Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

OLEH :

LUH ERLINA RAHAYUNI

2114901173

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk, 1999).
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi
komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis (Barbara C. Long).
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi
sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin
atau kerja insulin yang tidak adekuat (Brunner dan Sudart). Menurut WHO, Diabetes
mellitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor
lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik
hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.

2. Etiologi Diabetes Melitus


Secara umum penyebab terjadinya DM tidak diketahui secara pasti, namun
dimungkinkan karena faktor, antara lain :
a. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)
1. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I tetapi mewarisi suatu
presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) yang merupakan kumpulan gen
yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
2. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
3. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.

b. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)


Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung
insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang
merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan,
terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa
kanak-kanak. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun
dalam kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor
permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan
transport glukosa menembus membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan
abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar
glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan
meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price, 1995). Faktor
risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II yaitu, usia
(resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun), obesitas,
riwayat keluarga, dan kelompok etnik.

3. Epidemiologi Diabetes Melitus


Jumlah diabetes didunia yang tercatat pada tahun 1990 hanya 80 juta yang
secara mencengang dan melonjak naik ke 110,4 juta di empat tahun kemudian.
Dinegara berkembang, hampir seluruh diabetes tergolong sebagai penyandang
diabetes mellitus tipe 2, sebanyak 40% diantaranya terbukti berasal dari kelompok
masyarakat yang terlanjur mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern
(Zimmer, 1991). Menurut world health organization (WHO) Indonesia menjadi
Negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak ke 4 di dunia dengan
jumlah kurang lebih 8,6 % pada tahun 1995 Internasional Diabetes Federation (IDF)
memperkirakan kenaikan 8,2 juta penderita diabetes mellitus di Indonesia (Darusman,
2009). Prevalensi diabetes mellitus pada tahun 1982 hanya memiliki angka 1,7 %
yang selanjutnya persentase tersebut terus menanjak mencapai angka 5,75 % dan 13,6
% ,77 demikian berturut-turut hingga pada tahun 1992 dan 2001 (Farmacia,2003).
Prevalensi DM di Indonesia mencapai jumlah 8.426.000 (tahun 2000) yang
diproyeksikan mencapai 21.257.000 pada tahun 2030. Artinya, terjadi kenaikan tiga
kali lipat dalam 30 tahun.

4. Faktor Predisposisi Diabetes Melitus


a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
- Ras/etnik
Ras asia, indian amerika, hispanik, memiliki risiko diabetes melitus yang lebih
besar.
- Riwayat keluarga dengan diabetes
- Umur
Risiko diabetes melitus meningkat seiring meningkatnya usia
- Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi >4000 gram atau pernah
menderita DM saat hamil (DM gestasional)
- Riwayat lahir dengan berat badan rendah (< 2,5 kg)
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
- Overweight/berat badan lebih (Indeks massa tubuh > 23kg/m2)
- Aktivitas fisik kurang
- Merokok
- Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
- Dislipidemia atau kadar kolesterol abnormal (HDL <35 mg/dL, trigliserida >
250 mg/dL)
- Diet tidak sehat
Makanan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko DM
- Polycystic ovary syndrome (PCOS)
Terjadi pada wanita, ditandai dengan adanya menstruasi yang tidak teratur,
pertumbuhan rambut yang banyak (kumis, rambut di lengan, dll), dan obesitas.

5. Patofisiologi Diabetes Melitus


a. Diabetes tipe I
Pada tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati sehingga
menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan) (Arisman, 2011). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam
urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan
rasa haus (polidipsia) (Brunner & Suddarth, 2002).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya
mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan
keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas
berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma, bahkan kematian (Newsroom, 2009).

b. Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terkaitnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan (Santosa, budi,
2007).
Sehingga untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan di pertahankan
pada tingkatan yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan dan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan
sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II. Namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetic tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian diabetes tipe II yang tidak
terkontrol menimbulkan masalah (suprajitno, 2004)

6. Klasifikasi Diabetes Melitus


a. Diabetes tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut
insulin. Sebelumnya, tipe diabetes ini disebut sebagai diabetes melitus dependen
insulin (IDDM), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat insulin
pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya dijumpai pada individu yang tidak gemuk
berusia kurang dari 30 tahun dan lebih banyak diderita pria disbanding wanita.
Karena insidensi diabetes tipe 1 memuncak pada usia remaja dini, pada masa
dahulu bentuk ini disebut sebagai diabetes juvenilis.
b. Diabetes tipe 2
Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler terhadap insulin disebut
diabetes melitus tipe 2. Meskipun kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa
plasma meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan sel-sel beta pangkreas, diabetes
melitus tipe 2 yang sebelumnya disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin
atau NIDDM (noninsulin dependent diabetes melitus), sebenarnya kurang tepat
karena banyak individu yang mengidap diabetes tipe 2 dapat ditangani dengan
insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, lebih banyak banyak wanita yang mengidap
penyakit ini dibandingkan pria.
c. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes
gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu diabetogenik. Meskipun diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan,
sekitar 50% wanita pengidap ini tidak akan kembali ke status nondiabetes setelah
kehamilan berakhir.
d. Tipe khusus lain
Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes
subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum
usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan resisten tehadap insulin. Kelainan
genetik telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk mutasi dan bentuk fenotif
yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4). Kelainan genetik pada
kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan akantosis
negrikans.

7. Gejala Klinis Diabetes Melitus


a. Diabetes Tipe I
- Hiperglikemia berpuasa
- Glukosuria, diuresis osmotik,
- Keluhan TRIAS, yaitu kencing yang berlebihan (Poliuri), rasa haus yang
berlebihan (Polidipsi), rasa lapar berlebihan (Polifagia) dan penurunan berat
badan
- Keletihan dan kelemahan
- Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau
buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
b. Diabetes Tipe II
- Intoleransi glukosa progresif
- Keletihan
- Poliuria
- Polidipsia
- Luka pada kulit yang lama sembuh
- Infeksi saluran kemih
- Penglihatan kabur

8. Pemeriksaan Fisik Diabetes Melitus


Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk memeriksa tanda-
tanda ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kusmaul, hipotensi ortostatik,
latergi, mual, muntah dan nyeri abdomen. Pemeriksaan fisik selama episode
hipoglikemik menunjukkan :
a. Respon autonomic

- Berkeringat - Gugup
- Palpitasi - Pucat
- Tremor - Lapar

b. Respon neuroglikopenik

- Sakit kepala - Kesulitan berkonsentrasi


- Pening - Kerusakan penilaian
- Kacau mental - Kelemahan dan kejang
- Peka rangsang - Koma pada kasus berat

Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom


HHNK, mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Pasien
dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat mengganggu kemampuannya
dalam mempelajari melakukan perawatan mandiri, seperti :
a. Gangguan penglihatan, pasien diminta untuk membaca angka atau tulisan pada
spuit insulin, lembaran menu, suratkabar, atau bahan pelajaran
b. Gangguan koordinasi motorik, pasien diobservasi pada saat makan atau
mengerjakan pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk
menusuk jari tangannya
c. Gangguan neurologis, misalnya, akibat stroke

9. Pemeriksaan Penunjang Diabetes Melitus


a. Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi
Hemoglobin glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang mencerminkan kadar
glukosa darah rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3 bulan. Nilai normal
antara pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium
yang satu dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari
4% hingga 8%.
b. Pemeriksaan urin untuk glukosa
Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya terbatas pada pasien yang tidak
bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah. Prosedur
yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin pada strip atau tablet pereaksi dan
mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.
c. Pemeriksaan urin untuk keton
Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal yang
memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe I
sedang mengalami kemunduran. Senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk
dalam darah serta urin.
10. Theraphy Diabetes Melitus
a. Terapi Insulin
Pada diabetes tipe I, pangkreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui
suntikan, insulin dihancurkan dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per
oral (ditelan). Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya
di lengan, paha, atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak
terasa terlalu nyeri.
b. Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang (diabetes). Terapi gizi medis ini pada
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

11. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


a. Obat-obatan
Obat hipoglikemik oral (OHO) diperlukan dalam pengobatan DM tipe 2 jika
intervensi gaya hidup dengan diet dan latihan fisik tidak cukup untuk
mengendalikan hipeglikemia. OHO terutama terdiri atas dua tipe, yaitu prevarat
insulinotrropik dan insulin sensitizer. Golongan sulfonilurea sering kali dapat
menurunkan kadar gula darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi
tidak efektif pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid,
dan klopropamid. Obat ini menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang
pelepasan insulin oleh pangkreas dan meningkatkan efektifitasnya. Obat lainnya,
yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin, tetapi meningkatkan
respons tubuh terhadap insulin sendiri. Akabors bekerja dengan cara menunda
penyerapan glukosa dalam usus.
b. Latihan Fisik
Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik
merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal
lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh
semua orang termasuk diabetes sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya :
bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum.
Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan
esok, kemuadian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah
sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari-hari.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas
- Identitas Pasien
- Identitas penanggung jawab
b. Status Kesehatan
- Status kesehatan saat ini
- Status kesehatan masa lalu
- Riwayat penyakit keluarga
- Diagnose medis dan theraphy
c. Pola Kebutuhan Dasar
- Pola persepsi dan manajemen kesehatan
- Pola nutrisi-metabolik
- Pola aktivitas dan latihan
- Pola tidur dan istirahat
- Pola persepsi dan konsep diri
- Pola kognitif dan persepsi sensori
- Pola peran dan hubungan dengan sesame
- Pola seksualitas dan reproduksi
- Mekanisme dan toleransi terhadap stress
d. Pengkajian Fisik
- Keadaan umum
- Tanda-tanda vital
- Keadaan fisik
- Pemeriksaan penunjang

2. Diagnosa Keperawatan
1. Hipovolemi berhubungan dengan :
- Kehilangan cairan aktif
- Kegagalan mekanisme regulasi
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Kekurangan intake cairan
- Evaporasi

Ditandai dengan :
Gejala dan tanda mayor Gejala dan tanda minor
- Frekuensi nadi meningkat - Merasa lemah
- Nadi teraba lemah - Mengeluh haus
- Tekanan darah menurun - Pengisian vena menurun
- Tekanan nadi menyempit - Status mental berubah
- Turgor kulit menurun - Suhu tubuh meningkat
- Membran mukosa kering - Konsentrasi urin meningkat
- Volume urin menurun - Berat badan turun tiba-tiba
- Hematokrit meningkat

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan :


- Ketidakmampuan menelan makanan
- Ketidakmampuan mencerna makanan
- Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
- Peningkatan kebutuhan metabolisme
- Faktor psikologis (misalnya stress, keengganan untuk makan)
Ditandai dengan :
Gejala dan tanda mayor Gejala dan tanda minor
- Berat badan menurun - Cepat kenyang setelah
minimal 10% di bawah makan
rentang ideal - Bising usus hiperaktif
- Serum albumin turun
- Kram/nyeri abdomen
- Nafsu makan menurun

3. Nyeri akut berhubungan dengan :


- Agen pencedera fisiologis (missalnya inflamasi, iskemia, neoplasma)
- Agen pencedera kimiawi (misalnya terbakar, bahan kimia iritan)
- Agen pencedera fisik (misalnya abses, amputasi, terbakar, prosedur operasi,
trauma)
Ditandai dengan :
Gejala dan tanda mayor Gejala dan tanda minor
- Mengeluh nyeri - Tekanan darah meningkat
- Tampak meringis - Pola napas berubah
- Gelisah - Nafsu makan berubah
- Frekuensi nadi meningkat - Diaporesis
- Sulit tidur - Proses berpikir terganggu

4. Resiko cedera dengan faktor resiko :


Eksternal
- Terpapar patogen
- Terpapar zat kimia toksik
- Terpapar agen nosokomial
- Ketidakamanan transportasi
Internal
- Ketidaknormalan profil darah
- Perubahan orientasi afektif
- Perubahan sensasi
- Disfungsi autoimun
- Disfungsi biokimia
- Hipoksia jaringan
- Perubahan fungsi psikomotor
- Perubahan fungsi motorik

3. Intervensi Keperawatan

No. Tujuan dan Kriteria


Intervensi Rasional
Dx Hasil
1 Setelah diberikan Manajemen hipovolemi :
asuhan keperawatan 1. Monitor adanya tanda-tanda 1. Monitor tanda-tanda
diharapkan dehidrasi (O) dehidrasi dilakukan untuk
hipovolemi yang mengetahui tingkat
dialami pasien keperahan dehidrasi yang
berkurang dengan dialami pasien
kriteria hasil : 2. Dukung asupan cairan oral (N) 2. Asupan cairan yang tepat
dapat mengurangi
- Kehausan yang
hipovolemi yang dialami
dirasakan pasien
pasien
berkurang
3. Intruksikan pada pasien atau 3. Pasien atau keluarga dapat
- Turgor kulit normal
keluarga untuk mencatat intake mengetahui intake dan output
- Membrane mukosa
dan output cairan dengan tepat cairan pasien
lembab
(E)
Manajemen elektrolit :
4. Konsultasikan dengan dokter 4. Konsultasi dengan dokter
jika tanda dan gejala membantu menentukan
ketidakseimbangan tindakan yang sesuai dengan
cairan/elektrolit menetap (C) kondisi pasien

2 Setelah diberikan Manajemen nutrisi :


asuhan keperawatan 1. Monitor kalori dan asupan 1. Deteksi dini untuk pemberian
diharapkan kebutuhan makanan (O) kalori dan asupan makanan
nutrisi pasien dapat yang tepat dan memperbaiki
terpenuhi dengan kebutuhan nutrisi pasien
kriteria hasil : 2. Tentukan jumlah kalori dan 2. Jumlah kalori dan jenis
- Asupan gizi jenis nutrisi yang dibutuhkan nutrisi yang sesuai dapat
terpenuhi untuk memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan gizi
- Asupan makanan gizi (N) pasien
terpenuhi 3. Anjurkan keluarga terkait 3. Keluarga mengetahui
dengan kebutuhan makanan kebutuhan nutrisi yang tepat
tertentu berdasarkan sesuai dengan tahap
perkembangan atau usia (E) perkembangan dan usia
pasien
4. Kolaborasikan dengan ahli gizi 4. Pemberian nutrisi yang tepat
tentang pemberian nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan
tepat (C) nutrisi pasien

3 Setelah diberikan Manajemen nyeri :


asuhan keperawatan 1. Pengkajian nyeri dilakukan
1. Lakukan pengkajian nyeri
diharapkan nyeri untuk mengetahui tingkat
secara komprehensif, durasi,
pasien berkurang keparahan nyeri yang
frekuensi, kualitas dan faktor
dengan kriteria hasil : dirasakan pasien.
presipitasi (O)
2. Pemberian analgetik
- Mampu 2. Berikan analgetik untuk
membantu mengurangi nyeri
mengontrol nyeri mengurangi nyeri (N)
yang dirasakan pasien.
- Nyeri berkurang
3. Teknik non farmakologi
- Mampu mengenali 3. Ajarkan tentang teknik non
membantu mengurangi nyeri
nyeri farmakologi (E)
yang dirasakan.
(skala,intensia, 4. Kolaborasi pemberian
4. Kolaborasi dalam pemerian
frekuensi dan analgetik (C)
analgetik untuk menentukan
tanda nyeri)
dosis yang tepat
4 Setelah diberikan Monitor neurologi :
asuhan keperawatan 1. Monitor tanda-tanda vital (O) 1. Memantau kondisi pasien
diharapkan pasien apakah terjadi peningkatan
tidak mengalami pada tekanan darah, nadi,
cedera dengan kriteria Identifikasi resiko : suhu dan pernapasan pasien
hasil : 2. Intruksikan faktor resiko dan 2. Pasien dan keluarga
rencana untuk mengurangi mengetahui faktor resiko
- Glukosa darah
faktor resiko pada pasien dan yang dapat menimbulkan
normal
- Tidak ada urin keluarga cedera
glukosa
- Tidak ada urin 3. Diskusikan dan rencanakan 3. Keluarga dapat membantu
keton aktivitas-aktivitas pengurangan pasien dalam menjalankan
resiko dengan keluarga (C) aktivitas-aktivitas yang dapat
mengurangi resiko
4. Implementasi aktivitas-
aktivitas pengurangan resiko 4. Memfasilitasi pasien dalam
melakukan aktivitas-aktivitas
pengurangan resiko

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan yang dilakukan dengan
Format SOAP.

Woc
Daftar Pustaka
Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha Medika
Handayani, Nur. 2015. Diabetes Melitus (DM). Diakses melalui
http://eprints.ums.ac.id/33983/11/BAB%20II.pdf pada 6 Januari 2020

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Bulechek, Gloria, dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Indonesia : Moco
Media

Moorhead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Indonesia : Moco
Media

Anda mungkin juga menyukai