Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Diabetes Melitus


1.1.1 Definisi

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kinerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010).
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi
insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).
Berdasarkan Perkeni tahun 2011 Diabetes Mellitus adalah penyakit
gangguan metabolisme yang bersifat kronis dengan karakteristik 11
hiperglikemia. Berbagai komplikasi dapat timbul akibat kadar gula darah
yang tidak terkontrol, misalnya neuropati, hipertensi, jantung koroner,
retinopati, nefropati, dan gangren.
1.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s


Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus,
menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)
1.      Tipe I:  Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-
sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin
dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk
mengontrol kadar gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi
sebelum usia 30 tahun.
2.      Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II.
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin
(resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin.
Pengobatan pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan
kadar glukosa darah menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik
(suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol
hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih
dari 30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
3.      DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat,
infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan
karakteristik gangguan endokrin.
4.      Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes.

1.1.3 Etiologi Diabetes Melitus

1.1.3.1      Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)


a.       Faktor genetic :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi
mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah
terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada
individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte
Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b.      Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c.       Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin
tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan
destuksi sel β pancreas.
1.1.3.2      Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya
mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-
mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa
menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran
sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor
insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai
untuk mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008).
Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung
insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)
yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang
lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat
timbul pada masa kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah:
a.       Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
b.      Obesitas
c.       Riwayat keluarga
d.      Kelompok etnik
1.1.4 Patofisiologi Pathway
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur
oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
posprandial (sesudah makan).Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi
maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan  (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya
mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi
tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan
keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan
tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas
berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta
tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan
sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom
hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes
yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes
tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala
tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau
pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi)
1.1.6 Manifestasi Klinis
1.1.6.1    Diabetes Tipe I
1) hiperglikemia berpuasa
2) glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
3) keletihan dan kelemahan
4) ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas
bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
1.1.6.2   Diabetes Tipe II
1) lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
2) gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal,
penglihatan kabur
3) komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular
perifer)

1.1.7 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
1.1.7.1 Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di
obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di
sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang
tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala
hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak
disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
1.1.7.2    Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan
kondisi yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada
lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada
individu yang menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan
emosional yang ekstrim.
1.1.7.3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien
yang menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di
tandai dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl),
hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat
deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang
sering kali keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan
pada tingkat kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
1.1.7.4   Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas
atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga
bermanifestasi dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis
11
(keterlambatan pengosongan  lambung yang menyebabkan perasaan mual
dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi
ortostatik.
1.1.7.5.    Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali
lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil
ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit
serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis
serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif,
serta depresi sistem saraf pusat.
1.1.7.6.     Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri.
Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih
serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)

1.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik DM Tipe II antara lain:
1.1.8.1.Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau
plasma. Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat
langsung dan dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia.
Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik
daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif
kuantitatif. (FKUI,2011)
1.1.8.2  Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa
darah secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang
ginjal yang bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini
tidak memberikan informasi tentang kadar glukosa darah tersebut,
sehingga tak dapat membedakan normoglikemia atau hipoglikemia.
(FKUI, 2011)
1.1.8.3    Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi
glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami
hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat
setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
1)   Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
2)   Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
3)   Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl
atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
1.1.8.4      Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
 Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan
sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi
antidiabetik. Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil
telah ditemukan pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime
Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
1.1.8.5    Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3
minggu sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia
karena kurang menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak
stabil sehingga jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat
bermanfaat pada keadaan dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya,
misalnya pada keadaan anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
1.1.8.6       Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone
insulin menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy.
Keton urin dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara
benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu.
(FKUI,2011)
1.1.8.7      Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu 13

terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140
mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan
nilai normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan,
gagal ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal
4bulan sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
1.1.8.8      Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai
kendali glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien
melakukan penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan
jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikan feedbackcepat kepada
pasien terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)

1.1.9 Penatalaksanaan Medis


Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1.1.9.1   Obat Hipoglikemik Oral
a)      Pemicu sekresi insulin
(1)   Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu
memperbaiki sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata
obat ini tidak bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja
golongan obat ini antara lain:
(a)      Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored insulin)
(b)     Menurunkan ambang sekresi insulin
(c)    Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukos
(FKUI, 2011)
(2)   Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivate asam
benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati.(FKUI, 2011)
1.1.9.2      Penambah sensitivitas terhadap insulin
(1)   Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.
Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin
pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan.
(FKUI, 2011)
(2)   Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja
meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi
glukosa dihati.( FKUI, 2011)
1.1.9.3      Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga
tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
1.1.9.4     Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap
sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat
diturunkan. (FKUI, 2011)
1.1.9.5   Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah
akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-
peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada
DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
15
a)     Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar
glukosa darah
b)      Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan, infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin menstimulasi
pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa
protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah
penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan
glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai sumber energi dan
membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.(FKUI,2011) 

1.1.10  Penatalaksanaan Keperawatan


Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
1)   Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun
keluarga pasien.
2)   Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang
sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
3)   Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam
pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
4)   Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari
alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan,
menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan
yang baik
5)   Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang memiliki
resiko
6)   Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani
atau kebugaran yang sesuai.
1.1.10.1       Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic
yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
1) Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau
obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
2)   Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
3)   Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau
mempertahankan berat badan yang memadai pada orang dewasa
mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada anak
dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama
kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari penyakit metabolic
4)   Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
5)   Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes
yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka
pendek, komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi,
neuropati autonomic dan penyakit jantung
6)   Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang
optimal.
Kebutuhan zat gizi penderita DM Tipe II
1)   Protein
Menurut consensus pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006,
Kebutuhan protein untuk penyandang diabetes sebesar 10-20% energi
dari protein total.
2)   Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak
lebih 10% energy dari lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya
dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran asupan lemak di Indonesia
adalah 20-25% energi.
3)   Lemak jenuh dan kolesterol
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol
adalah untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena
itu <7% asupan energy sehari seharusnya dari lemak jenuh dan asupan
kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per hari.

4)   Karbohidrat dan pemanis


Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita diabetes di Indonesia
adalah 45-65% energy.
a)    Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari
perencanaan makan tidak memperburuk control glukosa darah pada
individu dengan diabetes.
b)   Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa
dan kebanyakan karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin,
aspartame, acesulfame K adalah pemanis tak bergizi yang dapat di
terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5)   Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan
untuk orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-
35 gr serat makanan dari berbagai sumber makanan. Di Indonesia
anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari dengan
mengutamakan serat larut
6)   Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak
lebih dari 3000 mg, sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai
sedang di anjurkan 2400 mg natrium perhari.
7)   Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan
kalori total dan sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2
penukar lemak)
8)   Mikronutrien: vitamin dan mineral
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen
vitamin dan mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan
suplemen antioksidan pada saat ini hanya sedikit bukti yang
menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.( FKUI, 2011 )
1.1.11 Pelaksanaan Diet Penyakit DM

Bahan makanan yang dianjurkan untuk Diet Diabetes Melitus adalah


sebagai berikut :
1) Sumber Karbohidrat kompleks seperti nasi, roti, mie, kentang singkong
dan sagu.
2) Sumber protein rendah lemak seperti ikan, ayam tanpa kkulit, susu
skim, tempe, tahu serta kacang-kacangan.
3) Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk bahan makanan yang
mudah dicerna. Makanan terutama diolah dengan cara dipanggang,
dikukus disetup, direbus dan dibakar.
Bahan makanan yang tidak dianjurkan untuk Diet Diabetes Melitus adalah
sebagai berikut :
1) Bahan makanan yang mengandung gula sederhana seperti Gula pasir,
gula jawa, sirop, jam, buah-buahan yang diawetkan dengan gula, susu
kental manis, minuman botol ringan, es krim.
2) Bahan makanan yang mengandung banyak lemak seperti cake,
makanan siap saji, goreng-gorengan.
3) Bahan makanan yang mengandung banyak natrium seperti ikan asin,
telur asin, makanan yang diawetkan.
Jika penderita Diabetes Melitus mengalami Hipoglikemi (kadar gula
darah terlalu rendah (<80 mg/dl)) segera di berikan teh manis, agar kadar
gula darah kembali normal. Dan jika penderita Diabetes Melitus
mengalami Ketoasidosis (kadar gula darah terlalu tinggi (>200 mg/dl)) dan
mengalami pingsan, segera dirujuk ke rumah sakit terdekat agar segera
dilakukan penanganan.

Anda mungkin juga menyukai