, terutama lengan
cemas, mudah tersinggung atas dan paha
- Jantung berdebar cepat - Rambut rontok
- Haid menjadi tidak teratur - Kulit halus dan tipis
- Bola mata menonjol dapat - Pikiran sukar konsentrasi
disertai dengan penglihatan ganda - Kehamilan sering berakhir
- Denyut nadi tidak teratur dengan keguguran
terutama pada usia diatas 60 th - Terjadi perubahan pada mata
- Tekanan darah meningkat bertambahnya pembentukan air mata,
iritasi dan peka terhadap cahaya

F. Diagnosis
Anamnesis :
o Apakah berasal dari daerah gondok endemik?
o Struma pada ibu. Apakah ibu diberi KI, PTU waktu hamil?
o Adakah keluarga yang struma?
o Perkembangan anak.
Gejala klinis :
Dicurigai adanya hipotiroid bila skor Apgar hipotiroid kongenital > 5; tetapi tidak
adanya gejala atau tanda yang tampak, tidak menyingkirkan kemungkinan
hipotiroid kongenital.

Tabel : Skor Apgar pada hipotiroid kongenital

Gejala klinis Skore

Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15

Laboratorium :
o Pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH dilakukan untuk
memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4 rendah
disertai TSH meningkat maka diagnosis sudah dapat
ditegakkan.
o Pemeriksaan darah perifer lengkap, air kemih, tinja, kolesterol
serum (biasanya meningkat pada anak > 2 tahun).
o Apabila ibu dicurigai menderita hipotiroid maka bayi perlu
diperiksa antibodi antitiroid. Kadar TBG diperiksa bila ada
dugaan defisiensi TBG yaitu bila dengan pengobatan hormon
tiroid tidak ada respon.

Results inResults in
Name Normal Value
Hypothyroidism Hyperthyroidism
Thyroid Stimulating 0.3 – 5.0µU/mL or
High Low
Hormone (TSH) 0.3 – 5.0 mU/L
Total T4 5 – 11µg/dL or
Low High
Immunoassay 64 – 142 nmol/L

Free T4 Index 6.5 – 12.5 Low High

Total T3 95 – 190 ng/dL or


Normal or Low High
Immunoassay 1.5 – 2.9 nmol/L
Free T3 Index 20 – 63 Normal or Low High

Radiologis :
 USG atau CT scan tiroid.

 Tiroid scintigrafi, membantu memperjelas penyebab yang


mendasari bayi dengan hipotiroidisme kongenital. Pasien
meminum radioaktif yodium atau technetium dan ditunggu
hingga substansi tersebut ada pada kelenjar tiroid. Jika tiroid
berfungsi maka akan terlihat level penyerapan yang sama pada
seluruh kelenjar tiroid. Bila ada aktivitas berlebih akan terlihat
daerah berwarana putih. Sedangkan area yang kurang aktif
akan terlihat lebih gelap.
 Umur tulang (bone age), adanya retardasi perkembangan
tulang misalnya disgenesis epifise atau deformitas veterbra.
 X-foto tengkorak, menunjukkan adanya fontanella besar dan
sutura yang melebar, tulang antar sutura (wormian) biasanya
ada, terlihatnya sella tursika yang membesar dan bulat, dan
mungkin terlihat adanya erosi dan penipisan.

G. Penatalaksanaan
Hormon tiroid
Obat pilihan adalah Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.
1. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid ada, diberikan dosis seperti tabel
berikut :

Umur Dosis µg/kg BB/hari

0-3 bulan 10-15

3-6 bulan 8-10

6-12 bulan 6-8

1-5 tahun 5-6

2-12 tahun 4-5

> 12 tahun 2-3


Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal.
2. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan
therapeutic trial sampai usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-
3 minggu; bila ada perbaikan klinis, dosis dapat ditingkatkan bertahap atau
dengan dosis pemberian + 100 μg/m2/hari. Penyesuaian dosis tiroksin
berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T 3, T4, dan TSH yang dapat
berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
3. Penundaan atau keterlambatan pengobatan akan meningkatkan risiko
komplikasi
4. Monitoring pengobatan harus dilakukan setiap bulan pada tahun pertama
dan selanjutnya setiap 2-3 bulan
5. Pemantauan tumbuh kembang yang optimal namun hindari overtreatment
6. Kasus transien hipotiroid kongenital boleh tidak diobati, namun jika
penurunan T4 dan peningkatan TSH menetap harus segera diobati.

H. Komplikasi
- Gondok
Stimulasi terus menerus agar tiroid mengeluarkan hormon, dapat
menyebabkan kelenjar membesar. Gondok dapat mengganggu pernapasan
dan saat menelan makanan.
- Gangguan jantung
Hipertiroid dapat meningkatkan kadar kolestrol, mengganggu fungsi
jantung, pembesaran jantung dan gagal jantung.
- Gangguan mental
Misalnya depresi.
- Peripheral neuropathy
Merusak saraf perifer, yaitu saraf yang membawa informasi dari otak dan
saraf tulang belakang ke seluruh tubuh.
- Myxedema
Gejalanya adalah sensitiv terhadap suhu dingin, mengantuk, sangat lesu dan
pingsan. Pemicu myxedema coma adalah sedativ, infeksi dan stress.
- Infertilitas
Kadar hormon tiroid yang terlalu rendah dapat menyebabkan gangguan pada
ovulasi.
- Cacat lahir
Mengalami gangguan mental maupun fisik.

I. Prognosis
Diagnosis seawal mungkin dan terapi yang adekuat akan memberikan hasil
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis in a Man with
Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of Medical Case Reports 2011, 5:277
Bettendorf M. Thyroid disorders in children from birth to adolescence. Eur J Nucl Med.
2002
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology. Jakarta:
Sagung Seto.
Digeorge, A. Hipotiroidisme. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Jakarta :
EGC. 2000
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC
Harrison, Tinsley R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition.
United States of America: McGraw-Hill Companies.
Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T., 2011.
Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal 3 November 2014)
Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical Hyperthyroidism.
International Journal of Endocrinology and Metabolism April 2012; 10(2): 490-496
Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007. Evidence-Based
Endocrinology.
Rose, S. R. Update Newborn Screening and Therapy for Congenital Hypothyroidism.
Off. J of AAP. Pediatrics. 2006
Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia S., Pita
W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Dalam.
Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2


MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
PRURITUS, EKSEMA & PSORIASIS

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psoriasis merupakan sejenis penyakit kulit yang penderitanya mengalami proses
pergantian kulit yang terlalu cepat. Kemunculan penyakit ini terkadang untuk jangka
waktu lama atau timbul/hilang. Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal
yang biasanya berlangsung selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit
pada penderita psoriasis berlangsung secara cepat yaitu sekitar 2–4 hari, (bahkan bisa
terjadi lebih cepat) pergantian sel kulit yang banyak dan menebal.
Psoriasis dapat dijumpai di seluruh belahan dunia dengan angka kesakitan
(insidens rate)yang berbeda. Segi umur, Psoriasis dapat mengenai semua usia, namun
biasanya lebih kerap dijumpai pada dewasa.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran yang
nyata tentang penyakit psoriasis dan tentang pelaksanaan Askep pada klien dengan
psoriasis dengan menggunakan metode keperawatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Psoriasis adalah suatu penyakit peradangan kronis pada kulit dimana penderitanya
mengalami proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Penyakit ini secara klinis sifatnya
tidak mengancam jiwa dan tidak menular tetapi karena timbulnya dapat terjadi pada
bagian tubuh mana saja sehingga dapat menurunkan kualitas hidup seseorang bila tidak
dirawat dengan baik. (Effendy, 2005)
Psoriasis penyakit kulit kronik residif dengan lesi yang khas berupa bercak-bercak
eritema berbatas tegas di tutupi oleh skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih
mengkilat.(Siregar, 2005).

2. kulit
Kulit dalah bagian tubuh paling luar. Segala kotoran, sinar matahari, asap
kendaraan yang menempel, akan berpengaruh. Kulit terdiri atas tiga bagian utama, yaitu
epidermis, dermis, dan hipodermis. Epidermis terdiri dari stratum korneum yang kaya
akan keratin, stratum lucidum, stratum granulosum yang kaya akan keratohialin, stratum
spinosum dan stratum basal yang mitotik. Dermis terdiri dari serabut-serabut penunjang
antara lain kolagen dan elastin. Sedangkan hipodermis terdiri dari sel-sel lemak, ujung
saraf tepi, pembuluh darah dan pembuluh getah bening. pada kesehatan kulit.

Gambar 2.1 Struktur kulit


Epidermis tersusun atas lapisan tanduk (lapisan korneum) dan lapisan Malpighi.
Lapisan korneum merupakan lapisan kulit mati, yang dapat mengelupas dan digantikan
oleh sel-sel baru. Lapisan Malpighi terdiri atas lapisan spinosum dan lapisan
germinativum. Lapisan spinosum berfungsi menahan gesekan dari luar. Lapisan
germinativum mengandung sel-sel yang aktif membelah diri, mengantikan lapisan sel-sel
pada lapisan korneum. Lapisan Malpighi mengandung pigmen melanin yang memberi
warna pada kulit.
Lapisan dermis ini mengandung pembuluh darah, akar rambut, ujung saraf,
kelenjar keringat, dan kelenjar minyak. Kelenjar keringat menghasilkan keringat.
Banyaknya keringat yang dikeluarkan dapat mencapai 2.000 ml setiap hai, tergantung
pada kebutuhan tubuh dan pengaturan suhu. Keringat mengandung air, garam, dan urea.
Fungsi lain sebagai alat ekskresi adalah sebgai organ penerima rangsangan, pelindung
terhadap kerusakan fisik, penyinaran, dan bibit penyakit, serta untuk pengaturan suhu
tubuh.
Pada suhu lingkungan tinggi (panas), kelenjar keringat menjadi aktif dan
pembuluh kapiler di kulit melebar. Melebarnya pembuluh kapiler akan memudahkan
proses pembuangan air dan sisa metabolisme. Aktifnya kelenjar keringat mengakibatkan
keluarnya keringat ke permukaan kulit dengan cara penguapan. Penguapan
mengakibatkan suhu di permukaan kulit turun sehingga kita tidak merasakan panas lagi.
Sebaliknya, saat suhu lingkungan rendah, kelenjar keringat tidak aktid dan pembuluh
kapiler di kulit menyempit. Pada keadaan ini darah tidak membuang sisa metabolisme
dan air, akibatnya penguapan sangat berkurang, sehingga suhu tubuh tetap dan tubuh
tidak mengalami kendinginan. Keluarnya keringat dikontrol oleh hipotalamus.

2.4 Diagnosis
 Diagnosis dilakukan berdasarkan penemuan lesi psoriasis pada pemeriksaan fisik.
 Riwayat medis pasien psoriasis seharusnya meliputi informasi mengenai onset dan
durasi lesi, adanya riwayat keluarga psoriasis, adanya faktor pemicu, adanya faktor
terapi antipsoriasis terdahulu (jika ada) yang dilengkapi dengan data efikasi serta
efek samping paparan terhadap senyawa kimia dan toksin, serta riwayat alergi
(makanan, obat, dan lingkungan).
 Biopsi kulit terhadap lesi juga berguna dalam mengkonfirmasi diagnosis.

2.5 Gejala Klinis


Kulit penderita psoriasis awalnya tampak seperti bintik merah yang makin
melebar dan ditumbuhi sisik lebar putih berlapis-lapis. Tumbuhnya tidak selalu di seluruh
bagian kulit tubuh, kadang-kadang hanya timbul pada tempat-tempat tertentu saja, karena
pergiliran sel-sel kulit bagian lainnya berjalan normal. Lesi kulit yang pertama kali timbul
biasanya pada tempat-tempat yang mudah terkena trauma antara lain : siku, lutut, sakrum,
kepala dan genitalia, berupa makula eritematus dengan batas jelas, tertutup skwama tebal
dan transparan yang lepas pada bagian tetapi dan lekat di bagian tengah. Skwama ini
selalu menunjukkan gambaran menebal yang konstan dan perlekatannya kendor.
Bentuk yang paling sering dijumpai adalah bentuk makula yaitu berupa bercak
yang dapat bulat atau oval dengan diameter satu sampai beberapa sentimeter. Bentuk ini
akan statis dalam jangka waktu yang lama yang apabila terjadi eksaserbasi dapat
memberikan perubahan bentuk klinik yang bermacam-macam antara lain : bentuk anular,
gyrata folikularis, gutara dan punktata. Psoriasis pada kulit kepala dapat menyerupai
ketombe. Penyakit psoriasis dapat disertai dengan atau tanpa rasa gatal. Kulit dapat
membaik seperti kulit normal lainnya setelah warna kemerahan, putih atau kehitaman
bekas psoriasis.
Pada beberapa jenis psoriasis, komplikasi yang diakibatkan dapat menjadi serius,
seperti pada psoriasis artropi yaitu psoriasis yang menyerang sendi, psoriasis bernanah
(psoriasis pustulosa) dan terakhir seluruh kulit akan menjadi merah disertai badan
menggigil (eritroderma). Selain itu psoriasis dapat menyerang kuku dimana permukaan
kuku menjadi keruh, kekuning-kuningan dan terdapat cekungan-cekungan/pitting atau
titik-titik/punctate, menebal dan terdapat subungual hiper keratosis sehingga kuku
terangkat dari dasarnya. Dalam hal ini kuku tangan lebih sering diserang daripada kuku
kaki. Psoriasis dapat menyerang mukosa dan sendi-sendi terutama sendi kecil.
Vlek phernomena (phenomena bercak lilin) yaitu bila skuama psoriasis dikerok
akan terlihat warna keruh seperti kerokan lilin. Koebner phernomena : bila pada kulit
yang masih normal terkenal trauma maka akan timbul lesi baru yang bersifat sama
dengan lesi yang telah ada. Sifat seperti ini juga ditemukan pada lichen planus, lichen
nitidus, veruka plana dan eksematoid dermatitis.

2.6 Etiologi
Penyebab psoriasis adalah auto imun, terdapat predisposisi genetik tetapi secara
pasti diturunkannya tidak diketahui. Psoriasis tampaknya merupakan suatu penyakit
keturunan dan juga berhubungan dengan kekebalan dan respon peradangan. Diketahui
faktor utama yang menunjang penyebab psoriasis adalah hiperplasia sel epidermis.
Penyelidikan sel kinetik menunjukkan bahwa pada psoriasis terjadi percepatan proliferasi
sel-sel epidermis serta siklus sel germinatum lebih cepat dibandingkan sel-sel pada kulit
normal. Pergantian epidermis hanya terjadi dalam 3-4 hari sedangkan turn over time
epidermis normalnya adalah 28-56 hari.. Faktor genetik sangat berperan, dimana bila
orang tuanya tidak menderita psoriasis, resiko untuk mendapat psoriasis 12 %, sedangkan
jika salah seorang orang tuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 34-39 %. Hal
lain yang menyokong adanya faktor genetik ialah bahwa psoriasis berkaitan dengan
HLA. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe : Psoriasis tipe I dengan awitan dini
bersifat familial dan berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57, dan Cw6 sedangkan
psoriasis tipe II dengan awitan lambat bersifat nonfamilial dan berhubungan dengan
HLA-B27 dan Cw2 dan Psoriasis Pustulosa berkorelasi dengan HLA-B27. Psoriasis
merupakan kelainan multifaktorial dimana faktor genetik dan lingkungan memegang
peranan penting.

Ada beberapa faktor – faktor yang dapat mencetuskan psoriasis, yaitu :


1. Trauma: Dilaporkan bahwa berbagai tipe trauma kulit dapat menimbulkan
psoriasis. Trauma pada epidermis maupun dermis seperti bekas garukan, bekas
luka, dll dapat menimbulkan lesi psoriasis pada tempat tersebut (fenomena
Koebner).
2. Infeksi: Sekitar 54 % anak-anak dilaporkan terjadi eksaserbasi psoriasis dalam 2-3
minggu setelah infeksi saluran pernapasan atas. Infeksi fokal yang mempunyai
hubungan erat dengan salah satu bentuk psoriasis ialah Psoriasis Gutata,
sedangkan hubungannya dengan Psoriasis Vulgaris tidak jelas dan pernah di
laporkan kasus-kasus Psoriasis Gutata yang sembuh setelah diadakan
tonsilektomi. Streptococcus pyogenes telah diisolasi sebanyak 26 % pada
Psoriasis Gutata Akut, 14 % pada pasien Psoriasis Plak, dan 16 % pada pasien
Psoriasis Kronik.
3. Stres : Dalam penyelidikan klinik, sekitar 30-40 % kasus terjadi perburukan oleh
karena stres. Stres bisa merangsang kekambuhan psoriasis dan cepat menjalar bila
kondisi pasien tidak stabil. Pada anak-anak, eksaserbasi yang dihubungkan
dengan stres terjadi lebih dari 90 %. Stres psikis merupakan faktor pencetus
utama. Tidak ditemukan gangguan kepribadian pada penderita psoriasis. Adanya
kemungkinan bahwa stres psikologis dapat mengakibatkan menurunnya
kemampuan menerima terapi dan dapat menyebabkan deteriorasi terutama pada
kasus berat.
4. Alkohol : Umumnya dipercaya bahwa alkohol berefek memperberat psoriasis
tetapi pendapat ini belum dikonfirmasi dan kepercayaan ini muncul berdasarkan
observasi pecandu alkohol yang menderita psoriasis. Peminum berat yang telah
sampai pada level yang membayakan kesehatan sering ditemukan pada pasien
psorasis berat laki-laki dibandingkan penderita psorasis lainnya. Kemungkinan
alkohol yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan pengobatan dan juga
adanya gejala stres menyebabkan parahnya penyakit kulit.
5. Faktor endokrin : Puncak insiden psoriasis pada waktu pubertas dan menopause.
Pada waktu kehamilan umumnya membaik, sedangkan pada masa pasca partus
memburuk.

2.7 Manifestasi Klinik


Lesi psoriasis seringkali asimptomatik, tetapi sekitar 25% pasien mengeluhkan
pruritus. Lesi dikarakterisasi dengan adanya garis yang luas, papula, dan plak eritema
dengan batas yang jelas yang seringkali dilapisi oleh sisik tipis berwarna perak-putih.
Lesi awal biasanya berupa papul kecil yang kemudian membesar dan membentuk
plak. Jika sisik tipis tersebut hilang, lesi yang berwarna salmon-pink akan terpapar,
mungkin disertai dengan pendarahan yang berasal dari kapiler dermal yang berada
dekat sekali dengan permukaan lesi psoriasis.
Psoriasis pada kulit kepala bermula dari pengelupasan yang menyebar pada
daerah kulit kepala yang eritema hingga plak yang menebal disertai eksudat,
mikroabses, serta fisura (retakan). Lesi pada leher, punggung, lengan dan kaki dapat
berupa lesi yang menyeluruh, menyebar, atau seperti tetesan atau berupa plak besar.
Lesi juga bisa didapati pada telapak tangan, telapak kaki, wajah serta alat genital.
Kuku yang diserang seringkali berbintik-bintik dan dihubungkan dengan material
keratotik di bawah lapisan kuku. Dapat terlihat warna kuning di bawah lempeng
kuku.
Psoriasis artritis merupakan suatu kesatuan yang berbeda secara klinik yang
mana terjadi baik lesi psoriasis maupun gejala yang menyerupai artritis inflamasi.
Umumnya bagian yang diserang meliputi pergelangan distal interfalangeal dan kuku
yang berdekatan, tetapi dapat juga meliputi lutut, siku, pergelangan tangan, serta
pergelangan kaki.

2.8 Patofisiologi
Mekanisme imun yang diperantai oleh sel memainkan peranan penting dalam
perkembangan psoriasis. Aktivasi imun yang diperantai oleh sel T inflamator pada kulit
membutuhkan dua sinyal sel T yang dimediasi oleh interaksi sel-sel antara permukaan
protein dengan APC (antigen-presenting cells), seperti sel dendritik dan makrofag. Sinyal
pertama merupakan interaksi antara reseptor sel T dengan antigen yang diperkenalkan
oleh APC, sedangkan sinyal kedua (disebut sebagai konstimulasi) diperantai oleh
berbagai interaksi permukaan.
Ketika sel T diaktivasi, sel tersebut bermigrasi dari nodus limfa dan aliran darah
ke kulit dan mensekresikan berbagai sitokin, terutama interferon-γ dan interleukin-2,
yang menginduksi perubahan patologis yang dikenal sebagai psoriasis. Keratinosit lokal
dan neutrofil menginduksi dihasilkannya sitokin lain, seperti TNF-α (tumor necrosis
factor-α) dan IL-8 (interleukin-8).
Sebagai akibat dari produksi dan aktivasi sel T patogenik, sel epidermal psoriasis
berproliferasi pada laju 7x lebih cepat daripada sel epidermal normal. Proliferasi sel
epidermal rupanya meningkat juga pada kulit normal pasien yang beresiko psoriasis.
Genetik merupakan komponen yang berpengaruh secara signifikan pada psoriasis.
Studi terhadap antigen histokompatibilitas pada pasien psoriasis mengindikasikan
hubungan yang signifikan, terutama HLA-Cw6, yakni psoriasis kemungkinan
berkembang 9-15 kali lebih tinggi apabila terdapat hubungan keluarga.
Iklim, stres, alkohol, merokok, infeksi, trauma, dan obat-obatan tertentu dapat
memperburuk psoriasis pada 80% pasien, sedangkan 90% pasien memburuk pada cuaca
dingin. Lesi psoriasis dapat berkembang pada daerah luka (seperti bekas menggosok,
pengambilan darah, gigitan serangga, operasi) pada kulit yang nampak normal (respon
Koebner). Litium karbonat, inhibitor ACE, tetrasiklin, serta interferon dilaporkan dapat
memperparah psoriasis.

2.9 Bentuk Klinis


Psoriasis dibagi menjadi bebrapa macam sesuai dengan gejala yang di timbulkan.
1. Plak Psoriasis ( Psoriasis Vulgaris )
Seorang penderita psoriasis vulgaris, umumnya terlihat kulit ketika sedang
terkelupas, merah dan mengelupas, kemudian mendapatkan menangis lesi dan skala pada
daerah yang terkena. Plak psoriasis, atau psoriasis vulgaris, merupakan jenis yang paling
umum terjadi pada hampir 80% pasien psoriasis. Hal ini ditandai dengan merah, keras,
patch mengangkat dan benjolan kecil yang memiliki tebal, plak putih dan bersisik
keperakan.
Para plak sering berkembang pada, kulit kepala punggung bawah, siku dan lutut.
Mereka juga dapat muncul pada lengan dada, dan kaki tetapi jarang pada wajah. Dalam
beberapa kasus, mereka berada di daerah terisolasi atau terpisah dari tubuh, atau bentuk
bersama.
Karena banyak kasus psoriasis dirugikan sebagai ketombe pada kulit kepala,
psoriasis kulit kepala diciptakan sebagai bentuk psoriasis plak. Psoriasis kulit kepala
memberikan ketidaknyamanan fisik seperti gatal tak tertahankan, dengan lesi mengangkat
dan membangun-up dari skala yang mengelupas seperti ketombe, membuat kulit kepala
meradang dan bengkak.

2. Psoriasis Gutata (Guttate)


Psoriasis Guttate (GUH-tate) adalah salah satu bentuk dari psoriasis yang mulai
timbul sejak waktu anak-anak atau remaja. kata guttate berasal dari bahasa Latin yang
berarti “jatuh”.(drop). Bentuk psoriasis ini menyerupai bintik-bintik merah kecil di kulit.
bercak (lesions) guttate biasanya timbul pada badan dan kaki. Bintik-bintik ini biasanya
tidak setebal atau bersisik seperti bercak-bercak (lesions) pada psoriasis plak.
Guttate psoriasis ditandai dengan bintik-bintik kecil dan merah atau benjolan pada
kulit yang muncul secara bersamaan sering setelah beberapa infeksi virus pernapasan atas
atau infeksi bakteri. Bintik-bintik yang hadir sebagian besar pada bagian dada dan
anggota badan. Kadang-kadang, mereka muncul di lengan dan kulit kepala juga. Guttate
psoriasis dikaitkan dengan infeksi radang tenggorokan, luka kulit dan cacar air. Dan
karena itu ditandai dengan kecil, air-drop-berbentuk luka, bentuk ini sering salah
didiagnosis sebagai ruam reaksi alergi atau ruam demam. psoriasis guttate ketika luka
tidak hanya biasa tetapi ditutupi oleh sisik halus yang sedikit lebih tipis dari plak yang
khas.

3. Psoriasis Inversa
Inversa psoriasis ditemukan pada ketiak, pangkal paha, dibawah payudara, dan di
lipatan-lipatan kulit di sekitar kemaluan dan panggul. Tipe psoriasis ini pertama kali
tampak sebagai bercak (lesions) yang sangat merah. Bercak itu bisa tampak licin dan
bersinar. Psoriasis Inverse sangat (particularly irritating) menganggu karena iritasi yang
disebabkan gosokan/garukan dan keringat karena lokasinya di lipatan-lipatan kulit dan
daerah sensitif tender).
Psoriasis inversa, atau psoriasis lentur adalah umum pada orang gemuk dan
diperparah oleh gesekan dan keringat. Kondisi ini berkembang di lipatan kulit yang
ditandai sebagai halus, bercak mengkilap kulit merah, meradang dan lembab dan bersisik
lesi terutama di ketiak, selangkangan, di bawah payudara dan di sekitar alat kelamin.
Hampir terjadi sampai 2 - 6% dari orang yang menderita psoriasis memiliki psoriasis
inversa.

4. Psoriasis Pustulosa/ Pustular


Kasus Psoriasis Pustular (PUHS-choo-ler) terutama banyak ditemui pada orang
dewasa. Karakteristik dari penderita PUHS-choo-ler ini adalah timbulnya Pustules putih
(blisters of noninfectious pus) yang dikelilingi oleh kulit merah. Pus ini meliputi
kumpulan dari sel darah putih yang bukan merupakan suatu infeksi dan juga tidak
menular. Bentuk psioriasis yang pada umumnya tidak biasa ini mempengaruhi lebih
sedikit dari 5 % dari seluruh penderita psoriasis. Psoriasis ini, bisa terkumpul dalam
daerah tertentu pada tubuh, contohnya, pada tangan dan kaki. Psoriasis Pustular juga
dapat ditemukan menutupi hampir seluruh tubuh, dengan kecenderungan membentuk
suatu siklus - reddening yang diikuti oleh pembentukan pustules dan scaling.
Psoriasis pustular berkembang terutama pada orang dewasa dan disebabkan oleh
mengambil beberapa obat seperti kortison dan lithium. Hal ini terjadi kepada orang-orang
yang telah diagnozed dengan infeksi strep throat dan wanita hamil. Hal ini ditandai
dengan benjolan diisi cairan pada kulit yang gatal dan merah. Patch kulit, ditaburi dengan
jerawat atau pustula, dapat menyebar di seluruh tubuh atau lokal hanya untuk kuku,
telapak, jari kaki tangan dan telapak kaki.

5. Psoriasis Eritroderma
Tipe psoriasis ini sangat berbahaya, seluruh kulit penderita menjadi merah matang
dan bersisik, fungsi perlindungan kulit hilang, sehingga penderita mudah terkena infeksi.
Hanya 1-2% dari orang yang menderita psoriasis memiliki psoriasis eritroderma. Jenis
psoriasis dapat dihitung sebagai yang terburuk dari semua. Hasilnya kemerahan luas,
gatal parah, nyeri dan ketidaknyamanan, dehidrasi dan demam. Ini biasanya dipicu oleh
kortikosteroid, kulit terbakar parah atau sensitivitas terhadap cahaya selama pengobatan
fototerapi, atau jenis lain dari psoriasis yang tidak terkontrol.
Jangan meremehkan psoriasis eritroderma karena infeksi yang fatal dan
mengancam nyawa juga. Hal ini dapat menutupi seluruh tubuh Anda dengan ruam merah
yang dapat mengupas gatal atau terbakar intens. Peradangan kulit yang ekstrim dan
pengelupasan kulit mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengatur suhu dan
melakukan fungsi lainnya penghalang normal.

6. Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi pada bentuk
ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.

7. Psoriasis Seboroik

Psoriasis seboroik merupakan kelainan kulit berupa perdangan superfisial dengan


papuloskuamosa yang kronik dengan tempat predileksi di daerah-daerah seboroik yakni
daerah yang kaya akan kelenhar sebasea, seperti pada kulit kepala, alis, kelopak mata,
naso labial, bibir, telinga, dada, axilla, umbilikus, selangkangan, dan glutea. Pada
dermatitis seboroik kelainan kulit yang berupa eritem, edema, serta skuama yang kering
atau berminyak dan berwarna kuning kecoklatan dalam berbagai ukuran disertai adanya
krusta.
Dermatitis seboroik disebabkan oleh adanya peningkatan produksi sebum pada
daerah kulit kepala dan daerah wajah yang terdapat banyak folikel sebasea. Meskipun,
demikian penyebab pasti dari dermatitis seborik belum diketahui tetapi seringkali
dihubungkan antara reaksi inflamasi pada kulit dengan Pityrosporum oval. Beberapa
faktor lain turut menjadi predisposisi sebagai pemicu dermatitis seboroik seperti faktor
genetic dan lingkungan, hormonal, kelainan imun dan neurologik.
Dermatitis seboroik paling sering terjadi pada dua puncak umur yakni pada
kelompok anak dan dewasa. Pada kelompok anak sering didapatkan pada 3 bulan pertama
kehidupan dan kelompok dewasa dalam decade keempat hingga ketujuh. Dermatitis
seboroik pada anak khusunya pada kelompok bayi, dapat sembuh spontan dalam usia 6
hingga 12 bulan, sementara dermatitis seboroik pada orang dewasa dapat bersifat kronik
dan membutuhkan perawatan seumur hidup.
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan
dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan agak
lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat seboroik.
8. Psoriasis Lain
A. Psoriasis kuku

Salah satu subtipe adalah psoriasis kuku, yang mempengaruhi satu


setengah aktif penderita psoriasis pustular. Psoriasis kuku mengacu pada
perubahan jari dan / atau kuku kaki yang disebabkan oleh penyakit. Karena rasa
sakit, Anda tidak dapat melakukan pekerjaan tangan yang jauh atau berjalan
sendiri bahkan untuk jarak pendek. Dalam kasus yang parah, di mana psoriasis
pustular dapat merusak kuku, kuku dapat rusak atau hilang secara permanen.
Psoriasis dari jari dan kuku dapat menyerupai kondisi lain seperti infeksi jamur
kronis atau radang kuku.

B. Psoriasis Artritis

Timbul dengan peradangan sendi, sehingga sendi terasa nyeri,


membengkak dan kaku, sama persis seperti gejala rematik. Pada tahap
ini, penderita harus segera ditolong agar sendi-sendinya tidak sampai
terjadi kropos.

BAB III
PENGOBATAN PSORIASIS

3.1 Terapi Non Farmakologi


Penyakit kronik seperti psoriasis tidak dapat sembuh total, pengobatan secara
farmakologi dilakukan untuk mengurangi gejala (rasa gatal, kemerahan) yang timbul
akibat psoriasis. Terapi Non Farmakologi dilakukan untuk mencegah kemungkinan
munculnya penyakit lain karena psoriasis seperti diabetes, depresi, dan penyakit jantung.
Orang dengan psoriasis disarankan untuk melakukan gaya hidup yang sehat seperti :
1) Seimbang antara aktivitas fisik reguler dan istirahat.
2) Menjaga berat badan yang ideal
3) Tidak merokok
4) Sebisa mungkin tidak mengkonsumsi alkohol, jika perlu mengkonsumsi minuman
beralkohol hanya boleh meminum dalam jumlah yang sedikit. Karena
mengkonsumsi banyak alkohol dapat memperburuk kondisi psoriasis. Yang dapat
berarti psoriasis tidak merespon baik terhadap beberapa pengobatan atau beberapa
obat tidak dapat digunakan.
5) Menghindari stress
6) Makan makanan yang sehat seperti buah dan sayur, menghindari makanan
berlemak.
Selain itu, orang dengan psoriasis juga sebisa mungkin menghindari faktor-faktor
pemicu yang diketahui dapat menimbulkan psoriasis pada dirinya. Untuk ini sebaiknya
menghubungi dokter karena pemicu psoriasis pada orang berbeda-beda.

3.2 Terapi Farmakologi


Terapi farmakologi pada penanganan psoriasis ddibagi menjadi 2 pengobatan
yaitu secara topical dan sistemik.
Pada penanganan topikal dibagi menjadi dua kelompok yaitu lini pertama yang
meliputi keratolik, kortikosteroid topikal dan analog vitamin D dan pengobatan topikal
lini kedua yang meliputi ter ( batubara), antralin, monografi antharalin.
Pada penanganan pengobatan sistemik sama dengan pengobatan okal yaitu di bagi
menjadi dua lini, namun dari kedua pengobatan ini ada juga hal lain yang dapat dilakukan
yaitu dengan melakukan terapi biologi, di bawah ini merupakan penjelasan dari masing-
masing pengobatan secara farmakologi yang isa dilakukan.
Tabel 3.1 regimen dan efek samping beberapa terapi topikal psoriasis
Regimen dan Efek Samping Beberapa Topikal Psoriasis
Terapi Regimen Efek Samping
Emolien Kurang lebih 4 x sehari Folikulitis, dermatitis alergi atau
Asam salisilat kontak iritan
Ter (batu bara) 2-3 x sehari Iritasi, reaksi salisilism (nausea,
muntah, tinitus atau hiperventilasi)
Kortikosteroid Gunakan di sore hari Iritasi, fotoreaksi, bau yang tidak
sehingga dapat terus enak, mewarnai kulit dan pakaian
melekat sepanjang malam
Kalsipotrien 2-4 x sehari Atropi jaringan lokal, degenerasi,
dan stria; penipisan epidermal;
erupsi menyerupai akne; infeksi
bakteri atau jamur pada kulit; efek
sistemik glukokortikoid
Anthralin 1-2 x kali/hari, tidak lebih Rasa terbakar dan perih (10%
dari 100 g/minggu. pasien), dermatitis kontak iritan,
Gunakan pada sore hari mewarnai kulit dan pakaian; iritasi
agar melekat sepanjang
malam, tetapi regimen
jangka pendek dapat
digunakan
Tazarotene 1 x perhari, biasanya di Gatal, terbakar, perih dan eritema
sore hari

3.2.1 Terapi Topikal Lini Pertama


1. Keratolik
 Asam salisilat merupakan salah satu senyawa keratolitik yang paling sering
digunakan. Senyawa tersebut menyebabkan kerusakan pada kohesi antar korneosit-
korneosit yang berada pada lapisan kulit pasien psoriasis yang keras dan abnormal.
Efek keratolitik tersebut meningkatkan penetrasi dan efikasi beberapa zat topikal
lain, seperti kortikosteroid.
 Obat ini tersedia dalam bentuk 2% hingga 10% gel atau losio dan digunakan 2-3
kali perhari.
 Asam salisilat menghasilkan iritasi lokal. Penggunaan pada area yang luas dan
inflamasi dapat menginduksi reaksi salisilism yang ditandai oleh gejala nausea,
muntah, tinitus atau hiperventilasi.
 Keratolitik – Agen keratolitik biasanya digunakan untuk menghilangkan
pengelupasan, menghaluskan kulit, dan mengurangi hiperkeratosis. Mekanisme
kerja asam salisilat, sebagai salah satu keratolitik yang biasa digunakan, ialah
mengganggu kohesi antara korneosit-korneosit pada lapisan kulit abnormal dan
pasien psoriasis. Secara khusus, asam salisilat bermanfaat pada area dimana
terdapat sisik yang tebal.
 Ketika diaplikasikan pada area inflamasi yang luas, asam salisilat dapat
menginduksi reaksi salisilism. Pada reaksi tersebut, terjadi nausea, muntah, tinitus,
dan hiperventilasi. Keracunan salisilat pada anak kecil berpotensi jauh lebih serius
dibandingkan apabila terjadi pada orang yang lebih tua sebab anak kecil beresiko
lebih besar mengalami metabolik asidosis. Kasus fatal mengenai keracunan salisilat
secara perkutan telah dilaporkan terjadi baik pada anak maupun dewasa.
 Efek keratolitik dari asam salisilat dapat meningkatkan penetrasi dan efikasi
beberapa agen topikal, seperti kortikosteroid. Asam salisilat, baik dalam bentuk gel
ataupun losio, biasanya digunakan 2 sampai 3 kali sehari dalam konsentrasi 2-10%.
 Kortikosteroid topikal dapat menghentikan sintesis dan mitosis DNA pada sel
epidermal dan diperkirakan menginhibisi fosfolipase A sehingga menurunkan
jumlah asam arakidonat, prostaglandin, dan leukotrien di kulit. Efek tersebut,
apabila digabungkan dengan vasokontriksi lokal, mengurangi eritema, pruritis dan
pengelupasan. Sebagai zat antipsoriasis, kortikosteroid topikal sangat baik apabila
digunakan bersamaan dengan produk yang secara spesifik berfungsi menormalkan
hiperproliferasi epidermal.
 Produk yang berpotensi rendah, seperti hidrokortison 1%, memiliki efek
antiinflamasi yang lemah dan merupakan sediaan yang paling aman untuk
penggunaan jangka panjang, untuk penggunaan pada wajah, daerah lain yang
mudah bergesekan, serta untuk bayi dan anak-anak kecil.
 Produk yang berpotensi medium dapat digunakan untuk dermatosis inflamasi yang
sedang. Produk tersebut dapat digunakan pada daerah wajah bagian lain yang
mudah bergesekan.
 Sediaan yang berpotensi tinggi khususnya digunakan sebagai alternatif untuk
kortikosteroid sistemik selama terapi lokal dapat dilakukan.
 Produk yang berpotensi sangat tinggi dapat digunakan untuk lesi psoriasis yang
tebal dan kronis, tetapi hanya untuk waktu yang singkat dan pada area permukaan
yang kecil.
 Salep merupakan formulasi yang paling efektif untuk psoriasis sebab sediaan
tersebut memiliki fase minyak yang oklusif yang memberikan efek hidrasi dan
meningkatkan penetrasi kortikosteroid ke kulit. Produk tersebut tidak cocok untuk
penggunaan di ketiak, selangkangan, atau daerah lain mudah bergesekan, tempat
dimana maserasi dan folikulitis dapat berkembang menjadi efek oklusif sekunder.
 Krim merupakan sediaan yang paling disukai oleh beberapa pasien sebab produk
tersebut dapat digunakan pada area yang bersentuhan meskipun kandungan minyak
yang rendah membuat krim lebih kering daripada salep.
 Kortikosteroid topikal digunakan 2-4 x sehari selama terapi jangka panjang.
 Efek samping meliputi atropi jaringan lokal, degenerasi kulit serta striae. Jika
dideteksi secara dini, efek samping tersebut dapat reversibel dan hilang. Penipisan
epidermis dapat menyebabkan kapiler tampak menggelembung (telangiectasias)
serta purpura. Telah dilaporkan adanya erupsi akneiform dan gejala menyerupai
infeksi kulit akibat bakteri atau jamur. Efek sistemik meliputi supresi dari
hipotalamus-pituitari-adrenal aksis, hiperglikemi dan berkembangnya gejala
cushingoid. Takifilaksis dan munculnya kembali lesi psoriasis setelah penghentian
terapi tiba-tiba dapat terjadi.

2. Kortikosteroid topikal
Indikasi :
Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan
disebabkan oleh infeksi, khususnya penyakit eksim, dermatitis kontak, gigitan serangga,
dan eksim skabies bersama-sama dengan obat skabies. Kortikosteroid menekan berbagai
komponen reaksi pada saat digunakan saja; kortikosteroid sama sekali tidak
menyembuhkan dan bila pengobatan dihentikan, kondisi semula mungkin muncul
kembali. Obat-obat ini diindikasikan untuk menghilangkan gejala dan penekanan tanda-
tanda penyakit bila cara lain seperti pemberian emolien tidak efektif.
Kortikosteroid topikal tidak berguna dalam pengobatan urtikaria dan
dikontraindikasikan untuk rosasea dan kondisi ulseratif karena kortikosteroid
memperburuk keadaan. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk sembarang gatal dan
tidak direkomendasikan untuk akne vulgaris.

Cara pakai:
Kortikosteroid sistemik atau topikal yang kuat sebaiknya dihindari atau diberikan
pada psoriasis hanya di bawah pengawasan dokter spesialis karena walaupun obat ini
dapat menekan psoriasis dalam jangka pendek, bisa timbul kekambuhan karena
penghentian obat, bahkan kadang memicu psoriasis postula yang hebat. Pemakaian
kortikosteroid topikal yang kuat pada psoriasis yang luas dapat menimbulkan efek
samping sistemik dan lokal. Cukup meresepkan kortikosteroid yang lebih lemah untuk
jangka singkat (2-4 minggu) untuk psoriasis fleksural dan wajah (catatan: pada wajah
jangan digunakan yang lebih kuat dari hidrokortison 1%). Pada kasus psoriasis kulit
kepala boleh menggunakan kortikosteroid yang lebih kuat, seperti betametason atau
fluosinonid.
Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan untuk
dermatosis yang sukar diatasi, seperti diskoid kronik lupus eritematosus, lichen simplex
chronicus, hypertrophic lichen planus, dan palmoplantar pustulosis. Kortikostreoid yang
kuat tidak boleh digunakan pada wajah dan fleksur kulit, tetapi kadang-kadang pada
keadaan tertentu, dokter spesialis meresepkannya untuk daerah tersebut dengan
pengawasan khusus. Bila pengobatan topikal gagal, injeksi kortikosteroid intralesi khusus
digunakan hanya pada kasus-kasus tertentu saja dengan lesi setempat, seperti parut
keloid, lichen planus hypertrofik atau alopecia localized areata.
Pada lesi perioral, krim hidrokortison 1% dapat digunakan dalam waktu tidak
lebih dari 7 hari untuk megatasi lesi radang yang tidak terinfeksi pada bibir dan kulit di
sekitar mulut. Salep atau krim hidrokortison dan mikonazol bermanfaat pada inflamasi
yang disertai infeksi oleh organisme yang peka, terutama pada awal pengobatan (sampai
sekitar 7 hari), misalnya keilitis angular. Organisme yang rentan terhadap mikonazol
adalah Candida sp dan beberapa bakteri gram positif, termasuk streptokukokus dan
stafilokokus.
Untuk pemakaian pada anak-anak, khususnya bayi, mereka sangat rentan terhadap
efek samping. Namun, jangan karena profil keamanan kortikosteroid topikal, anak-anak
menjadi tidak diobati. Tujuannya adalah untuk mengatasi kondisi sebaik mugkin;
pengobatan yang tidak memadai akan memperparah kondisi. Kortikosteroid lemah,
seperti salep hidrokortison 1% bermanfaat untuk mengobati ruam popok dan untuk eksim
atopik pada masa kanak-kanak. Kortikosteroid sedang sampai kuat cocok untuk eksim
atopik parah pada anggota badan, digunakan hanya 1-2 minggu. Bila kondisi membaik,
ganti ke sediaan yang kurang kuat. Pada keadaan kambuhan akut eksim atopik, cocok
digunakan sediaan kortikosteroid kuat dalam jangka pendek untuk mengendalikan
kondisi penyakit. Penggunaan harian terus-menerus tidak dianjurkan meskipun
kortikosteroid ringan, seperti hidrokortison 1% sebanding betametason 0,1% yang
digunakan sesekali. Untuk bayi di bawah 1 tahun, hidrokortison merupakan satu-satunya
kortikosteroid yang direkomendasikan penggunaannya. Kortikosteroid lain dengan
potensi lebih kuat dikontraindikasikan. Untuk anak usia di atas 1 tahun, kortikosteroid
topikal dengan potensi kuat-sedang sebaiknya digunakan dengan sangat hati-hati dan
hanya digunakan dalam jangka pendek (1-2 minggu). Kortikosteroid yang sangat poten
hanya dapat digunakan berdasarkan konsultasi dengan dokter spesialis kulit.
Kortikosteroid topikal untuk anak digunakan pada kondisi sebagai berikut:
a. Gigitan dan sengata serangga – kortikosteroid dengan potensi ringan, seperti krim
hidrokortison 1%.
b. Ruam kulit yang disertai inflamasi berat akibat penggunaan popok pada bayi di
atas 1 bulan – kortikosteroid dengan potensi ringan, seperti hidrokortison 0,5 atau
1% selama 5-7 hari (dikombinasikan dengan antimikroba jika terjadi infeksi).
c. Eksim ringan hingga sedang, fleksural, dan eksim wajah atau psoriasis –
kortikosteroid ringan, seperti hidrokortison 1%.
d. Eksim berat di sekitar badan dan lengan pada anak usia di atas 1 tahun –
kortikosteroid dengan potensi kuat atau kuat-sedang selama hanya 1-2 minggu,
segera ganti ke sediaan dengan potensi lebih ringan pada saat kondisi membaik.
e. Eksim di sekitar area kulit yang mengeras, misal telapak kaki, - kortikosteroid
topikal dengan potensi kuat dalam kombinasi dengan urea atau asam salisilat
untuk meningkatkan penetrasi kortikosteroid.

Pilihan formulasi :
Yang biasa digunakan adalah krim larut air untuk lesi yang lembab atau eksudatif
dan salep umumnya dipilih untuk lesi yang kering, bersisik, atau bila efek oklusif
diperlukan. Losio mungkin berguna bila aplikasi minimal dibutuhkan untuk daerah yang
luas atau untuk pengobatan luka eksudatif. Perban oklusif polythene meningkatkan
absorpsi, tetapi juga meningkatkan efek samping; karena itu, dipakai hanya di bawah
pengawasan dalam jangka waktu pendek untuk daerah kulit yang sangat tebal, seperti
telapak tangan dan kaki.
Penambahan urea atau asam salisilat meningkatkan penetrasi dari kortikosteroid.
Sediaan yang mengandung kortikosteroid paling ringan dengan dosis efektif terendah
merupakan salah satu pilihan; sedapat mungkin pengenceran harus dihindari.

Peringatan :
Hindari penggunaan jangka panjang kortikosteroid topikal pada wajah karena
dapat meninggalkan bekas luka dan hindarkan dari mata. Pada anak-anak hindari
penggunaan jangka panjang dan penggunaan kortikosteroid kuat atau sangat kuat; apabila
digunakan, harus di bawah pengawasan dokter spesialis. Peringatan keras juga ditujukan
pada dermatosis pada bayi, termasuk ruam popok, pengobatan sebaiknya dibatasi 5-7
hari. Pada psoriasis penggunaan kortikosteroid kuat dan sangat kuat pada psoriasis dapat
menyebabkan penyakit muncul lagi, timbulnya psoriasis pustular yang merata dan
toksisitas lokal dan sistemik.

Kontraindikasi :
Lesi kulit akibat bakteri, jamur atau virus yang tidak diobati; jerawat rosasea dan
perioral dermatitis; kortikosteroid kuat dikontraindikasikan untuk plak psoriasis dengan
sebaran yang luas.

Efek Samping :
Kelompok kortikosteroid sedang dan lemah jarang menyebabkan efek samping.
Semakin kuat sediaannya, semakin perlu untuk berhati-hati karena absorbsi dari kulit
dapat menyebabkan penekanan adrenal dan Cushing syndrome tergantung dari daerah
tubuh yang diobati dan lamanya pengobatan. Perlu diingat bahwa absorbsi terbanyak
terjadi dari kulit yang tipis, permukaan kasar, serta daerah lipatan kulit dan absorpsi
ditingkatkan oleh adanya oklusi.
Efek samping lokal meliputi :
 Penyebaran dan perburukan infeksi yang tidak diobati
 Penipisan kulit yang belum tentu pulih setelah pengobatan dihentikan karena
strukur asli mungkin tak akan kembali
 Striae atrofis yang menetap
 Dermatitis kontak
 Dermatitis perioral
 Jerawat, perburukan jerawat atau rosasea
 Depigmentasi ringan yang mungkin hanya sementara, tetapi bisa menetap sebagai
bercak-bercak putih
 Hipertrikosis

Catatan :
Untuk meminimalkan efek samping kortikosteroid topikal, pemakaian sediaan ini
hendaknya dioleskan tipis saja pada daerah yang akan diobati dan gunakan kortikosteroid
yang paling kecil kekuatannya, tapi efektif.

Frekuensi aplikasi :
Sediaan kortikosteroid sebaiknya diberikan sekali atau dua kali sehari saja. Tidak
perlu mengoleskan obat ini lebih sering. Kortikosteroid topikal diratakan secara tipis pada
kulit. Panjang/ banyaknya salep/ krim yang dikeluarkan dari tube dapat digunakan untuk
menentukan banyaknya obat yang dioleskan pada kulit.
Mencampur sediaan topikal pada kulit sedapat mungkin dihindari; sekurang-
kurangnya sebaiknya berselang 30 menit antara pemakaian sediaan yang berbeda.
Penggunaan emolien sesaat sebelum pemakaian kortikosteroid adalah tidak tepat.

Tabel 3.2 Produk Kortikosteroid Untuk Penanganan Psoriasis


Obat Indikasi Sediaan Beredar
Aklometason Kelainan radang kulit, seperti Aloderm®, Armoclom®,
Dipropionat eksim Cloderm®, Perderm®
Kelainan radang kulit berat,
Beklametason seperti eksim yang tidak memberi Bernocort®, Cleniderm®,
Dipropionat respon pada kortikosteroid yang Propaderm®
kurang kuat
Betametason Psoriasis, lihat di atas Beprosone®, Diprosone OV®,
Dipropionat Mesonta®, Oviskin®,
Scanderma®
Radang akut yang berat, kelainan Denomix®, Esperson®,
Desoksimetason
kulit alergis dan kronis; psoriasis Dercarson®, Topcort®
Radang kulit yang hebat seperti
eksim yang tidak menunjukkan
respon dengan kortikosteroid
Nerilon®, Nerisona®,
Diflukortolon valerat kurang kuat, kekuatan tinggi
Valeron®, Travacort®
(0,3%), pengobatan jangka
pendek untuk ekserbasi yang
hebat; psoriasis
Kelainan radang kulit yang berat
seperti eksim yang tidak Bethametason®, Allphacort®,
Ester betametason menunjukkan respon pada Betason®, Fucicort®,
kortikosteroid yang kurang kuat; Nisagon®
psoriasis
Kelainan radang kulit yang berat
seperti eksim yang tidak
Fluokortolon menunjukkan respon pada Ultralan®, Utrapoct N®
kortikosteroid yang kurang kuat;
psoriasis
Kelainan radang kulit seperti Bravoderm®, Cinolon®,
Flusinolon asetonid
eksim, psoriasis Dermasolon®
Kelainan radang seperti
dermatitis dan eksim yang tidak
Flutikason propionat menunjukkan respon pada Halog®, Halog Solution®
kortikosteroid yang kurang kuat;
psoriasis
Radang kulit ringan sepeti eksim, Hydrocortisone®, Berlicort®,
Hidrokortison
ruam popok Kemicort®, Omnicort®
Pengobatan jangka pendek hanya
Clobetasol®, Kloderma®,
Klobetasol propionat untuk kelainan kulit inflamasi
Primaderm®
hebat
Kelainan radang seperti eksim
Triamsinolon yang tidak menunjukkan respon Bufacomb®, Kenacort®,
asetonid pada kortikosteroid yang kurang Neolone®, New Kenacomb®
kuat; psoriasis

3. Analog vitamin D
 Vitamin D dan analognya menginhibisi diferensiasi dan proliferasi keratinosit serta
memiliki efek antiinflamasi dengan mengurangi IL-8 dan IL-2. Penggunaan vitamin
D itu sendiri dibatasi sebab adanya kecenderungan untuk menyebabkan
hiperkalsemia.
 Kalsipotrien (Dovonex) merupakan analog vitamin D sintetik yang digunakan untuk
plak psoriasis yang ringan hingga sedang. Perbaikan biasanya nampak dalam 2
minggu setelah terapi dan kurang lebih 70% pasien menunjukkan perbaikan yang
signifikan setelah 8 minggu. Efek samping terjadi pada kurang lebih 10% pasien dan
meliputi lesi dan sensasi terbakar serta pedih di sekeliling lesi. Kalsipotrien 0,005%
baik dalam krim, salep atau larutan digunakan 1-2 kali sehari, tetapi tidak lebih dari
100 gram/minggu.
 Calcitriol dan Tacalcitol merupakan derivat vitamin D yang lain.
 Kalsipotriol, Kalsitriol dan Takalsitol biasa digunakan untuk pengobatan plak
psoriasis. Penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien dengan kelainan
metabolisme kalsium dan digunakan dengan hati-hati pada psoriasis eksfoliatik
eritrodermik atau pustular yang tergeneralisasi (peningkatan resiko hiperkalsemia).
Reaksi kulit lokal (gatal, eritema, rasa terbakar, parestesia dan dermatitis) biasa
terjadi. Tangan sebaiknya dicuci dengan bersih setelah penggunaan untuk
menghindari perpindahan ke lokasi tubuh yang lain. Perburukan psoriasis juga
dilaporkan.
 Contoh sediaan Kalsipotriol : Daivonex®, Daivobet®.

4. Tazaroten
 Tazaroten (Tazorac) ialah retinoid sintetik yang dihidrolisis menjadi metabolit aktif,
yakni asam tazarotenat, yang kemudian memodulasi proliferasi dan diferensiasi
keratinosit.
 Tersedia sebagai gel dan krim 0,05% atau 0,1% dan digunakan sekali sehari
(biasanya di sore hari) untuk plak psoriasis yang ringan hingga sedang. Gel 0,1%
sedikit lebih efektif, tetapi gel 0,05% lebih sedikit menyebabkan iritasi.
 Efek samping yang terjadi bergantung pada dosis dan frekuensi; meliputi pruritis,
rasa terbakar, pedihm dan eritema dengan tingkat keparahan yang ringan hingga
sedang.
 Penggunaan gel pada kulit yang eksim atau lebih dari 20% area permukaan tubuh
tidak direkomendasikan sebab dapat memicu absorpsi sistemik secara ekstensif.
 Tazaroten sering digunakan bersamaan dengan kortikosteroid topikal untuk
menurunkan efek samping lokal serta meningkatkan efikasi.

3.2.2. Terapi Topikal Lini Kedua

1. TER (batu bara)


 Ter (batu bara) mengandung banyak senyawa hidrokarbon yang terbentuk dari
distilasi bitumen batu bara. Sinar UV-B (ultraviolet B) mengaktivasi fotoaduksi
antara ter batu bara dengan epidermal DNA serta menginhibisi sintesis DNA.
Penormalan laju replikasi epidermal dapat mengurangi peningkatan jumlah plak.
 Formulasi ter (batu bara) tersedia dalam bentuk losion, krim, shampoo, salep, gel,
dan larutan dengan konsentrasi 2-5%. Sediaan tersebut biasanya diaplikasikan secara
langsung di atas lesi pada sore hari dan dibiarkan sepanjang malam. Dapat juga
digunakan dalam air mandi.
 Terapi dengan ter (batu bara) merupakan penanganan yang efektif, tetapi memiliki
beberapa kelemahan, seperti memakan banyak waktu, menyebabkan iritasi lokal,
memiliki bau yang kurang sedap, mewarnai kulit dan pakaian, serta meningkatkan
sensitivitas terhadap sinar UV (termasuk matahari).
 Risiko karsinogenisitas rendah, tetapi terdapat kasus yang mengindikasikan
peningkatan laju kanker kulit nonkarsinoma pada pasien yang terpapar ter (batu bara)
dan sinar UV secara kronik.

2. Antralin
 Antralin memiliki aktivitas antiproliferasi terhadap keratinosit, menginhibisi sintesis
DNA dengan menyisipkan dirinya diantara helai DNA.
 Karena Antralin memberikan efek klinik pada konsentrasi selular yang rendah,
terapi biasanya bermula dari konsentrasi rendah (0,1-0,25%) dengan peningkatan
secara bertahap ke konsentrasi yang lebih tinggi, yakni 0,5-1%. Formulasi krim dan
salep biasanya digunakan pada sore hari dan dibiarkan semalaman.
 Sebagai alternatif, terapi antralin kontak singkat (SCAT = short-contact antralin
therapy) dengan durasi penggunaan selama 10-20 menit pada konsentrasi yang lebih
tinggi (1-5%) dalam pembawa yang larut air merupakan pilihan yang efektif dengan
efek samping lokal yang lebih kecil.
 Produk antralin harus diaplikasikan hanya pada area yang terinfeksi sebab kontak
dengan bagian kulit yang tidak sakit dapat berdampak pada iritasi dan pewarnaan
yang berlebihan yang biasanya dapat hilang dalam 1 hingga 2 minggu setelah
penghentian terapi. Pewarnaan plak, pada dasarnya, mengindikasikan respon postif
sebab perombakan sel telah cukup diperlambat untuk mengurangi noda/pewarnaan
tersebut.
 Inflamasi, iritasi dan pewarnaan kulit serta pakaian sering menjadi efek samping
yang membatasi penggunaan terapi.

Table 3.3 Monografi Antralin


Indikasi Psoriasis kronik
Dosis administrasi Disarankan memulai terapi antraslin dengan konsentrasi paling
kecil selama minimal 1 minggu. Untuk aplikasi pada kulit :
oleskan hanya pada area yang terkena psoriasis, gosok perlahan
hingga terabsorbsi. Untuk aplikasi pada kulit kepala : sisir rambut
untuk menghilangkan kulit yang mengelupas, oleskan pada lesi.
Pada akhir terapi, bilas rambut dan kulit kepala untuk
menghilangkan kelebihan krim.
Mekanisme kerja Antralin mengurangi laju mitosis berdasarkan inhibisi terhadap
sintesis DNA. Selain itu, antralin mampu menghentikan proses
oksidasi metabolik sehingga memperlambat mitosis epidermal.
Kontraindikasi Hipersensitivitas; penggunaan di wajah; erupsi psoriasis yang akut
atau inflamasi aktif.
Peringatan Hanya untuk pengguanaan eksternal; gangguan terhadap fungsi
liver/ginjal; reaksi hipersensitivitas; karsinogenesitas berdasarkan
studi pada mencit; untuk kehamilan berkategori C.
Hati-hati Dapat mewarnai pakaian
Interaksi obat Kortikosteroid topikal : kortikosteroid menyebabkan rebound
psoriasis.
Efek samping Sangat sedikit yang melaporkan adanya reaksi kontak alergi. Iritasi
sementara pada area kulit yang tidak terkena psoriasis. Pewarnaan
rambut, kuku dan pakaian mungkin terjadi.
Sediaan Beredar Anthramed®

3.2.3 Terapi Sistemik Lini Pertama


1. Acitretin
 Acitretin (Soriatane) merupakan derivat asam retinoat dan metabolit aktif retinoat.
Senyawa ini diindikasikan untuk psoriasis yang parah, meliputi tipe eritrodermik dan
pustular yang menyebar. Walaupun demikian, senyawa ini akan lebih berguna
apabila dipakai sebagai terapi tambahan dalam penanganan psoriasis.
 Acitretin telah menunjukkan hasil yang baik ketika dikombinasikan dengan terapi
lain, seperti PUVA dan UV-B, siklosporin, dan metotreksat.
 Dosis mula-mula yang direkomendasikan ialah 25 hingga 50mg, kemudian terapi
dilanjutkan hingga lesi sembuh/hilang.
 Acitretin merupakan senyawa teratogen sehingga dikontraindikasikan untuk
perempuan yang sedang hamil atau yang merencanakan kehamilan dalam 3 tahun
setelah penghentian obat.

Table 3.4 guideline penanganan psoriasis secara sistemik


Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Acitretin 25-50 mg/ hari hingga lesi Hipervitaminosis A (bibir
sembuh/membaik. kering/seilitis, mulut kering,
Makanan meningkatkan mata kering/konjungtivitis, kulit
absorpsi dan kering, pruritis, mengelupas,
tolerabilitas. rambut rontok), hepatotoksik,
perubahan skelet,
hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia.

Table 3.5 Monografi Acitretin


Indikasi Psoriasis
Dosis administrasi 25-50 mg/ hari hingga lesi sembuh/membaik. Makanan
meningkatkan absorpsi dan tolerabilitas
Mekanisme kerja Diduga memodulasi proses patogenik
Kontra indikasi Kehamilan, gangguan fungsi ginjal atau liver,
peningkatan kadar serum kronik, penggunaan
bersama metotreksat atau tetrasiklin,
hipersensitivitas.
Peringatan Gejala psikiatrik, pankreatitis, hepatotoksik, profil lipid,
pseudomotor serebri, efek pada mata, hiperostosis,
diabetes, lansia, kehamilan, ibu menyusui, pasien
pria, anak-anak.
Hati-hati Pemantauan kadar lipid, AST, ALT, LPH. Turunkan
dosis fototerapi ketika digunakan bersamaan dengan
acitretin sebab dapat menginduksi efek pada stratum
kornea dan eritema. Penurunan penglihatan pada
malam hari, perparahan psoriasis.
Efek samping Hipervitaminosis A
hepatotoksik, perubahan skelet, hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia

3.2.4 Terapi Sistemik Lini Kedua

1. Siklosporin.
 Siklosporin menunjukkan aktivitas imunosupresif dengan mengihibisi fase pertama
aktivasi sel T. Siklosporin juga menginhibisi pelepasan mediator inflamasi dari sel
mast, basofil, dan sel polimorfonuklear
 Biasanya digunakan dalam penanganan manifestasi kutan dan artritis akibat
psoriasis yang parah. Terapi secara terus-menerus selama lebih dari 2 tahun dapat
meningkatkan resiko kecacatan yang meliputi kanker kulit dan penyakit
limfoproliferatif.

Table 3.6
Senyawa aktif Regimen Dosis Efek Samping
Siklosporin 2,5-4 mg/kg/hari dalam Nefrotoksisitas,
2 keganasan, hipertensi,
dosis terbagi; dapat hipomagnesemia, hiperkalemia,
ditingkatkan hingga 5 perubahan pada fungsi liver,
mg/kg/hari dalam 1 bulan peningkatan kadar serum lipid,
jika tidak ada perubahan intoleransi GIT
2. Metotreksat
 Diindikasikan untuk psoriasis yang sedang hingga parah begitu juga dengan
psoriasis arthritis.
 Merupakan analog sintetik asam folat yang bertindak sebagai inhibitor kompetitif
dari enzim dihidrofolat reduktase yang bertanggungjawab dalam konversi
dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan kofaktor penting
dalam sintetis nukleotida timidilat dan purin yang dibutuhkan dalam sintetis DNA
dan RNA.
 Metotreksat menghambat replikasi dan fungsi sel T dan B serta menekan sekresi
berbagai jenis sitokin. Metotreksat juga menekan pembelahan sel epidermal.
 Sebaiknya dihindari bagi pasien infeksi aktif sebab adanya aktivitas imunosupresif
dari metroteksat.

Tabel 3.7 Monografi Metotreksat


Indikasi Psoriasis berat yang tidak terkendali dan tidak responsif terhadap
terapi konvensional
Dosis Adminitrasi 7,5-15 mg/minggu ditingkatkan sebanyak 2,5 mg secara bertahap
tiap 2-4 minggu hingga berespon; dosis maksimal 25
mg/minggu
Mekanisme inhibitor kompetitif dari enzim dihidrofolat dan menghambat
replikasi dan fungsi sel T dan B serta menekan sekresi berbagai
jenis sitokin. Metotreksat juga menekan pembelahan sel
epidermal.
Kontra indikasi Ibu hamil dan menyusui, pasien dengan infeksi aktif
Peringatan Diperlukan pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal
dan liver. Dilakukan pengawasan terus-menerus, untuk efek
samping pada saluran cerna dan mukosa pada anak > 12 tahun
dan dewasa diberikan asam folat 5 mg setiap minggu untuk
menurunkan efek samping.
Toksik terhadap darah, paru, sal. cerna. Penggunaan bersama AINS
perlu dimonitor.
Efek Samping Alopesia, fotosensitivitas, rasa terbakar pada lesi psoriasis, muncul
pada efek samping seperti penggunaan metotreksat sebagai
antireumatoid artritis.

Tabel 3.8 Interaksi Obat Metotreksat


Mekanisme Obat
Menambah atau sinergis (toksisitas) Ethanol
Pyrimethamine
Trimethoprim-sulfamethoxazole
Menurunkan eliminasi metroteksat Aminoglycoside
pada ginjal Cephalotin
Colchicines
NSAID (naproxen, ibuprofen)
Penicillins
Phenylbutazone
Probenecid
Salicylates
Sulfonamides
Pemindahan metroteksat dari ikatan Barbiturates
protein Phenytoin
Probenecid
Retinoids
Salicylates
Sulfonamides
Sulfonylureas
Tetracycline
Hepatotoksisitas Ethanol
Retinoids
Akumulasi intraselular metroteksat Dipyridamole

3. Takrolimus
Table 3.9
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Takrolimus 0,05 mg/kg setiap hari,
Nefrotoksisitas, imunosupresi,
ditingkatkan menjadi 0,1 gangguan GIT, diare, nausea,
mg/kg setiap hari selama 3 parestesia, hipertensi, tremor,
minggu dan menjadi 0,15 insomnia.
mg/kg setiap hari selama 6
minggu tergantung pada
hasil yang diperoleh.
 Agen imunosupresan yang menginhibisi aktivasi sel T, merupakan obat yang
berguna sebagai alternatif pada psoriasis parah yang membandel.

Tabel 3.10 Monografi Takrolimus


Indikasi Atopi dermatitis (eksim) pada pasien yang tidak memberikan
respon atau intoleran pada pengobatan lain untuk dewasa dan
anak di atas 2 tahun sebagai pengobatan jangka pendek atau
sementara.
Dosis Dewasa dan remaja > 16 tahun : pada awal pemberian gunakan
dengan kekuatan 0,1%, oleskan tipis 2x sehari sampai lesi
hilang, turunkan menjadi 1x sehari atau gunakan salep dengan
kekuatan 0,03% jika kondisi klinik memungkinkan. Anak 2-15
tahun : awali dengan kekuatan salep 0,03% 2x sehari selama 3
minggu, kemudian turunkan menjadi 1x sehari sampai lesi
hilang.
Mekanisme Kerja Agen imunosupresan yang menginhibisi aktivasi sel T
Kontra Indikasi Hipersensitif, hindari kontak dengan nafas dan membran mukosa,
eritroderma secara umum; kehamilan dan menyusui.
Efek Samping Reaksi pada tempat pengolesan, kemerahan, iritasi, nyeri dan
parestesia, infeksi herpes simplex,tidak umum jerawat, rosasea
dan dilaporkan keganasan pada kulit.

4. Mikofenolat Mofetil
Tabel 3.11
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Mikofenolat mofetil500 mg 4 kali sehari hinggaToksisitas GIT (diare, nausea,
dosis maksimum 4 g/hari muntah), efek hematologi (anemia,
neutropenia, trombositopenia),
infeksi virus dan bakteri; penyakit
limfoproliferatif atau limfoma
dapat terjadi
 Mikofenolat mofetil (CellCept) menginhibisi sintesis DNA dan RNA serta telah
menunjukkan memiliki efek anti proliferasi yang spesifik terhadap limfosit.
Digunakan sebagai bagian dalam terapi kombinasi dalam psoriasis sedang hingga
parah dan dermatosis otoimun lainnya.

Table 3.12 Monografi Mikofenolat Mofetil


Indikasi Profilaksis penolakan organ akut pada pasien yang menerima
transplantasi ginjal dan jantung allogenik. Obat ini harus
digunakan bersama dengan siklosporin dan kortikosteroid.
Dosis 500 mg 4 kali sehari hingga dosis maksimum 4 g/hari
Pada transplantasi ginjal dosis awal digunakan 72 jam setelah
transplantasi dengan dosis 2 g/hari
Mekanisme Menginhibisi sintesis DNA dan RNA serta memiliki efek
Kerja antiproliferasi yang spesifik terhadap limfosit.
Kontra Hipersensitif, kehamilan dan menyusuii
Indikasi
Peringatan Hitung darah total setiap 4 minggu lalu 2x sebulan selama 2
bulan, lalu setiap bulan pada tahun pertama (pengobatan dapat
dihentikan jika neutropenia berlanjut). Lansia (resiko infeksi
meningkat, perdarahan GI, edema paru). Anak-anak
(kemungkinan terjadi efek samping tinggi, diperlukan reduksi
dosis). Pasien harus diperingatkan supaya melaporkan gejala
supresi sumsum tulang.
Efek Diare, gangguan abdominal, gastritis, mual, muntah, konstipasi,
Samping batuk, sindroma seperti influenza, sakit kepala, infeksi,
leukopenia, anemia, trombositopenia.

Tabel 3.13 Interaksi Obat Mikofenolat Mofetil


Mikofenolat Mofetil
Asiklovir, gansiklovir Kadar asiklovir, gansiklovir ↑
Kolestiramin AUC mikrofenolat ↓
Takrolimus, probenesid AUC mikrofenolat ↑
Vaksin hidup Vaksin hidup tidak boleh diberikan
pada pasien dengan kerusakan respon
imun sebab respon antibodi terhadap
vaksin lain dapat berkurang

5. Sulfasalazin
 Agen antiinflamasi yang menginhibisi 5-lipoksigenase.
 Digunakan secara selektif sebagai terapi alternatif, terutama pada pasien yang
mengalami psoriasis artritis.
 Ketika digunakan efektivitasnya tidak sebaik metotreksat, PUVA atau acitretin,
tetapi memiliki tingkat keamanan yang cukup tinggi.

Table 3.14
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Sulfasalazin 3-4 gram/hari selama Gangguan
8 GIT
minggu

Tabel 3.15 Monografi Sulfasalazin


Indikasi Pengobatan alternatif pasien psoriasis artritis, reumatoid artritis
aktif, kolitis ulseratif
Dosis Oral : berikan atas resep dokter. Sebagai salut enterik, dosis awal
500 mg sehari, naikkan dengan 500 mg pada selang waktu 1
minggu hingga maksimum 2-3 gram/hari dalam dosis terbagi.
Mekanisme Kerja Agen antiinflamasi yang menginhibisi 5-lipoksigenase
Kontra Indikasi Gangguan fungsi ginjal atau liver
Peringatan Pemantauan terhadap jumlah sel darah lengkap termasuk
pemeriksaan sel darah putih diferensial dan platelet, dilakukan
di awal dan setiap 3 bulan pengobatan. Pasien disarankan untuk
melaporkan gejala perdarahan, memar, purpurea, radang
tenggorokan, demam.
Efek Samping Ruam, intoleransi saluran cerna, terutama pada pasien dengan
reumatoid artritis.

Tabel 3.16 Interaksi Obat Sulfasalazin


Sulfasalazin
Siklosporin Kadar siklosporin ↓, dan resiko nefrotoksisitas ↑
Digoksin Sulfasalazine me↓ absorpsi digoksin
Asam folat Sulfasalazine me↓ absorpsi asam folat di saluran
cerna. Jika terjadi defisiensi disarankan untuk
me↑ asupan asam folat atau memberikan
sulfasalazine diantara waktu makan
Metroteksat Sulfasalazine dapat menggantikan ikatan protein
metroteksat dan me↓ klirens ginjal sehingga me↑
efek samping metroteksat yaitu supresi sumsum
tulang.
Berikan pengawasan terhadap profil darah,
kadang kala terjadi pe↑ reaksi merugikan di
saluran cerna
Sulfonilurea Sulfasalazine memperparah metabolisme liver
yang disebabkan oleh sulfonilurea dan
mempengaruhi ikatan protein plasma.
Dapat berpengaruh terhadap efek hipoglikemia
sulfonilurea, sehingga mungkin diperlukan
penyesuaian dosis.
Tiopurin Sulfasalazine me↑ resiko efek samping tiopurin
karena adanya inhibisi tiopurin
Warfarin Efek warfarin me↑

6. 6-Tioguanin
Tabel 3.17
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
6-Tioguanin 80 mg 2 kali seminggu, dapatSupresi sumsum tulang, komplikasi
ditingkatkan sebanyak 20 GIT, peningkatan tes fungsi liver.
mg setiap 2-4 minggu; dosis
maksimum 160 mg 3 kali
seminggu
Merupakan analog purin yang digunakan sebagai terapi alternatif untuk
psoriasis ketika terapi konvensional telah gagal. Sifat hepatotoksik obat ini lebih
kecil dibandingkan metotreksat sehingga lebih berguna pada pasien psoriasis parah
dengan gangguan liver.

7. Hidroksiurea
Table 3.18
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Hidroksiurea 1 gram/hari dapat ditingkatkan
Toksisitas sumsum tulang, yang
menjadi 2 gram/hari ditandai dengan leukopenia atau
trombositopenia, reaksi kutan,
ulser pada kaki, anemia
megaloblastik
Menginhibisi sintesis sel pada fase S dalam siklus DNA. Digunakan secara
selektif pada penanganan psoriasis terutama pada pasien dengan penyakit liver, yang
beresiko efek samping pada penggunaan agen lain. Walaupun demikian, hidroksiurea
kurang efektif apabila dibandingkan dengan metotreksat.

3.3 Terapi Biologi


Pada terapi biologis, agen imunomodulator dirancang untuk mempengaruhi
respon imun merupakan basis terapi penyakit kutan, seperti psoriasis dan atopik
dermatitis. Agen-agen tersebut, yang diproduksi secara in vitro melalui teknologi
rekombinan DNA, dibagi menjadi 3 kategori yakni :
1. Sitokin rekombinan manusia
2. Antibodi monoklonal manusia
3. Reseptor molekular yang dapat mengikat target molekul

Agen biologis yang telah disetujui FDA untuk terapi psoriasis sedang hingga berat
ialah infliksimab, etanercept, alefacept, dan efalizumab. Satu lagi, yakni adalimumab,
telah disetujui FDA untuk terapi psoriasis artritis, tetapi belum disetujui untuk psoriasis.
Senyawa Aktif Regimen Dosis Efek Samping
Infliksimab 5 atau 10 mg/kg untuk Sakit kepala, demam, menggigil,
3x infus intravena pada lelah, diare, faringitis, infeksi
minggu ke-0, 2 dan 6 saluran nafas atas dan saluran
urin; reaksi hipersensitivitas;
penyakit limfoproliferatif
Etanercept 50 mg secara subkutan Reaksi lokal pada daerah injeksi
2x dalam 1 minggu (terjadi pada 20% pasien); infeksi
sal respirasi dan GIT, nyeri
abdominal, nausea dan muntah,
sakit kepala
Alefacept 15 mg secara Faringitis, gejala menyerupai
intramuskular 1x dalam influenza, menggigil, pusing,
seminggu nausea, sakit kepala, nyeri pada
daerah injeksi dan inflamasi dan
infeksi non spesifik
Efalizumab 1 mg/kg secara subkutan Sakit kepala, nausea, menggigil,
sekali seminggu infeksi non spesifik, nyeri,
demam, dan astenia

1. Infliksimab (remicade)
 Merupakan antibodi monoklonal chimeric yang ditujukan untuk melawan TNF-α.
 Memiliki afinitas yang tinggi dalam bentuk yang larut dan transmembran TNF-α,
dengan demikian dapat menginhibisi ikatan antara TNF-α dengan reseptornya.
 Keuntungan dibanding terapi lain adalah infliksimab tidak secara negatif
berpengaruh terhadap jumlah darah, tingkat enzim liver atau fungsi ginjal.

2. Etenercept
 Etanercept (Enbrel) adalah bloker TNF-α yang lain berupa protein fusi yang
mengikat TNF-α secara kompetitif sehingga mengganggu interaksinya dengan
reseptor sel.
 Diproduksi dengan menggunakan rekayasa genetik yang menggabungkan domain
ekstraseluler dari reseptor TNF-α dengan fragmen kristal Fc IgG1 manusia.
 Etanercept diperoleh dari manusia sehingga meminimalkan imunogenisitas.
 Baik dikombinasikan dengan metotreksat pada pasien yang tidak merespon baik
terapi metotreksat tunggal.
 Diindikasikan untuk pasien dewasa dengan plak psoriasis kronik yang sedang
hingga parah yang menjadi kandidat untuk terapi sistemik atau fototerapi.

3. Alfacept
 Merupakan protein fusi dimerik yang mengkombinasikan domain LFA-3 manusia
dengan bagian Fc dan IgG1 manusia.
 Segmen LFA-3 alfacept mengikat CD2 pada sel T secara spesifik sehingga
menginhibisi aktivasi dan proliferasi sel T pada jaringan kutan, juga menginduksi
apoptosis selektif dari sel T memori-efektor sehingga menurunkan limfosit sirkulasi
total yang bergantung pada besarnya dosis.
 Digunakan untuk terapi plak psoriasis sedang hingga parah juga untuk psoriasis
artritis.
 Respon signifikan biasanya diperoleh setelah 3 bulan terapi.

4. Efalizumab
 Merupakan antibodi monoklonal yang diperoleh dari manusia, bekerja menginhibisi
integrin CD11-α yang terlibat dalam aktivasi sel T, migrasi ke kulit, serta fungsi
sitotoksik.
 Efalizumab disetujui untuk terapi pada pasien dewasa dengan plak psoriasis kronik
yang sedang hingga berat yang menjadi kandidat terapi sistemik atau fototerapi.

3.4 Fotokemoterapi
 Fotokemoterapi umumnya terdiri dari terapi dengan sinar ultraviolet B dan PUVA.
Sinar UVB (290-320 nm) terus menjadi salah satu fotokemoterapi yang penting
dalam intervensi psoriasis. Panjang gelombang UVB yang paling efektif untuk
terapi psoriasis ialah 310-313 nm. Hal tersebut telah dibuktikan dari berbagai studi
klinik pada pasien dengan psoriasis tipe plak.
 Fototerapi UVB juga memberikan hasil yang lebih efektif ketika ditambahkan
dengan terapi sistemik, seperti metotreksat dan retinoid.
 UV-A yang dikombinasikan dengan metoksalen oral (PUVA) merupakan
pendekatan fotokemoterapi. Kandidat untuk terapi PUVA biasanya mengalami
psoriasis yang melumpuhkan dengan tingkat keparahan sedang hingga berat yang
tidak memberikan respon terhadap terapi konvensional baik topikal maupun
sistemik.
 PUVA sistemik terdiri atas obat oral yang berperan sebagai foto sensitizer seperti 8-
metoksipsalen (8-methoxypsoralen).

3.5 Kombinasi, Rotasi serta Urutan Terapi


Jika monoterapi dengan agen sistemmik tidak memberikan hasil optimal,
kombinasi terapi sistemik dengan metode lain mungkin dapat memberikan manfaat.
Kombinasi yang dapat dilakukan meliputi :
 Acitretin + UV-B
 Acitretin + fotokemoterapi menggunakan sinar UV-A (PUVA)
 Metotreksat + UV-B
 PUVA + UV-B
 Metotreksat + siklosporin

Rotasi terapi melibatkan penggunaan regimen biologi untuk periode tertentu, lalu
berganti pada regimen nonbiologi, dan terus demikian. Salah satu tujuan pendekatan ini
adalah untuk meminimalkan toksisitas obat yang terakumulasi.
Urutan terapi meliputi menghilangkan lesi psoriasis secara cepat dengan terapi
agresif seperti siklosporin, kemudian diikuti oleh periode transisi dengan menggunakan
obat-obat yang lebih aman, seperti acitretin, yang dimulai dengan dosis maksimal.
Selanjutnya, terapi masuk dalam periode pemeliiharaan dengan menggunakan acitretin
pada dosis rendah atau kombinasi dengan UV-B dan UV-A.
BAB IV
STUDI KASUS
4.1 Studi Kasus
Pasien ini berusia perempuan 41 tahun,sudah menikah berasal dari kalimantan dan
sengaja datang ke Surabaya untuk mengobati sakit kulitnya yang tidak kunjung sembuh.
Keluhan utamanya adalah timbul bercak kemerahan yang awalnya hanya di daerah
lengan kedua tangan disertai nanah yang muncul beberapa hari kemudian sejak 3 bulan
yang lalu. Dalam perjalanannya bercak meluas hingga ke seluruh tubuh juga disertai
nanah. Selain itu pasien juga mengeluhkan panas badan, meriang, mual dan kondisi
badan yang lemah. Sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang serupa. dari
keluarga juga tidak pernah sakit seperti ini. Pada pemeriksaan fisik secara umum
kondisinya lemah namun kesadaran masih baik (GCS 456), didapatkan suhu yang afebris.
selain itu vital sign dalam batas normal.
Status dermatologis :
Regio seluruh tubuh, makula eritematus batas tidak tegas dengan ukuran dan bentuk yang
bervariasi tepi tidak meninggi, diatasnya terdapat pustule yang sebagian sudah pecah
menjadi krusta, pus (+), sebagian makula juga tertutup skuama.

Pemeriksaan Penunjang:
- Diusulkan pemeriksaan DL,UL,LFT,RFT, dan Albumin.
- Pemeriksaan Gram Staining, dan juga biopsi

Diagnosa :
-Psoriasis Pustulosa

Terapi :
- Paracetamol 3 x 500 mg karena pasien mengeluh panas.
- Mebhidrolin napadisilat 3x50 mg,p.o sebagai anti histamin karena pasien mengeluh
gatal.
- Methotrexate(MTX) 5 mg/12 jam selama 3 kali dalam seminggu karena lesinya udah
luas
- Terapi lain mungkin diberikan : infus albumin
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit psoriasis merupakan
salah satu penyakit/gangguan sistem integumen dimana kulit mengalami peradangan
kronis (sering kambuh) yang disebabkan oleh Genetik, Imunologik, Stres Psikik, Infeksi
fokal, Faktor Endokrin, Gangguan Metabolik, Obat-obatan, Alkohol dan merokok.
Penyakit ini terjadi pada setiap usia. Pada psoriasis ditunjukan adanya penebalan
epidermis dan stratum korneum dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah dermis bagian
atas. Selain itu jumlah sel-sel basal yang bermitosis juga meningkat.
Penderita biasanya mengeluh adanya gatal ringan pada tempat-tempat predileksi,
yakni pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian
ekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya.Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih serta transparan. Pada
psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.
Ada dua tipe pengobatan pada penderita psoriasis yaitu pengobatan sistemik dan
pengobatan topikal dimana pengobatan sistemik lebih banyak memberikan efek samping.

B. Saran
Kepada mahasiswa atau pembaca disarankan agar dapat mengambil pelajaran dari
makalah ini sehingga apabila terdapat tanda dan gejala penyakit psoriasis dalam
masyarakat maka kita dapat melakukan tindakan yang tepat agar penyakit tersebut tidak
berlanjut ke arah yang lebih buruk.
LAMPIRAN

1. Psoriasis Vulgaris

2. Psoriasis Gutata

3. Psoriasis Inversa
4. Psoriasis Eritroderma

5. Psoriasis Pustulosa

6. Psoriasis Seboroik

7. Psoriasis Kuku

8. Psoriasis Artritis
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
CEDERA KEPALA

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada kepala di
Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cidera kepala dan cedera otak sebgai
suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala, walaupun secara harafiah kedua istiah
tersebut sama karena memakai gradasi respons Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat
gangguan yang terjadi akibat suatu cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat trauma
yang mencederai kepala, maka perawat perlu mengenal Neuroanatomi, Neurofisiologi serta
Neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari
pengkajian fisik yang didapat bisa sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan
asuhan pada klien dengan cedera kepala.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta tulang dan tentorium ( helm ) yang
membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Selain itu sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala dapat mengakibatkan
malapetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah merupakan akibat langsung dari cedera dan
banyak lainnya timbul sekunder dari cedera.
Efek-efek ini harus dihindari dan ditemukan secepatnya oleh perawat untuk menghindari
rangkaian kejadian yang menimbulkan gangguan mental dan fisik, bahkan kematian. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurologis, dan
merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 2/3 korban dari
kasus ini berusia dibawah 30 tahun, dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengan dari semua klien cedera kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian
tubuh lainnya. Adanya syok hipovolemik pada klien cedera kepala biasanya karena cedera bagian
tubuh lainnya. Resiko utama klien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat
pendarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial.
Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau cedera otak
merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tidak disertai perdarahan
interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu:
1. Cedera kepala ringan / cedera otak ringan , bila GCS : 13-15.
2. Cedera kepala sedang / cedera otak sedang, bila GCS : 9-12.
3. Cedera kepala berat / cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.

Pada klien yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misalnya oleh karena afasia, maka
reksi verbal diberi tanda “X” , atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat
dinilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X” , sedangkan jika
klien dilakukan trakeostomi atau dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi yang
diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan ( akselerasi-deselerasi ) pada otak.

B. TUJUAN UMUM
1. Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien dengan Cedera
Kepala Ringan.

2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan dari
aspek bio, psikososial dan spiritual.
b. Dapat merumuskan diagnosis keperawatan dan menentukan prioritas masalah pada klien
dengan Cedera Kepala Ringan.
c. Merencanakan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis keperawatan serta dapat
melaksanakan rencana tindakan pada klien dengan Cedera Kepala Ringan
d. Dapat mengevaluasi hasil akhir terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan pada
klien dengan Cedera Kepala Ringan.

BAB II
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Cidera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai / tanpa perdarahan intestinal dalam
substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (P.Syamsuhidayat, dkk, 1996, 1110
).

Cidera kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan fisik dari luar yang
dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Akibatnya dapat menyebabkan gangguan
kognitif, gangguan tingkah laku, atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara
atau permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga gangguan psikososial.
(Donna, 1999)

Cidera kepala adalahsuatu keadaan traumatic yang mengenai otak dan menyebabkan perubahan-
perubahan fisik, intelektual, emosional, social, dan vokasional. (Joyce, M Black, 1997)

Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau
gangguan traumatic yang menimbulkan perubahan fungsi otak (Black M. 1997).

Cedera kepala pada intinya menyatakan suatu cedera akut pada ssuunan saraf pusat, selaput otak,
saraf kranial termasuk fraktur tulang kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah,
baik terjadi secara langsung (kerusakn primer) maupun tidak lansung (kerusakan sekunder), yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial
baik bersifat sementara atau menetap.

B. ANATOMI FISIOLOGI
a. Anatomi kepala
Tengkorak terbagi atas
1. Tengkorak Otak
Tengkorak otak menyelubingi otak dan alat pendengar. Tengkorak otak terdiri dari :
a
a) Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi rongga tengkorak dari atas dan dari
sisi. Kubah tengkorak terdiri atas beberapa tulang ceper yang dihubungkan oleh sutura
tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat berturut-turut sebuah tulang dahi, sepasang
tulang ubun-ubun dan sebuah tulang belakang kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak
terdapat sepasang tulang pelipis. Tulang dahi, tulang belakang kepala turut pula
membentuk dasar tengkorak.

b) Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu lekuk tengkorak depan, lekuk
tengkorak tengah dan lekuk tengkorak belakang. Bagian tengah dasar lekuk tengkorak
depan dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang halus untuk memberi
jalan kepada serabut-serabut saraf penghidu, oleh karena itu bagian tulang lapisan tersebut
dinamakan lempeng ayakan yang merupakan atap bagi rongga hidung.

Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan dua bagian sisi, bagian tengah
adalah pelana turki. Dasar lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah daripada dasar
lekuk tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih rendah lagi daripada
lekuk tengkorak tengah.

2. Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak. Lubang-lubang
lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi dan tulang rahang atas.
Dinding belakang lekuk mata juga dibentuk oleh tulang baji (sayap besar dan
kecil). Dinding dalamnya dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan
tulang air mata. Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf
penglihat maka dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk mata bawah
yang terletak antara tulang baji, tulang pipi dan tulang rawan atas. Toreh itu
mangarah ke lekuk wajah pelipis. Tulang air mata mempunyai sebuah lekuk
yang jeluk, yaitu lekuk kelenjar air mata yang disambung ke arah bawah oleh
tetesan air mata yang bermuara di dalam rongga hidung.

b.Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
a) kulit
b) jaringan penyambung (connective tissue)
c) galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.
d) Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akan mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American College of Surgeons
1997)

c. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar adalah tempat
lobus frontalis, fosa medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi
batang otak bawah dan serebelum, (American College of Surgeons 1997)

d.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura meter,
arakhnoid dan pia meter. Dura meter adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam kranium. Di bawah dura meter terdapat
lapisan kedua yang tipis dan tembus pandang di sebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga adalah
pia mater yang melekat pada permukaan kortek serebri, (American College of Surgeons 1997)

e. Sistem Saraf Pusat (SSP)


Yang disebut sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis yang tertutup di dalam
tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput (meningen) pelindung, serta rongga yang berisi
cairan.
1. Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu : serebrum, batang otak, dan
serebelum.

a) Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus frontalis, parietal, oksipital,
temporalis. Fungsi dari setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari
masing-masing fungsi lobus :
1) Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk proses belajar, merancang, psikologi,
lobus frontalis bagian belakang untuk proses motorik termasuk bahasa.
2) Lobus parietal, bekerja khusus untuk sensorik somatik (misal sensibilitas kulit) dan
peran asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses kognitif dan intelektual.
3) Lobus Oksipital, merupakan area pengoperasian penglihatan.
4) Lobus temporalis, merupakan pusat pendengaran dan asosiasinya, beberapa pusat
bicara, pusat memori. Bagian anterior dan basal lobus temporalis penting untuk indra
penghidu.

b) Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblongata. Masing-masing
struktur mempunyai tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya sebagai
unit untuk menjalankan saluran impuls yang disampaikan ke serebri dan lajur
spinal.
1) Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya di atas pons.
Bagian ini terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri dari bagian bagian
kolikuli superior dan kolikuli inferior dan bagian anterior yaitu pedunkulus serebri.
kolikuli superior berperan dalam refleks penglihatan dan koordinasi gerakan
penglihatan, sedangkan kolikuli inferior berperan dalam reflek pendengaran,
misalnya menggerakkan kepala ke arah datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri
dari berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turundari serebelum.
2) Pons, terletak diantara otak tengah dan medula oblongata. Pons berupa jembatan
serabut-serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum, serta
menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons
merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikoserebelaris yang
menyatukan hemisfer serebri dan serebelum.bagian bawah pons berperan dalam
pengaturan saraf kranial trigeminus, abdusen dan fasialis.
3) Medula Oblongata, terletak diantara pons dan medula spinalis. Pada medula ini
merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung. Vasokonstriktor,
pernapasan,bersin,batuk,menelan, pengeluaran air liur dan muntah.

c) Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh durameter
yang menyerupai atap tenda, yaitu tentorium yang menisahkan dari bagian
posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah, vermis dan dura
hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas
serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus serebeli superior
berhubungan dengan mesensefalon ; pendukulus serebeli media
menghubungkan kedua hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli
inferior berisi serabut-serabut traktus spinosere belaris dorsalis dan
berhubungan dengan medula oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di
bawah kesadaran. Fungsi utama serebelum adalah sebagai pusat refleks yang
mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot, serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.

2. Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari kolumna vertebra, berjalan ke bawah dan
memenuhi kanalis neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang saraf spinalis
berada diantara pembatas vertebra sepanjang kolumna vertebra. Di bawah ujung tempat
medula spinalis berakhir. Di dalam ujung tempat medula spinalis terletak interneuron,
serabut sensori, asenden, serabut motorik desenden dan badan sel saraf dan dendrit
somatik sekunder (volunter) dan motor neurons otonom utama. Area sentral medula
spinalis merupakan massa abu-abu yang mengandung badan sel saraf dan neuron
internunsial.

f. Sistem Saraf Tepi (SST)


Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari saraf kranial bervariasi, yaitu
sensori motorik dan gabungan dari kedua saraf. Saraf motorik dipersarafi oleh beberapa
percabangan saraf kranial, 12 pasang saraf kranial adalah :
1) Nervus I (Olfaktorius): Sifatnya sensorik mensarafi hidung membawa rangsangan aroma
(bau-bauan) dari aroma rongga hidung ke otak.
2) Nervus II (Optikus): Sifatnya sensorik, mensarafi bola mata membawa rangsangan
penglihatan ke otak
3) Nervus III (Okulomotorius): Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot
penggerak bola mata) / sebagai pembuka bola mata.
4) Nervus IV (Trochlear): Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot orbital, sebagai pemutar
bola mata
5) Nervus V (Trigeminus) : Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) bertanggung jawab
untuk pengunyah.
6) Nervus VI (Abdusen): Sifatnya motorik, sebagai pemutar bola mata ke arah luar
7) Nervus VII (Fasial): Sifatnya majemuk (sensorik- motorik), sebagai mimik wajah dan
menghantarkan rasa pengecap, asam, asin dan manis.
8) Nervus VIII (Vestibulokokhlearis): Sifatnya sensorik, saraf kranial ini mempunyai dua
bagian sensoris yaitu auditori dan vestibular yang berperan sebagai penterjemah.
9) Nervus IX (Glosofharyngeal) : Berperan dalam menelan dan respons sensori terhadap
rasa pahit di lidah.
10) Nervus X (Vagus): Sifatnya majemuk (sensorik- motorik) mensarafi faring, laring dan
platum
11) Nervus XI (Asesoris): Sifatnya motorik, saraf ini bekerja sama dengan vagus untuk
memberi informasi ke otot laring dan faring.
12) Nervus XII (Hipoglosal): Sifatnya motorik, mensarafi otot-otot lidah.

g. Sistem Saraf Otonom (SSO)


Sistem Saraf Otonom merupakan sistem saraf campuram. Serabut-serabut aferennya membawa
masukan dari organ-organ viseral (menangani pengaturan denyut jantung, diameter
pembuluh darah, pernafasan, percernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan dan
sebagainya). Saraf aferen motorik SSO mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar-
kelenjar viseral-SSO terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan interaksinya dengan
lingkungan dalam.
Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian : Bagian Pertama adalah Sistem Saraf Otonom
parasimpatis (SSOp) dan Sistem Saraf Otonom simpatis (SSOs), bagian simpatis
meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah thorakal dan lumbal (torakolumbal) medula
spinalis. Bagian parasimpatis ke luar otak (melalui komponen-komponen saraf karanial) dan
bagian sakral medula spinalis (kraniosakral).

Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta menurunkan
aktivitas saluran cerna.tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan tubuh agar siap
menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon bertempur/ lari.

Fungsi parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung dan pernapasan dan
meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan
pembuangan. Jadi saraf parasimpatis membantu konservasi dan hemostatis fungsi-fungsi
tubuh.

Cairan Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan getaran, menjaga jaringan SSP yang sangat
halus dari benturan terhadap struktur tulang yang mengelilinginya dan dari cedera mekanik. Juga
berfungsi dalam pertukaran nutrien antara plasma dan kompartemen selular. Cairan serebrospinal
merupakan filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di atap dari keempat ventrikel otak.
Seperti yang telah disebutkan, ini serupa dengan plasma minus plasma protein yang besar, yang
ada di balik aliran darah. Sebagaian besar cairan ini dibentuk dalam ventrikel bagian lateral, yang
terletak pada masing-masing hemisfer serebri. Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui
duktus ke dalam ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan mengalir melalui
aquaduktus Sylvius midbrain dan masuk ke ventrikel keempat medula. Kemudian sebagian dari
cairan ini masuk melalui lubang (foramen) di bagian atas dari ventrikel ini dan masuk ke dalam
spasium subarakhnoid (sejumlah kecil berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam spasium
subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada tempat tertentu yang disebut
pleksus subarakhnoid

Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan osmotik koloid dan hidrostatik yang sama
yang mengatur perpindahan cairan dan partikel-partikel kecil antara plasma dan kompartemen
cairan interstisial tubuh. Secara singkat direview, kerja dari tekanan ini adalah sebagai berikut :
dua tim yang berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik mempengaruhi gerakan air dan
partikel-partikel kecil melalui membran kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan
osmotik plasma dan tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan gerakan air dari kompartemen CSS
ke dalam plasma. Gerakan air dari arah yang berlawanan dipengaruhi oleh tim dari tekanan
hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS. Tim yang berpengaruh bekerja secara simultan dan
kontinu. Dalam ventrikel, aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal ini
memungkinkan tim bersama mempengaruhi gerakan air dan partikel kecil dari plasma ke
ventrikel.

Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus bersebelahan dengan vili arakhnoid
menunjukkan skala untuk gerakan air dan terlarut dari kompartemen CSS kembali ke dalam
aliran darah. Kematian sel-sel yang melapisi kompartemen CSS akan mengeluarkan protein ke
dalam CSS. Ini akan meningkatkan tekanan osmotik CSS dan memperlambat reabsorbsi
(sementara juga mempercepat pembentukan bila kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel).
Peningkatan protein CSS karena hal ini atau penyebab lain dapat merangsang atau mencetuskan
kondisi kelebihan CSS yang disebut hidrosefalus.

Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai proses patologis yang mengenai otak
dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi
otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial
yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya
mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan
indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK
normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mm H 2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg
dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat.
Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

C. ETIOLOGI
1. Cidera setempat (benda tajam)
Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan trauma yang dapat menyebabkan
cedera setempat atau kerusakan terjadi terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
misal: pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur tengkorak.

2. Cidera Difus (cidera tumpul)

Trauma oleh benda tumpul dapat menyebabkan / menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse)
karena kekuatan benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung spt : rambut,
kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi diteruskan keotak dan menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan pada jaringan otak sehingga dipandang lebih
berat.

Misal : terkena pukulan atau benturan.

Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pd beberapa factor yaitu:

a. Lokasi benturan
b. Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c. Kekuatan benturan
d. Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan deselerasi (kepala
bergerak membentur benda yang diam)
e. Ada tidaknya rotasi saat benturan

Dapat pula dibagi menjadi :

a. Trauma primer

Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung (akselerasi/deselerasi otak)

b. Trauma otak sekunder

Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

D. KLASIFIKASI
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah
cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.

2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera kepala.
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio
cerebral maupun hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
Skala Koma Glasgow
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :

-Spontan 4

-Terhadap rangsangan suara 3

-Terhadap nyeri 2

-Tidak ada 1
2 Verbal :

-Orientasi baik 5

-Orientasi terganggu 4

-Kata-kata tidak jelas 3

-Suara tidak jelas 2

-Tidak ada respon 1


3 Motorik :

- Mampu bergerak 6

-Melokalisasi nyeri 5

-Fleksi menarik 4

-Fleksi abnormal 3

-Ekstensi 2

-Tidak ada respon 1


Total 3-15
3. Morfologi Cedera

Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :

a. Fraktur kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain :

1) Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


2) Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
3) Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
4) Parese nervus facialis ( N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih
tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.

b. Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering
terjadi bersamaan.

Termasuk lesi lesi local :

1) Perdarahan Epidural
2) Perdarahan Subdural
3) Kontusio (perdarahan intra cerebral)

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun
keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan
koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak
difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera
Aksona Difus ( CAD).

c. Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon
temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto
1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul
secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial.

Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika
terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah
ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung

d. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi
bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan
otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada
perdarahan epidural.

e. Kontusio dan perdarahan intracerebral

Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga
pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk
perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist
lebih lanjut.

f. Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi,
dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.

Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun
terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera
ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang
paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan
sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam
definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.
Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat
neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual,
amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma
pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal
Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu,
penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering
tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Cidera kepala ringan-sedang
a) Disorientasi ringan
b) Amnesia post partum
c) Hilang memori sesaat
d) Sakit kepala
e) Mual dan Muntah
f) Vertigo dan perubahan posisi
g) Gangguan pendengaran

Tanda yang potensial berkembang :


a) Penurunan kesadaran
b) Perubahan pupil
c) Mual makin hebat
d) Sakit kepala semakin hebat
e) Gangguan pada beberapa saraf cranial
f) Tanda-tanda meningitis
g) Apasia
h) Kelemahan motorik

2. Cidera kepala sedang-berat


a) Tidak sadar dalam waktu lama
b) Fleksi dan ekstensi abnormal
c) Edema otak
d) Tanda herniasi
e) Hemiparese
f) Gangguan akibat saraf cranial
g) Kejang

Tanda dan gejala berdasarkan tipe trauma kepala dibagi atas :


1) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan
melukai atau menyobek dura meter menyebabkan CSS merembes. Kerusakan sarak
otak dan jaringan otak.
2) Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio, kontusio,
epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.

Komosio / geger otak , dengan tanda-tanda :


a) Cedera kepala ringan
b) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c) Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
d) Tanpa kerusakan otak permanen
e) Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f) Disorientasi sementara
g) Tidak ada gejala sisa
h) Tidak ada terapi khusus

Kontusio serebri / memar otak, dengan tanda-tanda:


a) Ada memar otak
b) Perdarahan kecil lokal / difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan adanya
perdarahan.

Gejala :
a) Gangguan kesadaran lebih lama
b) Kelainan neurologis positif
c) Refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi
d) Gejala TIK meningkat
e) Amnesia retrograd lebih nyata.

F. PATOFISIOLOGI
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan serebrospinal.
Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen, glukosa. Berat ringannya
cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera yang dialami dapat gegar
otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma (injury vaskuler, epudural ;
epidural atau subdural hematoma).

Cedera kepala yang terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi).
Trauma dapat primer atau sekunder. Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai
kepala saat kejadian. Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer.
Trauma sekunder dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi
dan edema cerebral.

Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada tulang tengkorak
dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat meluas hingga
menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya akan tampak
seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk dibangunkan dan akhirnya
bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan adanya hemiparese.

Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur pembuluh vena dan perdarahan
terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan lapisan arakhnoid. Terdapat dua
tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut dapat dikaitkan dengan kontusio
atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam. Manifestasi tergantung pada
besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa kejang, sakit kepala, muntah,
meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan mengantuk.

Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya memar dan
robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi, anoxia dan
dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak yang mendesak
ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Dalam jangka
waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.

G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada cedera kepala menurut Batticaca. FB.
2008 :
a. Angkat klien dengan papan datar untuk mempertahankan kepala dan leher sejajar.
b. Traksi ringan pada kepala
c. Kolar servikal
d. Terapi untuk mempertahankan homeostatik otak dan mencegah kerusakan otak
sekunder seperti stabilitas sistem kardiovaskuler dan fungsi pernapasan untuk
mempertahankan perfusi serebral yang adekuat. Kontrol perdarahan, perbaiki
hipovolemi, dan evaluasi gas darah arteri.
e. Tindakan terhadap peningkatan TIK dengan melakukan pemantauan TIK. Bila terjadi
peningkatan TIK, pertahankan oksigenasi yang adekuat, pemberian manitol untuk
mengurang edema kepala dengan dehidrasi osmotik, hiperventilasi, penggunaan
steroid, meninggikan posisi kepala ditempat tidur, kolaborasi bedah neuro untuk
mengangkat bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi di kepala. Pasang alat
pemantau TIK selama pembedahan atau dengan teknik aseptik di tempat tidur.
Rawat klien di ICU.
f. Tindakan perawatan pendukung yang lain yaitu, pemantauan ventilasi dan
pencegahan kejang serta pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
Lakukan intubasi dan ventilasi mekanik bila klien koma berat untuk mengontrol
jalan nafas. Hiperventilasi terkontrol mencakup hipokapnia, pencegahan
vasodilatasi, penurunan volume darah serebral, dan penurunan TIK. Pemberian
terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang setelah trauma kepala yang
menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia (klorpromazin tanpa tingkat
kesadaran). Pasang NGT bila terjadi motilitas lambung dan peristaltik terbalik akibat
cedera kepala.

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan dalam penatalaksanaan keperawatan cedera kepala menurut
Batticaca. FB. 2008 :
a) Riwayat kesehatan
1) Kapan cedera terjadi
2) Apa penyebab cedera
3) Apa peluru kecepatan tinggi
4) Apa objek yang membentur
5) Bagaimana proses terjadinya cedera pada kepala, apa karena jatuh
6) Darimana arah datangnya pukulan, bagaimana kekuatan pukulan
7) Apakah klien kehilangan kesadaran Berapa lama durasi dari periode sadar
8) Dapatkah klien dibangunkan

b) Riwayat tidak sadar atau anamnesis setelah cedera kepala menunjukkan derajat
kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan
pemulihan atau terjadinya kerusakan otak sekunder.
c) Tingkat kesadaran dan responsivitas dengan GCS
d) Tanda vital
e) Fungsi motorik

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala menurut Grace, Piere A.
2006:
a. Rontgen tengkorak : AP, lateral dan posisi Towne
b. CT Scan / MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema serebral.
c. Pengkajian neurologis (Batticaca. FB. 2008)
d. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
e. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
f. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
g. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).

I. KOMPLIKASI
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala adalah :
a. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan
terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala tertutup.
b. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos, kemosis,dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
c. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
d. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari
sindrom distres pernapasan dewasa
e. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan , alamat, pekerjaan, agama, tanggal dan
jam masuk, no MR, diagnosis medis dll.

2. Riwayat Kesehatan
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung dari seberpa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien yang mengalami trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dariketinggian, dan trauma langsung ke kepala, akan mengalami
penuruna tingkat kesadaran ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit
kepala, lemah, tejadi luka di kepala, paralissis, akumulasi sekret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung, dan telinga serta kejang.Adanya penuruna
kesadran dihubungkan karna terjadinya perubahan di dalam intrakranial.Sesuai
denga perkembangan penyakit, dapat terjadi letagi, tidak responsif dan bahkan
koma.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien mengalami riwayat cedera kepala sebelumnya, dan mengalami
riwayat penyakit yang memicu terjadinya suatu kejadian yang mengakibatkan
terjadinya cedera kepala serta yang memepengaruhi kondisi kesehatan klien saat
ini, seperti : hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus serta adanya
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, obat-obat adiktif,konsumsi alkohol
yang berlebihan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluraga yang menderita penyakit keturunan seperti
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, serta yang menderita penyakit
menular lainnya.

3. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan per sistem mulai dari ( B1-B6 )dengan fokus pemeriksaaan
fisik pada pemeriksaan B3( brain )yang terarah dan dihubungkan dengan keluha-
keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya klien mengalami penurunan kesardaran,
biasanya pada klien dengan :
a. Cedera kepala ringan, GCS 13-15
b. Cedera kepala sedang, GCS 9-12
c. Cedera kepala berat, GCS kurang atau sama dengan 8.
2) B1 ( Breathing )
Inspeksi :biasanya didapatkan klien dengan batuk, sesak npas, pengguanaan otot
bantu pernapasan dan peningkatan frekuensi pernapasan, pada ekspansi dada
biasanya terjadi ketidaksimetrisan yang mungkin menunjukkan adanya
atelektasis, lesi pada peru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks, atau penempatan endotrakeal. Dan tube trakeostomi yang kuran
tepat.pada ekspansi dada juga perlu di nilai retraksi dari otot-otot interkostal,
substernal, pernapasan abdomen.

Palpasi : Biasanya fremitus akan menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan
didapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thorak.

Perkusi : Biasanya terdapat adanya suara redup dan pekak pada keadaan yang
melibatkan trauma pada thoraks / hemothoraks.

Auskultasi : Biasanya terdapat bunyi napas tambahan seperti stridor, ronkhi pada
klien dengan peningkatan sekret.

3) B2 ( Blood )
Pada pemeriksaan jantung biasnya ditemukan beberpa keadaan seperti tekanan darah
meningkat dan kadang juga akan menurun, nadi bradikardi, takikardi, dan
aritmia.nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam
upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer.Nadi bradikardi merupakan
tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.Kulit kelihatan pucat menandakan
adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.Hipotensi menandakan adanya
perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda dari suatu syok.

4) B3 ( Brain )
a) Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : biasnya status mental akan mengalami perubahan
Fungsi intelektual : biasanya klien cedara kepala akan mengalami penurunan
dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapat bila
traumakepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin
rusak.disfungsi ini di tunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang mengakibatkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalamprogram rehabilitasi mereka.Masalah
psikologis lainnya juga bisa terjadi dan di manifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi , dendam dan kurang kerja sama.
b) Hemisfer : cedera kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan,
perilaku lambat dan sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan,
disfagia global, afasia.
c) Pemeriksaan saraf kranial.
1) Nervus I
Cedera kepala yang merusak anatomisdan fisiologis saraf ini, klien akan
mengalami kelainan pada fungsi penciuman atau anosmia unilateral dan
bilateral.
2) Nervus II
Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan
penglihatan dan dan menggagu fungsi dari nervus optikus.
3) Nervus III, IV, dan VI
Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma
yang merusak ronga orbital.Biasanya di jumpai keadaan seperti
anisokoria diman gejala ini di anggap sebgai tanda serius jika mdrisis itu
tidak bereaksi pada penyinaran.tanda awal herniasi tentorium adalah
midriasis yang tidak berreaksi pada penyinaran.jika pada trauma kepala
terdapat anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan,
melainkan miosis yag bergandengan denga pupil yang normal pada sisi
yang lain, maka pupil yang miosislah yang abnormal.Miosis ini
disebabkan oleh lesi lobus frontalis ipsilateral yang mengelola pusat
silspinal.Hilangnya fungsi itu berarti pusat silospinal menjadi tidak aktif,
sehingga pupil tidak berdilatasi melainka berkonstriksi.
4) Nervus V
Cedera kepala menyebabkan peralisis nervus trigeminus, didapatka
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
5) Nervus VII
Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Nervus VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien dengan cedera ringan biasnya tidak
di dapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf
vestibulokoklearis
7) Nervus IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8) Nervus XI
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak
ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
9) Nervus XII
Indra pengecapan mengalami perubahan.

d) Sistem motorik
1) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia ( paralisi pada salah satu sisi )
karena sisi pada sisi otak yang berlawanan.hemiparesis ( kelemahan
salah satu sisi tubuh )adalah tanda yang lain.
2) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
3) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot
didapatkan grade 0.
4) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia.

Pemeriksaaan refleks.
1) Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
2) Pemeriksaan reflek patologis, pada fase akut reflek fisiologis sisi yang
lumpuh akan meghilangsetelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali di dahului dengan reflek patologis.

Sistem sensorik
Biasanya terjadi kehilangan propriosepsi ( kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh ) serta kesulitan dalam menginterprestasikan
stimuli visual, taktil dan auditorius.

5) B4 ( Bladder )
Biasanya keadaan urine akan mengalami perubahan seperti, warna, jumlah dan
karakteristiknya.Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal.

6) B5 ( Bowel )
Biasanya terjadi kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase
akut, pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
7) B6 ( Bone )
Biasanya terjadi kelemahan pada seluruh ekstremitas, warna kulit kuning, sianosis,
anemia.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya paerdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara / cairan dan perubahan perbandingan O2 dan
CO2 kegagalan ventilaor
3. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penunumpukan sputum
peningkatan sekresi sekret penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan kelatihan.
4. Perubahan kenyamanan : nyeri akut berhubungan dengan trauma jarinagn dan reflek
spasme otot sekunder
5. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan edema pada otak
6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yanh berhubungan dengan perubahan
kemammpuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
7. Gangguan komuknikasi verbal berhubungan dengan terpasangnya endotrakeal dan
paralisis atau kelemahan neuromuskuler.

C. INTERVENSI KEPERWATAN.
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Resiko tinggi TIK b/d Tujuan : dalam waktu
1. Kaji faktor penyebab
1. Deteksi dini untuk
desak ruang sekunder 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK memprioritaskan intervensi,
dari kompresi korteks peningkatan TIK pada mengkaji sttus neurologis atau tanda
serebri dar adanya klien. kegagalan untuk menentukan
Kriteria hasil : klien
perdarahan baik tindakan pembedahan
tidak gelisah, tidak
bersifat intraserebral
mengeluh keala nyeri,
hematoma, subdural 2. Suatu keadaan normal bila
mual dan muntah,
hematoma, dan sirkulasi serebral terpelihara debgan
GCS 4,5,6, tidak
epidural hematoma. baik atau fluktasi di tandai dengan
terdapat papiledema,
tekanan darah siskemik, penurunan
TTV normal.
dari autoreguer kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi
2. Monito TTV tiap lokal vaskularisasi daraj serebral.
3. Tindakan yang terus menerus dapat
empat jam meningkatkan TIK oleh efek
rangsangan komulatif.
4. Mengurangi tekanan intratorakal
dan intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan TIK.

3. Berikan periode
istirahat antara
tindakan perawatan
dan batasi lamanya
prosedur

4. Cegah atau hindari


terjadinya falsafah
manufer
2. Ketidakefektifan pola Tujuan : dalam waktu
1. Berikan posisi 1.Meningkatkan inspirasi maksimal,
pernapasan yang 3x24jam setelah nyaman,biasanya meningkatkan ekspansi paru dan
berhubungan dengan intervensi adanya dengan posisi semi ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2. distres pernafasan dan perubahan
depresi pada pusat peningkatan, pola fowler.
pada tanda vital dapat terjadi sebagai
pernapasan di otak,
nafas kembali efektif.
Kriteria hasil : akibat stres fisiologi dan nyri atau
kelemahan otot-otot
Memperlihatkan
dapat menunjukn dapat terjadinya
pernapasan, ekspansi 2. Observasi fungsi
frekuensi pernafasan
syok sehubungna dengan hipoksia.
paru yang tidak pernafasan, catat
yang efektif, 3. melatih klien untuk mengatur
maksimal karena frekuensi,dispnea,peru
mengalami perbaikan nafas seperti nafas dalam,pengaturan
akumulasi udara / bahan TTV
pertukaran gas2 pada posisi dan teknik relaksasi dapat
cairan dan perubahan
paru, daptif mengatasi membantu memaksimalkan fungsi
perbandingan O2 dan
faktor penyebab. dari sistem pernafsan.
CO2 kegagalan
4. Untuk mengevaluasi perbaikan
ventilaor
atas pengembangan parunya.

3. bantulah klien untuk


mengontrol pernafasan
jika ventilator tiba2
berhenti.

4. kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
pemberian
antibiotik,analgesik,fis
oterapi dada dan
konsul foto toraks
3. Tidak efektif bersihan Tujuan : 1. Kaji keadaan jalan
1. Obstruksi mungkin dapat
Dalam waktu 3x24jam
jalan nafas yang nafas disebabkan oleh akumulasi
terdapat perilaku
berhubungan dengan sekret,sisa cairan
peningkatan
penunumpukan mukus,perdarahan,dan
keefektifan jalan
sputum peningkatan bronkospsame
nafas.
sekresi sekret
Kriteria hasil :
penurunan batuk Bunyi nafas terdengar 2. Pergerakan dada yang simetris
sekunder akibat nyeri bersih, tidak ada suara dengan suara nafas yang keluar dari
dan kelatihan nafas tambahan paru-paru menandakan jalan nafas
tidak terganggu.
2. Evaluasi pergerakan
3. Selama intubasi klien mengalami
dada dan auskultasi
reflek batuk yang tidak dapat efektif.
suara nafas pada
Semua klien tergantung dari
kedua paru.
alternatif yang dilakukan seperti
3. Catat adanya batuk, menghisap lendir dari jalan nafas.
bertambahnya sesak
4. Batuk yang efektif dapat
napas dan pengeluaran
mengeluarkan sekret dari saluran
sekret melalui
napas.
endotrakeal dan
5. Ekspektoran untuk memudahkan
bertambahnya bunyi
mengeluarkan lendir dan
ronki.
4. Anjurkan klien mengevaluasi perbaikan kondisi
dengan teknik batuk klien atas pengembangan paru nya.
selama penghisapan
seperti waktu bernapas
panjang, batuk kuat,
bersin jika ada
indikasi.
5. Kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
pemberian
ekspektoran,
entibiotik, fisioterapi
dada dan konsul foto
thorak.

DAFTAR PUSTAKA

Arif mutataqin.2008.asuhan keperwatan klien dengan gangguan sistem persarafan.jakarta : EGC.

Gyton dan hall.buku ajar fisiologi kedokteran.edisi 15.jakarta :EGC

Doenges, Marilynn E., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC : Jakarta

Brunner& Suddarth.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
CEDERA MEDULA SPINALIS
DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053181
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medula oblongata yang menjulur ke
arah kaudal melalui foramen magnum lalu berakhir di antara vertebra lumbal
pertama dan kedua. Fungsi medula spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara
otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Cedera medula spinalis dapat
diartikan sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan
pada daerah medula spinalis. Kerusakan medula spinalis pada daerah lumbal
mengakibatkan paralisis otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta gangguan
spinkter pada uretra dan rectum. Berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang
dipertahankan di bawah lesi, cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet
dan inkomplet. Pembagian ini penting untuk menenetukan prognosis dan penanganan
selanjutnya (Brunner dan Suddarth, 2001).
Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun,
sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering
menimbulkan kecacatan permanen pada usia produktif. Kelainan ini sering
mengakibatkan penderita harus terus berbaring di tempat tidur atau duduk di kursi
roda karena paraplegia. Di antara kelompok usia ini, kejadian lebih sering pada laki-
laki (82%) dari pada wanita (18%). Penyebab paling umum adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (MVCs: 39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan (25%), dan
olahraga 7%. Sekitar 20% dari orang tua yang mengalami CMS adalah karena jatuh
(Morton, 2005).
Data epidemiologik dari berbagai negara menyebutkan bahwa angka kejadian CMS
sekitar 11,5-53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka ini belum termasuk
data jumlah penderita yang meninggal pada saat terjadinya cedera akut (Islam, 2006).

Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya
di Amerika Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per
100.000 penduduk (Pinzon, 2007).

Data dari bagian rekam medik RSUP Fatmawati dari Januari-Juni 2003, angka
kejadian fraktur berjumlah 165 termasuk di dalamnya 20 pasien menderita cedera
medula spinalis (12,5%).

Pasien yang mengalami cedera medula spinalis bone loss pada L2-L3 membutuhkan
perhatian lebih dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan mobilisasi. Pasien
beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena
profunda, dan hiperfleksia autonomik. Oleh karena itu, sebagai perawat sangat perlu
untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien cedera
medula spinalis lumbal dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sehingga masalah dapat teratasi dan pasien dapat terhindar dari kemungkinan
masalah yang buruk.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan angka kejadian cedera medula spinalis dan tingkat keparahan yang
ditimbulkan, maka penulis merumuskan masalah yaitu profesionalisme perawat
sangat diperlukan dalam penanganan pasien cedera medula spinalis melalui
penerapan asuhan keperawatan yang holistik.

C. Tujuan

1. Tujuan umum
Melalui penulisan karya ilmiah ini, penulis ingin menelaah mengenai asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera medula spinalis yang holistik.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, dan klasifiksi kasus cedera medula
spinalis
b. Mengetahui data-data dasar pengkajian yang diperlukan dalam proses
keperawatan
c. Mampu menyusun langkah-langkah dalam proses keperawatan yang meliputi
pengkajian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis, sebagai sarana berlatih menambah pengetahuan dan
mengembangkan ilmu keperawatan dengan mengumpulkan informasi ilmiah
untuk kemudian dikaji, dianalisis, dan disusun dalam satu karya tulis yang
ilmiah, informatif, bermanfaat, serta menambah kekayaan intelektual.
b. Bagi institusi pendidikan dan para akademisi, dapat memperkaya hasanah
ilmu pengetahuan kesehatan di bidang keperawatan, khususnya keperawatan
dewasa/keperawatan medikal bedah untuk dapat dimanfaatkan sebagai
sumber atau bahan kajian dalam menambah ilmu pengetahuan di bidang
keperawatan.
c. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan referensi dalam mengembangkan
pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada kasus cedera medula spinalis
(lumbal) yang belum dikaji dalam penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi perawat, dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam usaha
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yang holistik pada kasus cedera
medulla spinalis (lumbal) dengan memberikan informasi mengenai standar
asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosis, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
b. Bagi institusi kesehatan, sebagai bahan pertimbangan institusi dalam
menentukan kebijakan/keputusan mengenai segala macam bentuk tindakan
asuhan keperawatan yang berorientasi pada respon pasien, sehingga
membantu dalam mempercepat proses penyembuhan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan klasifikasi

Cedera medula spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis khususnya lumbal (Brunner
dan Suddarth, 2001). Berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah
lesi, cedera medula spinalis dapat diklasifikasikan menjadi cedera komplet dan
inkomplet.
B. Etiologi
Penyebab utama Cedera Medula Spinalis (CMS) lumbal adalah trauma, dan dapat pula
disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, seperti arthropathi spinal, keganasan
yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan
gangguan vaskular. Penyebab trauma spinal lumbal yang paling banyak dikemukakan
adalah kecelakaan lalu lintas, olah raga, tembakan senapan, serta bencana alam
(Islam, 2006).
C. Patofisiologi

Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal secara langsung.
Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu trauma menimbulkan fraktur dan
instabilitas vertebra sehingga mengakibatkan cedera pada medula spinalis lumbal.
Beberapa saat setelah trauma, cedera sekunder berupa iskemia muncul karena
gangguan pembuluh darah yang terjadi. Iskemia mengakibatkan pelepasan glutamat,
influks kalsium dan pembentukan radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis
yang mengakibatkan kematian sel neuron karena nekrosis dan terputusnya akson pada
segmen medula spinalis yang terkena (lumbal). Akson yang telah rusak tidak akan
tersambung kembali karena terhalang jaringan parut (Islam, 2006).
Kondisi kerusakan saraf lumbal dapat berakibat pada masalah-masalah
biopsikososiospiritual. Masalah biologis yang muncul yaitu nyeri akut, kerusakan
mobilitas fisik, gangguan eliminasi urin dan fekal, dan disfungsi seksual. Masalah
psikologis, pasien mengalami harga diri rendah situasional akibat kerusakan
fungsional pada lumbal. Masalah sosial yaitu gangguan interaksi sosial karena
keterbatasan dalam mobilitas fisik. Masalah spiritual, pasien yang mengalami
penurunan tingkat keyakinan dapat berisiko terhadap kerusakan dalam
beribadah/beragama.
D. Manifestasi Klinis

Cedera medula spinalis lumbal dapat menyebabkan gambaran paraplegia. Tingkat


neurologik yang berhubungan akan mengalami paralisis sensori dan motorik total
yang menyebabkan gangguan kontrol kandung kemih (retensi dan inkontinensia) dan
usus besar, penurunan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah yang diawali
dengan resistensi vaskuler perifer (Brunner dan Suddarth, 2001).
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang pada vertebra lumbal. Sinar X multipel diperlukan untuk
pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa, menentukan lokasi dan jenis
cedera tulang (fraktur, dislokasi), kesejajaran, dan reduksi setelah dilakukan traksi
atau operasi (Brunner dan Suddarth, 2001).

Gambar 2.1 Foto Sinar X Lumbal

2. Computed Tomography (CT Scan)

Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena (lumbal) dan
dapat memperlihatkan cedera ligamen atau tendon. Teknik ini dapat
mengidentifikasai lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit
dievaluasi. Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras, namun jika
dengan zat kontras, maka akan diinjeksi melalui intravena (Brunner dan Suddarth,
2001).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI adalah teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang menggunakan medan magnet,
gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatakan abnormalitas jaringan
lunak seperti otot, tendon, dan tulang rawan. MRI mempunyai potensial untuk
mengidentifikasi keadaan abnormal serebral dengan mudah dan lebih jelas dari tes
diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang perubahan kimia
dalam sel, namun tidak menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).
Gambar 2.2 Foto Magnetic Resonance Imaging (MRI) Lumbal

4. Mielografi.
Merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga subarachnoid spinalis
lumbal. Mielogram menggambarkan ruang subarachnoid spinal dan menunjukkan
adanya penyimpangan medula spinalis atau sakus dural spinal yang disebabkan
oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain. Zat kontras dapat
menggunakan larutan air atau yang mengandung minyak. Metrizamid adalah zat
kontras yang larut air, diabsorbsi oleh tubuh, serta diekskresi melalui ginjal
(Brunner dan Suddarth, 2001).

Gambar 2.3 Foto Mielografi Lumbal

F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis lumbal agar tidak
berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan neurologik. Penatalaksanaan
farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi,
khususnya metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi
kecacatan bila diberikan dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti
dengan infus kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien
dengan cedera medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam mengobati binatang
dengan cedera medula spinalis lumbal, mempunyai efek samping minimal dan dapat
meningkatkan perbaikan neurologik pada manusia. Terapi farmakologik yang masih
dalam penyelidikan adalah pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk
menurunkan edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan
memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi (Brunner dan
Suddarth, 2001).

G. Pathway

Trauma Vertebra Lumbal

Penekanan Medula Spinalis Lumbal

Nyeri akut b.d. Fraktur kompresi Terapi Non Operasi


agen injuri fisik Lumbal konservatif

Kerusakan Neurologi Faktor Patologis ( Misal TBC,


Osteoporosis)

Gangguan Saraf Lumbal


Gangguan Fungsi Organ
Bagian Bawah
Psiko Sosio Spiritual

Bio
Ekstremitas Bawah Genitalia Harga diri rendah situasional
Urinaria Fekal Risiko kerusakan
b.d. kerusakan fungsional dalam beragama b.d.
pada Lumbal sakit/hospitalisasi

Disfungsi Seksual
Konstipasi b.d.
Kelemahan
Kerusakan mobilitas fisik Retensi urin b.d. Hambatan Neurologis pada
Lumbal
b.d. kerusakan dalam Refleks Berkemih
neuromuskular
Inkontinensia urin b.d. Inkontinensia
trauma atau penyakit yang bowel b.d.
keabnormalan
mempengaruhi saraf spinkter rektum
medula spinal
BAB III
PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN
Tahap pengkajian dari proses keperawatan merupakan proses dinamis yang terorganisir
yang meliputi tiga aktivitas dasar yaitu pertama mengumpulkan data secara sistematis,
kedua memilah dan mengatur data dan ketiga mendokumentasikan data dalam format
yang dapat dibuka kembali. Berikut ini merupakan data pengkajian pada pasien
dengan cedera medula spinalis hari pertama masuk ruang rawat inap.
Tabel 3.1. Data Dasar Pengkajian Menurut Doenges (1999)
Data Tanda dan gejala
Aktivitas/istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada/ di
bawah lesi.
Kelemahan umum/kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
Sirkulasi Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.
Hipotensi, hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
Hilangnya keringat pada daerah yang terkena.
Eliminasi Inkontinensia defekasi dan berkemih.
Retensi urin, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis
berwarna seperti kopi tanah/hemetemesis
Integritas ego Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.
Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
Makanan/cairan Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik).
Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(bervariasi).
Neurosensori Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan/kaki. Paralisis
flaccid/spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, tergantung
pada area spinal yang sakit.
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat dapat berkembang saat terjadi
perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembali normal setelah
syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot/vasomotor.
Kehilangan reflex/reflex asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan
reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat dari bagian tubuh yang terkena
karena pengaruh trauma spinal.
Nyeri/kenyamanan Nyeri/nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma.
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
Pernapasan Napas pendek, sulit bernapas.
Pernapasan dangkal/labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronkhi, pucat, sianosis.
Keamanan Suhu yang berfluktuasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
Seksualitas Keinginan untuk kembali seperti fungsi normal.
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Definisi: pengalaman emosional dan sensasi yang tidak menyenangkan yang
muncul dari kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau
menunjukan kerusakan yang menyerang secara mendadak atau pelan dari
intensitas ringan sampai berat yang dapat diantisipasi atau diprediksi
dengan durasi nyeri kurang dari 6 bulan (Asosiasi studi Nyeri
Internasional).
Batasan karakteristik:
a. Laporan secara verbal atau non verbal
b. Fakta dari observasi
c. Gerakan melindungi
d. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas,
nadi dan dilatasi pupil)
e. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh kesah)
Faktor yang berhubungan : agen injuri fisik
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
Definisi : keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian
tubuh atau satu atau lebih ekstremitas.
Batasan karakteristik :
a. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
b. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
c. Kesulitan berbalik (belok)
d. Perubahan gaya berjalan (misalnya penurunan kecepatan berjalan, kesulitan
memulai jalan, langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada
posisi lateral)
e. Bergerak menyebabkan nafas menjadi pendek
f. Usaha yang kuat untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas
lain, mengontrol perilaku, fokus dalam anggapan ketidakmampuan aktivitas)
g. Pergerakan yang lambat
Faktor yang berhubungan :
a. Kerusakan persepsi sensori
b. Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
c. Intoleransi aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
3. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
Definisi: pengosongan blader tidak sempurna.
Batasan karakteristik:
a. Distensi blader
b. Sedikit, sering berkemih atau tidak sama sekali
c. Sensasi penuh blader
Faktor yang berhubungan:
a. Hambatan dalam refleks
b. Tekanan uretra tinggi karena kelemahan detrusor
4. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinal
Definisi: kehilangan urin secara terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Batasan karakteristik:
a. Inkontinensia tidak disadari
b. Keterbatasan kesadaran pengisian perineal atau blader
c. Urin mengalir secara konstan pada waktu yang tak dapat diperkirakan tanpa
bantuan kontraksi atau spasme blader
Faktor yang berhubungan:
a. Trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinal
b. Disfungsi neurologi yang mengakibatkan dorongan miksi pada waktu yang tidak
dapat diperkirakan
5. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
Definisi: penurunan frekuensi defekasi dengan diikuti kesulitan atau pengeluaran
feses yang tidak tuntas atau feses kering dan keras.
Batasan karakteristik:
a. Perubahan pola BAB
b. Feses kering keras dan berbentuk
c. Nyeri saat defekasi
d. Fekuensi BAB menurun
e. Perasaan rektal penuh atau tertekan
Faktor yang berhubungan:
a. Kelemahan neurologis pada lumbal
b. Kurang intake serat
c. Kurang intake cairan
6. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
Definisi:perubahan dalam kebiasaan buang air besar secara normal dengan
karakteristik pengeluaran feses secara involunter
Batasan karakteristik:
a. Ketidakmampuan menunda defekasi
b. Dorongan defekasi
c. Laporan ketidakmampuan merasakan rektal penuh
Faktor yang berhubungan:
a. Abnormal spinkter rektum
b. Kerusakan saraf motorik bawah
c. Kehilangan kontrol spinkter rektal
d. Penurunan kekuatan otot secara umum
7. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi
(trauma)
Definisi: perubahan fungsi seksual yang diperlihatkan dengan ketidakpuasan, tidak
dihargai, dan tidak adekuat.
Batasan karakteristik:
a. Mengungkapkan masalah
b. Perubahan dalam mencapai kepuasan seksual
c. Perubahan hubungan dengan orang yang berharga
d. Perubahan dalam mencapai peran seks yang diterima
Faktor risiko
a. Perubahan struktur tubuh atau fungsi (trauma)
b. Perubahan biopsikososial seksualitas

8. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional lumbal


Definisi: berkembangnya persepsi diri yang negatif dalam berespon terhadap situasi
yang sedang terjadi (spesifik).
Batasan karakteristik:
a. Mengungkapkan diri yang negatif
b. Bimbang, perilaku nonasertif
c. Mengekspresikan tidak berdaya dan tidak berguna
Faktor yang berhubungan:
a. Gangguan gambaran diri
b. Kerusakan fungsional (spesifik)
9. Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan sakit/hospitalisasi
Definisi: risiko kerusakan kemampuan dalam menjalankan ibadah sesuai
kepercayaan dan atau dalam menjalankan ritual lain.
Faktor risiko:
a. Sakit/hospitalisasi
b. Kurang interaksi sosial

C. INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
NOC :
a. Level nyeri (Pain Level)
b. Kontrol nyeri (Pain control)
c. Level kenyamanan (Comfort level)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam, pasien:
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) (Skala 3)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri (Skala
3)
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) (Skala 3)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang (Skala 3)
e. Tanda vital dalam rentang normal (Skala 3)
NIC :
Manajemen nyeri (Pain Management)
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
d. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
e. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
f. Kolaborasikan dengan dokter dengan memberikan analgesik untuk mengurangi
nyeri
Administrasi analgesik (Analgesic Administration)
a. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
b. Cek riwayat alergi
c. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
d. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
e. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
f. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
g. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
h. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
NOC :
a. Perpindahan sendi: aktif (Joint movement : active)
b. Tingkat mobilitas (Mobility level)
c. Perawatan diri: aktivitas sehari-hari (Self care : ADLs)
d. Perpindahan kerja (Transfer performance)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 2 minggu pasien mampu:
a. Meningkatkan aktivitas fisik (skala 4)
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas (Skala 4)
c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah (Skala 4)
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker) (Skala 4)
NIC :
Terapi latihan: ambulasi (Exercise therapy : ambulation)
a. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
b. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
c. Ajarkan pasien dan keluarga tentang teknik ambulasi
d. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
e. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari secara mandiri
sesuai kemampuan
f. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
Manajemen energi (Energy management)
a. Observasi adanya pembatasan pasien dalam melakukan aktivitas
b. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
c. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
d. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
e. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
Terapi aktivitas (Activity therapy)
a. Kolaborasikan dengan tenaga kesehatan lain dalam merencanakan program latihan
yang tepat
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
c. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
d. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda dan krek
e. Bantu pasien untuk membuat jadwal latihan di waktu luang
3. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
NOC:
a. Ketahanan urine (Urinary continence)
b. Eliminasi urine (Urinary elimination)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien:
a. Mampu mengatur pengeluararan urin (Skala 3)
b. Mampu mengosongkan urine seluruhnya (skala 4)
NIC:
Pelatihan pada kandung kemih (Urinary bladder training)
a. Tetapkan awal dan akhir jadwal waktu untuk toileting
b. Ingatkan pasien untuk miksi pada interval telah yang ditentukan
c. Gunakan kekuatan sugesti misalnya dengan mendengarkan air mengalir untuk
membantu pasien dalam mengosongkan urin
Retensi urin (Urinary retention)
a. Lakukan penilaian berkemih yang komprehensif berfokus pada inkontinensia
(contoh pengeluaran kemih, pola pengeluaran urin, fungsi kognitif).
b. Jaga privasi untuk eliminasi
c. Gunakan kateter kemih dengan tepat
d. Monitor intake dan output cairan
e. Pantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
4. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medula spinal
NOC:
a. Ketahanan urine (Urinary Continence)
b. Eliminasi urine (Urinary Elimination)
c. Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa (Tissue integrity: Skin & Muccous
membranes)

Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien:
a. Mampu menahan pengeluaran urin sampai tepat dieliminasikan (Skala 3)
b. Mampu mengatur pengeluararan urin (Skala 3)
c. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperature,
hidrasi, pigmentasi) (Skala 3)
NIC:
Perawatan ketidaktahanan urine (Urinary incontinence Care)
a. Identifikasi banyak faktor yang menyebabkan inkontinensia (seperti pengeluaran
urine, fungsi kognitif, obat-obatan)
b. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi, volume, warna urin
c. Instruksikan kepada pasien untuk minum minimal 1500 cc air per hari
d. Monitor efektivitas obat-obatan
Manajemen penekanan (Pressure management)
a. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
b. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
c. Monitor akan adanya kemerahan
d. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
5. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
NOC:
a. Eliminasi usus (Bowel elimination)
b. Cairan (Hydration)
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien:
a. Nyeri kram tidak muncul (Skala 4)
b. Asupan cairan yang adekuat (Skala 3)
c. Menerapkan manajemen bowel secara mandiri (Skala 3)
d. Membran mukosa basah (Skala 3)
e. Tidak menunjukkan kehausan (Skala 3)

NIC:
Konstipasi bowel (Bowel constipation)
a. Anjurkan pasien atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian yang
tinggi serat
b. Anjurkan pasien atau keluarga menggunakan laksatif
c. Informasikan pasien tentang prosedur untuk defekasi secara mandiri
Pelatihan BAB (Bowel Training):
a. Kolaborasi ke dokter jika pasien memerlukan suppositoria (obat merangsang supaya
buang air yang dimasukkan ke dalam dubur)
b. Anjurkan pasien untuk cukup minum
c. Dorong pasien untuk cukup latihan
d. Kolaborasi pemberian suppositoria laksantif jika memungkinkan
e. Evaluasi status BAB secara rutin
6. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
NOC:
a. Ketahanan usus (Bowel Continence)
b. Eliminasi usus (Bowel Elimination)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien akan mampu:
a. BAB teratur (Skala 3)
b. Defekasi lunak, feses berbentuk (Skala 3)
c. Penurunan insiden inkontinensia usus (Skala 3)
NIC :
Perawatan pada ketidaktahanan usus (Bowel Inkontinence care)
a. Perkirakan penyebab fisik dan psikologi dari inkontinensia fekal
b. Jelaskan tujuan dari manajemen bowel pada pasien/keluarga
c. Diskusikan prosedur dan kriteria hasil yang diharapkan bersama pasien
d. Cuci area perianal dengan sabun dan air lalu keringkan
e. Jaga kebersihan baju dan tempat tidur
f. Monitor efek samping pengobatan
Pelatihan bowel (bowel training)
a. Latih pasien untuk menahan defekasi selama beberapa saat
b. Pemakaian pampers untuk menghindari pencemaran lingkungan
7. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi
(trauma)
NOC:
a. Pemulihan penyalahgunaan: seksual (Abuse recovery: sexual)
b. Fungsi seksual (Sexual functioning)
Kriteria Hasil :
Setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu pasien akan mampu:
a. Mengekspresikan harapan (Skala 3)
b. Mengekspresikan kemarahan dalam cara yang non destruktif (Skala 3)
c. Mengekspresikan kenyamanan pada tubuh (Skala 3)
d. Mengekspresikan harga diri (skala 3)
NIC:
Konseling seksual (Sexual counseling)
a. Bangun hubungan teraupetik, berdasarkan kepercayaan
b. Bangun hubungan konseling yang nyaman
c. Berikan informasi tentang fungsi seksual yang sesuai
d. Bahas dampak dari penyakit dan situasi tentang seksualitas kesehatan
e. Bahas pengaruh obat tentang seksualitas dengan tepat
f. Bahas tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya
g. Libatkan pasangan (jika sudah menikah) dan dalam membangun hubungan
teraupetik
8. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional pada
Lumbal
NOC:
a. Pengambilan keputusan (Decision making)
b. Harga diri (Self esteem)
Kriteria hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 1 minggu pasien akan mampu:
a. Mampu mengungkapkan penerimaan diri sendiri dalam situasi (Skala 3)
b. Mampu mengenalkan dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam
cara yang akurat tanpa menegatifkan harga diri (Skala 3)
NIC:
Peningkatan harga diri (Self Esteem Enhancement)
a. Monitor keadaan nilai diri pasien
b. Tentukan kepercayaan penilaian terhadap diri sendiri
c. Monitor frekuensi laporan verbal pasien
d. Fasilitasi lingkungan dan kegiatan yang meningkatkan harga diri
e. Hargai prestasi keberhasilan pasien sebelumnya
9. Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan sakit/hospitalisasi
NOC:
a. Rohani (Spiritual well being)
b. Interaksi sosial (Social Interaction)
Kriteria Hasil:
Setelah dilakukan perawatan selama 5 x 24 jam pasien akan mampu:
a. Mengungkapkan ketenangan (Skala 3)
b. Beribadah (Skala 3)
c. Interaksi dengan pemuka agama (Skala 4)
d. Keikhlasan (Skala 4)
e. Mau menerima keadaan (Skala 4)
NIC:
Dukungan spiritual (Spiritual Support)
a. Fasilitasi pasien untuk berdoa dan beribadah
b. Sediakan pemuka agama untuk konsultasi pasien
Peningkatan sosialisasi (Socialization enhancement)
a. Anjurkan keterlibatan pada pembentukan hubungan sesama
b. Anjurkan kesabaran dalam pembangunan hubungan sesama
c. Anjurkan untuk beraktivitas dengan orang lain
d. Anjurkan untuk mengungkapkan masalah kepada orang lain
Tabel 3.2 Skala Pengukuran NOC
1 2 3 4 5
Extremely Substansial Moderately Mildly Not compromised
compromised compromised compromised compromised
Extremely Sebstansial deviasi Moderate deviasi Mild deviasi dari No deviasi dari
deviasi dari dari rentang normal dari rentang normal rentang normal rentang normal
rentang normal
Tergantung, tdk Memerlukan Membutuhkan Mandiri dengan Mandiri penuh
berpartisipasi bantuan orang dan bantuan orang alat bantu
alat
Tdk ada gerakan Gerakan terbatas Gerakan moderat Gerakan subtansial Gerakan penuh
Tidak sama To slight extent To a moderate extentTo ageat extent To a very great
sekali extent
Tidak adekuat Sedikit adekuat Moderat adekuat Substansially Total adekuat
adekuat
Lebih dari 9 7-9 4-6 1-3 Tidak ada
Extensive Substansial moderate limited none
None Limited moderate substantial Extensive
None Slight moderate Substantial Complete
Tidak pernah Jarang positive Kadang positive Sering positive Selalu positive
positive
Sangat lemah Lemah moderat Kuat Sangat kuat
Tidak pernah Jarang Kadan menunjukkan Sering Selalu
menunjukkan menunjukkan menunjukkan menunjukkan
Berat Substansial moderate Ringan Tidak ada
Tidak ada bukti Bukti terbatas Bukti moderat Bukti substantial Bukti extensive
Extreme Substantial Moderate terlambat Mild terlambat dari Tidak terlambat
terlambat dari terlambat dari dari rentang normal rentang normal dari rentang normal
rentang normal rentang normal
Kurang Cukup Rata-rata Baik Baik Sekali

D. IMPLEMENTASI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Manajemen nyeri (Pain Management)
a. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
d. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
e. Memilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan
inter personal) misalnya
f. Mengkolaborasikan dengan dokter dengan memberikan analgesik untuk
mengurangi nyeri
Administrasi analgesik (Analgesic Administration)
a. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Mengecek riwayat alergi
c. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
d. Kolaborasikan dengan dokter dalam menentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
e. Memilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
f. Memonitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
g. Memberikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
h. Mengevaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular


Terapi latihan: ambulasi (Exercise therapy : ambulation)
a. Mengkonsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan dan bertahap misalnya dengan ROM pasif terlebih dahulu kemudian
ROM aktif
b. Membantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
cedera
c. Mengajarkan pasien dan keluarga tentang teknik ambulasi misalnya pergerakan
kaki secara bertahap
d. Mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
e. Melatih pasien dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari secara mandiri
sesuai kemampuan misalnya makan, berhias, dan toileting
f. Mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan misalnya memiringkan badan
Manajemen energi (Energy Management)
a. Mengobservasi adanya pembatasan pasien dalam melakukan aktivitas
b. Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
c. Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan misalnya kemampuan
pasien dalam melakukan ROM
d. Memonitor nutrisi dan energi yang adekuat
e. Memonitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
Terapi aktivitas (Activity Therapy)
a. Mengkolaborasikan dengan tenaga kesehatan lain dalam merencanakan program
latihan yang tepat.
b. Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
c. Membantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan
untuk aktivitas yang diinginkan
d. Membantu pasien dalam menggunakan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda
dan krek
e. Membantu pasien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang
3. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
Pelatihan untuk kandung kemih (Urinary bladder training)
a. Menetapkan awal dan akhir jadwal waktu untuk toileting
b. Mengingatkan pasien untuk miksi pada interval telah yang ditentukan
c. Menggunakan kekuatan sugesti misalnya dengan mendengarkan air mengalir untuk
membantu pasien dalam mengosongkan kandung kemih
Retensi urin (Urinary retention)
a. Melakukan penilaian berkemih yang komprehensif berfokus pada inkontinensia
(contoh pengeluaran kemih, pola pengeluaran urin, fungsi kognitif).
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kateter kemih dengan tepat
d. Memonitor intake dan output cairan
e. Memantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
f. Melatih pasien untuk mengeluarkan urin misalnya ketika perawat akan mengganti
selang kateter dengan cara mengikat selang kateter sampai kandung kemih terasa
penuh sehingga pasien memiliki sensasi ingin miksi.
4. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medula spinal
Perawatan pada ketidaktahanan urine (Urinary incontinence Care)
a. Mengidentifikasi banyak faktor yang menyebabkan inkontinensia (seperti
pengeluaran urine, fungsi kognitif, obat-obatan)
b. Memonitor eliminasi urin termasuk frekuensi, volume, warna urin
c. Menginstruksikan kepada pasien untuk minum minimal 1500 cc air per hari
d. Memonitor efektivitas obat-obatan
e. Melatih pasien untuk menahan miksi beberapa saat
Manajemen penekanan (Pressure management)
a. Menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
b. Memobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
c. Memonitor akan adanya kemerahan
d. Memonitor aktivitas dan mobilisasi pasien

5. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal


Konstipasi bowel (Bowel constipation)
a. Menganjurkan pasien atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian yang
tinggi serat
b. Menganjurkan pasien atau keluarga menggunakan laksatif
c. Menginformasikan pasien tentang prosedur untuk defekasi secara mandiri
Pelatihan pada usus (Bowel Training):
a. Mengkolaborasi ke dokter jika pasien memerlukan suppositoria (obat
merangsang supaya buang air yang dimasukkan ke dalam dubur)
b. Menganjurkan pasien untuk cukup minum
c. Mendorong pasien untuk cukup mobilisasi
d. Mengkolaborasi pemberian suppositoria laksantif jika memungkinkan
e. Mengevaluasi status BAB secara rutin
6. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
Perawatan ketidaktahanan usus (Bowel Inkontinence care)
a. Memperkirakan penyebab fisik dan psikologi dari inkontinensia fekal
b. Menjelaskan tujuan dari manajemen bowel pada pasien/keluarga
c. Mendiskusikan prosedur dan kriteria hasil yang diharapkan bersama pasien
d. Mencuci area perianal dengan sabun dan air lalu keringkan
e. Menjaga kebersihan baju dan tempat tidur
f. Memonitor efek samping pengobatan.
Pelatihan bowel (bowel training)
a. Melatih pasien untuk menahan defekasi selama beberapa saat
b. Memakaian pampers untuk menghindari pencemaran lingkungan jika masih
diperlukan
7. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi (trauma)
Konseling seksual (Sexual counseling)
a.Membangun hubungan teraupetik, berdasarkan kepercayaan
b. Membangun hubungan konseling yang nyaman
c.Memberikan informasi tentang fungsi seksual yang sesuai
d. Membahas dampak dari penyakit dan situasi tentang seksualitas kesehatan
e.Membahas pengaruh obat tentang seksualitas dengan tepat
f. Membahas tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya
g. Melibatkan pasangan (jika sudah menikah) dan dalam membangun hubungan
teraupetik
8. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional pada lumbal
Peningkatan harga diri (Self Esteem Enhancement)
a. Memonitor keadaan nilai diri pasien
b. Menentukan kepercayaan penilaian terhadap diri sendiri
c. Memonitor frekuensi laporan verbal pasien
d. Menfasilitasi lingkungan dan kegiatan yang meningkatkan harga diri
e. Menghargai prestasi keberhasilan pasien sebelumnya
9. Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan sakit/hospitalisasi
Dukungan spiritual (Spiritual Support)
a. Menfasilitasi pasien untuk berdoa dan beribadah
b. Menyediakan pemuka agama untuk konsultasi pasien
Peningkatan sosialisasi (Socialisation enhancement)
a. Menganjurkan keterlibatan keterlibatan pada pembentukan hubungan sesama
b. Menganjurkan kesabaran dalam pembangunan hubungan sesama
c. Menganjurkan untuk beraktivitas dengan orang lain
d. Menganjurkan untuk mengungkapkan masalah kepada orang lain

E. EVALUASI
1. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat bergerak dalam batas fungsi atau
belum
O : Pasien sudah memperlihatkan usaha melakukan latihan dalam batas fungsi
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Melatih pasien dengan ROM
2. Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah mengonsumsi asupan cairan yang adekuat
atau belum?
O : Pasien sudah mengonsumsi cairan yang adekuat
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga asupan cairan yang adekuat
3. Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinal
S : Tanyakan pada pasien apakah terjadi tanda-tanda infeksi pada saluran urine
misalnya berkemih jernih dan urine encer
O : Pasien tidak terjadi tanda-tanda infeksi pada saluran urine (warna urine jernih
dan encer)
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga agar tidak timbul tanda-tanda infeksi saluran urine selama masih
perawatan
4. Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat buang air besar secara teratur atau
belum.
O : Pasien belum dapat buang air besar secara teratur
A : Tujuan belum tercapai
P : Mengonsumsi makanan berserat yang adekuat dan cairan melalui oral
5. Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter rektum
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat mengatur pengeluaran BAB atau
belum.
O : Pasien sudah dapat mengatur pengeluaran BAB
A : Tujuan tercapai
P : Mencegah terjadinya inkontinensia bowel lanjutan
6. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau fungsi
(trauma)
S : Tanyakan pada pasien apakah hubungan dengan orang berharga terjaga dengan
baik
O : Hubungan dengan orang berharga terjaga dengan baik
A : Tujuan tercapai
P : Meningkatkan harapan sembuh pada pasien
7. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan fungsional pada lumbal
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah dapat menerima diri dalam situasi ini atau
belum.
O : Pasien sudah dapat menerima diri sesuai kemampuan pasien sekarang
A : Tujuan tercapai
P : Memberikan penghargaan terhadap keberhasilan pasien
8. Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan sakit/hospitalisasi
S : Tanyakan pada pasien apakah sudah beribadah sesuai kepercayaan pasien
O : Pasien sudah melakukan ibadah sesuai kepercayaannya
A : Tujuan tercapai
P : Menjaga privasi ibadah pasien
9. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
S : Tanyakan pada pasien apakah level nyeri sudah berkurang atau belum setelah
perawatan selama 3 x 24 jam?
O : Level nyeri pasien sudah berkurang
A : Tujuan tercapai sebagian
P : Lakukan kontrol nyeri dan manajemen nyeri selanjutnya
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera medula
spinalis lumbal adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
benturan pada daerah medula spinalis lumbal. Penyebabnya antara lain trauma dan
kelainan pada vertebra (seperti artropati spinal, fraktur patologik, infeksi,
osteoporosis, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular). Instabilitas pada vertebra
lumbal mengakibatkan penekanan saraf lumbal sehingga terjadi gangguan pada saraf
lumbal. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi organ-organ yang dipersarafi yaitu
usus, genitalia, urinari, rektum, dan ekstremitas bawah. Penatalaksanaan ditujukan
untuk mencegah akibat lanjut dari cedera. Asuhan keperawatan yang digunakan
untuk menangani pasien cedera medula spinalis antara lain:
1. Diagnosa: Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
Intervensi: berikan obat analgesik dengan tepat.
2. Diagnosa: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
Intervensi: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
3. Diagnosa: Retensi urin berhubungan dengan hambatan dalam refleks berkemih.
Intervensi: pantau tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi.
4. Diagnosa: Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit
yang mempengaruhi saraf medula spinalis.
Intervensi: monitor eliminasi urin (frekuensi, volume, dan warna urin).
5. Diagnosa: Konstipasi berhubungan dengan kelemahan neurologis pada lumbal.
Intervensi: anjurkan pasien dak keluarga untuk menggunakan laksatif.
6. Diagnosa: Inkontinensia bowel berhubungan dengan keabnormalan spinkter
rektum.
Intervensi: jelaskan penyebab fisik dan psikologi dari inkontinensia fekal.
7. Diagnosa: Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh atau
fungsi (trauma).
Intervensi: bahas tingkat pengetahuan pasien tentang seksualitas pada umumnya.
8. Diagnosa: Harga diri rendah situasional berhubungan dengan kerusakan
fungsional lumbal.
Intervensi: berikan penghargaan prestasi keberhasilan pasien sebelumnya
9. Diagnosa: Risiko kerusakan dalam beragama berhubungan dengan
sakit/hospitalisasi.
Intervensi: sediakan pemuka agama untuk konsultasi pasien.

B. Saran
Penulis menyarankan, sebaiknya seorang perawat dalam setiap pemberian asuhan
keperawatan termasuk pada asuhan keperawatan cedera medula spinalis
menggunakan konsep keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia
yang bersifat holistik yang meliputi aspek biopsikososiospiritual.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

UROLITHIASIS

DISUSUN OLEH:

Veny Anriany Marbun

NIM. 1710053209

TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN

PRODI D3 KEPERAWATAN

TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Urolithiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem urinarius.
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat sedangkan nefrolitiasis adalah
adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal.
Batu ginjal merupakan batu saluran kemih, sudah dikenal sejak zaman
Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih
mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai
dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin
terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau
memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine
seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang
terbentu di dalam divertikel uretra.
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di
kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering terjadi.
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan
di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju
lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter),
perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka
prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu
saluran kemih.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).Secara
epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu
saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan urolithiasis dan nefrolitiasis?
2. Apa klasifikasi dari urolithiasis dan nefrolitiasis?
3. Apa penyebab terjadinya urolithiasis dan nefrolitiasis?
4. Bagaimana patofisiologi urolithiasis dan nefrolitiasis?
5. Apa manifestasi klinis dari urolithiasis dan nefrolitiasis?
6. Apa komplikasi pada urolithiasis dan nefrolitiasis?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien urolithiasis
dan nefrolitiasis?
8. Apa saja tindakan dan pencegahan yang harus dilakukan dari urolithiasis dan
nefrolitiasis?
9. Apa prognosis dari urolithiasis dan nefrolitiasis?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien urolithiasis dan
nefrolitiasis?

C. Tujuan Penulisan
Setelah mendapatkan bahan pembelajaraan asuhan keperawatan pada klien
urolithiasis, mahasiswa dapat :
1. Mengetahui definisi urolithiasis dan nefrolitiasis.
2. Mengetahui klasifikasi dari urolithiasis dan nefrolitiasis.
3. Mengetahui etiologi urolithiasis dan nefrolitiasis.
4. Memahami patofisiologi urolithiasis dan nefrolitiasis.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari urolithiasis dan nefrolitiasis.
6. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi terhadap pasien urolithiasis dan
nefrolitiasis.
7. Memahami pemeriksaan penunjang urolithiasis dan nefrolitiasis.
8. Mengetahui tata cara penatalaksanaan dan pencegahan yang dilakukan
terhadap pasien urolithiasis dan nefrolitiasis.
9. Mengetahui prognosis dari urolithiasis dan nefrolitiasis.
10. Memahami dan mengetahui konsep asuhan keperawatan pada pasien
urolithiasis dan nefrolitiasis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Batu Saluran Kemih

Definisi BSK Batu saluran kemih adalah batu yang terbetuk dari
berbagai macam proses kimia di dalam tubuh manusia dan terletak di dalam
ginjal serta saluran kemih pada manusia seperti ureter (Pharos, 2012: hal 4)
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada
saluran kencing yang berbentuk karena faktor presifitasi endapan dan senyawa
tertentu. Batu tersebut bias berbentuk dari berbagai senyawa, misalnya
kalsium oksalat (60%), fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%).
(Prabowo. E dan Pranata, 2014: hal 111)

B. Etiologi

Menurut (Purnomo, 2011: hal 2) Terbentuknya batu saluran kemih diduga


karena ada hubungannya gangguan cairan urine, gangguan metabolik, infeksi
saluran kemih dehidrasi dan keadaan lain yang masih belum terungkap
(idopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang yaitu :
a. Faktor intrinsik: herediter (di duga diturunkan orang tuanya)
umur, (paling sering di dapatkan pada usia 30-50 tahun) jenis
kelamin, (laki-laki tiga lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan).
b. Faktor ekstrinsik: geografi, iklim dan temperature, asupan air,
diet pekerjaan.
Mineralisasi pada semua system biologi merupakan temuan umum. Tidak
terkecuali batu saluran kemih, yang merupakan kumpulan kristal yang terdiri
dari bermacam-macam Kristal dan matrik organik. Teori yang menjelaskan
mengenai penyakit batu saluran kemih kurang lengkap. Proses pembentukan
membutuhkan supersaturasi urine. Supersaturasi tergantung pada PH urine,
kekuatan ion, konsntrasizat terlarut, dan kompleksasi. (Stoller 2010 : hal 4).
Teori Kristal inhibitor menyatakan bahwa batu terbentuk karena
konsentrasi inhibitor alami yang rendah seperti magnesium, sitrat, firofosfat,
dan sejumlah kecil logam.
Teori ini tidak absolit karena tidak semua orang yang inhibitor pembentuk
kristalnya rendah terkena batu saluran kemih. (Stoller 2010 : hal 5).
1. Komponen Kristal batu terutama terdiri dari komponen Kristal dengan
ukuran dan transparansi yang mudah di identifikasi dibawah polarisasi
mikroskop. Difraksi X-ray terutama untuk menilai geometris dan
arsitektur batu. Banyak tahap yang terkait dalam pembentukan batu.
Meliputi nukleasi, perkembangan dan agregasi, nukleasi memulai proses
dan di induksi oleh beberapa subtansi sepertimatrik protein, Kristal,
zatasing dan partikel-partikel lainnya. (Stoller 2010 : hal 5)
2. Komponen matrik Sejumlah komponen matrik non Kristal dari batu
saluran kemih memiliki tipe yang berfariasi. Umumnya antara 2% hingga
10% beratnya terdiri dari protein, dengan sejumlah kecil heksosa dan
heksamin. (Stoller, 2010: hal 5)

C. Patofisiologi

Menurut (Dinda, 2011: hal 2) Secara teoritis batu dapat terbentuk di


seluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami
hambatan aliran urine (stasis urine), yaitu sistem kalises ginjal atau buli-buli.
Adnya kelainan bawaan pada pelvikalises, divertikel, obstruksi infravesika
kronis seperti pada hyperplasia prostat berigna, striktura, dan buli-buli
neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadi
pembentukan batu. (Dinda, 2011: hal 2)
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organic
yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam
keadaan metastable (tetap larut) kemudian akan mengadakan agregasi, dan
menarik bahan-bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar.
Meskipun ukurannya cukup besar, agregat Kristal masih rapuh dan belum
cukup mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agregat Kristal menempel
pada epitel saluran kemih, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada
agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat
saluran kemih. (Dinda, 2011: hal 2)
Kondisi metasble di pengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di
dalam urine, kosentrasi solute di dalam urine, laju aliran di dalam saluran
kemih, atau adanya koloid di dalam urine, kosentrasi solute di dalam saluran
kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak
sebagai inti batu. (Dinda, 2011: hal 2)
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat, batu
magnesium ammonium fosfat, batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis
lainnya. Meskipun patogenesis pembentukan batu-batu di atas hampir sama,
tetapi suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis
batu itu tidak sama. Misalkan batu asam urat mudah terbentuk dalam suasana
asam, sedangkan batu magnesium amonium fosfat terbentuk karena urine
bersifat basa. (Dinda, 2011: hal 2)
D. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala BSK antara lain:

a. Kolik renal dan non kolik renal merupakan 2 tipe nyeri yang
berasal dari ginjal kolik renal umumnya disebabkan karena
batu melewati saluran kolektivus atau saluran sempit ureter,
sementara non kolik renal disebabkan oleh distensi dari kapsula
ginjal. (Stoller, 2010: hal: 12)
b. Hematuria pada penderita BSK seringkali terjadi hematuria (air
kemih berwarna seperti air teh) terutama pada obstruksi ureter.
(Stoller, 2010: hal: 12)
c. Infeksi jenis BSK apapun seringkali berhubungan dengan
infeksi sekunder akibat obstruksi. (Stoller, 2010: hal: 12)
d. Demam adanya demam yang berhubungan dengan BSK
merupakan kasus darurat karena dapat menyebabkan urosepsis.
(Stoller, 2010: hal: 12)
e. Mual-muntah Obstruksi saluran kemih bagian atas seringkali
menyebabkan mual dan muntah. (Stoller, 2010: hal: 12)

E. Klasifikasi Batu Saluran Kemih

Menurut (Turk, 2011: hal 11). Klasifikasi Batu saluran kemih dapat
diklasifikasikan berdasarkan aspek berikut:
a. Ukuran batu, lokasi batu, karakteristik X-ray dari batu,
penyebab terbentuknya batu, komposisi batu (mineralogi), dan
resiko kelompok terjadinya pembentukan batu. (Turk, 2011: hal
12)
b. Ukuran Batu biasanya dinyatakan dalam milimeter,
menggunakan satu atau dua dimensi pengukuran. Batu bisa
dikelompokkan panjangnya hingga 5mm, >5-10 mm, > 10-20
mm dan > 20 mm. (Turk, 2011: hal 12)
c. Lokasi Batu Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan
berdasarkan posisi anatomi pada saluran kemih pada diagnosa:
upper calyx, middle calyx atau lower calyx, renal pelvis, upper
ureter, middle ureter ataudistal ureter, urinary bladder. (Turk,
2011: hal 12)
d. Karakteristik X-ray Batu saluran kemih dapat diklasifikasikan
menurut penampakannya pada X-ray. Batu saluran kemih
bervarisai berdasarkan komposisi mineral. Jika tidak digunakan
komputer tomography Hounsfield
Units (HU) mungkin dapat memberi data mengenai massa jenis batu dan komposisi batu
(kekerasan batu). (Turk, 2011: hal 12)
e. Etiologi pembentukan Batu dapat disebabkan oleh infeksi dan
bukan infeksi, batu karena kelainan genetik, dan pembentukan
batu karena efek samping pengobatan (‘drug stones’). (Turk,
2011: hal 12)
f. Komposisi Batu (mineralogi) Aspek metabolik memiliki peran
penting dala pembentukan batu dan evaluasi metabolik yang
dibutuhkan untuk mengatasi kelainan metabolik. Analisis batu
yang benar dalam hubungannya dengan kelainan metabolik
akan menjadi dasar untuk diagnosa lebih lanjut dan tindakan
selanjutnya. Batu biasanya terdiri dari campuran substansi yang
berbeda. (Turk, 2011: hal 12)
g. Kelompok resiko terkena BSK Status resiko dari pembentuk
batu adalah dari sebab khusus yang memungkinkan terjadinya
atau perkembangan batu dan imperative untuk tindakan
farmakologi. Sekitar 50%dari semua yang terkena batu hanya
satu yang terkena selama hidupnya. Tingginya kejadian
penyakit yang sedikit yang diteliti lebih dari 10% dari semua
pembentuk batu. Tipe batu dan keparahan penyakit merupakan
determinan yang menyatakan pasien dengan resiko rendah atau
resiko tinggi terjadi batu. (Turk, 2011: hal 12)

F. Komplikasi Batu Saluran Kemih

Menurut (S. Wahap, 2013: hal 168) batu saluran kemih selain memicu
terjadinya renal colic, ada beberapa komplikasi ada beberapa komplikasi yang
di waspadai :
a. Pembendungan dan pembengkakan ginjal

b. Kerusakan dan gagal fungsi ginjal,

c. Infeksi saluran kemih

d. Timbulnya batu berulang


BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Identitas

Secara otomatis ,tidak factor jenis kelamin dan usia yang signifikan dalam proses
pembentukan batu. Namun, angka kejadian urolgitiasis dilapangan sering kali terjadi
pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini dimungkinkan karena pola hidup,
aktifitas, dan geografis. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
2. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan yang sering terjadi pada klien batu saluran kemih ialah nyeri pada saluran
kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat
terjadi nyeri/kolik renal klien dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan
perubahan. (Dinda, 2011: hal 2)
3. Pola psikososial

Hambatan dalam interaksi social dikarenakan adanya ketidaknyamanan (nyeri hebat)


pada pasien, sehingga focus perhatiannya hanya pada sakitnya. Isolasi social tidak
terjadi karena bukan merupakan penyakit menular. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal
121)
4. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari

a. Penurunan aktifitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot,


tetapi dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri). Kegiatan aktifitas
relative dibantu oleh keluarga,misalnya berpakaian, mandi
makan,minum dan lain sebagainya,terlebih jika kolik mendadak
terjadi. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
b. Terjadi mual mutah karena peningkatan tingkat stres pasien akibat
nyeri hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi ph pencernaan
yang asam akibat sekresi HCL berlebihan. Pemenuhan kebutuhan
cairan sbenarnya tidak ada masalah. Namun, klien sering kali
membatasi minum karena takut urinenya semakin banyak dan
memperparah nyeri yang dialami. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal
121)
c. Eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola, kecuali
diikuti oleh penyakit penyerta lainnya. Klien mengalami nyeri saat
kencing (disuria, pada diagnosis uretrolithiasis). Hematuria
(gross/flek), kencing sedikit (oliguaria), disertai vesika
(vesikolithiasis). (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
5. Pemeriksaan fisik

Anamnese tentang pola eliminasi urine akan memberikan data yang kuat. Oliguria,
disuria, gross hematuria menjadi ciri khas dari urolithiasis. Kaji TTV, biasanya tidak
perubahan yang mencolok pada urolithiasis. Takikardi akibat nyeri yang hebat, nyeri
pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/uretrolithiasis),
teraba massa keras/batu (uretrolthiasis). (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
a. Keadaan umum

Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai tanpa


kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak
batu dan penyulit yang ditimbulkan. Terjadi nyeri/kolik renal klien
dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan perubahan. (Dian,
2011: hal 2 )
b. Tanda-tanda vital

Kesadaran compos mentis, penampilan tampak obesitas, tekanan darah


110/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20
kali/menit, suhu 36,2 C, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) 29,3 kg/m 2.
Pada pemeriksaan palpasi regio flank sinistra didapatkan tanda
ballotement (+) dan pada perkusi nyeri ketok costovertebrae angle
sinistra (+). (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
c. Pemeriksaan fisik persistem

1) Sistem persyarafan, tingkat kesadaran, GCS, reflex bicara, compos


mentis. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
2) Sistem penglihatan, termasuk penglihatan pupil isokor, dengan
reflex cahaya (+) . (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
3) Sistem pernafasan, nilai frekuensi nafas, kualitas, suara dan jalan
nafas. Atau tidak mengeluh batuk atau sesak. Tidak ada riwayat
bronchitis, TB, asma, empisema, pneumonia. (Nahdi Tf, 2013: hal
50)
4) Sistem pendengaran, tidak ditemukan gangguan pada sistem
pendengaran. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
5) Sistem pencernaan, Mulut dan tenggorokan: Fungsi mengunyah
dan menelan baik, Bising usus normal. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
6) Sistem abdomen, adanya nyeri tekan abdomen, teraba massa keras
atau batu, nyeri ketok pada pinggang. (Prabowo E, dan Pranata,
2014: hal 122)
7) Sistem reproduksi tidak ada masalah/gangguan pada sistem
reproduksi. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
8) Sistem kardiovaskuler, tidak ditemukan gangguan pada sistem
kardiovaskular. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
9) Sistem integumen, hangat, kemerahan, pucat. (Dian, 2011 : hal 20)

10) Sistem muskuluskletal, mengalami intoleransi aktivitas karena


nyeri yang dirasakan yang melakukan mobilitas fisik tertentu.
(Nahdi Tf, 2013: hal 50)
11) Sistem perkemihan, adanya oliguria, disuria, gross hematuria,
menjadi ciri khas dari urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok
pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/
urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok pada pinggang, distensi
vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/uretrolithiasis), teraba
massa keras/batu (uretrolithiasis). nilai frekuensi buang air kecil
dan jumlahnya, Gangguan pola berkemih. (Prabowo E, dan
Pranata, 2014: hal 122)
6. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, kimia


darah (ureum, kreatinin, asam urat), dan urin lengkap. Hasilnya
ditemukan peningkatan kadar leukosit 11.700/μl (normalnya: 5000-
10.000/μl); kimia darah tidak ditemukan peningkatan kadar ureum,
kreatinin, maupun asam urat; urin lengkap ditemukan warna keruh,
epitel (+), sedimen (+), peningkatan kadar eritrosit 5-7/LPB
(normalnya: 0-1/LPB), leukosit 10-11/LPB (0-5/LPB). (Nahdi Tf,
2013: hal 48)
b. Radiologis

Pada pemeriksaan radiologi dilakukan rontgen Blass Nier Overzicht


(BNO) dan ultrasonografi (USG) abdomen. Hasilnya pada rontgen
BNO didapatkan tampak bayangan radioopaque pada pielum ginjal
setinggi linea paravertebrae sinistra setinggi lumbal III Ukuran 1,5 x 2
cm; USG didapatkan tampak batu pada ginjal kiri di pole atas-tengah-
bawah berukuran 1 cm x 1,2 cm x 1,8 cm; tampak pelebaran sistem
pelvicokaliseal. (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
1. Foto Polos Abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat


kemungkinan adanya batu radiopak di saluran kemih. Batu-batu
jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radiopak dan
paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu
asama urat bersifat non-opak (radiolusen)
2. Pielografi Intra Vena (PIV)

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan


fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batuk semi-
opak ataupun batu non-opak yang tidak dapat terlihat oleh foto
polos perut. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungis ginjal sebagai
gantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograde.
3. Ultrasonografi

USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan


PIV, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap kontras, faal
ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil.
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-
buli, hidronefrosis, pionefrosis.(Dinda, 2011:hal 3)
7. Penatalaksanaan

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan : obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menyebabkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti di atas
tetapi diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya mempunyai resiko tinggi dapat
menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang
menjalakankan profesinya, dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih.
(Dinda, 2011:hal 3)

B. Diagnosa Keperawatan

Menurut (Prabowo,E dan Pranata 2014: hal 123)

1. Nyeri akut

Definisi: pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa.
Batasan karakteristik:

a. Perubahan selera makan

b. Perubahan tekanan darah

c. Perubahan prekuensi jantung

d. Perubahan prekuensi pernafasan

e. Diaphoresis

f. Prilaku ditraksi

g. Sikap melindungi area nyeri

h. Gannguan tidur

Faktor yang berhubungan :


Agen cedera (misalnya biologis, fisik, dan psikologis) Di tandai dengan

a. Keluhan nyeri, colik billiary (frequensi nyeri ).


b. Ekspresi wajah saat nyeri, prilaku yang hati-hati.

c. Respon autonomik (perubahan pada tekanan darah ,nadi).

d. Fokus terhadap diri yang terbatas.

2. Gangguan Eliminasi Urine

Definisi: disfungsi pada eliminasi urine Batasan


karakteristik
a. Dissurya

b. Sering berkemih

c. Inkontinensia

d. Nokturya

e. Retensi

f. Dorongan

Faktor yang berhubungan :

a. Obstopsi anatomic

b. Penyebab multiple

3. Retensi urine

Definisi: pengosongan kandung kemih tidak komplet Batasan


karakteristik:
a. Tidak ada haluaran urie

b. Distensi kandung kemih

c. Menetes

d. Disuria

e. Sering berkemih

f. Inkontenensia aliran berlebih

g. Residu urine

h. Sensasi kandung kemih penuh


i. Berkemih sedikit
Faktor yang Berhubungan :
a. Sumbatan

b. Tekanan ureter tinggi


C. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (biologis, fisik,


psikologis) Tujuan:
a. Memperlihatkan pengendalian nyeri,yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau
selalu:
1) Mengenali awitan nyeri

2) Menggunakan tindakan pencegahan

3) Melaporkan nyeri dapat dilakukan

b. Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai


indikator berikut (sebutkan 1-5; sangat berat, berat, sedang, ringan,
atau tidak ada):
1) Ekpresi nyeri pada wajah

2) Gelisah atau ketegangan otot

3) Durasi episode nyeri

4) Merintih dan menangis

5) Gelisah
Kriteria Hasil NOC :
a. Tingkat Kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan
fisik dan psikologis
b. Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk mengendalikan nyeri

c. Tingkat nyeri keparahan yang dapat di amati atau dilaporkan


Intervensi NIC :
a. Pemberian Analgesik

b. Manajemen medikasi

c. Manajemen nyeri

d. Bantuan analgesia yang dikendalikan oleh pasien

e. Manajemen sedasi
Aktivitas Keperawatan

a. Pengkajian

1) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk


mengumpulkan informasi pengkajian
2) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala
0 sampai 10 (0=tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10=nyeri
hebat)
3) Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh
analgesik dan kemungkinan efek sampingnya
4) Kaji dampak agama, budaya, kepercyaan, dan lingkungan terhadap
nyeri dan repons pasien
5) Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata kata sesuai usia dan
tingkat perkembanagan pasien
6) Manajemen nyeri NIC :

(a) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,


karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi dan kualitas dan
intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya
(b) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada
mereka yag tidak mampu berkomunikasi efektif
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga

1) Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus


di minum, frekuensi pemberian, kemungkinan efeksamping,
kemungkinan interaksi obat, kewaspadaan khusus saat
mengkonsumsi oabat tersebut (misalnya, pembatasan aktivitas
fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila
mengalami nyeri membandel.
2) Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika
peredaan nyeri tidak dapat dicapai
3) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
4) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opiod
(misalnya, risiko ketergantungan atau overdosis
5) Manajemen nyeri (NIC): berikan informasi tenteng nyeri , seperti
penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisispasi
ketidaknyamanan akibat prosedur
6) Majemen nyeri (NIC): Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis (misalnyaa, umpan balik biologis, transcutaneus
elektrical nerve stimulation (tens) hipnosis relaksasi, imajinasi
terbimbing, terapai musik, distraksi, terapai bermain, terapi
aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase
sebelum atau setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas
yang menimbulkan nyeri ; sebelum nyeri terjadi atau meningkat;
dan berama penggunaan tindakan peredaran nyeri yang lain.
c. Aktivitas kolaboratif

1) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang


terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
2) Manajement nyeri NIC :

(a) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi


lebih berat
(b) Laporkan kepada dokter jika tindakan berhasil

(c) Laporkan kepada dokter jika tindakn tidak berhasil atau jika
keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri pasien di maa lalu.
d. Aktivitas lain

1) Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri


dan efek samping
2) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyaman yang efektif di
masa lalu seperti ,distraksi,relaksasi ,atau kompers hangat dingin
3) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman
2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomic, dan
penyebab multiple.
Tujuan :

a. Menunjukkan kontinesia urine, yang di buktikan oleh indicator berikut


(sebutkan 1-5: selalu, sering, kadanf-kadang, jarang, atau tidak
pernah ditunjukkan):
1) Infeksi saluran kemih (SDP)[sel darah putih]<100.000)

2) Kebocoran urine diantara berkemih

b. Menunjukkan kontenesia urine, yang dibuktikan oleh indicator berikut


(sebutkan 1-5:tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu
di tunjukkan):
1) Eliminasi secara mandiri

2) Mempertahankan pola berkemih yang dapat


diduga Kriteria Hasil NOC :
a. Kontenesia urine: pengendalian eliminasi urine dari kandung kemih

b. Eliminasi urine: pengumpulan dan pengeluaran urine


Intervensi NIC :
a. Pelatihan kandung kemih: meningkatkan fungsi kandung kemih pada
individu yang mengalami inkotenensia urine dengan meningkatkan
kemampuan kandung kemih untuk menahan urine dan kemampuan
pasien untuk menekan urinasi.
b. Manjemen silminasi urine: mempertahankan pola eliminasi urine yang
optimum.
Aktivitas keperawatan

a. Pengkajian

Manajemen eliminasi urin (NIC) :

1) Pantau eliminasi urine, meliputi frekuensi, konsisten, bau, volume,


dan warna, jika perlu.
2) Kumpulkan specimen urine porsi tengah untuk urinalis.

b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga


Manajemen eliminasi urine (NIC)
:
1) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2) Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine,
bila diperlukan.
3) Instruksikan pasien untuk berespons segera terhadap kebutuhan
eliminasi.
4) Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat makan, di
antara waktu makan, diantara waktu makan, dan awal petang.
c. Aktivitas kolaboratif

Manajemen eliminasi urine (NIC), rujuk ke dokter jika terdapat tanda


dan gejala infeksi saluran kemih.
3. Retensi Urine berhubungan dengan sumbatan dan tekanan ureter
tinggi Tujuan :
Menunjukkan kontinesia urine, yang dibuktikan oleh indicator berikut (sebutkan 1-5:
selalu, sering, kdang-kadang, jarang, atau tidak pernah di tunjukkan):
a. Kebocoran urine diantara berkemih

b. Urine residu pasca-berkemih > 100-200 cc


Kriteria Hasil NOC :
a. Kontinesia urine: pengendalian eliminasi urine dari kandung kemih

b. Eliminasi urine: pengumpulan dan pengeluaran urine


Intervensi NIC :
a. Kateterisasi urine

b. Manajemen eliminasi urine

c. Perawatan retensi urine


Aktivitas keperawatan
a. Pengkajian

1) Identifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih

2) Perawatan retensi urine (NIC) :

(a) Pantau penggunaan agens non resep dengan antikolinergik atau


agonisalfa.
(b) Pantau efek obat resep, seperti penyekat saluran kalsium dan
antikolinergik.
(c) Pantau asupan dan haluaran.
(d) Pantau distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi.

b. Penyuluhan untu pasien/keluarga

1) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang
di laporkan misalnya: demam, menggigil, nyeri pinggang,
hematuria, serta perubahan konsistensi dan bau urine.
2) Perawatan retensi urine (NIC): instruksikan pasien dan keluarga
untuk mencatat haluaran urine.
c. Aktivitas kolaboratif

1) Rujuk ke perawat terapi enterostoma untuk instruksi kateterisasi


intermiten mandiri penggunaan prosedur bersih setiap 4-6 jam pada
saat terjaga
2) Perawatan retensi urine (NIC): rujuk pada spesialis kontenensia
urine.
d. Aktivitas lain

1) Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih

2) Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan yang adekuat


tanpa menyebabkan kandung kemih over-distensi
3) Anjurkan pasien mengonsumsi cairan per oral: cc untuk sore
hari, dan cc untuk malam hari
4) Perawatan retensi urine (NIC) :

(a) Berikan privasi untuk eliminasi

(b) Gunakan kekuatan sugesti dengan mengalirkan air atau


membilas toilet
(c) Stimulasi reflek kandung kemih dengan menempelkan es ke
abdomen menekan ke bagian dalam paha atau menagalirkan air
(d) Berikan cukup waktu untuk pengosongan kandung kemih (10
menit)
DAFTAR PUSTAKA

Prabowo dan Pranata, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem


Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nahdi TF. Jurnal Medula, Volume. 1 Nomor. 4 / Oktober 2013

Purnomo, B.B. 2010.Pedoman diagnosis & terapi smf urologi LAB ilmu
bedah.Malang: Universitas Kedokteran Brawijaya.
Judith.M.Wilkison dan Nancy.R.2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed
9.Jakarta: EGC
Sandy Wahap, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober
2012

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

LUKA BAKAR
DISUSUN OLEH:

Veny Anriany Marbun

NIM. 1710053209

TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN

PRODI D3 KEPERAWATAN

TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka
bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat meluas melebihi
kerusakan fisik yang terlihat dalam perawatan luka dan tehnik rehabilitasi yang lebih efektif
semuanya dapat meningkatkan rata-rata harapan hidup pada sejumlah klien dengan luka
bakar serius.
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan
jumlah kematian 5-6 ribu kematian pertahun, sedangkan di Indonesia belum ada laporan
tertulis.
Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 1998 di laporkan 107 kasus luka
bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38% sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo
Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian 26,41% (Rohmanazzam,
2008).

B. Tujuan
1. Umum
Agar mahasiswa dapat memperoleh gambaran tentang asuhan keperawatan pada
klien dengan luka bakar.
2. Khusus
a. agar diperoleh gambaran tentang konsep dasar penyakit luka bakar meliputi
pengertian, etiologi, patofisiologi, menifestasi klinis, pemeriksaaan diagnostik,
penatalaksanaan dan komplikasi.
b. Agar diperoleh gambaran tentang konsep dasar keperawatan pada luka bakar meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat membuat analisa data, dapat merumuskan diagnosa
keperawatan, membuat rencana asuhan keperawatan
2. Bagi Akademik
Sebagai acuan dalam menerapkan asuhan keperawatan pada klien ”Luka Bakar”.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi


Kulit merupakan pembungkus tubuh dan pelindung organ didalamnya. Luas
permukaannya pada orang dewasa 1,5-1,75 m². Berat 15% dari total berat badan. Tebal tidak
sama, bervariasi antara 5-6mm, pada telapak tangan dan kaki, 0,5mm pada kulit penis.

1. Lapisan- Lapisan Kulit


Kulit terdiri dari 3 lapisan pokok :
a. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis merupakan lapisan kulit yang paling luar. Ketebalannya
< 1 mm. Epidermis dibagi menjadi 5 lapisan yaitu stratum germinativum,
stratum spinosum, stratum granulosum, dan korneum.epidermis akan bertambah
tebal akan bertambah tebal jika sering digunakan.
b. Lapisan Dermis
Merupakan lapisan dibawah epidermis. Terdiri dari jaringan ikat yang
terdiri 2 lapisan yaitu pars papilaris dan retikularis.
c. lapisan Subkutis
lapisan terdalam yang banyak mengandung sel liposit yang menghasilkan
banyak lemak. Merupakan jaringan adipose sebagai bantalan antara kulit dan
struktur internal seperti otot dan tulang.

2. Kelenjar – Kelenjar pada Kulit


a. Kelenjar Sebasea
Berfungsi mengontrol sekresi minyak kedalam ruang antara folikel rambut
dan batang rambut yang akan melumasi rambut sehingga menjadi halus, lentur
dan lunak.

b. Kelenjar Apokrin
Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora dan bermuara pada folikel
rambut. Kelenjar ini memproduksi keringat yang keruh seperti susu yang
diuraikan oleh bakteri menghasilkan bau khas pada aksila.

c. Kelenjar Ekrin
Kelenjar ini terdapat disemua kulit. Melepaskan keringat sebagai reaksi
peningkatan suhu lingkunagn dan suhu tubuh. Kecepatan eksresi keringat
dikendalikan oleh saraf simpatik.

3. Fungsi Kulit :
a. Fungsi Adaptasi:
Kulit sebagai adaptor terhadap rangsangan antara lain temperatu, tekanan,
fisik dan kimia
b. Fungsi Transmisi:
Kulit dapat berfungsi sebagai alat sensorik karena adanya akhiran saraf
c. Fungsi Proteksi :
Melindungi dari benda luar (benda asing, invasi bakteri), melindungi dari
trauma yang terus menerus, mencegah keluarnya cairan yang berlebihan, dan
memproduksi melanin yang mencegah kerusakan kulit dari sinar UV.
d. Fungsi Metabolisme:
Sebagai tempat metaboisme lemak, sintesa vitamin D dan penyimpanan
serum pada lapisan dermis

B. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang sdisebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Dr. Soetomo, 2001).
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat, 2001).

C. Etiologi
Luka bakar dapat disebabkan oleh panas, sinar ultraviolet, sinar X, radiasi nuklir,
listrik, bahan kimia, abrasi mekanik. Luka bakar yang disebabkan oleh panas api, uap atau
cairan yang dapat membakar merupakan hal yang lasim dijumpai dari luka bakar yang parah.:
1. Luka Bakar Termal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan
api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
2. Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan
asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan
yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat
terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk
keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri,
pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan
luka bakar kimia.
3. Luka Bakar Elektrik
Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya
kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
4. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri
ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber
radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari
akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.

D. Patofisiologi
Termal (panas) terjadi pada kerusakan kulit , penguapan meningkat, menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah kapiler, sehingga terjadi ekstravasasi cairan tubuh , ekstravasasi cairan tubuh
menyebabkan tekanan onkotik menurun, hal tersebut menyebabkan cairan ekstravaskular
menurun , sehingga terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi, karena volume cairan menurun ,
volume cairan menurun menyebabkan gangguan sirkulasi makro sehingga terjadi gangguan
perfusi organ penting (otak).

Etiologi(thermal, air panas, api, kimia, asam, alkali, radiasi, elektrik dll.)

luka bakar

vaskular

pembuluh kapiler rusak

permeabilitas kapiler meningkat


cairan merembes dari dr
ruang intravaskular ke intersisial vasodilatasi

volume intravaskular turun

peningkatan tek. hidrostatik kapiler


hipovolemia
pertukaran elektrolit abnormal

SYOK perb. tingkat kesadaran, gelisah pucat dingin.


ketidak seimbangan elektrolit

Hipokalemia, Hiponatremia, Hipokalsemia

Kompensasi

penurunan sirkulasi, takikardi, takipneu

KOMPLIKASI

E. Fase Luka Bakar


1. Fase Akut
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita mangalami
ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (makanisme bernafas) dan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran peenafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam, pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama
penderita pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase Sub Akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan
:
a. Proses inflamasi dan infeksi.
b. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju
epitel luas dan atau pada struktur atau pada organ-organ fungsional.
c. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase Lanjut
Fase ini akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka bakar dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah
penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan
kontraktur.

F. Klasifikasi Luka Bakar


1. Berdasarkan penyebab
a. Luka bakar suhu tinggi
b. Luka bakar bahan kimia.
c. Luka bakar sengatan listrik.
d. Luka bakar radiasi.
2. Berdasakan kedalaman luka bakar
a. Luka bakar derajat 1 :
1. )Kerusakan terbatas pada bagian superfisial epidermis.
2.) Kulit kering, hiperemis memberikan berupa eritema.
3. )Tidak dijumpai bula.
4.) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
5.) Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5 – 10 hari.
6. )Contohnya adalah luka bakar akibat sengatan matahari.
b. Luka bakar derajat II :
1.)Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi akut disertai proses eksudasi.
2.) Dijumpai bula.
3.)Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di
atas permukaan kulit normal.
4.)Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

Derajat II dibagi menjadi 2 (dua) :


a. Derajat II dangkal (superficial)
1) Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
2) Apendises kulit, seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih
utuh.
3) Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
b. Derajat II dalam (deep)
1) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
2) Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
sebagian masih utuh.
3) Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
c. Luka bakar derajat III :
1) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam.
2) Apendises kulit, seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami
kerusakan.
3) Tidak dijumpai bula.
4) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Kering, letaknya lebih rendah
dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi protein pada lapisan epidermis dan dermis
(eskar).
5) Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut saraf
sensorik mengalami kerusakan/kematian.
6) Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar
luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

3. Berdasarkan berat ringannya


a. Luka bakar ringan
1) Luka bakar derajat II <15%.
2) Luka bakar derajat II <10% pada anak-anak.
3) Luka bakar derajat III <2%.
b. Luka bakar sedang
1) Luka bakar derajat II, 15-25% pada orang dewasa.
2) Luka bakar derajat II, 10-20% pada anak-anak.
3) Luka bakar derajat III <10%.
c. Luka bakar berat
1) Luka bakar derajat II, 25% atau lebih pada orang dewasa.
2) Luka bakar derajat II, 20% atau lebih pada anak-anak.
3) Luka bakar derajat III, 10% atau lebih.

G. Luas Luka Bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 terkenal dengan
nama Rule of Nine atau Rule of Wallace.
1. Kepala dan leher 9%.
2. Lengan 18%.
3. Badan Depan 18%.
4. Badan belakang 18%.
5. Tungkai 36%.
6. Genitelia/perineum 1%.
Total 100%.
Skema pembagian luas luka bakar dengan rute of nine
H. Manifestasi Klinis
1. Cedera
Jika luka bakar disebabkan oleh nyala api atau korban terbakar pada tempat yang
terkurung atau kedua-duanya, maka perlu diperhatikan tanda-tanda sebagai berikut :
a. Keracunan korban monoksida
Klien terperangkap dan menghirup karbon monoksida dalam jumlah yang
Signifikan.
b. Distress Pernapasan
Penurunan oksigenasi arteri sering terjadi setelah luka bakar. Hal ini
menunjukkan penurunan PO2 terjadi obstruksi jalan udara atau penurunan curah
jantung kiri.
2. Sepsis
Syok sejak terjadi pada klien luka bakar luas dengan ketebalan penuh, hal ini
disebabkan oleh bakteri yang menyerang luka masuk ke dalam aliran darah, gejalanya :
a. Suhu tubuh berfariasi
b. Nadi (140-170x/mnt), sinus takikardi
c. Penurunan TD
d. Paralitik ileus
e. Perdarahan jelas dan luka
3. Pada ginjal meningkat haluaran urine dan terjadi mioglobinuria
4. Metabolik
Terjadi peningkatan energi dan kenaikan kebutuhan nutrisi,
hipermetabolisme,meningkat aliran glukosa dan pengeluaran banyak protein dan lemak
adalah bciri-ciri respon terhadap trauma dan infeksi. Klien dengan luka bakar menunjukkan
adanya penurunan BB 25% dari berat badan sebelum dirawat di RS sampai 3 minggu
setelah luka bakar.

I. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksaan luka bakar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Penanganan luka bakar ringan
Perawatan dibagian emergensi terdapat luka bakar minor meliputi : managemen
nyeri, profilaksis tetanus dan perawatan luka tahap awal.
a. Managemen nyeri
Managemen nyeri sering kali dilakukan dengan pemberian dpsis ringan, seperti
morphine atau mepedifine, dibagian emergensi. Sedangkan analgetik oral diberikan
untuk digunakan oleh pesien rawat jalan.
b.Profilaksis tetanus
Petunjuk untuk pemberian profilaksis tetanus adalah sama pada penderita LB
baik yang ringan maupun yang injuri lainnya. Pada klien yang pernah mendapat
imunisasi tetanus tetapi tidak dalam waktu lima tahun terakhir dapat diberikan boster
tetanus toxoid. Untuk klien yang tidak diimiunisasi dengan tetanus human immune
globulin dan karenanya harus diberikan tetanus toxoid yang pertama dari
sertangkaian pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid.
c. Perawatan luka
Perawatan luka untuk LB ringan terdiri dari membersihkan luka, yaitu
debridemen jaringan yang mati : membuang zat yang merusak (zat kimia, dll) dan
pemberian atau penggunaan krim atau salep antimikroba topikal dan balutan secara
steril. Selain itu perawat juga bertanggung jawab memberikan pendidikan tentang
perawatan luka dirumah dan manifestasi klinis dari infeksi agar klien dapat segera
mencari pertolongan. Pendidikan lain yang diperlukan adalah tentang pentingnya
melakukan ROM (Range OF Mation) secara aktif untuk mempertahankan fungsi
sendi agar tetap normal dan untuk menurunkan pembentukan edema.
2. Penanganan Luka Bakar Berat
Untuk klien dengan luka yang luas maka penanganan pada bagian emergensi akan
meliputi reevaluasi ABC (jalan nafas, kondisi pernafasan, sirkulasi) dan trauma lain yang
mungkin terjadi : resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang), pemasangan kateter
urin, pemasangan NGT.
a. Reevaluasi jalan napas, kondisi pernapasan, sirkulasi dan trauma lain yang mungkin
terjadi. Menilai kembali keadaan jalan napas, kondisi pernapasan dan sirkulasi untuk
lebih memastikan ada tidaknya kegawatan dan untuk memastikan penanganan secara
dini.
b. Resusitasi cairan (penggantian cairan yang hilang).
Bagi klien dewasa dengan LB lebih dari 15%, maka resusitasi cairan intravena
umumnya diperlukan. Pemberian intravena perifer dapat diberikan melalui kulit yang
tidak terbakar pada bagian proksimal dari ekstremitas yang terbakar. Sedangakan
untuk klien yang mengalami LB yang cukup luas atau pada klien dimana tempat-
tempat untuk pemberian IV yang terbatas, maka dengan pemassangan kanul pada
vena sentral (seperti subklavia, jugularis internal/eksternal, atau femoral) oleh dokter
mungkin diperliukan. Luas atau persentasi luka bakar harus ditentukan dan kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi cairan. adapun cara perhitungan resusitasi cairan adalah
sbb : % BSA x BB x 4.
c. Pemsangan kateter urine
Pemasangan kateter harus dilakukan untuk mengukur produksi urine setiap
jam. Output urine merupakan indikator yang reliable untuk menentukan keadekuatan
dari resusitasi cairan.
d. Pemasangan NGT
Pemasangan NGT bagi klien LB 20%-25% atau lebih perlu dilakukan untuk
mencegah emesis dan mengurangi resiko untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Disfungsi gastro intestinal akibat dari ileus dapat terjadi umumnya pada klien tahap
dini setelah LB. Oleh karena itu semua pemberian cairan melalui oral harus dibatasi
pada waktu itu.

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a. Hemoglobin : menurun
b. Hematokrit : menurun
c. trombosit : menurun
d. SDP : Leukositosis
e. GDA : Penurunan PaO2/peningkatan PaCO2
4. Foto Rontgen Dada : membantu memastikan cedera inhalasi asap.
5. EKG

K. Komplikasi
1. Infeksi. luka yang terbuka menyebabkan memudahkan kuman patogen masuk kedalam
tubuh.
2. Kehilangan anggota tubuh atau cacat fisik.
3. Sepsis. keadaan terinfeksi oleh mokroorganisme yang menghasilkan pus.
4. Gangguan fungsi organ.
5. Gangguan psikologis terhadap perubahan keadaan citra tubuh (cacat permanen)
6. Syok hipovolemik.
7. Kontraktur. pengerutan jaringan otot atau parut yang menyebabbkan deformitas

L. Asuhan Keperawatan Teoritis


1. Pengkajian
a. Aktifitas/istirahat :
Tanda : penurunan kekuatan, tahanan, keterbatasan rentang gerak pada area yang
sakit, gangguan massa otot, perubahan tonus.
b. Sirkulasi :
Tanda (dengan cedera LB lebih dari 20%): Hipotensi (syok), penurunan nadi perifer
distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan
nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik ), takikardia (syok/ansietas/nyeri), distritmia
(syok listrik ), pembentukan odema jaringan (semua LB ).
c. Integritas ego :
Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
d. Eliminasi :
Tanda : haluaran urine/tak ada selama fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan
bila terjadi mioglobin, mengidentifikasi kerusakan otot dalam.
Diuresis (setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan kedalam sirkulasi);
penurunan bising usus/ tak ada, khususnya pada LB kutaneus lebih besar dari 20 %
sebagai stress penurunan mortilitas/peristaltik gastrik.
e. Makanan/cairan :
Tanda : edema jaringan umum, anoreksia.mual/muntah.
f. Neuromuskular :
Gejala : area batas, kesumatan.
Tanda : perbahan oreantasi, efek, prilaku, penurunan reflek tendon dalam (RTD) pada
cedera ekstermitas, aktivitas kajang (syok listrik), laserasi korneal, kerusakan retina,
penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik), ruptur membran timpany (syok
listrik), paralisis (cidera listrik pada aliran saraf ).
g. Nyeri/kenyamanan :
Gejala : berbagai nyeri, contoh LB derajat pertama secara eksteren sensitf untuk
disentuh, ditekan, gerakan udara dan perubahan suhu, LB ketebalan sedang derajat
kedua sangat nyeri, semantara respon pada LB ketebalan derajat kedua tergantung
pada keutuhan ujung saraf, LBderajat tiga tidak nyeri.
h. Pernapasan :
Gejala : terkurung dalam ruang tertutup,terpajan lama(kemungkinan cidera inhalasi)
Tanda : serak, batuk mengii (obstuksi sehubungan dengan laringospasme, edema
laringeal), bunyi nafas, gemercik (edema paru), stridor (edema laringeal), sekret jalan
nafas dalam (rongkhi).
i. Keamanan :
Tanda : kulit umur,destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3 - 5 hari
sehubungan dengan proses tombus mikrovaskuler pada beberapa luka.area kulit tak
terbakar mungkin dingin atau lembab, pucat dengan pengisian kapiler lambat pada
adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilanagn cairan/status syok.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doengus (2000) diagnosa keperawatan yang bisa ditegakkan pada klien
dengan luka baker adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi trakeobronkial, edema mukosa dan
hilangnya kerja silia (inhalasi asap).
b. Defisit volume cairan b.d peningkatan permeabilitas kapiler dan perpindahan cairan
dari ruang intravaskular keruang intertitial.
c. Resiko tinggi infeksi b.d perubahan primer tidak adekuat : kerusakan perlindungan
kulit, jaringan traumatik.
d. Nyeri b.d kerusakan kulit/jaringan, pembentukan edema, manipulasi jaringan cidera.
e. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d status hipermetabolik (sebanyak
50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada cedera berat) atau metabolisme
protein.
f. Kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular, nyeri/tak nyaman,
penurunan kekuatan, tahanan.
g. Kerusakan integritas kulit b.d trauma : kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam)
h. Gangguan citra tubuh (penampilan peran) b.d krisis situasi : kejadian traumatik
peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri.

3. Rencana Asuhan Keperawatan


Adapun perencanaan keperawatan pada klien dengan luka bakar dijelaskan oleh
Doengus (2000) dibawah ini :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi trakeobronkial, edema mukosa dan
hilangnya kerja silia (inhalasi asap).
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif.
Kriteria Hasil : Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan dalam
rentang normal, tidak sianosis.
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri:
1. Kaji reflek menelan 1. Dugaan cedera inhalasi
2. Awasi frekuensi,irama sianosis, 2. Menunjukkan ditres pernafsan/ edema.
kedalaman pernafasan. 3. Meningkatkan ekspansi paru
3. Tinggikan kepala tempat tidur. optimal/fungsi pernapasan.
Hindari penggunaan bantal
dibawah kepala sesuai dengan
indikasi. 4. Meningkatkan ekspansi paru,
4. Dorongan nafas dalam/batuk dan memobilisasi, dan drainase sekret.
perubahan posisi sering. 5. Membantu mempertahankan jalan nafas
5. Hisapan lendir pada perawatan bersih.
ekstrim. 6. Meningkatkan resiko edema paru.
6. Awasi 24 jam keluaran cairan. Kolaborasi :
Kolaborasi : 1. O2 memperbaiki hipoksemia.
1. Berikan O2 sesuai indikasi. 2. Data dasar penting untuk pengkajian
2. Awasi/gambaran seri GDA. lanjut status pernafasan.
3. Kaji ulang isi ronsen. 3. Menunjukkan atelektasis/endema paru.
4. Berikan fisioterapi dada. 4. Mengalirkan aliran area dependen paru
b. Defisit volume cairan b.d peningkatan permeabilitas kapiler dan perpindahan cairan
dari ruang intravaskular keruang intertitial.
Tujuan : Perbaikan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil : Haluaran urine adekuat, tanda vital stabil (suhu, TD, RR, N),
membran mukosa lembab.
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. Awasi TTV. 1. Pedoman penggantian cairan.
2. Awasi haluaran urine. 2. Untuk menyakinkan rata- rata haluaran
urine 30 – 50 ml/jam.
3. Timbang BB setiap hari. 3. Penggantian cairan tergantung BB
pertama dan perubahan selanjutnya.
4. Ukur lingkaran ekstremitas yang 4. Memperkirakan luas odema/
terbakar tiap hari. perpindahan cairan.
Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Pasang kateter urine. 1. Memungkinkan ketat fungsi ginjal.
2. Berikan penggantian cairan IV 2. Menggantikan cairan/elektrolit yang
yang dihitung. hilang.
3. Awasi pemeriksaan laborator 3. Mengidentifikasi kehilangan darah.
4. Berrikan obat sesuai indikasi 4. Mungkin diindikasikan untuk
Mis : Diuretik, contoh manitol meningkatkan haluaran urine dan
(Osmitrol). mencegah nekrosis.

c. Resiko tinggi infeksi b.d perubahan primer tidak adekuat : kerusakan perlindungan
kulit, jaringan traumatik.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :Mencapai penyembuhan luka tepat waktu, bebas eksudat,
purulen dan tidak demam.
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. Isolasi yang tepat 1. Untuk menurunkan proses infeksi
2. Tekankan teknik cuci tangan yang 2. Mencegah kontaminasi silang
baik untuk semua individu
3. Gunakan skort,sarung tangan, 3. Mencegah terpejan pada organisme
masker dan teknik aseptik ketat. infeksius.
4. Batasi pengunjung. 4. Mencegah kontaminasi silang dari
pengunjung.
5. Berikan perawatan khusus pada 5. Mata membengkak karena infeksi
mata.
6. Ganti balutan dan bersihkan area 6. Air melembutkan dan membantu
terbakar. Cuci area degngan agen membuang balutan dan jaringan parut
pembersih ringan. 7. Meningkatkan penyembuhan.
7. Bersihkan jaringan nekrotik. 8. Identifikasi adanya penyembuhan .
8. Periksa luka tiap hari. 9. Indikator sepsis.
9. Awasi TTV untuk demam. Kolaborasi :
Kolaborasi : 1. Membantu untuk mencegah/
1 Berikan agen topikal sesuai mengontrol infeksi luka.
indikasi,
Mis : Antibiotik pilihan pada infeksi luka
Mafedin asetat (sulfaminol). bakar invasif.
2. Kerusakan jaringan/ perubahan
2. Berikan obat denbgan tepat, contoh mekanisme pertahanan meningkatkan
: Tetanus toksoid / antitoksin risiko terjadinya tetanus atau gangren.
klostridial dengan tepat.

d. Nyeri b.d kerusakan kulit/jaringan, pembentukan edema, manipulasi jaringan cidera.


Tujuan : nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : melaporkan nyeri berkurang / terkontrol,menunjukan ekspresi
wajah / postur tubuh rileks,berpartisipasi dalam aktivitas dan
istirahat dengan tepat.

Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. tutup luka sesegera mungkin 1. suhu tubuh berubah dan gerakan
kecuali perewatan luka bakar udara dapat menyebabkan nyeri
metode pemajanan pada udara hebat pada pemajanan ujung saraf
terbuka 2. peninggian mungkin di perlukan
2. tinggikan ekstremitas luka bakar pada awal untuk menurunkan
secara periodik pembentukan edema
3. kaji keluhan nyeri, perhatikan 3. mengidentifikasi terjadinya
lokasi/ karakter dan intensitas komplikasi
(skala 0-10) 4. pernyataan memungkinkan
4. dorong ekpresi perasaan tentang pengungkapan emosi dan dapat
nyeri menigkatkan mekanisme koping
5. tingkatkan periode tanpa gangguan 5. kekurangan tidur dapat
meningkatkan persepsi
nyeri/kemampuan koping
menurun

kolaborasi :
1. metode IV sering di gunakan pada
Kolaborasi : awal untuk memaksimalkan efek
1. berikan analgesik obat
(nerkotik dan non
nerkotik) sesuai indikasi

e. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d status hipermetabolik (sebanyak
50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada cedera berat) atau metabolisme
protein.
Tujuan : nutrisi adekuat
Kriteria hasil : BB stabil,regenerasi jaringan

Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. auskultasi bising usus 1. ileus sering berhubungan dengan
2. pertahankan jumlah kalori periode pasca luka bakar,tetapi
ketat,timbang tiap hari,kaji biasanya dalam 46-48 jam dimana
ulang persen area permukakn makanan oral dapat di mulai
tubuh terbuka/luka tiap 2. pedoman tetap untuk memasuki
minggu kalori
3. berikan makanan dalam porsi 3. membantu mencegah distensi
kecil sedikit tapi sering gaster/ketidaknyamanan dan
4. berikan kebersihan oral meningkatkan pemasukan
sebelum makan 4. mulut bersih mengkatkan rasa dan
membantu nafsu makan yang baik
kolaborasi :
Kolaborasi : 1. berguna dalam membuat
1. rujuk ke ahli diet kebutuhan nutrisi individu dan
2. berikan makanan sedikit mengidentifikasi rute yang tepat
melalui selang enterik bila di 2. memberikan makanan bila pasien
butuhkan tidak mampu untuk
mengkonsumsi kebutuhan kalori
total harian

f. Kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular, nyeri/tak nyaman,


penurunan kekuatan,
Tujuan : kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil : menyatakan dan menunjukan keinginan berpartisipasi dalam
aktivitas,nyeri berkurang / hilang
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. Perhatikan sirkulasi,gerakan 1. Meningkatkan posisi fungsional
dan sensasi jari secara sering pada ekstremitas
2. Lakukan latihan rentang 2. Mencegah secara progresif
gerak secara konsisten mengencangkan jaringan parut
3. Beri obat sebelum aktivitas dan kontraktur
4. Jadwalkan pengobatan dan 3. Menurunkan kekakuan otot
aktivitas perawatan 4. Meningkatkan kekuatan dan
5. Bantu dalam mobilitas tolerasi pasien terhadap aktivitas
5. Meningkatkan keamanan
ambulasi

Kolaborasi : Kolaborasi :
1. Berikan tempat tidur yang 1. Mencengah tekanan lama pada
nyaman jaringan
2. Bersihkan dan tutup luka 2. Untuk menurunkan jaringan parut
bakar dengan cepat dan infeksi

g. Kerusakan integritas kulit b.d trauma : kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam)
Tujuan : integritas kulit normal / baik
Kriteria hasil : adanya regenerasi jaringan,mencapai penyembuhan luka tempat
waktu pada area luka

Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
Pra operasi 1. Memberikan informasi dasar tentang
1. Kaji /catat kebutuhan penanaman kulit dan
ukuran,warna,kedalaman kemungkinan petunjuk tentang
luka,perhatikan jaringan nekrotik sirkulasi pada area graft.
dan kondisi di sekitar luka. 2. Menyiapkan jaringan untuk
2. Berikan perawatan luka bakar penanaman dan menurunkan resiko
yang tepat dan terkontrol infeksi infeksi/ kegagalan draft
Pasca operasi
3. Tinggikan area draft bila
mungkin/tepat Pasca operasi
4. Pertahankan balutan diatas area 3. Menurunkan
draft baru dan atau sisi donor pembengkakan/pembatasan resiko
sesuai indikasi con : pemisahan draft
berlubang,petroleum,tak berekat 4. Area mungkin di tutupi oleh bahan
dengan permukaan tembus pandang
tak reatif untuk mmenghilangkan
robekan dari epitel baru /melindungi
Kolaborasi : jaringan sembuh
1. Siapkan /bantu prosedur
bedah balutan biologis.con : Kolaborasi :
hemograft (alograft) 1. Graf kulit diambil dari kulit orang
2. Heterograft itu sendiri atau orang meninggal
(donor mati) digunakan untuk
penutupan sementara pada luka
bakar luas sampai kulit orang itu
siap di tanam.tes graft
2. Kulit graft mungkin dari binatang
dengan penggunaan yang sama
untuk heterograft yang berlubang

h. Gangguan citra tubuh (penampilan peran) b.d krisis situasi : kejadian traumatik
peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri
Tujuan : untuk menyatakan penerimaan situasi diri
kriteria hasil : memasukan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi Rasional
Mandiri : Mandiri :
1. Kaji makna 1. Episode traumatik mengakibatkan
kehilangan/perubahan pada perubahan tiba-tiba,membuat
pasien/orang terdekat perasaan kehilangan pada kehilangan
2. Terima dan akui ekspresi aktual /yang di rasakan
frustasi,ketergantungan 2. Penerimaan perasaan sebagai respon
marah,perhatiakn perilaku normal terhadap apa yang terjadi
menarik diri perbaikan
3. Persikap realitis dan positif 3. Meningkatkan kepercayaan dan
selama pengobatan,pada mengadakan hubungan antara pasien
penyuluhan kesehatan,dan dan perawat
menyusun tujuan dalam 4. Kata – kata penguatan dapat
keterbatasan mendukung terjadinya koping positif
4. Berikan penguatan positif
terhadap kemajuan dan dorong
usaha untuk mengikuti tujuan
rehabilitasi Kolaborasi :
1. Membantu dalam identifikasi cara
Kolaborasi : untuk meningkatkan
1. Rujuk terapi fisik,konsul /mempertahankan kemandirian
pskiatrik,con : layanan
sosial ,psikologis sesuai
kebutuhan

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Kasus Pemicu

Tn.N usia 43th, agama islam, suku bangsa melayu, pekerjaan buruh bangunan. tempat
tinggal jln.mawar no.33 simpang IV sipin,jambi.klien masuk ruang bedah RSD raden
mattaher jambi tanggal 20-02-2010 dengan alasan luka bakar akibat tersiram air panas.dari
hasil pengkajian di peroleh data klien terbaring di tempat tidur .Terdapat luka bakar pada
paha atas kiri dan kanan. Paha kanan dan kiri tampak merah dan melepuh. Klien mengeluh
nyeri pada daerah luka bakar.badan terasa lemah pada ekstremitas bawah tampak
tegang.tingkat kesadaran composmestis dari pemeriksaan fisik di peroleh : TD 110/80
mmHg,N 90 x/i,RR 26 x/i,S 37,2ºC. Konjungtiva tampak anemis, mukosa bibir tampak
kering. Kapilarevil 4 detik. Dari hasil pemeriksaan laboratorium HB : 11,4gr%, Lk :
28.300ml3, HT : 49%, Trombosit :101.000/ml 3. Dan saat di diagnosa luka bakar grade 2.
keterangan dari keluarga klien di dapatkan bahwa tidak ada anggota keluarga yang
mengalami luka bakar

B. Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 Ds : trauma : kerusakan Kerusakan
 klien masuk RS dengan permukaan kulit integritas kulit
alasan luka baakibat karena destruksi
tersiram air panas lapisan kulit
Do : (parsial/luka bakar
 Paha kanan dan kiri tampak dalam)
merah dan melepuh
 pada estremitas bawah
tampak tegang
 luka bakar grade 2

2 Ds : kerusakan nyeri
 klien mengeluh nyeri pada kulit/jaringan
daerah luka bakar
Do :
 pada ekstremitas bawah
tampak tegang
 N 90x/i
 26 x/i
3 Ds : nyeri/tak nyaman Kerusakan
 Kien mengatakan badannya mobilitas fisik
terasa lemah
Do :
 Klien tampak terbaring di
tempat tidur
 Terdapat luka bakar paha
kiri dan kanan
 Paha tampah merah dan
melepuh
 Ekstremitas bawah tampak
tegang
4 Ds : - perubahan primer Resiko tinggi
Do : tidak adekuat : infeksi
 S 37,2 ºC kerusakan
 Leukosit 28.000 ml³ perlindungan kulit

C. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri/tak nyaman d.d klien masuk RS dengan alasan luka
bakar akibat tersiram air panas, paha tampak merah dan melepuh, pada estremitas bawah
tampak tegang, luka bakar grade 1&2.
2. Nyeri b.d kerusakan kulit/jaringan d.d klien mengeluh nyeri pada daerah luka bakar ,pada
ekstremitas bawah tampak tegang,N 90x/i,26 x/i.
3. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri/tak nyaman d.d Kien mengatakan badannya terasa
lemah,Klien tampak terbaring di tempat tidur, Terdapat luka bakar paha kiri dan
kanan,Paha tampah merah dan melepuh,Ekstremitas bawah tampak tegang.
4. Resiko tinggi infeksi b.d perubahan primer tidak adekuat : kerusakan perlindungan kulit
d.d S 37,2 ºC,Leukosit 28.000 ml³.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
PYELONEPHRITIS & HYDRONEPHROSIS

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah individu yang mempunyai sub-sub sistem. Sub-sub sistem
tersebut adalah sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, sistem
muskuloskeletal, sistem persyarafan, sistem perkemihan, dan sistem-sistem yang
lainnya. Keseimbangan antara semua sistem diatas itulah yang menyebabkan manusia
dikatakan sehat secara jasmani.Semua sistem tersebut melibatkan organ-organ dalam
menjalankan tugasnya, seperti sistem perkemihan yang melibatkan organ ginjal,
ureter, kandung kemih, dan uretra.
Ginjal merupakan bagian utama dari saluran kemih yang terdiri dari organ-organ
tubuh yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air kemih (urin) ke luar
tubuh. Berbagai penyakit dapat menyerang komponen-komponen ginjal, antara lain
yaitu infeksi ginjal. Infeksi ginjal atau pielonefritis merupakan peradangan pada
jaringan ginjal. Untuk lebih jelasnya, penulis akan membahas tentang bagaimana cara
memberikan asuhan keperawatan yang baik kepada pasien yang mengalami
pielonefritis agar tidak berlanjut menjadi pielonefritis kronik.

B. Masalah
Masalah yang kami angkat pada makalah ini mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan pielonefritis.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan proses pembelajaran mata kuliah ini
peserta didik diharapkan mampu mempraktekkan pengelolaan
pelayanan keperawatan profesional dan mahasiswa dapat menerapkan
konsep dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
khususnya pada kasus pielonefritis.

2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tinjauan pustaka tentang pielonefritis.
b. Melakukan pengkajian pada klien pielonefritis.
c. Menganalisa data-data yang ditemukan pada klien pielonefritis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Ginjal
Fungsi vital ginjal ialah sekresi air kemih dan pengeluarannya dari tubuh manusia.
Di samping itu, ginjal juga merupakan salah satu dari mekanisme terpenting
homeostasis. Ginjal berperan penting dalam pengeluaran zat-zat toksin/racun,
memperlakukan suasana keseimbangan air. mempertahankan keseimbangan
asam-basa cairan tubuh, dan mempertahankan keseimbangan garam-garam dan
zat-zat lain dalam darah.
2. Ureter
Air kemih disekresi oleh ginjal, dialirkan ke vesika urinairia (kandung kemih)
melalui ureter. Ureter berada pada kiri dan kanan kolumna vertebralis (tulang
punggung) yang menghubungkan pelvis renalis dengan kandung kemih.
3. Vesika urinaria
Aliran urine dari ginjal akan bermuara ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Kandung kemih merupakan kantong yang dapat
menggelembung seperti balon karet, terletak di belakang simfisis
pubis, di dalam rongga panggul.Bila terisi penuh, kandung kemih dapat
terlihat sebagian ke luar dari rongga panggul.
4. Uretra
Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang
berfungsi menyalurkan air kemih ke luar dan juga untuk menyalurkan semen. Pada
laki-laki, uretra berjalan berkelok-kelok, menembus prostat, kemudian melewati
tulang pubis, selanjutnya menuju ke penis. Oleh karera itu, pada laki-laki, uretra
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu pars proetalika, pars membranosa, dan pars
kavernosa. Muara uretra ke arah dunia luar disebut meatus. Pada perempuan,
uretra terletak di belakang simfisis pubis, berjalan miring, sedikit ke atas,
panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Muara uretra pada perempuan terletak di sebelah
atas vagina, antara klitoris dan vagina. Uretra perempuan berfungsi sebagai saluran
ekskretori.

B. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian Pielonefritis
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang
sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama
1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses madka
dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis kronis.
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal (pelvis renalis),
tubulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua gunjal (Brunner &
Suddarth, 2002: 1436).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara
hematogen atau retrograd aliran ureterik (J. C. E. Underwood, 2002: 668)

Ginjal merupakan bagian utama dari sistem saluran kemih yang terdiri atas
organ-organ tubuh yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air kemih
(urine) ke luar tubuh. Berbagai penyakit dapat menyerang komponen-komponen
ginjal, antara lain yaitu infeksi ginjal.
Pielonefritis dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Pyelonefritis akut
Pyelonefritis akut biasanya singkat dan sering terjadi infeksi berulang karena
terapi tidak sempurna atau infeksi baru. 20% dari infeksi yang berulang terjadi
setelah dua minggu setelah terapi selesai.Infeksi bakteri dari saluran kemih
bagian bawah ke arah ginjal, hal ini akan mempengaruhi fungsi ginjal. Infeksi
saluran urinarius atas dikaitkan dengan selimut antibodi bakteri dalam
urin.Ginjal biasanya membesar disertai infiltrasi interstisial sel-sel
inflamasi.Abses dapat dijumpai pada kapsul ginjal dan pada taut
kortikomedularis.Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus
terjadi.Pyelonefritis akut merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering
ditemui.Gangguan ini tidak dapat dilepaskan dari infeksi saluran
kemih.Infeksi ginjal lebih sering terjadi pada wanita, hal ini karena saluran
kemih bagian bawahnya (uretra) lebih pendek dibandingkan laki-laki, dan
saluran kemihnya terletak berdekatan dengan vagina dan anus, sehingga lebih
cepat mencapai kandung kemih dan menyebar ke ginjal. Insiden penyakit ini
juga akan bertambah pada wanita hamil dan pada usia di atas 40 tahun.
Demikian pula, penderita kencing manis/diabetes mellitus dan penyakit ginjal
lainnya lebih mudah terkena infeksi ginjal dan saluran kemih.
b. Pielonefritis kronis
Pyelonefritis kronis juga berasal dari adanya bakteri, tetapi dapat juga karena
faktor lain seperti obstruksi saluran kemih dan refluk urin.Pyelonefritis kronis
dapat merusak jaringan ginjal secara permanen akibat inflamasi yang
berulangkali dan timbulnya parut dan dapat menyebabkan terjadinya renal
failure (gagal ginjal) yang kronis. Ginjal pun membentuk jaringan parut
progresif, berkontraksi dan tidak berfungsi. Proses perkembangan kegagalan
ginjal kronis dari infeksi ginjal yang berulang-ulang berlangsung beberapa
tahun atau setelah infeksi yang gawat. Pembagian Pielonefritis Pielonefritis
akut Sering ditemukan pada wanita hamil, biasanya diawali dengan hidro
ureter dan hidronefrosis akibat obstruksi ureter karena uterus yang membesar.

2. Etiologi
a. Bakteri
 Escherichis colli
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar)
merupakan penyebab infeksi yang sering ditemukan pada pielonefritis
akut tanpa komplikasi
 Basilus proteus dan Pseudomonas auroginosa.
Pseudomonas juga merupakan patogen pada manusia dan merupakan
penyebab infeksi pada saluran kemih.
 Klebsiella enterobacter
Klebsiella enterobacter merupakan salah satu patogen menular yang umumnya
menyebabkan infeksi pernapasan, tetapi juga dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih
 Species proteus
Proteus yang pada kondisi normal ditemukan di saluran cerna, menjadi
patogenik ketika berada di dalam saluran kemih.
 Enterococus
Mengacu pada suatu spesies streptococus yang mendiami saluran cerna dan
bersifat patogen di dalam saluran kemih
 Lactobacillus
Adalah flora normal di rongga mulut, saluran cerna, dan vagina,
dipertimbangkan sebagai kontaminan saluran kemih. Apabila ditemukan
lebih dari satu jenis bakteri, maka spesimen tersebut harus
dipertimbangkan terkontaminasi. Hampir semua gambaran klinis
disebaban oleh endotoksemia. Tidak semua bakteri bersifat patogen di
saluran perkemihan, tetapi semua bakteri tersebut ditemukan dalam
sampel biakan urine. Namun, bakteri-bakteri tersebut tetap merupakan
kontaminan.
b. Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat.
c. Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih
kembali ke dalam ureter.
d. Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi aliran darah dan aliran plasma efektif
ke ginjal dan saluran kencing. Kecepatan filtrasi glomerulus dan fungsi
tubuler meningkat 30-50%. Dibawah keadaan yang normal peningkatan
kegiatan penyaringan darah bagi ibu dan janin yang tumbuh tidak membuat
ginjal dan uretra bekerja ekstra. Keduanya menjadi dilatasi karena peristaltik
uretra menurun. Sebagai akibat, gerakan urin ke kandung kemih lebih lambat.
Stasis urin ini meningkatkan kemungkinan pielonefritis.
Estrogen dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi yang terjadi pada
kadung kemih yang akan naik ke ginjal. Bendungan dan atoni ureter dalam
kehamilan mungkin disebabkan oleh progesteron, obstipasi atau tekanan
uterus yang membesar pada ureter.

Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah
oleh aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan
ureter di tempat masuknya ke kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada
aliran air kemih (misalnya batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air
kemih dari kandung kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi ginjal.
3. Patofisiologi
Umumnya bakteri seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis,
Pseudomonas aeruginosa, dan Staphilococus aureus yang menginfeksi ginjal
berasal dari luar tubuh yang masuk melalui saluran kemih bagian bawah (uretra),
merambat ke kandung kemih, lalu ke ureter (saluran kemih bagian atas yang
menghubungkan kandung kemih dan ginjal) dan tibalah ke ginjal, yang kemudian
menyebar dan dapat membentuk koloni infeksi dalam waktu 24-48 jam. Infeksi
bakteri pada ginjal juga dapat disebarkan melalui alat-alat seperti kateter dan
bedah urologis. Bakteri lebih mudah menyerang ginjal bila terdapat hambatan
atau obstruksi saluran kemih yang mempersulit pengeluaran urin, seperti adanya
batu atau tumor.
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang
tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kalik dan
pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghsilkan fibrosis
dan scarring. Pielonefritis kronis muncul stelah periode berulang dari pielonefritis
akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratif dan menjadi kecil serta atrophic.
Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal.
Pathway Pielonefritis
Penyebab (bakteri)

Masuk saluran kemih Masuk saluran darah


Adanya Obstruksi Ginjal
Aliran balik ginjal oleh bakteri

Peradangan / infeksi ginjal

Hematuria Demam
Nyeri Akut
Kurang pengetahuan
Hipertermi
Perubahan kenyamanan
Ansietas
Gangguan Penguapan berlebihan Mukosa kering
Pola Tidur
Nafsu makan
Resiko
berkurang
kekurangan
volume cairan
Gangguan
nutrisi
Intoleransi
Aktivitas Kelemahan

4. Tanda dan Gejala


Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba. Kemudian dapat
disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual, dan muntah. Pada
beberapa kasus juga menunjukkan gejala ISK bagian bawah yang dapat berupa
nyeri berkemih dan frekuensi berkemih yang meningkat.
Dapat terjadi kolik renalis, dimana penderita merasakan nyeri hebat yang
desebabkan oleh kejang ureter. Kejang dapat terjadi karena adanya iritasi akibat
infeksi atau karena lewatnya batu ginjal. Bisa terjadi pembesaran pada salah satu
atau kedua ginjal. Kadang juga disertai otot perut berkontraksi kuat.
Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit
untuk dikenali.
a. Pyelonefritis akut ditandai dengan :
- pembengkakan ginjal atau pelebaran penampang ginjal
- Pada pengkajian didapatkan adanya demam yang tinggi, menggigil, nausea,
- nyeri pada pinggang, sakit kepala, nyeri otot dan adanya kelemahan fisik.
- Pada perkusi di daerah CVA ditandai adanya tenderness.
- Klien biasanya disertai disuria, frequency, urgency dalam beberapa hari.
- Pada pemeriksaan urin didapat urin berwarna keruh atau hematuria dengan
bau yang tajam, selain itu juga adanya peningkatan sel darah putih.
b. Pielonefritis kronis
Pielonefritis kronis Terjadi akibat infeksi yang berulang-ulang, sehingga kedua
ginjal perlahan-lahan menjadi rusak. Tanda dan gejala:
- Adanya serangan pielonefritis akut yang berulang-ulang biasanya tidak
mempunyai gejala yang spesifik.
- Adanya keletihan.
- Sakit kepala, nafsu makan rendah dan BB menurun.
- Adanya poliuria, haus yang berlebihan, azotemia, anemia, asidosis,
proteinuria, pyuria dan kepekatan urin menurun.
- Kesehatan pasien semakin menurun, pada akhirnya pasien mengalami gagal
ginjal.
- Ketidaknormalan kalik dan adanya luka pada daerah korteks.
- Ginjal mengecil dan kemampuan nefron menurun dikarenakan luka pada
jaringan.
- Tiba-tiba ketika ditemukan adanya hipertensi.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan untuk memperkuat diagnosis pielonefritis
adalah:
a. Whole blood
b. Urinalisis
c. USG dan Radiologi : USG dan rontgen bisa membantu menemukan adanya
batu ginjal, kelainan struktural atau penyebab penyumbatan air kemih lainnya
d. BUN
e. Creatinin
f. Serum Electrolytes
g. Biopsi ginjal
h. Pemeriksaan IVP : Pielogram intravena (IVP) mengidentifikasi perubahan atau
abnormalitas struktur

6. Komplikasi
Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut
(Patologi Umum & Sistematik J. C. E. Underwood, 2002: 669)
a. Nekrosis papila ginjal. Sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada
area medula akan terganggu dan akan diikuti nekrosis papila ginjal, terutama
pada penderita diabetes melitus atau pada tempat terjadinya obstruksi.
b. Fionefrosis. Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat
sekali dengan ginjal. Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks
mengalami supurasi, sehingga ginjal mengalami peregangan akibat adanya
pus.
c. Abses perinefrik. Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke
dalam jaringan perirenal, terjadi abses perinefrik.

Komplikasi pielonefritis kronis mencakup penyakit ginjal stadium akhir


(mulai dari hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan
parut), hipertensi, dan pembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronik disertai
organisme pengurai urea, yang mangakibatkan terbentuknya batu) (Brunner &
Suddarth, 2002: 1437).

7. Penatalaksanaan Medik
Infeksi ginjal akut setelah diobati beberapa minggu biasanya akan sembuh
tuntas. Namun residu infeksi bakteri dapat menyebabkan penyakit kambuh
kembali terutama pada penderita yang kekebalan tubuhnya lemah seperti
penderita diabetes atau adanya sumbatan/hambatan aliran urin misalnya oleh batu,
tumor dan sebagainya. Penatalaksanaan medis menurut Barbara K. Timby dan
Nancy E. Smith tahun 2007:
a. Mengurangi demam dan nyeri dan menentukan obat-obat antimikrobial seperti
trimethroprim-sulfamethoxazole (TMF-SMZ, Septra), gentamycin dengan atau
tanpa ampicilin, cephelosporin, atau ciprofloksasin (cipro) selama 14 hari
b. Merilekskan otot halus pada ureter dan kandung kemih, meningkatkan rasa
nyaman, dan meningkatkan kapasitas kandung kemih menggunakan obat
farmakologi tambahan antispasmodic dan anticholinergic seperti oxybutinin
(Ditropan) dan propantheline (Pro-Banthine)
c. Pada kasus kronis, pengobatan difokuskan pada pencegahan kerusakan ginjal
secara progresif.

Penatalaksanaan keperawatan menurut Barbara K. Timby dan Nancy E. Smith


tahun 2007:
a. Mengkaji riwayat medis, obat-obatan, dan alergi.
b. Monitor Vital Sign
c. Melakukan pemeriksaan fisik
d. Mengobservasi dan mendokumentasi karakteristik urine klien.
e. Mengumpulkan spesimen urin segar untuk urinalisis.
f. Memantau input dan output cairan.
g. Mengevaluasi hasil tes laboratorium (BUN, creatinin, serum electrolytes)
h. Memberikan dorongan semangat pada klien untuk mengikuti prosedur
pengobatan. Karena pada kasus kronis, pengobatan bertambah lama dan
memakan banyak biaya yang dapat membuat pasien berkecil hati.

8. Pencegahan
Untuk membantu perawatan infeksi ginjal, berikut beberapa hal yang harus
dilakukan:
a. minumlah banyak air (sekitar 2,5 liter ) untuk membantu pengosongan
kandung kemih serta kontaminasi urin.
b. Perhatikan makanan (diet) supaya tidak terbentuk batu ginjal
c. banyak istirahat di tempat tidur
d. terapi antibiotika

Untuk mencegah terkena infeksi ginjal adalah dengan memastikan tidak


pernah mengalami infeksi saluran kemih, antara lain dengan memperhatikan cara
membersihkan setelah buang air besar, terutama pada wanita. Senantiasa
membersihkan dari depan ke belakang, jangan dari belakang ke depan. Hal
tersebut untuk mencegah kontaminasi bakteri dari feses sewaktu buang air besar
agar tidak masuk melalui vagina dan menyerang uretra.Pada waktu pemasangan
kateter harus diperhatikan kebersihan dan kesterilan alat agar tidak terjadi infeksi.
Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk pengobatan infeksi
ginjal mempunyai khasiat sebagai antiradang, antiinfeksi, menurunkan panas, dan
diuretik (peluruh kemih). Tumbuhan obat yang dapat digunakan, antara lain :
a. Kumis kucing (Ortthosiphon aristatus)
b. Meniran (Phyllanthus urinaria)
c. Sambiloto (Andrographis paniculata)
d. Pegagan (Centella asiatica)
e. Daun Sendok (Plantago major)
f. Akar alang-alang (Imperata cyllindrica)
g. Rambut Jagung (Zea mays)
h. Krokot (Portulaca oleracea)
i. Jombang (Taraxacum mongolicum)
j. Rumput mutiara(Hedyotys corymbosa).

C. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian pada klien pielonefritis menggunakan
pendekatan bersifat menyeluruh yaitu :
a. Data biologis meliputi :
1) Identitas Klien
2) Identitas penanggung
b. Riwayat kesehatan :
1) Riwayat infeksi saluran kemih
2) Riwayat pernah menderita batu ginjal
3) Riwayat penyakit DM, Jantung
c. Pengkajian fisik :
1) Palpasi kandung kemih
2) Infeksi darah meatus
3) Pengkajian warna, jumlah, bau dan kejernian urine
4) Pengkajian pada costovertebralis
d. Riwayat psikososial
Usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan persepsi terhadap kondisi
penyakit mekanisme kopin dan system pendukung
e. Pengkajian pengtahuan klien dan keluarga
1) Pemahaman tentang penyebab / perjalanan penyakit
2) Pemahaman tentang pencegahan, perawatan dan terapi medis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d hipertermi, perubahan
membran mukosa, kurang nafsu makan
b. Nyeri akut b.d proses peradangan / infeksi
c. Hipertermia b.d demam, peradangan / infeksi
d. Ansietas b.d hematuria, kurang pengetahuan tentang penyakit dan tujuan
pengobatan
e. Gangguan pola tidur b.d hipertermi, nyeri
f. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
g. Resiko kekurangan volume cairan b.d intake tidak adekuat

3. Intervensi
Dx. 1 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d hipertermi,
perubahan membran mukosa, kurang nafsu makan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien
merasa nafsu makan bertambah.
Kriteria Hasil : menunjukkan status gizi : asupan makanan, cairan dan zat gizi.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
1 Pantau / catat permasukan diet Membantu dan mengidentifikasi
defisiensi dan kebutuhan diet.
Kondisi fisik umum, gajala uremik
(contoh : mual, anoreksia, gangguan
rasa) dan pembatasan diet multiple
mempengaruhi pemasukan makanan.
Mambran mukosa menjadi kering
2 Tawarkan perawatan mulut sering/cuci dan pecah. Perawatan mulut
dengan larutan (25%) cairan asam menyejukkan, meminyaki dan
asetat. Berikan permen karet, permen membantu menyegarkan rasa mulut
keras, penyegar mulut diantara makan yang sering tidak nyaman pada
uremia dan membatasi pemasukan
oral. Pencucian dengan asam asetat
membantu menetralkan amonea
yang dibentuk oleh perubahan urea.

Berikan makanan sedikit tapi sering Meminimalkan anoreksia dan mual


3 sehubungan dengan status
uremik/menurunnya paristaltik

Kolaborasi : Menentukan kalori individu dan


4 Konsul dengan ahli gizi/tim kebutuhan nutrisi dalam
pendukung nutrisi pembatasan,dan mengidentifikasi
rute paling efektif dan produknya,
contoh tambahan oral, makanan
selang hiperalimentasi

Batasi kalium, natrium dan pemasukan Pembatasan elektrolit ini dibutuhkan


5 fosat sesuai indikasi untuk mencegah kerusakan ginjal
lebih lanjut, khususnya bila dialisis
tidak menjadi bagian pengobatan,
dan atau selama fase penyembuhan.
Indikator kebutuhan nutrisi,
Awasi pemeriksaan labiratorium, pembatasan, dan kebutuhan /
6 contoh; BUN, albumin serum, efektivitas terapi.
transferin, natrium dan kalium.
Dx. 2 : Nyeri akut b.d proses peradangan, infeksi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien
merasa nyaman dan nyerinya berkurang.
Kriteria Hasil : Tidak ada keluhan nyeri pada saat berkemih, kandung kemih
tidak tegang, tenang, tidak mengekspresikan nyeri secara verbal atau pada
wajah, tidak ada posisi tubuh, tidak ada kegelisahan, tidak ada kehilangan nafsu
makan.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri :
1 Pantau intensitas, lokasi, dan factor Rasa sakit yang hebat menandakan
yang memperberat atau meringankan adanya infeksi
nyeri
2 Berikan waktu istirahat yang cukup Klien dapat istirahat dengan tenang
dan tingkat aktivitas yang dapat di dan dapat merilekskan otot – otot
toleran.
3 Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika Untuk membantu klien dalam
tidak ada kontra indikasi berkemih

4 Pantau haluaran urine terhadap Untuk mengidentifikasi indikasi


perubahan warna, bau dan pola kemajuan atau penyimpangan dari
berkemih, masukan dan haluaran hasil yang di harapkan
setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis
ulang
5 Berikan tindakan nyaman, seperti Meningkatkan relaksasi,
pijatan punggung, lingkungan istirahat menurunkan tegangan otot
Berikan perawatan parineal
6 Untuk mencegah kontaminasi uretra
Kolaborasi :
Berikan analgesic sesuia kebutuhan Analgesic memblok lintasan nyeri
7 dan evaluasi keberhasilannya sehingga mengurangi nyeri
Berikan antibiotic. Buat berbagi Akibat dari haluran urin
8 variasi sediaan minum, termasuk air memudahkan berkemih sering dan
segar. Pemberian air sampai 2400 membantu membilas saluran
ml/hari berkemih

Dp. 3 : Hipertermia b.d demam, peradangan / infeksi


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam demam
pasien berkurang
Kriteria Hasil :hilangnya rasa mual, suhu tubuh kembali normal, nafas normal
dan suhu kulit lembab
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri :
1 Pantau suhu pasien (drajat dan pola) ; Suhu 38,90 – 41,10 C menunjukkan
perhatikan menggigil/diaforesis proses penyakit infeksius akut

2 Pantau suhu lingkungan, batasi / Suhu ruangan/jumlah selimut harus


tambahkan linen tempat tidur, sesuai diubah untuk mempertahankan suhu
indikasi mendekati normal.
Dapat membantu mengurangi
3 Berikan kompres mandi hangat; demam. Catatan : penggunaan air
hindari penggunaan alkohol es/alkohol mungkin menyebabakan
kedinginan, peningkatan suhu secara
aktual. Selain itu alkohol dapat
mengeringkan kulit.
Digunakan untuk mengurangi
4 Berikan selimut pendingin demam umumnya lebih besar dari
39,50-400 C pada waktu terjadi
kerusakan/ gangguan otak.

Digunakan untuk mengurangi


5 Kolaborasi : demam dengan aksi sentralnya pada
Berikan antipiretik, misalnya ASA hipotelamus. Meskipun demam
(aspirin), asetaminofen (tylenol) mungkin dapat berguna dalam
membatasi pertumbuhan organisme.
Dan meningkatkan autodestruksi
dari sel-sel yang terinfeksi

Dx. 4 : Ansietas b.d hematuria, kurang pengetahuan tentang penyakit dan


tujuan pengobatan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam cemas
pasien Hilang dan tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah
Kriteria Hasil : tenang, gelisa berkurang, ketakutan berkurang, dapat
beristirahat, frekuensi nafas 12-24/menit
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
1 Beri kesempatan klien untuk Agar klien mempunyai semangat
mengungkapkan perasaannya dan mau empati terhadap perawatan
dan pengobatan
2 Pantau tingkat kecemasan Untuk mengetahui berat ringannya
kecemasan klien

3 Beri dorongan spiritual Agar klien kembali menyerahkan


sepenuhnya kepada tuhan YME

4 Beri penjelasan tentang penyakitnya Agar klien mengerti sepenuhnya


dengan penyakit yang di alaminya.

Dx. 5 : Gangguan pola tidur b.d hipertermi


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien
merasa tidur dengan nyenyak.
Kriteria Hasil : jumlah jam tidur tidak terganggu, perasaan segar setelah tidur
atau istirahat, terjaga denganwaktu yang sesuai
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri :
1 Instruksikan tindakan relaksasi Membantu menginduksi tidur

2 Hindari mengganggu bila mungkin, Tidur tanpa gangguan pasien


mis : membangun untuk obat atau mungkin tidak mampu kembali tidur
terapi bila terbangun

3 Tentukan kebiasaan tidur biasanya dan Mengkaji perlunya mengidentifikasi


perubahan yang terjadi intervensi yang tepat.
Perubahan posisi mengubah area
4 Dorong posisi nyaman, bantu dalam tekanan dan meningkatkan istirahat
megubah posisi Mungkin di berikan untuk
5 Kolaborasi : membantu pasien tidur/istirahat
Berikan sedatif, hipnotik, sesuai selama periode dari rumah ke
indikasi lingkungan baru. Catatan : hindari
penggunaan kebiasaan, karena ini
menurunkan waktu tidur.

Dp. 6 : Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam pasien
toleran aktifitas.
Kriteria Hasil : mengidentifikasi aktifitas dan atau situasi yang menimbulkan
kecemasan yang berkontribusi pada intoleransi aktivitas.
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri :
1 Bantu aktivitas perawatan diri yang di Meminimalkan kelelahan dan
perlukan. Berikan kemajuan membantu keseimbangan suplai dan
peningkatan aktifitas selama fase kebutuhan oksigen
penyembuhan.
2 Evaluasi respon pasien terhadap Menetapkan kemampuan /
aktifitas. Catat laporan dispnea, kebutuhan pasien dan memudahkan
peningkatan kelemahan / kelelahan pemilihan intervensi.
dan perubahan tanda vital selama dan
setelah aktivitas

Dx. 7 : Resiko kekurangan volume cairan b.d intake tidak adekuat


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam klien dapat
mempertahankan pola eliminasi secara adekuat
Kriteria hasil :tidak memiliki konsentrasi urine yang berlebih, memiliki
keseimbangan asupan Dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam
Intervensi :
No Intervensi Rasionalisasi
Mandiri :
1 Ukur dan catat urine setiap kali Untuk mengetahui adanya
berkemih perubahan warna dan untuk
mengetahui input / output
2 Pastikan kontinuitas kateter pirau / Terputusnya pirau / akses terbuka
akses akan memungkinkan eksanguinasi

3 Tempatkan pasien pada posisi Memaksimalkan aliran balik vena


telentang / tredelenburg sesui bila terjadi hipotensi
kebutuhan
4 Pantau mambran mukosa kering, Hipovolemia/cairian ruang ketiga
torgor kulit yang kurang baik, dan rasa akan memperkuat tanda-tanda
haus dehidrasi

5 Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium ~ Menurun karena anemia, hemodilusi
sesuai indikasi atau kehilangan darah aktual.
~ ~ Cairan garam faal/dekstrosa,
6 Berikan cariran IV (contoh, garam elektrolit, dan NaHCO3 mungkin
faal)/ volume ekspender (contoh diinfuskan dalam sisi vena
albumin)selama dialisa sesuai idikasi hemofelter Cav bila kecepatan
ultrafiltrasi tinggi digunakan untuk
membuang cairan ekstraseluler dan
cairan toksik. Volume ekspender
mungkin dibutuhkan selama / setelah
hemodialisa bila terjadi hipotensi
tiba-tiba.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringan
interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melalui
uretra dan naik ke ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% - 25% curah jantung,
bakteri jarang mencapai ginjal melalui darah; kasus penyebaran secara hematogen
kurang dari 3%.
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar)
merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan penyebab dari
50% infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang
naik ke kandung kemih.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh
aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di
tempat masuknya ke kandung kemih.

B. Saran
Saran kami dalam makalah ini semoga para pembaca bisa lebih memahami isi
dari makalah ini dan dapat menerapkannya dalam melakukan asuhan keperawatan
dan membandingkan dengan referensi lainnya.
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
STROKE

DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marbun
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS KEDOKTERAN
PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Stroke atau gangguan perdarahan otak (GPDO) merupakan ppenyakit neurologis
yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke
merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan
karena terjadinya ganggan peredaran otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan
kapan saja. Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal ( global ) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam aau lebih yang menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke
merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, gangguan proses berfikir daya
ingat, dan bentuk-bentu kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi
otak.
Badan kesehatan sedunia WHO memperkirakan sekitar 15 juta orang terserang
stroke setiap tahunnya. Stroke merupakan penyebab kematian utama urutan
kedua pada kelompok usia diatas 60 tahun, dan urutan kelima penyebab
kematiian pada kelompok usia 15-59 tahun. Diindonesia prevalensi stroke
terus meningkat setiap tahunnya, seiring dengan peningkatan usia harapan
hidup dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tidak diimbangi
dengan perbaikan prilaku dan pola hidup yang sehat.
BAB II
KONSEP DASAR

A. Definisi

Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang


berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin, 2008).
Stroke hemoragic adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di
otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke
hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Ria Artiani, 2009).
Stroke hemoragic adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah di otak dan kemudian merusaknya (M. Adib, 2009).
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragic adalah salah satu
jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah di otak sehingga
darah tidak dapat mengalir secara semestinya yang menyebabkan otak mengalami
hipoksia dan berakhir dengan kelumpuhan.
9
B. Etiologi

Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi menurut


Muttaqin(2008):
1. Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital.

2. Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.

Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya


kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Dinding arteri
menjadi lemah terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan.
3. Aneurisma myocotik dasakriuvlitis nekrose dan emboli septis.

4. Malformasi arteriovenous, adalah pembuluh darah yang mempunyai


bentuk abnormal, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah arteri,
sehingga darah arteri langsung masuk vena, menyebabkan mudah pecah
dan menimbulkan perdarahan otak.
5. Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan
dan degenerasi pembuluh darah.
Faktor risiko terjadinya stroke menurut (Arif 2000), adalah sebagai berikut:
1. Faktor resiko yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin, ras, riwayat
keluarga, riwayat stroke, penyakit jantung koroner.
2. Faktor resiko yang dapat diubah: Hipertensi, diabetes mellitus, merokok,
hematokrit meningkat, bruit karotis asimtomatis.
C. Tanda gejala

Stroke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi


(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala sisa
karena fungsi otak tidak akan membaik sepenuhnya (Muttaqin 2008).
1. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau

hemiplegia).
2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah “Bell’s Palsy”.

3. Tonus otot lemah atau kaku.

4. Menurun atau hilangnya rasa.

5. Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”.

6. Gangguan bahasa (Disatria: kesulitan dalam membentuk kata;

afhasia atau disfasia: bicara defeksif/kehilangan bicara).

7. Gangguan persepsi.

8. Gangguan status mental.

Kemungkinan kecacatan yang berkaitan dengan stroke

1. Daerah serebri media

a. Hemiplegi kontralateral, sering disertai hemianestesi.

b. Hemianopsi homonim kontralateral.

c. Afasia bila mengenai hemisfer dominan.

d. Apraksia bila mengenai hemisfer nondominan


2. Daerah Karotis interna

Serupa dengan bila mengenai serebri media.

3. Daerah Serebri anterior

a. Hemiplegi (dan hemianestesi) kontralateral terutama di tungkai

b. Incontinentia urinae.

c. Afasia atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena.

4. Daerah Posterior

a. Hemianopsi homonim kontralateral mungkin tanpa mengenai daerah


makula karena daerah ini juga diperdarahi oleh serebri media.
b. Nyeri talamik spontan

c. Hemibalisme.

d. Aleksi bila mengenai hemisfer dominan

5. Daerah vertebrobasiler

a. Sering fatal karena mengenai juga pusat-pusat vital di batang otak.


b. Hemiplegi alternans atau tetraplegi.

c. Kelumpuhan pseudobulbar (disartri, disfagi, emosi labil)


D. Anatomi dan fisiologi

1. Anatomi

Gambar 2.1

Sumber pustekomdepdiknas (2008)

Gambar 2.2 Sumber Associtas,


inc (2001)
Otak manusia kira-kira 2% dari berat badan orang dewasa (sekitar
3lbs). Otak menerima 20% dari curah jantung dan memerlukan sekitar 20%
pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400kilo kalori energi setiap harinya.
Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf
spinal dan 12 pasang saraf cranial. Saraf perifer dapat terdiri dari neuron-
neuron yang menerima pesan-pesan neural sensorik (aferen) yang menuju ke
system saraf pusat, dan atau menerima pesan-pesan neural motorik (eferen)
dari system saraf pusat. Saraf spinal menghantarkan pesan-pesan tersebut
maka saraf spinal dinamakan saraf campuran.
Sistem saraf somatic terdiri dari saraf campuran. Bagian aferen
membawa baik informa sisensorik yang disadari maupun informasi sensorik
yang tidak di sadari. Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf campuran.
Serabut-serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ visceral.
Saraf parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut jantung dan
pernafasan, dan meningkatkan pergerakan saluran cerna sesuai dengan
kebutuhan pencernaan dan pembuangan.
2. Fisiologis

Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting karena merupakan


pusat computer dari semua alat tubuh. Bagian dari saraf sentral yang terletak
didalam rongga tengkorak (cranium) dibungkus oleh selaput otak yang kuat.
Otak terletak dalam rongga cranium berkembang dari sebuah tabung yang
mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak awal.
a. Otak depan menjadi hemifer serebri, korpus striatum, thalamus, serta
hipotalamus.
b. Otak tengah, trigeminus, korpus callosum, korpus kuadrigeminus.

c. Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan

serebellum.

Fisura dan sulkus membagi hemifer otak menjadi beberapa daerah.


Korteks serebri terlipat secara tidak teratur. Lekukan diantara gulungan
serebri disebut sulkus. Sulkus yang paling dalam membentuk fisura
longitudinalis dan lateralis. Daerah atau lobus letaknya sesuai dengan tulang
yang berada diatasnya (lobusfrontalis, temporalis, parientalis dan
oksipitalis).
Fisura longitudinalis merupakan celah dalam pada bidang media
lateralis memisahkan lobus temporalis dari lobus frontalis sebelah anterior
dan lobus parientalis sebelah posterior. Sulkus sentralis memisahkan lobus
parientalis sebelah posterior. Sulkus sentralis juga memisahkan lobus
frontalis dan lobus parientalis.
a. Cerebrum

Cerebrum (otak besar) merupakan bagian terbesar dan terluas dari


otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak.
Masing-masing disebut fosakranialis anterior atas dan media. Kedua
permukaan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada bagian
korteks serebral dan zat putih terdapat pada bagian dalam yang
mengandung serabur syaraf.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
1. Lobus frontalis adalah bagian dari serebum yang terletak dibagian
sulkus sentralis.
2. Lobus parientalis terdapat didepan sulkus sentralis dan dibelakang
oleh korako oksipitalis.
3. Lobus temporalis terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan
didepan lobus oksipitalis.
4. Oskipitalis yang mengisi bagian belakang dari serebum.

Korteks serebri selain dibagi dalam lobus juga dibagi menurut fungsi
dan banyaknya area. Cambel membagi bentuk korteks serebri menjadi 20
area. Secara umum korteks dibagi menjadi empat bagian:
1. Korteks sensoris, pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri
yang mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang menangani
suatu alat atau bagian tubuh tergantung ada fungsi alat yang
bersangkutan. Disamping itu juga korteks sensoris bagian fisura
lateralis menangani bagian tubuh bilateral lebih dominan.
2. Korteks asisiasi. Tiap indra manusia, lorteks asosiasi sendiri
merupakan kemampuan otak manusia dalam bidang intelektual,
ingatan, berpikir, rangsangan yang diterima diolah dan disimpan
serta dihubungkan dengan data yang lain. Bagian anterior lobus
temporalis mempunyai hubungan dengan fungsi luhur dan disebut
psikokorteks.
3. Korteks motoris menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi
utamanya adalah kontribusi pada taktus piramidalis yang mengatur
bagian tubuh kontralateral.
4. Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan dengan
sikap mental dan kepribadian.
b. Batang otak

Batang otak terdiri dari:

1) Diencephalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara


serebelum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel saraf yang
terdapat di bagian depan lobus temporalis terdapat kapsul interna
dengan sudut menghadap ke samping. Fungsinya dari diensefalson:
a) Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah.

b) Respirator, membantu proses pernafasan.

c) Mengontrol kegiatan refleks

d) Membantu kerja jantung

2) Mesensefalxon, atap dari mesensefalxon terdiri dari empat bagian


yang menonjol ke atas. Dua di sebelah atas disebut korpus
kuadrigeminus superior dan dua sebelah bawah selaput korpus
kuardrigeminus inferior. Serat nervus toklearis berjalan ke arah
dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsinya:
a) Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata.

b) Memutar mata dan pusat pergerakan mata.


3) Pons varoli barikum pontis yang menghubungkan mesensefalxon
dengan pons varoli dan dengan serebelum, terletak di depan serebrum
di antara otak tengah dan medulla oblongata. Di sini terdapat
premoktosid yang mengatur gerakan pernafasan dan refleks.
Fungsinya:
a) Penghubung antara kedua bagian serebum dan juga antara

medulla oblongata dengan serebellum.


b) Pusat saraf nervus trigeminus.

4) Medulla oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling


bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis.
Bagian bawah medulla oblongata merupakan persambungan medulla
spinalis ke atas, bagian atas medulla oblongata yang melebar disebut
kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medulla oblongata.
Fungsinya:
a) Mengontrol kerja jantung

b) Mengecilkan pembuluh darah

c) Pusat pernafasan

d) Mengontrol kegiatan refleks

c. Cerebellum

Otak kecil di bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan


dengan cerebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons varoli
dan di atas medulla oblongata. Organ ini banyak menerima serabut
aferen sensoris, merupakan pusat koordinasi dan integrasi.
Bentuknya oval, bagian yang kecil pada sentral disebut vermis dan
bagian yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum
berhubungan dengan batang otak melalui pundunkulus serebri inferior.
Permukaan luar serebelum berlipat-lipat menyerupai serebellum tetapi
lipatanya lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan serebellum ini
mengandung zat kelabu. Korteks serebelum dibentuk oleh substansia
grisia, terdiri dari tiga lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye dan
lapisan granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari
seberum harus melewati serebellum.
E. Patofisiologi

Ada dua bentuk cerebro vaskular accident (CVA) bleeding:

1. Perdarahan intra serebral

Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi


mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau
hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar
otak. Peningkatan trans iskemik attack(TIA) yang terjadi dengan cepat dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak. Perdarahan
intra cerebral sering dijumpai di daerah pituitary glad, talamus, sub kortikal,
nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan
perubahan struktur dinding permbuluh darah berupa lipohyalinosis atau
nekrosis fibrinoid.
2. Perdarahan sub arachnoid

Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma


paling sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi
willisi.
Arteriovenous malformations (AVM) dapat dijumpai pada jaringan
otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam ventrikel
otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang
subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan tekanan intra kranial
yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri
kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan
selaput otak lainnya. Peningkatan tekanan intrkranial yang mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subarakhnoid pada retina dan penurunan
kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme
pembuluh darah serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah
timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat
menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena
interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam
cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang subarakhnoid.
Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik,
afasia dan lain-lain). Otak dapat
berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang
dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh
kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral.
Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses
metabolik anaerob,yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
F. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaaan diagnostik menurut David & Jhon (2005) adalah:

1. Angiografi cerebral untuk menentukan penyebab stroke hemoragic.

Seperti peradarahan atau obstruksi arteri.

2. Computer topografi (CT) scan otak untuk memperlihatkan adanya

edem, hematom iskemia dan adanya infark.

3. Magnetic resonance imaging(MRI) menunjukkan daerah yang mengalami


infark hemologi Malvormasi Arterio Vena (MAV).
4. Ultrasonografi doppler untuk mengidentifikasi penyakit arteri vena (masalah
sistem arteri keritis).
5. Electroencephalography (EEG) untuk mengidentifikasi masalah berdasarkan
pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
6. Sinar X tengkorak untuk menggambarkan perubahan kelenjar lempeng
peneal daerah yang berlawanan dari masa meluas ke klasifikasi karotis
internal terdapat trombosit serebral.
7. Pemeriksaan syaraf kranial mudehnau,rMut.(,JRahil, H.N, 2011 )

a. Olfaktorusius (N.I): Untuk menguji saraf ini digunakan bahan- bahan


yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-
rempah. Letakkan salah satu bahan tersebut di depan salah satu lubang
hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan
pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu
saat mulai tercium baunya bahan
tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang diciumnya.
Hasil pemeriksan normal mampu membedakan zat aromatis lemah.
b. Optikus (N.II): Ada enam pemeriksaan yang harus dilakukan yaitu
penglihatan sentral, kartu snellen, penglihatan perifer, refleks pupil,
fundus kopi dan tes warna. Untuk penglihatan sentral dengan
menggabungkan antara jari tangan, pandangan mata dan gerakan tangan.
Kartu senllen yaitu kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien
dengan tabel, jika ruangan tidak cukup luas bisa diakali dengan cermin.
Penglihatan perifer dengan objek yang digunakan (2 jari pemeriksa /
ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandangan kanan dan ke kiri, atas
dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang
diperiksa harus menatap lurus dan tidak menoleh ke objek tersebut.
Refleks pupil dengan menggunakan senter kecil , arahkan sinar sinar dari
samping (sehingga pasien memfokus pada cahaya dan tidak
berakomodasi) ke arah satu pupil untuk melihat reaksinya. Fundus kopi
dengan menggunakan alat oftalmoskop, mengikuti perjalanan vena
retinalis yang besar ke arah diskus, dan tes warna dengan menggunakan
buku Ishi Hara’s Test untuk melihat kelemahan seseorang dalam melihat
warna.
c. Okulomotoris (N.III): Meliputi gerakan ptosis, pupil dan gerakan bola
mata. Mengangkat kelopak mata ke atas, konstriksi pupil, dan sebagian
besar gerakan ekstra okular.
d. Troklearis (N.IV): Meliputi gerakan mata ke bawah dan ke dalam,
stabimus konvergen dan diplopia.
e. Trigeminus (N.V): Mempunyai tiga bagian sensori yang mengontrol
sensori pada wajah dan kornea serta bagian motorik mengontrol otot
mengunyah.
f. Fasialis (N.VII) : Pemeriksaan dilakukan saat pasien diam dan atas
perintah (tes kekuatan otot) saat pasien diam diperhatikan asimetri wajah.
Mengontrol ekspresi dan simetris wajah.
g. Vestibul kokhlearis (N.VIII) : Pengujian dengan gesekan jari, detik arloji
dan audiogram. Monetrnogl pendengaran dan keseimbangan.
h. Glasofaringeus (N.IX) :Dengan menyentuh dengan lembut.

Sentuhan bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula. Refleks
menelan dan muntah.
i. Vagus (N.X) : Dengan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah
terdapat gerakan uvula. Mempersarafi faring, laring dan langit lunak.
j. Aksesorus (N.XI) : Pemeiksaan dengan cara meminta pasien mengangkat
bahunya dan kemudian rabalah massa otot dan menekan ke bawah
kemudian pasien disuruh memutar kepalanya
dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa). Mengontrol
pergerakankepaladanbahu.
k. Hipoglosus (N.XII) : Pemeriksaan dengan inspeksi dalam keadaan diam
didasar mulut, tentukan adanya artrofi dan fasikulasi. Mengontrol gerak
lidah.
G. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik menurut (Mansjoer, 2000).

a. Singkirkan kemungkinan kaugulopati: untuk memastikan masa


protrombin dan tromoplastin parsial adalah normal.
b. Mengendalikan hipertensi: karena tekanan yang tinggi dapat
menyebabkan perburukan edema periehematoma serta meningkatkan
kemungkinan perdarahan ulang.
c. Pertimbangkan konsultasi bedah saraf bila: perdarahan serebum diameter
lebih dari 3cm atau volume <50ml.
d. Pertimbangkan angiografi untuk menyingkirkan aneurisma.

e. Berikan manitol 20% (1kg/kb/BB, intravena dalam 20-30menit) untuk


pasien koma.
f. Perdarahan intraserebral

1) Obati penyebabnya.

2) Turunkan tekanan intracranial yang meninggi.

3) Berikan neuroprotektor.
g. Pertimbangkan terapi hipovolemik dan nimodipin untuk mencegah
vasopasme bila secara klinis, CT scan menunjukan perdarahan
subaraknoid akut.
H. Intervensi keperawatan

a. Menurut Nanda (2013)

1) Ketidakefektifan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi


perdarahan, hemoragic.
Tujuan: Pasien dapat mencapai keadaan perfusi jaringan serebral yang
stabil ditandai dengan tingkat kesadaran membaik.
Kriteria hasil (NOC):

a) Circulation status.

b) Status perfusion : cerebral.

Mendemonstrasikan setatus sirkulasi yang ditandai dengan:

a) Tekanan sistole dan diastole dalam rentang normal.

b) Tidak ada ortostatik hipertensi.

c) Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.

Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang ditandai dengan:

a) Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai kemampuan.

b) Menunjukan perhatian, konsentrasi dan orientasi.

c) Memproses informasi.

d) Membuat keputusan dengan benar.


Menunjukan fungsi sensori motori cranial yang utuh: tingkat kesadaran
membaik, tidak ada gerakan-gerakan involunter.
Intervensi (NIC):
Manajemen sensasi nyeri.
a) Batasi gerak pada kepala, leher dan punggung.

b) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap


panas/dingin/tajam/tumpul.
c) Monitor adanya paretese.

d) Elevasi kepala 30˚.

e) Catat respons terhadap stimulasi.

f) Monitor vital sign.

g) Pertahankan tirah baring.

h) Kolaborasi pemberian analgetik.

i) Evauasi pupil, catat reaksi terhadap cahaya.

j) Kaji tingkat kesadaran dan orientasi.

2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot


Tujuan: Peningkatan kekuatan otot.
Kriteria hasil (NOC):
a) Meningkat dalam aktivitas fisik.

b) Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas.

c) Memverbalkan perasaan.

d) Memperagakan pengguanaan alat bantu untuk mobilisasi.

Intervensi (NIC):
Exercrise therapy: ambulation.
a) Monitor TTV sebelum dan sesudah latihan dan lihat respon pasien.
b) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
c) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera.
d) Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi.

e) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.

f) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri


sesuai kemampuan.
g) Berikan alat bantu jika klien memerlukan.

h) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika


diperlukan.
i) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs.
3) Defisit perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan persepsi
kognitif
Tujuan: Perawatan diri mandiri.
Kriteria hasil:
a) Mampu makan mandiri.

b) Mampu toileting mandiri.

c) Mampu ambulasi mandiri.

d) Mampu berpakaian mandiri.


Intervensi:

a) Monitor kemampuan klien dalam melakukan ADL secara mandiri.


b) Monitor kebutuhan klien akan alat bantu dalam melakukan ADL.
c) Sediakan peralatan-peralatan pribadi yang dibutuhkan klien (seperti
deodoran, pasta gigi, dan sabun mandi).
d) Bantu klien dalam melakukan ADL sampai klien mampu
melakukannya dengan mandiri.
e) Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan
tingkat kemampuannya.
f) Dorong klien untuk mandiri, tetapi bantu klien bila klien tidak bisa
melakukannya sendiri.
g) Ajari keluarga untuk mendorongkemandirian klien, dan hanya
membantu jika klien tidak mampu melakukannya sendiri.
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik
Tujuan: Tidak ada luka.
Kriteria hasil:

a) Integritas kulit baik.

b) Tidak ada luka/lesi pada kulit.

c) Perfusi jaringan baik.

Intervensi:

a) Anjurkan pasien menggunakan pakaian longgar.


b) Hindarkan kerutan pada tempat tidur.

c) Jaga kebersihan kulit akan adanya kemerahan.

d) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien.

e) Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat.

5) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan afasia


Tujuan: Mampu berkomunikasi dengan mudah.
Kriteria hasil:

a) Komunikasi meningkat.

b) Komunikasi ekspresif.

c) Komunikasi resepresif.

d) Gerakan berkoordinasi.

e) Mampu memperoleh, mengatur dan menggunakan informasi.

f) Mampu mengontrol respons ketakutan dan kecemasan


terhadap ketidakmampuan berbicara.
g) Mampu memanajemen kemampuan fisik yang dimiliki.

h) Mampu mengomunikasikan kebutuhan dengan lingkungan.

Intervensi:

a) Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlahan.

b) Berdiri di depan pasien ketika berbicara.


c) Gunakan komunikasi terapeutik.

d) Dengarkan dengan penuh perhatian.

e) Beri pujian positif.


6) Resiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
Tujuan: tidak terjadi aspirasi pada pasien.
Kriteria hasil:

a) Dapat bernafas dengan mudah, frekuensi pernafasan normal.

b) Mampu menelan,mengunyah tanpa terjadi aspirasi.

Intervensi:

a) Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dankemampuan


menelan.
b) Pelihara jalan nafas.

c) Lakukan saction bila diperlukan.

d) Haluskan makanan yang akan diberikan.

e) Haluskan obat sebelum pemberian.

7) Resiko Injuri berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran


Tujuan: tidak terjadi trauma.
Kriteria hasil:

a) Bebas dari cedera.

b) Mampu menjelaskan factor resiko dari lingkungan dan cara untuk


mencegah cedera menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
Intervensi:

a) Menyediakan lingkungan yang aman bagi pasien.

b) Memberikan informasi mengenai cara mencegah cedera.


c) Memberikan penerangan yang cukup.
d) Menganjurkan keluarga untuk selalu menemani pasien.

8) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran


Tujuan: pola nafas pasien efektif.
Kriteria hasil:

a) Menujukkan jalan nafas paten ( tidak merasa tercekik, irama nafas


normal, frekuensi nafas normal,tidak ada suara nafas tambahan.
b) Tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:

a) Pertahankan jalan nafas yang paten.

b) Observasi tanda-tanda hipoventilasi.

c) Berikan terapi O2.

d) Dengarkan adanya kelainan suara tambahan.

e) Monitor vital sign.

9) Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang


paparan sumber informasi
Tujuan: pasien mengerti proses penyakitnya dan Program
perawatan serta terapi yg diberikan.
Kriteria hasil:

a) Menjelaskan kembali tentang penyakit.

b) Mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas.

Intervensi:

a) Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya.


b) Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala),
identifikasi kemungkinan penyebab. Jelaskan kondisi
tentang klien.
c) Jelaskan tentang program pengobatan dan
alternatif pengobantan.
d) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin digunakan
untuk mencegah komplikasi.
e) Diskusikan tentang terapi dan pilihannya.

f) Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa


digunakan/ mendukung.
g) Instruksikan kapan harus ke pelayanan.

h) Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang


penyakit, prosedur perawatan dan pengobatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Stroke adalah kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan
suplai darah ke bagian otak. Stroke dapat dibagi menjadi 2 yaitu : stroke hemorrhagi dan
stroke non-hemorrhagi. Penyebab stroke antara lain thrombosis, embolisme, iskemia, dan
hipoksia. Faktor resiko pada stroke antara lain : hipertensi, penyakit kardiovaskuler,
kolesterol tinggi, obesitas, peningkatan hematokrit, diabetes mellitus, kontrasepasi oral,
penyalahgunaan obat dan konsumsi alkohol. Tanda dan gejala stroke tergantung pada luas
dan lokasi yang dipengaruhinya. Diagnosis stroke biasanya ditegakkan berdasarkan
perjalanan penyakit dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dapat membantu
menentukan lokasi kerusakan pada otak. Ada dua jenis teknik pemeriksaan imaging
(pencitraan) untuk mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak
(Cerebrovascular Disease/CVD), yaitu Computed Tomography (CT scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI).
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan stroke bersifat komprehensif,
pengkajian mengarah pada keluhan-keluhan klien serta pemeriksaan fisik dilakukan
secara per sistem.

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:
Salemba medika.
Smeltzer, Suzanne C. Dan Brenda G.Bare. 2002.Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth. Edisi ke 8. Jakarta: EGC
http:// tutiiskandar.wordpress.com/2009/01/30/makalah-stroke/just another Wordpress.com
Mansjoer,Arief, et al. 2000. Kapita selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

MALARIA

DISUSUN OLEH:

Veny Anriany Marbun

NIM. 1710053209

TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS

KEDOKTERAN PRODI D3 KEPERAWATAN

TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk
berkembangbiak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan
parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan itu antara lain hujan, suhu, kelembaban,
arah dan kecepatan angin, ketinggian. Salah satu faktor lingkungan yang juga
mempengaruhi peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan, terutama hutan-
hutan bakau di pinggir pantai. Akibat rusaknya lingkungan ini, nyamuk yang umumnya
hanya tinggal di hutan, dapat berpindah di pemukiman manusia, kerusakan hutan bakau
dapat menghilangkan musuh-musuh alami nyamuk sehingga kepadatan nyamuk menjadi
tidak terkontrol.

Patway Malaria

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum

Setelah mengikuti seminar ini diharapkan mahasiswa dapat memahami asuhan


keperawatan Malaria.

2. Tujuan khusus
a. Setelah mengikuti seminar ini mahasiswa diharapkan dapat memahami
tentang malaria.
b. Mahasiswa dapat memahami etiologi malaria
c. Mahasiswa dapat menguraikan tanda gejala malaria.
d. Mahasiswa dapat menguraikan patofisiologi malaria
e. Mahasiswa dapat menguraikan asuhan keperawatan
f. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan pasien dengan malaria

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MALARIA
A. Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik yang disebabkan oleh
protozoa genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali
(Mansjoer)

Malaria adalah infeksi parasit pada sel darah merah yang disebabkan oleh suatu protozoa
spesies plasmodium yang ditularkan kepada manusia melalui air liur nyamuk ( Pearce,
Evelyn C)

Malaria adalah penyakit infeksi dengan demam berkala, yang disebabkan oleh Parasit
Plasmodium dan ditularkan oleh sejenis nyamuk Anopeles (Tjay & Raharja)

Malaria adalah penyakit infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh
protozoa genus plasmodium ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.

B. Etiologi
Protozoa genus plasmodium merupakan penyebab dari malaria yang terdiri dari empat
spesies, yaitu :
1) Plasmodium falcifarum penyebab malaria tropika
Memberikan banyak komplikasi dan mempunyai perlangsungan yang cukup
ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan menyebabkan malaria tropika/
falsiparum (demam tiap 24-48 jam)

2) Plasmodium ovale penyebab malaria ovale


Dijumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, di Indonesia dijumpai di Nusa
Tenggara dan Irian, memberikan infeksi yang paling ringan dan dapat sembuh
spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.

3) Plasmodium vivax penyebab malaria tertiana


Merupakan infeksi yang paling sering dan menyebabkan malaria tertiana/ vivaks
(demam pada tiap hari ke tiga).

4) Plasmodium malariae penyebab malarua Quartanu


Jarang ditemukan dan menyebabkan malaria quartana/malariae (demam tiap hari
empat)
Malaria juga melibatkan proses perantara yaitu manusia maupun vertebra
lainnya, dan rosper definitif yaitu nyamuk anopheles.

C. Patofisiologi berdasarkan Jenis Malaria


a. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)
Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat,
ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak
dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang
semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini
berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan
merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika: Plasmodium Falcifarum menyerang sel
darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan
sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk
melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan
iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka
komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan
Black Water Fever).

b. Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)


Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax,
lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai
granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk
pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti
kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax
tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala
dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang
terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal
lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria,
hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.

c. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)


Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae,
skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah.
Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang
terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale
merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh
Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten sampai 4 tahun.
Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa
terapi dan terjadi pada malam hari.

d. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)


Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang
diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium
Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi
amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit
Ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi
seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara
periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4
hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.

Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh, malaria
tropika merupakan malaria yang paling berat di tandai dengan panas yang ireguler,
anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.

D. Tanda dan Gejala


Pada anamnesa adanya riwayat bepergian ke daeah yang endemis malaria tanda dan
gejala yang dapat ditemukan adalah :
1. Demam

Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi)
pada malaria tertiana (P. Vivax dan P. Ovale). Pematangan skizon tiap 48 jam
maka periodisitas demamnya setiap hari ke 3, sedangkan malaria kuartania (P.
Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari.
Tiap seangan ditandai dengan bebeapa serangan demam periodik. Demam khas
malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15 menit – 1 jam), puncak demam
(2 – 6 jam), dan tingkat berkeringat (2 – 4 jam). Demam akan mereda secara
bertahan karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada
respon imun.

2. Splenomegal

Merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongeori menghitam


dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat
yang bertambah.

3. Anemia

Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling kerap adalah
anemia karena P. Falciparum. Anemia disebabkan oleh :

a. Penghancuran eritrosit yang berlebihan


b. Eritrosit normal tidak dapat hidup lama
c. Gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritrosit dalam sum-sum
tulang belakang.
d. Ikterus

Disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar.

E. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan mikroskopis malaria
Diagnosis malaria sebagai mana penyakit pada umumnya didasarkan pada
manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya
parasit (plasmodium) di dalam penderita. Uji imunoserologis yang dirancang
dengan bermacam-macam target dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan
mikroskopis dalam menunjang diagnosis malaria atau ditujukan untuk survey
epidemiologi di mana pemeriksaan mikrokopis tidak dapat dilakukan. Diagnosis
definitif demam malaria ditegakan dengan ditemukanya parasit plasmodium
dalam darah penderita. Pemeriksaan mikrokropis satu kali yang memberi hasil
negatif tidak menyingkirkan diagnosis deman malaria. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan serial dengan interval antara pemeriksaan satu hari.

Pemeriksaan mikroskropis membutuhkan syarat-syarat tertentu agar mempunyai


nilai diagnostik yang tinggi (sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%).

1) Waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada akhir periode


demam memasuki periode berkeringat. Pada periode ini jumlah
trophozoite dalam sirkulasi dalam mencapai maksimal dan cukup
matur sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit.
2) Volume yang diambil sebagai sampel cukup, yaitu darah kapiler (finger
prick) dengan volume 3,0-4,0 mikro liter untuk sediaan tebal dan 1,0-
1,5 mikro liter untuk sedian tipis.
3) Kualitas perparat harus baik untuk menjamin identifikasi spesies
plasmodium yang tepat.
4) Identifikasi spesies plasmodium
5) Identifikasi morfologi sangat penting untuk menentukan spesies
plasmodium dan selanjutnya digunakan sebagai dasar pemilihan obat.

2. QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)


Prinsip dasar: tes floresensi yaitu adanya protein pada plasmodium yang dapat
mengikat acridine orange akan mengidentifikasi eritrosit terinfeksi plasmodium.
QBC merupakan teknik pemeriksaan dengan menggunakan tabung kapiler
dengan diameter tertentu yang dilapisi acridine orange tetapi cara ini tidak dapat
membedakan spesies plasmodium dan kurang tepat sebagai instrumen hitung
parasit.

3. Pemeriksaan imunoserologis
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibodi spesifik
terhadap paraasit plasmodium maupun antigen spesifik plasmodium atau eritrosit
yang terinfeksi plasmodium teknik ini terus dikembangkan terutama
menggunakan teknik radioimmunoassay dan enzim immunoassay.

4. Pemeriksan Biomolekuler
Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit/
plasmodium dalam darah penderita malaria.tes ini menggunakan DNA lengkap yaitu
dengan melisiskan eritrosit penderita malaria untuk mendapatkan ekstrak DNA.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan khusus pada kasus- kasus malaria dapat diberikan tergantung dari
jenis plasmodium, menurut Tjay & Rahardja (2002) antara lain sebagai berikut:
a. Malaria Tersiana/ Kuartana
Biasanya di tanggulangi dengan kloroquin namun jika resisten perlu di tambahkan
mefloquin single dose 500 mg p.c (atau kinin 3 dd 600 mg selama 4-7 hari). Terapi
ini disusul dengan pemberian primaquin 15 mg /hari selama 14 hari)

b. Malaria Ovale
Berikan kinin dan doksisklin (hari pertama 200 mg, lalu 1 dd 100 mg selama 6 hari).
Atau mefloquin (2 dosis dari masing-masing 15 dan 10 mg/ kg dengan interval 4-6
jam). Pirimethamin-sulfadoksin (dosis tunggal dari 3 tablet ) yang biasanya di
kombinasikan dengan kinin (3 dd 600 mg selama 3 hari).

c. Falcifarum
Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis
tunggal sebanyak 2-3 tablet. Kina 3 x 650 mg selama 7 hari. Antibiotik seperti
tetrasiklin 4 x 250 mg/ hari selama 7-10 hari dan aminosiklin 2 x 100 mg/ hari selama
7 hari

G. Komplikasi
Menurut Gandahusa, Ilahude dan Pribadi (2000) beberapa komplikasi yang dapat terjadi
pada penyakit malaria adalah :
a. Malaria otak
Malaria otak merupakan penyulit yang menyebabkan kematian tertinggi (80%)
bila dibandingkan dengan penyakit malaria lainnya. Gejala klinisnya dimulai
secara lambat atau setelah gejala permulaan. Sakit kepala dan rasa ngantuk
disusul dengan gangguan kesadaran, kelainan saraf dan kejang-kejang bersifat
fokal atau menyeluruh.

b. Anemia berat
Komplikasi ini ditandai dengan menurunnya hematokrit secara mendadak (<> 3
mg/ dl. Seringkali penyulit ini disertai edema paru. Angka kematian mencapai
50%. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya , penurunan aliran darah
keginjal, yang dikarenakan sumbatan kapiler, sebagai akibatnya terjadi penurunan
filtrasi pada glomerulus.

c. Edema paru
Komplikasi ini biasanya terjadi pada wanita hamil dan setelah melahirkan.
Frekuensi pernapasan meningkat. Merupakan komplikasi yang berat yang
menyebabkan kematian. Biasanya disebabkan oleh kelebihan cairan dan Adult
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

G. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Dasar data pengkajian
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum
Tanda : Takikardi, Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.

b. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal atau sedikit menurun. Denyut perifer kuat dan
cepat (fase demam) Kulit hangat, diuresis (diaphoresis ) karena vasodilatasi.
Pucat dan lembab (vaso kontriksi), hipovolemia,penurunan aliran darah.

c. Eliminasi
Gejala : Diare atau konstipasi; penurunan haluaran urine
Tanda : Distensi abdomen

d. Makanan dan cairan


Gejala : Anoreksia mual dan muntah
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan, dan penurunan
masa otot. Penurunan haluaran urine, kosentrasi urine.

e. Neuro sensori
Gejala : Sakit kepala, pusing dan pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientas deliriu atau
koma.

f. Pernapasan.
Tanda : Tackipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan .
Gejala : Napas pendek pada istirahat dan aktivitas

g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Masalah kesehatan kronis, misalnya hati, ginjal, keracunan alkohol,
riwayat splenektomi, baru saja menjalani operasi/ prosedur invasif, luka
traumatik

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan malaria berdasarkan dari tanda dan gejala
yang timbul dapat diuraikan seperti dibawah ini (Doengoes, Moorhouse dan Geissler,
1999):
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
makanan yang tidak sdekuat ; anorexia; mual/muntah
b. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan sistem kekebalan
tubuh; prosedur tindakan invasif
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme, dehidrasi, efek
langsung sirkulasi kuman pada hipotalamus.
d. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang di perlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrient dalam tubuh.
e. Kurang pengetahuan, mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat
kesalahan interprestasi informasi, keterbatasan kognitif.

3. Perencanaan Keperawatan
Rencana keperawatan malaria berdasarkan masing-masing diagnosa diatas
adalah :
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
makanan yang tidak sdekuat; anorexia; mual/muntah .
Intervensi :
1) Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai. Observasi dan catat
masukan makanan klien
Rasional : mengawasi masukan kalori atau kualitas kekeurangan konsumsi
makanan.
2) Berikan makan sedikit dan makanan tambahan kecil yang tepat
Rasional : Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makan terlalu cepat
setelah periode anoreksia
3) Pertahankan jadwal penimbangan berat badan secara teratur.
Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektifitas nitervensi
nutrisi
4) Diskusikan yang disukai klien dan masukan dalam diet murni.
Rasional : Dapat meningkatkan masukan, meningkatkan rasa berpartisipasi/
kontrol
5) Observasi dan catat kejadian mual/ muntah, dan gejala lain yang
berhubungan
Rasional : Gejala GI dapat menunjukan efek anemia (hipoksia) pada organ
6) Kolaborasi untuk melakukan rujukan ke ahli gizi
Rasional : Perlu bantuan dalam perencanaan diet yang memenuhi kebutuhan
nutrisi.

b. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan penurunan sistem tubuh


(pertahanan utama tidak adekuat), prosedur invasif.
Intervensi:
1) Pantau terhadap kecenderungan peningkatan suhu tubuh.
Rasional : Demam disebabkan oleh efek endoktoksin pada hipotalamus dan
hipotermia adalah tanda tanda penting yang merefleksikan perkembangan
status syok/ penurunan perfusi jaringan.
2) Amati adanya menggigil dan diaforosis.
Rasional : Menggigil sering kali mendahului memuncaknya suhu pada
infeksi umum.
3) Memantau tanda - tanda penyimpangan kondisi/ kegagalan untuk
memperbaiki selama masa terapi
Rasional : Dapat menunjukkan ketidak tepatan terapi antibiotik atau
pertumbuhan dari organisme.
4) Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk.
Rasional : Dapat membasmi/ memberikan imunitas sementara untuk
infeksi umum.
5) Dapatkan spisemen darah.
Rasional : Identifikasi terhadap penyebab jenis infeksi malaria

c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme dehirasi efek


langsung sirkulasi kuman pada hipotalamus.
intervensi:
1) Pantau suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan menggigil.
Rasional : Hipertermi menunjukan proses penyakit infeksius akut. Pola
demam menunjukkan diagnosis
2) Pantau suhu lingkungan.
Rasional : Suhu ruangan/ jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
3) Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam, penggunaan es/alkohol
mungkin menyebabkan kedinginan. Selain itu alkohol dapat mengeringkan
kulit.
4) Berikan antipiretik.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
5) Berikan selimut pendingin.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan hipertermi.
d. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang di perlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrient dalam tubuh
Intervensi:
1) Pertahankan tirah baring bantu dengan aktivitas perawatan.
Rasional : Menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi oksigen,
memaksimalkan efektifitas dari perfusi jaringan.
2) Pantau terhadap kecenderungan tekanan darah, mencatat perkembangan
hipotensi dan perubahan pada tekanan nadi.
Rasional : Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan kuman yang
menyerang darah
3) Perhatikan kualitas, kekuatan dari denyut perifer.
Rasional : Pada awal nadi cepat kuat karena peningkatan curah jantung, nadi
dapat lemah atau lambat karena hipotensi yang terus menerus, penurunan
curah jantung dan vaso kontriksi perifer.
4) Kaji frukuensi pernafasan kedalaman dan kualitas. Perhatikan dispnea berat.
Rasional : Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek
langsung dari kuman pada pusat pernafasan. Pernafasan menjadi dangkal bila
terjadi insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko kegagalan pernafasan
akut.
5) Berikan cairan parenteral.
Rasional : Untuk mempertahankan perfusi jaringan, sejumlah besar cairan
mungkin dibutuhkan untuk mendukung volume sirkulasi.

e. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya pemajanan/ mengingat kesalahasn interprestasi
informasi, keterbatasan kognitif.
Intervensi:
1) Tinjau proses penyakit dan harapan masa depan.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
pilihan.
2) Berikan informasi mengenai terapi obat - obatan, interaksi obat, efek
samping dan ketaatan terhadap program.
Rasional : Meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dalam
penyembuhan dan mengurangi kambuhnya komplikasi.
3) Diskusikan kebutuhan untuk pemasukan nutrisional yang tepat dan seimbang.
Rasional : Perlu untuk penyembuhan optimal dan kesejahteraan umum.
4) Dorong periode istirahat dan aktivitas yang terjadwal.
Rasional : Mencegah pemenatan, penghematan energi dan meningkatkan
penyembuhan.
5) Tinjau perlunya kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan
Rasional : Membantu mengontrol pemajanan lingkungan dengan mengurangi
jumlah penyebab penyakit yang ada
6) Identifikasi tanda dan gejala yang membutuhkan evaluasi medis.
Rasional : Pengenalan dini dari perkembangan / kambuhnya infeksi.
7) Tekankan pentingnya terapi antibiotik sesuai kebutuhan.
Rasional : Pengguaan terhadap pencegahan terhadap infeksi.

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2


MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
OSTEOPOROSIS
DISUSUN OLEH:
Veny Anriany
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS
KEDOKTERAN PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan bertambahnya usia harapan hidup orang
Indonesia, jumlah manusia lanjut usia di Indonesia akan
bertambah banyak pula. Dengan demikian, masalah penyakit
akibat penuaan akan semamkin banyak kita hadapi. Salah satu
penyakit yang harus diantisipasi adalah penyakit osteoporosi
dan patah tulang. Pada situasi mendatang, akan terjadi
perubahan demografis yang akan meningkatkan populasi lanjut
usia dan meningkatkan terjadinya patah tulang karena
osteoporosis.
Kelainan ini 2-4 klien lebih serng terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Dari seluruh klien, satu antara tiga wanita
yang berusia di atas 60 tahun Dan satu diantara enam pria yang
berusia di atas 75 tahun akan mengalami patah tulang akibat
kelainan ini.
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang
yang progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah
patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan
fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat. Untuk
mempertahankan kepadatan tulang, tubuh memerlukan
persediaan kalsium dan mineral lainnya yang memadai, dan
harus menghasilkan hormon dalam jumlah yang mencukupi
(hormon paratiroid, hormon pertumbuhan, kalsitonin, estrogen
pada wanita dan testosteron pada pria). Juga persediaan vitamin
D yang adekuat, yang diperlukan untuk menyerap kalsium dari
makanan dan memasukkan ke dalam tulang.
Secara progresif, tulang meningkatkan kepadatannya
sampai tercapai kepadatan maksimal (sekitar usia 30 tahun).
Setelah itu kepadatan tulang akan berkurang secara perlahan.
Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam
tulang, maka tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh,
sehingga terjadilah osteoporosis. Sekitar 80% persen penderita
penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda
yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea).
Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan
risiko terkena osteoporosis.

B. Tujuan
Setelah membaca makalah ini diharapkan dapat memahami tentang konsep
osteoporosis serta bagaimana proses keperawatan pada penyakit tersebut dan
mampu menerapkannya dalam memberikan pelayanan kesehatan nyata.

BAB II
PEMBAHASAN
ASUHAN KEPERAWATAN OSTEOPOROSIS
A. PENGKAJIAN.
a. Anamnesa
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan dan
sebagainya
2. Riwayat penyakit dahulu
Dalam pengkajian Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita
pasien sebelum diagnosis osteoporosis muncul seperti reumatik, Diabetes
Mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid dan lain sebagainya.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan keluhan-keluhan yang dirasakan pasien sehingga ia dibawa
ke Rumah Sakit, seperti nyeri pada punggung.
4. Riwayat penyakit keluarga
Dalam pengkajian, kita juga perlu mengkaji riwayat penyakit keluarga
pasien, yaitu apakah sebelumnya ada salah satu keluarga pasien yang
memiliki penyakit yang sama.

b. Pengkakjian bio-psiko-sosisal dan spiritual


1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
a) Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit
b) Kebiasaan minum alkohol, kafein
c) Riwayat keluarga dengan osteoporosis
d) Riwayat anoreksia nervosa, bulimia
e) Penggunaan steroid jangka panjang
2. Pola nutrisi metabolik
a) Inadekuat intake kalsium
3. Pola aktivitas dan latihan
a) Fraktur
b) Badan bungkuk
c) Jarang berolah raga
4. Pola tidur dan istirahat
a) Tidur terganggu karena adanya nyeri
5. Pola persepsi kognitif
a) Nyeri pada punggung
b) Pola reproduksi seksualitas
a) Menopause
6. Pola mekanisme koping terhadap stres
a) Stres, cemas karena penyakitnya
c. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breathing).
Inspeksi : ditemukan ketidak simetrisan rongga dada Dan tulang
belakang.
Palpasi : Taktil Fremitus seimbang kanan Dan kiri.
Perkusi : suara resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : pada kasus lansia biasanya didapatkan suara ronki.
2. B2 (Blood).
Sering terjadi keringat dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi
makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitanngan
efek obat.
3. B3 (Brain).
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah,
klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
a) Kepala Dan Wajah : terdapat sianosis
b) Mata : skelera biasanya tidak ikterik, konjungtiva tidak
anemis
c) Leher : biasanya JVP dalam batas normal.
4. B4 (Bladder).
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan
pada system perkemihan
5. B5 (bowel).
Pada kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi, namun juga
penting dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.

6. B6 (Bone).
Pada Inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis
sering menunjukkan kifosis atau ngibbus (dowager’s hump) Dan
penurunan tinggi badan Dan berat badan. Ada gaya berjalan, deformitas
tulang, leg-length inequality, Dan nyeri spinal. Lokasi fraktur sering terjadi
adalah antara vertebra torakalis 8 Dan lumbalis 3.
B. FAKTOR RESIKO OSTEOPOROSIS

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial.


Umur merupakan salah satu faktor resiko yang terpenting yang tidak
tergantung pada densitas tulang. Setiap peningkatan umur 1 dekade setara
dengan peningkatan resiko osteoporosis 1,4 – 1,8 kali. Ras kulit putih dan
wanita juga merupakan faktor resiko osteoporosis. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan gangguan pencapaian puncak masa tulang juga
merupakan faktor resiko osteoporosis, seperti sindrom klinefelter,
sindrom turner, terapi glukortikoid jangka panjang dan dosis tinggi,
hipertiriodisme atau defisiensi hormon pertumbuhan. Pubertas terlambat,
anoreksia nervosa dan kegiatan fisik yang berlebihan yang menyebabkan
amenore juga berhubungan erat dengan puncak masa tulang yang tidak
maksimal. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga merupakan faktor
resiko osteoporosis, oleh sebab itu harus diperhatikan masalah ini pada
penduduk yang tinggal didaerah 4 musim. Selain kalsium dan vitamin D
defisiensi protein dan vitamin K juga berhubungan dengan osteoporosis.
Faktor hormonal juga berperan pada pertumbuhan tulang, termasuk
hormon seks gonadal dan androgen adrenal (dehidroepiandro osteron dan
androstenedion). Aspek hormonal yang berperan pada peningkatan massa
tulang adalah IGF – 1,1,25 (OH)2 D, reabsorbsi fosfat anorganik
ditubulus dan peningkatan fosfat serum. Faktor hormonal yang
berhubungan dengan kehulangan masa tulang adalah hiperkortiso lisme,
hipertiroidisme, dan hiperparatiroidisme. Faktor lain yang juga
berhubungan dengan osteoporosis adalah merokok dan konsumsi alkohol
yang berlebiahan.
Aspek skletal yang harus diperhatikan sebagai faktor resiko
osteoporosis adalah densitas masa tulang, ukuran tulang, makro dan
mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas kolagen tulang.
Selain faktor resiko osteoporosis, maka resiko terjatuh juga harus
diperhatikan karena terjatuh berhubungan dengan resiko terjatuh adalah
usia tua ketidakseimbangan, penyakit kroonikk seperti sakit jantung,
gangguan neurologic, gangguan penglihatan, lantai yang licin dan
sebagainya.
C. OSTEOPOROSIS TIPE 1 DAN 2

Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer


(infolusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah
osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis
sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun
1940-an, albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis
osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi
osteoporosis primer atas osteoporosis tipe 1 dan tipe 2. Osteoporosis tipe
1 disebut juga pasca menopause. Osteoporosis tipe 2 disebut juga
osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium diusus
sehingga menyebabkan hiperparatiriodisme sekunder yang
mengakibatkan timbulnya osteoporosis.
Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran esterogen juga
menonjol pada osteoporosis tipe 2. Selain itu pemberian kalsium dan
vitamin D pada osteoporosis tipe 2 juga tidak memberikan hasil yang
adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan melton memperbaiki
hipotesis nya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang
sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca
menopause maupun semilis.
TABEL.3 KARAKTERISTIK OSTEOPOROSIS TIPE 1 DAN 2
TIPE 1 TIPE 2
Umur (tahun) 50 – 75  70
Perempuan : laki-laki 6:1 2:1
Tipe kerusakan tulang Terutama trabekular Trabekular dan kortikal
Bone turnover Tinggi Rendah
Lokasi fraktur Verttebra, radius distal Vertebra, kolum vemoris
terbanyak
Fungsi paratiroid menurun Meningkat
Efek esterogen Terutama skeletal Terutama ekstraskletal
Etiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi
estrrogen.

D. PERAN ESTROGEN PADA TULANG

Steruktur estrogen vertebrata terdiri dari 18 karbon dengan 4 cincin.


Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17β-
estradiol (E2), estriol (E3). Selain itu juga terdapat jenis-jenis estrogen
lain, seperti estrogen dari tumbuh-tumbuhan (fitoestrogen), estrogen
sintetik (misalnya etinilestradiol, dietilstillbestrol, klomifen sitrat),
xenobiotik (DDT, bifenol, dll). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal
sebgai anti-estrogen, tetapi pada organ nonreproduktif bersifat estrigenik,
struktur ini disebut selective estrogen receptor modulators (SERMs).
Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol.
Esttron juga dihasilkan oleh tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari
hidroksilasi-16 estron dan estradiol. Estrogen berperan pada pertumbuhan
pada seks sekunder wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus,
penebalan mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan
saluran-saluran pada payu darah. Selain itu estrogen juga mempengaruhi
profil lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang, susunan saraf pusat
sistem imun, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal.
Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrigen (ER), yaitu
reseptor estrogen-α (Erα) dan reseptor estrogenβ (ERβ). ERa dikode oleh
game yang terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino,
sedangkan Erβ dikode oleh gen yang terlletak di kromosom 14 dan terdiri
dari 530 asam amino. Sampai saat ini fungsi Erb belum diketahui secara
pasti. Selain itu, distribusu kedua reseptor ini bervariasi pada berbagai
jaringan, misalnya di otak, ovarium, uterus, dan prostat. Reseptor
estrogen juga di ekpresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas,
ostoesit, osteoblas, dan kondrosit (lihat tabel 4).ekspresi ERα dan Erβ
meningkat bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas. Laki-
laki dengan osteoporosis idopatik mengekspresikan mRNA ERa yang
rendah pada osteoblas maupun osteosit. Delesi era pada tikus jantan dan
betina menyebabkan penurunan densitas tulang, sedangkan perusakan Erβ
pada wanita ini ternyata meningkatkan bone mneral conten (BMC) tulang
kortikal maupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada tulang
kortikal maupun trabekular. Delesi gen Erα dan Erβ juga menurunkan
kadar IGF – 1 serum.

TABEL.4 DISTRIBUSI RESEPTOT ESTROGEN PADA SEL-SEL TULANG


Sel tulang Reseptor estrogen
osteoblas Erα dan Erβ
osteosit Erα dan Erβ
Bone marrow stromal cells Erα dan Erβ
osteoklas Erα dan Erβ ?
kondrosit Erα dan Erβ

Estrogen merupakan regulator pertumbunhan dan homeostatis tulang


yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada
tulang. Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan
dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorsi kalsium
diusus, modulasi 1,25 (OH)2D, ekskresi CA diginjal ddan sekresi hormon
paratiroid (PTH).
Terhadap sel-sel tulang, estrogem memiliki beberapa efek seperti
terterra pada tabel 5. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan
menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.

TABEL.5. EFEK ESTROGEN TERHADAP BERBAGAI SEL TULANG


Osteoblas osteosit osteoklas kondrosit
Peningkatan.proli Penurunan.apo Peningkata.c- Peningkatan.pertu
perasi osteoblas ptosis osteosit fos, c-jun, TGF- mbuhan
β endokondral
selama pubertas,
mempercepat
penutupan
lempeng pifisis
Peningkatan.sintes Peningkatan Penurunan.TRA
is DNA ekspresi Erα P, cathepsin B, D
Peningkatan.alkali Peniingkatan.ap
pospatase optosis osteoklas
Penurunan.kolage Penurunan.form
n tipe 1 asi osteoklas
Peningkatan.mine
ralisasi tulang
Peningkatan.sintes
is IGF-1
Peningkatan.sintes
is TGF-β
Peningkatan.sintes
is BMP-6
Penurunan.sintessi
TNF-β
Peningkatan.sintes
is OPG
Penurunan aksi
PTH
Peningkatan.ekspr
esi Erα
Penurunan.apopto
sis osteoblas

E. PATOGENESIS OSTEOPOROSIS TIPE 1

Setelah menopause , maka resorpsi tulang akan meningkat ,


terutama pada dekade awal setelah menopause , sehingga insiden fraktur,
terutama fraktur vetebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas
tulang terutama pada tulang trabekular , karena memiliki permukaan yang
luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda
resorpsi tulang dan formasi tulang,keduanya meningkat menunjukan
adanya peningkatan bone turnover .
Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin
oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear , seperti IL-1, IL-
6 dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan
demikian penurunan kadar estrogen akan menopause akan meningkatkan
produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan
absorpsi kalsium diusus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.
Selain itu ,menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang
membawa 1,25 (OH) D, sehingga pemberiaan estrogen akan
meningkatkan kosentrasi 1,25 (OH)2 D didalam plasma. Tetapi pemberian
estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut ,
karena estrogen transdermal tidak dianggkut melewati hati . Walaupun
demikian , estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorsi kalsium
polisi diusus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D.
Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause,
maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause , sehingga
osteoporosis akan semaki berat. Pada menopause ,kadangkala didapatkan
peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya
volume plasma , meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat , sehingga
meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium
dalam bentuk garam kompleks . Peningkatan bikarbonat pada menopause
terjadi akibat penurunan rangsang respirasi ,sehingga terjadi relatif asidosis
respiratorik . walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat
albumin dan kalsium dalam garam kompleks , kadar ion kalsium tetap sama
dengan keadaan premenopause.
F. PATOGENISIS OSTEOPOROSIS TIPE II

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya


sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade
kedelapan dan sembilan kehidupannya , terjadi ketidakseimbangan
remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat , sedangkan pormasi
tidak berubah atau menurun . Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa
tulang ,perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.
Peningkatan resopsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen
terhadap BMD . Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada
orang tua , tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover tulang
dan bukan peningkatan formasi tulang . Sampai saat ini belum diketahui
secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang tua , diduga
karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada
orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang
kurang , anoreksia , malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah .
Akibat defisiensi kalsium ,akan timbul hiperparatoroidisme sekunder yang
persisten sehingga akan semakin meninggkatkan resorpsi tulang dan
kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal didaerah
4 musim.
Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan
menyebabkan penurunan sintesis IGF -1. Defisiensi vitamin K juga akan
menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi
protein tulang , misalnya osteokalsin.
Defisiensi estrogen ,ternyata juga merupakan masalah yang
penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua , baik
pada laki-laki maupun perempuan . Demikian juga kadar terstosteron pada
laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berpelan pada kehilangan
masa tulang . Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMo1/L pada laki-
laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah
mengalami menopause (Penurunan kadar estrogen yang mendadak ) ,
maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak
pernah terjadi. Falahati –Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-
laki berfungsi mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang
trabekular pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang,
sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena
peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen
yang drastis pada waktu menopause.
Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan
menurun sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan
meningkat . Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen
dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif. Laki-laki yang
menderita kanker prostat dan diterapi dengan antagonis androgen atau
agonis gonadotropin juga akan mengalmi kehilangan massa tulang dan
peningkatan risiko fraktur.
Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF -1, juga berperan
terhadap peningkatan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen
adrenal (DHEA dan DHEA-S) ternyata menunjukkan hasil yang
kontroversial terhadap penurunan massa tulang pada orang tua.
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa
tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok
,alkohol,obat-obatan ,imobilisasi lama).
Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan
intrakortikal akan meningkat ,sehingga kehilangan tulang terutama terjadi
pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko fraktor tulang
kortikal,misalnya pada femur proksimal. Total permukaan tulang untuk
remodeling tidak berubah dengan bertambahnya umur , hanya berpindah
dari tulang trabekular ketulang kortikal . Pada laki-laki tua ,peningkatan
resorpsi endokortikal tulang panjang akan meningkat dan menurunkan
risiko fraktur pada laki-laki tua.
Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh
yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda .
Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ,gangguan
keseimbangan dan stabilitas postural ,gangguan penglihatan ,lantai yang
licin atau tidak rata dan dan sebagainya . Pada umumnya resiko terjatuh
pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab tunggal .
G. DATA FOKUS
1. Data subjek
- Klien mengatakan nyeri pinggangnya
- Klien mengatakan merasa bertambah pendek
- Klien mengatakan malu ( gangguan citra diri )
- Klien mengatakan sesak
- Klien mengatakan pernah fraktur
- Klien mengatakan pusing
- Klien mengatakan keringat kering
- Klien mengatakan kurang mengkonsumsi kalsium
- Klien mengatakan pernah / konsumsi alkohol , rokok , dan kafein
2. Data objek
- Patah tulang biasanya terdapat pada vertebrata torokalis 8 dan
lumbalis 3
- Terdapat kelainan vertebrata ( kifosis , lordosis, dan skilosis )
- Pasien tampak bradipneu
- Pasien terlihat lemah
- Tidak simetris rongga dada dan tulang belakang
- Traktil fremitus seimbang
- CTR < 1 detik
- Ada pulgus perifer ( terjadi gangguan pembuluh darah dan
edema akibat efek dari obat )
- Tampak terlihat perubahan gaya berjalannya
- Terdapat Deformitos tulang
- Klien menunjukkan nyeri pada spinal ss

H. DIAGNOSIS

Ada beberapa jenis cara yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis


osteoporosis. Pemeriksaan biasaya dilihat dari gejala apa yang
dihadapi,pemeriksaan tubuh, dan melalui rontgen.
1. Tes Untuk Menguur Bone Mineral Dencity (BMD)

Ada beberapa macam untuk mengukur epadaan tulang atau yang


lebih dikenal dengan nama bone mineral dencity (BMD). Diagnosis
ini memeng digunakang untuk mengetahui apakah seseorang terkena
osteoporosis atau tidak.
a. Densitometer dengan teknologi DXA (Dual Enerfy X-ray
Absorptiometry)

Metode ini adalah diagnose yang paling sering digunakan


dalam pemeriksaan osteoporosis. Merode ini sering disebut
dengan bone density scan atau densitometer tulang, pada dasarnya
ada dua jenis tulang yang digunakan teknologi sinar-X ini,
diantaranya adalah central dual energy X-ray absorptiometry
yang dikenal dengan sebutan DXA atau DEXA dan peropherall
Dual Energy X-ray absorptiometry atau pDXA, pada dasarnya
pDXA digunakan untuk memeriksa pergelangan tangan dan kaki
atau tumit. Alat ini digunakan karena praktis
DXA menggunakan cahayadari sinar X untuk mengukur
kepadatan tulang. Kelebihan metode ini adalah mampu mengukur
tingkat kemungkinan rusaknya tulang. Ppasien pun bida
mengetahui sejauh mana obat yang dikonsumsinya berpengaruh
paa sembuhnya oateoporosis.
Baagian tuuh yang didiagnosis lewat DXA adalah tulang belakang
dan pinggul. Diarea tersebut, terdapat dua jenis tulang anatara lain tulang
kortikal dan tulangt rabekular. Diagnosis ini diasarankan untuk orang-
orang dengan criteria :
1. Semua wanita yang berusia 65 tahun keatas dan pria yang berusia 70
tahun keatas.
2. Wanita yang sudah mengalami menopause dengan tingkat resiko
osteoporis yang tinggi.
3. Semua orang berusia 50 tahun keatas dan menderita kertaan tulang
karena osteoporosis
4. Orang yang sudah lama menjalani pengobatan kortikostiroid
5. Pria yang mengalami hipongadisme
6. Para penferita yang memiliki penyakit lain dan berhubungan dengan
keretaaan atau hilangnya kepadatan tulang
7. Orang yang sudah mengalami pegobatan osteoporosis paling tidak
selama satu tahun.
b. Densitometer-USG

Tes yang dilakukan adalah dengan metode screnning. Hasil yng diberikan
berupa T-score. Tes ini disebut sebagai tes awal pada penederita
osteoporosis. Harga diagnosis ini masih tergolong murah.
c. Quantitative computed tomoogaphy

Tes ini mengunakan tes CT-scan dengan bantuan software computer.


Kelebihannya adalah diagnosis ini mampu menghitung stress-strain
index (SSI) den geometri tulang disamping mengukur BMD. Kedua
diagnosis BMD lainnya tidak memiliki kemampuan tersebut. Tes ini
pun termasuk tes yang paling sering digunakan.
1. Markers of Bone Turnover

Tes ini dilakukan untuk meliht pengukuran terhadap fungsi


osteoklas dan osteoblas tes ini jarang dijumpai dan memakai
biaya yang cukup besar. Tidk banyak dokter yang
menganjurkan diagnosis ini. Perlu diketahui juga bahwa pada
dasarnya tess ini bukan untuk mengetahui apakah seseorang
terserang osteoporosis atau tidak. Hanya saja, tes ini diunakan
untuk mengetahui fisiologis tulang saat berkaitan dengan
penyakit yang mempengaruhi keadaannya.
a. Pengukuran fungsi osteoblas
1. Alkalin fosfatase (AP)

Alkalin fosfatase adalah anzim yang terikat tualng dan ditemukan


dihati, usus, ginjal, tulang, dan limpa. AP yang dikaitkan dengan
fungsi sel osteoblas dan diperkirakan memiliki peran dan
minineralisasi tulang. Yang diambil untuk mngetahui kondisi AP
adalah darah.
2. Osteocalcin (OC)

Osteocalcin adalah protein yang dihasilkan oleh tulang.


Hidroksiaapatit yang mengikat protein yang sudah tersintesis oleh
osteoblas. OC mampu mengindentifikasi tingkat kehilangan
tulang pada wanita yang sudah mengalami menopause.jika
mengunakan diagnosis ini sebaiknya jangan mengkonsumsi obat
warfarin karena akan mempengaruhi hasil diagnosis.
3. Procollagen type 1 N-Treminal Propeptide (P1NP)

P1NP dibentuk oleh osteoblas. Selain itu, I menunjukan tingkat


kolagen dan pembentukan tulang. Tes ini disebut sebagai Bone
Marker test yang paling sensitive dan tepaat untuk men=lihat efek
terapi pengbatan osteoporosis tes darah ini bisa diikuti dengan test
fung osteoblas.
1. C-peptida
2. N-peptida.
b. Pengukuran fungsi osteoklas

Pengukuran terdiri dari


1. Hydroxyproline (OHP)

OHP menunjukan rusaknya kolagen pada tulang OHP ini bisa diambil
dari urine. Namun hubungan antara Hydroxyproline dan resopsi
tulang masih terbilang kecil. Tes ini diambil dari urine dan
dilakukan pada pagi hari disertai dengan puasa.
2. Crossed type collagen
a. N-Telopeptida (NTx)

NTx adalah molekul yang dilepaskan ketika tread kerusakan pada


tulang. Tes ini dilakukan dengan menguji urine dan darah
penderita.
Sama seperti OHP, ntx pun menandakan kondisi kolagen type I
makin tinggi tingkat NTx makin tinggi pula tingakt resiko
osteoporosis.
b. C-telopeptida (CTx)

CTx adalah hasil pengukuran kolagen tulang yang dilepaskan


kedarah. Tes ini bisa dilakukan dengan menguji darah.
c. Deoksipirididinolina (DPD)

Sama rti CTx dan NTx. DPD juga terdapat pada kolagen dan
dilakukan tes urine.

d. Hidroksilisin glikosida

Hidroksilisin glikosida mengindentifikasi keadaan kolagen pada


tulang. Penenda kondisi tulang ini diambil dari urine pasienn.

e. Tartrate-resistanst acid phospatase

Tes ini biasanya digunakan untuk menganalisis adanya keretaan


tulang dan memastikan konndisi sel darah pada penderita
leukemia retikuloendoteliosis, osteoklastoma, dan penyakit
yang berhubungan dengan metabolism tulang lainnya.
Pada ddasarnya tes ini tidak hanya dilakukan sekali. Tes ini bisa
diulang bergantung pada kondisi pasien dan pengobatan yang
digunakannya. Tujuannya adalah untuk megetahui bagaimana
perkembangan rgenerasi tulang pasien osteoporosis yang menggunakan
bifosfonat seperti alengronat, residronat, dan raloksifen, sebaiknya
mengulang tes ini setelah 3 bulan. Sementara itu pasien yang
menggunakan terapi hormone (hormone therapy replacement), harus
mengulang tes seteleh 6 bulan.
Melihat waktu pengulangan diagnosis ini tes ini bisa menjadi pillihan
daripada menggunakan DXA scan diulang setiap 1-2 tahun sementara
diagnosis ini diulang setiap 3-6 bulan. Sebaiknya diagnosis dilakukan
sebelum mengambil pengobatan dan 3 atau 6 bulan setelah pengobatan
dilakukan untuk mengetahui perkembangan tulang.
Ada kalanya sebelum mengambil diagnosis ini, terutama jika
mengambil dari satu jenis, pasien diminta untukk melakukan puasa atau
pantang terhadap obat-obatan tertentu. Paling tidak , puasa atau pantang
ini akan mencegah pengaruh pada hasil diagnosis bone turnover markers.

A. Kumpulan untuk osteoporosis skunder

Ada beberapa tes laboratorium yang disarankan jika osteoporosis


yang tread merupakan osteoporosis sekunder. Tes-tes ini dapat menjadi
penyebab mengapa osteoporosis sekunder tread. Misalnya saja, jika
osteoporosis disebabkan oleh kekurangan kalsium dan vitamin D atau
karena penyakit hiperparatiroid. Sejumlah diagnosis yang diambil antara
lain:
a. Pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit dalam keluarga

pasian akan di ukur tekanan darah dan lain-lain. Selain itu riwayat
penykit osteoporosis dalam keluarga juga perlu diketahui.
b. 25-hydroxy vitamin D test

tes ini digunakan untuk mengukur kadar vitamin di dalam


tubuh.vitamin D memang penting untuk tulang. Nama lain tes ini
adalah 25-hydroxy vitamin D test.pada tes ini penderita kan di minta
untuk puasa selama 4 jam sebelum tes. Dalam tes darah pasien akan
diambil dari vena yang terletak di tangan atau siku.
c. tes kadar kalsium

Tes ini untuk mengetahui seberapa besar kadar kalsium dalam tulang.
Prose tes yang dillakukan denga diagnosis 25-hydroxy vitamin D.
darah pasien di ambil untuk di analisis
Sebulm diagnosis, dianjurkan untuk menghndari beberapa asupan
obat dan komsumsi jenis makan tertentu bianya yang tidak boleh
dikomsumsi adalah berbgai nutrisi yang mengandung vitamin D atau
kalsium yang cukup banyak
d. tes kadar fosfor dalam darah

Pengecekan kadar fosfor diakukan melalui darah. Twes ini


bweguna untuk mengetahui apakah pasien terserang hiperparatiroid
yang meningkatkan kadar resiko terhadap osteoporosis. Sama seperti
tes pengecekan kalsium, pasien tidak boleh mengkomsmsi bat-obatan
yang berpengaruh pada kadar fosfor dalam darah.

e. tes hormone paratiroid

Tes ini dilakukan untuk mengetahu kadar hormone paratiroid di


dalam darah. Biasanya, ada gangguan terhadap kadar kalsium yang
terlihat yang terlihat sehingga tes ini dilakukan. Selain kalsium,
hormone paratoroid juga mengendalikan kadar fosfor.baik kalsium dan
fosfor berpengaruh pada tulang.
Darah yang diambil dari pasien akan diuji. Sebelumnya,pasien
diminta untuk melakukan puas selama 8 sampai 10 jam.kadar hormone
ini akan naik setelahkita bangun.oleh karena itu,tes dilakukan pagi
hari. Jika anda merasa keberatan melakukan tes pada pagi hari,
konsultasikanlah dengan dokter yang menangani anda

I. DIAGNOSA KEPERWATAN
1. Nyeri sehubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebrae
2. Perubahah mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi sekunder
terhadap perubahan skletal (kiposis), nyeri sekunder atau frkatur
baru.
3. Risiko injury (cedera) berhubungan dengan dampak sekunder
perubahan skletal dan ketidakseimbangan tubuh.
J. RENCANA KEPERAWATAN

N DIAGNOSA TUJUAN/KRITE INTERVENSI RASIONAL


O RIA HASIL
1 Nyeri Setelah dilakukan 1. Pantau tingkat 1. Tulang
sehubungan tindakan nyeri pada dalam
dengan dampak keperawatan punggung, peningkata
sekunder dari diharapkan nyeri terlokalisisr atau n jumlah
fraktur ver berkurang dengan nyeri menyebar trabekuler,
tebrae Kriteria : pada abdomen pembatasa
1. Klienakan atau pinggang n gerak
mengekspresika spinal.
2. Laternatif
n perasaan 2. Ajarkan pada
lain untuk
nyerinya klien tentang
2. Klien dapat mengatasi
alternatif lain
tenang dan nyeri
untuk mengatasi
istirahat yang pengatura
dan mengurangi
cukup n posisi,
rasa nyerinya.
3. Klien dapat
kompres
mandiri dalam
hangat dan
perawatan dan
sebagainy
penanganannya
a.
secara sederhana 3. Keyakinan
3. Kaji obat-obatan
klien tidak
untuk mengatasi
dapat
nyeri
mentolelir
akan obat
yang
adequaty
atau tidak
adequat
untuk
mengatasi
nyerinya.

4. Kelelahan
4. Rencanakan pada dan
klien tentang keletihan
periode istirahat dapat
adequat dengan menurunk
berbaring dengan an minat
posisi terlentang untuk
selam kurang aktivitas
lebih 15 menit sehari-
hari.
2 Perubahah Setelah diberi 1. Pantau tingkat 1. Tulang
mobilitas fisik tindakan nyeri pada dalam
berhubungan keperawatan punggung, peningkata
dengan diharapkan klien terlokalisisr atau n jumlah
disfungsi mampu melakukan nyeri menyebar trabekuler,
sekunder mobilitas fisik, pada abdomen pembatasa
terhadap dengan kriteria atau pinggang n gerak
perubahan hasil : spinal.
skletal 1. Klien dapat
(kiposis), nyeri meningkatkan
sekunder atau mobilitas fisik 2. Ajarkan pada 2. Laternatif
2. Klien mampu
frkatur baru. klien tentang lain untuk
melakukan
alternatif lain mengatasi
ADL secara
untuk mengatasi nyeri
independent
dan mengurangi pengatura
rasa nyerinya. n posisi,
kompres
hangat dan
sebagainy
3. Kaji obat-obatan a.
3. Keyakinan
untuk mengatasi
klien tidak
nyeri.
dapat
mentolelir
akanb obat
yang
adequate
atau tidak
adequat
untuk
mengatasi
nyerinya.
4. Rencanakan
4. Kelelahan
pada klien
dan
tentang periode
keletihan
istirahat adequat
dapat
dengan
menurunk
berbaring
an minat
dengan posisi
untuk
terlentang selam
aktivitas
kurang lebih 15
sehari-
menit
hari.
3 Risiko injury setelah dilakukan 1. Ciptakan 1. Menciptk
(cedera) tindakan lingkungan yang an
berhubungan keperawata Injury bebas dari lingkunga
dengan dampak (cedera) tidak bahaya : n yang
a. Tempatkan klien
sekunder terjadi dengan aman
pada tetmpat
perubahan criteria hasil : danmengu
tidur
skletal dan 1. Klien tidak jatuh rangi
rendahAmati
ketidakseimban dan fraktur tidak resiko
gan tubuh terjadi lantai yang terjadinya
2. Klien dapat
membahayakan kecelakaa
menghindari
klien n.
aktivitas yang b.Berikanpeneran
mengakibatkan gan yang cukup
c. Tempatkan klien
fraktur
pada ruangan
yang tertutup
dan mudah
untuk
diobservasi
d.Ajarkan klien
tentang
pentingnya
menggunakan
alat pengaman
di ruangan
2. Berikan support
2. Ambulasi
ambulasi sesuai
yang
dengan kebutuhan
dilakukan
:
tergesa-
a. Kaji
gesa
kebutuhan
dapat
untuk berjalan
b. Konsultasi menyebab
dengan ahli kan
terapis mudah
c. Ajarkan klien
jatuh.
untuk
meminta
bantuan bila
diperlukan
d. Ajarkan klien
waktu berjalan
dan keluarg
ruangan
3. Bantu klien untuk
melakukan ADL
3. Penarikan
secara hati-hati
yang
terlaluk
keras
akanmeny
ebakan
terjadinya
4. Ajarkan pad
fraktur.
aklien untuk 4. Pergeraka
berhenti secara n yang
pelan-pelan, tidak cepat
naik tangga dan akan lebih
mengangkat mudah
beban berat. terjadinya
fraktur
kompresi
vertebrae
pada klien
dengan
osteoporo
5. Ajarkan sis.
5. Diit
pentingnya diit
calsium
untuk mencegah
dibutuhka
osteoporosis :
a. Rujuk klien n untuk
pada ahli gizi memperta
b. Ajarkan diit
hnkan
yang
kalsium
mengandung
dalm
banyak serum,
kalsium mencegah
c. Ajarkan klien
bertamba
untuk
h nya
mengurangi
akehilang
atau berhenti
an tulang.
menggunakan
Kelebihan
rokok atau
kafein
kopi
akan
meningka
tkan
kehilanga
n kalsium
dalam
urine.
Alkohorl
akan
meningka
tkan
asioddosis
yang
meningka
6. Ajarkan efek dari
tkan
rokok terhadap
resorpsi
pemulihan tulang.
tulang.
6. Rokok
dapat
meningka
7. Observasi efek tkan
samping dari terjadinya
obat-obatan yang asidosis
7. Obat-
digunakan obatan
seperti
deuritik,
phenotiazi
n dapat
menyebab
kan
dizzines,
drowsines
s dan
weaknes
yang
merupaka
n
predisposi
si klien
untuk
jatuh.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Osteoporosis merupakan kondisi terjadinya penurunan densitas/
matriks/massa tulang, peningkatan prositas tulang, dan penurunan proses
mineralisasi deisertai dengan kerusakakn arsitektur mikro jaringan tulang yang
mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah
patah.
Beberapa faktor resiko Osteoporosis antara lain yaitu : usia, genetik,
defisiensi kalsium, aktivitas fisik kurang, obat-obatan (kortikosteroid, anti
konvulsan, heparin, siklosporin), merokok, alcohol serta sifat fisik tulang
(densitas atau massa tulang) dan lain sebagainya.
Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur kompresi. Fraktur kompresi
ganda vertebra mengakibatkan deformitas skelet

B. Saran
1. Lansia
Harus lebih memperhatikan kesehatan dengan menghindari faktor-faktor
resiko osteoporosis serta memenuhi asupan gizi yang lengkap terutama untuk
tulang
2. Tenaga medis
Sebagai seorang tenaga medis harus mampu memberikan pendidikan
kesehatan yang baik terutama bagi lansia sehingga dapat menghindarkan atau
mencegah terjadinya penyakit osteoporosis
3. mahasiswa
harus lebih memahami tentang asuhan keperaawatan pada gangguan system
musculoskeletal “osteoporosis” sehingga mampu menerapkannya di lhan praktik
demi memberi pelayanan kesehatan yang baik bagi klien
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2
MAKALAH TEORI ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
GANGGUAN KELENJAR ADRENAL
DISUSUN OLEH:
Veny Anriany Marcelia
NIM. 1710053209
TINGKAT 3A

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN


TINGGI UNIVERSITAS MULAWARMAN FAKULTAS
KEDOKTERAN PRODI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf,
mengontrol dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini
bersama-sama bekerja untuk mempertahankan homeostasis
tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling berhubungan,
namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Misalnya,
medulla adrenal dan kelenjar hipofise posterior yang
mempunyai asal dari saraf (neural). Jika keduanya dihancurkan
atau diangkat, maka fungsi dari kedua kelenjar ini sebagian
diambil alih oleh sistem saraf.
Bila sistem endokrin umumnya bekerja melalui hormon,
maka sistem saraf bekerja melalui neurotransmiter yang
dihasilkan oleh ujung-ujung saraf.

B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian dari Gangguan kelenjar adrenal?
b. Apa Etiologi dari Gangguan kelenjar adrenal?
c. Bagaimana manifestasi klinis dari Gangguan kelenjar adrenal?
d. Bagaimana Patofisiologi dari Gangguan kelenjar adrenal?
e. Bagaimana cara Penatalaksanaan terhadap Gangguan kelenjar adrenal?
f. Bagaimana dalam Pemberian Gangguan kelenjar adrenal?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Kelenjar Adrenal


Kelenjar adrenal, yang dikenal juga dengan kelenjar
suprarenal, adalah kelenjar kecil dan berbentuk triangular yang
terletak pada bagian atas ginjal. Kelenjar adrenal dibagi menjadi
dua bagian, bagian luar dinamakan korteks adrenal sedangkan
bagian dalam disebut medulla adrenal (Sabra, 2008).
1. Fungsi kelenjar adrenal:
a. Mengatur keseimbangan air, elektrolit dan garam-garam
b. Mengatur atau mempengaruhi metabolisme lemak, hidrat arang
dan protein
c. Mempengaruhi aktifitas jaringan limfoid
2. Bagian-bagian kelenjar adrenal :
a. Korteks Adrenal
Korteks adrenal merupakan bagian luar kelenjar adrenal, mensekresi
hormon yang memiliki pengaruh terhadap metabolisme tubuh.
Reaksi kimia pada darah, karakteristik tubuh. Korteks adrenal
mensekresi kortikosteroid dan hormon lainnya secara langsung di
aliran darah. Hormon yang diproduksi korteks adrenal adalah:
1) Hormon kortikosteroid
Hormon kortikosteroid merupakan golongan hormon steroid yang
diproduksi di korteks adrenal. Hormon kortikosteroid terlibat
dalam sistem fisiologis seperti respon stres, respon kekebalan
tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
katabolisme protein, kadar elektrolit darah dan perilaku
(Medicastore, 2010)
Sehingga hormon kortikosteroid sering digunakan untuk gejala
udem, alergi, rematik dan penyakit lupus baik digunakan
sebagai obat tunggal atau dikombinasi dengan obat lainnya
(Medicastore, 2010)
Hormon kortikosteroid dibagi dua, antara lain:
a) Glukokortikoid : kortisol/hidrokortison
Hormon ini mengendalikan karbohidrat, metabolisme protein,
dan antiinflamasi dengan mencegah pelepasan fosfolipid,
menurunkan aksi eosinofil dan mekanisme lainnya.
b) Mineralokortikoid : aldosteron, kortikosteron,
desoksikorton
Hormon-hormon ini mempengaruhi metabolisme garam dan air
(Medicastore, 2010)
c) Hormon aldosterone
Hormon ini mempengaruhi jumlah natrium yang diekskresikan
ke dalam urin, mengatur volume dan tekana darah.
d) Steroid androgenik (hormon androgen)
Hormon ini mempengaruhi sedikit pengembangan karakter
pria.
Hormon korteks anak ginjal memungkinkan organisme
bereaksi terhadap stress dalam dan luar. Dengan
mempengaruhi metabolism karbohidrat, lemak, dan protein,
serta keseimbangan elektrolit dan air, memungkinkan
hormon-hormon in menjaga kesetimbangan biologi yang
tetap, homeostasis. Rusaknya korteks anak ginjal yang
tidak ditangani menyebabkan kematian dalam waktu
singkat (Mutschler, 1991).

b. Medulla Adrenal
Medulla adrenal merupakan bagian dalam dari kelenjar adrenal,
mempengaruhi tekanan fisikal dan emosional. Medulla adrenal
mensekresi hormon berikut:
1) Efinefrin (adrenalin)
Hormon ini menambah kecepatan denyut dan kontraksi jantung,
memfasilitasi aliran darah ke otot dan otak, menyebabkan
relaksasi otot polos, membantu dalam perubahan glikogen
menjadi glukosa pada hati, dan aktifitas lainnya (Sabra, 2008).
2) Norepinefrin (Noradrenalin)
Hormon ini memiliki sedikit efek pada otot polos, proses
metabolic, dan kardiak output, tetapi memiliki efek
vasokontriksi kuat, da menigkatkan tekanan darah (Sabra,
2008).

Gangguan Kelenjar Adrenal


Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan metabolic yang menunjukkan
kelebihan / defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo Hotma, 1999).
Klasifikasi Disfungsi Kelenjar Adrenal:
a) Hiperfungsi kelenjar adrenal
1) Sindrom Cushing
Sindrom Cushing disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid
adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga
ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid
sintetik.
2) Sindrom Adrenogenital
Penyakit yang disebabkan oleh kegagalan sebagian atau
menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan untuk
sintesis steroid
3) Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme primer (Sindrom Cohn)
Kelaianan yang disebabkan karena hipersekresi aldesteron
autoimun
b) Aldosteronisme sekunder
Kelainan yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer, ini disebabkan oleh
hiperplasia sel juksta glomerulus di ginjal.

c. Hipofungsi Kelenjar Adrenal


Insufisiensi Adrenogenital :
1) Insufisiensi Adrenokortikal Akut (krisis adrenal)
Kelainan yang terjadi karena defisiensi kortisol absolut atau relatif
yang terjadi mendadak sehubungan sakit / stress.
2) Insufisiensi Adrenokortikal Kronik Primer (penyakit Addison)
Kelainan yang disebabkan karena kegagaln kerja kortikosteroid
tetapi relatif lebih penting adalah defisiensi glukokortikoid dan
mineralokortikoid.
3) Insufisiensi Adreno Kortikal Sekunder
Kelainan ini merupakan bagian dari sinsrom kegagalan hipofisis
anterior respon terhadap ACTH terhambat atau menahun oleh
karena atrofi adrenal.

PENYAKIT ADDISON
1. Pengertian
Penyakit Addison adalah: penyakit yang terjadi akibat fungsi korteks inadekuat
untuk memenuhi kebutuhan pasien akan hormone hormone korteks adrenal
(Soediman, 1996)
Penyakit Addison adalah: lesi kelenjar primer karena penyakit destruktif atau
atrofik, biasanya autoimun atau tuberkulosa.(Baroon, 1994)

2. Etiologi
a. Tuberculosis
b. Histoplasmosis
c. Koksidiodomikosis
d. Kriptokokissis
e. Pengangkatan kedua kelenjar adrenal
f. Kanker metastatik (ca paru, lambung, payudara, melanoma, limfoma)
g. Adrenalitis autoimun

3. Patofisiologi
Pada 30% penderita, kelenjar adrenal mengalami kerusakan akibat kanker,
amiloidosis, infeksi (misalnya tuberkulosis) dan penyakit lainnya. Pada 70%
penderita lainnya, penyebabnya tidak diketahui tetapi para ahli menduga bahwa
kelenjar adrenal mengalami kerusakan akibat reaksi autoimun. Penekanan
kelenjar adrenal juga terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi
kortikosteroid (misalnya prednison).

Biasanya dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap sebelum pemakaiannya


dihentikan. Jika pemakaian kortikosteroid dihentikan secara tiba-tiba maka
kelenjar adrenal tidak mampu membentuk kortikosteroid dalam jumlah yang
memadai selama beberapa minggu atau beberapa bulan (tergantung kepada
dosis dan lamanya pemakai kortikosteroid). Obat lainnya yang juga bisa
menekan pembentukan kortikosteroid adalah ketokonazol (digunakan untuk
mengobati infeksi jamur).

Jika terjadi kekurangan kortikosteroid, maka tubuh akan membuang sejumlah besar
natrium dan menimbun kalium, sehingga kadar natrium darah menjadi rendah
dan kadar kalium darah menjadi tinggi. Ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan air kemih; karena itu jika penderita minum terlalu banyak
air atau kehilangan terlalu banyak natrium, maka kadar natirum darah menjadi
rendah. Ketidakmampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan air kemih pada
akhirnya menyebabkan penderita banyak berkemih dan mengalami dehidrasi.
Dehidrasi berat dan kadar natrium yang rendah akan mengurangi volume darah
dan bisa menyebabkan syok.

Kekurangan kortikosteroid juga menyebabkan kepekaan yang luar biasa terhadap


insulin (hormon yang secara normal terdapat di dalam darah), sehingga kadar
gula darah bisa turun. Kekurangan kortikosteroid menghalangi tubuh untuk
membuat karbohidrat dari protein, melawan infeksi atau menyembuhkan luka.
Otot menjadi lemah dan bahkan jantung bisa menjadi lemah serta tidak mampu
memompa darah sebagaimana mestinya.

Untuk mengkompensasi kekurangan kortikosteroid, kelenjar hipofisa


menghasilkan lebih banyak kortikotropin (hormon yang dalam keadaan normall
merangsang kelenjar adrenal). Karena kortikotropin juga mempengaruhi
pembentukan melanin, maka kulit dan lapisan mulut penderita penyakit
Addison seringkali menjadi lebih gelap. Pigmentasi yang berlebihan ini
biasanya terdapat dalam bentuk bercak-bercak. Karena kelainan dasarnya
adalah kekurangan kortikotropin, maka jika penyebab insufisiensi adrenal
adalah insufisiensi hipofisa atau hipotalamus, tidak akan terjadi pigmentasi
yang berlebihan.

4. Manifestasi klinik
a. Gejala awal: kelemahan, fatique, anoreksia, nausea, muntah, BB
menurun, hipotensi, dan hipoglikemi
b. Astenia (gejala cardinal): pasien kelemahan yang berlebih
c. Hiperpigmentasi (menghitam seperti: perunggu, coklat spt: seperti
terkena sinar matahari) biasanya pada kulit buku jari, lutut, siku
d. Rambut pubis dan aksilaris berkurang pada perempuan
e. Hipotensi arterial (TD: 80/50 mmHg / kurang)
f. Abnormalitas fungsi gastrointestinal

5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Penurunan konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemia
dan hiponatremia)
2) Peningkatan kosentrasi kalium serum (hiperkalemia)
3) Peningkatan jumlah sel darah putih (leukositosis)
4) Penurunan kadar kortisol serum
5) Kadar kortisol plasma rendah

b. Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan adanya kalsifikasi


diadrenal

c. CT Scan
Detektor kalsifikasi adrenal dan pembesaran adrenal yang sensitive
hubungannya dengan insufisiensi pada tuberculosis, infeksi, jamur,
penyakit infiltratif malignan dan non malignan, dan haemoragik
adrenal

d. Gambaran EKG
Tegangan rendah aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik
abnormal sekunder akibat adanya abnormalitas elektrolit

6. Penatalaksanaan
a. Medik
1) Terapi dengan pemberian kortikosteroid setiap hari selama 2
sampai 4 minggu dosis 12,5 sampai 50 mg/hari
2) Hidrokortison (solu- cortef) disuntikan secara IV
3) Prednison (7.5 mg/hari)dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi
pengganti kortisol
4) Pemberian infuse dekstrosa 5%dalam larutan saline
5) Fludrokortison: 0,05-0,1 mgper oral dipagi hari
b. Keperawatan
1) Pengukuran TTV
2) Memberikan rasa nyaman dengan mengatur atau menyediakan
waktu istirahat pasien
3) Menempatkan pasien dalam posisi setengah duduk dengan kedua
tungkai ditinggikan
4) Memberikan suplemen makanan dengan penambahan garam
5) Follow up: mempertahankan berat badan, tekanan darah dan
elektrolit yang normal disertai regresi gambaran klinis
6) Memantau kondisi pasien untuk mendeteksi tanda dan gejala yang
menunjukan adanya krisis Addison

7. Komplikasi
a. Syok (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan garam)
b. Kolaps sirkulasi
c. Dehidrasi
d. Hiperkalemia
e. Sepsis
Krisis Addison disebabkan karena hipotensiakut (hiperkortisolisme)
ditandai dengan sianosis, panas, pucat, cemas, nadi cepat.

PENYAKIT SINDROM CHUSING


Sindrom Cushing disebabkan oleh sekresi berlebihan steroid adrenokortikal,
terutama kortisol. Gejala klinis bisa juga ditimbulkan oleh pemberian dosis
farmakologis kortikosteroid sintetik. Sindrom Cushing idiopatik jarang dijumpai,
biasanya terjadi pada dewasa muda atau usia pertengahan dan lebih sering
dijumpai pada perempuan dari pada laki-laki.

Gejala Klinis:
Muncul perlahan-lahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan bisa
hilang-timbul. Gejala bervariasi, terdiri dari berat badan bertambah, amenorea
sekunder atau infertilitas, kelemahan otot, perubahan wajah, hipertensi dan
diabetes. Bisa disertai sakit punggung perdarahan bawah kulit, striae, jerawat dan
hirsutisme. Sering juga disertai perubahan mental sampai psikosis.

Pasien penyakit Cushing kelihatan wajahnya kemerah-merahan, biasanya disertai


kegemukan sedang sampai berat, wajah bulat dan merah (moon face). Kondisi
otot jelek dan distribusi lemak bawah kulit abnormal, di punggung relatif lebih
tebal dan ditungkai lebih tipis. Bantalan lemak ini paling jelas pada punggung atas
dan di atas klavikula (buffalo hump). Kulit menipis, mudah berdarah dan striae
merah muda. Striae cenderung terletak menyilang garis kulit, tampak pada sisi
abdomen, payudara, bokong, pinggul, paha dan lipatan ketiak. Jerawat dan
dijumpai pertumbuhan berlebihan bulu-rambut tubuh dan wajah. Bisa terjadi
sedikit pembesaran klitoris. Tekanan darah meninggi dan adanya komplikasi
hipertensi. Radiografi menunjukkan osteoporosis, dan pelebaran sella turcica.

Kadang-kadang gejala klinis tidak jelas. Distribusi lemak bisa normal dan berat
badan hanya sedikit bertambah. Diagnosis harus dipertimbangkan bila dijumpai
pasien dengan hipertensi dan diabetes, obesitas terutama dengan striae, hirsutisme
dan/atau virilisasi dan obesitas dengan psikosis.

Patologi
Tidak ada perubahan histologis spesifik kecuali pada hipofisis dan adrenal.
Perubahan non-spesifik seperti kardiomegali hipertensif, osteoporosis. Tes
toleransi glukosa menunjukkan kurva diabetes.
Etiologi
Ada 4 tipe sindrom Cushing :
1) Penyakit Cushing ditemukan pada kira-kira 80% pasien. Kerusakan
mungkin terletak di hipotalamus, tetapi ini belum terbukti. Yang jelas
hipofisis anterior terlibat dan mengeluarkan ACTH berlebihan. Histologis
hipofisis menunjukkan pemusatan basofil fokal atau small basophilic
adenoma. Sel-sel basofil menunjukkan degranulasi (Crooke’s change)
sekunder terhadap glukokortikoid berlebihan. Jarang dijumpai tumor yang
cukup besar yang sampai menyebabkan fossa melebar. Tejadi hiperplasia
bilateral korteks adrenal.
2) Tumor Adrenal. Dijumpai pada kira-kira 15% pasien. Biasanya adenoma
kecil, tunggal, dan jinak. Dapat berubah menjadi karsinoma yang
mengeluarkan kortikosteroid. Metastasis tumor juga bisa menghasilkan
kortikosteroid. Bisa juga dijumpai tumor bilateral.
3) ACTH Ectopic. Salah satu sindrom Cushing oleh karena produksi ektopik
adalah ACTH oleh tumor maligna non-endokrin, biasanya oat-cell
broncial cacinoma. Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gambaran
sindrom Cushing yang khas. Gejala klinis ditandai dengan penyakit yang
cepat menjadi berat. Penurunan berat badan, edema dan pigmentasi.
4) Alkoholisme. Ini dapat menyebabkan sindrom Cushing sementara yang
tak dapat dibedakan dari penyakit Cushing.

Diagnosis
Diagnosis awal sindrom cushing bergantung pada jumlah sekresi kortisol. Kortisol
plasma merupakan tes penyaring terbaik, tetapi kadar kortisol bisa sedikit meninggi
pada kegemukan dan stres. Pada sindrom Cushing, kadar kortisol plasma bisa hampir
normal tetapi tidak ada ritme diurnal. Kortisol plasma berlebihan bisa juga
disebabkan oleh diet rendah kalori pada pasien gemuk. Pemberian deksametason
tengah malam tidak mampu menekan produksi kortisol. Kenyataan ini membantu
untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan 17-steroid urin tidak dapat dipercayai
kecuali kalau hasilnya amat tinggi. Pemeriksaan kortisol bebas urin menunjukkan
laju produksi kortisol. Adanya osteoporosis terganggu bisa membantu menegakkan
diagnosis.

Diagnosis Etiologi
Setelah terbukti sekresi kortisol berlebihan, diperlukan diagnosis etiologi dalam
rangka pengobatan. Kadar ACTH plasma yang merendah menunjukkan adanya
tumor adrenal dan meninggi pada penyakit Cushing serta amat tinggi pada sindrom
ACTH ektopik. Mungkin ini merupakan satu-satunya tes terbaik. Hipokalemik
alkalosis diduga menunjukkan adanya produksi ACTH ektopik. Tes supresi
deksamentason jangka lama kurang dapat dipercaya untuk membedakan tumor
adrenal dari penyakit Cushing. Adanya karsinoma, misalnya di paru, bisa membantu
memastikan diagnosis.

Pengobatan
Tumor adrenal harus diangkat, tetapi sisa kelenjar adrenal akan mengalami atrofi.
Terapi substitusi kortikosteroid dibutuhkan selama berbulan-bulan dan diperlukan
penghentikan secara bertahap untuk mengembalikan fungsi adrenal ke normal.

Tumor hipofisis harus diobati dengan radiasi eksternal, implantasi atau hipofisektomi
transfenoidal. Adrenalektomi total merupakan pengobatan yang sering dilakukan
tetapi bisa terjadi renjatan postoperasi, sepsis dan penyembuhan yang lambat. Pada
pasien yang menjalani adrenalektomi total diperlukan kortikosteroid permanen.
Komplikasinya adalah sindrom Nelson, disebabkan oleh pembesaran kelenjar
hipofisis. Biasanya dengan pigmentasi kulit yang hebat bertahun-tahun setelah
adrenalektomi total. Pengobatan alternatif penyakit Cushing adalah dengan merusak
hipofisis melalui berbagai cara. Penyembuhan kurang pasti tetapi lebih aman dan
terhindar dari risiko sindrom Nelson.

Ada 3 jenis obat yang sekarang tersedia yang digunakan untuk menekan sekresi
kortisol karsinoma. Terdiri dari metyrapone, amino gluthemide dan o, p-ODD. Bisa
digunakan untuk mengendalikan sindrom Cushing (dan untuk mengurangi risiko
operasi) sebelum pengobatan radikal atau sebagai alternatif jika tindakan bedah
merupakan kontraindikasi.

Prognosis
Sindrom Cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa tahun oleh karena
gangguan kardiovaskular dan sepsis. Setelah pengobatan radikal kelihatan membaik,
bergantung kepada apakah gangguan kerusakan kardiovaskular ireversibel.

Pengobatan substitusi permanen memberikan risiko pada waktu pasien mengalami


stres dan diperlukan perawatan khusus. Karsinom adrenal atau yang lainnya cepat
menjadi fatal oleh karena kakeksia dan/atau metastasis

BAB III
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit Addison bisa terjadi pada laki – laki maupun perempuan yang
mengalami krisis adrenal
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh kelemahan, fatique, nausea dan muntah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita tuberkulosis, hipoglikemia
maupun ca paru, payudara dan limpama
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien dengan penyakit Addison gejala yang sering muncul ialah
pada gejala awal : kelemahan, fatiquw, anoreksia, nausea, muntah, BB
turun, hipotensi dan hipoglikemi, astenia (gejala cardinal). Pasien
lemah yang berlebih, hiperpigmentasi, rambut pubis dan axila
berkurang pada perempuan, hipotensi arterial (TD : 80/50 mm)
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama / penyakit autoimun yang lain.

a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Lelah, nyeri/ kelemahan pada otot (terjadi perburukan setiap
hari Tidak mampu beraktivitas atau bekerja
Tanda : peningkatan denyut jantung atau denyut nadi pada aktivitas
yang minimal. Penurunan kekuatan dan rentang gerak sendi.
Depresi, gangguan konsentrasi, Letargi
b. Sirkulasi
Tanda: Hipotensi termasuk hipotensi postural
Takikardi, disritmia, suara jantung melemah
Nadi perifer melemah
Pengisian kapiler memanjang
Ekstremitas dingin, sianosis, dan pucat
c. Integritas ego
Gejala: adanya riwayat riwayat factor stress yang baru dialami,
termasuk sakit fisik atau pembedahan
Perubahan gaya hidup
Ketidak mampuan mengatasi stress
Tanda: Ansietas, peka rangsang, depresi, emosi tidak stabil
d. Eliminasi
Gejala: diare, sampai adanya konstipasi
Kram abdomen
Perubahan frekuensi dan karakteristik urin
Tanda: Diuresis yang diikuti oliguria
e. Makanan atau cairan
Gejala: Anoreksia berat, mual, muntah
Kekurangan zat garam
BB menurun dengan cepat
Tanda: Turgor kulit jelek, membrane mukosa kering
f. Neurosensori
Gejala: Pusing, sinkope, gemetar kelemahan otot, kesemutan
Tanda: disorientasi terhadap waktu, tempat, ruang (karena kadar
natrium rendah), letargi, kelelahan mental, peka rangsangan,cemas,
koma (dalam keadaan krisis)
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri otot, kaku perut, nyeri kepala
Nyeri tulang belakang, abdomen, ekstrimitas (pada keadaan krisis)
h. Pernapasan
Gejala: Dipsnea
Tanda: Pernapasan meningkat, takipnea, suara nafas: krekels, ronkhi
pada keadaan infeksi
i. Keamanan
Gejala: tidak toleran terhadap panas, cuaca udara panas
Tanda: Hiperpigmentasi kulit (coklat kehitaman karena terkena sinar
matahari) menyeluruh atau berbintik bintik
Peningkatan suhu, demam yang diikuti dengan hipotermi (keadaan
krisis)
j. Seksualitas
Gejala: Adanya riwayat menopause dini, amenore
Hilangnya tanda tanda seks sekunder (berkurangnya rambut rambut
pada tubuh terutama pada wanita)
Hilangnya libido
Pemeriksaan diagnostic:
1) Kortisol plasma menurun
2) ACTH meningkat (pada primer) menurun (pada sekunder)
3) ADH meningkat
4) Aldosteron menurun
5) Elektrolit: kadar dalam serum mungkin normal atau natrium
sedikit menurun sedangkan kalium sedikit meningkat
6) Glukosa; hipoglikemi
7) Ureum/ keratin: mungkin meningkat (karena terjadi penurunan
perfusi jaringan ginjal)
8) Analisa gas darah: asidosis metabolic
9) Sel darah merah (eritrosit): anemia numokronik, Ht meningkat
(karena hemokonsentrasi)jumlah limfosit mungkin rendah,
eosinofil meningkat
10) Urin 24 jam : 17 kerosteroid, 17 hidroksikortikoid, dan 17
kelogenik steroid menurun
11) Pemeriksaan EKG

B. Diagnosa keperawatan
1. Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan kehilangan
cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran gastrointestinal (karena
kekurangan aldosteron)
2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak
adekuat (mual, muntah, anoreksia),defisiensi glukokortikoid
3. Intoleransi aktifitas b.d penurunan produksi metabolime ketidak
seimbangan cairan elektrolit dan glukosa
4. Penurunan curah jantung b.d berubahnya kecepatan, irama, dan
konduksi jantung (akibat dari ketidakseimbangan elektrolit)
5. Perubahan proses pikir b.d penurunan kadar natrium (hipotremia),
penurunan kadar glukosa (hipoglikemia), gangguan keseimbangan
asam basa
6. Gangguan harga diri b.d perubahan dalam kemampuan fungsi,
perubahan karakteristik tubuh
7. Kurang pengetahuan tentang: penyakit, prognosis, pengobatan b.d
kurang pemajanan/ mengingat, keterbatasan kognitif

C. Rencana keperawatan
DX. 1: Kekurangan volume cairan b.d kekurangan natrium dan
kehilangan cairan melalui ginjal, kelenjar keringat, saluran
gastrointestinal (karena kekurangan aldosteron)
Tujuan : klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit setelah dilakukan tindakan
KH : - Pengeluaran urin adekuat (1cc/kgBB/jam
a. TTVdbn: N:80-100 x/mnt S: 36-37C
TD: 120/80 mmHg
b. Tekanan nadi perifer jelas: kurang dari 3 det
c. Turgor kulit elastis
d. Pengisian kapiler baik kurang dari 3 det
e. Membrane mukosa lembab
f. Warna kulit tidak pucat
g. Rasa haus tidak ada
h. BB ideal: (TB-100)-10%(TB-100)
i. Hasil lab dbn:
1) Ht : W: 37-47% L: 42-52%
2) Ureum: 15-40 mg/dl
3) Natrium: 135-145 mEq/L
4) Kalium: 3,3-5,0 mEq/ L
5) Kreatinin: 0,6-1.2 mg/dl

Intervensi:
1. Pantau TTV, catat perubahan tekanan darah pada perubahan posisi,
kekuatan dari nadi perifer
R/: Hipotensi postural merupakan bagian dari hipovolemia akibat
kekurangan hormone aldosteron dan penurunan curah jantung
sebagai akibat dari penurunan kortisol
2. Ukur dan timbang BB klien
R/: Memberikan perkiraan kebutuhan akan pengganti volume cairan
dan kefektifan pengobatan. Peningkatan BB yang cepat
disebabkan oleh adanya retensi caairan dan natrium yang
berhubungnn dengan pengobatan steroid

3. Kaji pasien mengenai ada rasa haus, kelelahan, nadi cepat, pengisian
kapiler memanjang, turgor kulit jelek, membrane mukosa kering. Catat
warna kulit dan temperaturnya
R/: Mengidentifikasi adanya hipovolemia dan mempengaruhi
kebutuhan volume pengganti.

4. Periksa adanya perubahan status mental dan sensori.


R/: Dehidrasi berat menurunkan curah jantung berat dan perfusi
jaringan terutama jaringan otak.

5. Aukultasi bising usus (peristaltic usus). Catat dan laporkan adanya mual,
muntah, dan diare.
R/: Kerusakan fungsi saluran cerna dapat meningkatkan kehilangan
cairan dan elektrolit dan mempengaruhi cara untuk pemberian
cairan dan nutrisi

6. Berikan perawatan mulut secara teratur


R/: membantu menurunkan rasa tidak nyaman akibat dari dehidrasi
dan mempertahankan kerusakan membrane mukosa

7. Berikan cairan oral diatas 3000cc/hari sesegera mungkin sesuai dengan


kemampuan klien
R/: Adanya perbaikan pada saluran cerna dan kembalinya fungsi
saluran cerna tersebut memungkinkan untuk memberikan cairan
dan elektrolit melalui oral

Kolaborasi
8. Berikan cairan, antara lain:
Cairan NaCl 0,9%
R/: Mungkin membutuhkan cairan pengganti 4-6Ltr.dengan
pemberian cairan NaCl 0,9% melalui Iv 500-1000ml/jam, dapat
mengatasi kekurangan natrium yang sudah terjadi

Larutan glukosa
R/: Dapat menghilangkan hipovolemia

9. Berikan obat sesuai dosis


Kortison (ortone)atau hidrokotison (cortef) 100mg intravena setiap
6jam untuk 24jam.
R/: Dapat mengganti kekurangn kortison dalam tubuh dan
meningkatkan reabsorbsi natrium sehingga dapat menurunkan
kehilangan cairan dan mempertahankan curah jantung

Mineral kortikoid, fludokortison, deoksikortikosteron 25-30mg/hari


peroral
R/: dimulai setelah pemberian dosis hidrokortisol yang tinggi yang
telah mengakibatkan retensi garam berlebihan yang
mengakibatkan gangguan tekanan darah dan gangguan elektrolit

10. Pasang atau pertahankan kateter urin dan selang NGT sesuai indikasi
R/: dapat memfasilitasi pengukuran haluaran dengan akurat baik
urin maupun dari lambung, memberikan dekompresi lambung
dan membatasi muntah
11. Pantau hasil laboratorium
Hematokrit (Ht)
R/: Peningkatan kadar Ht darah merupakan indikasi terjadinya
hemokonsentrasi yang akan kembali normal sesuai dengan
terjadinya dehidrasi pada tubuh

Ureum atau kreatinin


R/: peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
indikasi terjadinya kerusakan tingkat sel karena dehidrasi atau
tanda serangan gagal ginjal

Natrium
R/: hiponatremia merupakan indikasi kehilangan melalui urin yang
berlebihan karena gangguan reabsorpsi pada tubulus ginjal

Kalium
R/: penurunan kadar aldosteron mengakibatkan penurunan natrium
dan air sementara itu kalium tertahan sehingga dapat
menyebabkan hyperkalemia

Dx 2: Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat
(mual, muntah, anoreksia) defisiensi glukortikoid
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien kembali adekuat setelah dilakukan tindakan
intervensi
KH :
a. Tidak ada mual muntah
b. BB ideal (TB-100)-10%(TB-100)
c. Anoreksia (-)
d. Hb: W: 12-14 gr/dl L: 13-16 gr/dl
e. Ht: W: 37-47 L:42-52%
f. Albumin: 3,5-4,7g/dl
g. Globulin: 2,4-3,7g/dl
h. Bising usus: 5-12x/mnt
i. TTV dbn: N: 80-100x/mnt TD: 120/80mmHg
j. Temperature kulit hangat
k. Nyeri kepala (-)
l. Kesadaran compos mentis

Intervensi:
1. Aukultasi bising usus dan kaji apakah ada nyeri perut, mual atau muntah
R/: Kekurangan kortisol dapat menyebabkan gejala intestinal berat
yang mempengaruhi pencernaan dan absorpsi dari makanan

2. catat adanya kulit yang dingin atau basah, perubahan tingkat kesadaran,
nadi yang cepat, nyeri kepal, sempoyongan
R/: Gejala hipoglikemia dengan timbulnya tanda tersebut mungkin
perlu pemberian glukosa dan mengindikasikan pemberian
tambahan glukortikoid

3. Pantau pemasukan makanan dan timbang BB tiap hari


R/: Anoreksi, kelemahan, dan kehilangan pengaturan metabolismr
oleh kortisol terhadap makanan dapat mengakibatkan penurunan
berat badan dan terjadi malnutrisi

4. Berikan atau Bantu perawatan mulut


R/: Mulut yang bersih dapat meningkatkan nafsu makan

5. Berikan lingkungan yang nyaman untuk makna contoh bebas dari bau
tidak sedap, tidak terlalu ramai
R/: Dapat meningkatkan nafsu makan dan memperbaiki pemasukan
makan

Kolaborasi
6. Pertahankan status puasa sesuai indikasi
R/: Mengistirahatkan gastrointestinal, mengurangi rasa tidak enak
dan kehilangan

7. Berikan glukosa intravena dan obat obatan sesuai indikasi seperti


glukokortikoid
R/: Memperbaiki hipoglikemi, memberi sumber energi pemberian
glukokortikoid akan merangsang glukoneogenesis, menurunkan
pengguanaan glukosa dan membantu penyimpanan glukosa
sebagai glikogen

8. Pantau hasil lab seperti Hb, Ht


R/: Anemia dapat terjadi akibat deficit nutrisi atau pengenceran
yang terjadi akibat retensi cairan sehubungan dengan
glukokortikoid

Dx 3: Intoleransi aktivitas b.d penurunan produksi energi metabolisme,


ketidakseimbangan cairan elektrolit dan glukosa
Tujuan: Aktivitas klien kembali adekuat setelah dilakukan tindakan
KH:
1. Menunjukkn peningkatan kemampuan klien dan partisipasi dalam aktivitas
setelah dilakukan tindakan
a. TTV dbn : N: 80-100x/mnt RR: 16-20x/mnt TD: 120/80 mmHg
b. Kelelahan (-)
c. Tidak terjadi perubahan TTV setelah melakukan aktivitas

Intervensi
1. kaji tingkat kelemahan klien dan identifikasi aktifitas yang dapat dilakukan oleh
klien
R/: Pasien biasanya telah mengalami penurunan tenaga, kelemahan otot menjadi terus
memburuk setiap hari karena proses penyakit dan munculnya ketidak seimbangan
natrium dan kalium

2. Pantau TTV sebelum dan sesudah melakukan aktivitas


R/: Kolapsnya sirkulasi dapat terjadi sebagai akibat dari stress, aktivitas jika curah
jantung berkurang

3. Sarankan pasien untuk menentukan masa atau periode antara istirahat dan
melakukan aktivitas
R/: Mengurangi kelelahan dan mencegah ketegangan pada jantung

4. Diskusikan cara untuk menghemat tenaga misal: duduk lebih baik daripada berdiri
selama melakukan aktifitas
R/: Pasien akan dapat melakukan aktivitas yang lebih banyak dengan mengurangi
pengeluaran tenaga pada setiap kegiatan yang dilakukan

5. Tingkatkan keterlibatan pasien dalam beraktivitas sesuai kemampuannya


R/: Menambah tingkat keyakinan pasien dan harga dirinya secara baik sesuai
dengan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi

Dx 4: Penurunan curah jantung b.d berubahnya kecepatan, irama dan konduksi jantung
(akibat dari ketidakseimbangan elektrolit)
Tujuan: Curah jantung klien kembali adekuat setelah dilakukan tindakan
KH:
a. TTV dbn N: 80-100x/mnt RR:16-20x/mnt TD: 12/80 mmHg S: 36-
37c
b. Nadi perifer teraba dengan baik
c. Pengisian kapiler kurang dari 3 det
d. Hasil lab kalium darah: 3,3-5,0 mEq/L
e. Disritmia (-)
f. Warna kulit tidak pucat

Intervensi:
1. Pantau TTV dan catat adanya disritmia
R/: Peningkatan fungsi jantung merupakan manifestasi awal sebagai
kompensasi hipovolemia dan penurunan curah jantung

2. Pantau suhu tubuh, catat bila ada perubahan yang mencolok dan tiba tiba.
R/: Hiperpireksia yang tiba tiba terjadi diikuti oleh hipotermia
sebagai akibat dari ketidakseimbangan hormonal, cairan dan
elektrolit yang mempengaruhi fungsi jantung dan curah jantung

3. Kaji warna kulit, suhu, pengisian kapiler dan nadi perifer


R/: Pucat, kulit yang dingin, pengisian kapiler yang memanjang,
nadi yang lambat dan lemah merupkan indikasi terjadi syok

4. Teliti adanya perubahan mental dan laporkan adanya nyeri pada abdomen
daerah punggung dan kaki
R/: Perubahan mental (peka rangsang, cemas, ketakutan)merupakan
cerminan dari penurunan curah jantung / serebral dan perfusi
perifer atau serangan hipoglikemia

5. Tempatkan pasien pada ruangan yang tenang dan dengan kelembapan yang
sesuai, tidak bising dan dibatasi aktivitas
R/: Respon normal pasien terhadap stress adalah kurang dan
stimulus yang biasanya tidak menimbulkan masalah dapat
berpengaruh negative pada pasien

6. Pantau adanya hipertensi, edema, krekels, BB meningkat, nyeri kepala


yang hebat, peka rangsang dan bingung
R/: Efek pemberian kortikosteroid dan atau natrium dan cairan
pengganti yang berlebihan dapat menyebabkan potensial
kelebihan cairan dan gagal jantung

Kolaborasi
7. Berikan O2
R/: Kadar oksigen yang maksimal dapat membantu menurunkan
kerja jantung

8. Pantau kalium darah


R/: Pasien cenderung mengalami hiperkalemia karena bila kadar
natrium menurun (dampak sekunder pada kekurangan
aldosteron), kalium tetahan oleh ginjal

Dx. 5: Perubahan proses pikir b.d hiponatremia, hipoglikemia, gangguan keseimbangan


asam basa
Tujuan: Proses pikir klien kembali efektif setelah dilakukan tindakan
KH:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran mental
b. Tidak mengalami cedera
c. Klien dapat mengenal tempat, orang, dan waktu
d. TTV dbn : N: 80-100x/mnt TD: 120/80 mmHg RR: 16-20x/mnt
e. Hasil lab :Hb L: 13-16 gr/dl
W: 12-14 gr/dlHt L: 42-51%
W: 37-47%
Glukosa darah: 80-110 mg/dl

Intervensi:
1. Pantau TTV dan status neurologis
R/: Memberikan patokan untuk dasar perbandingan atau pengenalan terhadap temuan
abnormal
2. Panggil pasien dengan namanya orientasikan pada orang, tempat, dan waktu
sesuai kebutuhan
R/: Menolong mempertahankan orientasi dan menurunkan kebingungan
3. Tetapkan dan pertahankan jadwal perawatan rutin untuk memberikan waktu
istirahat yang teratur
R/: Meningkatkan orientasi dan mencegah kelelahan yang berlebih

4. Sarankan pasien untuk melakukan perawatan diri sendiri sesuai dengan


kemampuan dengan waktu yang cukup untuk menjalankan seluruh tugasnya
R/: Menolong pasien dalam menjaga dan memberikan sentuhan yang nyata dan
mempertahankan orientasi pada lingkungan

Kolaborasi
5. Pantau hasil pemeriksaan lab mis: glukosa darah, osmolaritas serum, Hb, Ht
R/: Perubahan yang terus menerus pada mental memerlukan evaluasi lanjut
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Kelenjar adrenal Terletak di kutub atas kedua ginjal. Disebut juga sebagai kelenjar
suprarenalis karena letaknya di atas ginjal. Dan kadang juga disebut sebagai
kelenjar anak ginjal karena menempel pada ginjal. Kelenjar adrenal terdiri dari
dua lapis yaitu bagian korteks dan bagian medulla. Keduanya menunjang
dalam ketahanan hidup dan kesejahteraan, namun hanya korteks yang esensial
untuk kehidupan.

B. Saran
Meskipun kasus Gangguan kelenjar adrenal ini jumlahnya tidak sebanyak
penyakit-penyakit umum lainnya yang sering kita jumpai, tetapi kita sebagai
calon - calon tenaga kesehatan professional tetap harus tahu dan memahami
kasus ini. Semoga dengan makalah ini dapat memberikan setitik pengetahuan
baru bagi kita sebagai mahasiswa keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Http://wwww.total kesehatan nanca.com/Addison4.html


Doenges, M. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, edisi 3. Jakarta: EGC.
Price, S. A., 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6.
Jakarta: EGC.
Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai