Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA Tn WK

DENGAN DIAGNOSA MEDIS DIABETES MILLITUS TYPE II


DI RUANG GRAHANISADHA RSJ PROVINSI BALI

OLEH :
I WAYAN BUDIANTO
NIM: 209012610

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA
BALI DENPASAR
2021
A. KONSEP PENYAKIT DASAR
1. DEFINISI
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia
(Smeltzer & Bare, 2012).
Diabetes Melitus (DM) merupakan syndrom gangguan metabolisme secara
genetis dan klinis termasuk heterogen akibat defisiensi sekresi insulin atau
berkurangnya efektifitas dari insulin yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik baik pada mata, ginjal, neurologis dan pembuluh darah. (Arif Mansjoer,
2011).
Diabetes mellitus tipe 1 dahulu disebut insulin-dependent diabetes (IDDM,
diabetes yang bergantung pada insulin), dicirikan dengan rusaknya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau langerhans sehingga terjadi kekurangan
insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun
orang dewasa. Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Kebanyakan
penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat
penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh
terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama
pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes
tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta
pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada
tubuh. Diabetes mellitus tipe 2 atau non-insulin-dependent diabetes mellitus
(NIDDM, "diabetes yang tidak bergantung pada insulin") adalah diabetes
yang terjadi karena kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan
"resistensi terhadap insulin" atau "berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin"(adanya defek respon jaringan terhadap insulin) yang melibatkan
reseptor insulin di membran sel. (Departemen Kesehatan RI, 2015).

2. EPIDEMIOLOGI
Menurut data stastistik tahun 1995 dari WHO terdapat 135 juta penderita
Diabetes Mellitus di seluruh dunia. Tahun 2005 jumah penderita Diabetes
Mellitus diperkirakan akan meningkat mencapai sekitar 230 juta, dan
diprediksi jumlah penderita Diabetes Mellitus lebih dari 220 juta di tahun 2010
dan lebih dari 300 juta di tahun 2025. Dari WHO di tahun 2002 diperkirakan
terdapat lebih dari 20 juta penderita Diabetes Mellitus di tahun 2025. Pada
tahun 2030 bisa mencapai 21 juta penderita. Saat ini penyakit Diabetes
Mellitus banyak dijumpai pada penduduk Indonesia. Bahkan WHO
menyebutkan di Indonesia menduduki ranking keempat setelah India, China,
dan Amerika Serikat.
Menurut Ketua Indonesia Diabetes Association (Persadia) Soegondo, Diabetes
Mellitus Tipe II merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan
kasus Diabetes Mellitus. Selain faktor genetik, juga bisa dipicu oleh
lingkungan yang menyebabkan perubahan gaya hidup tidak sehat, seperti
makan berlebihan (berlemak dan kurang serat), kurang aktivitas fisik, stress.
Jumlah penderita diabetes di Indonesia hingga kini mencapai 14 juta orang.
Rata-rata 50% dari jumlah pasien diabetes baru menyadari mereka menderita
sakit gula setelah memeriksakan ke dokter. Selain itu, hanya 30% saja klien
diabetes yang berobat. Sekitar 2,5 juta jiwa atau 1,3% dari 210 juta penduduk
Indonesia setiap tahun meninggal dunia karena komplikasi sakit kencing manis
(Diabetes Mellitus). Jumlah penderita kencing manis di Indonesia kii mencapai
5 juta jiwa atau 5% dari jumlah penduduk. Terbukti jumlah penderita Diabetes
Mellitus saat ini terbesar berada di daerah perkotaan mencapai 2,8% dan di
pedesaan baru 0,8% dari jumlah penduduk.

3. PENYEBAB

Diabetes Melitus Tipe 1

a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe
antigen HLA (human leucosite antigen). HLA merupakan kumpulan gen
yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.

b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing,
yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.

c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta.

Diabetes Melitus Tipe 2

Telah disebutkan dalam patofisiologi tentang mekanisme yang tepat yang


menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe
II. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.

Selain itu faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2:

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)


b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Stress
e. Jumlah resptor perifer kurang (antara 20.000-30.000)pada obesitas bahkan
hanya sekitar 20.000
f. Jumlah reseptor cukup tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak
efektif.
g. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga proses glikolisis intraseluler
terganggu.
4. PATOFISIOLOGI
Menurut Arthur C. Dkk, (2010) tubuh manusia membutuhkan energi agar
dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut diperoleh dari hasil pengolahan
makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam saluran pencernaan itu,
makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut. Karbohidrat
menjadi glukosa, protein menjadi menjadi asam amino, dan lemak menjadi
asam lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian
masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk
dipergunakan sebagai bahan bakar. Dalam proses metabolisme, insulin
memegang peranan sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel,
untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar. Pengeluaran insulin
tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar > 70
mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor
pada sel target, akan mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi
sintesa protein, glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa ke
dalam otot skelet dan jaringan adipose dengan bantuan transporter glukosa.

Diabetes Melitus Tipe 1


Pada tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasikan insulin karena
sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia-
puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping
itu, glukosa yang bersal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar;
akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin. Ketika glukosa yang belebihan
di ekresikan ke dalam urin hal ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan berkemih (poliuria) dan haus (polidipsia) Difisiensi insulin juga
mengganggu metabolisme preotein dal lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia)
akibat menurunnya simapanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan
kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan gukosa yang disimpan) dan gukoneogenesis (pembentukan
glukosa baru) dari asam-asam amino dan substansi lainnya, namum pada
penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatyan dan lebih
lanjut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu, akan terjadi pemecahan
lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping dari pemecahan lemak. Badan keton akan mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh bila berlebihan. Keto asidosis diabetik yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen,
mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila t6idak ditangani
akan menimbukan perubahan kesadaran, koma, bahnkan kematian. Pemberian
insulin bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut. Diet dan latihan
disertai pemantaunan kadar glukosa darah yang sering merupakan komponen
terapi yang penting.

Diabetes Melitus Tipe 2


Pada diabetes tipe II (Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin – NIDDM)
terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu :
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Stress neuro berkepanjangan
akan merangsang pelepasan hormon ACTH dari hipofisis anterior, ACTH ini
merangsang pelepasan kotrisol dari korteks adrenal, kortisol ini merupakan
kontra insulin sehingga menganggu kerja insulin dan memperkuat rangsangan
glukosa terhadap insulin, akibatnya lama kelamaan sel beta pankreas lelah
memproduksi insulin sehingga terjadilah resistensi insulin. Akibat lain dari
kelelahan sel beta itu. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukagon dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus
tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
diabetes mellitus tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada diabetes
mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe II yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom
hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK). Diabetes mellitus tipe II
paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun
dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes mellitus tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia,
luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, pandangan kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi).

5. PATHWAY ( TERLAMPIR)

6. KLASIFIKASI
Klasifikasi diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
a. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel beta
pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami untuk
mengontrol kadar glukosa darah.
b. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
Tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan metabolisme dan
penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah
dan hal ini bisa terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh pola hidup
yang tidak sehat.
c. Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Disebabkan oleh gangguan hormonal pada wanita hamil. Diabetes mellitus
(gestational diabetes mellitus, GDM) juga melibatkan suatu kombinasi dari
kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, sama
dengan jenis-jenis kencing manis lain. Hal ini dikembangkan selama
kehamilan dan dapat meningkatkan atau menghilang setelah persalinan.
Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan diabetes gestational dapat
mengganggu kesehatan dari janin atau ibu, dan sekitar 20%–50% dari
wanita-wanita dengan Diabetes Melitus gestational sewaktu-waktu dapat
menjadi penderita.

Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 2

Penderita menghasilkan sedikit Pankreas tetap menghasilkan


insulin atau sama sekali tidak insulin. Tetapi tubuh membentuk
menghasilkan insulin kekebalan terhadap efeknya,
sehingga terjadi kekurangan
insulin relative.
Umumnya terjadi sebelum usia Bisa terjadi pada anak-anak
30 tahun, yaitu anak-anak dan dan dewasa, tetapi biasanya
remaja terjadi setelah usia 30 tahun.
Para ilmuwan percaya Faktor resiko untuk diabetes
bahwa faktor lingkungan tipe 2 adalah obesitas dimana
(berupa infeksi virus atau sekitar 80-90% penderita
faktor gizi pada masa kanak- mengalami obesitas.
kanak atau dewasa awal)
menyebabkan sistem
kekebalan menghancurkan sel
penghasil insulin di pankreas.
Untuk terjadinya hal ini
diperlukan kecenderungan
genetik.
90% sel penghasil insulin Diabetes Mellitus tipe 2
(sel beta) mengalami juga cenderung Diturunkan
kerusakan permanen. secara geneticdalam keluarga
Terjadi kekurangan insulin
yang berat dan penderita
harus mendapatkan suntikan

insulin secara teratur.

7. GEJALA KLINIS

Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM


umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah
keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua,
sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus
dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya
gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta
kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh
dengan pengobatan lazim.

Manifestasi klinis DM tipe 1 sama dengan manifestasi pada DM tahap awal,


yang sering ditemukan :

a) Poliuri (banyak kencing)


Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai
melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic
diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga
klien mengeluh banyak kencing.

b) Polidipsi (banyak minum)


Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan
banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih
banyak minum.

c) Polifagia (banyak makan)


Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami
starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan.
Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut
hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.

d) Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.


Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa,
maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh
yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar,
maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di
tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien
dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus

e) Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol
fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat
penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan
katarak.

f) Ketoasidosis.
Anak dengan DM tipe-1 cepat sekali menjurus ke-dalam ketoasidosis
diabetik yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang
baik bila tidak diterapi dengan baik.

Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama


beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala
yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi
ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000
mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka
penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma
hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.

Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut (DM tipe 2)


yang sering ditemukan adalah :

1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
8. PEMERIKSAAN FISIK

Adapun pemeriksaan fisik yang khas dapat diperiksa pada penderita diabetes
mellitus adalah:
a. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher,
telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran,
lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah
goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan
kabur/ganda, diplopia, lensa mata keruh.
b. Neuro sensori
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan
mental, reflek tendon menurun, aktifitas kejang.
c. Kardiovaskuler
Takikardi/nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural,
hipertensi dysritmia.
d. Pernafasan
Takipnue pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk
dengan tanpa sputum purulent dan tergantung ada/tidaknya infeksi,
panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun
tajam), RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton.
e. Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah
meringis pada palpitasi, bising usus lemah/menurun.
f. Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare
(bising usus hiper aktif).
g. Reproduksi/seksualitas
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria,
dan sulit orgasme pada wanita.
h. Muskulo skeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki,
reflek tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai.
i. Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek,
pembesaran tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak,
lesi/ulserasi/ulkus.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Gula darah meningkat
Kriteria diagnostik WHO untuk DM pada dewasa yang tidak hamil :
Pada sedikitnya 2 x pemeriksaan :
1) Glukosa plasma sewaktu/random > 200 mg/dl (11,1 mmol/L).
2) Glukosa plasma puasa/nuchter > 140 mg/dl (7,8 mmol/L).
3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial) > 200 mg/dl.

b. Tes Toleransi Glukosa


Tes toleransi glukosa oral : pasien mengkonsumsi makanan tinggi kabohidrat
(150 – 300 gr) selama 3 hari sebelum tes dilakukan, sesudah berpuasa pada
malam hari keesokan harinya sampel darah diambil, kemudian karbohidrat
sebanyak 75 gr diberikan pada pasien:
1) Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok.
2) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
3) Osmolaritas serum : meningkat, < 330 mosm/dl.
4) Elektrolit
5) Natrium : meningkat atau menurun
6) Kalium : (normal) atau meningkat semu (pemindahan seluler) selanjutnya
menurun.
7) Fosfor : lebih sering meningkat.
8) Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH rendah dan Po menurun pada
HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkolosis resperatorik.
9) Trombosit darah : H+ mungkin meningkat (dehidrasi) ; leukositosis;
hemokonsentrasi merupakan resnion terhadap sitosis atau infeksi.
10) Ureum/kreatinin : meningkat atau normal (dehidrasi/menurun fungsi
ginjal).
11) Urine : gula dan aseton (+), berat jenis dan osmolaritas mungkin
meningkat.
10. TERAPI/PENATALAKSANAAN

Departemen Kesehatan RI. (2015) ada enam cara dalam penatalaksanaan DM


tipe 1 dan 2, meliputi:

a. Pemberian insulin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian insulin adalah jenis,
dosis, kapan pemberian, dan cara penyuntikan serta penyimpanan. Terdapat
berbagai jenis insulin berdasarkan asal maupun lama kerjanya, menjadi
kerja cepat/rapid acting, kerja pendek (regular/soluble), menengah,
panjang, dan campuran.

Dosis anak bervariasi berkisar antara 0,7-1,0 U/kg per hari. Dosis insulin
ini berkurang sedikit pada adanya fase remisi yang dikenal sebagai
honeymoon periode dan kemudian meningkat pada saat pubertas.

Saat awal pengobatan insulin diberikan 3-4 kali injeksi. Bila dosis optimal
dapat diperoleh, diusahakan untuk mengurangi jumlah suntikan menjadi 2
kali dengan menggunakan insulin kerja mengengah atau kombinasi kerja
pendekb dan menengah (split-mix regimen). Penyuntikan setiap hari secara
subkutan dipaha, lengan atas, sekitar umbilicus secara bergantian. Insulin
sebaiknya disimpan dalam lemari es pada suhu 4-80C.

b. Pengaturan makan/diet
1) Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari .

2) Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55%


karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya
umur), dan 30-35% lemak.
3) Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :
a) 20% berupa makan pagi.
b) 10% berupa makanan kecil.
c) 25% berupa makan siang.
d) 10% berupa makanan kecil.
e) 25% berupa makan malam.
f) 10% berupa makanan kecil.
c. Olahraga
Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selam kurang lebih
30 menit yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rytmical Interval
Progressive Endurance Training). Latihan yang dapa dijadikan pilihan
adalah jalan kaki, jogging, lari, renang, dan bersepeda.

d. Obat hipoglikemik oral (OHO)


Jika pasien telah melakukan pengturan makan dan kegiatan jasmani yang
teratur, tetapi kadar glukosa darahnya masih belum baik, dipertimbangkan
pemakaian obat hipoglikemik oral.

1) Sulfoniurea
Berfungsi untuk menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan,
menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin
sebagai akibat rangsangan glukosa.

2) Biguanid
Menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah normal.
Dianjurkan untuk pasien gemuk.

3) Inhibitor α glukosidase
Bersifat kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase sehingga
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
pascaprandial.

4) Insulin sentizing agent


Berfungsi meningkatkan sensitifitas insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemia.
e. Edukasi
Kegiatan edukasi meliputi pemahaman dan pengertian penyakit dan
komplikasinya, memotivasi penderita dan keluarga agar patuh berobat, dan
pemberian terapi komplementer dengan terapi relaksasi benson

f. Pemantauan mandiri/home monitoring


Pasien serta keluarga harus dapat melakukan pemantauan kadar glukosa
darah dan penyakitnya di rumah. Halini sangat diperlukan karenasangat
menunjang upaya pencapaian normoglikemia. Pamantauan dapat dilakukan
secara langsung (darah) dan secara tidak langsung (urin).

11. KOMPLIKASI
Hiperglikemia yang terjadi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan
berbagai sistem tubuh terutama saraf dan pembuluh darah. Beberapa
komplikasi dari diabetes yang sering terjadi adalah:
a. Meningkatnya resiko penyakit jantung dan stroke.
b. Neuropati (kerusakan saraf) di kaki yang meningkatkan kejadian ulkus
kaki, infeksi, dan bahkan keharusan untuk amputasi kaki.
c. Retinopati diabetikum, yang merupakan salah satu penyebab utama
kebutaan, terjadi akibat kerusakan pembuluh darah kecil di retina.
d. Diabetes merupakan salah satu penyebab utama gagal ginjal.
e. Resiko kematian penderita diabetes secara umum adalah dua kali lipat
dibandingkan bukan penderita diabetes.
Dengan pengendalian metabolisme yang baik, menjaga agar kadar gula darah
berada dalam kategori normal, maka komplikasi akibat diabetes dapat
dicegah/ditunda.
12. Konsep Dasar Teknik Relaksasi Pernafasan Dalam

a. Pengertian

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk terapi yang


mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal) dan cara menghembuskan nafas secara
perlahan (Smeltzer dan Bare, 2018).Teknik pernafasan yaitu melalui tahap-tahap:
menarik nafas, menahan dan mengembuskan nafas yang dipimpin oleh terapis,
lakukan secara rutin setiap hari. Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam teknik
pernafasan dalam yaitu posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang
tenang. Posisi pasien diatur senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh
disokong (misalnya: bantal menyokong leher), persendian fleksi, dan otot-otot
tidak tertarik (misalnya: tangan dan kaki tidak disilangkan). Untuk menenangkan
pikiran pasien dianjurkan pelan-pelan memandang sekeliling ruangan misalnya
melintasi atap turun ke dinding, sepanjang jendela dan lain-lain. Untuk muka,
pasien dianjurkan sedikit tersenyum atau membiarkan geraham bawah kendor.

b. Tujuan

Menurut Smeltzer dan Bare (2018) tujuan teknik nafas dalam adalah untuk
meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelectasis
paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stress maupun kemarahan.

c. Keuntungan Teknik Relaksasi Pernafasan Dalam

Melakukan relaksasi dapat memberikan keuntungan secara emosional dan


psikologis yaitu:

1. Keuntungan emosional, yaitu: memberikan pengalaman yang positif,


mengurangi ketegangan dan ketakutan, meredakan emosi.
2. Keuntungan fisiologis, yaitu: dapat mengungangi rasa sakit, mengurangi
terjadinya komplikasi saat tindakan operasi.
d. Prosedur Teknik Relaksasi Pernafasan Dalam

Menurut Potter & Perry (2015) standar operasional prosedur (SOP)


teknikrelaksasi pernafasan dalam sebagai berikut :
1. Tahap pra interaksi
1) Membaca mengenai status pasien
2) Mencuci tangan
3) Menyiapkan alat
4) Mengucapkan salam teraupetik kepada pasien
5) Validasi kondisi pasien saat ini
6) Menjaga keamanan privasi pasien
7) Menjelaskan tujuan & prosedure yang akan dilakukan terhadap pasien &
keluarga
2. Tahap kerja
1) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya bila ada sesuatu
yang kurang dipahami/ jelas
2) Atur posisi agar klien rileks tanpa adanya beban fisik, baik duduk maupun
berdiri. Apabila pasien memilih duduk, maka bantu pasien duduk di tepi
tempat tidur atau posisi duduk tegak di kursi. Posisi juga bisa semifowler,
berbaring di tempat tidur dengan punggung tersangga bantal.
3) Instruksikan pasien untuk melakukan tarik nafas dalam sehingga rongga
paru berisi udara
4) Instruksikan pasien dengan cara perlahan dan hembuskan udara
membiarkannya ke luar dari setiap bagian anggota tubuh, pada saat
bersamaan minta klien untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu hal
yang indah dan merasakan betapa nikmat rasanya
5) Instruksikan pasien untuk bernafas dengan irama normal beberapa saat (1-
2 menit)
6) Instruksikan pasien untuk kembali menarik nafas dalam, kemudian
menghembuskan dengan cara perlahan dan merasakan saat ini udara mulai
mengalir dari tanggan, kaki, menuju keparu-paru dan seterusnya udara dan
rasakan udara mengalir keseluruh tubuh
7) Minta pasien untuk memusatkan perhatian pada kaki dan tangan, udara
yang mengalir dan merasakan ke luar dari ujung-ujung jari tangan dan kaki
kemudian rasakan kehangatanya
8) Instruksikan pasien untuk mengulangi teknik-teknik ini apabila rasa nyeri
kembali lagi
9) Setelah pasien mulai merasakan ketenangan, minta pasien untuk
melakukan secara mandiri
10) Ulangi latihan nafas dalam ini sebanyak 3 sampai 5 kali

3. Tahap terminasi
1) Evaluasi hasil gerakan
2) Lakukan kontrak untuk melakukan kegiatan selanjutnya
3) Cuci tangan.

f. Proses relaksasi menurunkankadar gula darah.

Relaksasi diketahui dapat membantu menurunkan kadar glukose darah


pada pasien diabetes mellitus karena dapat menekan pengeluaran hormon-
hormon yang dapat meningkatkan kadar gula darah, yaitu epinefrin, kortisol,
glucagon, Adrenocorticotropic Hormon (ACTH), kotikosteroid, dan tiroid.
Dalam keadaan stress, epinefrin bereaksi pada hati meningkatkan konversi
glikogen menjadi glucose. Kortisol memiliki efek meningkatkan metabolisme
glucose, sehingga asam amino, laktat dan pirufat diubah di dalam hati menjadi
glucose (glukoneogenesis) akhirnya menaikan kadar gula darah dengan cara
mengkonversi glikogen din hati ( bentuk karbohidrat yang tersimpan pada
mamalia) menjadi glukosa, sehinmgga glukosa menjadi naik. ACTH dan
glukokortikoid pada kortek adrenal dapat menuingkatkan kadar glukosa darah
dengan cara meningkatkan pembekuan glukosa baru oleh hati. ACTH dan
glukokortikoid juga meningkatkan lipolysis dan katabolisme karbihidrat.
( Brunner and suddarth’s 2000 dalam Kosasih Cecep E dkk, 2008)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Dalam pengkajian yang dikaji pada pasien yaitu, identitas pasien, riwayat
keperawatan yang meliputi keluhan utama (Keluhan utama saat masuk rumah
sakit dan keluhan saat pengkajian), riwayat penyakit (riwayat penyakit
terdahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga, riwayat
psikososial dan spiritual), data bio-psiko-sosial-spiritual (disini digunakan
berdasarkan kebutuhan dasar Virginia Handerson) dan pengkajian fisik

A. Identitas Pasien

 Nama
 Umur
 Jenis kelamin
 Agama
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Alamat
 Diagnosa medis
B. Riwayat Keperawatan

1. Keluhan Utama

a. Keluhan utama saat masuk rumah sakit


b. Keluhan saat pengkajian
2. Riwayat Penyakit

a. Riwayat Penyakit Terdahulu


b. Riwayat Penyakit Sekarang
c. Riwayat Penyakit Keluarga
d. Riwayat Psikososial Dan Spiritual
3. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual

1) Data Biologis
a. Bernafas
Gejala : tidak ada dispnea

merasa kekurangan oksigen,

batuk dengan atau tanpa spuntum purulen


(tergantung adanya infeksi/ tidak) pada pagi hari

Tanda : batuk, dengan/tanpa sputum prulen (infeksi).

Frekuensi pernapasan lebih 24 x/ menit,


kedalaman baik

Auskultasi sedikit ronki

Sianosis tidak ada

b. Makan dan Minum


Gejala : tidak mengikuti diet;

peningkatan masukan glukosa/karbohidrat.

Penurunan berat badan lebih dari periode


beberapa hari/minggu.

haus

Tanda : kulit kering/bersisik, turgor jelek

kekakuan/distensi abdomen, muntah.

Bau halitosis/manis, bau buah (napas aseton)

c. Eliminasi(BAB dan BAK)


Gejala : perubahan pola berkemih (poliuri), nokturia.

Rasa nyeri/ terbakar, kesulitan berkemih


(infeksi), ISK baru/ berulang

Pola BAB hampir tiap malam, konstipasi


kadang - kadang, diare
Tanda : urine encer, pucat, kuning

poliuri (dapat berkembang menjadi


oliguria/anuria jika terjadi hipovalemia berat)

urine berkabut, bau busuk (infeksi)

abdomen keras, adanya asites.

Bising usus lemah dan menurun;hiperaktif


(diare).

d. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : lemah, letih, sulit bergerak/berjalan.

Kram oto, tonus otot menurun, ganguan


tidur/istirahat.

Tanda : Takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat


atau

dengan aktivitas.

Letargi/disorientasi, koma

Penurunan kekuatan otot.

e. Kebersihan Diri
2) Data Psikologis

a. Rasa Aman
Gejala : kulit kering, gatal, ulkus kulit

Tanda : demam,diaforesis

kulit rusak, lesi/ulserasi

menurnuya kekuatan umum/rentang gerak


parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot
pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan
cukup tajam)

b. Rasa Nyaman
Gejala : mengeluh nyeri

pusing

Tanda : wajah mengerut

kelemahan

3) Data Sosial

a. Rekreasi
b. Pengetahuan belajar
c. Menyangkut hubungan dengan keluarga
4) Data Spiritual

4. Pengkajian Fisik

1) Keadaan Umum

a. Kesadaran

b. Bangun Tubuh

c. Postur Tubuh

d. Bentuk Tubuh

e. Turgor Kulit

2) Gejala Kardinal

a. Suhu

b. Nadi

c. Tekanan Darah
d. Respirasi

3) Ukuran – ukuran Lain

a. Tinggi Badan :

b. Berat Badan :

4) Keadaan Fisik

a. Kepala
Bentuk simetris, warna rambut hitam, persebaran rambut
merata, kebersihan cukup, benjolan tidak ada, nyeri tekan
tidak ada.

b. Muka
Bentuk simetris, agak pucat, edema tidak ada, nyeri

c. Mata
Konjungtiva anemis, reflek pupil ishokor, benjolan tidak
ada, nyeri tekan tidak ada.

d. Hidung
Bentuk simetris, secret tidak ada

e. Telinga
Serumen tidak ada, bentuk simetris, nyeri tekan tidak ada.

f. Mulut dan Gigi


Bentuk simetris, mukosa mulut kering, kebersihan cukup,
lidah bersih, pembesaran tonsil tidak ada.

g. Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, distensi vena jugularis
tidak ada.

h. Thorak
Bentuk dada simetris, suara nafas wheezing dan krekel
tidak ada, retraksi otot dada tidak ada

i. Abdomen
Bentuk simetris, lesi tidak ada, peristaltic usus 8 x/menit,
pembesaran hati tidak ada, nyeri lepas dan nyeri tekan tidak
ada, asites tidak ada.

j. Ekstermitas
Edema tidak ada, sianosis tidak ada, pergerakan
terkoordinir tetapi lemah.

PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS

Diabetes Melitus Tipe 1

Inspeksi : Pada DM tipe 1 didapatkan klien mengeluh kehausan, klien


tampak banyak makan, klien tampak kurus dengan berat badan
menurun, terdapat penutunan lapang pandang, klien tampak
lemah dan mengalam penurunan tonus otot.

Palpasi : Denyut nadi meningkat, tekanan darah meningkat yang


menandakan terjadi hipertensi.

Diabetes Melitus Tipe 2

Inspeksi : Pada pemeriksaan awal, didapatkan hasil pemeriksaan sama


dengan DM tipe 1, tetapi pada DM type 2 biasanya klien yang
datang ke RS adalah klien yang dengan komplikasi seperti foot
diabetik (terdapat gangren pada kaki klien), retinopati
(terutama pada lansia), hipertensi, katarak (terutama pada
lansia), dll.

Palpasi dan auskultasi : Dari hasil palpasi dan auskultasi biasanya pada DM
type 2 didapatkan TD yang tinggi.
Pemeriksaan Khusus pada Lansia menurut Gordon

A. Pengkajian
1. Pengkajian fisik
a. Identitas
b. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri pada persendian, bengkak, dan terasa
kaku.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan sakit pada
persendian, bengkak, dan terasa kaku.
d. Pola fungsi Gordon
1) Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
Kaji pengetahuan klien tentang
penyakitnya, saat klien sakit tindakan
yang dilakukan klien untuk menunjang
kesehatannya.
2) Nutrisi/metabolic
Kaji makanan yang dikonsumsi oleh
klien, porsi sehari, jenis makanan, dan
volume minuman perhari, makanan
kesukaan.
3) Pola eliminasi
Kaji frekuensi BAB dan BAK, ada nyeri
atau tidak saat BAB/BAK dan warna
4) Pola aktivitas dan latihan
Kaji kemampuan klien saat beraktivitas
dan dapat melakukan mandiri, dibantu
atau menggunakan alat
5) Pola tidur dan istirahat
Kaji pola istirahat, kualitas dan kuantitas
tidur, kalau terganggu kaji penyebabnya
6) Pola kognitif-perseptual
Status mental klien, kaji nyeri dengan
Provokasi (penyebab), Qualitas
9nyerinya seperti apa), Reqion (di daerah
mana yang nyeri), Scala (skala nyeri 1-
10), Time (kapan nyeri terasa bertambah
berat).
7) Pola persepsi diri
Pola persepsi diri perlu dikaji, meliputi;
harga diri, ideal diri, identitas diri,
gambaran diri.
8) Pola seksual dan reproduksi
kaji manupouse, kaji aktivitas seksual
9) Pola peran dan hubungan
Kaji status perkawinan, pekerjaan
10) Pola manajemen koping stress
11) Sistem nilai dan keyakinan
2. Fungsional klien
a. Indeks Barthel yang dimodifikasi
Penilaian didasarkan pada tingkat bantuan
orang lain dalam meningkatkan aktivitas
fungsional. Penilaian meliputi makan,
berpindah tempat, kebersihan diri, aktivitas di
toilet, mandi, berjalan di jalan datar, naik
turun tangga, berpakaian, mengontrol defikasi
dan berkemih. Cara penilaian:
NO KRITERI BANTUA MANDI
A N RI
1 Makan 5 10
2 Minum 5 10
3 Berpindah dari kursi roda ketempat tidur/sebaliknya 5-10 15
4 Personal toilet (cuci muka, menyisir rambut, 0 5
menggosok gigi)
5 Keluar masuk toilet (mencuci pakaian, menyeka 5 10
tubuh, menyiram)
6 Mandi 5 15
7 Jalan di permukaan datar 0 5
8 Naik turun tangga 5 10
9 Menggunakan pakaian 5 10
10 Kontrol bowel (BAB) 5 10
11 Kontrol Bladder (BAK) 5 10
Total
skor
Cara penilaian:
< 60 : ketergantungan penuh/total
110-105 : ketergantungan sebagian
110 : mandiri
b. Indeks Katz
Pengkajian menggunakan indeks kemandirian
katz untuk aktivitas kehidupan sehari-hari
yang berdasarkan pada evaluasi fungsi
mandiri atau bergantung dari klien dalam hal:
makan, kontinen (BAB/BAK), berpindah, ke
kamar mandi, mandi dan berpakaian. Indeks
Katz adalah pemeriksaan disimpulkan dengan
system penilaian yang didasarkan pada
tingkat bantuan orang lain dalam melakukan
aktivitas fungsionalnya. Salah
satukeuntungan dari alat ini adalah
kemampuan untuk mengukur perubahan
fungsi aktivitas dan latihan setiap waktu, yang
diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilitasi.
Pengukuran pada kondisi ini meliputi:
Termasuk kategori manakah klien?
1. Mandiri dalam makan,
kontinensia (BAB/BAK),
menggunakan pakaian, pergi ke
toilet, berpindah dan mandi

2. Mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas

3. Mandiri kecuali mandi dan salah satu fungsi lain

4. Mandiri kecuali mandi, berpakaian dan salah satu


fungsi diatas

5. Mandiri kecuali mandi, berpakaian,


ke toilet dan salah satu fungsi yang
lain
6. Mandiri kecuali mandi,
berpakaian, ke toilet, berpindah
dan satu fungsi yang lain

7. Ketergantungan untuk semua fungsi diatas

Keterangan :
Mandiri berarti tanpa pengawasan,
pengarahan atau bantuan efektif dari
orang lain, seseorang yang menolak
untuk melakukan suatu fungsi dianggap
tidak melakukan fungsi, meskipun ia
dianggap mampu.
3. Status mental dan kognitif gerontic
a. Short Portable Mental Status Questioner (SPMSQ)
Digunakan untuk mendeteksi adanya
tingkat kerusakan intelektual. Pengujian
terdiri atas 10 pertanyaan yang berkenan
dengan orientasi, riwayat pribadi, memori
dalam hubungannya dengan kemampuan
perawatan diri, memori jangka panjang
dan kemampuan matematis atau
perhitungan (Pfeiffer, 2002).
NO PERTANYAAN BENA SALA
R H
1 Tanggal berapa hari ini
2 Hari apa sekarang
3 Apa nama tempat ini
4 Alamat anda?
5 Berapa umur anda?
6 Kapan anda lahir (minimal tahun lahir)
7 Siapa presiden indonesia sekarang?
8 Siapa presiden ndonesia sebelumnya?
9 Siapa nama ibu anda?
10 Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap
angka baru, semua secara menurun
Jumlah
Interpretasi hasil :

1) Salah 0-3 : fungsi intelektual utuh

2) Salah 4-5 : kerusakan intelektual ringan

3) Salah 6-8 : kerusakan intelektual sedang

4) Salah 9-10 : kerusakan intelektual berat

a. Mini Mental Status Exam (MMSE)


Mini mental status exam (MMSE) menguji
aspek kognitif dari fungsi mental: orientasi,
registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat
kembali dan bahasa. Nilai kemungkinan ada
30, dengan nilai 21 atau kurang biasanya
indikasi adanya kerusakan kognitif yang
memerlukan penyelidikan lanjut.
Pemeriksaan memerlukan hanya beberapa
menit untuk melengkapi dan dengan mudah
dinilai, tetapi tidak dapat digunakan sendiri
untuk tujuan diagnostic. karena pemeriksaan
MMSE mengukur beratnya kerusakan
kognitif dan mendemonstrasikan perubahan
kognitif pada waktu dan dengan tindakan. Ini
merupakan suatu alat yang berguna untuk
mengkaji kemajuan klien yang berhubungan
dengan intervensi. Alat pengukur status
afektif bdigunakan untuk membedakan jenis
depresi serius yang mempengaruhi fungsi-
fungsi dari suasana hati. Depresi adalah
umum pada lansia dan sering dihubungkan
dengan kacau mental dan disorientasi,
sehingga seorang lansia depresi sering disalah
artikan dengan dimensia. Pemeriksaan status
mental tidak dengan jelas membedakan antara
depresi dengan demensia, sehingga
pengkajian afektif adalah alat tambahan yang
penting.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas
2. Nyeri akut
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Hambatan mobilitas fisik
5. Kerusakan integritas kulit
6. Risiko ketidakseimbangan kadar glukosa darah
7. Risiko cidera
8. Risiko infeksi

2. INTERVENSI
Dalam Nanda NOC NIC beberapa intervensi dari masalah diatas

1) Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan


adanya RR > 16-20 kali/menit, adanya penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan cuping hidung, pernafasan cepat dan dalam.
Tujuan

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x …jam diharapkan pola napas klien
efektif, dengan kriteria hasil :

Status pernapasan: ventilasi

- Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range).


- Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (skala 5 = no deviation from normal
range).
- Tidak tampak retraksi dinding dada (skala 5 = no deviation from normal range).
Tanda-tanda vital

- Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from


normal range).

Intervensi

Monitoring respirasi

a) Pantau RR, irama dan kedalaman pernapasan klien.


Rasional: Ketidakefektifan pola napas dapat dilihat dari peningkatan atau penurunan
RR, serta perubahan dalam irama dan kedalaman pernapasan.

b) Pantau adanya penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada pada
klien.
Rasional: Penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada menunjukkan
terjadi gangguan ekspansi paru.

Memfasilitasi ventilasi

a) Berikan posisi semifowler pada klien.


Rasional: Posisi semifowler dapat membantu meningkatkan toleransi tubuh untuk
inspirasi dan ekspirasi.

b) Pantau status pernapasan dan oksigen klien.


Rasional: Kelainan status pernapasan dan perubahan saturasi O2 dapat menentukan
indikasi terapi untuk klien.

c) Berikan dan pertahankan masukan oksigen pada klien sesuai indikasi.


Rasional: Pemberian oksigen sesuai indikasi diperlukan untuk mempertahankan
masukan O2 saat klien mengalami perubahan status respirasi.

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ditandai dengan adanya
pengungkapan nyeri pada dada dengan skala 1-10, klien tampak melindungi area
yang sakit, berhati-hati saat bergerak, klien tampak gelisah, klien tampak meringis
kesakitan, TD meningkat (>120/80 mmHg), nadi meningkat (>100x/mnt).
Tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …. x … jam diharapkan nyeri dapat


berkurang, dengan kriteria hasil:

Pain level

- Klien tidak melaporkan adanya nyeri (skala 5 = none).


- Klien tidak merintih ataupun menangis (skala 5 = none).
- Klien tidak menunjukkan ekspresi wajah terhadap nyeri (skala 5 = none).
- Klien tidak tampak berkeringat dingin (skala 5 = none).
- RR dalam batas normal (16-20 x/mnt) (skala 5 = normal).
- Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt) (skala 5 = normal).
- Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg) (skala 5 = normal).

Pain control

- Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen nyeri non
farmakologis (skala 5 = consistently demonstrated).
- Klien dapat menggunakan analgesik sesuai indikasi (skala 5 = consistently
demonstrated).
- Klien melaporkan nyeri terkontrol (skala 5 = consistently demonstrated).
Intervensi:

Pain management

a) Lakukan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri, meliputi lokasi, karasteristik,


onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, serta faktor-faktor yang dapat
memicu nyeri.
Rasional: pengkajian berguna untuk mengidentifikasi nyeri yang dialami klien
meliputi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri serta faktor-
faktor yang dapat memicu nyeri klien sehinggga dapat menentukan intervensi yang
tepat.

b) Observasi tanda-tanda non verbal atau isyarat dari ketidaknyamanan.


Rasional: dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non verbal maka dapat
membantu mengetahui tingkat dan perkembangan nyeri klien.

c) Gunakan strategi komunikasi terapeutik dalam mengkaji pengalaman nyeri dan


menyampaikan penerimaan terhadap respon klien terhadap nyeri.
Rasional: membantu klien dalam menginterpretasikan nyerinya.

d) Kaji tanda-tanda vital klien.


Rasional: peningakatan tekanan darah, respirasi rate, dan denyut nadi umumnya
menandakan adanya peningkatan nyeri yang dirasakan.

e) Kontrol faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti suhu


ruangan, pencahayaan, kebisingan.
Rasional: membantu memodifikasi dan menghindari faktor-faktor yang dapat
meningkatkan ketidaknyamanan klien.

f) Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri non farmakologi, (mis: teknik terapi musik,
distraksi, guided imagery, masase dan lain-lain).
Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien, serta membantu klien
untuk mengontrol nyerinya.

g) Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.


Rasional: membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien.

3) Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah.


Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x … jam diharapkan kadar glukosa


darah pasien pasca terapi stabil dengan kriteria hasil :

- Tidak terjadi penurunan atau peningkatan kadar glukosa darah yang drastis/terkontrol
(normal glukosa darah sewaktu 140-160 mg/dL).
Intervensi

a) Lakukan pemantauan terhadap kadar glukosa darah 30 menit setelah IV glukosa


terakhir dan diteruskan setiap 2 jam sekali.
Rasional: Pemantauan cermat memungkinkan deteksi untuk hiperglikemia dan
hipoglikemia pasca terapi.

b) Lakukan pemberian terapi dengan tepat sesuai dengan indikasi, dosis, waktu yang
telah ditentukan.
Rasional: Pemberian terapi glokosa pada hipoglikemia dengan tepat baik dari tujuan,
dosis, dan waktu pemberian akan dapat mencegah kemungkinan ketidakstabilan kadar
glukosa darah.

c) Beritahu keluarga hal-hal yang harus dilakukan dan dihindari selama penanganan
hipoglikemia diberikan.
Rasional: Saat penatalaksanaan dalam pemberian glukosa kebutuhan glukosa pasien
sudah dihitung dan disesuaikan pemenuhannya dengan glukosa IV, penambahan
karbohidrat yang banyak selama terapi dan penambahan glukosa oral diluar instruksi
dapat menimbulkan kelebihan kadar glukosa darah pasien.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengasorbsi makanan karena
faktor biologi (glikosuria) ditandai dengan konjungtiva dan membran mukosa
pucat, klien melaporkan intake makanan kurang dari yang dianjurkan, berat badan
dibawah ideal lebih dari 20%.
Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan … x … jam diharapkan pemenuhan nutrisi


adekuat, dengan kriteria hasil:

Status nutrisi

- Masukan nutrisi adekuat (skala 5 = No deviation from normal range).


Keparahan Nausea dan vomitting

- Frekuensi nausea (skala 5 = none).


- Intensitas nausea (skala 5 = none).
- Frekuensi vomitting (skala 5 = none).
- Intensitas vomitting (skala 5 = none).
- Tidak terdapat darah dalam emesis (skala 5 = none)/
Status nutrisi: hitung biokimia

- Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dL) (skala 5= No deviation from
normal range).
Intervensi

Terapi nutrisi

a) Kaji status nutrisi klien.


Rasional: pengkajian penting untuk mengetahui status nutrisi klien dapat menentukan
intervensi yang tepat.

b) Jaga kebersihan mulut, ajarkan oral higiene pada klien/keluarga.


Rasional: menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan.

c) Kolaborasi pemberian nutrisi secara parenteral.


Rasional: pemberian nutrisi secara parenteral dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi klien sampai klien selesai untuk dilakukan puasa.
d) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi setelah klien selesai diindikasikan
untuk puasa.
Rasional: untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan klien.

Penanganan berat badan

a) Timbang berat badan klien secara teratur.


Rasional: dengan memantau berat badan klien dengan teratur dapat mengetahui
kenaikan ataupun penurunan status gizi.

b) Diskusikan dengan keluarga klien hal-hal yang menyebabkan penurunan berat badan.
Rasional: membantu memilih alternatif pemenuhan nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan dan penyebab penurunan berat badan.

c) Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.


Rasional: kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status nutrisi baik.

Manajemen Mual

a) Dorong pasien untuk mempelajari strategi untuk memanajemen mual.


Rasional: Dengan mendorong klien untuk mempelajari strategi manajemen mual pada
diri klien akan membantu klien saat mual muncul, sehingga klien dapat melakukan
manajemen mual secara mandiri.

b) Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, faktor frekuensi, presipitasi yang
menyebabkan mual.
Rasional: Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan atau meningkatkan mual muntah pada klien.

c) Kontrol lingkungan sekitar yang menyebabkan mual.


Rasional: Faktor-faktor seperti pemandangan dan bau yang tidak sedap saat makan
dapat meningkatkan perasaan mual pada klien.

d) Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi mual (relaksasi, guide imagery,


distraksi).
Rasional: Teknik manajemen mual nonfarmakologi dapat membantu mengurangi
mual secara nonfarmakologi dan tanpa efek samping.
5). Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.

Tujuan:

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama … x … jam, diharapkan infeksi terjadi


dengan kriteria hasil:

Risk Control: Infection process

- Mampu mengidentifikasi tanda-tanda munculnya infeksi (skala 5 = consistenly


demonstrated).
- Mempertahankan kondisi lingkungan sekitar klien agar tetap bersih (skala 5 =
consistenly demonstrated).
- Dapat memperagakan cara mencuci tangan yang baik dan benar (skala 5 = consistenly
demonstrated).
- Menggunakan universal precaution dan tindakan aseptik dalam menangani klien
(skala 5 = consistenly demonstrated).
- Mempraktikkan tindakan yang dapat melindungi diri dari infeksi (skala 5 =
consistenly demonstrated).
Intervensi :

Wound care

a) Luka dibersihkan dan diganti dressingnya minimal 1 kali sehari.


Rasional: lingkungan luka yang bersih menurunkan risiko invasi bakteri.

b) Pantau karakteristik luka meliputi (ada tidaknya cairan, ukuran, warna, bau).
Rasional: Perubahan karakteristik luka menandakan ada tidaknya infeksi misalnya,
luka terdapat pus, berbau, ukuran meluas, warna sekitar luka menjadi kemerahan
tanda-tanda tersebut menyatakan adanya infeksi.

c) Pertahkan teknik steril dalam membersihkan luka.


Rasional: Teknik steril dalam perawatan luka mencegah transmisi kuman dari tangan
perawat ke area luka.

d) Catat kondisi luka secara teratur setiap melakukan rawat luka.


Rasional: Mengevaluasi kondisi luka untuk mengetahui tanda-tanda infeksi sehingga
dapat memberikan intervensi yang tepat.
e) Ajarkan kepada klien tanda dan gejala infeksi.
Rasional: Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda infeksi sehingga dapat
melaporkan dengan segera kepada perawat.

Infection control:

a) Pertahankan kebersihan lingkungan sekitar klien.


Rasional: Lingkungan bersih mengurangi risiko invasi bakteri penyebab infeksi.

b) Batasi pengunjung.
Rasional: mengurangi transmisi mikroorganisme dari pengunjung ke klien.

c) Ajarkan klien cara mencuci tangan dengan baik dan benar.


Rasional: Menghindari transmisi kuman dari tangan ke daerah luka yang menempel di
tangan.

d) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.


Rasional: antibiotik yang tepat dapat mengurangi replikasi bakteri.

e) Pantau tanda-tanda vital klien, terutama suhu tubuh klien.


Rasional: Peningkatan suhu tubuh klien menandakan terjadinya infeksi.

Contoh intervensi berdasarkan 3S

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan criteria Intervensi


Hasil
1 Pola Nafas tidak efektif Luaran : SIKI :
 Status pernapasan : Manajemen jalan
Definisi : Pertukaran udara ventilasi napas
inspirasi dan/atau ekspirasi  Status pernapasan Observasi
tidak adekuat  TTV  Monitor respirasi
Kriteria Hasil : dan status O2
Data mayor minor :  Mendemonstrasikan
- Penurunan tekanan batuk efektif dan Terapeutik
inspirasi/ekspirasi suara nafas yang  Buka jalan nafas,
- Penurunan pertukaran udara bersih, tidak ada guanakan teknik
per menit sianosis dan chin lift atau jaw
- Menggunakan otot pernafasan dyspneu (mampu thrust bila perlu
tambahan mengeluarkan  Posisikan pasien
- Nasal flaring sputum, mampu untuk
- Dyspnea bernafas dengan memaksimalkan
- Orthopnea mudah, tidak ada ventilasi
- Perubahan penyimpangan pursed lips)  Identifikasi
dada  Menunjukkan jalan pasien perlunya
- Nafas pendek nafas yang paten pemasangan alat
- Assumption of 3-point (klien tidak merasa jalan nafas
position tercekik, irama buatan
- Pernafasan pursed-lip nafas, frekuensi  Pasang mayo bila
- Tahap ekspirasi berlangsung pernafasan dalam perlu
sangat lama rentang normal,  Lakukan
- Peningkatan diameter tidak ada suara fisioterapi dada
anterior-posterior nafas abnormal) jika perlu
- Pernafasan rata-rata/minimal  Tanda Tanda vital  Keluarkan sekret
 Bayi : < dalam rentang dengan batuk
25 atau > 60 normal (tekanan atau suction
 Usia 1-4 : darah, nadi,  Auskultasi suara
< 20 atau > 30 pernafasan) nafas, catat
 Usia 5- adanya suara
14 : < 14 atau > 25 tambahan
 Usia >  Lakukan suction
14 : < 11 atau > 24 pada mayo
- Kedalaman pernafasan  Berikan
 Dewasa bronkodilator
volume tidalnya 500 ml bila perlu
saat istirahat
 Berikan
 Bayi
pelembab udara
volume tidalnya 6-8
Kassa basah
ml/Kg
NaCl Lembab
- Timing rasio
 Atur intake untuk
- Penurunan kapasitas vital
cairan
mengoptimalkan
Faktor yang berhubungan :
keseimbangan.
- Hiperventilasi
- Deformitas tulang
Terapi Oksigen
- Kelainan bentuk dinding
Observasi
dada
 Monitor aliran
- Penurunan
oksigen
energi/kelelahan
 Pertahankan
- Perusakan/pelemahan
posisi pasien
muskulo-skeletal
 Observasi adanya
- Obesitas
tanda tanda
- Posisi tubuh
hipoventilasi
- Kelelahan otot
 Monitor adanya
pernafasan
kecemasan
- Hipoventilasi sindrom
pasien terhadap
- Nyeri
oksigenasi
- Kecemasan
- Disfungsi
Terapeutik
Neuromuskuler
 Bersihkan mulut,
- Kerusakan
hidung dan secret
persepsi/kognitif
trakea
- Perlukaan pada jaringan
 Pertahankan jalan
syaraf tulang belakang
nafas yang paten
- Imaturitas Neurologis
 Atur peralatan
oksigenasi

Monitor TTV
Observasi
 Monitor TD,
nadi, suhu,
dan RR
 Catat adanya
fluktuasi
tekanan darah
 Monitor VS
saat pasien
berbaring,
duduk, atau
berdiri
 Monitor TD,
nadi, RR,
sebelum,
selama, dan
setelah
aktivitas
 Monitor
kualitas dari
nadi
 Monitor
frekuensi dan
irama
pernapasan
 Monitor suara
paru
 Monitor pola
pernapasan
abnormal
 Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban
kulit
 Monitor
sianosis
perifer
 Monitor
adanya
cushing triad
(tekanan nadi
yang melebar,
bradikardi,
peningkatan
sistolik)
 Identifikasi
penyebab dari
perubahan
vital sign

Terapeutik
 Auskultasi TD
pada kedua
lengan dan
bandingkan
2 Ketidakstabilan kadar Luaran : Manajemen
glukosa darah Kestabilan kadar hiperglikemia
Definisi : variasi kadar glukosa darah
glukosa darah naik turun dari meningkat Observasi
rentang normal Kriteria Hasil:  Identifikasi
Mengantuk kemungkinan
Penyebab Hiperglikemia menurun penyebab
- Disfungsi pankreas Lesu menurun hiperglikemia
- Resistensi insulin Glukosa darah  Monitor kadar
- Gangguan toleransi membaik glukosa darah
glukosa  Monitor tanda
- Gangguan glukosa darah gejala
puasa hiperglikemia
 Monitor
intake dan
output
 Identifikasi
situasi yang
menyebabkan
kebutuhan
insulin
meningkat
Terapeutik
 Berikan
asupan cairan
oral
 Fasilitasi
ambulasi jika
ada hipotensi
Edukasi
 Anjurkan
olahraga
 Anjurkan
monitor kadar
glukosa darah
 Anjurkan
kepatuhan
terhadap diet
dan olahraga
 Ajarkan
pengelolaan
diabetes
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
insulin

3. IMPLEMENTASI
implementasi dilakukan sesuai dengan intrevensi yang telah disusun berdasarkan
prioritas diagnosis
4. EVALUASI

1. Pola napas efektif


2. Nutrisi terpenuhi dan seimbang
3. Nyeri hilang atau terkontrol
4. Integritas kulit membaik
5. Cidera tidak terjadi
6. Infeksi tidak terjadi
7. Mobilitas fisik meningkat
8. Kadar glukosa darah stabil
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., et al. (2013). Nursing interventions classification (NIC) 6th edition. USA:
Mosby.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus
(online), (http://binfar.depkes.go.id/download/PC_DM.pdf, diakses 4 Agustus 2018)..

Guyton, Arthur C. Dkk. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC.

Herman , T. Heather. (2015). Nanda International Inc. Diagnosis keperawatan: definisi &
klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Mansjoer Arif M. (2011). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Aesculapius FKUI

Moorhead, S., et al. (2013). Nursing outcomes classification (NOC) 5th edition. USA: Mosby
Mansjoer, Arif. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Smeltzer C Suzanne & Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Ed8. Vol.1.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai